Melihat Keintiman Raja-raja Nusantara dan Pemerintah Kolonial dalam Surat-surat Melayu Beriluminasi Review Buku: Iluminasi dalam Surat-surat Melayu Abad Ke-18 dan Ke-19 (Mujizah: 2009) Oleh. Muhammad Nida’ Fadlan*
Keindahan visual dalam bentuk naskah (manuskrip) masih sangat jarang diangkat sebagai kekayaan budaya Indonesia, demikian Mujizah mengawali tulisan untuk bukunya yang berjudul “Iluminasi dalam Surat-surat Melayu Abad Ke-18 dan Ke-19”. Sebuah karya yang mengangkat sisi humanisme karya-karya tulis masa lalu dengan memperhatikan simbol-simbol keindahan yang tertuang dalam sebuah hiasan naskah yang bernama iluminasi. Dalam dunia pernaskahan, iluminasi merupakan salah satu kajian pernaskahan yang memperhatikan hiasan-hiasan yan terdapat dalam naskah. Menurut Sri Wulan Rujiati Mulyadi (1994: 69), iluminasi adalah hiasan bingkai yang biasanya terdapat pada halaman awal dan mungkin juga terdapat pada bagian akhir suatu naskah. Pendefinisian iluminasi yang diangkat oleh Mulyadi lebih terfokus pada iluminasi-iluminasi yang terdapat dalam naskah-naskah yang berbentuk buku, sehingga definisi ini bertolak belakang dengan fokus kajian yang diangkat dalam buku ini yakni naskah berbentuk surat. Oleh karenanya, dibandingkan dengan Mulyadi, pemberian definisi yang lebih mengglobal diungkapkan dalam buku ini yakni iluminasi merupakan istilah khusus dalam ilmu pernaskahan (kodikologi) untuk menyebut gambar dalam naskah (h.10). Fokus kajian yang diangkat oleh Mujizah adalah pemaknaan iluminasi yang terdapat dalam naskah lama berbentuk surat-surat berbahasa Melayu yang ditulis oleh pemerintah kolonial kepada raja-raja Melayu maupun sebaliknya pada abad ke-18 dan ke-19. Menjadikan naskah berbentuk surat sebagai korpus utama dalam melakukan penelitian merupakan suatu hal yang amat jarang dilakukan *
Peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Anggota Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa)
oleh para peneliti naskah apabila dibandingkan dengan intensitas penggunaan naskah-naskah yang berisi kajian susastra dan agama sebagai objek utama penelitian sebuah naskah. Melalui buku ini, diperlihatkan bahwa surat merupakan ‘sejarah yang tak terungkap’. Surat adalah bentuk komunikasi yang bersifat personal sehingga di dalamnya terdapat bukti-bukti sejarah yang sangat jarang diungkapkan oleh bukubuku sejarah pada umumnya. Apalagi dalam kaitannya dengan pengungkapan memori praktik-praktik kolonialisme di masa lalu, surat merupakan referensi yang paling penting untuk mengungkapkan bagaimana sikap dan perilaku para raja di Nusantara dalam menyikapi kehadiran bangsa Belanda yang selalu disebut sebagai ‘kolonial’. Sebagai bagian dari ilmu kodikologi, maka tujuan dari pemaknaan dalam iluminasi adalah mengungkap latar belakang sejarah terciptanya naskah yang dalam hal ini adalah sejarah yang menyebabkan surat-surat tersebut dituliskan. Mujizah menjadikan lima puluh surat yang tersebar di beberapa kerajaan mulai dari Johor hingga Gorontalo sejak tahun 1791 hingga 1886 sebagai fokus kajiannya. Itu berarti, bahwa buku ini akan menghasilkan sebuah sejarah hubungan antara raja-raja di Nusantara dengan pemerintah kolonial berdasarkan surat yang ditemukannya. Guna membantu para pembacanya melakukan interpretasi atas latar belakang sejarah pada surat-surat