Menuju Generasi Hindu yang Sadar Budaya Lokal dalam Dinamika Kehidupan Masyarakat Global* Oleh : Miswanto**
Mingkar mingkuring angkara Akarana karênan mardi siwi Sinawung résmining kidung Sinuba sinukarta Mrih krêtarta pakartining ngélmu luhung Kang tumrap néng tanah Jawa Agama agêming aji Terjemahan: Menghindarkan diri dari angkara, Bila akan mendidik putra, Dikemas dalam keindahan tembang, Dihias agar tampak indah, Supaya tujuan ilmu luhur ini tercapai, Kenyataannya, di tanah Jawa, Agama dianut Raja. (Serat Wedatama, I.1, Mangkunegara IV)
Purwaka Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya. Beragam budaya dengan segala keunikannya tumbuh subur dan berkembang di negeri ini. Namun demikian kekayaan budaya itu tidak menjadikan negeri ini menjadi negeri yang benar-benar “berbudaya”. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir, negeri yang dahulu dikenal dalam bahasa pewayangan sebagai negara yang tata, titi, tentrem, kerta tur raharja ini kini sedang mengalami berbagai “gejolak kebudayaan” yang nantinya bermuara pada krisis kebudayaan. Hal ini sebagaimana terungkap dalam banyak media, mimbar dan diskusi tentang kebudayaan di mana akibat gerilya kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia telah membuat kebudayaan asli terancam punah (Miswanto,2007:56). Tak terkecuali budaya Jawa yang selama ini dikenal sebagai budaya adi luhung juga mengalami proses pralaya ke alam sunya. Tradisi berbahasa Jawa, keberaksaraan (aksara Jawa), pakaian Jawa, tembang Jawa, penggunaan nama Jawa, perhitungan Jawa, ritual Jawa dan sebagainya kini sudah banyak yang luntur dan ditinggalkan oleh generasi penerusnya. Sebagai gantinya kini mereka malah lebih enjoy memakai perangkat kebudayaan asing yang notabene kurang sesuai dengan corak budaya masyarakat Jawa. Fenomena itu setidaknya dapat memberikan gambaran tentang lemahnya kebudayaan Jawa. Apa yang pernah disampaikan oleh seorang pujangga Jawa zaman dahulu yang kemudian menjadi suatu unen-unen (semacam ungkapan) "ela elo cina walanda kari sajodho, wong Jawa kari separo" nampaknya menjadi suatu kenyataan. Ungkapan ini menurut Soedarsono (1985:191) merupakan keniscayaan budaya Jawa yang dahulunya dominan terhadap budaya asing. Keadaan ini menurut Damami (2002 : 70) lebih banyak disebabkan oleh lemahnya manajemen pengelolaan penggalian budaya Jawa. Hindu sebagai agama universal sangat care dengan keberlangsungan budaya-budaya lokal. Perhatian besar Hindu ini pun tertuang dalam petikan kitab Manu Småti II.6 yang berbunyi : vedae_i:alae DaMaR MaUl& SMa*iTa Xaqle c taiØ&/ ) AacarêEv SaDauNaMaaTMaNaSTauiírev c/ ))
Terjemahan : Weda Úruti adalah sumber pertama daripada dharma, kemudian Småti, adat istiadat dan tingkah laku dari orang suci, juga tata cara peri kehidupan orang suci dan terakhir adalah kepuasan pribadi (Pudja & Sudharta,2002:62). *
Makalah disampaikan pada Seminar Kebudayaan dalam rangka Sabha Widya II KPHDS Kabupaten Banyuwangi di Pura Agung Blambangan, 24-25 Desember 2010. ** Penulis adalah Dosen STHD Klaten, Guru Agama Hindu di SMAN 2 Batu, Wartawan Media Hindu, Aktif sebagai Duta Dharma di wilayah Propinsi Jawa Timur, Wakil Sekretaris II PHDI Kabupaten Banyuwangi, Penulis buku-buku bernuansa Hindu dan Budaya Jawa, Kini sedang menempuh S2 Pendidikan Agama Hindu di Unhi Denpasar. Page 1 of 5
