Melingkupi Pluralitas, Merengkuh Imparsialitas ArifSusanto ABSTRAKSI: ]ika demokrasi dipahami sebagai pemerintahan yang didasarkan pada persetujuan publik yang diperoleh melalui diskusi, maka penalaran publik tidak mungkin dikesampingkan begitu saja sebagai suatu hal esensial. Amarrya Sen melihat bahwa penalaran publik dalam suatu 'imparsialitas terbuka' adalah jalan keluar bagi dilema antara kebutuhan a)<:an demokrasi yang efektif dan perlindungan bagi kebebasan dan pluralitas. PersetiIjuan publik adalah mungkin kendati imparsialitas nalar senditi bisa saja beragam; dan hal itu dimungkinkan sejauh kebebasan, kesetaraan. dan penerimaan melandasi operasionalisasi suatu penalaran publik mengenai persoalanpersoalan esensial di dalam masyarakat politik. KATA KUNCI; demokrasi. penalaran publik, imparsialitas. ABSTRACT: When democracy is realized as a government by discussion, it is hard to deny that public reasoning is something essential here. Amartya Sen, through a more comprehensive approach ojdemocracy, thought thatpublic reasoning by an 'open impartiality'is a solutionflr the dilemma between requirements ojan iffective democracy and protection of.freedom and plurality. Public agrement is posible though impartiality oj reason could be varied between people. This possibility is widely opened as long as public reasoning ojpeople's essentials based on.freedom, equality and acceptance. KEy WORDS: democracy, public, reasoning, impartiality
1.
PENDAHULUAN 'Saya putus asa. Saya punya ide gila: buat saja kebun koruptor di sam-
ping kebun binatang." Kalimat tersebut merupakan ekspresi rasa frustrasi Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD terhadap maraknya korupsi di Indonesia. kendati telah banyak koruptor yang dipenjara. Selain soal kebun koruptor. RE5PON5 volume 16 no. 02 (2011): 199 - 222 © 2011 PPE-UNIKA atma java, Jakarta
155N: 0853-8689
RESPONS - DESEMBER2011
Mahfud juga pernah mengusulkan agar koruptor di Indonesia dihukum mati. Bagi Mahfud, hal iru tidak melanggar hak asasi manusia sejauh dibuat undangundang yang mengarurnya. Persoalan hukuman mati dalam kasus di atas, yang memiliki keterkaitan dengan hak asasi manusia (HAM), merupakan bagian dari persoalan mendasar atau hal esensial bagi suaru negara. Berbagai hal yang esensial seeara konstitusional menyangkut kepentingan hidup banyak orang, dan bahkan dapat menenrukan eksistensi suaru negara. Pembahasan tentang hal-hal esensial semaeam itu dal:im suaru negara demokrasi separurnya tidak dibatasi hanya dengan melibatkan kalangan tertenru seeara elitis atau melingkupi pandangan tenentu seeara eksklusif. Pelibatan dan pelingkupan semua orang unruk memastikan keterbukaan penalaran publik atas berbagai konsepsi tenrang keadilan tersebur, menjadi somber yang menegaskan legitimasi sekaligus stabilitas aturan yang dihasilkan melalui penalaran publik. Penalaran publik merupakan suatu ciri yang menenrukan keberadaan suaru negara demokrasi. Dalam penalaran publik, warga negara yang bebas dan setara terlibat dalam suaru dialog untuk membahas persoalan esensial bagi kebersamaan mereka sebagai suaru kesaruan poliiik. Dengan kebebasan tersebut, tidak boleh terdapat suatu halangan sistematis bagi mereka yang hendak menyampaikan pandangan-pandangannya. Dengan kesetaraan tersebut, tidak terdapat suaru kedudukan istimewa bagi kelompok atau pandangan kelompok tertenru. Lebih jauh, suaru perspektif global bahkan dapat saja dibutuhkan sejauh relevan unruk menimbang persoalan-persoalan lokal dengan menelaah pengalaman-pengalaman komunitas atau negara lain.
Rcspons 16 (2011) 02
200
ARIF SUSANTO - MELINGKUPI PLURALITAS, MERENGKUH IMPARSIALITAS
Akan tetapi. di tengah keberagaman. tidakkah penalaran publik semacam itu akan membuat demokrasi menjadi semakin tidak efektif? Inilah suatu bentuk tantangan bagi masyarakat demokrasi kontemporeryangsemakin kompleks. Kita mendapati, dalam berbagai masyarakat politik. keberagaman orientasi (agama. emisitas. ideologi. politik. dan sebagainya) yangmempengaruhi pandangan-pandangan publik terhadap persoalan tertentu. Sementara di tengah keberagaman tersebut. masyarakat politik bukan semata dituntut untuk mewujudkan suatu bentuk pengambilan keputusan yang efektif, melainkan betkeharusan pula untuk menjaga derajat legitilpasi keputusan. Tuntutan lain yang juga mengancap masyarakat politik yang kompleks adalah bagaimana memelihara keberagaman orientasi di antara mereka tanpa harus mengorbankan solidaritas. yang merupakan salah satu syarat bagi keberlangsungan suatu masyarakat politik. Dalam beberapa karya terakhirnya. terutama The Idea rifJustice. Amartya Sen memberi perhatian besar pada persoalan demokrasi sebagai suatu penalaran publik. Tantangan antara 'bagaimana mencapai suatu kesepahaman' dan 'bagaimana melindungi keberagaman' dicoba untuk dipecahkan oleh Sen tanpa harus mengorbankan penalaran publik sebagai esensi demokrasi. Menurut Sen. adalah mungkin untuk mendapatkan berbagai bukan selalu tunggal pandangan yang setimbang tentang suatu persoalan esensial bersama. Namun. sebelumnya mesti dipastikan bahwa penalaran publik dijalankan dalam suatu 'imparsialitas terbuka' yang menimbang bukan semata kepentingan dan pandangan anggota kelompok senditi, melainkan termasuk juga kepentingan dan pandangan mereka yang memiliki relevansi dengan persoalan tersebut. Adalah menarik untuk mempertanYakan lebih lanjut bahwa jika pe~ nalaran publik memang sungguh penting bagi keberlangsungan masyarakat
201
Respons 16 (2011) 02
RESPONS - DESEMBER2011
politik serta terpeliharanya demokrasi, bagaimana kita mesti menangani keberagaman nalar yang dilandaskan pada nilai-nilai yang berlainan? Lebih lanjut, dalam keberagaman tersebut, dapatkah penalaran publik terhindar dati pemihakan subjektif terhadap nilai partikular? Tulisan berikut akan menjawab pertanyaan tersebut dengan mengelaborasi, terutama, gagasan Amarrya Sen tentang demokrasi sebagai penalaran publik dan pluralitas nalar imparsial. Secara iunum, tulisan ini berangkat dari suatu keyakinan bahwa sejauh kebebasan, kesetaraan, dan penerimaan melandasi operasionalisasi suatu penalaran publik atas persoalan-persdalan esensial dalam masyarakat politik, imparsialiras nalar sangat mungkin dapat diwujudkan (meskipun tidak dalam bentuknya yang tunggal, utuh, dan final).
