MEMAHAMI TOKOH CHARLIE DALAM FILM THE PERKS OF BEING A WALLFLOWER MELALUI KONSEP BEING FOR-OTHER PADA EKSISTENSIALISME JEAN-PAUL SARTRE Gilang Prima Jurusan Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
[email protected]
ABSTRAK Kita tidak sendirian di dunia ini: ada orang lain. Kita hidup bersama dengan the Other. Ketika saya menghadapi the Other, saya merasa terasing sebagai the Other karena dia mengenal saya sebagai objek dalam dunianya. Analisis dari tatapan memungkinkan Sartre untuk menjelaskan bagaimana kehadiran the Other secara radikal dan fundamental mempengaruhi dunia saya dan diri saya, karena saya diobjektifikasi oleh the Other dan merasa terasing, hubungan dengan orang lain akan terdistorsi: konflik adalah inti dari hubungan kita dengan orang lain. Bagi Sartre, "Neraka adalah orang lain!" Bahkan cinta suatu hubungan yang mungkin kita pikir merasa aman dari konflik, tetaplah berujung dengan konflik. Charlie dalam film The Perks of Being a Wallflower merupakan sebuah contoh realitas atas pemahaman eksitensialisme Jean-Paul Sartre. Charlie memiliki pengalaman buruk yang menyebabkannya tidak lagi percaya dengan relasi antar individu. Menyadari hal itu, hidupnya semakin sulit untuk dijalani. Charlie berkeinginan untuk memiliki kehidupan yang selayaknya mahkluk sosial, namun kekhawatiran Charlie timbul ketika ia memutuskan kembali untuk memulai kembali menjalin relasi dengan orang lain. Setelah menghadapi permasalahan eksistensialnya, Charlie pun bisa merubah pandangannya terhadap dunia sosial, melampaui bad faith-nya dan bisa memaknai arti kehidupan orang lain sebagai hal yang positif baginya. Sesaat itu Charlie menemukan otentisitas dalam dirinya.
Kata Kunci: the Other, objektifikasi, tatapan, relasi, bad faith, pemaknaan, otentisitas
1 Memahami tokoh..., Gilang Prima, FIB UI, 2014
ABSTRACT We are not alone in this world: there are others. We live together with the Other. When I face the Other, I feel alienated as the Other because he knew me as an object in the world. Analysis of gaze allows Sartre to explain how the presence of the Other is radically and fundamentally affect my world and myself, because I was objectified by the Other and feel alienated, relationships with others will be distorted: the conflict is at the core of our relationships with others. For Sartre, "Hell is other people!" Even love - a relationship which we think may feel safe from the conflict, still lead to conflict. Charlie in The Perks of Being a Wallflower is an example of the reality of understanding existentialism of Jean-Paul Sartre. Charlie had a bad experience that caused it no longer believes the relationships between individuals. Realizing this, the more difficult to live his life. Charlie wants to have a life of proper social creatures, but Charlie concerns arise when he decided to return to restart a relationship with another person. After confronting existential issues, Charlie was able to change his view of the social world, surpassed his bad faith and could interpret the meaning of other people's lives as a positive thing for him. A moment that Charlie find authenticity in himself.
Keywords
: the Other, objectification, the look, relation, bad faith, meaning, authenticity
PENDAHULUAN
Film adalah hasil seni dan budaya manusia yang divisualisasikan melalui media audiovisual seperti televisi, internet, dan bioskop. Sebagai bagian dan sebuah karya sastra, film merniliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan, yaitu sebagai media komunikasi antara sang pembuat film dengan penontonnya. Film sebagai thought experiment menyampaikan pesan melalui alur dan konflik yang dibangun dalam jalinan cerita. Kemudian pesan tersebut diterirna dan didefinisikan oleh para penonton melalui interpretasi mereka masing-masing. Dalam menginterpretasikan pesan yang terkandung dalam sebuah film, pernahaman yang telah dimiliki sebelumnya (prior knowledge) berperan aktif dalam mernahami pesan yang ingin disampaikan oieh sang pembuat film kepada penonton. Selain itu, film juga merefleksikan kehidupan suatu masyarakat di masa lalu, masa sekarang bahkan di masa depan, yang dikemas melalui konsep cerita yang sengaja dibuat untuk kepentingan hiburan, pendidikan, sarana penyebarluasan kebudayaan, dan lain sebagainya. Diasumsikan bahwa film dapat menjadi sarana pendidikan yang mengajarkan masyarakat untuk mengetahui lebih banyak hal tentang kehidupan dan mengungkap segala sesuatu yang tak dapat diungkap dalam dunia nyata (Thought Economics. 2011). Namun demikian, film 2 Memahami tokoh..., Gilang Prima, FIB UI, 2014
menurut kacamata saya merupakan media yang tepat untuk mengungkap realitas yang telah, sedang dan akan terjadi di dalam kehidupan sekaligus sehagai sarana refleksi diri. Hal inilah yang kemudian memuncul ide saya untuk membahas film The Perks of Being a Wallflower. Film yang berdurasi 102 menit ini memiliki ide cerita yang dapat merangsang kita untuk dapat bersikap optimis dalam menjalani hidup. Namun, sebagian orang mungkin tidak menyadari pesan tersebut melalui penokohan Charlie. Oleh sebab itu melalui skripsi ini saya akan menyampaikan pesan yang tidak terungkap tersebut melalui analisis tokoh Charlie dalam film The Perks of Being a Wallflower dengan menggunakan kajian filsafat eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Hal ini didasari oleh alasan bahwa film merupakan sarana yang tepat untuk menampilkan realitas kehidupan melalui proses pengemasan yang sangat unik dan kreatif sehingga mampu merangsang imajinasi manusia untuk memahami kehidupan. Selain itu. alasan saya