2011 Perjuangan Anggaran Pro Poor dan Pro Gender:
Memahamkan Masyarakat Sadar Anggaran
Laporan Studi Kasus Civil Society Initiative Against Poverty (CSIAP) Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur Oleh: Tedi Erviantono & Bandiyah The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP)
A. Situbondo dalam Kungkungan Kemiskinan Kabupaten Situbondo identik dengan angka kemiskinan yang masih relatif tinggi. Menurut data BPS Tahun 2007, jumlah rumah tangga miskin mencapai 105.077 rumah tangga. Kalaupun di prosentase jumlahnya 49,87% dari total rumah tangga yang ada. Trend yang terjadi sejak 2006, jumlah rumah tangga miskin di Situbondo fluktuatif, menaik dan bisa pula menurun meski volumenya kecil. Menurut kajian beberapa CSO yang ada di Situbondo, angka kemiskinan terbesar mendera penduduk yang berjenis kelamin perempuan yang capaian angkanya 51%. Data ini menunjukkan fakta yang sangat ironis, mengingat tingkat keterpurukan kelompok perempuan di berbagai sektor terutama bidang pendidikan dan kesehatan masih sangat tajam. Pada sektor kesehatan dilihat masih tingginya angka kematian bayi dimana tahun 2006 mencapai 94/1000 angka kelahiran dan pada tahun 2007 mencapai 82/1000, sedangkan untuk angka harapan hidup pada tahun 2007 sebesar 61,80 masih di bawah target dalam RPJMD sebesar 65,08. Dari data yang ada di RKPD tahun 2008 juga masih menunjukkan tingginya angka kematian ibu maternal sebanyak 7 kasus dari 10.975 ibu hamil, status gizi tercapai 0,32% balita gizi buruk. Sejak 2007, angka kemiskinan di Kabupaten Santri ini masih berkisar 60,18%. Hanya saja kondisinya masih dibawah IPM propinsi Jawa Timur sebesar 67,92. Kalau dibandingkan dengan kabupaten lain, Situbondo peringkat ke 35 dari 38 kabupaten/kota di propinsi Jawa Timur. Sementara di bidang pendidikan, Angka Partisipasi Kasar (APK) SLTP tahun 2007 sebesar 93,37. Hal ini tentunya masih belum memenuhi standar nasional sebesar 95%. Untuk APK SLTA pada tahun 2007 sebesar 46,84 justru mengalami penurunan sebesar 0,65 apabila dibandingkan dengan tahun 2006 sebesar 47,49. Dari data tersebut sudah bisa dipastikan kelompok yang paling rentan adalah kelompok perempuan. Mengingat, jumlah penduduk buta huruf di kelompok usia 10-44 tahun, sebanyak 20.059 orang terdiri atas 9.159 warga laki-laki dan 10.900 adalah warga perempuan. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya aksesbilitas kelompok miskin dan perempuan terhadap pelayanan pendidikan dan kesehatan. Respon pemerintah daerah-pun saat itu dinilai kurang tanggap pada sisi problematis ini. Jawaban hanya termaktub dalam RPJMD khususnya program pengarusutamaan gender. Seperti peningkatan aksesbilitas kesejahteraan sosial dan kesetaraan gender; peningkatan kualitas hidup dan perlindungan perempuan; penguatan kelembagaan gender dan anak; peningkatan kesejateraan perlindungan anak dan perempuan; serta peningkatan kualitas penyuluhan kesejahteraan sosial. Realisasi atas penjabaran program yang ada RKPD sepanjang kurun tahun 2008 dan 2009 di Situbondo dinilai beberapa kalangan masih belum berpihak pada penguatan kelembagaan gender dan anak. Ketidakberpihakan ini tak hanya di bidang pendidikan yang ―seharusnya‖ dalam komitmen hasil musrenbang merekomendasikan fasilitasi biaya pendidikan bagi keluarga miskin. Tetapi juga di bidang kesehatan yang ―seharusnya‖ meningkatkan pelayanan kesehatan penduduk miskin di puskesmas beserta jaringannya. B. Inisiatif Program : Menggapai Komitmen Keberpihakan Masalah tentunya membutuhkan solusi. Kondisi inilah yang kemudian direspon kalangan CSO dan MBO di Situbondo. Melalui komitmen peningkatan kapasitas ormas Islam dalam mendorong dan mengawasi kebijakan dan anggaran agar lebih berpihak pad amasyarakat miskin dan responsif gender, maka Fitra Jatim kemudian mendorong pembentukan Forum Situbondo untuk Transparansi Anggaran (FOSTRA). FOSTRA beranggotakan ormas-ormas di bawah payung Muhammadiyah dan NU. FOSTRA merupakan wadah bersama bagi organisasi masyarakat sipil Islam yang mengambil peran dalam mendorong dan meningkatkan keterlibatan masyarakat pada proses pembangunan. Ada beberapa strategi yang dikembangkannya. 2|Page
Peduli pada advokasi kebijakan publik dan perencanaan anggaran daerah dalam proses pembangunan, mendorong kebijakan anggaran dalam APBD yang lebih pro kepada masyarakat miskin dan responsif gender, termasuk mengawal dan mengawasi hasil kebijakan APBD yang telah diadvokasi. Tujuan besar yang hendak dicapai FOSTRA adalah peningkatan kapasitas dan komitmen di kalangan masyarakat maupun pemerintah daerah dalam mendorong lahirnya kebijakan yang berpihak kepada masyarakat miskin dan responsif gender. Guna mewujudkan komitmen ini, FOSTRA melaksanakan beberapa langkah. Langkah pertama yang dilakukan FOSTRA adalah meningkatkan kapasitas pemahaman kebijakan pembangunan khususnya kebijakan penganggaran. Salah satu kegiatan yang dikembangkan adalah analisis terhadap KUA-PPAS Kabupaten Situbondo. Melalui analisis itulah yang nantinya dijadikan bahan pijakan FOSTRA untuk merangkul anggota DPRD dan eksekutif dalam menjamin penyelenggaran kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin dan responsif gender. Aktualisasinya adalah diadakannya nota Kesepahaman antara FOSTRA dengan DPRD Kabupaten Situbondo. Nota kesepahaman tersebut merupakan wujud komitmen antara FOSTRA, FITRA Jatim dan DPRD untuk bersama-sama mendorong kebijakan Anggaran yang berpihak pada masyarakat miskin dan responsif gender. C. Langkah Menembus Batas Budaya Patriarki Langkah perdana membangun pemahaman pentingnya peran ormas Islam dalam mendorong dan mengawasi kebijakan pemerintah daerah adalah dengan melakukan silaturahmi ke Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cabang Situbondo, 26 Mei 2009. Kegiatan diikuti KH. Faqih Gufron (Ketua MUI), Drs. Mahmudi Bajuri, MPdI (Ketua Dewan Pendidikan Situbondo), Mashudi dan Dakhlan dari FITRA Jatim dan FOSTRA. Langkah ini ditindaklanjuti informal meeting 28 Mei 2009 dengan tema Penguatan Peran dan Keterlibatan Ormas Islam dan LSM dalam Kebijakan Anggaran. Kegiatan ini diikuti 18 peserta dan digunakan sosialisasi awal pelaksanaan program CSIAP II. Dalam diskusi yang dilaksanakan di Kantor FITRA Jatim Jalan Wijaya Kusuma tersebut diikuti perwakilan beberapa Badan Otonom Ormas NU dan Muhammadiyah, diantaranya perwakilan dari Fatayat NU Cabang Situbondo, Pemuda Ansor, Pemuda Muhammadiyah, IKSAS, IPNU, IPPNU, MUI serta LSM lainnya. Pada diskusi berdurasi 2 jam ini dibahas persoalan kemiskinan serta pentingnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan publik. Persoalan serius yang menjadi PR besar bagi Kabupaten Situbondo adalah kemiskinan dan tiadanya keterlibatan perempuan dalam proses perencanaan pembangunan yang boleh dikata nyaris tidak ada. Bahkan beberapa peserta workshop mengakui bahwa budaya patriarki menjadi salah satu penyebab mengapa perempuan tidak mempunyai peran pada ranah publik di Kabupaten Situbondo.