2.
SUATU PEMERINTAHAN MELALUI DISKUSI Suatu ketika pada 1997, Sen ditanya tentang apakah 'hal terpentingyang
tetjadi selama abad keduapuluh'. Tanpa kesulitan, demikian pengakuannya, Sen menegaskan bahwa kemunculan demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan yang diterima secara umum merupakan penanda abad tersebut. Pernyataan tersebut, meskipun tegas dan kuat, bukanlah pengakuan pertama dan satu-satunya atas perkembangan fenomenal demokrasi. Samuel P. Huntington (1991) telah mengidentifikasi 'gelombangketiga demokratisasi' yang awalnya menyapu Etopa Selatan sebelum kemudian mengglobal, sementara Seymour M. Upset dan Jason M. Lakin (2004) menulis tentang 'abad demokrasi' berkenaan dalam persebaran luar biasa demokrasi dalam tiga dekade sebelumnya. Jika ditelisik lebih jauh, terdapat beberapa nama lain yang juga menegaskan hal serupa.
Respons 16 (2011) 02
202
ARIF SUSANTO - MELINGKUPI PLURALITAS. MERENGKUH IMPARSIALITAS
Namun demOOan, berbeda dengan sebagian pemikir yang lebih menyukai suatu definisi minimal tentang demokrasi dalam kerangka Pemilihan Umum (Pemilu) Sen memilOO kerangka poor yang lebih komprehensif dalam memandang apa itu demokrasi. Kita bisa membandingkan hal tersebut dengan menimbang beberapa contoh gagasan. Huntington (1991:9) menyebutkan bahwa pemilihan umum yang terbuka, bebas, dan berkeadilan merupakan esensi demokrasi serta merupakan tuntutan yang mesti dipenuhi rezim demokratis. Senada dengan itu, Lipset dan Lakin (2004:19) melihat demokrasi sebagai suatu tatanan yang di'dalamnya orang memilOO kekuasaan untuk memilih pemimpin melalui pemilihan umum yang kompetitif, bebas, dan berkeadilan. Kerangka pandang minimalis semacam itu secara umum melandaskan diri pada fokus kajian Joseph A. Schumpeter atas peran rakyat untuk menghasilkan suatu pemerintahan. Dengan fokus tersebut, Schumpeter (1987:269) menafsirkan 'metode demokrasi' sebagai "tatanan kelembagaan bagi pengambilan keputusan yang eli dalamnya individu memilOO kekuasaan untuk memutuskan melalui pertarungan kompetitif demi mendapatkan dukungan rakyat." Selanjutnya. cara poor Schumpeterian banyak memusatkan perhatian pada tatanan kelembagaan, terutama Pemilu, untuk menimbang demokrasi. Kerangka pandang minimalis semacam ini pada dasarnya berpotensi untuk tersuruk dalam 'suatu jebakan elektoralisme' yang memandang pemenuhan prosedur formal penyelenggaraan Pemilu sebagai pokok yang paling menentukan hadirnya suatu pemerintahan demokratis.! Dengan pemahaman minimalis tersebut. kita mesti maklum jika terdapat suatu rezim yang mengaku diri sebagai demokratis semata karena mereka menyelenggarakan pemilihan umum berkala.
203
R~pons16(2011)02
RESPONS - DESEMBER 2011
Melampaui elektoralisme, Sen melihat bahwa demokrasi merupakan suatu sistem yang menuntut banyak hal, bukan semata suatu kondisi mekanis seperti tatanan mayoritas dalam Pemilu yang dapat saja diselenggarakan dalam keterasingan warganegara. Dalam suatu penjelasan rinci, Sen (1999:8-9) me-
nguraikan: Demokrasi memiliki tuntutan yang kompleks, bukan semata pemungutan suara dan pengakuan terhadap hasil Pemilu, melainkan terdapat pula tuntutan perlindungan terhadap kebebasan, pen~hargaan terhadap hak kepemilikan, serta jaminan atas kebebasan berdiskusi dan ketiadaan sensor atas distribusi berita maupun ulasan berimbang. Bahkan Pemilu dapat pula bermasalah seandainya hal tersebut dilangsungkan tanpa ada kesetaraan kesempatan bagi para peserta Pemilu untuk menunjukkan pandangan-pandangan mereka, atau jika para pemilih tidak memiliki kebebasan untuk memperoleh informasi dan untuk menimbang pandangan-pandangan para peserta Pemilu. Bukan berarti bahwa Sen menampik peran penting Pemilu; Pemilu tetap merupakan hal penting, namun bukan satu-satunya. Pemilu sesungguhnya merupakan salah satu cara agar diskusi publik menjadi efektif di tengah kompleksitas suatu masyarakat. Tetapi, mesti diingat bahwa efektivitas tersebut hanya mungkin terwujud manakala kebebasan untuk turut serta dalam Pemilu diiringi kebebasan asasi lainnya. Dalam suatu pemahaman lebih luas tentang demokrasi, Sen (2006: 14, 2009:326) melihat bahwa persoalan pokoknya adalah partisipasi politik, dialog, dan interaksi publik. Singkamya, Sen memperRespons 16 (2011) 02
204
ARIF SUSANTO - MELINGKUPI PLURALITAS, MERENGKUH IMPARSIALITAS
luas folms melampaui sekadar tatanan kelembagaan umuk bergerak meliputi praktik demokrasi berupa penalaran publik. Dalam penalaran publik tersebut termasuk pula kesempatan warga negara untuk turut serta dalam dislmsi publik
dan untuk memengaruhi pilihan publik. Pemilu merupakan salah satu bentuk penalaran publik dalam suatu masyarakat demokratis. Dalam Pemilu yang demokratis, para kandidat membeberkan pandangan-pandangan mereka, sementara publik pemilih berkehendak bebas untuk menentukan pilihan-pilihan mereka. Pada sisi lain, lmalitas Pemilu antara lain bergantung pafla kebebasan informasi dan penyampaian pendapat yang dinikmati publik. Keduanya memberi sumbangan besar pada kemampuan warga negara untuk dapat membuat pilihan-pilihan tindakan berkualitas dalam penalaran publik. Dengan menimbang penalaran publik, pandangan Sen tentang demokrasi memiliki folms lebih luas meliputi segi-segi diskursif yang menandai keterlibatan warga negara dalam pengelolaan urusan bersama, dan bukan terpusat semata pada tatanan kelembagaan yang berperspektif lebih sempit (seperti Pemilu)? Kebebasan politik adalah apa yang dibutuhkan orang agar mereka dapat menentukan pilihan masing-masing tanpa kekangan. Selanjutnya, untuk dapat terlibat secara cerdas dalam diskursus publik, orang membutuhkan kebebasan informasi. Demi memajukan penalaran publik, dengan demikian, perlu ada dukungan terhadap suatu pers yang bebas dan mandiri. Sen (2009:335-337) mengidentifikasi lima alasan mengapa negara demokrasi membutuhkan media massa yang tidak terkekang. Pertama, kebebasan berbicara secara umum dan kebebasan pers secara khusus berkontribusi langsung terhadap kualitas kehidupan kita. Kedua, pers memiliki suatu peran informasional dalam menyebarluaskan pengeta205
