MELACAK METODE USHUL FIKIH MAZHAB HANAFI DALAM KITAB AL-MABSUTH KARYA IMAM AS-SARKHASI Oleh: Azhariah Khalida A. Pendahuluan Al-Mabsuth merupakan kitab fikih yang sangat lengkap dalam Mazhab Hanafi. Kitab ini merupakan salah satu dari beberapa karya Imam as-Sarakhasi.1 Kitab ini terdiri dari 10 jilid materi; terdiri dari 20 juzu‟, dan 1 jilid indeks (indeks ditulis oleh Syekh Khalil al-Mais, seorang ulama Libanon, ketika buku ini diterbitkan pada tahun 1409 H/ 1989 M oleh penerbit Dar alMa‟rifah, Beirut). Penulisan kitab ini, oleh Imam as-Sarakhasi dilakukan ketika ia berada dalam penjara, dengan cara mendiktekan kepada murid-muridnya, tanpa merujuk pada literatur apapun, sehingga dalam buku ini tidak mencantumkan catatan kepustakaan, yang memang belum biasa pada waktu itu. 1
Nama lengkapnya Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl asSarakhsi. Ia adalah salah seorang ulama terbesar mazhab Hanafi. Ia berada pada peringkat ke-3 dalam jajaran ulama pengikut Mazhab Hanafi setelah Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, pada peringkat pertama, dan Imam Abu al-Hasan Ubaidillah bin Hasan al-Karkhi, pada peringkat ke dua. Sekalipun as-Sarakhsi tergolong ulama besar, namun riwayat hidupnya tidak ditemukan secara lengkap. Ia diketahui lahir di Sarakhs (Sarkhas), daerah Khurasan (Iran timur laut), tetapi tahun kelahirannya tidak tercatat. Sedangkan tahun wafatnya ada beberapa versi ; menurut Abu al-Wafa‟ al-Afghani, penahkik buku Ushul as-Sarakhsi, Imam as-Sarakhsi wafat tahun 483 H/1090M. Sedangkan menurut Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir, pengarang kitab al-Jawahir al-Mudi‟ah fi Tabaqat al-Hanafiyyah (sebuah buku biografi ulama mazhab Hanafi), Imam asSarakhsi wafat pada akhir tahun 490 H/1097 M, sedangkan tempat wafatnya tidak tercatat. Imam As-Sarakhsi belajar fikih pada Abdul Aziz bin Ahmad al-Hulwani (w. 448 H/1056 M), seorang ahli fikih mazhab Hanafi yang bergelar Syams al-a‟immah (matahari para imam). Karena penguasaannya yang sangat baik terhadap pengetahuan gurunya itu, maka gelar gurunya pun kemudian dijadikan gelar Imam as-Sarakhsi sendiri. Bahkan jika disebut Syams al-a‟immah, tanpa penjelasan di belakangnya, maka yang dimaksud adalah Imam as-Sarakhsi. Lihat Abdul Aziz Dahlan, dkk (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, ( Jakarta; P.T. Ikhtiar Baru van Hoeve, 1997), jilid 5, h. 1608.
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
Hal ini juga menunjukkan kepandaian dan daya ingat Imam asSarakhasi yang luar biasa. Tulisan ini akan memaparkan beberapa contoh persoalan fikih yang terdapat dalam kitab al-Mabsuth dan melacak metode istimbath yang digunakan ulama Hanafiyah dalam membuat kesimpulan hukum yang meliputi masalah ibadat, munakahat, jinayat dan mu‟amalat. B. Analisa Metode Ushul dalam Kitab Al-Mabsuth 1. Bab Ibadat Masalah ibadah yang akan penulis kemukakan dalam tulisan ini adalah bab shala 2 Imam as-Sarakhasi memulai pembahasan kitab fikihnya dengan Kitab Shalat, berbeda dengan kitab-kitab fikih pada umumnya, karena shalat adalah rukun Islam yang paling utama setelah keimanan (syahadat). Menurut ulama Hanafiyah, shalat itu ada empat macam, yaitu : 3 a. Shalat fardhu „ain, seperti shalat lima waktu b. Shalat fardhu kifayah, seperti shalat jenazah c. Shalat wajib4, yaitu shalat witir, mengqadha shalat nafilah yang rusak (batal) setelah shalat itu dilakukan dan shalat „id („Idul Fithri dan „Idul Adha). 2
Shalat menurut bahasa adalah do‟a dan pujian, sedangkan menurut istilah syarak adalah sebutan untuk beberapa rukun tertentu yang terdiri dari do‟a dan selainnya. Syamsu ad-ddin As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, dalam alMaktabah asy-Syamilah, (Sumber kitab : Mauqi‟ al-Kitab. http://www.alislam.com), juz 1, h. 5 3 Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, judul asli al-Fiqh „ala alMazahib al-Arba‟ah, penerjemah Chatibul Umam dan Abu Hurairah, (Jakarta : Darul Ulum Press, 1994), Jilid 2, h. 10 4 Ulama Hanafiyah membedakan hukum fardhu dan wajib. Fardhu adalah sesuatu yang ditetapkan (untuk melaksanakannya) dengan dalil yang qath‟I, tidak ada syubhat (keraguan) padanya, seperti rukun Islam yang 5 yang ditetapkan dengan Nash Alquran, dan yang ditetapkan dengan sunnah mutawatir atau masyhur, seperti bacaan Alquran dalam shalat. Adapun wajib
50
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Azhariah Khalida
d. Shalat nafilah, baik yang sunnat ataupun yang mandub. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis akan menelaah beberapa shalat yang dihukum wajib menurut ulama Hanafiyah, yaitu shalat witir dan shalat „id. a. Jumlah rakaat Shalat Witir Tentang wajibnya shalat Witir, Imam Abu Hanifah berdalil dengan hadits Nabi SAW yaitu :
ِ َّ وىا َما َّ إن َ ُّصل َ َ ف، ص ََلةً أَََل َوى َي الْ ِوتْ ُر َ اَّللَ تَ َع َاَل َزا َد ُك ْم وع الْ َف ْج ِر ِ ُْي الْعِ َش ِاء َإَل طُل َ ْ َب Sesungguhnya Allah Ta‟ala menambahkan untukmu satu shalat, ketahuilah, ia adalah shalat witir, maka lakukanlah olehmu shalat witir antara waktu Isya‟ sampai terbit fajar. Dalam hadits tersebut terdapat lafaz amar (perintah) yang memfaedahkan hukum wajib. Tetapi bagi orang yang tidak melakukannya tidak menjadikan dia kufur, karena kewajiban tersebut ditetapkan dengan sunnah.5 Shalat witir berjumlah 3 rakaat dengan satu salam pada rakaat terakhir. Berbeda dengan pendapat Imam Asyadalah sesuatu yang ditetapkan (untuk melaksanakannya) dengan dalil zhanni yang masih terdapat keraguan padanya, seperti shadaqah al-fitri, shalat witir dan dua shalat „id, yang ditetapkan dengan dalil zhanni yaitu khabar wahid. Bila seseorang mengingkari sesuatu yang fardhu akan menjadikan orang tersebut kufur, tetapi bila mengingkari yang wajib tidak mengakibatkannya jatuh kepada kufur. Meninggalkan sesuatu yang fardhu akan mengakibatkan suatu ibadah menjadi batal (tidak sah), namun tidak demikian halnya bila meninggalkan sesuatu yang wajib. Lihat Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damsyik ; Dar al-Fikri, tt), juz. 1, h. 47 5 Kamal bin Hummam, Fath al- Qadir, dalam Maktabah Syamilah, juz 2, h. 347. Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
51
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
Syafi‟i, shalat witir itu satu raka‟at (sekurang-kurangnya. pen), dan menurut Imam Malik, shalat witir itu 3 rakaat dengan dua salam. Imam asy-Syafi‟i berdalil dengan hadits Nabi SAW, yaitu :
ِ ِ ب الْ ِوتْ ر فَأَوتِروا يا أ َْىل الْ ُقر َّ آن َّ إن ْ َ َ ُ ْ َ ُّ اَّللَ ِوتْ ٌر ُُي Sesungguhnya Allah itu witir (ganjil), Dia menyukai witir, maka lakukanlah witir wahai ahlu Alquran. Sedangkan Imam Malik berdalil dengan hadits dari Ibnu Umar dan amal sahabat, yaitu :
َّ صلَّى َّ عن ابْ ِن عُ َمَر َر ِض َي ُّ ِاَّللُ تَ َع َاَل َعْن ُه َما قَ َال الن َ َِّب ُاَّلل ِ ِ الصْب َح ُّ يت َ ص ََلةُ اللَّْي ِل َمثْ ََن َمثْ ََن فَِإ َذا َخش َ {َعلَْيو َو َسلَّ َم ٍ َّفَأ َْوتِْر بِرْك َع ٍة يُوتَ ُر لَك َما قَ ْب لَوُ } َوَكا َن َس ْع ُد بْ ُن أَِِب َوق اص َ ٍاح َدة ِ اَّلل تَع َاَل عْنو يوتِر بِرْكع ٍة و ِ َ َ َ ُ ُ ُ َ َ َُّ َرض َي Dari Ibnu Umar r.a, Nabi SAW berkata : (Shalat malam itu dua-dua rakaat. Tetapi sekiranya kamu khawatir terburu masuknya waktu subuh, maka lakukanlah witir satu rakaat, untuk mewitirkan rakaat-rakaat sebelumnya) dan Sa‟ad bin Abi Waqash melakukan witir satu rakaat. Sementara Ulama Hanafiyah menggunakan dalil hadits dari Aisyah r.a, khabar dari Ibnu Mas‟ud, khabar dari Ibnu Abbas tentang fi‟liyah Nabi SAW dan khabar yang disandarkan kepada Umar r.a, yaitu :
52
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Azhariah Khalida
ِ اَّللُ تَ َع َاَل َعْن َها َك َما َرَويْنَا َّ يث َعائِ َشةَ َر ِض َي ُ ( َولَنَا ) َحد َِّ ول ِ { ِِف ِص َف ِة قِي ِام رس اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ُُثَّ يُوتُِر َّ صلَّى َ اَّلل َُ َ ٍ بِثَ ََل }ث Dalil kami adalah hadits Aisyah r.a sebagaimana kami riwayatkan mengenai sifat shalat malam Rasulullah SAW kemudian Rasulullah SAW melakukan shalat witir 3 rakaat.