“ Perempuan selama ini hanya menjadi konco wingking yang hanya mengerti urusan rumah tangga, sehingga dengan adanya program ini diharapkan bisa meningkatkan kapasitas perempuan untuk terlibat dalam persoalan-persoalan publik” (Zeiniye, S.Ag Pengurus Fatayat NU )
3|Page
Seolah tak mau berlarut-larut dalam persoalan, dalam diskusi tersebut disetujui tiga kesepakatan. Point pertama, membuat komitmen bersama antara ormas di Kabupaten Situbondo untuk mendorong terbukanya ruang keterlibatan perempuan dan kelompok miskin pada setiap tahapan perencanaan pembangunan yang akan diwujudkan dengan beberapa agenda bersama, yaitu mengawal dan mengkritisi kebijakan APBD 2010. Point kedua, melakukan kajian terhadap pelayanan publik khususnya sektor pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Point ketiga, melakukan kajian terhadap pentingnya keterbukaan akses dokumen publik bagi masyarakat umum. Ruang mediasi atas persetujuan ini dilanjutkan dengan pelaksanaan kegiatan di tingkat daerah pemilihan yang melibatkan perwakilan ormas di tingkat kecamatan. Kegiatan ini bertujuan memberikan pendidikan kepada kalangan agamawan dan elemen masyarakat mengenai kebijakan penganggaran terkait usaha mengurangi kemiskinan. Mengapa agamawan ? Menurut kacamata CSO keterlibatan kalangan agamawan memiliki peran besar dalam mempengaruhi warga setempat. Karena bagaimanapun sosok agamawan (kyai, dll) masih dianggap memiliki posisi terhormat, termasuk menyadarkan warga miskin sadar membaca APBD khususnya anggaran yang berpihak kepada kelompok miskin. Kalangan agamawan diajak terlibat melakukan assessment secara partisipatif untuk menelusuir problem kemiskinan pada sektor tertentu. Sekaligus akar masalah dan persoalan terkait permusan percepatan penanganan kemiskinan. Praktek assesment dilaksanakan melalui teknik Focuss Group Discussion (FGD). Praktek ini membagi wilayah Situbondo menjadi 6 daerah pemilihan. Diskusi dilaksanakan untuk membuka cakrawala warga miskin tentang hakikat kemiskinan yang seringkali dijadikan prespektif pemeritah daerah untuk melaksanakan program pembangunan.
Suasana FGD PPA di Dapil
Setelah adanya kegiatan FGD Presepsi pemerintah selama ini kemiskinan lebih disebabkan oleh kebodohan dan kemalasan masyarakat, namun penyebab kemiskinan dominan dikarenakan persoalan struktur dengan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak terhadap orang miskin dalam artian upah, akses pasar, modal, kesehatan dan pendidikan. Hal ini diperparah dengan kenaikan bahan pokok, korupsi yang merajalela dan ketergantungan daerah terhadap pusat. Putus asa dalam usaha, kemalasan, rendahnya skill, kehidupan yang boros dan rendahnya pengalaman kerja menjadi penyebab utama pada diri si miskin.
4|Page
D. Terbentuknya Persepsi dan Menegaskan Komitmen Capaian dari hasil FGD yang ada, mulai terbentuk persepsi di kalangan warga bahwa ternyata kemiskinan lebih disebabkan oleh kebodohan dan kemalasan masyarakat. Penyebab dominan kemiskinan adalah persoalan struktur termasuk akibat dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak terhadap orang miskin, termasuk akibat ketidakimbangan upah, akses pasar, modal, kesehatan dan pendidikan. Inilah yang pada gilirannya menyebabkan dampak pengangguran, tingginya angka kematian dan kriminalitas, usia putus sekolah dan beragam gangguan kesehatan lainnya (baca: kurang gizi, busung lapar, cacat). Berangkat dari kesepahaman persepsi inilah, FOSTRA memfasilitasi komunikasi antara warga masyarakat miskin, terutama dampingan CSO dengan birokrasi,-- termasuk penguasa lokal setempat—melalui kegiatan audensi. Tak dipungkiri, ada kecurigaan kalangan birokrasi setempat bahwa upaya FOSTRA bertendensi mengungkap penyimpangan pengelolaan anggaran. Bahkan FOSTRA di curigai sebagai bagian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sedang menyelidiki kasus penyimpangan anggaran. Apalagi anggaran merupakan isu sensitif semenjak kasus korupsi menyandung Bupati Situbondo sebelumnya.