untuk menggunakan pemikiran eksistensialisme Sartre dalam penulisan skripsi ini adalah karena Sartre merupakan filsuf eksistensialisme yang mengharapkan kita untuk menjadi manusia yang otentik, hidup tanpa “keyakinan buruk” dan bertanggung jawab atas semua pilihan kita. Namun pemikiran Sartre yang sangat pesimis dan negatif atas relasi kita dengan individu lain mengharuskan analisis saya semakin mendalam terhadap film ini. Alasan-alasan inilah yang kemudian direpresentasikan melalui penokohan Charlie dalam film The Perks of Being a Wallflower. Charlie dalam film tersebut merupakan representasi individu yang menjalani kehidupannya dalam serangkaian proses pencapaian eksistensi dengan mengatasi permasalahan eksistensialnya berdasarkan pemikiran Sartre. Tokoh Charlie dalam film The Perks of Being a Wallflower diceritakan memiliki problema hidup yang cukup berat. Charlie memiliki latar belakang kehidupan yang buruk membuatnya menjadi pribadi yang tertutup. Pada awalnya Charlie hanyalah anak pemalu dengan trauma masa kecil, yang kemudian memilih menjadi “pengamat” daripada berpartisipasi dengan berelasi dengan orang lain. Hal ini lah yang menjadikan dirinya menjadi seorang eksistensialis. Charlie bereksistensi melalui cara mengatasi rasa traumanya, memaknai faktisitas akan masa lalunya dan bertransformasi menjadi eksistensialis terhadap masa depannya. Sebagai tokoh utama dalam film ini maka penekanan seorang individu eksistensialis akan dijabarkan melalui penokohan Charlie. Film ini menyuguhkan begitu banyak isu dalam kehidupan remaja mulai dari persahabatan sejati, toleransi terhadap hal-hal non-konformis, pelecehan, kisah cinta remaja, menjadi diri sendiri, ikatan persaudaraan dan kasih sayang keluarga, pengorbanan, keterbukaan pribadi, dan yang paling penting adalah bahwa kita semua berhak memiliki kebahagiaan dalam hidup untuk dinikmati, because we are infinite. 3 Memahami tokoh..., Gilang Prima, FIB UI, 2014
Charlie, seorang remaja berusia 15 tahun yang gugup pada hari pertamanya sekolah di jenjang yang baru. Pada dasarnya Charlie memang remaja yang cerdas namun mudah gugup, pemalu dan pasif. Hal ini ditambah dengan kematian sahabatnya Michael beberapa bulan menjelang ia bersekolah di SMA. Charlie mengatasi rasa gugupnya ini dengan menulis surat pada sahabat penanya. Ia menuliskan apa saja yang terjadi dan beberapa pendapatnya yang tidak mungkin ia ungkapkan kepada orang lain secara langsung. Dengan bercerita kepada sahabat penanya ia merasa hidupnya lebih tenang dan bisa sedikit merasa nyaman. Pada suatu hari Charlie berkenalan dengan senior di sekolahnya yakni Patrick dan Sam yang merupakan kakak beradik beda ayah dan ibu. Dengan Patrick dan Sam lah Charlie mulai belajar bergaul dengan orang lain. Tak hanya itu, lewat Patrick dan Sam, Charlie juga mulai belajar hal-hal yang selama ini tidak pernah ia lakukan seperti seks dan obat-obatan. Pada akhirnya Charlie belajar banyak hal mengenai dirinya sendiri dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Semakin banyak ia belajar tentang apa yang ia lihat dan ia alami, semakin ia bertumbuh dewasa. “So, this is my life. And I want you to know that I am both happy and sad and I'm still trying to figure out how that could be.”
Sayangnya, masalah Charlie tidak lantas selesai begitu saja. „Penglihatan‟ kejadiankejadian masa lalu yang menyakitkan masih sering muncul secara tiba-tiba dan mengganggunya. Ditambah lagi masalah dengan teman-temannya, yang membuatnya sadar bahwa persahabatan tak selalu mudah. Apa yang kemudian terjadi pada Charlie? Apa yang sebenarnya pernah terjadi pada Charlie kecil dan berhasilkah ia mengatasi traumanya? Film ini menggambarkan bagaimana seorang remasa bertransformasi, dari seseorang yang takut untuk menghadapi dunia menjadi remaja yang bersemangat untuk menikmati masa mudanya. Film ini memperlihatkan permasalahan anak muda, seperti ketidaknyamanan, seks, obat-obatan terlarang, sampai persoalan jati diri. Pengalaman buruk yang pernah dialami Charlie sejak masa kecil melatarbelakangi kepribadian Charlie ketika beranjak dewasa. Trauma yang dimilikinya menjadi faktor yang mempengaruhi perilakunya. Sifat tertutup yang dimilikinya akibat hal tersebut cukup membuat Charlie kesulitan menghadapi hidup. Pengalaman eksistensial yang dialaminya seperti rasa malu dan kecemasan yang berlebihan terhadap lingkungan yang membuatnya merasa hidupnya sudah tidak memiliki makna lagi, membuat dirinya harus menjadi seorang 4 Memahami tokoh..., Gilang Prima, FIB UI, 2014
eksistensialis yang tangguh. Setelah melewati masa sulit Charlie akhirnya bisa meghadapi dan mendapatkan solusi pada permasalahan eksistensialisnya, dan dengan lantang ia mengatakan bahwa "we are infinite". PEMBAHASAN Charlie memiliki problem dalam dirinya sendiri. Faktor yang melatarbelakanginya membuatnya sangat grogi untuk bisa menghadapi segala sesuatu hal di luar kemungkinannya. Charlie menyebutkan bahwa dirinya ingin memiliki teman, karena menurutnya ia akan bisa bertahan hidup apabila hidup bersama teman yang tentu bisa memahaminya. Menurut Sartre, pandangannya mengenai relasi kita dengan the Other hanyalah berbuah pada suatu konflik “The essence of the relations between consciousnesses…is conflict. Tidak ada dalam hubungan tersebut yang beratmosfir positif. Walaupun Charlie sudah mendapatkan teman di sekolahnya, Charlie tetap mendapatkan masalah baru yang timbul dari mereka. Inilah yang dimaksud Sartre bahwa relasi kita dengan individu lain hanyalah berbuah permasalahan. Penulis melihat bahwa problematika yang dimiliki Charlie sangat menarik untuk