Respons 16 (2011) 02
RESPONS - DESEMBER2011
huan dan memungkinkan pencermatan kritis. Ketiga, kebebasan media memiliki suatu peran protektifyang penting dalam memberi suara bagi mereka yang terabaikan dan yang terpinggirkan. Keempat, kesepahaman tentang nilai bersama secara cerdas dan bebas membutuhkan keterbukaan dalam berkomunikasi dan berargumen. Terakhir, suatu media yang berfungsi dengan baik dapat memainkan suatu peran penting dalam menunjang penalaran publik secara umum. Cara pandang semacam ini memungkinkan kita melihat adanya keterkaitan antara kebeoasan yang saru dan kebebasan yang lainnya. 3 Berbagai ben-
,
tuk kebebasan, seperii kebebasan informasi atau kebebasan politik, cendetung dapat menopang kemampuan orang untuk hidup lebih bebas secara umum. Hal ini membuat orang tidak mungkin mengabaikan 'peran konstitutif' kebebasan yang patut ditempatkan sebagai tujuan suatu tindakan. Demikianlah kita dapat memahami demokrasi dan Pemilu: bahwa Pemilu sebagai salah satu indikator demokrasi membutuhkan tingkat kebebasan tertentu, dan jika dijalankan secara kompetitif. Pemilu kiranya akan mampu menghasilkan tataran kebebasan yang lebih luas bagi warga negara. Dengan pemahaman berorienrasi nyaya (suaru konsep komprehensif tentang perwujudan keadilan; bukan konsep minimalis yang berfokus pada kepatutan organisasional), Sen menegaskan bahwa keberhasilan demokrasi bukan semata persoalan bagaimana memiliki stroktur kelembagaan paling sempurna. Lebih daripada itu, demokrasi berganrung pula pada pola perilaku aktual kita dan bekerjanya interaksi politik dan sosial. "Bekerjanya lembaga demokrasi, sebagaimana bekerjanya seluruh lembaga, bergantung pada aktivitas agen manusia dalam mendayagunakan kesempatan untuk mewujudkannya dalam kenyataan" (Sen, 2009:354). Demokrasi, dengan demikian, harus dieer'QPIOnnn<:
1h (',01
n 02
206
ARIF SUSANTO - MELINGKUPI PLURALITAS, MERENGKUH tMPARSIALITAS
mati bukan semata melalui ada atau tiadanya lembaga-Iembaga politik fotmal, melaiukan lebih jauh melihat pula tingkat kebebasan dan akomodasi terhadap suara-suara yang berlainan dari berbagai kelompok masyarakat. Demokrasi sebagai pemerintahan partisipatori menempatkan penalaran publik sebagai suaru hal pokok dalam gambaran berlingkup lebih luas.
3.
. MAKNA PENTING PENALARAN PUBLIK Kita kerap dihadapkan pada persoalan-persoalan yang bukan menyang-
kut kepentingan orang ph orang semata dalam kehidupan bernegara, karena cukup banyak persoalan yang memiliki keterkaitan dengan kepentingan banyak orang. Secara sederhana kita dapat membedakan negara demokrasi dari yang non-demokrasi dengan melihat bagaimana persoalan bersama tersebut dikelola. Negara demokrasi akan menimbang pandangan-pandangan yang berlainan, sementara negara non-demokrasi lebih banyak mengindahkan pandangan elite, sebelum strukrur kekuasaan mengambil suatu keputusan. Demi menampik kesemena-menaan, untuk membicarakan persoalan-persoalan esensial bersama semacam itu kita membutuhkan suatu penalaran publik. Dalam Political Liberalism, John Rawls menegaskan bahwa penalaran publik merupakan karakteristik suatu masyarakat demokratis. Inilah penalaran oleh warga negara yangmemiliki status setara. Suatu benruk penalaran bersama, demikian menurut Rawls (1996:213), menjadi suatu penalaran publik karena tiga hal: 1] penalaran itu dilakukan oleh warga negara sebagai suatu publik, 2] ia membahas kebaikan' publik dan persoalan-persoalan keadilan mendasar, serta 3] diselenggarakan secara terbuka dengan menimbang berbagai ideal dan prinsip hasil konsepsi masyarakat tentang keadilan politik. 207
Respons 16 (2011) 02
RESPONS - DESEMBER2011
Pembatasan sebagaimana ditunjukkan Rawls menjadi penting, antara lain untuk memastikan bahwa tidak seluruh persoalan akan masuk dalarn pertimbangan publik untuk dibahas bersarna. Jika hal iru terjadi, suatu toralisasi oleh politik atas selutuh persoalan akan merupakan suatu bentuk kesemenamenaan. Tidak semua persoalan merupakan bagian dari persoalan politik mendasar yang membutuhkan penalaran publik; terdapat pula penalaran nonpublik atas persoalan-persoalan individual atau asosiasional dengan latar belakang yang partikular. Sementara, nilai-nilai politik mendasar menyangkut persoalan-persoalan sephti apakah sepatutnya ada larangan terhadap keyakinan atau ideologi tertentu, bagaimana negara harus bersikap terhadap perbedaan akses ekonomi yang berdampak ketimpangan pendapatan, perlukah diberikan perlakuan khusus terhadap kelompok terpinggirkan, serta persoalan-persoalan serupa lainnya merupakan pokok-pokok yang patut ditimbang dalarn penalaran publik. Pada dasarnya, dalam ideal penalaran publik rersebut warga negara membahas hal-hal mendasar dalarn suatu kerangka konsepsi polirik rentang yang adil. Konsepsi itu sendiri dilandaskan pada nilai-nilai yang coba untuk diusung oleh pihak-pihak terkait agar diakomodasi dalarn keputusan. Pada saar yang sarna, penalaran publik juga mesti memberi ruang bagi konsepsi-konsepsi berlainan rentang yang ideal. Kesetaraan kedudukan warga negara patut diiringi adanya kesetaraan kesemparan untuk mengunjukkan berbagai konsepsi, bahkan yang berrolak belakang, untuk ditimbang bersama. Keterbukaan semacarn iru memastikan bahwa keputusan, hasil penalaran publik, tidak sejak awal dirancang untuk memberi keistimewaan pada konsepsi terrentu yang diyakini oleh kelompok elite arau kelompok mayoritas ResDons 16 (2011) 02