Proses Audensi dengan Wakil Bupati dengan Pimpinan SKPD
Audensi di Aula Bupati menghadirkan seluruh Kepala Satuan Kerja Pemerintahan Daerah (SKPD) serta Asisten I dan II Pemkab Situbondo. Yang membanggakan, dari pertemuan ini terbangun komitmen semua SKPD untuk membuka akses terdahap dokumen yang diperlukan dalam kajian penelitian FOSTRA. Bahkan Wakil Bupati secara langsung menyampaikan apresiasinya atas terpilihnya Kabupaten Situbondo sebagai lokasi dampingan FOSTRA yang sekiranya dapat memberikan kontribusi positif bagi pemerintah daerah khususnya pada proses penggangaran daerah yang berpijak pada prinsip good governance.
5|Page
Pelatihan membaca anggaran Apa yang dihasilkan dalam audiensi ditindaklanjuti dengan pelatihan membaca dan menganalisis anggaran dengan melibatkan pihak Bappeda, agamawan dan CSO FITRA. Pada forum ini peserta diberian pembimbingan untuk melihat dokumen anggaran dan menganalisis angka-angka mulai dari pendapatan, belanja dan pembiayaan, khususnya pada tiga sektor, yaitu pendidikan, kesehatan dan pertanian.
Foto : Pelatihan Membaca dan Menganalisis Anggaran
Dalam proses pelatihan pihak pemerintah kabupaten menjelaskan proses penyusunan dan pembelanjaan anggaran publik. Hal inilah yang kemudian menguatkan para peserta untuk perlu mengawal kebijakan anggaran tahun 2010 agar kebijakan alokasinya lebih berpihak pada masyarakat miskin, khususnya untuk bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Sebagai wujud komitmen bersama, peserta bersepakat membentuk wadah bersama dan di namakan FOSTRA (Forum Situbondo Untuk Transparansi Anggaran). E. Konsilidasi dan Pemantapan Kelembagaan Kegiatan awal Forum Situbondo untuk Transparansi Anggaran (FOSTRA) dilakukan dengan agenda membahas keorganisasian FOSTRA, struktur sampai AD/ART. Dewan Presidium FOSTRA ditetapkan sebanyak 15 orang yang dipimpin Hj. Djuwairiyah sebagai Koordinator Dewan Presidium forum. Selama periode Juli – Agustus 2009, kelembagaan FOSTRA dimantapkan dengan penjaringan pengurus di tingkat kecamatan, penyepakatan AD/ART FOSTRA yang kemudian untuk dilegalkan menjadi Badan Hukum (BH) FOSTRA. Hal lain yang cukup penting membentuk forum warga di tingkat kecamatan yang nantinya bertugas merangkul 6|Page
semua stakeholder yang ada untuk melek anggaran dan terlibat pada proses advokasi anggaran yang berpihak pada masyarkat miskin dengan terlibat pada proses perencanaan dan penganggaran dimulai tingkat desa sampai kecamatan.
Pemantapan Kelembagaan Organisasi Pada salah satu reguler meeting, kelembagaan FOSTRA merumuskan grand strategi terkait advokasi anggaran yang menghasilkan motto Fostra yaitu ‖Menciptakan Anggaran Pro Rakyat Miskin‖ . Mainstream advokasi yang dipilih Pro poor yang Responsif Gender dimana lebih difokuskan pada pemenuhan hak-hak dasar pendidikan dan kesehatan masyarakat Situbondo. Saat FOSTRA menemukan arah dan bentuknya, maka cetusan-cetusan advokasi dimulai. FOSTRA membuka ruang diskusi dengan para pemangku kepentingan serta aparatur birokrasi Situbondo dengan menegaskan tujuan bahwa anggaran untuk publik di Situbondo masih cenderung kecil ketimbang anggaran untuk aparatur. Untuk memperjelas arah gerakan, FOSTRA mulai intens melakukan pendekatan dan komunikasi, baik secara adminitrasi maupun perorangan. Seperti lobby ke Sekretaris Dewan maupun anggota DPRD lainnya untuk mengakses dokumen demi kelancaran program. Upaya ini pun mewujud pada beragam aktifitas diskusi kecil yang mengerucut pada terbukanya ruang partisipasi publik dalam proses perencanaan dan penganggaran. Aktulisasi respon diarahkan pada diadakannya nota kesepahaman diantara FOSTRA dengan DPRD Kabupaten Situbondo, yang sebelumnya isi perjanjian telah melalui proses pematangan oleh tim kecil FOSTRA dan DPRD. Nota Kesepahaman ini merupakan bentuk komitmen bersama untuk mendorong kebijakan perencanaan dan penganggaran yang lebih berpihak kepada masyarakat miskin dan responsif gender. FOSTRA dan FITRA memandang perlunya nota kesepahaman ini sebagai awal pijakan untuk bergerak. Gayung bersambut. Upaya pihak FOSTRA dan FITRA menyakinkan DPRD bahwa MoU tersebut merupakan babak perdana bagi partisipasi warga Situbondo dalam melakukan kontrol kebijakan, perencanaan dan penganggaran sekaligus bagian penting tupoksi DPRD sebagai ―wakil rakyat‖, maka Ketua DPRD menyambut baik komitmen ini. Hanya saja, secara prosedural, Ketua DPRD mengarahkan agar bentuk nota kesepahaman ini dibahas internal antar anggota di lembaga DPRD guna meminimalisir ―anggapan sepihak‖ yang bisa menimbulkan ekses persoalan politik di belakang hari. Pematangan materi MoU ini dirangkai pula dengan kegiatan FOSTRA untuk menganalisis RPJMD Kabupaten Situbondo. 28 Oktober 2009 bertempat di GOR Kabupaten Situbondo diadakan expert discussion analisis revisi RPJMD. 7|Page
Kegiatan yang difasilitatori Amir sebagai konsultan anggaran ini seluruh ormas yang tergabung dalam FOSTRA di tingkat kecamatan. Hasil analisis ini juga akan disampaikan DPRD sebagai bahan untu mengesahkan revisi RPJMD.