Dari sloka di atas maka tidak salah jika Hindu adalah agama bersifat sanatana dan nùtana (fleksibel dengan budaya lokal dan perkembangan jaman tanpa harus kehilangan esensi kebenarannya yang hakiki). Diantara agama-agama besar di dunia, Hindu pula yang paling banyak memberikan perhatian terhadap keberadaan budaya-budaya lokal di manapun Hindu itu berada. Lebih-lebih budaya Jawa yang memang secara historis tidak bisa lepas dari nilai-nilai filosofis Hindu. Bahkan ketika Islam menguasai tanah Jawa pun, nilai-nilai ajaran Hindu tetap mengakar dalam nafas kebudayaan Jawa (Miswanto,2009:1). Generasi muda Hindu (yuwana) yang nantinya mengemban tugas penting dalam memajukan Hindu ke depan perlu memahami konsep ini dan fenomena budaya sebagaimana yang telah disinggung di muka. Oleh karena itulah, pada kesempatan ini penulis ingin menyumbangkan ideide konstruktif untuk menuju generasi muda Hindu yang sadar budaya lokal dalam dinamika kehidupan masyarakat global sebagaimana yang tertulis dalam judul makalah ini. Problematika Generasi Muda Hindu dalam Krisis Global Di penghujung abad ke-20, dunia menghadapi krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan. Untuk pertama kalinya manusia dihadapkan pada ancaman kepunahan rasa manusia yang nyata dan semua bentuk kehidupan di planet ini (Capra,2004:3). Krisis yang digambarkan oleh Fritjof Capra ini merupak refkeksi kegelisahan dan kecemasan manusia atas kemanusiaannya karena manusia merasa telah dijajah oleh pengetahuannya sendiri. Manusia merasa terhimpit dalam menghadapi berbagai perubahan zaman yang tanpa pernah disadari bahwa perubahan itu diciptakannya sendiri dalam beraneka ragam tindakan. Hal ini dapat ditelusuri dalam kegelisahan para pemikir barat sejak masa kosmosentris, teosentris, hingga antroposentris, yakni ketika manusia menyadari posisi sentralnya. Gambaran itu sebenarnya pernah dialami oleh Pujangga Jawa, Ki Rongowarsito dan dipaparkan dalam Serat Kalatidha 1. Dalam sebuah tembang Sinom beliau mengatakan :
Terjemahan : Keadaan negara waktu sekarang, sudah semakin merosot. Situasi (keadaan tata negara) telah rusak, karena sudah tak ada yang dapat diikuti lagi. Sudah banyak yang meninggalkan petuahpetuah/aturan-aturan lama. Orang cerdik cendekiawan terbawa arus Kala Tidha (jaman yang penuh keragu-raguan). Suasananya mencekam. Karena dunia penuh dengan kerepotan. Ungkapan perasaan dari Ki Ronggowarsito tersebut senada dengan gambaran krisis global yang melanda negeri ini sebagaimana telah disinggung di atas. Hal ini disebabkan karena sudah banyak orang yang meninggalkan petuah-petuah lama akibat terbawa arus Kala Tidha. Generasi muda Hindu sebagai bagian dari subjek dan objek peradaban itu juga terkena imbas dari krisis global tersebut. Terlebih sebagai manusia yang masih labil, penuh dengan gejolak jiwa dan ego emosional mereka dihadapkan masalah yang cukup rumit. Realitas sosial yang menunjukkan adanya degradasi moral di kalangan generasi muda seperti pada beberapa kasus kenakalan remaja, misalnya : penggunaan narkoba, seks bebas dan sebagainya (Yoga Segara,2002:8). Fenomena tersebut pada dasarnya diakibatkan oleh pengaruh budaya Barat yang masuk ke Indonesia secara bebas dan telah “lulus sensor”. Akibat “cinta terlarang” antara peradaban Barat dan Timur di Indonesia itulah yang kemudian menghasilkan “anak haram” berupa masalah-masalah sosial budaya yang bermuara pada degradasi moral di kalangan generasi muda. Permasalahan itu dengan sendirinya juga menjadi tantangan tersendiri bagi generasi muda Hindu untuk dapat mempertahankan budaya lokal yang ada. Keberadaan “anak haram” tersebut sudah barang tentu tidak sesuai dengan budaya lokal yang ada di Indonesia terutama budaya Jawa. Hal ini sebagaimana terungkap dalam sebuah ajaran leluhur Jawa yang dikenal sebagai Pañca Krëti di mana orang Jawa harus bertindak sesuai dengan trapsila, ukara, sastra, susila, dan karya (Herusatoto,2001:82). Page 2 of 5