yang ditemukannya, Mujizah memberikan pendahuluan mengenai peristiwa-peristiwa penting seputar kondisi sosial masyarakat dalam rentang abad ke-18 hingga awal abad ke-19 dengan mendasarkan pengungkapannya pada kajian-kajian literatur lainnya. Menurutnya, hal ini penting dilakukan karena memahami surat-surat Melayu beriluminasi memiliki tingkat kesulitan tersendiri dalam menghubungkannya dengan konteks sosial pada masanya terutama dalam perspektif pembaca di masa kini. Apalagi surat merupakan media tulis yang sangat netral, tidak memiliki keterpengaruhan kepentingan-kepentingan eksternal dalam penulisannya, sehingga surat mampu menampilkan kondisi sosial-politik yang sesungguhnya pada masa tersebut karena surat merupakan alat negosiasi, diplomasi, dan strategi politik yang digunakan
oleh raja-raja Nusantara dan pemerintah kolonial dalam mewujudkan setiap keinginannya. Hal yang menjadi motivasi bagi penulisnya dan pembaca buku ini adalah pemberian kata pendahuluan oleh Annabel Teh Gallop, seorang sarjana dari British Library yang telah lama memfokuskan dirinya untuk meneliti tradisi tulis di Nusantara terutama dalam kajiannya mengenai tradisi tulis dalam bentuk surat beriluminasi.
Dalam
prakatanya,
Gallop
memberikan
gambaran
bahwa
keberadaan naskah-naskah Melayu dalam bentuk surat merupakan kekayaan yang jumlahnya jauh lebih banyak dari apa yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi pemerhati pernaskahan agar mulai membuka diri untuk melakukan kajian mengenai naskah-naskah berbentuk surat, selain dalam bentuk naskah yang telah umum dikenal. Buku ini memberikan kontribusi penting bagi kajian filologi Melayu karena menyajikan edisi kritis terhadap lima puluh surat yang ditelitinya. Bagi Gallop, menyunting sebuah naskah surat memiliki tantangan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan menyunting naskah pada umumnya. Hal ini disebabkan karena penguasaan mengenai ilmu paleografi yang berbeda corak di setiap daerahnya, beragam jenis tuturan sopan-santun yang ditampilkan, serta penyebutan nama asing yang terdapat dalam surat beraksara Jawi merupakan tantangan tersendiri. Selain menampilkan edisi kritis, Mujizah juga menampilkan seluruh edisi faksimile atas surat-surat tersebut yang dicetak berwarna dan diletakkan beriringan dengan edisi kritis masing-masing surat. Hal ini tentu sangat membantu para pembacanya, teutama filolog, karena diberikan peluang untuk mengoreksi hasil edisi kritisnya disamping juga diberikan gambaran untuk ‘menikmati’ keindahan iluminasi yang ditampilkannya. Pada bab terakhir, Mujizah membahas mengenai corak ragam iluminasi yang ditemukannya dalam setiap surat. Corak-corak tersebut kemudian diperihatkan dalam keragamannya berdasarkan daerah asal surat tersebut sehingga masing-masing daerah dapat terlihat kekhasannya dalam menulis surat pada masa tersebut.
Di bagian akhir dari buku ini, disusun sebuah indeks dan biografi yang disebutkan dalam lima puluh surat tersebut. Penyusunan indeks ini disusun dengan memperlihatkan biografi tokoh-tokoh Nusantara, tokoh-tokoh Gubernur Jenderal Belanda, serta pegawai dan orang Belanda lainnya. Ini penting untuk diperhatikan oleh para pengkaji berikutnya, indeks ini sangat membantu untuk melakukan rekonstruksi sejarah yang menjadi tujuan akhir pengkajian ilmu kodikologi.