Ismail di ikuti
kepada
Hasil kegiatan ini menemukan bahwa bahwa Revisi RPJMD masih belum mengacu pada tujuan dan sasaran yang hendak di capai oleh Kabupaten Situbondo dan hanya terkesan berorientasi pada sistematika administrasi kewenangan pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 41 tahun 2007 dan PP No. 38 tahun 2007 tentang pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah daerah Propinsi, dan Pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Rekomendasi ini tentunya tak hanya menyertakan kritik, melainkan masukkan yang disertakan pula sebagai referensi alternatf bagi perbaikan Matrik dalam RPJMD tahun-tahun berikutnya. F. Nota Kesepahaman : Mencairkan Langkah Awal Gerakan Dialog Publik yang dihelat 29 Oktober 2009 merupakan awal penanda penting gerakan bagi advokasi FOSTRA khususnya dalam memposisikan peran kelompok masyarakat sipil terhadap proses perencanaan dan penganggaran di Kabupaten Situbondo. Format dialog yang dihadiri sekitar 100-an peserta ini diikuti ormas tingkat Kabupaten dan Kecamatan, Media, LSM serta anggota DPRD Kabupaten Situbondo. Pada acara ini dilakukan deklarasi dan penandatanganan Nota Kesepahaman antara FOSTRA, FITRA Jatim dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Situbondo.
8|Page
Lokakarya APBD yang Pro Poor dan Responsif Gender Dalam nota kesepahaman tersebut tertuang komitmen bersama mendorong kebijakan pembangunan yang lebih berpihak kepada masyarakat miskin dan responsif gender. Butirbutir yang tertuang pada nota kesepahaman tersebut diantaranya semua pihak memberikan komitmen untuk mendorong perbaikan pelayanan dasar publik, dimana DPRD akan memperjuangkan anggaran pendidikan dan kesehatan untuk mendapatkan alokasi yang memadai, disamping itu tertuang juga komitmen untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam setiap proses perencanaan kebijakan publik.
Deklarasi FOSTRA & Penandatangan Nota Kesepahaman (FOSTRA, FITRA Jatim, DPRD) Deklarasi pengurus presedium FOSTRA yang diawali orasi anggaran oleh Ketua Dewan Presedium FOSTRA, Hj. Juwairiyah Fawaid menekankan beberapa aspek penting.
9|Page
“Kebijakan Alokasi Anggaran yang selama ini terjadi di Kabupaten Situbondo ternyata lebih banyak dinikmati kembali oleh elit penguasa di Kabupaten ini. Hal ini terbukti dengan kasus korupsi yang terjadi dalam kasdagate. Kenyataan ini ironis mengingat Kabupaten Situbondo merupakan daerah termiskin nomor 3 di Propinsi Jawa Timur. Selama ini kepentingan rakyat selalu diabaikan, seolah-olah anggaran hanya milik pemerintah sementara rakyat hanya menjadi obyek kebijakan. Untuk itu hal ini menjadi tanggung jawab bersama, melalui FOSTRA akan kita dorong anggaran yang lebih baik yang lebih mementingan kebutuhan masyarakat” (Hj. Juwairiyah, Ketua Dewan Presidium FOSTRA). Sebagai aktualisasi kinerjanya, FOSTRA mengadakan hearing dengan DPRD untuk mengemukan hasil analisis revisi RPJMD pada 29 Oktober 2010. Kegiatan ini diikuti semua anggota DPRD serta ketua DPRD Situbondo. Kegiatan hearing dilakukan guna memberikan masukan DPRD terhadap pembahasan revisi RPJMD, yang merupakan hasil kajian bersama antara FITRA dan FOSTRA. Hearing ini mendapatkan respon positif. Antusiasme ini ditunjukkan dengan penerimaan analisis revisi RPJMD ini oleh semua anggota DPRD. Hasil analisis yang disusun FOSTRA dan FITRA ini dianggap sebagai media peningkatan pemahaman anggota DPRD dalam melakukan analisis kebijakan perencanaan, apalagi karena sebagian anggota DPRD merupakan wajah-wajah baru yang kurang memiliki pemahaman mencukupi. G. Menguntai Advokasi dari Dinas ke Dinas Upaya pematangan advokasi FOSTRA dilakukan di Dinas Pendidikan 22 Nopember 2009. Kegiatan dimaksudkan untuk memberikan masukan terhadap rencana program dan kegiatan tahun 2010 serta mendiskusikan hasil analisis terhadap anggaran pendidikan selama tahun 2007 – 2009. Kegiatan ini langsung dihadiri oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Situbondo. “Mengenai program dari Dinas Pendidikan ini, saya harap teman-teman FOSTRA bisa mengawal sekaligus mengawasi jalannya program. Hal ini supaya tidak ada penyelewengan dalam pelaksanaan programnya. Untuk kebersamaan ini saya harap tidak berhenti disini saja, tetapi bisa berjalan terus menerus (Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Situbondo)
Terdapat beberapa pokok pembicaraan penting dari pertemuan ini. Program penuntasan pendidikan dasar sembilan tahun khususnya pendidikan Madrasah Diniyah yang menyelenggarakan bidang ajar Matematika, Bahasa Indonesia, dan IPA, setiap anak mendapatkan beasiswa sebesar Rp. 20.000 - Rp. 25.000/ bulan. Guru maupun Ustad-nya juga mendapatkan alokasi dana Rp. 300.000/bulan. Anggaran yang juga dikomitmenkan dari APBD Pemerintah Propinsi Jawa Timur ini memiliki perhitungan 50% APBD Propinsi dan 50% APBD Kabupatendengan jumlah Rp. 10,6 milyar. 10 | P a g e
FGD dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Situbondo langsung menghadirkan Kepala dinas Kesehatan Kabupaten Situbondo. Beberapa hal yang disampaikan terkait hasil analisis terhadap anggaran sektor kesehatan, dimana penggunaannya sebagian besar ternyata masih terserap untuk pemenuhan kebutuhan aparatur dan infrastruktur dasar. Sebalikknya, anggaran untuk peningkatan akses pelayanan kesehatan bagi orang miskin prosentasenya masih sangat kecil. Kepala Dinas Kesehatan menanggapi hasil analisis ini dan menyatakan apresiasi atas hasil kajian FOSTRA dan FITRA Jatim. Diakui pengalokasian anggaran kesehatan masih diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur dasar seperti penyediaan dokter spesialis yang jumlahnya masih belum memadahi. Kebutuhan mendesak lainnya adalah rehabilitasi gedung kantor dinas kesehatan yang kondisinya memperihatinkan.