ِ ِ ٍ مسع ب َّ ود َر ِض َي ُْ َ َ اَّللُ تَ َع َاَل َعْنوُ أ َُّموُ لتُ َراق ت أَنَّوُ أ َْوتَ َر َّ صلَّى ْ اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم فَ َذ َكَر َ
ث ابْ ُن َ { َوبَ َع ِاَّلل ِ ِوتْ ر رس َّ ول َُ َ ٍ ث رَكع ِ اس َم َربِّك ْاْل َْعلَى َوِِف َ ات قَ َرأَ ِِف ْاْل ْ ُوَل َسبِّ ْح َ َ بِثَ ََل َح ٌد َّ الثَّانِيَ ِة قُ ْل يَا أَيُّ َها الْ َكافُِرو َن َوِِف الثَّالِثَِة قُ ْل ُى َو َ اَّللُ أ } وع ِ الرُك ُّ ت قَ ْب َل َ ََوقَن Ibnu Mas‟ud R.A mengutus ibunya untuk memperhatikan Rasulullah SAW melaksanakan shalat witir. Kemudian ibunya memberitahukan bahwa Rasulullah SAW shalat witir tiga rakaat, pada rakaat pertama beliau membaca “sabbihisma rabbikal a`la”. Pada rakaat kedua beliau membaca “ qul ya ayyuhal kafirun”. Pada rakaat ketiga beliau membaca”qul huwa Allahu ahad” dan beliau berqunut sebelum ruku‟.
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
53
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
ِ ٍ ََّوَى َك َذا ذَ َكَر ابْ ُن َعب ات َّ اس َر ِض َي َ َْي ب َ اَّللُ تَ َع َاَل َعْن ُه َما ح َِّ ول ِ ِعْن َد خالَتِ ِو ميمونَةَ لِي راقِب ِوتْ ر رس اَّللُ َعلَْي ِو َّ صلَّى َ اَّلل ُ َ َ َ َُ ُ َْ َ َو َسلَّ َم Demikian pula Ibnu Abbas r.a menyebutkan ketika dia bermalam di (rumah) bibinya Maimunah untuk memperhatikan shalat witir Rasulullah SAW.
اَّللُ تَ َع َاَل َعْنوُ َس ْع ًدا يُوتُِر بَِرْك َع ٍة َّ َولَ َّما َرأَى عُ َم ُر َر ِض َي ِ ِِ َّك َوإََِّّنَا قَ َال َ َّها أ َْو َْلُوذيَن َ فَ َق َال َما َىذه الْبُتَ ْي َراءُ لَتَ ْش َف َعن ِ َّ َن الْ ِوتْ َر اُ ْشتُ ِهَر { أ َّ ك ؛ ِْل اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َّ صلَّى َ َذل َّ َِن الن َ َِّب } نَ َهى َع ْن الْبُتَ ْي َر ِاء Tatkala Umar r.a melihat Sa‟ad melakukan shalat witir satu rakaat, beliau berkata, Bukankah ini albutaira‟ (rakaat yang terpotong), engkau harus pasangkan dengan rakaat lainnya, atau aku akan mencelamu. Umar berkata seperti itu karena sesungguhnya (tata cara) shalat witir itu telah termasyhur (sesungguhnya Nabi SAW melarang (melakukan) al-butaira‟).
َخ ْرت َّ َما أ َش ْي ٍء ِم ْن
54
ِاَّلل تَع َاَل عْنو واَ ََّّلل َ ُ َ َ َُّ ِاَل ْكتِ َفاءُ بَِرْك َع ٍة ِِف
ٍ وقَ َال ابن مسع ود َر ِض َي ُْ َ ُْ َ ُّ َرْك َعةً ق ط َوِْلَنَّوُ لَ ْو َج َاز َ
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Azhariah Khalida
ِ َّ ِ َصر بِسب ِ ِ َّ ب َالس َف ِر َوََل ُح َّجة َ ٌ ْ َالصلَ َوات لَ َد َخ َل ِف الْ َف ْجر ق 6
ُلَو
Ibnu Mas‟ud r.a berkata : Demi Allah aku tidak akan mengakhirkan shalat dengan satu rakaat saja, karena sungguh kalaulah boleh mencukupkan satu rakaat saja dalam rakaat shalat-shalat, tentu masuk pula hukum qashar pada shalat fajar (subuh) dengan sebab perjalanan, tapi tidak ada hujjah untuk hal itu. Memperhatikan semua dalil yang digunakan oleh ulama Hanafiyah di atas, hadits atau khabar tersebut tergolong khabar ahad dan atsar sahabat. Akan tetapi terdapat kesamaan materi yang disampaikan dalam hadits/khabar dan atsar tersebut, sehingga masingmasingnya terhadap yang lain saling menguatkan. Ulama Hanafiyah dalam menerima khabar ahad sebagai hujjah membagi perawi kepada dua kelompok, yaitu perawi yang ma‟ruf (dikenal) dan perawi yang majhul. Perawi yang ma‟ruf ada dua segi, yaitu, dari segi dikenal sebagai faqih dan memiliki kemampuan berijtihad dan dari segi dikenal dengan „adalahnya, baik dhabit dan hafalnya tetapi kurang dalam bidang fikih. Termasuk dalam kelompok pertama, seperti para khulafa‟ al-rasyidin, Zaid bin Tsabit, Mu‟az bin Jabal, Abu Musa al-„Asy‟ari, Aisyah dan selain mereka dari kalangan sahabat yang dikenal sebagai ahli fikih. Khabar mereka diterima sebagai hujjah dan menjadi landasan dalam beramal. Bahkan apabila khabar tersebut berbeda dengan qiyas, maka ditinggalkan qiyas dan beramal berdasarkan khabar ahad. Termasuk kelompok ke dua (ma‟ruf dengan „adalah, dhabit dan 6
Imam As-Sarakhsi, op.cit, juz 1, h. 478-479.
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
55
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
hafiznya) seperti Abu Hurairah dan Anas bin Malik dan selain mereka yang terkenal bersama Rasulullah SAW dari kalangan sahabat dan mendengar dari beliau dalam waktu yang panjang, ketika mukim dan safar.7 Dalil yang digunakan oleh ulama Hanafiyah di atas diriwayatkan oleh para sahabat yang tergolong ma‟ruf dari segi kefakihan dan kemampuan mereka dalam berijtihad, seperti „Aisyah dan Umar. Demikian pula dengan Ibnu Mas‟ud8 dan Ibnu Abbas. Dalil yang digunakan ulama Syafi‟iyah, bahwa shalat witir itu (paling kurang) satu rakaat adalah hadits innallaha witrun dst. Karena Allah itu satu, maka witru diartikan dengan satu, sehingga dipahami bahwa shalat witir itu satu rakaat. Dalam hal ini ulama Syafi‟iyah menggunakan
7
Ahmad bin Abi Sahal as-Sarakhsi, Ushul as-Sarakhsi, ditahqiq oleh Abu al-Wafa‟ al-Afghani, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2005), Cet.ke 2, jilid 1, h. 338-339. 8 Nama lengkapnya Abdullah bin Mas‟ud bin Ghafil bin Hubaib (w.33 H/652 M). Ia adalah sahabat besar dan termasuk orang pertama masukIslam. Ibnu Mas‟ud adalah pembantu Nabi SAW yang terpercaya dan setiamengikuti beliau di rumah, di perjalanan maupun dalam peperangan. Ia ikut hijrah ke Habasyah dan Madinah, shalat ke dua kiblat : Baitul Maqdis dan Ka‟bah, mengikuti perang Badar, Uhud, Khandaq, Bait ar-Ridwan dan lain-lain. Dialah orang yang menebas kepala Abu Jahal sewaktu perang Badar. Nabi SAW memberi jaminan bahwa ia akan masuk surga. Ibnu Mas‟ud banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW. Di dalam kitab hadits Shahih Bukhari dan Muslim, ia meriwa yatkan 848 hadits. Di antara para sahabat yang menerima riwayat dari Ibnu Mas‟ud adalah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Musa, Imran bin Husain, Ibnu Zubair, Jabir, Anas, Abu Sa‟id dan Abu Hurairah. Pada masa pemerintahan Umar, ia ditugaskan ke Kufah bersama-sama „Ammar bin Yasir. Amar sebagai gubernur dan Ibnu Mas‟ud sebagai guru dan pembantu „Ammar. Di Kufah, ia mengajarkan hadits-hadits Nabi. Ia menjadi guru dan hakim. Pada masa pemerintahan Utsman, ia kembali ke Madinah dan meninggal di Madinah dalam usia 60 tahun lebih. Lihat Abdullah al-Musthofa al-Maraghi, Pakar-pakar Fikih Sepanjang Sejarah, judul asli : Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyin, Penerjemah: Husein Muhammad, (Yogyakarta; LKPSM, 2001), h. 51
56
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Azhariah Khalida