Yang Terungkap dalam Surat-surat Melayu Surat merupakan media yang paling efektif digunakan sebagai sarana komunikasi antara raja-raja Nusantara dengan pemerintah kolonial Belanda pada masa abad ke-18 dan ke-19. Pembacaan isi surat-surat tersebut di masa kini dapat melihat berbagai fakta sejarah yang selama ini tidak terungkap. Dalam konteks kajian pernaskahan, menampilkan teks yang sebaik-baiknya, bebas dari kesalahan baca, serta dapat dipertanggungjawabkan adalah tujuan yang hendak dicapai (Djamaris, 2002: 7 dan Soebadio, 1975: 13). Untuk mendukung tujuan tersebut, selain menampilkan transkripsi lengkap, buku ini juga menampilkan edisi faksimile sehingga pembaca juga diberi kesempatan untuk menafsirkan sendiri mengenai isi surat tersebut. Lima puluh surat yang dijadikan korpus penelitian ini adalah surat-surat yang ditulis dalam bahasa Melayu dan disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Universitas Leiden, serta Perpustakaan KITLV di Leiden, Belanda. Dalam memberikan transkripsi, surat-surat tersebut terlebih dahulu dikelompokkan berdasarkan daerah asal penulisan surat dan disusun dari Barat ke Timur. Setelah dikelompokkan berdasarkan daerahnya, pada masingmasing kelompok disusun kembali berdasarkan titimangsa ditulisnya surat sehingga pembaca mampu membaca surat-surat tersebut secara kronologis. Disamping itu, pemerian dan deskripsi naskah secara kodikologis ditampilkan untuk
memberikan gambaran kepada pembaca mengenai kondisi fisik
sesungguhnya.
Dari pembacaan terhadap surat-surat tersebut, berbagai peristiwa penting yang dapat terungkap dalam isi surat tersebut adalah sebagai berikut:
Pola Komunikasi Intens antara Raja dan Kolonial Hampir dalam seluruh surat yang dapat dibaca dalam buku ini berisi tentang hubungan yang terjalin dengan baik antara raja-raja Nusantara dengan pemerintah kolonial. Hierarki yang terbangun pada saat membaca surat-surat ini adalah posisi raja yang selalu berada di bawah (inferior) kekuasaan kolonial. Raja diberikan kewenangan untuk berinteraksi secara langsung dengan rakyatnya akan tetapi dalam hal kebijakan yang bersifat makro maka kekuasaan itu berada mutlak di tangan kolonial. Pola
tersebut
terjalin
berkat
adanya
kepentingan
politis
yang
melindunginya. Kolonial memiliki kepentingan untuk dapat menguasai seluruh aspek sosial dan ekonomi, sementara raja membutuhkan legitimasi kekuasaannya di hadapan rakyat yang secara terpusat telah dikuasai oleh kolonial. Legitimasi kekuasaan tersebut sangat dibutuhkan oleh para raja agar pemerintah kolonial dapat menjaga posisi raja sementara raja akan rutin mengirimkan upeti sebagai imbalannya. Bentuk-bentuk kedekatan komunikasi antara keduanya dapat terlihat pada setiap permulaan surat yang selalu diawali dengan saling memuji satu sama lain, ucapan selamat tahun baru, ucapan duka cita, serta pengungkapan masalah pribadi. Dalam hal penguatan daerah kekuasaannya, misalnya, raja-raja Nusantara terlihat telah terbiasa dalam mengajukan permohonan agar pemerintah kolonial dapat mengirimkan senjata-senjata yang diimpor dari Cina. Sementara itu, sebaliknya raja-raja Nusantara mengirimkan budak-budak agar dapat dipekerjakan oleh pemerintah kolonial.
Pengungkapan Daerah Kekuasaan Pengungkapan daerah kekuasaan pada surat-surat Melayu merupakan hal yang biasa ditemukan di bagian pembuka surat. Pengungkapan tersebut selalu berada beriringan dengan penyebutan nama pengirim dan penerima surat tersebut.