Diskusi Anggaran Kesehatan dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Situbondo Kondisi ini memang beralasan. Menilik pada dialog dan workshop KUA PPAS 2010, yang diikuti Badan Anggaran DPRD Situbondo dengan melibatkan FOSTRA, disampaikan bahwa proyeksi pendapatan Situbondo masih tergantung pemerintah pusat karena tingginya dana perimbangan. Sedangkan belanja daerah hampir 60 % di peruntukkan untuk birokrasi, sehingga masih berat bagi Kabupaten Situbondo untuk memperbaiki infrastruktur dasar apabila struktur proporsi APBD tersebut masih dipertahankan. Pada forum diskusi tersebut anggota legislatif meminta dalam melihat potensi pendapatan yang sebenarnya Kabupaten Situbondo bisa dipandang secara proporsional.
11 | P a g e
Publik hearing final antara FOSTRA dengan birokrasi dan anggota DPRD dilaksanakan 27 Januari 2010 di Ruang Paripurna DPRD Kabupaten Situbondo. Final publik hearing difokuskan untuk pembahasan KUA – PPAS. Kegiatan tersebut di hadiri Wakil Bupati, anggota dan ketua DPRD, termasuk seluruh Panitia Anggaran Eksekutif.
Kepala Bappeda Kabupaten Situbondo saat memberikan tanggapan terhadap trend belanja sosial di Kabupaten Situbondo
Wakil Bupati H. Suroso, yang menyambut baik penelitian FITRA Jatim dan FOSTRA. Hal ini bisa menjadi bahan positif bagi perbaikan proses penganggaran di Kabupaten Situbondo, sekaligus masukan bagi eksekutif dan DPRD guna memaksimalkan peran masing-masing dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Situbondo melalui kebijakan anggaran. Atas kondisi riil yang telah dipotret melalui hasil riset FITRA dan FOSTRA, Ketua DPRD berjanji akan melakukan perubahan salah satunya membuka ruang partisipasi masyarakat melalui inisiasi Perda Partisipasi. Menjadikan Gedung DPRD sebagai rumah rakyat pasalnya selama ini gedung DPRD terasa masih angker dan DPRD akan membuka media center yang dapat diakses publik sehingga meningkatkan kontrol dan partisipasi masyarakat. Dinyatakan pula, salah satu hambatan DPRD dalam melaksanakan fungsi kontrol budgetingnya adalah kapasitas anggota DPRD terhadap penyusunan APBD, sehingga DPRD masih butuh pendampingan selama proses pembahasan APBD 2010 dan meminta FITRA Jatim dan FOSTRA untuk senantiasa mengembangkan kerja sama dengan DPRD. H. Siaran Radio : Sosialisasi Talkshow hingga Harapan Bebas Korupsi Salah satu agenda FOSTRA berikutnya adalah mempublikasikan dan mensosialisasikan seluruh rangkaian hasil diskusi yang membahas hasil-hasil analisis APBD, baik bersama pihak ekspert, birokrasi maupun DPRD. Hal ini dianggap penting mengingat keberadaan FOSTRA sebagai kumpulan ormas yang peduli terhadap proses perencanaan dan penganggaran. Talk show yang dilakukan pada malam hari ternyata menjadi media yang cukup strategis untuk mengkampayekan anggaran daerah, hal ini terbukti dengan antusias publik dengan banyaknya pertanyaan dan masukan terhadap nara sumber.
Talk show Radio dengan melibatkan nara sumber DPRD dan eksekutif.
12 | P a g e
Talk show radio dilaksanakan 5 kali (Desember 2010) di Radio Bhasa FM 93,1 KHz. Materi talk show antara lain, sosialisasi keberadaan FOSTRA sekaligus diskusi proses penganggaran daerah dengan menghadirkan nara sumber anggota FOSTRA, tim program FITRA Jatim, anggota DPRD, birokrasi, tokoh ormas serta kalangan akademisi. Talk show yang dilakukan pada malam hari ternyata menjadi media yang strategis mengkampayekan anggaran daerah. Antusiasme publik tercermin dari beragamnya pertanyaan dan masukan terhadap nara sumber. Dukungan publik juga muncul terhadap advokasi yang dilakukan oleh FOSTRA dan berharap akan penyelesaian berbagai keluhan masyarakat terkait banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten Situbondo. Publik berharap FOSTRA bisa ikut mendorong Kabupaten Situbondo bebas dari Korupsi. I. Dinamika Politik : Menempatkan SKPD sebagai Mitra Pemetaan aktor dan kepentingan juga mewarnai dinamika politik pelaksanaan inisiatif program di Kabupaten Situbondo. Peran yang diambil oleh ketua DPRD Kabupaten Situbondo di dalam program CSIAP II ini lebih menjadi mediator antara masyarakat sipil yang diwakili oleh kelompok spasial, kelompok sektoral, kelompok komunitas, organisasi berbasis agama serta lembaga swadaya masyarakat, dengan eksekutif (pemerintah daerah) dan legislatif (DPRD), sekaligus mendorong agar keputusan yang dianalisa bersama oleh CSO, Legislatif dan eksekutif pada akhirnya menjadi sebuah kebijakan. Pelatihan-pelatihan melalui forum ini, diakui secara signifikan meningkatkan pengetahuan anggota FOSTRA tentang anggaran. Bahkan beberapa orang yang duduk sebagai presidium telah mampu melakukan analisis anggaran dan melakukan advokasi (lobby) secara personal kepada SKPD dan DPRD serta melakukan pendampingan musrenbang desa. Beberapa orang juga secara mandiri menyebarluaskan pengetahuan dan ketrampilannya dalam komunitas-komunitas masing-masing. Untuk membuka akses terhadap informasi anggaran lebih luas, sekretariat FOSTRA memasang papan informasi anggaran yang terbuka diakses oleh masyarakat. Presidium FOSTRA yang berasal dari ormas perempuan juga mengakui bahwa kerja Fitra Jatim telah memberikan pengetahuan dan kesadaran baru tentang anggaran. Kegiatan FOSTRA memfasilitasi anggota-anggota untuk merancang, mengkaji dan merencanakan aksi mempengaruhi kebijakan. Hasil-hasil kajian tersebut kemudian dikirimkan ke eksekutif dan legislatif. FOSTRA juga memiliki forum diskusi bulanan yang biasa disebut cangkruan, hanya sayangnya diakui masih belum maksimal. Forum-forum kajian yang dilakukan FOSTRA seringkali juga menjadi media tempat mereka berdiskusi dengan pengambil kebijakan. Peningkatan kapasitas yang dilakukan Fitra Jatim kepada FOSTRA juga terbukti mampu membangkitkan kemauan melakukan aksi politik bersama. Beberapa aksi yang dilakukan seperti advokasi peningkatan alokasi ADD, advokasi anggaran Jamkesda dan Boskesda serta advokasi untuk akuntabilitas anggaran. Aksi terakhir ini bertujuan untuk mendorong Pemerintah Kabupaten Situbondo menaati kalender anggaran. Telah muncul perluasan wilayah pendampingan FOSTRA, seperti salah satu presidium FOSTRA yang bertanggung jawab melakukan pendampingan musrenbang di 3 desa, akhirnya melakukan di 10 desa. Permintaan pendampingan muncul dari kepala desa, yang merasa jenuh dengan kegagalan proses perencanaan yang dianggap terlalu panjang dan tak terlalu direkomendasikan pemerintah daerah. Selain itu, ormas perempuan anggota FOSTRA meminta Fitra Jatim memberikan pelatihan pengenalan anggaran kepada perwakilan dari anak cabangnya. Berangkat dari kondisi inilah yang membuktikan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat lokal kepada Fitra Jatim khususnya mengenai isu anggaran cukup tinggi. Kepercayaan tersebut pada akhirnya termanifestasi dalam bentuk kepercayaan warga lokal kepada FOSTRA. 13 | P a g e
Keaktifan dan ketrampilan presidium FOSTRA dalam hal anggaran memberikan kepercayaan positif kepada Fitra Jatim. Kepercayaan yang tumbuh dari kemampuan staf lapangan Fitra Jatim dalam mengasuh jaringan baru ini, memberikan peningkatan kapasitas sekaligus membuka ruang melakukan exercise dalam advokasi kebijakan anggaran.