dalalah isyarah (isyarat Nash).9 Sedangkan ulamaHanafiyah menggunakan hadits dari „Aisyah dan riwayat Ibnu Mas‟ud yang secara jelas menunjukkan bahwa Nabi melakukan shalat witir sebanyak 3 rakaat. Dalam hal ini ulama Hanafiyah menggunakan dalalah „ibarah (ibarat Nash). 10 Oleh ulama Hanafiyah, apabila berbenturan antara dalalah „ibarah dengan dalalah isyarah,maka didahulukan mengambil pengertian dari dalalah ibarah, karena itulah yang lebih jelas. b. Membaca qunut pada shalat witir Berdasarkan kebanyakan sunnah, Nabi SAW berqunut dalam shalat witir. Menurut Imam Asy-Syafi‟i Nabi SAW tidak berqunut kecuali pada separoh terakhir dari bulan Ramadhan berdasarkan riwayat dari Umar r.a bahwa Umar menyuruh Ubay bin Ka‟ab menjadi imam pada malam-malam Ramadhan dan menyuruhnya berqunut pada separoh terakhir bulan Ramadhan. Menurut pendapat kami (as-Sarakhasi) takwilnya adalah yang dimaksud dengan berqunut (dalam riwayat Umar itu) adalah memanjangkan bacaan shalat, bukan berqunut dalam shalat witir.11 Menurut ulama Hanafiyah, membaca qunut waktunya sebelum ruku‟ sebagaimana yang diriwayatkan dalam atsar, karena qunut bermakna bacaan, yaitu 9
Isyarat Nash adalah suatu pengertian yang ditangkap darisuatu lafaz,sebagai kesimpulan dari pemahaman terhadap suatu ungkapan (ibarat) dan bukan dari ungkapan itu sendiri. (Muhammad Abu Zahrah, Ushul alFiqh, penerjemah : Saefullah Ma‟shum dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1994), h.205. 10 Dalalah ibarah ialah: makna yang dipahami dari lafaz, baik lafaz tersebut berupa zahir maupun Nash, muhkam maupun tidak. Atau setiap pengertian yang dipahami dari keadaan lafaz yang jelas.(Ibid, h. 204). 11 As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, op.cit., h. 480 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
57
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
Allahumma innaa nasta‟inuka ….- ditulis dalam mushaf Ubay bin Ka‟ab dan Ibnu Mas‟ud dalam dua surat, dan bacaan itulah yang dinamakan qunut menurut kami (Hanafiyah). Sedangkan menurut Asy-Syafi‟i, qunut dibaca sesudah ruku‟, dan tidak ada atsar yang menjadi hujjah berqunut pada shalat witir. Yang ada hanyalah atsar untuk berqunut pada shalat subuh, maka disamakan dengannya waktu qunut witir.12 Menurut ulama Hanafiyah tidak ada qunut dalam shalat-shalat lain, selain pada shalat witir. Sedangkan oleh Asy-Syafi‟i, beliau berqunut dalam shalat subuh pada rakaat ke dua sesudah ruku‟ dengan berdalil pada hadits riwayat Anas r.a yaitu:
ِ َّ { َكا َن النَِِّب صلَّى ص ََلةِ الْ َف ْج ِر ُ ُاَّللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم يَ ْقن َ ت ِِف َ ُّ
} َإَل أَ ْن فَ َار َق الدُّنْيَا
Menurut Asy-Syafi‟i, sah berqunut pada shalat subuh dan siapa yang mengatakan bahwa hal itu sudah dinasakh, maka hal itu harus ditetapkan dengan dalil. Asy-Syafi‟i juga berdalil dengan amalan „Ali r.a yang melakukan qunut pada shalat subuh. Sedangkan Hanafiyah menggunakan hadits riwayat Ibnu Mas‟ud, riwayat Anas dan atsar sahabat, yaitu :
12
58
Ibid Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Azhariah Khalida
ٍ ح ِديث اب ِن مسع َّ اَّللُ تَ َع َاَل َعْنوُ { أ صلَّى َّ ود َر ِض َي َّ َِن الن َ َِّب ُْ َ ْ ُ َ ِ َّ ص ََلةِ الْ َف ْج ِر َش ْهًرا يَ ْدعُو َعلَى َ َاَّللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم قَن َ ت ِِف ِ ِ َحي ِاء الْعر } ُب ُُثَّ تََرَكو ََ َ ْ َح ٍّي م ْن أ Sesungguhnya Nabi SAW berqunut dalam shalat subuh selama sebulan untuk memohon keselamatan hidup bangsa Arab, kemudian beliau meninggalkannya.
ِاَّلل ٍ ََع ْن أَن َّ ول ُ ت َر ُس َّ س َر ِض َي َ َاَّللُ تَ َع َاَل َعْنوُ قَ َال { قَن ِ اَّلل علَي ِو وسلَّم ِِف ِ ْي َ ص ََلة الْ َف ْج ِر َش ْهًرا أ َْو قَ َال أ َْربَع َ َ َ َ ْ َ َُّ صلَّى َ ول ِِف قُنُوتِِو اللَّ ُه َّم ُ يَ ْوًما يَ ْدعُو َعلَى َر ْع ٍل َوذَ ْك َو ٍان َويَ ُق ِِ ْي َك ِس ِِن َ اُ ْش ُد ْد َوطْأَتَك َعلَى ُم َ اج َع ْل َها َعلَْي ِه ْم سن ْ ضَر َو ِ َ وس ٌس لَك م ْن ْاْل َْم ِر َش ْيء ُ ُي َ ف فَلَ َّما نََزَل قَ ْولو تَ َع َاَل { لَْي ِ }ك َ وب َعلَْي ِه ْم } ْاْليَةَ تَ َرَك ذَل َ ُأ َْو يَت Diriwayatkan dari Anas r.a, dia berkata (bahwa Rasulullah SAW berqunut dalam shalat subuh selama sebulan atau katanya empat puluh hari untuk mendoakan Ra‟al dan Zakwan dan Nabi berdoa dalam qunutnya “Allahumma usydud wath-ataka „ala mudhara waj‟alha „alaihim siniina kasinii Yusufa” , maka ketika turun firman Allah “Laisa laka minal amri syai-un aw yatuba „alaihim”, beliau meninggalkannya.
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
59
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
صلَّْيت َّ ي َر ِض َي ُّ َوقَ َال أَبُو عُثْ َما َن الن َّْه ِد َ ُاَّللُ تَ َع َاَل َعْنو ِ ِ ك فَلَم أَر و ِِ اح ًدا َ ْْي َو َخل َ َخ ْل َ ف أَِِب بَ ْك ٍر سن َ َ ْ َ ف عُ َم ُر َك َذل ِ . ص ََلةِ الْ َف ْج ِر ُ ُمْن ُه َما يَ ْقن َ ت ِِف Abu Utsman an-Nahdiy r.a berkata : Aku shalat di belakang Abu Bakar selama beberapa tahun, dan (aku shalat) di belakang Umar demikian juga, aku tidak pernah menyaksikan seorangpun dari keduanya berqunut dalam shalat subuh. Jadi menurut Hanafiyah bahwa memang Nabi pernah berqunut dalam shalat subuh (qunut nazilah), tetapi hal itu sudah dinasakh. Demikianlah, perbuatan Nabi yang kemudian menasakh perbuatan Nabi yang terdahulu. Mereka tidak menyangkal kesahan melakukan qunut dalam shalat maghrib sebagaimana juga berqunut dalam shalat subuh, tapi kemudian hal itu telah dinasakh.13 Dalam persoalan ini, ulama Hanafiyah menerapkan nasakh terhadap fi‟liyah Nabi yang pernah berqunut pada shalat subuh, yaitu nasakh dengan ayat Alquran, yaitu: 14
ِ } وب َعلَْي ِه ْم َ ُس لَك م ْن ْاْل َْم ِر َش ْيءٌ أ َْو يَت َ { لَْي
Hal ini dijelaskan oleh riwayat Ibnu Mas‟ud dan riwayat Anas serta perkataan Abu Utsman an-Nahdiy yang menceritakan tentang amalan Abu Bakar dan Umar (atsar sahabat) di atas. Sementara qunut pada shalat witir tetap dilakukan.
13 14
60
Ibid, h. 481 Alquran Surat Ali Imran, ayat 128 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Azhariah Khalida
c. Dua Shalat „Id („Idul Fitri dan „Idul Adha). Dua shalat „id (hari raya) disyari‟atkan berdasarkan hadits riwayat Anas, yaitu :
ِ ِاَّلل ٍ َيث أَن َّ ول ُ قَ ِد َم َر ُس: { اَّللُ َعْنوُ قَ َال َّ س َر ِض َي ُ َحد ِ اَّلل علَي ِو وسلَّم الْم ِدينَةَ وََلم ي وم ان يَ ْل َعبُو َن فِي ِه َما َ َ ْ َ ْ ُ َ َ َ َ َ ْ َ َُّ صلَّى اَّللُ ُسْب َحانَوُ َوتَ َع َاَل ِبِِ َما َخْي ًرا ِمْن ُه َما َّ قَ ْد أَبْ َدلَ ُك ْم: فَ َق َال 15 } َض َحى ْ الْ ِفطَْر َو ْاْل
Rasulullah SAW datang ke Madinah, sedangkan mereka sedang berhura-hura selama dua hari. Kemudian Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah telah menggantikan yang lebih baik dari dua hari itu untukmu, yaitu hari „Idul Fitri dan „Idul Adha.
