Edisi 5 | II | mei 2014
Untuk Kemandirian, Integritas dan Kredibilitas Penyelenggara Pemilu
Kuliah Etika
Memahami dan Menerapkan Sistem Etika Dalam Praktik Kehidupan Sosial
hlm. 14-15
Kupas Tuntas
Ketok Palu
Perspektif
Sidang Cianjur, Sehari DKPP Gelar Perkara, Pengalaman Pertama Berhentikan 17 Filter Awal Menuju TPD Jabar Penyelenggara Pemilu Persidangan hlm. 4-6
hlm. 11
www.dkpp.go.id | facebook:
[email protected] | twitter @DKPP_RI
hlm. 12
Sekapur Sirih
DKPP Kanalisasi Kekecewaan Peserta Pemilu
P
ungut hitung pemilihan suara Pemilu Legislatif 2014 sudah selesai, prosesnya berjalan dengan lancar. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pemenang Pemilu Legislatif tepat waktu, (9/5) pukul 23.45 WIB. Jumlah partisipasi pemilih dalam pemilu kali ini pun meningkat dibandingkan dengan Pemilu 2009, mencapai 70 persen sementara tahun sebelumnya hanya 65 persen. Kita patut mengapresiasi kerja keras KPU. Tidaklah mudah menyelenggarakan pemilu kali ini. Jumlah peserta pemilu memang cuma 15 partai politik, jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Namun yang membuat rumitnya adalah sistem proprsional terbuka dengan calon legislatif yang cukup banyak. Persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) menambah pelik. Dengan segala kerumitan itu, KPU berhasil menjalankan semua tahapan sesuai waktu yang telah dijadwalkan. Apresiasi juga dialamatkan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang telah mengawasi setiap tahapan pelaksanaan pemilihan umum. Dengan adanya Bawaslu, peserta pemilu dan KPU lebih berhati-hati dalam melaksanakan dan menerapkan aturan main. Aparat keamanan juga patut diapresiasi, gejolak-gejolak sosial baik berupa konflik vertikal maupun horizontal di lapisan masyarakat atau antar pendukung serta demo-demo terminimalisir. Pasca penetapan rekapituliasi nasional, giliran Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) bekerja ekstra keras. DKPP menerima laporan dan pengaduan-pengaduan dari peserta Pemilu. Mereka mengadukan mulai dari KPU hingga jajarannya tak terkecuali petugas KPPS, di Tempat Pemungutan Suara. (TPS). Dalam konferensi pers Jumat (23/5), Ketua DKPP menyampaikan ada sebanyak 404 pengaduan atau 2.497 orang penyelenggara Pemilu dari seluruh Indonesia yang dipersoalkan. Tentu angka ini masih tentatif. Pasalnya, beperkara di DKPP tidak mengenal limitasi waktu pengaduan. Bisa kapan saja yang penting adalah memenuhi unsur kode etik baik formil maupun materiilnya. Mengingat jumlah hakim hanya 7 orang, DKPP telah mengantisipasi membanjirnya pengaduan. ”Jurus” yang dipakai adalah membentuk dan melibatkan Tim Pemeriksa Daerah (TPD). TPD adalah perpanjangan tangan DKPP di 33 provinsi, khusus untuk daerah Papua, masih digabung antara Papua dan Papua Barat. TPD memeriksa perkara-perkara yang ada kabupaten atau kota. Dengan begitu, para justice seeker dari daerah apalagi pelosok Indonesia, tak perlu mengikuti sidang di Jakarta, cukup di ibu kota provinsi. Namun yang perlu perhatikan oleh peserta Pemilu adalah putusan DKPP tidak akan mengubah hasil pemilihan umum. DKPP hanya mengurusi kode etik para penyelenggara Pemilu. DKPP memeriksa orang-perorang terkait perilaku. DKPP diharapkan memenuhi rasa keadilan terhadap semua perkara yang akan diputusnya. l
Daftar Isi Warta DKPP Merasa Tidak Terwakili, Majelis Rakyat Papua Audiensi Ke DKPP hlm. 3 Kupas Tuntas Sidang Cianjur, Pengalaman Pertama TPD Jabar hlm. 4-6 Perspektif Gelar Perkara, Filter Awal Menuju Persidangan hlm. 7 Mereka Bicara Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu 0leh DKPP Untuk Kepentingan Besar Masa Depan Bangsa Indonesia hlm. 8-9 Ragam Mati Lampu, Ketua Majelis Komunikasi via Telepon Selular dengan Para Pihak hlm. 10 Ketok Palu Sehari DKPP Berhentikan 17 Penyelenggara Pemilu hlm. 11 Teropong Problematika Pemilu 2014 hlm. 12 Sisi Lain Senang Dapat Berkontribusi untuk DKPP hlm. 13 Kuliah Etika Memahami dan Menerapkan Sistem Etika Dalam Praktik Kehidupan Sosial hlm. 14-15 Parade Foto
hlm. 16
Susunan Redaksi Penerbit: DKPP RI Pengarah: Prof. Jimly Asshiddiqie, SH., Nur Hidayat Sardini, S.Sos, M.Si., Saut H Sirait, M.Th., Prof. Anna Erliyana, SH, MH., Dr. Valina Singka Subekti, Ida Budhiati, SH, MH., Ir. Nelson Simanjuntak Penanggung Jawab: Gunawan Suswantoro, SH, M.Si., Redaktur: Ahmad Khumaidi, SH, MH., Editor: Yusuf, S.Si, MA, Dini Yamashita S.Pi, MT, Dr. Osbin Samosir Sekretariat: Umi Nazifah, Diah Widyawati, Rahman Yasin, Susi Dian Rahayu, Sandhi Setiawan Desain Grafis dan Fotografer: Irmawanti, Teten Jamaludin, Arif Syarwani Pembuat Artikel: Tim Humas DKPP Alamat Redaksi: Jalan M. H. Thamrin No. 14 Lt. 5 Jakarta Pusat, 10350. Telp./Fax: (021) 391 4194
2
Warta DKPP
Merasa Tidak Terwakili, Majelis Rakyat Papua Audiensi Ke DKPP
K
etua Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua (MRP), Rode Muyasin atau sapaan akrabnya, Annike bersama rombongan mengunjungi kantor DKPP, Selasa (20/05/2014). Rombongan Majelis Rakyat Papua (MRP) diterima oleh Ketua DKPP, Prof. Jimly Asshiddiqie di ruangannya, Gedung Bawaslu lantai 5, Jln. MH Thamrin 14, Jakarta. Kedatangan rombongan dari lembaga representatif kultural orang asli Papua ke kantor DKPP, dilatari adanya ketidakadilan yang dialami Calon Legislatif (Caleg) masyarakat asli Papua pada proses Pemilihan Legislatif (Pileg) 9 April 2014 lalu. Mereka menilai bahwa penyelenggara Pemilu di Papua tidak jujur dalam menyelenggarakan Pileg karena telah melakukan praktik transaksi jual beli suara dengan Caleg. Sehingga merugikan Caleg asli orang Papua yang turut berpartisipasi dalam konstetasi tersebut. Irene Manibuy, salah satu Caleg DPR RI pada Pileg 2014 yang turut hadir dalam pertemuan tersebut, mengaku pernah ditawari oknum penyelenggara Pemilu yang menjual suara untuk dapilnya melalui telepon kepada Ketua DKPP. ”Suara diperjual belikan oleh oknum Penyelenggara Pemilu, bahkan saya juga ditawari sebesar Rp 50.000.000 untuk dapil saya lewat telepon, namun saya menolaknya,” terang Irene. Annike sebagai ketua rombongan MRP menambahkan bahwa dari hasil Pileg kemarin, orang asli Papua yang menjadi Caleg berkurang jumlahnya dari periode sebelumnya. Sehingga mengakibatkan kegelisahan bagi orang Papua. Selain itu, ketua MRP mengeluhkan sikap parpol yang tidak memperhatikan Pasal 28 ayat 4 UU 21/2001 untuk meminta pertimbangan kepada MRP dalam menentukan Caleg yang diusung. Menurutnya, itu seharusnya dilakukan parpol agar keterwakilan orang asli Papua di Legislatif dapat terjamin sehingga dapat menjaga kestabilan Papua dan Papua Barat untuk tetap berada
”Suara diperjual belikan oleh oknum Penyelenggara Pemilu, bahkan saya juga ditawari sebesar Rp 50.000.000 untuk dapil saya lewat telepon, namun saya menolaknya.”