Komitmen Bersama : Antara CSO dan Eksekutif-Legislatif Momen politik yang dianggap menjadi pendorong keberhasilan inisiatif program adalah hubungan dengan stakeholder yang terbangun sangat baik, khususnya dengan SKPD, yaitu Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan, serta Sekretariat DPRD. Relasi yang terbangun seolah tanpa batas, mengingat kehadiran Fitra Jatim dan FOSTRA mampu menjadi ―partner‖ bagi SKPD ini ketika berhadapan dengan DPRD utamanya dalam proses penganggaran. Kemampuan analisis anggaran yang dimiliki Fitra Jatim maupun FOSTRA sangat berpengaruh dalam menumbuhkan mutual trust diantara kedua elemen ini (baca : CSO dengan pemerintah). Sinergi advokasi Fitra Jatim dengan FOSTRA selama dua tahun di tingkatan eksekutif, telah berhasil mengadvokasi ADD, alokasi anggaran untuk Jamkesda dan advokasi untuk akuntabilitas anggaran. SKPD khususnya dinas kesehatan menempatkan CSO, --dalam hal ini Fitra Jatim dan MBOs FOSTRA sebagai mitra kerja. Kepala Dinas Kesehatan berperan sebagai mediator antara CSO dan MBOs dengan lembaga eksekutif dan legislatif di Kabupaten Situbondo. Pada suatu kesempatan, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Situbondo menawarkan FOSTRA untuk menurunkan 4 indikator MDGs yang menjadi mandat dinas kesehatan, dengan tujuan mengakselerasi pelaksanaan MDGs khususnya dalam sektor kesehatan. Hal ini dilakukan karena staf dinas kesehatan tidak ada tupoksi untuk memformulasikan indikator MDGs ini. Upaya melakukan engagement dengan eksekutif / pemerintah daerah (baca SKPD dan sekretariat dewan di atas) tampak cukup berhasil, begitu pula engagement dengan berbagai ormas, sehingga sejauh ini tidak ada resistensi pada kegiatan Fitra Jatim maupun FOSTRA. Pendekatan engagement yang konstruktif berhasil mendorong pemerintah daerah setempat untuk lebih transparan. Walaupun diakui juga, pemda juga memiliki strategi yang lebih canggih dalam menghadapi advokasi FOSTRA serta belum terdorong seratus persen untuk lebih akuntabel dalam pengalokasian anggaran.
14 | P a g e
Berangkat dari kondisi ini, proses engagement dalam advokasi anggaran diproyeksikan dilakukan dengan top leader kabupaten, yakni Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Situbondo. Hanya saja, yang dirasakan menjadi hambatan pelaksanaan inisiatif adalah kepemimpinan lokal baru (bupati) hasil pemilukada yang dinilai kurang memiliki komitmen mengedepankan kebijakan pro poor dan pro gender. Hingga saat ini, MBOs FOSTRA telah mampu memperluas jaringan di 6 kecamatan dari 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Situbondo. Perluasan ini sekaligus dijadikan upaya pengawalan musrenbangdes secara lebih baik. Selain menumbuhkan FOSTRA, Fitra Jatim telah menumbuhkan forum-forum lain yang mendinamisir sekaligus mewadahi partisipasi warga lokal Situbondo, seperti forum KARAT dan Cangkir Lepek. J. Dampak : Menjadi Partner Masyarakat Dampak bagi penerima manfaat dari pelaksanaan inisiatif program. Bagi masyarakat, kehadiran advokasi yang dilakukan Fitra Jatim dan FOSTRA telah menyadarkan kalangan warga lokal untuk sadar kebijakan termasuk dalam ―membaca‖ anggaran yang pro poor dan pro gender. Ormas-ormas perempuan anggota FOSTRA menginginkan agar sekolah anggaran mengalami perluasan jangkauan yang menyentuh persoalan/ isu pendidikan dan kesehatan terkait perempuan dan anak. Kehadiran CSO Fitra Jatim dan FOSTRA telah dianggap menjadi partner masyarakat untuk menuntut kebijakan yang berorientasi pada pengentasan kemiskinan mengingat keprihatinan warga lokal atas kondisi Situbondo yang jauh tertinggal di bandingkan kabupaten lain di Jawa Timur ditilik dari IPM, angka harapan hidup, angka buta huruf, angka partisipasi sekolah, dan lain sebagainya. FOSTRA masih diyakini mampu memperluas pelibatan tokoh-tokoh dari beragam kelompok yang peduli pada pengentasan kemiskinan dan kesetaraan gender, seperti menggandeng penggerak PKK, GOW, FKT dan FKP (PNPM) dalam setiap advokasi kebijakan. Proses advokasi dari Fitra Jatim dan FOSTRA yang sifatnya mendorong perubahan kebijakan alokasi anggaran, advokasi terhadap ranperda transparansi dan partisipasi masyarakat, ranperda pelayanan kesehatan dan ranperda penyelenggaraan pendidikan, dianggap sebagai dampak yang sangat diharapkan oleh masyarakat lokal setempat, meski, advokasi alokasi anggaran terkadang belum mampu mengejar prosentase tertentu anggaran namun teralokasinya anggaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan masih senantiasa diperjuangkan. Bagi eksekutif, dampak pelaksanaan inisiatif lebih dirasakan oleh SKPD terutama dinas kesehatan, dinas pendidikan, serta DPRD