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, shalat „id itu hukumnya wajib. Al-Hasan meriwayatkan dari Abu Hanifah, bahwa shalat ‟id hukumnya wajib bagi orang yang diwajibkan melaksanakan shalat jum‟at. Dasarnya adalah :
ِ ِ اْلم ضا َن َ اعة َما َخ ََل قيَ َام َرَم َ َ َْ صلَّى التَّطَُّوعُ ِِف َ ََُل ي ِ َّم س َ َوُك ُس ْ وف الش
Tidak dilakukan shalat tathawwu‟ itu secara berjama‟ah selain qiyam Ramadhan (shalat tarawih) dan gerhana matahari. Itu adalah dalil bahwa shalat „id itu hukumnya wajib. Yang jelas adalah bahwa minimal ia adalah sunat, karena ia merupakan bendera agama, mengambilnya adalah petunjuk 15
As-Sarakhsi, op.cit., juz. 2, h. 356
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
61
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
dan meninggalkannya adalah kesesatan. Sesungguhnya pada dua hari „id itu keluarlah penduduk negri-negri besar selain penduduk al-qura dan sawad, sebagaimana yang kami riwayatkan :
ِ } ص ٍر َج ِام ٍع ْ يق َّإَل ِِف م َ { ََل ُُجُ َعةَ َوََل تَ ْش ِر Tidak ada shalat jumat dan tidak ada shalat tasyriq kecuali di negri yang (berpenduduk) banyak. Yang dimaksud dengan shalat tasyrik adalah shalat „id berdasarkan hadits : 16
} { ََل َذبْ َح َّإَل بَ ْع َد التَّ ْش ِر ِيق
Tidak ada penyembelihan, kecuali sesudah shalat tasyriq („id). Menurut Hanafiyah, terhadap shalat „id disyaratkan khutbah sebagaimana disyaratkan pula khutbah dalam shalat jumat. Hanya perbedaannya, khutbah pada shalat jum‟at dilakukan sebelum shalat sedangkan pada shalat „id, waktunya sesudah shalat. Di samping itu khutbah pada shalat jum‟at menempati posisi sebagai syarat sah shalat jum‟at seperti juga halnya khutbah pada hari „Arafah.17 Menurut pendapat mereka, berjamaah merupakan syarat sah shalat „id, seperti halnya shalat jum‟at, berdasarkan perbuatan Rasulullah SAW maka tidak boleh melakukannya selain seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Bila seseorang tertinggal oleh imam, maka ia tidak dituntut mengqadhanya, baik pada waktu itu juga ataupun setelahnya. Sebagaimana pada seseorang yang tertinggal dalam shalat jum‟at, hendaklah ia melaksanakan shalat 16 17
62
Ibid, h. 357 Ibid, h.358 Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Azhariah Khalida
zuhur empat rakaat seperti pada hari-hari yang lain. Apabila ia ingin juga melakukan shalat, hendaklah ia melakukan shalat dua rakaat atau empat rakaat seperti shalat dhuha pada hari-hari yang lain, berdasarkan hadits riwayat „Umarah bin Ruwaybah, hadits riwayat Ibnu Mas‟ud dan hadits riwayat „Ali r.a, yaitu :
َِّ ول ِ ح ِد اَّلل ُ اَّللُ َعْنوُ { َكا َن َر ُس َّ يث عُ َم َارَة بْ ِن ُرَويْ بَةَ َر ِض َي َ ِ ْي } و ِِل ِد ِ اَّلل َعلَْي ِو وسلَّم ي ْفتَتِح الض يث َ َُّ صلَّى َ َ ِ ْ َُّحى بَرْك َعت َ ُ َ َ ََ َِّ ول ٍ اب ِن مسع اَّللُ َعلَْي ِو َّ صلَّى ُ اَّللُ َعْنوُ { َكا َن َر ُس َّ ود َر ِض َي َ اَّلل ُْ َ ْ ِ ٍ ِ } ُّحى َ ب َعلَى أ َْربَ ِع َرَك َعات ِِف َ ص ََلة الض ُ َو َسلَّ َم يُ َواظ ِ اَّللُ َعْنوُ َع ْن َّ يث َعلِ ٍّي َر ِض َي ُّ ََواَلَّ ِذي ََيْت ُ ص ِِبَ َذا الْيَ ْوَم َحد ِ َّ اَّللِ صلَّى ِ صلَّى بَ ْع َد َ َم ْن: { اَّللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم قَ َال َ َّ َر ُسول ِِ ٍ ٍ ت َّ ب َ َاَّللُ تَ َع َاَل لَوُ بِ ُك ِّل نَْبت نَب َ َالْعيد أ َْربَ َع َرَك َعات َكت 18 } ًَوبِ ُك ِّل َوَرقٍَة َح َسنَة Hadits „Umarah bin Ruwaibah r.a (bahwa Rasulullah SAW membuka shalat dhuha dengan dua rakaat), dan hadits Ibnu Mas‟ud r.a (bahwa Rasulullah SAW mengerjakan dengan teratur empat rakaat pada shalat dhuha), dan hadits yang khusus tentang hari „Id ini adalah hadits riwayat Ali r.a, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda : Siapa yang shalat sesudah shalat „id empat rakaat, Allah akan menuliskan untuknya amal kebaikan pada setiap tumbuhan yang tumbuh dan pada setiap daun.
18
Ibid, h. 364
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
63
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Imam Abu Hanifah menetapkan wajibnya dua shalat „id, berdasarkan hadits dari Anas bahwa hari raya „idul fitri dan „idul adha ditetapkan Allah SWT kepada umat Nabi Muhammad menggantikan kebiasaan bangsa Arab pada waktu itu yang berhura-hura pada dua hari tertentu. Dan Rasulullah menyebutnya dengan hari yang lebih baik dari hari-hari lainnya. Selain itu ada hadits yang menjelaskan secara khusus (takhsish) tentang shalat tathawwu‟ (sunat) yang dikerjakan secara berjamaah, yaitu shalat tarawih dan shalat gerhana matahari. Sedangkan shalat „id tidak termasuk pada shalat ini, padahal shalat „id selalu dilakukan oleh Rasulullah SAW secara berjamaah. Di samping itu dalam pelaksanaan shalat „id, disyaratkan adanya khutbah, seperti halnya pada shalat jum‟at, tetapi khutbah tersebut dilakukan setelah shalat dan tidak menjadi syarat sah shalat „id. Agaknya Abu Hanifah melihat terdapat banyak kesamaan antara pelaksanaan shalat jum‟at dengan shalat „id, sekalipun terdapat beberapa perbedaan, sehingga melaksanakan shalat „id wajib bagi orang yang diwajibkan melakukan shalat jum‟at. Semua hal tersebut, menurut Abu Hanifah mempunyai landasan hadits qauli maupun fi‟li yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, walaupun hadits-hadits tersebut tidak sampai pada derjat mutawatir atau masyhur. Oleh karenanya shalat „id adalah wajib, bukan fardhu.
2. Bab Munakahat
64
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Azhariah Khalida
Sebagai contoh masalah fikih dalam bab munakahat ini, penulis akan mengemukakan tentang pernikahan19 bikir (gadis), pernikahan tsayib (janda) dan nikah tanpa wali, karena dalam persoalan tersebut, mazhab Hanafi sangat berbeda dengan mazhab lainnya. a. Pernikahan bikir Menurut Abu Hanifah, apabila seorang ayah menikahkan anak perempuannya yang bikir yang sudah dewasa/baligh, sedangkan dia diam, hal itu menunjukkan kerelaannya ,maka nikah itu boleh. Tetapi bila dia enggan 19
Nikah, menurut bahasa, adalah ungkapan untuk watha‟. Makna hakikatnya adalah adh-dhammu (berkumpul). Kemudian kata ini dipinjamkan untuk akad sebagai majaz, karena akad adalah sebab syar‟i yang membolehkan watha‟. Atau dalam akad terdapat makna adh-dhammu, maka akad itu menggabungkan antara satu orang dengan yang lainnya menjadi seperti satu individu dalam mencapai kemaslahatan hidup. Menurut Imam Asy-Syafi‟I, istilah nikah dalam syari‟at hanya mencakup akad saja. Namun menurut Hanafiyah tidaklah demikian. Hal itu dapat dipahami dari firman Allah, di antaranya :
ِ } اح َ { َح ىَّت إذَا بَلَغُوا النّ َك Maksudnya adalah ihtilam (bermimpi), maka orang yang bermimpi itu melihat dalam tidurnya gambaran watha‟. Begitu pula dengan firman Allah :
} ً{ ال ىز ِاِن ََل يَنْ ِك ُح ىإَل َزانِيَة Maksudnya adalah watha‟. Pada tema yang lain,kata nikah digunakan untuk akad. Hal itu sebagai dalil tentang kaitan antara nikah dengan penyebutan akad atau khitab kepada para wali, seperti dalam firman Allah :
} { َوأَنْ ِك ُحوا ْاْلَيَ َامى ِمنْ ُك ْم Atau disyaratkan izin keluarga perempuan untuk nikah, seperti dalam firman Allah : } { فَا ْن ِكحُو ُه َّن بِ ِإ ْذ ِن أ َ ْهل ِِه َّن (As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, (Libanon : Dar al-Ma‟rifah, 1989), juz. 4, h.
