ISTIDLAL DALAM FIKIH DAN USHUL (KAJIAN TERHADAP METODE LEGITIMASI HUKUM DALAM FIKIH ISLAM)
Husnul Fatarib STAIN Jurai Siwo Metro E-mail :
[email protected] Abstrak
Penelitian terhadap yurisprudensi Islam membawa kita untuk melakukan penelitian awal tentang bukti-bukti hukum Islam (dalil) yang disebut istidlal (penalaran). Tapi kesalahan membayangkan proses penalaran yang salah telah mendorong banyak fuqaha dan peneliti untuk menafsirkan istidlal dengan salah dan jauh dari esensi istidlal itu sendiri. Fenomena ini menyebabkan kontradiksi ijtihad dan fatwa, dan kemudian akan menjadi kesalahan umum yang membongkar konstruksi yurisprudensi Islam kontemporer. Oleh karena itu, penulis mencoba untuk menggambarkan dan menjelaskan arti sebenarnya dari istidlal menurut metodologi ushuliyyin. Kata kunci : Yurisprudensi, istidlal Abstract The research against Islamic jurisprudence takes us to make a preliminary research about Islamic law evidences (dalil) that is called istidlal (reasoning). But the incorrect imagining against reasoning process had driven many fuqaha and researchers to interpretet istidlal wrongly which is far from the istidlal‟s essence itself. These phenomena cause a contradiction of ijtihad and fatwa, and then would be common mistakes that take apart in contemporary Islamic yurisprudence construction. Therefore, the writer tries to describe and explain the real meaning of istidlal according to ushuliyyin methodology. Keywords : Jurisprudence, istidlal Pendahuluam Setiap wacana intelektual sarat dengan sudut pandang yang bertitik tolak dari kerangka acuan yang digunakan. Sementara itu, kerangka acuan merupakan akumulasi dari berbagai rujukan yang dikonstruksikan ketika melihat dan memandang sesuatu yang dianggap penting bagi siklus kehidupan umat
1
manusia. Tatanan hukum dengan segala bentuk prosesnya merupakan bagian dari siklus global ini, salah satunya proses kodifikasi dan kompilasi dalil-dalil hukum fikih Islam. Proses kodifikasi dalil-dalil fikih ini secara kognitif diformulasikan dalam kajian khusus yang disebut istidlal. Secara eksistensial, istidlal di dalam fikih dan ushul fikih diperankan pada tataran awal sebelum proses perundang-undangan (tasyri‟) itu dilanjutkan ke tingkat istinbat hukum. Namun, sebagai proses awal dalam penggalian dan penetapan hukum, istidlal sering mengalami kerancuan metodologis dari beberapa kalangan praktisi hukum fikih, seperti pembiasan batasan wilayah aplikasi antara istidlal dan istinbat. Bahkan lebih jauh lagi juga bisa dikatakan, masih banyaknya pemerhati fikih – cendekiawan dan peneliti - yang belum memahami hakikat istidlal yang defenitif. Langkah-langkah prosedural istidlal juga tidak mendapat perhatian dan kajian yang memadai, yang pada giliranya akan menuai produk-produk hukum yang sarat dengan nuansa nafsu, kejahilan dan kepentingan tertentu. Untuk mengisi dan menjawab kebutuhan terhadap eksistensi dan makna, berikut langkah-langkah operasional sebuah proses istidlal, dalam tulisan ini penulis berusaha mendeskripsikan istidlal dengan mengacu
pada alur pikir
ulama ushul fikih periode-periode awal yang dikombinasikan dengan hasil-hasil kajian ulama-ulama periode terakhir (kontemporer). Pembahasan istidlal memang bukan masalah baru dalam ushul fikih, bahasan ini sudah ada sejak periode awal perkembangan fikih. Menurut pengamatan penulis, belum banyak buku yang ditulis khusus tentang istidlal, dan sejauh yang penulis ketahui hanya ada beberapa buku saja yang memuat khusus bahasan istidlal, seperti : 1. Istidlal „Inda al-Ushuliyyin karya Dr. As‟ad abd al-Ghani as-Sayid al-Kafrawi, yaitu sebuah disertasi S3 di bidang ushul fikih di Univ. Al-Azhar Mesir, dan dicetak untuk pertama kalinya tahun 2002. 2. Dan kitab “Mauqif al-Mutakallimin Min al-Istidlal bi Nushus al-Kitab wa alSunnah, karya Sulaiman Bin Shalih al-Ghushn, yaitu disertasi dalam bidang Aqidah dan Mazhab-Mazhab Kontemporer, di fakultas Ushuluddin Univ.