dalam NKRI. Pada kesempatan itu, ketua rombongan juga meminta bantuan ketua DKPP untuk mendukung surat yang sudah dilayangkan kepada Presiden berkenaan formasi Legislatif Papua yakni untuk Caleg di tingkat Kabupaten/ Kota perbandingannya adalah 80%:20%, tingkat Provinsi 80%:20%, dan untuk keterwakilan Papua di tingkat DPR RI dan DPD, mereka meminta kursi legistatif diduduki 100% orang asli Papua. Menanggapi permasalahan yang dipaparkan oleh perwakilan MRP tersebut, Jimly menjelaskan bahwa kejadian itu dikarenakan sistem suara terbanyak. Sehingga berakibat masing-masing Caleg saling berkompetisi sendiri-sendiri. ”Tahun 2009 oleh putusan MK ten-
tang sistem suara yang disahkan 7 hari, sebelum hari pemilihan sudah menimbulkan kekacauan karena mendadak. Undang-undangnya disusun dengan paradigma nomor urut, tapi praktiknya suara terbanyak sehingga kacau. Sekarang ini di tahun 2014, kekacauan terjadi bukan karena mendadak, tapi karena 5 tahun sudah dipersiapkan. Jadi, 15.000 Caleg dari 12 partai, main sendiri-sendiri,” papar dia. Jimly, meminta agar mereka tidak perlu terlalu berkeluh kesah karena dampak dari sistem suara terbanyak ini tidak hanya terjadi di Papua, akan tetapi dari Papua sampai ke Aceh. Jimly menilai bahwa pembuat kebijakan dari sistem ini pun menyesalinya. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini menyadari bahwa memang ada oknum yang memanfaatkan sistem suara terbanyak dan berpihak untuk mendapatkan keuntungan yang disebutnya dengan ”orang berakal bulus.” Sebelum pembicaraan diakhiri, menjawab permintaan MRP yang berkaitan dengan surat ke Presiden, Jimly menegaskan bahwa DKPP berfungsi untuk menjaga kehormatan institusi penyelenggara Pemilu sehingga tidak bisa ikut campur. DKPP merupakan lembaga penegak etika penyelenggara pemilu yang hanya berurusan dengan KPU dan Bawaslu, baik ditingkat Provinsi, Kabupaten/Kota. l
Irmawanti
3
Kupas Tuntas
Sidang Cianjur, Pengalaman Pertama TPD Jabar
R
abu (7/5/2014), tim dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) datang ke kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Jawa Barat, di Kota Bandung. Rombongan dipimpin langsung oleh Anggota DKPP Nur Hidayat Sardini. Kedatangan DKPP ke Kantor Bawaslu Jawa Barat (Jabar) tidak lain untuk menggelar sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu yang dituduhkan kepada 18 Teradu dari Komisioner KPU Kabupaten Cianjur dan jajaran Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di lima kecamatan Cianjur. Kelima kecamatan tersebut adalah Kecamatan Cianjur, Kecamatan Cidaun, Kecamatan Leles, Kecamatan Agrabinta, dan Kecamatan Cipanas. Dari Kecamatan Cianjur, Teradunya adalah Ketua dan Anggota PPK, yakni Ivan Ruseptian, Ayi Suhendri, Hendi Jamali, Abdul Rochman, dan Panca Tirta Yudha. Kelimanya kemudian disebut sebagai Teradu I, Teradu II, Teradu III, Teradu IV, dan Teradu V. Untuk Kecamatan Cidaun dan Kecamatan Leles, Teradunya adalah hanya Ketua PPK-nya. Mereka adalah Taufik dan Ujang Ridwanullah yang selanjutnya disebut sebagai Teradu VI dan Teradu VII. Sedangkan, untuk Kecamatan Argabinta, Pengadu tidak mencantumkan secara langsung nama Anggota PPK yang diadukan. Pengadu hanya menyebut Anggota PPK Argabinta yang selanjutnya disebut sebagai Teradu VIII. Untuk Kecamatan Cipanas, seluruh PPK diadukan. Mereka adalah Ketua PPK Cipanas Siti Nuraini serta Anggota PPK Ceceng Ma’mun, Yani Supyani, Hendra Gunawan, dan Aroh Damaroh yang disebut Teradu IX, Teradu X, Teradu XI, Teradu XII, dan Teradu XIII. Teradu selanjutnya adalah lima komisioner KPU Kabupaten Cianjur. Kelimanya merupakan Ketua dan Anggota KPU Kabupaten Cianjur, yakni U Awaluddin, Iwan Kurniawan, Anggi Shofia Wardani, Hilman Isnaeni, dan
4
Kusnadi. Mereka disebut sebagai Teradu XIV, Teradu XV, Teradu XVI, Teradu XVII, dan Teradu XVIII. Penyelenggaraan Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif) 2014 lah yang membuat para jajaran penyelenggara Pemilu di Kabupaten Cianjur itu harus menghadap kepada majelis persidangan DKPP pada hari itu. Setidaknya ada enam Pengadu yang melaporkan mereka ke DKPP. Dari enam Pengadu tersebut, semuanya adalah calon anggota legislatif 2014 yang tidak lolos alias gagal dalam Pemilu Legislatif 2014. Mereka kemudian meyakini, kegagalan mereka disebabkan adanya kecurangan yang dilakukan oleh para Teradu tersebut. Keenam Pengadu jika dilihat dari latar belakang partainya bukanlah berasal dari satu partai politik. Lilis Boy dan Hadi Permadi Boy yang merupakan ibu dan anak adalah caleg dari Partai Demokrat. Kapten Djoni Rolindrawan dan Andi Jaya Rahman dari Partai Hanura. Sementara itu, Anneu Permatasari dari PPP dan Susane Febriyanti dari PDI Perjuangan. Dalam berbagai kesempatan, Ketua DKPP Prof. Jimly Asshiddiqie sering mengatakan bahwa terkait korban kecurangan ada fenomena baru dalam penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2014. Menurutnya, kecurangan dalam Pemilu Legislatif 2014 tidak hanya menimpa partai kecil. Partai besar pun tidak luput menjadi korban. ”Kecurangan itu merata. Bahkan partai pemerintah (the rulling party), juga mengalami nasib yang sama dengan partai-partai kecil,” demikian ungkap Jimly. Perkara Cianjur dapat menjadi contoh fenomena itu, karena dua partai besar, Demokrat dan PDI Perjuangan telah menjadi ”korbannya”. Selanjutnya adalah bagaimana DKPP sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut mengadilinya secara adil sesuai fakta-fakta yang diungkapkan oleh para pihak yang berkaitan dengan perkara ini.