termasuk anggota DPRD Kabupaten Situbondo komposisi terbaru yang berjumlah 53 orang (7 anggota lama dan 45 anggota baru). Dampak pelaksanaan CSIAP terhadap SKPD lebih ditunjukkan dengan sifat keterbukaan eksekutif untuk mengakses informasi serta dokumen. Hal ini memudahkan bagi MBOs dan CSO bermitra dengan pemerintah dan legislatif untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada masyarakat terutama masyarakat miskin. Selain itu dampak langsung bagi SKPD dan DPRD yaitu memberikan nuansa dan pengetahuan baru untuk membuat perencanaan anggaran dan belanja daerah yang responsif terhadap masalah sosial-ekonomi masyarakat Situbondo. Dampak secara tidak langsung dirasakan SKPD terutama skill (keahlian) dalam perencanaan dan penyusunan anggaran yang pro-poor. Dampak inisiatif ini dilihat dari adanya penambahan dana program dan kegiatan di Tahun 2011 pada Dinas Kesehatan yaitu sebesar Rp. 1,2 milyar untuk alokasi pengobatan di puskesmas. Perubahan lain terkait optimalisasi pelayanan kesehatan berupa diterbitkannya Jaminan Kesehatan Situbondo (JAMKESIT). Komunikasi antara aktor (dalam hal ini masyarakat, pemerintah daerah dan DPRD) mampu terjembatani dengan posisi netral sehingga pengambilan kebijakan bisa dilakukan 15 | P a g e
secara kolektif dengan melibatkan berbagai aktor tersebut. Keberhasilan CSO dan MBOs didalam mengadvokasi tersebut tidak terlepas dari sikap netralitas para anggota yang tergabung dalam Fitra dan FOSTRA disertai dengan semangat dan kekompakan para anggotanya untuk mengadakan perubahan di Kabupaten Situbondo. Selain itu, SKPD yang terlibat dalam insiatif program ini merasa bertambah pengetahuannya, terutama dalam hal penganggaran, termasuk penentuan pagu dalam penyusunan anggaran. Dengan adanya keterbukaan dari pihak SKPD terhadap CSO dan MBOs, maka komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat dianggap telah terjalin baik dan masyarakat dianggap sudah mulai mengerti anggaran termasuk dalam membuat perencanaan bagi dirinya sendiri. K. Kesimpulan Inisiatif program yang dijalankan di Kabupaten Situbondo adalah penguatan kapasitas CSO dan MBO terhadap penganggaran daerah. CSO yang menjalankan adalah Fitra Jatim yang kemudian mendorong pembentukan FOSTRA (Forum Situbondo untuk Transparansi Anggaran). Sinergi advokasi Fitra Jatim dengan FOSTRA, telah berhasil mengadvokasi ADD, alokasi anggaran untuk Jamkesda dan advokasi untuk akuntabilitas anggaran. Momen politik pendorong keberhasilan inisiatif program adalah hubungan stakeholder yang terbangun baik, khususnya dengan SKPD, yaitu Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan, serta Sekretariat DPRD. Relasi yang terbangun seolah tanpa batas, mengingat kehadiran Fitra Jatim dan FOSTRA mampu menjadi ―partner‖ bagi SKPD ketika berhadapan dengan DPRD utamanya dalam proses penganggaran. Kemampuan analisis anggaran yang dimiliki Fitra Jatim maupun FOSTRA sangat berpengaruh dalam menumbuhkan mutual trust diantara elemen eksekutif, legislatif dan masyarakat. L. Menyiasati Hambatan dan Menatap Tantangan Diakui atau tidak, dalam pelaksanaan program yang dilaksanakan FOSTRA kerap menemui hambatan. Misalnya hambatan internal kapasitas tim dalam memahami persoalan perencanaan dan penganggaran. Peniadaan atas hambatan ini membutuhkan proses konsolidasi dan penguatan tim pelaksana program dimana muaranya tetap berpengaruh terhadap dimulainya program. Misal, program yang seharusnya dilaksanakan pada Maret, namun April baru bisa start program. Selain itu, proses konsolidasi administrasi seperti penataan sekretariat juga menjadi salah hambatan molornya pelaksanaan program. Tak hanya itu, dalam pelaksanaan program secara eksternal tantangan yang dihadapi justru banyak ditemui dari kalangan birokrasi pemerintahan daerah. Pola pikir yang masih tertutup dari pemerintahan daerah,-- khususnya dari pihak eksekutif --, serta kondisi pemerintahan yang tidak stabil karena Bupati terkena kasus korupsi, menjadikan keberadaan program dicurigai. Beberapa anggota FOSTRA bahkan dianggap bagian dari anggota KPK yang akan mengungkap atau mencari penyimpangan, sehingga kalangan birokrasi enggan membuka diri. Sulitnya aksesbilitas dokumen menjadikan hambatan dalam pelaksanaan program ini di Situbondo makin serius. Dalam pelaksanaan program, misalnya, beberapa kali pengajuan permohonan secara resmi untuk mendapatkan dokumen, ditolak dan dipersulit birokrasi. Akhirnya untuk menyiasati mendapatkan dokumen perencanaan dan penganggaran memakai jalan belakang dengan memanfaatkan kedekatan tim program dengan salah satunya anggota DPRD yang akomodatif dengan kegiatan FOSTRA.