2
Imam Muhammad Bin Su‟ud al-Islamiah tahun 1413H, dan dicetak pertama kali tahun 1996. Istidlal lebih banyak dijumpai sebagai sub bahasan dalam kitab-kitab ushul fikih. Karena itu, penulis sengaja memilih judul ini untuk ikut menambah khazanah kepustakaan untuk subjek istidlal. Dan untuk menyusun tulisan ini, penulis banyak mengutip pokok-pokok pikiran dari kitab-kitab ushul fikih turas, di samping juga karya-karya penelitian kontemporer. Melihat tingkat urgensi istidlal dalam ushul fikih Islam, maka tulisan ini akan memfokuskan kajian yang dapat dilihat dalam rumusan masalah berikut; Pertama: apa yang dimaksud dengan istidlal berdasarkan pandangan dan makna yang umum di pakai di kalangan ulama ushul fikih, serta perbedaanya dengan istinbat. Kedua: sejauh mana peran dan urgensi istidlal dalam ilmu ushul fikih Islam. Ketiga: bagaimana prosedur istidlal dalam melihat otentisitas dan orisinalitas sebuah dalil. Kajian dalam tulisan ini penting karena untuk
menjelaskan makna
istidlal secara definitif dalam perspektif ulama ushul fikih. Selain itu, kajian ini berguna untuk menjelaskan subjek-subjek yang menjadi fokus kajian bagi seorang pelaku istidlal dan ijtihad serta langkah-langkah istidlal berdasarkan metode ulama ushul fikih. Pertama: istidlal sebagai pre-eleminary research untuk sebuah proses ijtihad dan istinbat, maka setiap pelaku ijtihad dan istinbat harus memahami hakikat istidlal yang sebenarnya. Dan melalui tulisan ini, pemerhati fikih dan pelaku ijtihad dapat memahami dan mengetahui karakter istidlal sehingga bisa membantu mereka dalam melakukan kajian dan menyeleksi dalil-dalil hukum. Dengan metode ini, bisa diketahui mana saja dalil yang pantas dan layak untuk dijadikan sandaran hukum, apalagi ketika terjadi kontra dilalah antara beberapa dalil dalam masalah yang sama. Tulisan ini juga memuat langkah-langkah prosedural istidlal, karena itu diharapkan tulisan ini bisa meminimalisir kesalahan dalam ijtihad dan fatwa. Dan juga dengan membaca tulisan ini diharapkan tidak semua orang berani
3
untuk mengeluarkan hukum langsung dari dalil, karena untuk mensarikan hukum dari dalil-dalil itu diperlukan pengetahuan dan kemampuan beristidlal.