Generasi yang Sadar Budaya Lokal dalam Dimensi Global Tidak semua peradaban asing itu jelek. Masih ada budaya-budaya luar yang sesuai dengan budaya Bangsa Indonesia. Dan budaya lokal yang ada di daerah-daerah sebagai aset kebudayaan bangsa sendiri juga ada yang tidak sesuai dengan jaman. Di sinilah pentingnya proses-proses kebudayaan seperti adaptasi dan akulturasi. Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk masalah yang satu ini. Apalagi untuk memadukan dua dimensi yang sering kali bertentangan. Dimensi lokal lebih bersifat stagnan, sementara itu dimensi global lebih bersifat dinamis. Namun demikian, kedua dimensi itu bukan berarti tidak bisa ketemu. Nyatanya, asam yang ada di gunung dan garam yang ada di laut toh juga bisa ketemu dan hasilnya luar biasa enak. Inilah yang bisa dijadikan sebagai bahan kajian bagi generasi Hindu untuk menjadi generasi yang sadar akan budaya lokal dalam dinamika masyarakat global. Selain itu apa yang pernah dikemukakan oleh Mahatma Gandhi nampaknya perlu dijadikan sebagai referensi khusus bagi generasi Hindu. Dalam sebuah kesempatan Mahatma Gandhi mengatakan “think globally but act locally”. Dari pernyataan Gandhi ini tersirat bahwa seseorang walaupun sudah memiliki wawasan global tetap harus menghargai local wisdom (kearifan lokal). Jika dikaji lebih jauh sebenarnya banyak local wisdom dalam masyarakat Jawa yang tidak kalah dengan pemikiran-pemikiran Barat baik yang bersifat modern maupun postmodern. Bahkan pemikiran-pemikiran postmodernisme (pasca modernism) disinyalir banyak mengadopsi pemikiran-pemikiran local wisdom yang berasal dari Timur. Oleh karenanya sebagai generasi agama sekaligus generasi budaya, kita tidak seharusnya malu untuk nguri-nguri kebudayaan leluhur yang telah diwariskan secara turun-temurun itu. Disinilah pentingnya eksistensi generasi muda Hindu yang sadar budaya lokal dalam peradaban masyarakat global. Sadar budaya lokal bukan berarti tidak mengikuti perkembangan jaman. Tetapi sadar budaya lokal justru harus bisa menjadikan budaya lokal tersebut mampu bersaing dalam peradaban global. Generasi muda yang sadar budaya lokal harus bisa berenangrenang di atas budaya lokal tanpa harus tenggelam di dalamnya. Wawasan sadar budaya yang perlu dibangun tidak harus hanya berorientasi pada masa lampau, namun yang penting dan lebih penting adalah pada keseimbangan dalam transmisi keluhuran masa lampau, realitas faktual masa kini dan peluang serta tantangan masa depan. Perspektif wawasan sadar budaya perlu dimaknai sebagai: penguatan nilai luhur lokal, pengembangan nilai baru melalui keterbukaan yang selektif, serta pemberdayaan individu dan kolektif dalam kompetisi global untuk harmoni, kesetaraan dan kesejahteraan. Menuju Generasi Muda Hindu yang Sadar Budaya Lokal Agama Hindu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berbuat di jalan dharma. Bagi anak (anak muda) yang masih menempuh masa Brahmacari, maka kewajiban untuk menjalankan swadharma itulah merupakan kewajiban yang utama. Úrì Kåûóa mengajarkan kepada Àrjuna untuk sebisa mungkin melaksanakan swadharma dengan baik sebagaimana tersurat dalam Bhagawad Gìtà XVIII.47 yang berbunyi : é[eYaaNSvDaMaaeR ivGau
aaviNaYaTa& k-MaR ku-vRàaPanaeiTa ik-iLbzMa( ))
Terjemahan : Lebih baik dharmanya sendiri (swadharma) walaupun tak sempurna melakukannya daripada dharma orang lain walaupun sempurna pelaksanaannya. Karena orang tak akan melakukan dosa bila melakukan dharmanya sendiri yang ditentukan oleh sifatnya sendiri (Maswinara,2008:478). Sloka di atas mengamanatkan agar seseorang bisa menjalankan swadharma-nya dengan baik dan tidak perlu untuk mencampuri swadharma orang lain. Hal ini sesuai dengan konsep filosofinya yang dimulai dari tahapan swabhawa (keberadaannya sendiri), swakarma (kegiatannya sendiri) dan swadharma (dharmanya sendiri). Landasan ini pula yang menjadikan guóa karma seseorang dalam kehidupannya di dunia ini. Terkait dengan permasalahan sadar budaya lokal tersebut di atas, maka generasi muda Hindu harus bisa memahami swabhawa, swakarma dan swadharma mereka sebagai generasi penerus Hindu. Swabhawa mereka adalah sebagai generasi yang lahir dari peradaban. Swakarma mereka menjalankan roda peradabannya. Dan terakhir swadharma mereka adalah menjaga roda peradaban itu sendiri. Jika hal ini sudah tertanam dalam jiwanya maka niscaya tidak akan ada krisis kebudayaan sebagaimana telah dijelaskan di muka.