208
ARIF SUSANTO - MELINGKUPI PLURALITAS, MERENGKUH IMPARSIALITAS
dalarn masyarakat. Lebih daripada itu, hal yang sarna juga memberi kita pilihan lebih banyak dalarn menimbang alternatif terbaik sejauh itu marnpu dicerna. "Kita semua mampu menalar secara baik jika kita membuka pikiran terhadap informasi yang masuk dan merefleksikan berbagai argumen yang datang dari berbagai penjuru" (Sen, 2009:43). Hal ini kitanya akan memungkinkan keputusan yang diarnbil bukan semata masuk akal, melainkan pula dapat diterima karena memiliki alasan penjelas yang memenuhi kriteria memberi kemanfaatan publik secata setimbang.
,
Penalaran publik merupakan suatu bentuk deliberasi yang menempatkan kedaulatan di tangan pemiliknya yang sah, yaitu publik. Di sini publik merupakan suatu kekuatan politik demokratis, yang dengan kebebasan dan kesetaraan mereka memiliki hak untuk menentukan apa yang dipandang tepat bagi kehidupan bersama. Publik adalah suatu 'lembaga kolektif' dengan kekuatan politik yang menentukan, dan partisipasi melalui penalaran publik mengejawantahkan kekuatan bersarna tersebut. Melalui penalaran publik inilah orang terlibat dalarn suatu perdebatan interaktif tentang bagaimana suatu persoalan mesti ditimbang. Penalaran tersebut berkenaan dengan cara tepat untuk memandang dan memperlakukan orang lain, budaya lain, pendakuan lain, serta berkenaan pula dengan pencermatan atas berbagai alasan bagi tindakan menghargai dan menoleransi (Sen, 2009:46-47). Sudah cukup jelas bahwa kepentingan bersarna yang membutuhkan pencermatan publik tersebutdapat menyangkut banyak hal, bukan terbatas soal penentuan kendali kepemimpinan melalui suatu Pemilu. Dalarn pemahaman yang lebih luas sekaligus lebih praktis, Sen memandang penting keterlibatan publik untuk merumuskan apa yang menjadi kepentingan dan kebutuhan mereka serta untuk memengaruhi proses 209
Rt"'o:nnn,,, 1(.; ('.n 11) 0'
RESPONS - DESEMBER2011
pengambilan kebijakan publik. Dengan keterlibatan aktif semacam itu, publik tidak lantas dipandang semata sebagai angka dukungan pada saat Pemilu dan dilupakan sesudahnya. Selanjutnya, penting untuk dimengetti bahwa kebebasan politik yang diperlukan bagi suatu penalatan publik yang mandiri tidaklah tak tetkait dengan bentuk-bentuk kebebasan lainnya. Kebebasan yang satu dapat secata instrumental memperluas kebebasan yang lain; dan bukan hanya itu. pengambiIan kebiijakan publik juga harus diorientasikan untuk memperluas kebebasan
•
watga negara. Hal inl menempatkan kebebasan bukan semata sebagai satana utama, melainkan pula sebagai tujuan utama tindakan-tindakan publik. Aspek kebebasan dan pattisipasi ini memperoleh perhatian besar dalam pemikiran Sen. antara lain ketika Sen (2000:18) menyatakan bahwa kapabilitas dapat ditingkatkan melalui kebijakan publik, dan atah kebijakan publik dapat dipengaruhi melalui pendayagunaan efektifkapabilitas pattisipatoti oleh publik. Dengan pemahaman dasar bahwa pemenuhan kebutuhan ekonomi dan hak-hak politik hatus sejalan, maka kepentingan ekonomi di politik tidak hatus dipakai bertolak belakang secata diametrikal. Sen tegas menolak atgumentasi bahwa otoritarianisme terutama dalam kasus negata-negata Asia- mampu menghasilkan pettumbuhan ekonomi lebih baik dibandingkan demokrasi.4 Sebaliknya. bagi Sen (1997) hal itu justru membuktikan bahwa perturnbuhan ekonomi yang pesat membutuhkan "suatu iklim ekonomi yang bersahabat ketimbang sistem politik yang lebih menindas." Sesungguhnya, kemajuan ekonomi negara-negara dengan tatanan otoriter lebih dapat dijelaskan oleh faktor-faktor seperti stabilitas sosial, jaminan atas hak milik, pemenuhan kontrak, dan bukan oleh pemberangusan hak-hak sosial politik warga negara. R"non., 16 (2011) 02
210
ARIF SUSANTO - MELINGKUPI PLURALITAS. MERENGKUH IMPARSIALITAS
Lebih lanjut Sen (2000:147-148) menjelaskan keterkaitan di antara bentuk-bentuk kebebasan tersebut: Adapersoalan lain yang sesungguhnyaperlu dicermati. yaitu keterkaitan silang yang ekstensif antara kebebasan politik dan pemahaman serra pemenuhan kebutuhan ekonomi. Keterkaitan tersebut tidak semata instrumental (kebebasan politik dapat memiliki suatu peran penting dalam memberi dorongan insentif dan informasi bagi solusi kebutuhan ekonomi akut). melaink-
•
an pula konstrukti£ Konseptualisasi kita tentang kebutuhan ekonomi amat bergantung pada perdebatan dan diskusi publik terbuka. yangjaminan terhadap hal itu membutuhkan ketegasan menyangkut kebebasan politik dan hak-hak kewargaan. Dalam kerangka pemenuhan kebutuhan, demokrasi betikut segenap kebebasan di dalamnya mampu memberi insentifuntuk mencegah pengabaian kebutuhan rakyat. Dengan demikian, kritisisme publik akan menegaskan hukuman bagi para pemimpin yang abai terhadap kebutuhan rakyatnya. Demikian pula, pers yang bebas dapat menyediakan informasi mencerdaskan sekaligus menjadi suatu sistem peringatan dini dalam kasus terjadinya ancaman bencana kelaparan. 5 Demokrasi, dengan demikian. memiliki suatu peran protektif untuk menghindarkan atau mencegah meluasnya suatu bencana. Adalah penting untuk dikemukakan di sini bahwa perdebatan dan diskusi publik. sekali lagi, dapat memainkan suatuperan besar dalam pembentukan nilai, termasuk di dalarnnya, adalah bahwa identifikasi kebutuhan tidak mungkin tidak dipengaruhi oleh partisipasi dan dialog publik. Ini berarti bah211