nnn Kedatangan tim DKPP ke Bawaslu Provinsi Jawa Barat sejatinya tidak hanya akan memeriksa perkara Cianjur. Ada satu perkara lagi yang akan diperiksa, yakni perkara dari Kabupaten Bandung Barat. Namun, sesuai jadwal, perkara Cianjur diperiksa terlebih dahulu. Pemeriksaan perkara Cianjur ini menjadi pengalaman pertama bagi DKPP bersama Tim Pemeriksa Daerah (TPD) dari Jawa Barat. Juga untuk pertama kalinya DKPP menggelar sidang pemeriksaan dengan hadir langsung di kantor Bawaslu Provinsi Jawa Barat. Tim DKPP datang di kantor Bawaslu Jawa Barat sekitar pukul 08.00 WIB setelah semalam menginap di salah satu hotel di Bandung. Sidang dijadwalkan mulai pukul 09.00. Di kantor Bawaslu Jawa Barat, sudah menunggu empat Anggota Tim Pemeriksa Daerah dari Jawa Barat. Mereka adalah Harminus Koto dari Bawaslu Jawa Barat, Agus Rustandi dari KPU Jawa Barat, serta Nina Herlina Lubis dan Affan Sulaeman dari unsur masyarakat. Panel Majelis Tim Pemeriksa Daerah dipimpin oleh Anggota DKPP Nur Hidayat Sardini. Setiba di kantor Bawaslu Jawa Barat,
pagi itu halaman kantor sudah penuh dengan ratusan orang pendukung para Pengadu. Jarak yang dekat antara Cianjur dengan Bandung memungkinkan mereka memobilisasi pendukung secara besar-besaran. Sementara itu, pihak keamanan terlihat belum banyak yang bersiaga. Di antara ratusan pendukung tampak koordinator lapangan terus menerus menyampaikan orasinya melalui megaphone. Sekitar pukul 08.15, staf sekretariat DKPP yang bertugas, yakni Purnomo, Colombus, Siti Rufiah, dan Arif Syarwani dengan dibantu staf sekretariat Bawaslu Jawa Barat menyiapkan segala keperluan sidang. Para pihak, terutama Pengadu dan saksi yang telah hadir dipersilakan menempati kursi yang sudah ditentukan. Sampai pukul 08.30 para Teradu belum terlihat hadir. Mereka baru tiba di kantor Bawaslu Jawa Barat sekitar pukul 08.40. Kehadiran para Teradu ini langsung disambut oleh pendukung Pengadu. Suasana terlihat mulai ricuh. Berbagai macam caci maki dengan bahasa Sunda dilontarkan massa ke Teradu. Puncaknya ketika Teradu hendak memasuki ruang sidang. Ratusan massa yang
telah memenuhi depan pintu masuk ruang sidang langsung menggelandang baju para Teradu, khususnya Teradu laki-laki. Akibatnya, ada beberapa Teradu yang kancing bajunya terlepas. Beruntung tidak ada insiden benturan fisik yang terjadi. Sementara itu, aparat keamanan yang berjaga tidak mampu mengendalikan massa. Atas kejadian tersebut, Bawaslu Jawa Barat meminta tambahan personel keamanan untuk menjaga jalannya persidangan. nnn Tepat pukul 09.00 Majelis memasuki ruang sidang. Membuka sidang, Ketua Majelis Nur Hidayat Sardini memberi kesempatan kepada para pihak yang hadir untuk memperkenalkan diri, sekaligus mengecek apakah semua pihak telah hadir. Dari sesi perkenalan, keenam Pengadu hadir semua. Termasuk yang hadir adalah Rahmad Bagdja, kuasa dari Kapten Djoni Rolindrawan. Sementara dari para Teradu hanya dari KPU Kabupaten Cianjur dan PPK Kecamatan Cianjur yang hadir. Teradu dari PPK Kecamatan Leles, Cidaun, Cipanas, dan Argabinta tidak hadir. Sebagai sidang perdana, jadwal
sidang hari itu adalah mendengarkan penyampaian pokok pengaduan dari Pengadu dan mendengarkan jawaban dari Teradu. Secara garis besar ada dua poin pengaduan yang disampaikan oleh Pengadu. Kepada para Teradu dari PPK, Pengadu mempersoalkan adanya dugaan penggelembungan suara yang merugikan para Pengadu. Sedangkan kepada Teradu dari KPU Kabupaten Cianjur, mereka mempermasalahkan rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara yang dilakukan KPU Kabupaten Cianjur. Menurut mereka, rekapitulasi tersebut tidak sesuai ketentuan hukum yang berlaku, karena dilakukan secara tertutup. Pengadu Lilis Boy dan Hadi Permadi Boy dari Partai Demokrat, misalnya, menyatakan bahwa telah terjadi penggelembungan suara saat rekapitulasi penghitungan suara di Kecamatan Cianjur pada 18 April 2014. Penggelembungan tersebut mengakibatkan suara Partai Demokrat berkurang. ”Pengurangan perolehan suara Partai Demokrat dari 6.074 suara menjadi 2.674 suara, sehingga berkurang 3.400 suara. Dengan demikian patut diduga terjadinya pengurangan berdasarkan tabel D1 seluruh PPS dan Model DA1 DPRD Kab/Kota,” beber Lilis Boy. Pengadu lain, Rahmad Bagdja yang merupakan kuasa Djoni Rolindrawan, juga menduga PPK Kecamatan Cianjur telah melakukan penggelembungan suara di internal Partai Hanura. Akibat penggelembungan itu, suara Djoni Rolindrawan (caleg Hanura nomor urut 2) berkurang. Suaranya dialihkan kepada caleg Hanura lain bernomor urut 1 Erik Satrya Wardhana. Dengan kejadian itu, Rahmad menuding, keputusan PPK Kecamatan Cianjur sangat dipengaruhi oleh tim caleg Erik Satrya Wardhana. ”Tidak hanya itu Majelis yang Mulia, setelah rekapitulasi di PPK Kecamatan Cianjur, semua saksi tidak diberi salinan dokumen model DA. Semua saksi partai juga tidak ada yang menandatangani lembar DA tersebut,” kata Rahmad Bagdja saat menyampaikan pokok pengaduannya. Untuk KPU Kabupaten Cianjur, Rahmad menuduhnya telah menyelenggarakan rekapitulasi penghitungan suara secara tertutup. Rekapitulasi Kabupaten Cianjur digelar pada 19-21 April di Hotel Green Hill, Cianjur. Rahmad menerang-
5
Kupas Tuntas
kan, saksi partai politik tidak memiliki akses untuk masuk. Media massa juga tidak diizinkan untuk meliput. Akibatnya, sempat terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh para wartawan di depan Hotel Green Hill. ”Panwaslu Kabupaten juga menyatakan itu pleno tertutup,” ujar Rahmat Bagdja. Pada sidang itu, DKPP juga menghadirkan Ketua Panwaslu Kabupaten Cianjur Saeful Anwar untuk diminta keterangannya sebagai Pihak Terkait. Senada dengan yang disampaikan oleh para Pengadu, Saeful menilai rekapitulasi di Kabupaten Cianjur dilakukan secara tertutup. ”Saat pleno 20-21 April, Panwas Kecamatan tidak boleh masuk. Anehnya, justru sekretaris kecamatan yang diizinkan masuk. Jadi kami berpandangan itu pleno tertutup,” terang Saeful. Ketika diberi kesempatan menjawab, para Teradu membantah semua tuduhan yang disampaikan Pengadu. Ketua KPU Cianjur U Awaludin menerangkan bahwa pleno rekapitulasi kabupaten dilakukan secara terbuka. Rekapitulasi, kata dia, dihadiri oleh saksi partai politik, Panwaslu Kabupaten, serta pemantau Pemilu. Karena itu rekapitulasi kabupaten, maka yang dilakukan adalah memasukkan data
6
dari DA kecamatan ke DB kabupaten. ”Semua ketentuan sudah kami jalankan. Seusai rekap, dokumen kami gandakan dan ditandatangani oleh semua pihak. Kami persilakan mengisi formulir DB 2 jika ada saksi yang keberatan. Tidak ada satu angka pun yang kami gelembungkan. Semua bisa dilihat di bukti,” ungkap Awaludin. Pun demikian dengan pengakuan Ketua PPK Kecamatan Cianjur Ivan Ruseptian. Menurutnya, PPK Kecamatan Cianjur telah menjalankan tugasnya sesuai aturan yang ada. Rekapitulasi di PPK Kecamatan dilakukan pada 17-19 April 2014. Para pihak, seperti saksi dan Panwas kecamatan hadir dalam rekapitulasi tersebut. Rencananya, rekapitulasi dilakukan di aula kecamatan. Akan tetapi karena aula dipakai acara, kemudian dipindah ke ruangan sekretaris kecamatan. Perpindahan tempat itu, terang Ivan, telah disetujui oleh saksi dan panwascam dan telah dibuat berita acaranya. ”Kami sangat kaget jika kami dituduh melakukan penggelembungan suara. Saat itu semua pihak telah menandatangani DA1. Kami sangat terbuka. Seharusnya kalau ada masalah dan punya bukti dapat diselesaikan waktu itu. Semua ada prosedurnya,” ujar Ivan. Sidang pemeriksaan berjalan sekitar