dibahas. Hal inilah yang akan dkupas dengan menggunakan pisau bedah eksistensialisme Sartre. Sartre mengatakan bahwa keterlemparan kita pada dunia adalah suatu keniscayaan yang harus kita jalani. Tugas manusia adalah memberikan makna pada diri kita dalam menghadapi keterlemparan tersebut. Charlie memiliki situasi yang tidak menyenangkan, yang mengharuskannya mengubah hidupnya menjadi lebih berarti. Dalam kondisi bad faith ini lah yang membuat Charlie untuk bertransformasi menuju manusia yang otentik. Namun dalam prosesnya tidak semudah itu, tentu problem eksistensial ini yang mengharuskan manusia menunjukkan ke-macho-annya. Kehadiran Charlie di sekolahnya membuat dirinya sangat teralienasi dengan lingkungan barunya, tidak ada yang ia kenal, tidak ada yang ingin berteman dengan Charlie. Charlie pun memiliki pandangan bahwa dirinya bukanlah seseorang yang bermakna bagi orang lain disekitarnya. Justru Charlie mendapati banyak pengobjekan dengan tatapantatapan orang disekitarnya dan semakin membuatnya tidak percaya diri. Kepribadian Charlie yang tertutup dan pendiam sudah sangat jelas terlihat dalam kebiasaanya menulis surat pada anonim untuk mencurahkan segala pikirannya. Charlie merasa dengan melakukan hal tersebut ia nyaman dengannya karena Charlie menganggap orang tersebut bisa mendengarkan dan mengertinya. Charlie memohon pada teman penanya untuk tidak membayangkan bagaimana Charlie sebenarnya. Charlie hanya menginginkan 5 Memahami tokoh..., Gilang Prima, FIB UI, 2014
bahwa orang seperti itu benar-benar ada. Karena dia tidak akan berpikiran macam-macam bahwa Charlie adalah seseorang yang aneh yang hanya menghabiskan waktunya di rumah sakit karena problematika psikologisnya. Charlie berharap dia tidak apa-apa menceritakan semuanya pada teman penanya. “Dear Friend, I am writing to you because she said you listen and understand and didn't try to sleep with that person at that party even though you could have. Please don't try to figure out who she is because then you might figure out who I am, and I don't want you to do that. I just need to know that people like you exist. Like if you met me, you wouldn't think I was the weird kid who spent time in the hospital. And I wouldn't make you nervous.”
Di sekolahnya, pada saat jam makan siang, Charlie hanya bisa makan sendiri sambil membaca buku sebagai alibi ada teman yang menemaninya sambil melihat ke sekitar dengan tatapannya yang penuh harapan untuk bisa berbaur dengan orang lain. Charlie merasakan ketidaknyamanan dalam posisi sebagai orang yang tidak bermakna di sekolahnya. Dirinya merasa semakin aneh ketika melihat ekspresi wajah orang di sekitarnya melihat dirinya. Seperti dalam kejadian di kelas Bahasa Inggrisnya, di hari pertama sekolahnya itu, Mr. Anderson, memulai perkenalan dirinya dan dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan pembukaan mengenai pengetahuan umum. Tidak satupun murid mengangkat tangannya untuk bisa menjawab pertanyaannya. Hanya Charlie yang tahu jawabannya diantara semua murid dikelasnya, tetapi ia tidak berani menjawab, karena beranggapan bahwa dirinya hanyalah seseorang yang introvert, pemalu dan tidak memiliki rasa percaya diri- walaupun sebenarnya ia adalah anak yang cerdas, terlebih hal yang ia takutkan pada teman-teman di kelasnya akan berpikiran macam-macam pada dirinya. Dalam obrolan singkatnya seusai kelas tersebut berakhir, Mr. Anderson menyarankan Charlie unuk bisa berpartisipasi dalam dunia sosial. Mr. Anderson: “You should learn to participate”. Guru Bahasa Inggris Charlie tersebut mengungkapkan sedikit mengenai apa yang sudah dia ketahui mengenai kepribadian Charlie. Charlie pun sedikit merasa gugup dan depresi akan hal tersebut, karena ia berpikiran bahwa tidak ada orang yang dapat dipercayainya. Charlie masih belum bisa mendapatkan sisi terang, sisi positif dari relasi bersama the Other. Keadaannya yang seperti itu membuatnya beranggapan bahwa the Other merupakan ancaman baginya. Dia takut the Other akan menilai dirinya secara overgeneralization. Sartre begitu besar mencurahkan perhatiannya pada orang lain sebagai faktisitas kebebasan kita. Betapa orang lain selalu dipandang sebagai objek pengamatan kita, dan dengan perlakuan ia 6 Memahami tokoh..., Gilang Prima, FIB UI, 2014
bukan subjek. Padahal keberadaan orang lain adalah subjek yang memasuki dunia pribadi kita. Hal yang terjadi pada Charlie adalah ia selalu mendapati dirinya sebagai objek oleh orang-orang disekitarnya. Pandangan the Other mengubah kita menjadi objek. Objektivikasi itu kejam, sebab membuat kebebasan kita terhenti. Jelaslah kiranya yang dimaksudkan Sartre adalah orang lain menistakan kita sebagai eksistensi. Dan Sartre menganggap bahwa “orang lain adalah kematian yang tersembunyi dari kemungkinan-kemungkinanku.” Selain itu, menurutnya, jika ada yang bertanya tentang neraka, jawabannya “orang lain adalah neraka”. Faktor inilah yang membuat Charlie tidak berani muncul dalam kehidupan sosial. nKetika Charlie menyadari bahwa dirinya memiliki permasalahan yang mengharuskan dirinya untuk segera memiliki teman, dia berusaha untuk mewujudkannya dengan meyakinkan dirinya untuk bisa merubah keadaan pada dirinya. Berikutnya Sartre membahas “the look”. Hal yang penting untuk dicatat bahwa "the look", yaitu, relasi yang dilihat oleh the Other. Charlie merasakan bahwa dunianya merupakan ancaman baginya. Tatapan individu lain yang melihat dirinya semakin membuat Charlie merasa rendah diri. Cara yang ia lakukan dalam menghadapi dunianya, dengan menuliskan surat, merupakan jalan alternatif untuk menghadapi tatapan dari the Other.