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
65
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
dan menolak, maka dia tidak boleh dinikahkan. Alasannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Abu Musa al-Asy‟ari, yaitu :
ِ ِ َّ { أ اح بِ ْك ٍر َزَّو َج َها َّ َِن الن َ َِّب َ صلَّى ا ََّّللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم َرَّد ن َك ِ ٍ ِ آخَر قَ َال { ِِف الْبِ ْك ِر َ ُأَب َ وىا َوى َي َكا ِرَىةٌ } َوِِف َحديث ِ ْ َت َوإِ ْن أَب ْ َت فَ َق ْد َر ِضي ْ َ فَِإ ْن َس َكت: يَُزِّو ُج َها َوليُّ َها ْت ََل 20 . فَ ََل َج َو َاز َعلَْي َها: تُكَْرْه } َوِِف ِرَوايٍَة
Sesungguhnya Nabi SAW menolak nikah bikir yang dinikahkan oleh ayahnya sedangkan ia membencinya). Dalam hadits yang lain, Nabi berkata (tentang pernikahan bikir yang dinikahkan oleh walinya: jika dia diam, maka dia rela dan jika dia enggan, tidak boleh dipaksa), dan dalam satu riwayat: maka tidak dibolehkan menikahkannya. Dalil yang lain adalah hadits yang diriwayatkan dari al-Khansa‟, yaitu :
ِ ْ ح ِديث اَّللُ َعلَْي ِو ِّ ِت َإَل الن َّ صلَّى ُ َ ْ َاْلَْن َساء { فَِإن ََّها َجاء َ َِّب ِِ ِ إن أَِِب زَّوج ِِن ِمن اب ِن أ ك َ َخ ِيو َوأَنَا ل َذل ْ ََو َسلَّ َم فَ َقال ْ ْ َ َ َّ : ت ِ ِ َّ صلَّى: َكا ِرىةٌ فَ َق َال صنَ َع أَبُوك َ َ اَّللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم أَجي ِزي َما َ ِ اَّللُ َعلَْي ِو َّ صلَّى ْ َفَ َقال َ صنَ َع أَِِب فَ َق َال َ يما َ ت َما ِِل َر ْغبَةٌ ف ِ ِِ ِ ت ْ َاح لَك انْكحي َم ْن شْئت فَ َقال َ ا ْذ َىِِب فَ ََل ن َك: َو َسلَّ َم
20
Ibid., juz 5, h. 2
66
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Azhariah Khalida
ِ ِ ِ ِ َ ت َما س ُ َج ْز َأ َ صنَ َع أَِب َولَك ِّن أ ََرْدت أَ ْن يَ ْعلَ َم النّ َساءُ أَ ْن لَْي } ٌلِ ْْلبَ ِاء ِم ْن أ ُُموِر بَنَاِتِِ ْم َش ْيء
Sesungguhnya dia datang kepada Nabi SAW kemudian dia berkata: Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan anak saudaranya sedangkan aku membenci pernikahan itu. Maka Nabi SAW berkata : apakah engkau berkenan dengan apa yang diperbuat ayahmu, maka dia berkata : aku tidak menyukai apa yang diperbuat ayahku. Kemudian Nabi SAW berkata : pergilah engkau, tidak (sah) pernikahanmu, menikahlah kamu dengan orang yang kamu inginkan. Kemudian dia berkata : apakah aku boleh melakukannya terhadap ayahku, akan tetapi aku ingin para wanita mengetahui bahwa tiada satupun hak (untuk memaksa) bagi para ayah dalam urusan anak perempuan mereka. Dalam hadits tersebut Rasulullah SAW tidak mengingkari pernyataan al-Khansa‟, dan tidak dijelaskan bahwa dia seorang bikir atau tsayib (janda). Hal itu menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan hukum terhadap keduanya. Dalam hadits yang ma‟ruf dinyatakan bahwa “Bikir itu dimintakan persetujuannya, dan diamnya menunjukkan kerelaannya”. Hadits ini menjadi dalil bahwa pada dasarnya persetujuan dari seorang perempuan itu dihargai.21
Dalam hal ini ulama Hanafiyah tidak membedakan antara hak bikir dengan tsayib, bahwa keduanya berhak atas dirinya untuk menentukan pasangan hidup (suami) mereka berdasarkan keumuman makna hadits al-Khansa di atas dan hadits-hadits yang secara khusus menjelaskan bahwa pernikahan bikir hendaklah dengan persetujuannya yang 21
Ibid.
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
67
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
diriwayatkan oleh para rawi dari kalangan sahabat yang ma‟ruf yaitu Abu Hurairah dan Abu Musa al-Asy‟ari. b. Pernikahan tsayib (janda) As-Sarakhasi mengemukakan bahwa terdapat hadits Rasulullah SAW tentang pernikahan seorang janda, yaitu :
َِّ ول َّ اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم أ َن َر ُج ًَل َزَّو َج َّ صلَّى ُ { بَلَّغَنَا َر ُس َ اَّلل ول ُ يد َع َّم ِصْب يَ ِاِنَا فَ َفَّر َق َر ُس ُ َوِى َي تُِر، ٌ َوِى َي َكا ِرَىة، ُابْنَتَو ِ اَّلل علَي ِو وسلَّم ب ي ن ها وب َِّ ِ َ ْ َ َ َ َ َْ َ َ َ ْ َ َُّ صلَّى ُْي الَّذي َزَّو َج َها مْنو َ اَّلل } وىا ُُثَّ َزَّو َج َها َع َّم َولَ ِد َىا َ ُأَب Rasulullah SAW telah menyampaikan kepada kami bahwa sesungguhnya seorang laki-laki menikahkan anak perempuannya, sedangkan dia tidak suka, dan dia ingin menikah dengan paman anak-anaknya, maka Rasulullah SAW menceraikan antara dia dengan orang yang menikahinya karena keinginan ayahnya, kemudian Rasulullah menikahkan perempuan tersebut dengan paman anaknya. Dalam hadits tersebut perempuan yang dimaksud adalah seorang janda, karena perawi mengatakan “hiya turiidu „amma shibyaniha”. Hadits ini menjadi dalil bahwa seorang ayah yang menikahkan anak perempuannya (janda) tidak akan berlaku tanpa kerelaan anaknya itu, dan hal ini disepakati oleh para ulama. Akan tetapi oleh Imam AsySyafi‟I, hadits ini tidaklah menjadi hujjah bahwa ia juga berlaku untuk bikir, karena lawan dari hukum ini diberlakukan kepada bikir yang diambil dari mafhum hadits tersebut. Sementara menurut Hanafiyah, mafhum tidak dapat
68
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Azhariah Khalida
dijadikan hujjah, karena pengkhususan tsayib yang disebutkan dalam hadits itu dan takhsis tsayib yang disebutkan dalam hadits tidak menunjukkan/ tidak menjadi dalil bahwa hukum terhadap selainnya adalah lawannya (Hanafiyah tidak menerima hujjah dengan mafhum mukhalafah). Kemudian hadits di atas juga menjadi dalil bahwa bila seorang wali menghalangi pernikahan (putrinya), maka imam/sultan dapat menikahkan perempuan tersebut dengan sebab seorang ayah menghalangi pernikahan putrinya dengan orang yang disukainya. Dalam hal ini Rasulullah menikahkan perempuan tersebut dengan wewenang beliau sebagai imamah (kepala negara). Hadits ini juga menjadi dalil bahwa memilih suami adalah hak seorang perempuan bukan hak walinya, karena perempuan tersebutlah yang akan bergaul dengan sang suami, maka baiknya pergaulan dapat dicapai bersama orang yang dipilihnya, bukan dengan seseorang yang dipilih oleh seorang wali.22 Dalam hal ini ulama Hanafiyah tidak memandang sebab yang khusus pada hadits di atas (kasus terkait dengan seorang janda), tetapi memandang maksud dari tindakan Nabi SAW bahwa seorang perempuan berhak atas dirinya untuk menentukan pilihannya dalam menentukan calon suami. Hal ini menunjukkan penghargaan terhadap hak yang dimiliki seseorang, tidak berbeda antara yang bikir dengan yang janda. c. Nikah tanpa wali
22
Ibid, h. 10
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
69
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
Imam As-Sarakhasi mengemukakan perkataan „Ali bin Abi Thalib tentang perkara yang diajukan kepadanya yaitu :
ٍ َِع ْن َعلِ ِي بْ ِن أَِِب طَال َّ اَّللُ َعْنوُ أ ت َّ ب َر ِض َي ْ َن ْامَرأَةً َزَّو َج ّ ِ وىا َإَل َعلِ ٍّي َر ِض َي َ ابْنَتَ َها بِ ِر َ اص ُم َض َ اىا فَ َجاءَ أ َْوليَ ُاؤَىا فَ َخ ِ اح َّ َ اَّللُ َعْنوُ فَأ َ َج َاز النّ َك Sesungguhnya seorang perempuan telah menikahkan putrinya dengan persetujuan putrinya itu, kemudian para walinya datang, lalu mereka memperkarakan perempuan itu kepada „Ali r.a, maka Ali membolehkan pernikahan tersebut. Riwayat dari Ali bin Abi Thalib tersebut menjadi dalil bahwa seorang perempuan yang menikahkan dirinya sendiri atau meminta orang lain selain wali untuk menikahkannya, maka pernikahan tersebut boleh. Imam Abu Hanifah r.a berpendapat demikian, seorang perempuan yang menikahkan dirinya sendiri, maka nikahnya itu boleh, berdasarkan zahir riwayat Ali r.a tersebut, baik perempuan itu seorang bikir atau janda, dan sama saja apakah suaminya sekufu dengannya atau tidak, maka nikahnya sah. Apabila sang suami tidak sekufu dengan perempuan itu, maka walinya berhak mengajukan keberatan. Terhadap persoalan ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama Hanafiyah. Menurut riwayat al-Hasan, jika (calon) suami tersebut sekufu dengan si perempuan, maka nikahnya boleh. Sedangkan jika mereka tidak sekufu, maka nikahnya tidak boleh. Sedangkan menurut Abu Yusuf, pada mulanya dia mengatakan bahwa pernikahan tersebut tidak boleh, baik keduanya sekufu maupun tidak, bila 70
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Azhariah Khalida
perempuan itu masih memiliki wali. Kemudian dia mengatakan, jika keduanya sekufu, boleh nikahnya, tetapi bila tidak sekufu maka tidak boleh. Kemudian Abu Yusuf kembali menyatakan pandangannya, bahwa nikahnya shahih, baik keduanya sekufu atau tidak. Ath-Thahawi menambahkan pendapat Abu Yusuf tersebut, bila si laki-laki sekufu dengan perempuan itu, hakim akan menyuruh wali untuk mengizinkan akad. Jika wali mengizinkannya, maka pernikahan itu boleh. Tetapi jika wali enggan memberi izin, tidak difasakh nikah tetapi hakim yang memberi izin, maka nikahnya boleh. Sedangkan menurut pendapat Muhammad bahwa ditangguhkan nikahnya sampai dibolehkan oleh wali, baik perempuan itu menikahkan dirinya sendiri dengan laki-laki yang sekufu atau pun tidak sekufu. Jika wali membolehkannya, maka nikahnya boleh, dan jika wali membatalkannya, maka nikah itu batal, kecuali apabila si suami sekufu dengan si perempuan, cukuplah hakim memperbaharui akadnya apabila wali enggan untuk menikahkannya.23 Sementara menurut pendapat Imam Malik dan Imam Asy-Syafi‟i, perempuan yang menikahkan dirinya sendiri batal dalam segala kondisi dan dia tidak bisa melakukan akad nikah dengan memandang bahwa dia perempuan semata-mata, baik dia menikahkan dirinya sendiri, atau putrinya, atau ibunya atau dia mewakilkan nikahnya kepada seseorang. Menurut mazhab Syafi‟i, nikah tidak boleh tanpa adanya wali, berdasarkan hadits-hadits berikut ini : 23
Ibid, h. 11
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
71
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
ِ ح ِد َّ اَّللُ َعْن َها أ اَّللُ َعلَْي ِو َّ صلَّى َّ يث َعائِ َشةَ َر ِض َي َّ َِن الن َ َِّب َ ِ ِ ِ ِ ْ أَُُّّيَا ْامرأَةٍ نَ َكح: وسلَّم قَ َال اح َها ُ ت بغَ ِْْي إ ْذن َوليِّ َها فَن َك َ َ َ ََ ِ ِ ِ ِ ِ استَ َح َّل ْ بَاط ٌل بَاط ٌل بَاط ٌل َوإِذَا َد َخ َل ِبَا فَلَ َها الْ َم ْه ُر ِبَا ِ َ َ وََل َشط، ِمن فَرِج َها ََل وْكس الس ْلطَا ُن ُّ َاجَرا ف َ ط فَإ ْن تَ َش ْ ْ َ َ َ َّ ِِل َم ْن ََل َو ُّ َِو ُِل لَو Hadits Aisyah r.a, Sesungguhnya Nabi SAW berkata: Siapapun perempuan yang menikah tanpa izin walinya,maka nikahnya batal, batal, batal. Apabila dia telah dicampuri, maka dia berhak atas mahar dengan sebab untuk menghalalkan kehormatannya, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Jika keduanya berselisih,maka sultan adalah wali bagi siapa yang tidak mempunyai wali.