tiga jam, dari pukul 09.00-12.00. Selama persidangan, suasana memang kurang kondusif. Pengunjung sidang yang sebagian besar pendukung Pengadu seringkali menyela dengan kata-kata menghina Teradu. Berkali-kali Ketua Majelis Nur Hidayat Sardini mengingatkan mereka. Bahkan akan mengeluarkan mereka dari ruang sidang jika memang tidak dapat tertib. Sebelum menutup sidang, Ketua Majelis sempat menasihati Teradu terkait penyelenggaraan Pemilu. ”Para Teradu ini harus tahu, yang berwenang dengan Pemilu itu bukan polisi atau pihak lain. Tetapi semua sepenuhnya menjadi tanggung jawab KPU. Pemilu itu sebenarnya soal sangat teknis, tapi dapat menjadi sangat substantif kalau tidak dilakukan dengan benar. Semua harus harus dijalankan dengan transparan,” demikian tutur Nur Hidayat Sardini. Ketua Majelis juga menyampaikan bahwa sidang perkara Cianjur masih perlu ada sidang lanjutan. Agenda sidang lanjutan adalah mendengarkan keterangan para saksi dan penyampaian bukti-bukti. Selain itu, DKPP akan meminta jawaban dari para Teradu yang belum hadir, seperti PPK Cidaun, PPK Cipanas, PPK Leles, dan PPK Argabinta.l Arif Syarwani
Perspektif
Gelar Perkara, Filter Awal Menuju Persidangan
D
ewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) dibentuk untuk menjaga kemandirian, integritas dan kredibilitas penyelenggara Pemilu. Pasca-Pemilu Legislatif, terhitung hingga 30 Mei 2014, DKPP menerima pengaduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu sebanyak 468 perkara dengan 113 perkara di antaranya dinyatakan masuk sidang. Pengaduan yang masuk hampir seluruhnya merupakan kasus-kasus tuduhan kepada penyelenggara Pemilu, baik KPU maupun Bawaslu dan jajarannya, dalam melaksanakan Tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu Legislatif 2014 ini, seperti penggelembungan suara, pengurangan dan penambahan suara, tidak diberikannya formulir C1 kepada saksi, ataupun tidak adanya tanda tangan saksi di TPS. Pengaduan dan/atau laporan dugaan pelanggaran oleh penyelenggara Pemilu yang disampaikan kepada DKPP tidak juga surut. DKPP menyikapinya dengan mengadakan verifikasi terlebih dulu sebelum sebuah pengaduan dan/atau laporan bisa berlanjut atau tidak ke proses persidangan. Verifikasi tersebut mencakup verifikasi administrasi (formal) dan material. “Tentu tidak mungkin semua pengaduan bisa langsung masuk ke persidangan,” kata Saut Hamonangan Sirait M.Th., anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Urgensi Hingga DKPP Harus Menjalankan Gelar Perkara Gelar perkara diperlukan untuk menentukan kategori pengaduan. Agar memenuhi persyaratan administratif, sebuah pengaduan paling tidak harus memiliki dua alat bukti. Persyaratan substantifnya, apakah memenuhi unsur yang disebut dalam etika penyelenggara Pemilu. Jika kedua persyaratan itu terpenuhi, baru akan naik sidang. Kemudian DKPP akan memberitahu-
kan jadwal sidang baik kepada pihak Pengadu maupun Teradu. Jika belum memenuhi syarat (BMS); itu juga akan diberitahukan kepada Pengadu. Kalau memang tidak memenuhi, dismissed. Itu yang perlu disampaikan kepada justice seeker agar mereka tidak merasa diabaikan. Gelar perkara dilakukan untuk mempermudah proses di DKPP. Tidak mungkin tiap pengaduan yang masuk langsung naik sidang. Gelar perkara dibutuhkan agar sidang tidak boros. Kalau memang alat bukti dan substansi tidak ada, untuk apa dilanjutkan ke sidang? Sebaliknya, jika memang ada unsur, harus dilanjutkan. Peradilan etika berbeda dengan hukum. Soal daya rusak menjadi pertimbangan, bisa menjadi alasan etis untuk menghukum atau membebaskan (penyelenggara Pemilu yang menjadi teradu). Saat gelar perkara, lima anggota DKPP terlibat dalam proses gelar perkara ini. Juga staf bagian penerima pengaduan. Mereka sudah dibekali soal standar, prosedur; sudah terlatih juga soal substansi. Tiga tenaga ahli DKPP juga dilibatkan. Mereka mempersiapkan bahan untuk gelar perkara, lantas keputusan diambil oleh lima anggota
DKPP mengenai lanjut-tidaknya ke proses persidangan. Jika ternyata dinyatakan dismissed kemudian ada novum, perkara itu dapat diadukan kembali bersama adanya bukti baru tersebut, kasus itu bisa saja disidangkan. Perdebatan bisa saja muncul dalam gelar perkara dan itu merupakan hal yang alamiah. DKPP sudah memutuskan bahwa pihak Teradu tidak boleh didampingi oleh kuasa hukum karena sudah ada ex officio dari KPU dan Bawaslu di DKPP. Fungsi itu berjalan dengan bagus. Kalau yang lain tancap gas, ada juga yang mengerem. Apapun putusan yang kami buat ada perspektif yang beragam, sangat lengkap. Sekalipun demikian, hampir semua putusan DKPP aklamasi. Sampai saat ini, hanya dua yang ada dissenting opinion. Gelar perkara merupakan mekanisme penting dalam penanganan kasus di DKPP. Gelar perkara akan sangat membantu. Gelar perkara adalah filter atau seleksi awal atas pengaduan yang masuk. Dengan gelar perkara ini, setidaknya sudah ada pemahaman dari tim pemeriksa sejak awal, 50 persen pekerjaan sudah selesai melalui mekanisme gelar perkara. l
Diah Widyawati
7
Mereka Bicara
Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu 0leh DKPP Untuk Kepentingan Besar Masa Depan Bangsa Indonesia Oleh Prof. Jassin H. Tuloli n Bagian Kedua
D
ampak Peyelenggaraan Pemilu Berkualitas Bagi Bangsa Indonesia Penyelenggaraan Pemilu berkualitas karena diselenggarakan oleh penyelenggara Pemilu yang berkualitas dalam arti memiliki dan mampu menegakkan kode etik sehingga mampu mandiri, berintegritas dan berkredibilitas dengan demikian diharapkan akan menghasilkan terpilihnya penyelenggara negara berkualitas. Dengan terpilihnya mereka yang berkualitas tentu akan mampu merealisir visi dan misi yang telah disampaikan kepada masyarakat pada waktu mereka meminta dukungan suara dari masyarakat saat pelaksanaan Pemilihan Umum. Dengan terpilihnya penyelenggara negara yang berkualitas dari hasil pelaksanaan Pemilu yang berkualitas tentu saja pelaksanaan pembangunan nasional di segala bidang untuk kepentingan bangsa yang besar dapat terwujud. Sebab perencanaan dan pelaksanaan pembangunan ditangani oleh SDM yang berkualitas. Karena itu kepentingan bangsa yang besar yaitu mencapai masyarat adil dan makmur yang diridhai Allah SWT dapat terwujud. Tercapainya masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah SWT adalah idaman paling besar dari seluruh rakyat Indonesia. Dengan tercapainya masyarakat adil dan makmur yang
Makin banyak aparatur negara yang melanggar pelaksanaan tugas dan fungsinya yang dipercayakan pemerintah kepadanya maka sudah waktunya dibentuk suatu badan yang khusus menangani pelanggaran tugas dan fungsi yang dipercayakan kepadanya. Bersamaan dengan itu sudah perlu dirumuskan butirbutir kode etik dari penyelenggaraan tugas dan fungsi dari aparatur negara dari setiap institusi.
diridhai Allah SWT sebagai hasil pelaksanaan tugas dan fungsi dari penyelenggara negara yang berkualitas dari hasil pelaksanaan Pemilu yang berkualitas adalah merupakan peran yang sangat besar dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bagi bangsa dan negara Indonesia. Sebab DKPP dapat memberhentikan tetap penyelenggara Pemilu yang tidak mandiri, berintegritas dan tidak kredibel. Oleh karena itu status DKPP dalam satuan tugasnya dalam penyelenggaraan Pemilu tidak dapat diabaikan. Tidak dapat disepelekan begitu saja. Hal ini harus disadari oleh penyelenggara negara yang bertugas menyusun Undang Undang Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Bukti Urgensinya Eksistensi Dkpp Dalam Penyelenggaraan Pemilu Selama ada demokrasi selama itu juga ada Pemilihan Umum. Selama ada Pemilihan Umum selama itu pula dibutuhkan Penyelenggara Pemilihan Umum. Selama ada yang menyelenggarakan Pmilihan Umum selama itu pula dibutuhkan penyelenggara Pemilu yang memiliki kemandirian, berintegritas dan kredibel. Kemudian selama dibutuhkan penyelenggara Pemilihan Umum yang mandiri, berintegritas dan kredibel selama itu pula dibutuhkan institusi yang menangani terjaganya kemandirian, integritas dan kredibilitas dari penyelenggara Pemilu.