Seperti yang terlihat pada surat koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia dan Perpustakaan KITLV di Leiden. “Bahwa ini Sri Paduka Sultan Sayid Syarif Usman ibnu almarhum Sultan Syarif Abdurrahman ibnu almarhum Husain al-Qadri yang bertakhtakan dalam kerajaan dalam negeri Pontianak, menyatakan tulus dan ikhlas dalam secarik warkat ini tanda sahabat-bersahabat serta berkasih-kasihan dengan sungguh hati bersetiawan dari selama-lamanya kepada sahabat kita yang mulia lagi maha bangsawan, yaitu Sri Paduka Tuan Besar Gerard Alexander Philip Baron van der Capellen Gurnadur Jenderal yang empunya takhta kerajaan dan kebesaran beserta lagi dengan kemuliaan dalam negeri Betawiyah serta segala daerah takluknya pulau tanah Jawa besar sekaliannya lagi memerintahkan segala negeri di pihak Timur dan Barat maka kita pohonkan atas sehat dan afiat beserta selamat beroleh umur panjang jua adanya” (AN.5) “… yaitu daripada kita Sri Paduka Yang Dipertuan Besar Burggraaf Du Bus de Gisignies, komandur dari bahaduri singa Nederland, viscount dari bangsawan di negeri Flanderen sebelah barat, Minister van Staat, Komisaris Jenderal daripada Sri Paduka Maharaja Nederland, dan lainlainnya. Maka barang diwasilkan oleh Tuhan seru sekalian alam apalah kiranya datang ke hadapan hadirat Sri Paduka Sultan Pakunataningrat yang bertakhta kerajaan di dalam negeri Sumenep.” (Or.172.15)
Pernyataan Kesetiaan Raja Terhadap Kolonial Pernyataan kesetiaan kepada penguasa merupakan hal yang menjadi suatu kewajiban untuk menjaga legitimasi kekuasaannya dalam sebuah birokrasi politik. Hal ini dilakukan oleh para raja di Nusantara karena mereka secara langsung dilantik dan bertanggung jawab atas pemerintahannya kepada pemerintah kolonial Belanda yang terpusat di Batavia. Pernyataan dukungan selain diungkapkan dalam pengakuannya terhadap daerah kekuasaan juga diperlihatkan para raja dalam mendukung tindakan pemerintah kolonial termasuk memerangi orang-orang yang dianggap membangkang kepada pemerintah kolonial. Contoh pernyataan tersebut terlihat dalam surat bernomor AN.13 yang berisi pernyataan kesetiaan Pangeran Adinata Krama kepada pemerintah kolonial karena anaknya Gusti Mukmin telah diangkat sebagai pangeran Daeng. Pernyataan serupa juga terlihat pada surat bernomor Or.172.26 tentang ucapan terima kasih pemerintah kolonial kepada Pakunataningrat atas partisipasinya membantu kolonial dalam perang Jawa. “… pada waktu ini perang di tanah Jawa sudah habis sekali dan kepala orangorang yang kerja gaduh, yaitu Pangeran Diponegoro adalah ia di dalam pegangan Gupernement dan sudahlah dikirim kepadanya ke negeri Menado yang jadi
tempat buangan itu adanya. Adapun karena berhenti perang itu maka niscaya Sri Paduka sahabat kita dapat sukacita sebab bala tentaranya yang dahulu sudah dikirim oleh Sri Paduka sahabat kita akan membantukan Gupernement sekarang ini sudah pulang kembali ke negerinya” (Or.172.26)
Perilaku Akademis di Masa Lalu Beragam isi surat yang terungkap di atas dapat dikelompokkan sebagai upaya kedua belah pihak melakukan proses diplomasi politis untuk menentukan posisinya sebagai penguasa Nusantara. Akan tetapi selain surat-surat dengan kategori isi tersebut di atas, terdapat pula surat yang isinya merupakan perilaku akademis yang ditampilkan oleh kedua belah pihak. “… memberi tahu kepada Sri Paduka sahabat kita bahwa suatu Tuan bernama Gericke pada waktu ini di dalam negeri Surakarta ada mengarang suatu kitab logat daripada bahasa Jawa dan bahasa Welanda. Maka atas permintahannya Tuan itu sudahlah kita memberi izin kepadanya akan pergi ke negeri Sumenep serta akan tinggal sedikit waktu di dalam negeri itu, yaitu supaya ia boleh mendapat daripada Sri Paduka sahabat kita keterangan daripada beberapa perkataan bahasa Kawi yang dipakai dalam bahasa Jawa dari sekarang ini karena besarlah faedahnya” (Or.172.75)
Kutipan di atas merupakan satu-satunya surat berisi perilaku akademis yang dikirimkan oleh GJ Jean Chretien kepada Sultan Pakunataningrat di Sumenep. Dalam surat tersebut disampaikan bahwa pemerintah kolonial bermaksud meminta kepada Sultan agar memberi fasilitas tempat tinggal untuk J.F.C. Gericke yang tengah menyusun sebuah kamus Jawa-Belanda. Selain itu, diharapkan juga Sultan dapat membantu Gericke untuk memberikan informasi mengenai bahasa Kawi yang terdapat dalam bahasa Jawa.