Charlie sebagai being for-itself
Sahabat pena sebagai being in-itself
Gambar 1 Relasi yang sebenarnya hanya satu arah Dalam bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa relasi yang terjadi antara Charlie dengan sahabat penanya hanyalah bersifat satu arah. Dengan kata lain Charlie hanya merefleksikan dirinya sendiri dengan menuliskan segala yang terjadi pada dirinya. Sahabat pena yang selaku sebagai being in-itself sekaligus sebagai benda mati yang tidak memiliki 7 Memahami tokoh..., Gilang Prima, FIB UI, 2014
kesadaran. Oleh karena itu, dalam hal ini Charlie tidak perlu merasakan kecemasan dan ketakutan akan sahabat penanya. Sebab tak mungkin ia menstruktur eksistensinya. Charlie tidak akan merasakan rasa malu atas kehadirannya. Menurut Sartre, “I am ashamed of myself as I appear to the Other (Sartre, 1965: 302.)”. Dan Charlie tidak perlu memikirkan hal tersebut karena sahabat penanya bukanlah the Other dalam dunianya. The Other bebas untuk memberi makna apapun untuk tindakan saya. Sebagai foritself, the Other bebas memberi makna apapun untuk yang dia lihat. Penglihatan „look’ the Other memberitahu saya suatu hal bahwa saya tidak memiliki kontrol atas bagian dari diri saya sendiri: keberadaan saya akan orang lain secara ketat ditentukan oleh orang lain. Saya adalah objek di antara the Others dan memiliki makna tertentu dalam dunia the Other, dan tidak ada yang bisa saya lakukan. Kehadiran the Other membuat segalanya tergelincir; saya menjadi objek dan dunia saya hancur karenanya. Situasi keberadaan the Other tersebut yang menjadikan kita dalam situasinya. Charlie sangat menyadari akan kehadiran the Other baginya merupakan sebuah ancaman. Tetapi di sisi lain Charlie ingin mempunyai teman yang bisa menjadi teman curahan yang nyata. Walaupun pada saat makan siang dia menghindari bertemu dengan orang lain dan pada saat Homecoming Party di sekolahnya dia hanya bisa menyendiri di sudut ruangan sebenarnya Charlie ingin berpartisipasi dalam dunia sosial. Charlie ingin menunjukkan bahwa dirinya bisa berubah, terlebih ingin menunjukkan pada orang tuanya bahwa dirinya bisa bersosial agar orang tuanya tidak khawatir akan dirinya. Charlie berusaha menutupi segala kecemasan dan ketakutannya terhadap orang lain dan lingkungannya. Charlie ingin bisa mengatasi permasalahannya dengan memiliki teman. tak disengaja memang Charlie bertemu dengan seseorang yang periang dan menyenangkan, yaitu Patrick. Charlie berharap dengan berteman seperti Patrick akan membuatnya menjadi lebih baik dengan pengaruh temannya yang menyenangkan. Ide dasarnya adalah bahwa saya, melalui "shock of the encounter with the Other", bisa datang untuk menyadari bahwa tubuh saya, sedang dilihat dan dievaluasi oleh the Other sebagai objek. Untuk kata lain, saya mulai mengerti bahwa tubuh saya, saya pernah mengalami subjektivitas murni, memiliki sisi objektif. Tubuh saya, yang telah menyederhanakan aku, bukan menjadi "a thing outside my subjectivity, in the midst of a world which is not mine (Sartre, 1965: 462)". Saya mengalami diri sebagai terasing dari tubuh saya. Sebagai contoh keterasingan tersebut, Sartre menawarkan analisis rasa malu. Orang pemalu kadang-kadang akan menjelaskan keadaan mereka dengan mengklaim bahwa mereka merasa diri mereka mulai memerah atau berkeringat, tapi Sartre mengklaim bahwa 8 Memahami tokoh..., Gilang Prima, FIB UI, 2014
ekspresi seperti itu tidak akurat. Menurut Sartre, "is that he is vividly and constantly conscious of his body not as it is for him but as it is for the Other ". Hal tersebut yang dimaksud Sartre adaah kita tidak dapat melakukan mengindentifikasi diri kita melalui diri kita sendiri; to see ourselves as we are (Sartre, 1965: 463)". Dengan demikian kita menemukan diri kita sepenuhnya dari the Other, untuk itu hanya melalui tampilan the Other yang bisa kita akses untuk objektivitas kita sendiri. Label “wallflower” yang disandangnya membuatnya merasa “awkward” ketika harus tampil dihadapan orang lain. Orang lain bagaikan cermin dari diri kita, dimana akan terlihat dari reaksi ketika berinteraksi dengan kita. Di sekolahnya, Charlie lebih cenderung untuk menjadi “invicible”. Charlie tidak ingin dunianya terenggut oleh orang lain. Charlie yang menyandang label “wallflower” membuat dirinya teralienasi dalam kehidupannya, membuat dirinya menjadi antisosial. Charlie lebih memilih berinteraksi dengan being yang tidak mengancam dirinya, yakni sahabat penanya. Dengan menuliskan surat ia tidak merasa khawatir dengan identitas dirinya; karena Charlie tidak akan bertemu secara konkret dengan sahabat penanya. Dalam kehidupan barunya setelah ditinggal oleh sahabat yang sekaligus teman satusatunya, Charlie merasa terpuruk dan memiliki efek samping pada kehidupannya untuk menjadi pribadi yang tertutup. Ia belum bisa menaruh kepercayaan pada orang lain untuk menjalin hubungan dalam konteks interaksi sosial. Maka dari itu Charlie lebih memilih untuk menjadi pribadi yang tertutup. Sekalipun ia haru bertemu dengan orang lain ia menutup identitas yang sebenarnya dengan bersikap seperti layaknya tidak memiliki masalah, berpurapura dalam kebohongan. Charlie menjadi pribadi yang antisosial. Suatu perubahan yang diinginkannya telah Charlie lakukan. Charlie mencoba untuk bisa berinteraksi dengan dunia sosialnya. Kehidupan Charlie berangsur berubah ketika ia diterima oleh teman-temannya dalam komunitasnya. Semenjak itu Charlie merasa bisa mengatasi problem eksistensialnya. Charlie mendapatkan objektifikasi dirinya dari teman-temannya. Pada saat Charlie diajak untuk diperkenalkan pada teman-teman Patrick di rumah Bob, Patrick mengumpulkan teman-temanya untuk bersulang dan menyambut Patrick si pemalu „the wallflower’ sebagai teman baru di kelompoknya.