Page 3 of 5
Lebih jauh Sarasamuúcaya 27 menyatakan :
Terjemahan bebas : Karenanya perilaku seseorang; hendaknya digunakan sebaik-baiknya pada masa muda, selagi badan masih kuat, hendaklah dipergunakan untuk usaha menuntut dharma, artha dan ilmu pengetahuan, sebab tidak sama kekuatan orang tua dengan kekuatan anak muda; contohnya ialah seperti ilalang yang telah tua itu menjadi rebah, dan ujungnya itu tidak tajam lagi (Kadjeng,dkk.,1997:24) Amanat yang bisa dipetik dari kutipan Sarasamuúcaya di atas adalah bahwa selagi usia masih muda, selagi badan masih kuat, selagi masih ada kesempatan maka seseorang harus selalu berusaha untuk menuntut dharma, artha (kekayaan) dan widya (ilmu pengetahuan). Dharma sendiri dapat dimaknai sebagai : úìla, yajña, tapa, dàna, prawrajyà dan yoga. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pustaka Wåhaspati Tattwa 25 yang menyebutkan :
Terjemahan : Perbuatan mulia yang bertujuan baik (sìlacàra), melaksanakan pemujaan api (yajña), menjadi wiku atau diksita, melakukan tapa brata (tapa), memberikan sedekah (dàna), mengembara untuk siar agama (prawrajyà), melaksanakan samadhi (yoga). Itulah beberapa macam dari Dharma (Putra dan Sadia,1998:21). Berdasarkan petunjuk Wåhaspati Tattwa di atas, maka melaksanakan dan menjaga úìlàcàra (adat istiadat yang baik atau kearifan lokal) adalah salah satu bagian dharma yang wajib dilaksanakan. Bagi generasi muda Hindu ini merupakan amanat atau swadharma yang harus dijalankan. Lagi pula menjaga amanat dari para leluhur itu merupakan suatu perbuatan yang sangat mulia. Budaya lokal atau kearifan lokal adalah satu-satunya warisan leluhur yang tidak termakan oleh waktu. Bung Karno, The Founding Father pun menegaskan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah. Dengan menjaga warisan peradaban tersebut maka kita sudah ikut menghargai sejarah. Dan menurut Suúàstra Hindu perilaku seperti ini merupakan perilaku yang utama. Keutamaan bagi mereka yang berbakti terhadap leluhurnya dijelaskan dalam Sàrasamuçcaya 251 sebagai berikut :
Terjemahan : Akan pahala hormat bakti terhadap orang tua (leluhur), adalah empat jenis hal yang bertambah, perinciannya : kirti, ayusa, bala, yasa; kirti artinya pujian tentang kebaikan, ayusa, artinya hidup, bala artinya kekuatan, yasa artinya peninggalan yang baik itulah yang bertambah sempurna sebgai pahalannya (Kadjeng,1997:187-188). Dalam Kakawin Ràmàyaóa hal tersebut dicontohkan oleh Raja Dasaratha sebagaimana tertulis dalam Sargah I.3 yang berbunyi : Terjemahan : Inilah kelebihan dari Raja Daúaratha, Beliau tahu semua Weda, selalu berbakti kepada Dewa dan tidak lupa kepada para leluhurnya, juga cinta kepada semua sanak saudara dan rakyatnya (Yogiúwara,1990:1-2). Dari sloka yang menggunakan pupuh sronca di atas diketahui bahwa seseorang yang paham akan Weda maka dia pun akan selalu berbakti kepada para Dewa (Tuhan), leluhur (orang tua) dan cinta kepada semua orang. Dengan demikian maka umat Hindu yang menjadikan Weda sebagai sumber pertama dan utama sebagaimana disinggung di muka, sudah seharusnya pula meneladani apa yang terkandung dari Kakawin Ràmàyaóa di atas.