@djhamdan 64: @DKPP_RI ini sangat baik untuk diketahui seluruh rakyat, tpi sayang media sepertinya lebih berpihak pemberitaan tentang capres – cawapres. @ariomenk: @DKPP_RI jgn ragu menindak secara pidana krn wasit pemilu membunuh calon pemimpin terbaik @imadavon1: @DKPP_RI selamat menjalankan tugas, mohon ketegasan!
8
Mereka Bicara Konsekuensinya, agar kemandirian, integritas dan kredibilitas penyelenggara Pemilu tetap lestari dari pusat sampai di seluruh daerah di Indonesia melalui penegakan kode etik dari penyelenggara Pemilihan Umum maka sangat diperlukan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu mulai dari pusat sampai di daerah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Oleh karena itu adalah urgent kehadiran DKPP mulai dari pusat sampai di daerah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Apa lagi statusnya merupakan satu satuan tugas dengan KPU dan Bawaslu dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum. Untuk itu DKPP hendaknya bersifat mandiri dan tetap dari pusat sampai di daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia. Sebab yang ditangani DKPP adalah lembaga Pemilihan Umum yang bersifat mandiri dan tetap dari pusat sampai di daerah, maka DKPP yang menanganinya adalah tidak pada tempatnya kalau hanya ditempelkan begitu saja di Bawaslu. Bila ditempelkan begitu di Bawaslu terkesan DKPP hanyalah merupakan bagian atau bawahan dari Bawaslu. Tentu secara psikologis dan secara organisatoris perannya kurang kuat, kurang efektif. Akhirnya berakibat pada penyelenggaraan Pemilu yang tidak berkualitas. Oleh karena itu dalam menghadapi pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mendatang pada tahun 20l5 yang diperkirakan diselenggarakan di 244 Kabupaten/Kota serta menghadapi penyelenggaraan Pemilu di tahun 20l9 hendaknya sudah harus dipikirkan agar DKPP mulai dari pusat sampai di daerah bersifat mandiri dan tetap.
DKPP Dapat Jadi Bagian Dari Dewan Kode Etik Nasional Aparatur Negara RI Makin banyak aparatur negara yang melanggar pelaksanaan tugas dan fungsinya yang dipercayakan pemerintah kepadanya maka sudah waktunya dibentuk suatu badan yang khusus menangani pelanggaran tugas dan fungsi yang dipercayakan kepadanya. Bersamaan dengan itu sudah perlu dirumuskan butir-butir kode etik dari penyelenggaraan tugas dan fungsi dari aparatur negara dari setiap institusi. Badan yang khusus menangani pelanggaran tugas dan fungsi aparatur negara yang dirumuskan dalam butir-butir kode etik tersebut dinamakan Dewan Kode Etik Nasional Aparatur Negara Republik Indonesia. Sekiranya DKPP tidak dapat bersifat mandiri dan tetap sama halnya dengan status KPU dan Bawaslu dapat dipikirkan alternatif lain. Dengan adanya rencana
dari Mahkamah Konstitusi tidak akan menangani lagi masalah atau sengketa Pemilu hal ini merupakan peluang bagi DKPP untuk dapat maju selangkah lagi dalam memperkuat organisasinya untuk menangani masalah pelanggaran kode etik dari penyelenggara Pemilu. Sekiranya di masa depan untuk kepentingan penertiban seluruh aparatur negara sehingga akan memungkinkan dibentuknya Dewan Kode Etik Nasional Aparatur Negara Republik Indonesia, sebaiknya DKPP menjadi salah satu badan dari Dewan Kode Etik Nasional Aparatur Negara Republik Indonesia. l
9
Ragam
Mati Lampu, Ketua Majelis Komunikasi via Telepon Selular dengan Para Pihak
T
ahun 2014 merupakan tahun politik di Indonesia. Pasalnya, pada tahun ini akan diselenggarakan pesta lima tahunan yaitu, Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Pre-
siden. Pemilu Legislatif pesertanya hanya 12 partai politik plus tiga partai politik lokal. Jumlah ini lebih sedikit dari Pemilu Legislatif sebelumnya, sebanyak 24 partai. Meski demikian, permasalahan yang muncul dalam pemilu legislatif ini cukup banyak. Ada 2.453 daerah pemilihan (DP) sedangkan jumlah calon anggota legislatif sebanyak 200 ribuan di seluruh jenjang, termasuk DPD. Ada pun jumlah penyelenggara baik KPU dan Bawaslu serta jajarannya yang berpotensi sebanyak 12.627.470 orang. DKPP telah memproyeksikan jumlah perkara yang bakal masuk ke DKPP. Banyaknya caleg yang menjadi peserta Pemilu akan linier dengan jumlah permasalahan yang akan terjadi. Mereka yang kalah dalam berkompetisi akan tidak puas. Ketidakpuasan kepada penyelenggara Pemilu, akan dilaporkan ke DKPP. Untuk itu, DKPP mengantisipasi membanjirnya pengaduan. DKPP membentuk Tim Pemeriksa Daerah (TPD). TPD terdiri dari empat orang, masing-masing perwakilan dari KPU
10
dan Bawaslu satu orang dan dua orang dari tokoh masyarakat atau akademisi. Mereka bertugas untuk memeriksa perkara-perkara yang ada di kabupaten/ kota. Guna kelancaran tugas TPD, staf pendukung (supporting staff) TPD. Dalam menjalankan tugas, TPD menggelar sidang melalui video conference. Ketua majelis yang juga anggota DKPP berada di ibu kota, sedangkan empat anggota majelis berada sekretariat Bawaslu Provinsi. Sidang cukup melalui layar kaca. Tenaga Administrasi Bidang IT DKPP Sopiyansyah Jaya Putra menilai, sidang melalui video conference dinilai lebih efektif. Pasalnya, bisa lebih menghemat anggaran baik untuk Pengadu maupun Teradu yang ada di daerah. Para pihak yang berperkara tidak perlu datang jauh-jauh ke Jakarta. Mereka cukup berada di sekretariat Bawaslu Provinsi. ”Sidang melalui video conference bisa lebih hemat dari sisi anggaran dan waktu,” katanya. Dia menjelaskan, sidang video conference DKPP ini menggunakan server dan jaringan internal yang dimiliki Bawaslu RI. Jaringan ini telah terhubung dengan Kantor Sekretariat Bawaslu Provinsi di seluruh Indonesia. ”Jika yang diadukan itu adalah jajaran KPU atau Panwaslu di tingkat Kabupaten/Kota dan jajaran yang ada
di bawahnya, sidang dilaksanakan di kantor Bawaslu Provinsi terkait,” jelas mantan dekan di Universitas Islam Negeri, Jakarta. Dan ternyata memang metoda ini cukup ampuh dalam menangani perkaraperkara. Para anggota DKPP bisa membagi tugas dan berbagai wilayah yang ditangani. Satu anggota DKPP bisa menangani tiga sampai lima perkara dalam satu hari. Dengan video conference, bagi anggota DKPP pun tidak perlu cape ke daerah dan bisa menangani banyak perkara,” katanya. Namun, lanjut dia, sidang video conference bukannya tanpa kendala. Ada pula kendala-kendala teknis yang kerap menyertai jalannya sidang. Kendala yang kerap kali muncul adalah hasil visual yang kurang jelas, suara para pihak yang kurang jelas terutama akibat sinyal. ”Saat ini ada beberapa kantor sekretariat Bawaslu Provinsi yang kualitas sinyalnya kurang bagus,” bebernya. Kendala lain yang kerap dijumpai mati aliran listrik. Otomatis, komunikasi pun terputus. ”Saat sidang pernah beberapa kali mati lampu. Saat kondisi tersebut, terpaksa ketua majelis yang ada di Jakarta berkomunikasi melalui telepon selular dan menyerahkan majelis daerah untuk mengambil alih,” jelas dia. l Sandhi Setiawan
Ketok Palu
S
idang putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada Jumat (9/5) memutuskan, sebanyak 17 penyelenggara Pemilu dinyatakan melanggar kode etik. Sebagai sanksinya, DKPP memberhentikan secara tetap ke-17 penyelenggara Pemilu tersebut. Ke-17 orang yang diberhentikan adalah Ketua dan Anggota KPU Sarmi, Papua, Yoshep Twent dan Odhy Yesaya Demetouw; satu Ketua sekaligus Anggota Panwaslu Paniai, Papua, Markus Gobai, satu Anggota KPU Kota Palopo, Sulawesi Selatan, Sawal, dan 13 dari jajaran PPK di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Ke-13 PPK di Pasuruan yang diberhentikan adalah Suhudi Rokhmad (Anggota PPK Wonorejo), Imam Taufik (Anggota PPK Purwosari), Eko Widiyanto (Anggota PPK Purworejo), Akhmad Khumaidi (Anggota PPK Gempo), Budiarjo (Anggota PPK Beji), Sudjarwanto (Anggota PPK Bangli), Lutfillah (Anggota PPK Lekok), Ansori Huzaemi (Anggota PPK Kraton), Edy Riyanto (Anggota PPK Pohjentrek), Mustain JS (Anggota PPK Gondangwetan), Endang Sutriani (Anggota PPK Winongan), Mochammad Sholeh (Anggota PPK Grati), dan Moch Tauhid (Anggota PPK Prigen). Ada yang menarik untuk perkara Pasuruan. Para PPK tersebut diadukan oleh atasan mereka sendiri, yakni Ketua KPU Pasuruan Zainal Abidin. Kasusnya pun tidak main-main, soal gratifikasi. Mereka terbukti menerima gratifikasi dari salah satu calon anggota legislatif dari Partai Gerindra Agustina Amprawati. Dalam hukum Pemilu, kasus semacam itu tidak hanya masalah etika yang dilanggar. Ada masalah pidana juga yang siap menjerat mereka. DKPP pada hari itu membacakan enam putusan, yakni perkara