9 Memahami tokoh..., Gilang Prima, FIB UI, 2014
Charlie dalam Kondisi Bad Faith Ketika Charlie memiliki keinginan untuk merubah hidupnya, ia menyatakan pada dirinya bahwa “I have to turn things around”. Pada momen itu Charlie menyadari bahwa ada nothingness
dalam
dirinya.
Dalam
keadaan
manusia
yang
dihadapkan
dengan
problematikanya, manusia harus dengan segera melampaui keadaan buruknya, bad faith. Keadaan Charlie yang sebelumnya memang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Fakta bahwa Charlie sudah ditinggal mati oleh sahabat dan bibinya membuat Charlie sangat terpuruk selalu meratapi dengan nasibnya yang seperti itu. Hal tersebut yang seperti Sartre katakan, bad faith, ketika manusia tidak dapat mengatasi permasalahannya dan hanya bisa menyalahkan segala hal di luar dirinya. Suatu pengakuan yang dinyatakan pada dirinya sendiri menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan sebagai subjek yang otonom. Proses becoming dimana Charlie ingin keluar dari kondisi kelamnya, bad faith, merupakan suatu kontingensi menurut Sartre. Manusia sering kali berada dalam kondisi bad faith. Hal tersebutlah yang mengharuskan manusia untuk terus bereksistensi menjadi manusia yang otentik. Ketika Charlie ingin menunjukkan ingin berubah, Charlie tidak berani melibatkan diri dan berpartisipasi dalam dunia sosial. Tetapi justru yang ia lakukan ialah dengan menghindarinya; dengan cara menganggap bahwa hari pertama sekolahnya sebagai tahun terakhirnya dalam sekolah. Hal tersebut menunjukkan bahwa Charlie sebenarnya masih memiliki keraguan dalam dirinya sendiri, membohongi diri sendiri, memanipulasi diri. Karakter seperti itulah yang dimaksud Sartre sebagai manusia yang tidak otentik. Apa yang dimaksud dengan manusia otentik adalah dengan berani menentukan pilihan hidupnya guna melawan segala keterpurukannya, mampu melampaui dirinya sendiri; bertransendensi menuju semangat hidup. Pun ketika Charlie berusaha untuk bersosialisasi dengan lingkungannya, Charlie lebih memilih di zona nyamannya. Pada saat di sekolah Charlie hanya berusaha untuk menyapa orang-orang yang pernah ia ketahui sebelumnya, seperti kakaknya sendiri, teman SMP-nya dan teman kakaknya. Meskipun sudah berusaha melawan kecanggungannya, Charlie tetap gagal karena dalam dirinya sendiri Charlie tidak memiliki keyakinan yang kuat dan keteguhan hati yang sungguh untuk bisa berinteraksi dengan mereka; dan memang karena mereka tidak ingin berinteraksi dengan orang yang tidak populer, pemalu dan aneh seperti Charlie. Hal ini masih menunjukkan bahwa Charlie masih dalam keadaan bad faith karena ia
10 Memahami tokoh..., Gilang Prima, FIB UI, 2014
masih belum bisa menemukan otentisitasnya dari dirinya; masih takut dengan segala hal yang di luar kemungkinan dan kemampuan dirinya. Pada saat di kelas seni, ia diperlihatkan tingkah konyol dari seniornya, Patrick. Saat itulah ketertarikan Charlie pada orang yang asing di kehidupan barunya. Charlie merasa bahwa ada rasa empati ketika Patrick dijuluki “nothing” oleh gurunya akibat dari tingkahnya di kelas. Charlie mengerti sekali bahwa yang dilakukan Patrick semata-mata hanya ingin menghibur teman-teman juniornya agar tidak tegang menghadapi hari pertama sekolahnya. Semenjak kejadian itu Charlie berusaha membukakan dirinya untuk ingin terlibat dalam interaksi sosial. Hal yang mendorong Charlie untuk ingin berteman pada Patrick adalah karena adanya rasa yang sama ketika merasa diri kita sendiri sebagai pecundang di kehidupan kita. Motovasi ini yang membuat Charlie ingin bisa berteman dan mungkin bisa saling berbagi keluh-kesah masing-masing. Pada saat pertandingan futbol, Charlie menemukan Partrick kembali diejek temannya dengan memanggilnya „nothing’ dan memberanikan diri untuk menyapanya. Charlie melakukan hal tersebut karena memang ia ingin merubah hidupnya dengan bisa memiliki teman. Respon yang baik dari Patrick membuat Charlie sedikit lega untuk bisa mengobrol dengan orang yang baru dikenalnya. Dalam konteks zona aman tersebut, Charlie masih mempertahankan kecemasannya dalam dunia sosial. Ia tidak ingin dunianya terganggu oleh orang lain. Dengan berteman dengan manusia yang memiliki kesamaan pada dirinya, Charlie berharap bahwa hidupnya tidak akan menjadi suatu permasalahan baru dengan adanya orang yang asing di kehidupan barunya. Keadaan semakin kondusif bagi Charlie ketika mereka bisa pergi ke kafe untuk santap malam bersama. Charlie sangat menunjukkan antusiasnya dalam perkenalannya. Namun, Charlie bertindak bodoh dengan berbohong demi bisa berinteraksi dengan temannya. Charlie menutupi dirinya dengan cara tersebut; walaupun dengan tanpa maksud untuk menyinggung temannya. Kondisi inilah yang menjelaskan bahwa Charlie masih dalam keadaan bad faith, membohongi dirinya, terjebak dalam lingkungannya. Dari tatapan temannya pun Charlie merasa dirinya terancam karena ia tidak ingin identitasnya diketahui oleh orang lain bahwa dirinya memiliki masalah dalam hidupnya. Tatapan memang sebuah akses dari the Other untuk memasuki dunia kita. Dari hal tersebut the Other dapat menstruktur eksistensi kita, melakukan judgement atas diri kita. Charlie berusaha menutup kemungkinan itu dengan cara berbohong. Namun hal tersebut tidak menunjukkan bahwa manusia adalah subjek otentik; karena ia tetap hidup dalam kecemasan. Seiring