Page 4 of 5
Di Jawa konsep bakti kepada leluhur dikenal dengan istilah anglëluhuri melalui sebuah sesanti pisungsung mikul dhuwur mëndhëm jëro. Bagi generasi yang berbakti kepada leluhur ini dikatakan sebagai anak anung anindita selaras dengan konsep suputra dalam ajaran agama Hindu. Berpijak pada konsepsi di atas maka pembinaan diri terhadap generasi muda mutlak diperlukan. Bahkan jika memungkinkan pembinaan diri itu sudah harus dimulai dari masa prenatal (Lodra,2005:16), tepatnya ketika ia masih dalam gua garbha sang biyung. Getaran-getaran jiwa yang dialami sang ibu ketika hamil akan diteruskan kepada sang bayi yang dikandungnya. Oleh karena itu tidak salah jika pembinaan anak seyogyanya diawali sejak masa prenatal. Bagi generasi muda Hindu yang kini sudah ada di alam fana ini, menjadi tanggung jawab bersama antara orang tua, guru agama Hindu, para tokoh Hindu dan umat Hindu itu sendiri untuk melaksanakan pembinaan terhadap mereka. Terlebih lagi untuk mengenalkan budaya-budaya lokal yang mempunyai nilai adi luhung tersebut. Sebagaimana penulis untaikan dalam manggala tulisan ini yang mengutip Serat Wedatama I.1 di atas, maka pendekatan yang paling efektif adalah melalui tembang (seni) atau unsur-unsur keindahan (estetika). Tontonan juga termasuk di dalamnya. Untuk itu perlu disuguhkan kepada generasi kita tontonan yang bermuatan tuntunan. Di Jawa pentransformasian nilai-nilai budaya melalui tontonan ini dapat dilihat pada pertunjukan wayang yang mengambil cerita “Mahàbharata dan Ràmàyaóa” sebagai sastra lakonnya. Dengan begitu maka, generasi muda kita tidak akan kehilangan warisan budaya dari para leluhurnya. Wasana Wakya Menyimak semua penjelasan di atas, maka dapat ditarik benang “sutra” bahwasanya untuk membangun kesadaran generasi muda Hindu dalam nguri-nguri budaya lokal dalam dimensi ruang dan waktu yang global ini perlu adanya perhatian dari semua pihak baik keluarga, masyarakat, guru (sekolah), PHDI dan sebagainya. Pembinaan terhadap mereka pun juga harus dimulai sedini mungkin (lebih dini lebih “mini” tantangannya, lebih lambat lebih berat pula tantangannya). Selanjutnya untuk memperkenalkan budaya leluhur kepada anak-anak atau anak muda diperlukan kesabaran dan sikap telaten sebagaimana karakter budaya Jawa itu sendiri. Transformasi budaya dari satu generasi ke generasi pun memerlukan waktu yang cukup panjang ibarat evolusi kehidupan itu sendiri. Hal ini selaras dengan salah satu sesanti di Jawa yang menyebutkan “alonalon waton kelakon”. Daftar Pustaka Capra, Fritjof. 2004. Titik Balik Peradaban. Jakarta:Djambatan. Damami, Mohammad. 2002, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, Yogyakarta:LESFI. Herusatoto, Budiono. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:Hanindita. Kadjeng, I Nyoman, dkk. 1997. Sàrasamuçcaya dengan Teks Bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno. Surabaya:Paramita. Lodra, I Wayan. 2005. “Pembinaan Generasi Muda Hindu sebagai Generasi Penerus”. Warta Hindu Dharma No. 464 September 2005. Denpasar:PHDI Pusat. Maswinara, I Wayan. 1997. Śrīmad Bhagavad Gītā, dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Surabaya:Pāramita. Miswanto. 2007. “Mengapa Kau Jual Jawaku, Jiwaku, Juwitaku?”. Media Hindu No.45 Nopember 2007. Jakarta:Media Hindu. ________. 2009. Esensi Falsafah Jawa bagi Peradaban Umat Hindu. Surabaya:Paramita. Pudja, Gede dan Tjokorda Rai Sudharta. 2002. Manawa Dharma Śāstra, Compendium Hukum Hindu. Jakarta:Pelita Nursatama Lestari. Putra, I.G.A.G. dan I Wayan Sadia. 1998. Våhaspati Tattwa. Surabaya:Pāramita. Soedarsono. 1985. Keadaan dan Perkembangan Bahasa, Sastra, Etika, Tatakrama dan Seni Pertunjukan Jawa, Bali dan Sunda, Yogyakarta:Depdikbud. Yoga Segara, Nyoman. 2002. “Problematika Keagamaan Generasi Muda”. Warta Hindu Dharma No.427 September 2002. Denpasar:PHDI Pusat. Yogiúwara, Mpu. 1990. Kakawin Ràmàyaóa. Denpasar:Pemerintah Propinsi Bali.
Page 5 of 5