Sehari DKPP Berhentikan 17 Penyelenggara Pemilu
“DKPP tidak akan melindungi kalau mereka memang terbukti melanggar kode etik. Pemberhentian ini untuk menyelamatkan nama baik lembaga, baik KPU maupun Bawaslu. dari Kabupaten Sarmi, Papua; Kabupaten Paniai, Papua; Kabupaten Bireuen, Aceh; Kota Palopo, Sulawesi Selatan; Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan; serta Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Dalam keterangannya, Ketua Majelis yang juga Ketua DKPP Prof. Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa DKPP
terpaksa memberhentikan mereka karena memang terbukti melanggar kode etik. “DKPP tidak akan melindungi kalau mereka memang terbukti melanggar kode etik. Pemberhentian ini untuk menyelamatkan nama baik lembaga, baik KPU maupun Bawaslu. Harapannya, Pilpres yang sudah dekat ini jangan lagi dikotori oleh mereka-mereka yang bermasalah,” terang Jimly. Sidang putusan ini untuk pertama kalinya dilakukan secara video conference. Ketua Majelis Jimly Asshiddiqie didampingi Anggota Nur Hidayat Sardini, Saut Hamonangan Sirait, Valina Singka Subekti, Anna Erliyana memimpin dari ruang sidang DKPP di Jakarta. Sementara Tim Pemeriksa Daerah serta para Pengadu dan Teradu berada di Kantor Bawaslu Provinsi sesuai daerah asal perkara. l
Arif Syarwani
Bung Palu Pungut hitung pemilihan suara Pemilu Legislatif 2014 sudah selesai, prosesnya berjalan dengan lancar. n DKPP apresiasi kerja keras KPU, Bawaslu dan Kepolisian n Giliran Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bekerja ekstra keras menerima laporan dan pengaduan-pengaduan dari peserta Pemilu
11
Teropong
S
ecara umum Pemilu Legislatif Tahun 2014 telah berjalan sesuai dengan rencana. Setiap tahapan pemilu sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Meskipun demikian, raport Pemilu tahun ini memiliki nilai-nilai merah. Persoalan-persoalan yang terjadi dalam Pemilu Legislatif sekarang frekuensi dan intensitasnya paling tinggi dalam sejarah Pemilu pascareformasi ini. Menurut Pengajar Fisip Undip Nur Hidayat Sardni SSos MSi, permasalahan yang muncul dalam Pemilu Legislatif seperti tertukarnya surat suara antardapil. Secara nasional menurut catatan Bawaslu di 400 dapil. Contohnya, di Jatim ada 18 dapil, yakni Kota Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Gresik, Bojonegoro, Jombang, Malang, Kediri, Nganjuk, Probolinggo, Banyuwangi, Lumajang, Madiun, Ponorogo, Bangkalan, Pamekasan, Kabupaten Kediri dan Lumajang. Kasus yang sama di provinsi lain seperti NTT ada 21 kabupaten, di DIY ada 5 kabupaten/kota. ”Di Jawa Tengah, tertukar surat suara terjadi di Banyumas, Rembang dan Salatiga,” kata Nur Hidayat Sardini yang juga anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam acara Seminar Nasional Evaluasi Pileg 2014 di Ruang Seminar Fisip Undip, Semarang, Jawa Tengah, pada Senin (19/5). Persoalan berikutnya seperti merebaknya praktik politik uang atau money politic. Lembaga survei menyebutkan, rata-rata orang menginginkan adanya uang sebesar antara Rp 50 ribu hingga Rp 200 ribu. Para pemilih menanti adanya praktik ini. ”Bahkan politik uang ini justru melibatkan petugas atau penyelenggara Pemilu di daerah,” jelas mantan ketua Bawaslu RI itu. Masalah lain yang terjadi dalam Pemilu 2014 adalah manipulasi suara seperti penambahan suara, pengurangan suara, penggeseran suara, dan penghilangan suara. ”Manipulasi suara di form model D/DA/DB/DC/DD, BA, Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Partai Politik dan Perolehan Suara Calon di setiap tingkatan dalam Pemilu Tahun 2014,” jelas kandidat doktor ilmu politik itu. Peran dan Fungsi DKPP Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) berperan menindak para penyelenggara pemilu yang melanggar kode etik penyelenggara Pemilu. Terkait dengan kasus tahapan pemungutan dan penghitungan suara per tanggal 14 Mei 2014 DKPP telah menerima 247 kasus. Dari jumlah tersebut, pihak Teradu KPU
12
Problematika Pemilu 2014 sebanyak 166 kasus sedangkan Teradu dari Bawaslu sebanyak 58 kasus. Dari kasus-kasus yang masuk ke DKPP, hasil kajian verifikasi materil 79 kasus masuk sidang, 62 kasus yang masuk kategori dismissal atau ditolak, 24 kasus yang belum memenuhi syarat, 4 perkara yang ditunda karena perlu kajian lebih dalam dan 78 kasus masih dalam pelengkapan oleh Pengadu. ”Perlu diketahui, sebanyak 79 perkara laik sidang tersebut, sebanyak 44 perkara sudah disidangkan dalam pekan yang lalu, dan sebanyak 22 perkara di dalamnya akan dibacakan Putusannya pada Jumat 23 Mei 201,” terang Sardini. Dengan demikian, selama DKPP berdiri, dari tahun Juni 2012 hingga 9 Mei 2014, lembaga yang diketuai oleh Prof Jimly Asshiddiqie telah menerima 1.047 pengaduan, perkara yang didismissal sebanyak 793 kasus, perkara yang naik sidang sebanyak 254 kasus. ”Dari kasus-kasus yang disidangkan, DKPP telah merehabilitasi 444 penyelenggara pemilu, memberikan peringatan tertulis sebanyak 160 penyelenggara pemilu, pemberhentian sementara sebanyak 13 orang dan memberhentikan tetap 143 orang,” ungkap pria yang disapa NHS itu. Evaluasi NHS menjelaskan, akar permasalahan yang terjadi pada Pemilu 2014 adalah sistem Pemilu Proporsional dengan daftar terbuka melalui penetapan perolehan suara terbanyak sebagai pemenang, menyumbang persoalan-persoalan Pileg tahun 2014 ini, seperti bergesernya orientasi politik pemilih sebagai representasi cermin keadaan masyarakat, juga menyumbang karut-marut Pemilu dan problematika-problematika sosial nonPemilu masuk dan memanfaatkan even
Pemilu sebagai cara untuk mengeduk keuntungan-keuntungan. ”Mungkin mereka mencontoh perilaku elite politik kita. Sebagai bagian dari masyarakat, petugas/penyelenggara Pemilu masuk dalam turbulensi persoalan, sehingga memanfaatkan momentum Pemilu sebagai usaha untuk mencari keuntungan-keuntungan bagi diri dan kelompoknya,” jelas dia. Namun Pemilu Presiden dan wakil presiden mungkin tidak akan serumit Pileg ini, namun khusus bagi petugas/ penyelenggara Pemilu, haruslah ada tindakan tegas bila perlu dipecat. Sedangkan untuk Pileg tahun 2019, sistem Pemilu hendaknya diubah menjadi Proporsional dengan daftar tertutup, sehingga urusan persaingan di antara caleg adalah urusan dan diselesaikan secara internal di partai politik. ”Untuk perbaikan, sudah saatnya kita menerapkan sistem e-counting dalam rekpitulasi suara, karena sistem penghitungan dan rekapitulasi suara sejak PPS dan PPK menjadi simpul-simpul deviasi manipulasi suara. Caranya adalah: Penerapan e-counting dilakukan untuk Jawa dan ibukota kabupaten/kota se-Indonesia, sementara untuk di luar daerah-daerah itu lakukan penghitungan suara manual di tingkat kabupaten/kota,” tutup pria beranak tiga itu. Selain Nur Hidayat Sardini, narasumber lainnya, Ketua KPU Jateng Joko Purnomo, Ketua Bawaslu Jateng Abhan Misbah dan mantan ketua KPU Jawa Tengah Fitriyah. Hadir dalam peserta seminar ini, para akademisi, aktivis penggiat pemilu dan tokoh masyarakat serta aktivis LSM. Hingga berita ini diturunkan seminar masih berlangsung.l
Teten Jamaluddin
Sisi Lain
Senang Dapat Berkontribusi untuk DKPP
M.