dengan
berjalannya
waktu,
teman-temannya
lulus
sekolah
dan
mengharuskannya meninggalkan Charlie yang masih duduk di kelas satu menjelang naik 11 Memahami tokoh..., Gilang Prima, FIB UI, 2014
tingkat. Charlie sangat senang bisa melihat teman-teman baiknya bisa lulus dan mendapatkan sekolah lanjutnya sesuai impiannya masing-masing. Charlie turut merasakan kebahagian mereka. Di balik itu semua, Charlie merasa cemas dan ketakutan akan kehilangan temanteman terbaiknya, khususnya Sam. Charlie mendapatkan kembali ingatan masa lalunya bersama bibi Helen. Charlie merasa kacau kembali dengan keadaanya karena dia akan ditinggal oleh orang yang ia cintai. Ia merasakan hal yang sama ketika ia ditinggal pergi oleh bibi Helen. Charlie beranggapan bahwa kepergian semua orang yang disayanginya itu disebabkan oleh kesalahannya. Charlie merasa sangat-sangat depresi. Merasa Charlie sudah tidak kuat akan depresi dan traumanya, Charlie pun berusaha ingin bunuh diri untuk menghilangkan rasa bersalahnya dan ketakutannya. Ketakutan atau kecemasan menurut Sartre merupakan pengalaman di mana individu merasa “di luar kemungkinan-kemungkinan dirinya”. Dengan kata lain, individu takkan merasa takut atau cemas bilamana segala sesuatunya, terlebih dirinya sendiri berada di dalam kendalinya (baca: kemungkinannya), dan hal tersebut tentu akan berkebalikan bilamana kondisi yang melingkupinya berlaku pula sebaliknya—segala sesuatu berada dalam kendalinya. Setidaknya, Sartre mengidentifikasi beberapa hal yang menyebabkan timbulnya pengalaman eksistensial yang satu ini. Pertama, kebebasan. Menurutnya, manusia lebih cenderung lari dari kebebasannya ketimbang menghadapinya. Kondisi yang demikian tak ubahnya sebagai bentuk penipuan diri atau bad faith. Charlie merasa hidupnya sudah tidak bermakna lagi. Ia akan mengakhiri eksistensinya. Mendapati esensi di akhir hidupnya bahwa ia tidak bisa hidup tanpa orang yang ia sayangi. Charlie mendapatkan hal nausea yang sudah tidak dapat ia tahan lagi. Sampai sebelum semuanya berakhir, Charlie sempat diselamatkan oleh kakaknya yang sudah menghubungi polisi untuk mendatangi Charlie di rumahnya. Charlie segera dibawa ke rumah sakit. Charlie langsung ditangani oleh dokter ahli kejiwaan. Di sana Charlie mengungkapkan semuanya apa yang terjadi padanya. Dokter berhasil membuatnya berbicara dan pada akhirnya mereka semua tahu, keluarganya dan bahkan diri Charlie sendiri, bahwa Charlie sebenarnya telah membohongi dirinya sendiri. Hal yang dia yakini sebenarnya adalah bahwa orang lain adalah neraka baginya, dia hanya berpura-pura untuk bisa bersosialisasi. Pada akhirnya Charlie mengakui bahwa orang-orang yang didekatnya hanyalah berbuat buruk padanya. Trauma yang dimiliki Charlie membuatnya merasa kehidupannya tidak berarti lagi. Charlie selalu menyalahkan keadaanya, “nasib”-nya. Masa lalunya menghambat proses eksistensi kemanusiaannya. 12 Memahami tokoh..., Gilang Prima, FIB UI, 2014
Charlie menemukan Otentisitas
Manusia adalah entitas yang mudah berada dalam kondisi bad faith. Masih mungkinkah bagi manusia untuk berubah menjadi pribadi yang otentik? Kemungkinan bagi manusia untuk menjadi diri yang otentik tetaplah ada. Hal itu mungkin karena manusia selalu berkeinginan untuk menjadi seorang pribadi, bukan benda atau objek materi belaka. Keinginan ini tidak melulu berdasarkan rasio. Rasio hanyalah instrumen yang memampukan manusia menilai apakah dirinya otentik atau belum. Dengan begitu, kesadaran bahwa dirinya adalah makhluk bebas, bertanggungjawab dalam kehendak untuk menjadi manusia otentik. Manusia, dalam kebebasannya, bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan dunia. Semakin ia mampu memaknai dan membuat nilai-nilai bagi hidupnya sendiri, semakin ia mengarah pada diri yang otentik. “But right now, these moments are not stories. This is happening. I am here. I can see it. This one moment when you know you’re not a sad story. You are alive.” Akhirnya Charlie berhasil melampaui bad faith-nya, menunjukan kebebasannya dalam memberikan makna dalam keterlemparannya. Dari kutipan film tersebut dikatakan bahwa, momen yang sedang dijalani adalah bukan suatu cerita, artinya bukanlah masa lampau, meskipun masa lampau biarkanlah hal tersebut berlalu, karena masa lalu ada faktisitas bagi manusia yang sudah tidak dapat lagi dirubah mau pun dimodifikasi. Masa lalu hanya bisa dimaknai. Momen itu adalah sedang terjadi, happening dan becoming, menunjukkan bahwa segala aktifitas kita memang selalu becoming menuju karakter yang otentik. Menyatakan pada diri sendiri bahwa kita bukanlah “sad story” adalah sebuah penghargaan besar bagi eksistensi diri kita; pengakuan bahwa manusia adalah subjek otonom yang memiliki kehendap bebas dalam pemaknaan di dunia kita.