Respons 16 (2011) 02
RESPONS - DESEMBER 2011
wa dampak diskusi publik tidak semata terkait dengan politik. Dalam lingkup lebih luas, rumbuh suburnya diskusi publik dapat pula membuat pemenuhan keburuhan-keburuhan lain dapat berfungsi secara lebih baik. Tepatlah jika Sen (2009:113) menyatakan bahwa sesungguhnya keterkaitan mendasar antara penalaran publik. di saru sisi, dan tunrutan bagi pengambilan kepurusan sosial partisipatori, di sisi lain, merupakan hal pokok dalam praktik menjadikan demokrasi lebih efektif. Makna penring interaksi dialogis secara terbuka di antara warga negara bukan hanya memu'bgkinkan dipertimbangkannya pandangan-pandangan yang berlainan. tetapi dialog serupa juga membuka peluang bagi pencermatan kritis dan cerdas atas pilihan-pilihan yang tersedia. Selanjutnya, ketika suaru kepurusan telah diambil, pencermatan ulang atas kepurusan tersebut juga kembali diburuhkan unruk mempertanyakan apakah hal iru merupakan reaksi yang tepat sehingga warga negara pantas untuk mengikutinya. Tiada masyarakat partisipatori tanpa kebebasan, dan tidak mungkin perwujudan kebebasan tanpa melalui pencermatan kritis. Kebebasan itu dibutuhkan untuk memperoleh perlindungan dan perluasan lebih lanjut dari suaru masayarakat kritis. Dengan kata lain, penalaran, dalam terang pandangan Sen (2006:276, 2009:46), merupakan suaru sumber harapan dan keyakinan diri yang menenrukan perubahan di suatu dunia yang penuh angkara mucka.
4.
NALAR YANG SETIMBANG Jika penalaran publik memang sungguh penring bagi keberlangsungan
demokrasi serta identifikasi dan pemenuhan kebutuhan masyarakat, bagaimana kita mesti menangani keberagaman nalar yang dilandaskan pada nilai-nilai Resoons 16 (2011) 02
212
ARIF SUSANTO - MELINGKUPI PLURALITAS, MERENGKUH IMPARSIALITAS
yang berlainan? Inilah salah satu pettanyaan pelik yang menantang negara-neg_ ata dengan keberagaman orientasi warga negaranya. Suatu masyarakat heterogen berhadapan dengan keberagaman identitas dan orientasi yang tidak selalu menemukan persinggungan kesamaan, melainkan kadang berkompetisi untuk mendapatkan prioritas. Sementara, sebagai suatu kesatuan politik, masyarakat semacam itu membutuhkan suatu kesepahaman mendasar tertentu demi menjaga keberlangsungannya agar tetap dipandang absah. Pada saat bersamaan, terdapat suatu tuntutan yang masuk akal agar masyarakat semacam itu bersikap setimbang, dalam arti tidak melakukan pemihakan dengan mengistimewakan kelompok atau pandangan kelompok tertentu. Di sini dibutuhkan suatu imparsialitas nalar yang dapat dijadikan pedoman bersama, tanpa harus secara ofensifmengancam keberagaman orientasi. Berhadapan dengan problem semacam itu, Sen (2009:44) tetap berkeya!dnan bahwa penalaran publik jdas merupakan suatu segi esensial bagi keya!dnan politis dan etis yang objektif. Artinya bahwa dilema antara 'bagaimana mencapai suatu kesepahaman' dan 'bagaimana mdindungi keberagaman' coba untuk dipecahkan oleh Sen tanpa harus mengorbankan penalaran publik. Penalaran publik, kendati kadang pdik, tetap dipandang sebagai suatu solusi deo ngan tingkat objektivitas tertentu bagi pencerahan persoalan-persoalan mendasar dalam suatu masyarakat majemuk. Kesetimbangan dapat dicapai tanpa harus sdalu menundukkan pandangan-pandangan yang berlainan di bawah suatu kebenatan tunggal atau pun di bawah obsesi akan permufakatan yang utuh sempurna. Untuk sampai pada simpulan tersebut, saya akan lebih dulu membahas pandangan Sen tentang keberagaman perspektif. Sen (2009:44) memandang
213
Respons 16 (2011) 02
RESPONS - DESEMBER20Il
penting penghargaan atas keberagarnan perspektif dalarn suatu penalaran publik: Dalarn upayamenemukan resolusimelalui penalaran publik, jelas rerdapar suatu runtutan untuk ridak mengabaikan berbagai perspektifdan pemOOran yang dikemukakan oleh siapa pun yang pencermatannya dipandang relevan, entah karena kepentingan mereka terkait, arau karena cara poor mereka tentang persoalan tersebur membanru pengambilan kepurusan suatu bentuk bantuan yang ridak mungkin ada seandainya berbagai perspektif rersebut tidak diberi kesemparan untuk diungkapkan. Pentingnya penghargaan terhadap keberagarnan tersebut menempatkan orang lain bukan sebagai pihak yang harus didominasi, apalagi dipencilkan (eksklusi). Pihak lain adalah mereka yang hams diterima, lebih daripada sekadar diakui. Sen memperkenalkan suatu kara Sanskrit swikriti, yang bermakna 'penerimaan.' Dalarn gagasan ini, orang lain harus diterima sebagai pihak yang berhak untuk menjalani kehidupan mereka sendiri; penerimaan tersebut tidak hams menunggu suatu penegasan pengakuan bahwa pihak lain itu setara satu sarna lain (Sen, 2006:.35). Saya bemsaha menerjemahkan gagasan tersebut, begini: 'pengakuan' memberi status lebih aktif pada pihak yang mengakui, sementara 'penerimaan: adalah pihak yang menerima lebih pasi£6 Pihak lain ada dan setara sebagaimana semua. Mengunjukkan pandangan dan menjalani kehidupan sesuai pandangan tersebut, dengan demOOan, serra merta harus diakui ·sebagai suatu hak kewargaan sejauh pandangan tersebut ridak- destruktif terhadap kemanusiaan. Respons16(2011)02