Aulia Ramadhani salah satu staf Bawaslu Provinsi Sumatera Selatan mengaku sangat senang karena dapat turut berperan dalam berbagai proses persidangan DKPP di daerah, khususnya sidang yang digelar di Sumatera Selatan. Menurut Aulia, DKPP memberikan warna baru dalam pengetahuannya terutama mengenai mekanisme persidangan yang belum pernah diketahui sebelumnya. Pria lulusan Teknik Elektro Universitas Sriwijaya ini merupakan salah satu staf yang di SK-kan Bawaslu sebagai supporting staff dalam pelaksanaan sidang DKPP di daerah. Menurut pria keturunan ”Pujakesuma” ini, tugas utamanya dalam persidangan di daerah bersama Tim Pemeriksa Daerah ini yakni menyiapkan berbagai persiapan jelang sidang serta menyiapkan perangkat video conference. Persiapan yang dilakukan oleh Aulia dan rekannya tentu tidak mudah. Menurutnya, apabila sidang digelar secara video conference, maka Aulia dan rekannya harus menyiapkan semua perangkat vidcon yang berada di Sentra Gakkumdu Provinsi Sumatera Selatan. Jarak antara Sentra Gakkumdu dengan Sekretariat Bawaslu Provinsi Sumatera Selatan cukup jauh, namun hal ini tidak menjadi kendala bagi mereka. ”Sebe-
lum vidcon dimulai, kami menyiapkan berbagai hal, dimulai dari menyapu/ membersihkan ruangan, menarik kabel hingga menutup kaca jendela dengan menggunakan koran bekas agar tidak mengganggu pencahayaan vidcon,” kata Aulia. Adapun kendala yang dihadapi oleh aulia dan rekannya yakni sempitnya ruangan vidcon, yang berukuran 2x3 meter. Menurutnya, tempat vidcon yang saat ini digunakan tidak cukup layak, apabila akan dipindah harus mendesain kabel/peralatan dari awal yang tentunya akan memakan waktu yang sangat lama. ”Namun, apabila sidang tidak digelar secara video conference, dalam artian Anggota DKPP hadir di Palembang, kami menyelenggarakan sidangnya di Sekretariat Bawaslu Sumsel, tempatnya cukup luas dan sangat kondusif, mejanya pun sudah tertata,” tambahnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Bahari salah satu staf Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara. Menurutnya, persidangan DKPP yang beberapa kali digelar di Sulawesi Tenggara baik melalui video conference maupun digelar secara langsung dengan Ketua Panel Majelis hadir di sana, telah memberikan ilmu dan pengalaman baru baginya. Lebih lanjut, Bahari juga menjelaskan sebelum pelaksanaan sidang DKPP sebagai supporting staff yang ditugaskan untuk membantu DKPP, pria asal pulau Muna
ini menjelaskan bahwa ada beberapa persiapan yang ia lakukan misalnya menata meja, menyiapkan peralatan vidcon, serta mengontak para pihak. Tak hanya berhenti disitu, saat sidang berlangsungpun, mereka juga turut berpartisipasi misalnya menjadi MC, atau membaca Tatib sidang, usai sidang mereka juga tetap bekerja seperti halnya staf DKPP pada umumnya. ”Kadang ada beberapa wartawan yang nanya-nanya pokok aduan, materi sidang dan lainlain,” kata Bahari. Lebih lanjut, Bahari juga mengungkapkan menjadi supporting staff DKPP di daerah, menambah kenalan/jaringan baginya, mulai TPD hingga rekan-rekan media. Demikian pula diungkapkan oleh Rusli, salah seorang staf Bawaslu Provinsi Aceh. Di Aceh telah beberapa kali digelar sidang DKPP di daerah, ini merupakan hal baru bagi Rusli dan rekanrekannya. Penggunaan video conference untuk sidang DKPP juga dirasa sebagai proses pembelajaran dalam mengoperasikan peralatan video conference agar lebih terasah. Menurut Rusli, kendala yang sering dihadapi selama menjadi supporting staff DKPP ialah mengenai keterlambatan informasi yang diterima. ”Kadang-kadang waktu kita lagi di daerah, dapat info tiba-tiba bahwa akan ada sidang, inikan membuat kami harus me-reschedule semua agenda kami,” katanya. l Susi Dian Rahayu
13
Kuliah Etika
Memahami dan Menerapkan Sistem Etika Dalam Praktik Kehidupan Sosial Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI
D
alam perspektif operasional, etika lebih luas daripada hukum. Untuk sempurnanya, maka jangan melanggar hukum dan etika. Misalkan dalam soal makanan saja harus betul-betul memperhatikan halalan thoyyibannya (halal dan baik). Tekait masalah pemerintahan, haruslah legal constitusional sehingga yang harus dilakukan adalah good governance . Saat ini demokrasi masih sebatas formalitas saja, bahkan praktik dalam berdemokrasi masih jauh dari harapan yang semestinya sehingga yang dibutuhkan adalah pemilu berintegritas. Sebagai pelajaran bahwa era modern sekarang, kampanye pemilu berintegritas tidak hanya di negara-negara yang tengah dilanda kemelut politik dalam dan luar negerinya tetapi telah menjadi perhatian negara-negara maju dan berkembang termasuk Amerika Serikat, Jerman, Ingrris, Perancis, Kanada, Australia, Philipina, Jepang, Korea Selatan dan lain-lain. Etika Terapan (Applied Ethics) Namun demikian, dalam tulisan ini sebagian besar pembahasaan diarahkan untuk mendiskusikan sistem etika dalam konteks pengertian ”applied ethics”, meskipun di sana-sini, keempatnya (etika deskriptif, normatif-preskriptif, meta-etik dan etika terapan) sama-sama disinggung. Perkembangan sistem kode
etika dan perilaku beserta infra-struktur penegakannya tidak lain merupakan etika terapan seperti dimaksud di atas. Etika terapan (applied ethics), dengan pendekatan filsafat, berusaha mengidentifikasikan ragam perilaku dalam pelbagai bidang kehidupan manusia yang secara moral dapat dinilai benar dan baik dalam peri kehidupan bersama umat manusia. Misalnya, di bawah ini dapat disebutkan beberapa bidang etika yang dimaksud yang telah berkembang dalam praktik di dunia dewasa ini. Ekonomi dan Bisnis Salah satu etika terapan yang berkembang sangat pesat dalam praktik adalah etika di bidang ekonomi, khususnya etika bisnis. Etika bisnis mengatur antara lain mengenai batasan-batasan bagi para manajer dalam upayanya mengejar atau mencari keuntungan perusahaan, atau tentang tugas ‘whistleblowers’ kepada publik yang harus lebih diutamakan daripada ketaatan pada atasan mereka dalam pekerjaan. Yang lain adalah etika pembangunan atau lebih tepatnya disebut etika pembangunan ekonomi (development ethics). Di bidang ekonomi dan bisnis ini, juga terdapat etika dalam manajemen (ethics in management), etika dalam penjualan produkproduk farmasi (ethics in pharmaceutical sales), dan lain-lain sebagainya. Pendek kata, sekarang ini, sudah hampir semua perusahaan besar di dunia telah mempunyai sistem kode etika dan standarstandar perilaku ideal bagi para pekerja