Kesimpulan dan Komentar Buku ini merupakan karya yang patut mendapat apresiasi setinggitingginya terutama dari pemerhati kajian mengenai ilmu kodikologi dan sejarah. Fakta-fakta yang diungkap dalam buku ini merupakan sumber sejarah yang tentunya akan memberikan kontribusi yang maksimal dalam proses rekonstruksi mengenai sejarah bangsa Indonesia terutama dalam kaitannya dengan tradisi tulis yang telah berkembang pada abad ke-18 dan ke-19. Kajian pernaskahan terbukti mampu memberikan kontribusi positif dalam perkembangan pengungkapan identitas bangsa di masa lalu. Ini terlihat dari surat-
surat yang ditampilkan oleh Mujizah sebagai korpus penelitiannya. Berbagai aspek ditunjukkan guna merekonstruksi fakta-fakta sejarah sosial dan politik mengenai pola komunikasi yang terbangun dalam proses surat-menyurat yang dilakukan oleh dua institusi, yakni pemerintah kolonial dan sultan sebagai penguasa kerajaan pribumi. Fokusnya terhadap surat-surat Melayu yang beriluminasi merupakan ‘penghilang dahaga’ bagi pengkaji naskah. Hal ini tentu menjadi hal yang sangat maklum adanya karena kajian mengenai iluminasi terutama yang terdapat dalam surat-surat Melayu merupakan kajian yang sangat langka. Buku ini memberikan kontribusi yang sangat maksimal bagi perkembangan pengkajian naskah-naskah Nusantara dengan mengajak para peneliti untuk membuka peluang penelitian serupa mengenai iluminasi atas naskah-naskah lainnya. Walaupun buku ini sangat memberikan kontribusi dalam proses rekonstruksi sejarah Indonesia di masa lalu, pengkajian pemaknaan semiotik mengenai corak-corak iluminasi yang terdapat dalam surat tidak dilakukan oleh penulisnya. Apabila hal ini dilakukan, tentu akan memperkaya referensi mengenai kecenderungan daerah-daerah tertentu mempergunakan tanda-tanda tertentu dalam
penulisan
suratnya
sehingga
mampu
mengungkapkan
ciri
khas
penulisannya dalam berbagai karakteristik sosial dan budaya setempat. Keberadaan ‘Abstract’ pada bagian akhir buku ini tentu bukan hal yang lazim dilihat dalam penyusunan sebuah buku. Penempatannya seharusnya diletakkan di halaman awal buku ini agar pembaca dapat memberikan gambaran awal sebelum membaca buku ini secara keseluruhan. ‘Abstract’ diletakkan setelah bab kesimpulan penulisnya, hal ini tentu dapat mengganggu upaya penarikan kesimpulan yang dilakukan oleh pembaca. Secara keseluruhan, buku ini merupakan ‘karya agung’ karena mampu menampilkan potret perjalanan bangsa dengan apa adanya. Penyebutan ‘apa adanya’ tentu merujuk pada peranan ilmu pernaskahan yang pada dasarnya menampilkan bukti sejarah sebagaimana kenyataannya. Sehingga buku ini tentu memberikan peluang kepada pengkaji berikutnya untuk melanjutkan pengkajian dengan memanfaatkan data-data tersebut.