ِ اِل ِد َّ يث الْ َم ْش ُهوِر أ اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم قَ َال َّ صلَّى َّ َِن الن َ َِّب َْ َوِِف ِ ِ َّ َ ََل نِ َك: ِل ٍّ اح إَل ب َو
Dalam hadits yang sudah masyhur, sesungguhnya Nabi SAW berkata: tidak (sah) nikah kecuali dengan wali.
ِ وِِف ح ِد ٍ َّيث ابْ ِن َعب َّ اَّللُ َعْن ُه َما أ صلَّى َّ اس َر ِض َي َّ َِن الن َ َِّب َ َ ض ْرهُ أ َْربَ َعةٌ فَ ُه َو ٍ ُك ُّل نِ َك: اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم قَ َال َّ ُ اح ََلْ َُْي ِ اطب ووِِلٌّ وش ِ اى َدا َع ْد ٍل َ َ َ َ ٌ ِ اح َخ ٌ س َف Dalam hadits riwayat Ibnu Abbas r.a : Sesungguhnya Nabi SAW berkata : Setiap nikah yang tidak dihadiri oleh empat orang maka itu adalah perzinaan, yaitu orang yang menikah, wali dan dua saksi yang adil. 72
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Azhariah Khalida
ِ وِِف ح ِد َّ اَّللُ َعْنوُ أ َّ صلَّى َّ يث أَِِب ُىَريْ َرَة َر ِض َي َّ َِن الن َ َِّب ُاَّلل َ َ ُ َوََل الْ َم ْرأَة، ََل تُْنكِ ُح الْ َم ْرأَةُ الْ َم ْرأََة: َعلَْي ِو َو َسلَّ َم قَ َال ، الزانِيَةُ ِى َي الَِِّت تُْن ِك ُح نَ ْف َس َها َّ نَ ْف َس َها َوإََِّّنَا
Dalam hadits riwayat Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Nabi SAW berkata Tidak bisa seorang perempuan menikahkan perempuan lainnya dan tidak bisa pula seorang perempuan menikahkan dirinya. Sesungguhnya perempuan yang berzina itu dia yang menikahkan dirinya sendiri. Selain hadits-hadits di menggunakan qaul Aisyah yaitu :
atas,
mereka
juga
ِ َّ َوأ ب َّ َن َعائِ َشةَ َر ِض َي ُ ت ََْت ْ َاَّللُ َعْن َها َكان َ ض ُر النّ َك ُ ُاح َوََتْط 24 ِ ول ْاع ِق ُدوا فَِإ َّن النِّ َساءَ ََل يَ ْعق ْدن ُ ُُثَّ تَ ُق
Sesungguhnya „Aisyah r.a menghadiri pernikahan dan dia berpidato kemudian dia berkata lakukanlah akad olehmu maka sesungguhnya perempuan tidak dapat mengakadkan. Adapun ulama yang membolehkan nikah tanpa adanya wali menggunakan dalil-dalil nash berikut ini :
ِ ِِ ِ }يما فَ َع ْل َن ِِف أَنْ ُف ِس ِه َّن َ َب َق ْولو تَ َع َاَل { فَ ََل ُجن َ اح َعلَْي ُك ْم ف } َُوبَِق ْولِِو تَ َع َاَل { َح ََّّت تَْن ِك َح َزْو ًجا َغْي َره ِ ِِ ِ } اج ُه َّن َ ل َق ْولو تَ َع َاَل { أَ ْن يَْنك ْح َن أ َْزَو 24
Ibid.
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
73
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
Dalam ayat-ayat tersebut menyandarkan akad kepada perempuan, maka hal itu menjadi dalil bahwa perempuan memiliki hak dalam pergaulan. Menurut ibarat Nash dari ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa perempuan mempunyai kekuasaan (wewenang) terhadap dirinya sendiri. Selanjutnya dalil berupa khabar adalah : 1) Sabda Rasulullah SAW :
ِ ِ َّ قَولُو صلَّى َح ُّق بِنَ ْف ِس َها ِم ْن َ ُْ َ ْاْل َّّيُ أ: { اَّللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم } َولِيِّ َها Yang dimaksud denhan al-ayyimu adalah seorang perempuan yang tidak mempunyai suami baik ia bikir atau janda, dan inilah yang paling sahih menurut ahli bahasa. Sementara Al-Karkhiy mengatakan bahwa alayyimu dari kalangan perempuan sama halnya dengan orang yang membujang dari kalangan laki-laki. Berbeda dengan pendapat Muhammad, bahwa al-ayyimu adalah sebutan untuk janda.
2) Sabda Rasulullah SAW bahwa tidak ada hak wali suatu urusanpun terhadap janda :
ِ ِّاَّللُ َعلَْي ِو و َسلَّم }لَْيس لِْلوِِِل َم َع الثَّي }ب أ َْمٌر َّ صلَّى َ َوقَ َال َ َ َّ َ
3) Hadits riwayat Khansa‟ seperti yang telah dikemukakan sebelumnya ;
74
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Azhariah Khalida
ِ ْ وح ِديث ِاَّلل ِ ْي ي َدي رس َّ ول ُ اْلَْن َساء َحْي ُ ََ ْ َث { قَال ُ َ ْ َ َ ْ َ ب: ت اَّللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َولَ ِك ِِّن أ ََرْدت أَ ْن تَ ْعلَ َم النِّ َساءُ أَ ْن َّ صلَّى َ } ٌس َإَل ْاْلبَ ِاء ِم ْن أ ُُموِر بَنَاِتِِ ْم َش ْيء َ لَْي
4) Sabda Rasulullah ketika menikahi Ummu Salamah :
ت َّ اَّللِ أ َُّم َسلَ َمةَ َر ِض َي َّ ول ُ ب َر ُس ْ اَّللُ َعْن َها ْاعتَ َذ َر َ ََولَ َّما َخط ِ َّ بِأَع َذا ٍر ِمن ُجلَتِها أ َّ صلَّى ْ َ : ب فَ َق َال َ ُْ ْ ُاَّلل ٌ ََّن أ َْوليَاءَ َىا غُي ِِ َّ ِ ضى ِِب قُ ْم يَا عُ َم ُر َ س ِِف أ َْوليَائك َم ْن ََل يَ ْر َ َعلَْيو َو َسل َم لَْي ِ َّ اَّللِ صلَّى ِ ِ ب َ َّ فَ َزِّو ْج أ َُّمك م ْن َر ُسول َ َاَّللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم َخاط ِِ ِ } ْي َ بِو عُ َمَر بْ َن أَِِب َسلَ َمةَ َوَكا َن ابْ َن َسْب ِع سن
Ketika Rasulullah SAW meminang Ummu Salamah r.a, sementara dia telah pernah menikah beberapa kali sebelumnya, sesungguhnya para walinya ghaib, maka Rasulullah SAW berkata: Wali-walimu itu tidak ada yang tidak ridho denganku, bangunlah hai Umar dan nikahkanlah ibumu dengan Rasulullah SAW. Maka Umar bin Abi Salamah menikahkan ibunya padahal dia anak yang berumur tujuh tahun. 5) Riwayat dari Umar dan Ali serta Ibnu Umar radhiyallahu anhum bahwa mereka membolehkan nikah tanpa wali. 6) Riwayat dari Aisyah r.a :
ِ اَّلل تَع َاَل عْن ها زَّوجت اب نَةَ أ ِ َّ وأ ِ َخ َيها ْ ْ َ َ َ َ َ َُّ َن َعائ َشةَ َرض َي َ َوُى َو، الزبَ ِْْي ُّ الر ْْحَ ِن ِم ْن الْ ُمْن ِذ ِر بْ ِن َّ ت َعْب ِد َ صةَ بِْن َ َح ْف ِِ ِ ، ات َعلَْي ِو ِِف بَنَاتِِو ُ َ أ ََومثْلي يُ ْفت: ب فَلَ َّما َر َج َع قَ َال ٌ َغائ
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
75
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
ب َع ْن َّ ت َعائِ َشةُ َر ِض َي ْ َفَ َقال ُ أ ََوتَ ْر َغ: اَّللُ تَ َع َاَل َعْن َها الْ ُمْن ِذ ِر ؟ َواَ ََّّللِ لَتُ َملِّ َكنَّوُ أ َْمَرَىا
Sesungguhnya Aisyah r.a menikahkan anak perempuan saudaranya Hafshah binti Abdurrahman dengan Munzir bin Zubair, sedangkan dia (Abdurrahman) ghaib. Ketika dia kembali, dia berkata : apakah seperti terhadapku difatwakan atasnya tentang anak perempuannya, maka Aisyah r.a berkata : apakah engkau tidak suka dengan Munzir? Demi Allah, sungguh dia (Hafshah) memiliki kekuasaan terhadap urusan(nikah)nya.