PENUTUP
Setelah mendalami, merenungi, mengkaji dan membedah seorang tokoh introvert bernama Charlie pada film The Perks of Being a Wallflower melalui perspektif eksistensialisme Jean-Paul Sartre dengan konsep pemikiran Being for-Other, penulis memiliki kesimpulan yang menarik dari film ini. Dari pemikiran Sartre mengenai Being for13 Memahami tokoh..., Gilang Prima, FIB UI, 2014
Other yang membahas apa itu the Other dan bagaimana relasi kita dengan the Other serta Sartre menyimpulkan bahwa Hell Is Other People benar terbukti pada pengalaman hidup Charlie yang dialaminya. Charlie memaknai individu lain sebagai ancaman bagi dirinya. Hal tersebut membuatnya sulit untuk bersosialisasi. Walaupun ia pernah mencoba untuk bersosialisasi, berdamai dengan individu lain, namun ia tetap gagal dan masih berbuah konflik. Sartre begitu kental konsepnya mengenai faktisitas. Sartre mendefinisikan faktisitas sebagai “fakta-fakta” dalam kehidupan manusia yang “tak dapat ditiadakan”. Walaupun kita disebut-sebut sebagai mahluk yang memiliki kebebasan namun faktisitas tersebutlah yang membatasi kebebasan kita. Faktisitas kita dapat dimisalkan dengan tempat dan waktu dimana individu dilahirkan, kondisi fisik bawaan individu semenjak lahir, peristiwa-peristiwa yang pernah dialami, berbagai keputusan yang pernah ditentukan dalam kehidupan dan lain sebagainya. Karena faktisitas tak dapat ditiadakan maka manusia hanya dapat melupakan sejenak, mengolah serta memanipulasinya, atau secara ringkas dan tegas, “memaknainya” kemudian. Hal tersebut mengingat pemahamannya tentang realitas (being in itself) yang tak bermakna sebelum dimaknai oleh suatu kesadaran, yakni manusia. Rentetan pemikiran di atas faktual menghasilkan ekses pemahaman berupa; usaha mencari perihal positif dibalik berbagai hal negatif. Charlie menyadari bahwa dirinya sebagai wallflower; lingkungan dan orang lain adalah suatu faktisitas bagi kebebasan eksistensinya. Kebebasannya untuk mendapati kehidupan sosial yang normal dibatasi oleh hal-hal yang diluar kemungkinannya. Namun, pada akhirnya Charlie bisa mengatasi permasalahan eksistensialnya dengan mengolah faktisitasnya. Menyadari kefaktisitasannya, Charlie mengakui bahwa sebenarnya orang lain di sekitarnya menyayanginya. Artinya Charlie bisa memaknai orang lain di sekitarnya sebagai hal yang positif bagi dirinya. Di satu sisi, Sartre memiliki pandangan tentang betapa masa depan memiliki pengaruh yang lebih besar kerimbang masa lalu. Menurutnya, karena masa lalu telah terjadi dan menemui bentuknya sebagai faktisitas, maka perihal yang dapat dilakukan kemudian adalah sekedar memaknainya. Demi mempertahankan kebebasan diriku, aku harus membendakan orang lain. Artinya kita harus memaknai sebagai yang positif terhadap orang lain. Charlie juga menyadari akan masa depannya yang tidak ingin semuram masa lalunya. Pandangan kebebasan Sartre tampaknya cukup ekstrem karena relasi manusia dengan orang lain justru menimbulkan konflik. Namun, tetap ada unsur positif dari pandangan tersebut. Unsur positif dari kebebasan tersebut terletak pada eksistensi manusia, keberadaan 14 Memahami tokoh..., Gilang Prima, FIB UI, 2014
manusia yang sejati, yang merupakan produk dari perbuatan-perbuatan bebas manusia. Sartre mengungkapkan bahwa menjadi diri kita sendiri hanya mungkin jika kita memilih sendiri dan menentukan sendiri bentuk eksistensi kita. Walaupun kesadaran atau kebebasan tersebut sepertinya „dibebankan‟ pada manusia yang bukan karena pilihannya, manusia tetap memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk mengubah situasi tersebut melalui perbuatan dan usaha yang dipilih dan ditentukan oleh diri manusia sendiri. setiap individu harus untuk selalu “aktif bertindak” dan bersikap optimis dalam kehidupannya. Perihal positif yang termuat didalamnya adalah begitu penting dalam upaya “menggali” dan “mengaktualisasikan” berbagai potensi yang terdapat dalam diri manusia. Charlie bisa mengaktualisasikan eksistensinya untuk perubahan yang jauh lebih baik di masa depan. Sebagai kesimpulan, penokohan Charlie dalam film The Perks of Being a Wallflower memiliki akhir cerita yang tidak dibahas pada pemikiran Sartre mengenai Being for-Other. Setelah menjalani lika-liku perjalanan yang penuh dengan konflik bersama temannya, akhirnya Charlie bisa menemukan bahwa dirinya sejatinya: we are infinite. Terbebas dari segala konflik yang ada dalam batinnya setelah mengubah paradigma apa makna dari sosok orang lain baginya, bahwa Charlie benar-benar membutuhkan mereka. Charlie benar-benar merasakan kenyamanan dalam hidupnya. Semuanya berubah positif padanya. Lalu ia bersumpah, pada momen ini, aku merasa tiada batas I feel infinite. “We can’t choose where we can come from but we can choose where we go from there.” Setiap manusia memiliki batasan-batasan dalam kehidupannya baik dari dalam diri sendiri maupun berasal dari luar (orang lain). Charlie berhasil melewati faktisitasnya: masa traumanya, relasi cintanya dan relasi dengan orang lain dalam hidupnya. Hidup seseorang akan berjalan sejalan dengan bagaimana kita memaknai hidup kita serta relasi kita dengan orang lain sebagai hal yang positif. I don’t know if I will have he time o write any more leters because I might be too busy trying to participate. So if this does end up being the last letter, I just want you to know that I was in a bad place before I started high school. And you helped me… ..Even if you didn’t know what I was talking about. Or know someone who’s gone through it. It made me not feel alone. Because I know there are people who say all of these thins don’t happen. And there are people who forget what it’s like to be 16 when they turn 17… ...I know these will all be stories someday, and our pictures will become old photograph, and we’l become somebody’s mom or dad. But right no, these moments are not stories. This is happening. I am here. I can see it. This one moment when you know you’re not a sad story. You are alive. And this moment, I swear… …we are infinite.” 15 Memahami tokoh..., Gilang Prima, FIB UI, 2014