16 | P a g e
BOKS I : Ketua DPRD Kabupaten Situbondo, Zeiniye, S.Ag : Memberikan Pengetahuan bagi Anggota Dewan
―Inisiatif CSIAP II yang diimplementasikan oleh FOSTRA dan FITRA Jatim diakui oleh Ketua DPRD Kabupaten Situbondo memiliki manfaat bagi banyak pihak. Dari hasil wawancara Penulis terungkap bahwa peran yang diambil Ketua DPRD Kabupaten Situbondo di dalam program CSIAP II ini adalah menjadi mediator antara masyarakat sipil yang diwakili oleh kelompok spasial, kelompok sektoral, kelompok komunitas, organisasi berbasis agama serta lembaga swadaya masyarakat, dengan eksekutif (pemerintah daerah) dan legislatif (DPRD), serta mendorong agar keputusan yang dianalisa bersama oleh CSO, Legislatif dan eksekutif pada akhirnya menjadi sebuah kebijakan. ―Program CSIAP II mempunyai manfaat baik secara langsung dan tidak langsung. Ada dua penerima manfaat langsung yang pertama yaitu SKPD terutama dinas kesehatan dan dinas pendidikan. Yang kedua yaitu DPRD. Dampak secara langsung program CSIAP II ini juga dinikmati oleh anggota DPRD Kabupaten Situbondo yang berjumlah 53, 7 anggota lama dan 45 anggota DPRD baru. Sedangkan penerima manfaat secara tidak langsung adalah masyarakat secara luas yang diadvokasi melalui advokasi kebijakan pemerintah yang berperspektif pro-poor dan pro-gender‖, ungkapnya. Dampak pelaksanaan CSIAP terhadap SKPD adalah sifat keterbukaan eksekutif yang ditunjukkan dengan keterbukaan akses informasi dan dokumen. Hal ini memudahkan FOSTRA sebagai CSO untuk bermitra dengan pemerintah dan legislatif untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada masyarakat terutama masyarakat miskin. Selain itu dampak langsung bagi SKPD dan DPRD yaitu memberikan nuansa dan pengetahuan baru untuk membuat perencanaan anggaran dan belanja daerah yang responsive terhdp masalah sosial-ekonomi masyarakat Situbondo.
17 | P a g e
BOKS II : Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Situbondo, DR. Budiawan DS, M.Kes : Anggaran Kesehatan yang Bertambah
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Situbondo, Program CSIAP yang diimplemantasikan oleh FOSTRA adalah peningkatan program untuk menyentuh masyarakat secara langsung terutama pendanaan di bidang kesehatan. Selain sebagai mitra kerja CSO, Kepala Dinas Kesehatan juga berperan sebagai mediator antara CSO dan MBOs dengan lembaga eksekutif dan legislatif di Kabupaten Situbondo. Inisiatif yang dilakukan FOSTRA mempunyai dampak secara langsung pada masyarakat miskin yang di advokasi. Sedangkan dampak secara tidak langsung dirasakan oleh SKPD terutama skill (keahlian) dalam perencanaan dan penyusunan anggaran yang propoor. ―Dampak dari inisiatif ini bisa dilihat dari adanya penambahan dana program dan kegiatan di 2012 di Dinas Kesehatan yakni sebanyak 1,2 milyar rupiah untuk alokasi pengobatan di puskesmas‖, ungkapnya. Perubahan lainnya yaitu semakin optimalnya pelayanan kesehatan terutama terkait dengan diterbitkannya Jaminan Kesehatan Situbondo (JAMKESIT). Dampak secara umum inisiatif dari FOSTRA adalah komunikasi antara aktor (masyarakat, pemerintah dan DPRD) mampu terjembatani dengan posisi netral sehingga pengambilan kebijakan bisa dilakukan secara bersama dengan melibatkan berbagai aktor tersebut diatas. Keberhasilan FOSTRA di dalam mengadvokasi tidak terlepas dari sikap netralitas para anggota yang tergabung dalam FOSTRA disertai dengan semangat dan kekompakan para anggotanya untuk mengadakan perubahan di Kabupaten Situbondo.
18 | P a g e
BOKS III: Kepala Bappeda Kabupaten Situbondo, Drs. H. Saifullah : Pencerahan Baru
―Kegiatan yang dilakukan FITRA, dimulai dari diskusi dan FGD mengenai permasalahan sosial-ekonomi di Kabupaten Situbondo sungguh memberikan manfaat bagi masyarakat. Saya sendiri mengikuti proses perencanaan mulai dari tingkat dusun samapi tingkat kabupaten dan forum SKPD yang kesemaunya ada juga pendampingan dari FOSTRA‖, ungkapnya. Peran kepala bapeda terkait dengan program CSIAP II adalah memfasilitasi kegiatan dari CSO FITRA serta mensupport data-data kabupaten yang dibutuhkan oleh CSO. Menurut Kepala Bappeda, penerima manfaat inisiatif ini adalah SKPD karena mereka yang diasistensi oleh FOSTRA. Secara tidak langsung manfaat dari inisiatif ini adalah masyarakat secara keseluruhan yang akan menerima dampak dari kebijakan pemerintah. Dampak dari program CSIAP II ini terhadap SKPD yaitu bertambahnya pengetahuan baru, karena mereka merasa mendapat pencerahan baru untuk penganggaran terutama dalam hal penentuan pagu penyusunan anggaran dan pagu indikatif. Sedangkan dampak secara umum adalah adanya komunikasi timbal balik antara pemerintah dan rakyat karena masyarakat sendiri sudah mulai mengerti anggaran dan membuat perencanaan. Menurut Kepala Bappeda Kabupaten Situbondo, faktor pendorong keberhasilan dari inisiatif CSIAP II adalah adanya dukungan dari pemerintah, terutama keterbukaan pemerintah dalam menerima keberadaan FOSTRA. Hanya, ada beberapa catatan dan saran yang diperuntukkan untuk kegiatan-kegiatan FOSTRA kedepannya. ―Pertama, Koordinasi dengan semua SKPD. Kedua, menjalin hubungan baik dengan Bupati karena political will bupati sangat menentukan arah kebijakan yang akan diambil, selain itu SKPD bertindak atas arahan dari Bupati. Ketiga, materi tidak hanya focus dengan masalah penganggaran tapi bagaimana mencari solusi praktis terkait dengan pengentasan kemiskinan dan meningkatkan ekonomi masyarakat‖, tandasnya.
19 | P a g e
BOKS IV : Agus Ari Cahyadi, Warga : Kemampuan Membaca Anggaran Bagi masyarakat, kehadiran advokasi yang dilakukan Fitra Jatim dan FOSTRA telah menyadarkan kalangan warga lokal untuk sadar kebijakan termasuk dalam ―membaca‖ anggaran yang pro poor dan pro gender. Ormas-ormas perempuan anggota FOSTRA menginginkan agar sekolah anggaran mengalami perluasan jangkauan yang menyentuh persoalan/ isu pendidikan dan kesehatan terkait perempuan dan anak.
20 | P a g e
21 | P a g e