Hadits ini menjelaskan bahwa hadits yang dipakai oleh kelompok ulama (Syafi‟iyah dan Malikiyah) yang mereka riwayatkan dari Aisyah (yaitu hadits nikah tanpa wali adalah batal) tidak sahih, karena fatwa rawi (dalam hadits ini) berbeda dengan hadits itu, dan jalur hadits tersebut melalui az-Zuhri, sedangkan azZuhri mengingkarinya, maka bolehlah nikah tanpa wali.25 Berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan ulama Hanfiyah di atas, berupa Nash Alquran, secara umum mengisyaratkan bahwa para perempuan dapat menentukan urusannya sendiri dalam hal yang terkait dengan pernikahan. Demikian pula dalil-dalil berupa hadits/khabar menjelaskan hal tersebut. Yaitu perkataan Nabi bahwa seorang perempuan memiliki hak atas dirinya untuk menentukan urusannya, termasuk dalam masalah nikah, kemudian Nabi SAW juga tidak mengingkari pernyataan al-Khansa‟, ditambah pula 25
Ibid., h. 12
76
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Azhariah Khalida
pernikahan Nabi dengan Ummu Salamah yang dilakukan oleh anaknya yang belum baligh, menjelaskan bahwa perempuan, baik bikir atau janda memiliki kekuasaan atas dirinya dalam pernikahan. Di samping itu terdapat pula riwayat yang menjelaskan bahwa sahabat Nabi SAW yaitu Umar, Ali dan Ibnu Umar membolehkan nikah tanpa adanya wali, bahkan Aisyah pernah menikahkan anak perempuan saudara laki-lakinya. Sementara dalil yang menjelaskan bahwa nikah tanpa wali adalah batal, menurut pandangan ulama Hanafiyah hadits itu tidak shahih, karena perawinya (Aisyah) tidak beramal seperti periwayatannya, kemudian az-Zuhri (rawi berikutnya) juga mengingkarinya. Oleh karena itu mazhab ini berpendapat bolehnya nikah tanpa wali. Selain itu menurut ulama Hanafiyah, perempuan (Imraatun) dalam hadits tersebut ditakwilkan bahwa yang dimaksud adalah imra‟ atun shaghirah (perempuan yang masih kecil/belum dewasa). Dalam penjelasan selanjutnya ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa bolehnya nikah tanpa wali adalah sebagai jalan keluar bagi seorang perempuan bila dalam keadaan yang tidak biasa, misalnya wali „adhal/enggan karena wali tidak menyukai calon suami yang dipilih oleh si perempuan, atau walinya ghaib. Namun di antara mereka (Hanafiyah) ada yang berpendapat bahwa apabila perempuan itu tidak sekufu dengan calon suaminya atau dikhawatirkan akan memberi mudharat bagi perempuan itu, maka walinya boleh mengajukan keberatan. d. Bab Jinayat
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
77
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
Persoalan jinayat yang akan penulis bahas adalah tentang had zina. Had adalah istilah untuk hukuman yang bentuk dan ukurannya ditentukan yang merupakan hak Allah SWT. Terhadap orang yang berzina, hukumannya ada dua bentuk yaitu rajam bagi orang yang muhshan dan jilid bagi ghairu muhshan. Pada mulanya hukuman bagi orang yang berzina adalah penahanan di rumah dan dicela dengan lisan, berdasarkan firman Allah (fa amsikuhunna fil buyut) dan (fa aazuuhuma). 26 Kemudian hal itu dinasakh dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit, bahwa Nabi SAW berkata :
اَّللُ ََلُ َّن َسبِ ًيَل الْبِك ُْر بِالْبِ ْك ِر َج ْل ُد َّ { ُخ ُذوا َع ِِّن قَ ْد َج َع َل ِ ِِّمائٍَة وتَ ْغ ِريب َع ٍام والثَّيِّب بِالثَّي ب َج ْل ُد ِمائٍَة َوَر ْج ٌم ُ َ ُ َ } ِاِلِ َج َارة ْ ِب
Ambillah dariku, sungguh Allah telah memberikan jalan bagi mereka, bikir dengan bikir (yang berzina) dijilid seratus kali dan diasingkan selama setahun dan tsayib dengan tsayib (yang berzina) dirajam dengan batu. Hukuman tersebut diterapkan sebelum turunnya ayat Surat an-Nur (ayat 2). Setelah turunnya surat an-Nur ayat 2, maka hadits di atas dinasakh. Maka ditetapkanlah hukuman jilid terhadap pelaku zina yang ghairu muhshan dan hukuman rajam bagi muhshan. Tentang hukuman jilid bagi ghairu muhshan disepakati di kalangan ulama, sedangkan hukuman rajam bagi pelaku zina yang muhsan ditetapkan dengan sunnah. Kelompok Khawarij mengingkari hukuman 26
78
Alquran, Surat An-Nisa‟ ayat 15-16. Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Azhariah Khalida
rajam kerena tidak ditetapkan dengan sunnah mutawatir. Dalil bahwa raja madalah had bagi pelaku zina yang muhsan adalah sebagai berikut :
ِ اَّلل علَي ِو وسلَّم رجم م َّ { أ اعًزا بَ ْع َد َما َسأ ََل َّ َِن الن َ َِّب َ َ َ َ َ َ َ ْ َ َُّ صلَّى ِ ِِ ِِ عن إح ِ يث الْع ِس ث ُ يف َحْي َ ُ َو َحد، َصانو َوَر َج َم الْغَامديَّة َ ْ َْ ِ ت فَ ْارُجُْ َها ْ َس َإَل ْامَرأَة َى َذا فَِإ ْن ْاعتَ َرف ُ َوا ْغ ُد يَا أُنَْي: قَ َال 27
}
Sesungguhnya Nabi SAW merajam Ma‟iz setelah bertanya tentang ihshannya dan merajam alGhamidiyah, dan juga hadits al-„Asif ketika Nabi berkata: Pergilah segera hai Unais kepada perempuan ini, maka jika dia mengaku, rajamlah dia. Selain itu dalilnya adalah perkataan Umar r.a di atas mimbar: Sesungguhnya di antara yang diturunkan di dalam Alquran adalah apabila orang-orang yang telah tua berzina, maka rajamlah keduanya. Menurut As-Sarakhasi mengumpulkan antara jilid dan rajam terhadap orang muhshan tidak disyari‟atkan. Sedangkan menurut pendapat Zhahiriyah dilakukan keduanya sebagai had bagi muhshan berdasarkan zhahir hadits Nabi SAW :
ٍ ِ ِ ِاِلِ َجارة ِ ِ ِ ِّوالثَّي َ ْ ب بالثَّيّب َج ْل ُد مائَة َوَر ْج ٌم ب ُ َ Dan berdasarkan riwayat Ali r.a, bahwa dia menjilid Syurahah al-Hamdaniyah, kemudian merajamnya, kemudian
27
Ibid., juz 9, h. 36
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
79
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
dia berkata : jilidnya berdasarkan kitabullah dan rajamnya berdasarkan sunnah. Sedangkan hujjah yang dikemukakan As-Sarakhasi adalah hadits tentang Ma‟iz dan al-Ghamidiyah, bahwa Rasulullah SAW hanya merajam keduanya dan tidak menjilid mereka. Begitu pula dengan hadits yang ke dua yang telah dikemukakan di atas. Maksud dari hukuman tersebut adalah sebagai pencegahan terjadinya sebab (zina). Apabila maksud dari hukuman telah tercapai dengan satu hukuman saja, maka tidak ada faedahnya menggabungkan dua hukuman. Karena menurut kaidah umum, hukuman yang lebih ringan (jilid) sudah tercakup oleh hukuman yang lebih berat (rajam). Mengumpulkan antara jilid dan rajam menurut AsSarakhasi telah dinasakh. Sedangkan hadits “jaldu mi‟atin wa rajmu bil hijarah” ditakwilkan dengan : jilid adalah hukuman bagi tsayib yang ghairu muhshan dan rajam adalah hukuman untuk tsayib yang muhshan. Sedangkan hadits dari Ali r.a takwilnya adalah: Dia menjilidnya karena tidak diketahui tentang ihshannya, kemudian setelah ihshannya diketahui, maka dia merajamnya, dan itu adalah qiyas.28 Terhadap masalah di atas, tentang hukuman bagi orang yang berzina, metode istimbath yang dipakai adalah nasakh. Nasakh disini berarti mengganti. Pada mulanya dinyatakan bahwa hukuman bagi orang yang berzina berdasarkan firman Allah, yaitu menahannya di rumah dan mencelanya dengan lisan. Kemudian ayat tersebut dinasakh oleh hadits bahwa untuk bikir hukumannya dijilid dan diasingkan selama setahun dan untuk tsayib hukumannya dijilid dan dirajam. Dalam hal ini terjadi nasakh ayat dengan 28
Ibid, h.37
80
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Azhariah Khalida