dan eksekutif perusahaan. Bio-etik (Bioethics) Bioetik berhubungan dengan identifikasi terhadap pendekatan-pendekatan ilmiah yang baik dan benar serta dapat dibenarkan seperti mengenai euthanasia, atau alokasi sumber-sumber daya kesehatan yang langka, atau tentang penggunaan organ-organ tubuh manusia dalam penelitian dan praktik kesehatan. Beberapa di antaranya, misalnya abolisionisme (bioethics), yaitu satu aliran pemikiran dan gerakan yang membolehkan pemakaian bioteknologi untuk memaksimumkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Ada pula etika kloning (Ethics of cloning), veterinary ethics, utilitarian bioethics, dan neuroethics. Etika Teknologi (Ethics of Technology) Di bidang teknologi terapan, juga berkembang yang dinamakan technoethics, yaitu sistem etika yang berkenaan dengan kegiatan pengembangan dan penerapan teknologi di tengah masyarakat. Beberapa sistem etika terapan yang dikembangkan di bidang ini misalnya ada ‘ethics of terraforming’, ada juga ‘cyberethics’, dan ‘ethics of artificial intelligence’. Yang terakhir ini mencakup juga ‘machine ethics’ dan ‘roboethics’. ‘Roboethics’ ini menyangkut perilaku atau perbuatan moral manusia dalam mendesain, mengkonstruksi, menggunakan dan memperlakukan robot sebagai makhluk intelek yang bersifat artifisial. Selain itu, di bidang teknologi ini juga ada ‘internet
Di bidang keorganisasian, dikenal pula adanya teori etika pengambilan keputusan (decision ethics) dan etika keanggotaan organisasi (organizational ethics). Yang juga sangat berkembang dan bahkan paling duluan berkembang dalam sejarah adalah etika profesi (professional ethics).
14
Kuliah Etika ethics’ dan ‘information ethics’.’ Etika Lingkungan Etika lingkungan hidup (environmental ethics) berhubungan dengan lingkungan hidup, yaitu tugas dan tanggungjawab moral manusia terhadap hewan, tumbuh-tumbuhan, dan bahkan lingkungan semesta alam pada umumnya. Hewan, hak tumbuh-tumbuhan dan bahkan hutan, gunung, sungai, lautan, dan ‘outer-space’, semuanya mempunyai hak untuk diperlakukan secara adil, baik, sehat, dan menjamin keseimbangan antar fungsi-fungsi kehidupan secara berkelanjutan. Bahkan dalam buku Green Constitution (Nuansa Hijau UUD 1945), saya juga sudah menggambarkan munculnya pengertian baru umat manusia tentang hak asasi lingkungan hidup seperti yang terdapat dalam Konstitusi Equador 2008. Ini juga yang tercermin dalam gerakan ”animal liberation” yang mempromosikan kesadaran baru bahwa kepentingan hewan yang memerlukan perhatian serupa dengan kepentingan manusia untuk dihormati, dilindungi, dan dipenuhi kepentingannya. Teoriteori etika di bidang ini misalnya adalah ”trail ethics” dan ”environmental virtue ethics”. Bahkan ada pula etika iklim (climate ethics) yang berkenaan dengan dimensi-dimensi etis perubahan iklim, dan konsep-konsep yang dikembangkan terkait dengan hal itu, seperti keadilan iklim (climate justice), dan sebagainya.
profesi (professional ethics). Etika sosial atau ”social ethics”, baik yang bersifat khas di masing-masing komunitas sosial maupun dalam arti sosial secara universal di antara bangsa-bangsa sebagai satu unit global berkenaan dengan perilaku ideal di bidang kehidupan sosial masyarakat. Misalnya, etika pergaulan bertetangga, etika kependudukan (population ethics), dan bahkan etika seksual. Di bidang keorganisasian, dikenal pula adanya teori etika pengambilan keputusan (decision ethics) dan etika keanggotaan organisasi (organizational ethics). Yang juga sangat berkembang dan bahkan paling duluan berkembang dalam sejarah adalah etika profesi (professional ethics). Sekarang hampir semua profesi yang diakui di dunia telah mempunyai sistem kode etik dan kode perilaku, seperti etika akuntansi, etika archeologi, etika insinyur, etika komputer, etika dan standar jurnalisme, etika penelitian dan riset internet, etika hakim, etika advokat, etika kepolisian, etika penerjemah, etika pekerja sosial, etika media, etika kedokteran, etika perawat, dan sebagainya.
ethics) yang juga sudah sangat berkembang dewasa ini ialah sistem etika di sektor publik dan penyelenggaraan kekuasaan negara. Inilah yang biasa dinamakan dengan istilah ”government ethics” ataupun ”ethics in public administration” yang sering disalahpahami seakan-akan hanya berkenaan dengan etika pemerintahan dalam arti sempit, yaitu terkait para pejabat di lingkungan pemerintahan eksekutif saja. Namun, dalam pengertian bahasa Inggris Amerika, ‘government ethics’ yang dimaksud adalah dalam arti yang luas, yaitu mencakup keseluruhan aspek sistem norma etika yang mengikat dan menuntun bagi para penyelenggara kekuasaan negara secara keseluruhan. Bahkan, sekarang, terkait dengan ini dalam pelbagai forum Internasional pun sering mulai dijadikan agenda penting yang menghasilkan berbagai konvensi internasional mengenai etika bagi para pejabat publik. (*)
Etika Sektor Publik (Public sector ethics): Etika terapan (applied
Etika Sosial, Etika Organisasi, dan Etika Profesi Teori-teori lain yang sangat penting di bidang etika ini adalah etika sosial (social ethics), etika berorganisasi (organizational ethics), dan etika
15
Parade Foto foto: Irma
DKPP menghadiri Rapat Pleno Terbuka d Rekapitulasi dan Penetapan Suara pada Pileg yang telah digelar pada 9 April 2014 lalu.
foto: Irma
Sidang Kedua Cianjur. Ketua Majelis Sidang DKPP Nur Hidayat Sardini (tengah) didampingi empat Anggota Tim Pemeriksa Daerah Jawa Barat, yakni Harminus Koto, Agus Rustandi, Nina Herlina Lubis, dan Affan Sulaeman, saat sidang kedua untuk perkara PPK dan KPU Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Sidang digelar di ruang sidang DKPP, Jakarta, Rabu (20/5/2014). foto: Irma
DKPP hadirkan saksi dalam sidang peretasan website yang digelar di Pengadilan Negeri Lahat Sumatera Selatan Kamis, 17 April 2014. Bertindak selaku ketua majelis hakim Abdul Ropik, SH didampingi hakim anggota Joni Mauluddin, SH dan Lusiantari, SH.
16
foto: Irma
DKPP gelar acara Penyusunan Peraturan Tentang Sidang Jarak Jauh di Hotel Mirah Bogor (1-3/5) acara dibuka langsung oleh Ketua DKPP, Prof. Jimly Asshiddiqie didampingi Nur Hidayat Sardini dan Saut H. Sirait. foto: Irma
DKPP gelar putusan untuk 22 perkara dan disaksikan secara live di kantor Bawaslu se Indonesia oleh Pengadu, Teradu dan TPD yang tidak dapat hadir di Jakarta.
foto: Arif Syarwani
Ketua panel sekaligus anggota DKPP, Nur Hidayat Sardini memimpin sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu di wilayah Provinsi Kepulauan Riau memastikan kebenaran bukti dokumen kepada Pengadu, Senin (13/5).