214
ARIF SUSANTO - MELINGKUPI PWRALITAS, MERENGKUH IMPARSIALITAS
Penerimaan terhadap yang lain, dalarn suatu kehidupan bersarna yang kompleks, bukan merupakan suatu kemustahilan. Sebagaimana ditunjukkan Adarn Smith (2004: 11), "Betapa pun egoisnya seseorang, jelas bahwa terdapat beberapa prinsip kodrati, yang membuatnya peduli pada nasib baik orang lain, dia pun ingin orang lain bahagia, mesldpun dia tidak mendapatkan apa pun dati hal itu kecuali rasa senang menyaksikannya." Inilah rasa simpati yang metl1buat Idta dapat membayangkan apa yang dirasakan oleh orang lain. Kapasitas untuk merasakan apa yang menimpa orang lain, kecenderungan unruk memaharni perasaan or<J.!1g lain, menurut Smith, merupakan bagian kodrati yanglekat padadiri Idta. Karenaldta tidak mengalarni secara langsung apa yang dirasakan orang lain, melalui imajinasi Idta dapat menempatkan diri Idta pada situasinya. "...seolah bta merasakan kepedihan yang sarna, seolah Idea merasuki tubuhnya, dan kemudian menjelma menjadi dirinya, dan lantas membayangkan apa yang menimpanya, dan bahkan merasakan sesuatu yang, mesldpun pada tataran yang berbeda, tidak sepenuhnya berlainan dengannya; demooanlah Smith (2004:12) I)lenjelaskan rasa simpati tersebut. Penerimaan dan rasa simpati inilah yang memungkinkan konformisme, i.e., hasil pemaharnan orang terhadap keberagarnan dan prioritas bagi terbentuknya kesepaharnan. Sebab, sesungguhnya penalaran publik dimaksudkan untuk "merumuskan dan mendiskusikan berbagai gagasan yang secara signifikan baru narnun pada dasarnya telah dipaharni dalam kerangka tatanan ekspresi terdahulu" (Sen, 2009:122). Dengan kata lain, kesepaharnan hasil penalaran itu sesungguhnya bukan sesuatu yang sarna sekali asing bagi para peserta diskusi publik. Perbedaan pandangan tentang pokok yang didiskusikan diangkat pada 'tataran objektifitas' yang lebih tinggi, sehingga lahir putusan baru yang setim215
Respons 16 (2011) 02
RESPONS - DESEMBER 2011
bang. Selanjutnya, kesepahaman tetsebut hams terbuka untuk ditinjau ulang; dan di sini sekali lagi dituntut suatu pemahaman objektif atas pokok yang dievaluasi tersebut. Objektifitas seperti apakah yang mungkin untuk dicapai? Smith (2004: 156) membuat analogi betikut 'Saya dapat membuat suatu perbandingan memadai antara objek-objek besar dan kedl di sekitar saya dengan cara menempatkan did sedemikian rupa, dari berbagai sisi, sehingga saya dapat mencermati keduanya pada jarak yang sepadan, dan dengan begitu dapat menghasilkan pandangan yang benmbang." Smith (2004:157) kemudian meniti suatu jalan tengah untuk menjelaskan objektifitas menyangkut persoalan kepentingankepentingan yang berlainan: Sebelum kita dapat membuat perbandingan yang memadai atas berbagai kepentingan yang berlawanan, kita mesti mengubah posisi kita. Kita mesti memandang persoalan tersebut, tidak dari sudut kepentingan kita maupun kepentingan dia, melainkan dari posisi dan sudut pandang pihak ketiga, yang tidak memiliki ketetkaitan tertentu, dan yang memutuskan tanpa keberpihakan di antara kita. Imparsialitas, merujuk pada gagasan Smith, adalah snatu posisi pihak ketiga, yang tidak melakukan pemihakan secara timpang dan subjektifterhadap kelompok atau pandangan kelompok tertentu. Namun demikian, posisi pihak ketiga semacam itu bukanlah suatu posisi tanpa pijakan; pemahaman kira terhadap persoalan tertentu tidak terlepas dari orientasi kita. Smith tidak memirtta orang untuK menanggalkan seluruh sudut pandangnya; yang dikehendaki oleh Respons16(20l1)02
216
ARIF SUSANTO - MELINGKUPI PLURALITAS, MERENGKUH IMPARSIALITAS
Smith adalah agar orang menggeser posisi parsialnya demi memperoleh sudut pandangyang lebih memadai. dan hal iru mungkin unruk dilakukan sejauh kita mampu bersimpati dalam imajinasi tentang perasaan bersama. Gagasan Sen rentang imparsialitas banyak dilandaskan pada pemikiran Smith tentang 'the impartial spectator' tersebut. Sen (2009: 134) mengidentifikasi kelebihan-kelebihan pendekatan Smith: pertama, Smith mengembangkan imparsialitas terbuka dengan memberi ruang bagi berbagai pandangan berdasarkan relevansi (bukan berdasarkan keanggotaan dalam kelompok); kedua. dengan fokus komparatifnya. Smith bergerak melampaui sekadar pencarian suatu masyarakat berkeadilan yang sempurna; dan ketiga. Smith memberi perhatian pada segi realisasi sosial. bukan semata segi kelembagaan. Berangkat dari pemikiran Smith. Sen (2009:123) bergerak lebih jauh membedakan 'imparsialitas terturup' dari 'imparsialitas terbuka: Dalam 'imparsialitas terrurup: prosedur pengambilan kepurusan imparsial hanya melingkupi anggota suatu masyarakat atau negara tertentu yang menjadi sasaran keputusan tersebut. Dalam 'imparsialitas terbuka: prosedur pengambilan kepurusan imparsial dapat melingkupi berbagai pandangan. antara lain. dari luar kelompok inti. demi menghindari bias parokial. Keterbukaan semacam ini konsisten dengan pandangan Sen bahwa penalaran publik tidak boleh "mengabaikan berbagai perspektif dan pemikiran yang dikemukakan oleh siapa pun yang pencermatannya dipandang rdevan." Maka bukan hanya anggota kelompok, melainkan siapa pun. sejauh dipandang rdevan. parut diberi kesempatan unruk mengemukakan pandangan-pandangan mereka agar dapat dicermati dalam suatu penalaran pubiik.