sunnah dan hal ini boleh menurut ulama Hanafiyah jika sunnah tersebut mutawatir atau masyhur. Kemudian hal tersebut dinasakh lagi oleh ayat Alquran dengan turunnya surat An-Nur ayat 2, bahwa hukuman bagi ghairu muhshan adalah dijilid 100 kali (hukuman had) dan tidak ditambah dengan hukuman pengasingan. Sedangkan hukuman bagi muhshan tidak menggabungkan jilid dan rajam, tetapi hanya rajam saja bagi yang muhshan berdasarkan hadits Nabi SAW. Dalam hal yang pertama, yaitu hukuman bagi ghairu muhshan, terjadi nasakh sunnah dengan ayat, sedangkan untuk yang ke dua, hukuman bagi muhshan, adalah nasakh sunnah dengan sunnah. e. Bab Mu’amalat Masalah mu‟amalah yang penulis kemukakan pada bab ini adalah tentang wakaf karena dalam persoalan wakaf, pendapat ulama Hanafiyah berbeda dengan mazhab lainnya terutama dalam hal sifat akad wakaf dan akibat wakaf. Wakaf adalah menahan benda yang dimiliki dari kepemilikan orang lain. Menurut Imam Abu Hanifah bahwa akad wakaf tidak menjadikannya lazim, karena wakif menahan ain benda miliknya dan memberdayakan manfaatnya untuk keperluan yang ditentukan. Akad wakaf menempati posisi „ariyah, sedangkan „ariyah itu jaiz (boleh), bukan sesuatu yang lazim (kemestian). Namun kalau seseorang berwasiat bahwa ia akan berwakaf setelah dia meninggal, maka wakaf menjadi lazim, ia menempati posisi sebagaimana wasiat.29
29
Ibid, juz 12, h.27
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
81
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
Wakaf disyari‟atkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Sakhr bin Juwairiyah dari Nafi‟, bahwa Umar bin Khattab r.a memiliki tanah yang produktif, kemudian dia bertanya kepada Nabi SAW tentang hal terbaik yang harus dilakukannya. Maka Nabi SAW mengatakan supaya dia bersedekah, sedangkan asalnya tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan, tetapi diinfakkan buah/hasilnya. Kemudian Umar bersedekah untuk fi sabilillah, kepada orang-orang miskin, ibnu sabil dan karib kerabatnya. Rasulullah SAW menyuruh Umar berwakaf dapat dipahami dari perkataan beliau :
ِ ِ َّق بِأ ث ُ َوََل يُ َور، ب ْ ْ صد َ ُ َوََل ي، َُصلو ََل يُبَاع َ َت ُ وى Dan pernyataan Nabi tersebut menjadi hujjah bagi orang yang berpendapat bahwa wakaf itu lazim (mengakibatkan hilangnya kepemilikan). Akad wakaf tidak menghilangkan kepemilikan, seperti yang dikemukakan oleh Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad. Hanya saja wakaf itu menahan „ain benda dari masuknya ke dalam milik orang lain. Ia tidak bisa diwariskan setelah meninggalnya wakif, karena benda yang diwariskan berganti menjadi milik orang yang mewarisi. Dalam hal ini menurut riwayat Abu Yusuf, pada awalnya dia mengikuti pendapat Abu Hanifah, tetapi ketika ia pergi melaksanakan haji dan melihat wakaf-wakaf para sahabat di Madinah dan sekitarnya dia mengubah pendapatnya bahwa wakaf menjadi lazim setelah meninggalnya wakif. Alasannya adalah atsar yang telah masyhur dari Rasulullah SAW dan para sahabat beliau. Bahwa mereka semua seperti Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Aisyah dan Hafshah, berwakaf dan wakafnya tetap kekal sampai hari ini. 82
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Azhariah Khalida
Demikian pula wakaf Nabi Ibrahim al-Khalil AS tetap bertahan sampai hari ini. Dan kita disuruh untuk mengikutinya, seperti terdapat dalam firman Allah : 30
ِ َّ ِ ِ يم َحنِي ًفا َ فَاتَّبعُوا ملةَ إبْ َراى
Jadi, Abu Yusuf kemudian mengubah pendapatnya bahwa akad wakaf menjadi lazim, atau menghilangkan kepemilikan wakif, bila wakif telah meninggal dunia berdasarkan atsar para sahabat Rasulullah SAW. Selanjutnya As-Sarakhasi menjelaskan bahwa jika pada tanah yang diwakafkan itu dibangun mesjid untuk kaum muslimin secara umum dan telah dikumandangkan azan di dalamnya dan telah dilakukan shalat jamaah di dalamnya sekali shalat atau lebih, maka pemiliknya (wakif) tidak boleh kembali kepadanya (menarik kembali tanahnya). Jika dia meninggal, tanah itu tidak boleh diwariskan, karena ia sudah terlepas dari miliknya dan ia menjadi milik Allah, berdasarkan firman Allah: wa anna al-masaajida lillah, dan hadits Nabi SAW: “Siapa yang membangun mesjid untuk Allah, maka Allah akan mendirikan rumah untuknya di surga”. Maka tidak boleh lagi kembali kepadanya setelah menjadikannya milik Allah, seperti halnya sedekah.31 Dalam masalah wakaf ini, ulama Hanafiyah berbeda dengan mazhab lainnya dalam memahami akibat wakaf. Menurut mereka, wakaf tidak mengakibatkan berpindahnya milik karena tidak ada dalil yang menjelaskan hal tersebut. Mereka menyamakan wakaf dengan „ariyah, bahwa ia jaiz. Hanya saja wakaf menghalangi berpindahnya benda wakaf menjadi milik orang lain, yang dipahami dari hadits Umar di 30
Ibid, h. 28 Ibid, h. 34
31
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
83
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
atas, bahwa benda yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan dan diwariskan. Dalam hal ini mereka bersandar pada hadits dan atsar. Akad wakaf menjadi lazim apabila dikaitkan dengan kematian (menjadi wasiat) dan apabila wakaf ditujukan untuk masjid (berdasarkan nash alquran dan hadits) dan setelah wakif meninggal (pendapat Abu Yusuf).
C. Kesimpulan Dari beberapa contoh masalah fikih yang telah dikemukakan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa metode istimbath ushul mazhab Hanafi yang ditemukan dalam contohcontoh persoalan tersebut adalah : 1. Dalam masalah ibadah, yaitu tentang shalat witir dan shalat „id, ulama Hanafiyah lebih banyak menggunakan dalil berupa hadits, termasuk hadits ahad dan atsar sahabat. Ketika memahami dalil-dalil tersebut, mereka mendahulukan penggunaan dalalah ibarah daripada dalalah isyarah. 2. Dalam masalah munakahat, yaitu tentang pernikahan bikir, tsayib dan nikah tanpa wali, disamping merujuk kepada dalil Alquran dan hadits, ulama Hanafiyah juga menggunakan ra‟yu yaitu mempertimbangakan hak seorang perempuan (yang telah dewasa) untuk menentukan pernikahannya. Untuk menerima hadits ahad sebagai hujjah, ulama Hanafiyah mensyaratkan bahwa amalan perawi tidak berbeda dengan riwayatnya. 3. Dalam masalah jinayat, yaitu tentang hukuman bagi pezina, dalam menentukan hukuman terhadap pezina yang bersumber dari nash, ulama Hanafiyah mengakui terjadi nasakh hukum terdahulu dengan hukum yang datang kemudian. Selain itu mereka juga mempertimbangkan tujuan/maksud hukuman. 84
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
Azhariah Khalida
4. Dalam masalah mu‟amalat, khususnya dalam masalah wakaf, ketika tidak ada dalil nash yang menjelaskan secara rinci, ulama Hanafiyah menggunakan amalan sahabat dan juga ra‟yu.
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014
85
Melacak Metode Ushul Fikih Mazhab Hanafi dalam Kitab al-Mabsuth Karangan Imam al-Zarkhasi
DAFTAR PUSTAKA
al-Jaziri, Abdurrahman, Fiqh Empat Mazhab, judul asli al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, penerjemah Chatibul Umam dan Abu Hurairah, Jakarta : Darul Ulum Press, 1994, jilid 2. Kamal bin Hummam, Fath al- Qadir, dalam Maktabah Syamilah, juz 2. al-Maraghi, Abdullah al-Musthofa, Pakar-pakar Fikih Sepanjang Sejarah, judul asli : Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyin, Penerjemah: Husein Muhammad, Yogyakarta; LKPSM, 2001 as-Sarakhasi, Ahmad bin Abi Sahal, Ushul as-Sarakhasi, ditahqiq oleh Abu al-Wafa‟ al-Afghani, Beirut : Dar alKutub al-Ilmiyah, 2005, Cet.ke 2, jilid 1. As-Sarakhasi, Al-Mabsuth, Libanon : Dar al-Ma‟rifah, 1989, juz. 4 Zahrah, Muhammad Abu. Ushul al-Fiqh. Penerjemah: Saefullah Ma‟shum dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. az-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damsyik ; Dar alFikri, tt, juz. 1
86
Al Muqaranah Volume V, Nomor 2, Tahun 2014