Hidup adalah sebuah rangkaian pilihan, membuat keputusan dan menjalankannya adalah suatu kiniscayaan yang tak bisa ditolak oleh manusia, namun apa yang orang butuhkan adalah memberi makna pada dirinya dengan setiap pilihan yang dia buat, seseorang harus hidup tanpa membohongi dirinya sendiri. untuk hidup seseorang harus memilih dan mengambil konsekuensinya. Sekiranya pemikiran Sartre mengenai Being for-Other tidak memiliki kesimpulan yang cukup positif. Sartre masih berpandangan bahwa segala relasi hanyalah berupa konflik semata. Namun dalam film ini ditunjukkan bahwa Charlie dapat memaknai relasinya dengan the Other. Charlie bisa mendapatkan sesuatu yang luar biasa yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Charlie dapat mengolah faktisitas dan memaknainya sebagai hal yang positif untuk masa depannya. Charlie bisa berteman dengan individu lain, tak ada lagi konflik baginya. Sartre ingin menekankan bahwa keberadaan manusia di dunia memiliki berbagai kemungkinan untuk mencapai kepenuhan eksistensinya. Kelebihan manusia dari makhluk lain adalah manusia selalu memiliki pilihan dan berkemampuan untuk memilih. Manusia tidak diarahkan oleh sesuatu di luar dirinya. Manusia sendirilah yang menggerakkan dirinya, menentukan apa yang akan diperbuatnya dan mempertanggungjawabkan apa yang sudah diperbuatnya. Bagi Sartre, antar-subjektivitas adalah kemustahilan dan yang mungkin adalah konflik. Keberadaan manusia selalu mengandaikan keberadaan dengan manusia yang lain. The Other adalah yang kulihat dan yang melihat aku. Realitas manusia hanya menjadi objek di hadapan seseorang. Bila aku berada di hadapan yang lain—melalui pandangannya—aku merasa menjadi objek. Aku menjadi malu (menjadi objek) bila perbuatanku yang seharusnya tak dilihat orang, dilihat orang lain. Malu adalah pengakuan. Aku mengakui siapa diriku di hadapan yang lain, ia menjadi objek dan aku menjadi subjek yang mengobjekkan yang lain.
Sekiranya dalam pembahasan Being for-Other kita dapat menyimpulkan bahwa pernyataan “Hell is Other People” benar-benar menafikkan individu lain dalam dunia kita. Penulis melihat pemikiran tersebut Sartre yang begitu pesimis dan muram mengenai relasi dengan individu lain. Tokoh Charlie dalam film The Perks of Being a Wallflower memang menjalani kehidupan yang sulit ketika ia memaknai individu lain sebagai sesuatu yang mengancam bagi Charlie, namun setelah merefleksikan diri dan berkeinginan adanya perubahan pada dirinya Charlie bisa berdamai dengan orang lain dan bisa berpartisipati dalam kehidupan bersosial. Akhir dari cerita ini dapat dijadikan sebagai sebuah kritik terhadap 16 Memahami tokoh..., Gilang Prima, FIB UI, 2014
pemikiran Sartre yang begitu pesimis. Bahwa sebenarnya kita dapat berdamai dengan individu lain. Setiap manusia memiliki batasan-batasan dalam hidupnya baik yang berasal dari luar diri kita maupun yang berasal dari dalam diri kita sendiri. Charlie berhasil melewasi batasan-batasan yang ada dalam hidupnya. We are infinite: hidup seseorang akan berjalan harmonis sebagaimana kiranya kita memaknai hal tersebut, terlebih pada relasi kita dengan individu lain disekitar kita.
17 Memahami tokoh..., Gilang Prima, FIB UI, 2014
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. (2000). Filsafat Manusia: Memahami Manusia melalui Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya. Anderson, Thomas C. (1993) Sartre's Two Ethics : From Authenticity to Integral Humanity. Illinois: Open Court Publishing Company. Bertens, K, Bertens. (1996). Filsafat Barat Abad:XXJilid II Prancis. Jakarta: Gramedia. Budi, Wahyu. (2013). Orang Lain adalah Neraka: Sosiologi Eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Chbosky, Stephen. (2012). Screenplay of Perks of Being a Wallflower. Chbosky, Stephen. (2012). The Perks of Being a Wallflower. Summit Enterainment. Daigle, Christine. (2009). Jean-Paul Sartre. Routledge Critical Thinkers. Detrmer, david. Sartre. (2008) .Explained From Bad faith to Authenticity. Illinois: Open court. Gardner, Sebastian. (2009). Being and Nothingness: A Reader Guide Sartre. Great Britain: The MPG Books Group Hasan, Fuad. (1976). Berkenaan dengan eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya. Howells, Christina. (1992). The Cambridge Companion to Sartre. Chicago: Chicago Press. Lanur, Alex. (2011). Lanur, Relasi Antar Manusia Menurut Jean-Paul Sartre. Yogyakarta: Kanisius. Linsenbard, Gail. (2010). Starting with Sartre. Great Britain: The MPG Books Group Muntasyir, Rizal. (2001). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Palmer, Donald. (2007). Sartre untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius. Richmon , James. (1972) “Jean Paul Sartre” A Dictionaryof Christian Theologi. London: Sartre, Jean-Paul. (1948). Existentialism and Humanism. (Translated from „L‟Existentialisme est un humanisme‟, Paris: Les Editions Nagel (1946), Introduction by Philip Mairet). London: Eyre Methuen Ltd. Sartre, Jean-Paul. (1965). Being and nothingness. New York: Philosophical Library. (translated and introduced by Hazel E. Barnes). SCM Press LTD. Sartre, Jean-Paul. (1947). No Exit, and Three Other Plays. New York: Vintage Internasional (translated from the French by I. Abel.)
18 Memahami tokoh..., Gilang Prima, FIB UI, 2014