217
Rcspons 16 (2011) 02
RESPONS - DESEMBER 2011
Sen (2009: 130) memiliki beberapa pertimbangan mengenai hal inL Pertama, karena kita bisa jadi memiliki beragam keterkaitan dengan orang lain di berbagai tempat dan bukan semata dengan komunitas lokal kita; kedua, karena pilihan dan tindakan kita dapat berdampak terhadap kehidupan orang lain yang jauh maupun dekat dengan kita; dan ketiga, karena apa yang mereka lihat dati sudut pandang sejarah dan geografi mereka masing-masing dapat membanru kita untuk melampaui parokialisme kita. Dalam hal ini Sen memandang penting suaru perspektif global dalam suatu pencermatan yang lebih luas, menimbang bahwa pengandaian fakrual yang melandasi purusan etis dan politis tertentu dapat ditimbang lebih lanjut dengan banruan pengalaman masyarakat lain! Melampaui keterrurupan, Sen membuka ruang penalaran publik bagi siapa pun unrukmasuk dengan gagasan apa pun, sejauh relevan. Melampaui kepentingan sepihak, Sen (mengambil inspirasi dati Smith) menempatkan kepentingan pihak-pihak yangjauh maupundekat dalam pertimbangan publik, sebab suaru kepurusan memang harus memperhitungkan kemungkinan dampak yang tidak disengaja akibat penerapan kepurusan tersebut. Dan melampaui parokialisme, Sen memperhitungkan berbagai sudut pandang unruk sampai pada suatu pandangan 'the impartialspectator.' Gagasan ini, saya pikir, memiliki konsekuensi lanjutan yang tidak sederhana; sebab dengan prosedur 'imparsialitas terbuka: kita dapat sampai pada suatu keberagaman nalar imparsial. Sen menolak kemungkinan pengandaian bahwa selalu terdapat seperangkat prinsip tertentu yang pasti akan dipilih secara mufakat bulat oleh pihak-pihak yang terlibat dalam penalaran publik. Jika terdapat banyak aiternatif yang kesemuanya patut untuk dipilih (setelah pencermatan bersama demi menghasilkan kesetimbangan), maka di siru tidak Respons 16 (2011) 02
218
ARIF SUSANTO - MELINGKUPI PLURALITAS, MERENGKUH IMPARSIALITAS
terdapat suatu prinsip tunggal tertentu yang dapat dijadikan landasan kelembagaan. Tentu saja. pada akhirnya, kita harus menentukan pilihan (yang mungkin akan sangat sulit), tetapi hal itu dilakukan tanpa harus menyebut prinsip yang tidak dipilih sebagai prinsip 'non-imparsial.'
5.
PENUTUP Sesungguhnya, demokrasi bukan persoalan prosedur Pemilu semata
untuk menentukan kepemimpinan politik. Sen menyadarkan kita bahwa lebih daripada tuntutan kepa~tan organisasional semacam itu, esensi demokrasi menuntut penalaran publik atas persoalan-persoalan fundamental dan esensial bagi suatu masyarakat politik. Pernilu sendiri merupakan bagian dari operasionalisasi penalaran publik, dan dalam penalaran publik dibutuhkan pemenuhan kebebasan asasi. Selanjutnya, hal yang sama juga mesti diarahkan untuk mewujudkan perluasan kebebasan. Melalui pemahaman komprehensif(sejalan dengan orientasi nyaya tentang perwujudan keadilan) tersebut. Sen menegaskan bahwa selain kebutuhan tentang strukrur kelembagaan, demokrasi bergantung pula pada pola perilaku aktual kita dan bekerjanya interaksi politik dan sosial. Inilah demokrasi sebagai suatu pemerintahan melalui diskusi. Penalaran publik, pada dasarnya, merupakan suatu bentuk deliberasi yang menempatkan kedaulatan ke tangan publik. Dalam ideal penalaran publik, warganegara yang berkedudukan setara membahas secara terbuka hal-hal mendasar terkalt kebersamaan mereka sebagai suatu masyarakat politik dengan cara menimbang berbagai ideal dan ptinsip pandangan masyarakat. Hal ini kiranya akan mendorong agar keputusan yang diambil bukan sernata masuk akal, melainkan pula dapat diterinia karena memiliki alasan penjelas yang me219
Respons 16 (2011) 02
RESPONS - DESEMBER 2011
menuhi kriteria memberi kemanfaatan publik secata setimbang. Tentang ini semua, Sen menyatakan bahwa keterkaitan mendasar antara penalaran publik dan tunrutan bagi pengambilan keputusan sosial pattisipatori merupakan tantangan praktis untuk menjadikan demokrasi lebih efekti£ Cukup masuk akal untuk menggemakan ulang pertanyaan 'apakah penalatan publik mampu mendukung operasionalisasi demokrasi yang efektif'. B.erhadapan dengan tantangan tersebut, a1ih-alih meringkas demoktasi menjadi semata-mata berfokus pada prosedur formal kelembagaan, Sen justru menuntut suatu praktik penaJaran publik yang tidak berperspektifsempit. Lebih jauh, Sen juga menghendaki agar pandangan-pandangan, sejauh rdevan, ditimbang secata global dalam suatu 'imparsialitas terbuka' yang melampaui bias patokial, impatsialitas terbuka menegaskan kebebasan, kesetataan, dan penerimaan bagi berbagai pihak berikut pandangan mereka yang mungkin berlainan. Keyakinan tersebut membawa suatu konsekuensi bahwa bisa jadi terdapat keberagaman nalat impatsial. Dengan demikian, impatsialitas nalat dapat diwujudkan tidak selalu dalam bentuknya yang tunggal dan final. CATATAN AKHIR ISebagai conroh, kita dapat mencermati tezim Soeharro yang menyelenggarakan secara berkala Pemilu setiap lima tahun sejak 1977 hingga 1997. Meskipun Pemilu berkala diselenggarakan, namun pemenuhan hak-hak konstirusional warganegara diabaikan secara berkelanjuran. Hal ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan Pemilu sulit untuk dijadikan sebagai standard tunggal bagi penilaian atas tatanan demokrasi; 'elekroralisme tidak memadai bagi perwujudan hakikat demokrasi sebagai pemerintahan oleh rakyat. 'Sen menegaskan bahwa peran penting penalaran publik dalam praktik demokrasi membuat seluruh subjek tentang demokrasi terkait erat dengan keadilan. Tidak mengherankan bahwa landasan pikir Seli tentang keadilan berkelindan dengan pandang-
Respons 16 (2011) 02
220
ARIF SUSANTO - MELINGKUPI PLURALITAS, MERENGKUH IMPARSIALITAS annya tentang demoktasi. Sen membedakan anUta niti dan nyaya, yang keduanya betani keadilan dalam bahasa Sanskrit kIasik. Sementata niti merujuk pada kepatutan otganisasional dan ke,epatan perilaku, nyaya lebih betmakna sebagai suatu konsep komprehensif tentang perwujudan keadilan. Perwujudan keadilan dalam kerangka nyaya bukanlah semata persoalan bagaimana mencermati lembaga-Iembaga berikut aturanaturannya, melainkan berkenaan dengan masyarakat itu sendiri. Inilah suatu perspektif dengan fokus lebih luas dan praktis. }ika hal itu diterapkan pada gagasan demoktasi, Sen berusaha melampaui pemahaman kelembagaan berorientasi niti tentangdemoktasi. Lebih lanjut'periksa Sen (2009:20). 'Inilah gagasan yang antara lain mengemuka dalam Development as Freedom. Di sana Sen (2000:18) mengemukakan bahwa memiliki kebebasan yang lebih besar untuk , melakukan hal-hal yang patut dipandang penting merupakan hal pokok bagi seluruh kebebasan seseorang, dan hal itu dibutuhkan dalam memajukan kesempatan bagi seseorang untuk mendapackan manfaat yang berhatga. • Gagasan bahwa sistem politik yang tegas -yang mengingkari hak-hal politikmemberi dukungan bagi kemajuan pembangunan ekonomi kerap disebut sebagai 'tesis Lee' (metujuk pada pemikiran Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri Singapura). Gagasan semacam ini banyak ditegaskan oleh berbagai rezim ororiter, termasuk Indonesia
di bawah Soeharto. Lebih lanjut, petiksa Sen, 2000: 15. S Sen
menegaskan bahwa demoktasi dan kebebasan pers memiliki peran protektif
untuk menghindarkan terjadinya kelapatan. Kenyataannya, berbagai kelaparan dapat terjadi meskipun ketersediaan pangan secara umum tidak mengalami penurunan. Kelapatan meluas, sebaliknya, tidak terjadi di negata-negara dengan kebebasan pers. Lebih lanjut periksa kajian empiris Sen dalam Poverty and Famines (2001, cetakan kelima); periksa juga Sen, 2000:178-184. 'Kebebasan untuk menyatakan identitas pribadi kita kadang menjadi sanga' terbatas dalam pandangan pihak lain. Seperti apa pihak lain mengidentifikasi ki,a, tidak jatang, berbedadengan seperti apakita memahami diri sendiri. Melalui stereotipe tertentu, pihak lain seolah memiliki 'kekuasaan' untuk menentukan siapa diri kita sesungguhnya. Dengan konsep 'penerimaan: pengakuan aktif terhadap kedudukan setata yang dimiliki semua orang menjadi tidak lagi primer. Lebih lanjut tentang identitas dan kebebasan berpiltir, periksa Sen, 2007, Kekerasan dan flusi tentang Identitas.
221
Respons 16 (2011) 02
RESPONS - DESEMBER2011
'Gagasan tentangpentingnya suatu petspektifglobal dikumandangkan Sen dalam bebetapa kacyanya. scperti Development as Freedom. Identity and VIOlence. dan juga The Idea ofJustice. Sen memang berkehendak agar orang tidak terkungkung oleh keterbacasan
cakrawala pandangnya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA Huntington. Samuel P., 1991, The Third U'llve: Democratization in the Late Twentieth Century. Norman, OK: University ofOklahoma Press.
Lipset, Seymour Martin and Jason M. Lakin. 2004, The Democratic Century, Norman, OK:.,university of Oklahoma Press. Rawls, John, 1996. PoliticalLiberalism. New York: Columbia University Press. Schumpeter,Joseph A .• 1987 (Sixth edition). Capitalism, SOcialismandDemocracy, Boston and Sydney: Unwin Paperbacks. Sen, Amartya, 1997. Human RightsandAsian Vtdues: WhatLeeKuan YewandLe Pengdon't Understand about Asia. dalam The New Republic, July 14. 1997.
v217, n2-3. _ _ _ _ _" 1999. Democracy as a Universal Vttlue, dalamJournal ofDemocracy 10.3/1999. Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press. _ _ _ _ _,. 2000, Development as Freedom. New York: Anchor Books. _ _ _ _ _" 2001 (Fifth impression), Poverty and Famines, Oxfor: Oxford University Press. _ _ _ _~. 2006, The Argumentative Indians: Writings on Indian Culture, History and Identity, London: Penguin Books.
_ _ _ _~, 2007. Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas (terj.: Arif Susanto), Tangerang: Marjin Kiri. _ _ _ _ _,.2009. The Idea
ofJustice. Cambridge, MA: The Belknap Press of
Harvard University Press. Smith. Adam, 2004 (reprint), The Theory of Moral Sentiments. Cambridge: Cambridge University Press.
Resooos 16 (2011) 02
222