Pembahasan A. Istidlal dalam Ushul Fikih Kata istidlal berasal dari akar kata “dalla” ( ) ّلدyang berarti mengarahkan atau menunjukkan, dan kata “dalil” ( ) ليلyang secara harfiah bermakna petunjuk, namun secara tekstual, merupakan pernyataan umum yang bersifat preskriptif (jumlah insya’iyyah) atau deskriptif (jumlah khabariyah) yang dijadikan rujukan dalam menetapkan hukum1, dengan redaksi lain bisa juga dikatakan bahwa dalil adalah variabel yuridis yang berfungsi menunjukkan eksistensi sebuah hukum syar’i.2 Sedangkan kata istidlal ( )استدالدyang merupakan pengembangan dari dua kata sebelumnya (dalla dan dalil) mendapatkan tambahan tiga huruf (mazid) yaitu masingmasing huruf ( ت/ س/ )ا. Dalam ilmu konstruksi kalimat dalam Bahasa Arab (ilmu sharaf), penambahan ( )سdan ( )تmemberikan makna “meminta sesuatu” atau “mencari sesuatu”. Jadi secara leksikal, kalau kata “dalil” berarti petunjuk, maka kata “istidlal” berarti mencari atau meminta petunjuk. Adapun secara gramatikal, istidlal merupakan subjek yang masih belum menemukan makna defenitif di kalangan para ilmuwan, namun dalam tulisan ini penulis hanya akan mengutip terminologi istidlal yang sudah umum dipakai di kalangan ulama ushul fikih Islam.3 Istidlal di kalangan ulama ushul fikih Islam adalah “mencari dalil syar’i – baik yang berbentuk nass maupun bukan nass- untuk menggali dan mengeluarkan hukum-hukum syar’i melalui studi kritis analitis.4 Dengan dasar pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa istidlal adalah sebuah proses pengkajian serta pengklasifikasian dalildalil fikih (hukum) sebelum memasuki proses istinbat. Paradigma ilmiah dalam fikih Islam menunjukkan, bahwa hukum digali dan diperoleh
-dalam kontek ini dari dalil atau nas-5 melalui prosedur kerja dengan
menggunakan berbagai kaidah, seperti kaidah-kaidah kebahasaan (al-qawaid allughawiyah), kaidah-kaidah hukum (al-qawaid at-tasyri’iyah), yang dalam berbagai hal juga menggunakan kaidah-kaidah logika (al-qawaid al-mantiqiyah). Ushul fikih secara epistemologis merupakan pola-pola dasar yang di atasnya diformulasikan konstruksi hukum Islam melalui metode istinbat.
4
Namun istinbat yang dibangun di atas pola-pola dasar itu belum atau tidak dapat menuju hakikat sebuah hukum yang mengacu kepada konsep maqasid asySyari‟ (eksistensi hukum yang dimaksud Allah atau Rasulullah) dan falsafah attasyri‟
(inti
penetapan
sebuah
hukum)
jika
semua
proses
itu
tidak
memperhatikan alur proses istidlal seperti yang telah dijelaskan dan diterapkan oleh ulama-ulama ushul fikih Islam. Alur istidlal merupakan jalur asasi untuk sebuah penggalian hukum Islam baik ketika ada dalil seperti al-Qur`an, hadis dan Ijma‟, maupun ketika tidak ada dalil.
Kurangnya penguasaan dan perhatian pemerhati fikih
(cendikiawan, para ilmuan) terhadap kajian istidlal dan langkah-langkah operasionalnya, telah melahirkan mufti-mufti dan eksekutor-eksekutor hukum instan dengan berbagai corak fatwa yang kontradiktif dengan maqasid asy-Syari‟. Kerancuan konsep penggalian hukum, yaitu konsep yang kurang atau sama sekali tidak berpijak ke konsep istidlal yang benar, juga mengurangi wibawa dan harga diri para ulama di mata publik atau umat, apalagi tanpa metode istidlal yang benar, semua orang berani menetapkan hukum langsung dari dalil (ayat al-Qur`an, maupun hadits) yang mereka dapati tanpa pengetahuan sedikitpun tentang ilmu ushul fikih Islam.
1. Fokus konsentrasi pelaku istidlal: tartib adillah, tasharruf fiha, tarjih. Untuk lebih mengarahkan pembahasan dan kajian istidlal, pelaku istidlal (ulama ushul fikih) merasa perlu memperhatikan topik-topik yang cukup dominan yang menjadi pusat perhatian dan konsentrasi ketika melaksanakan proses istidlal hukum. Fokus-fokus konsentrasi tersebut adalah: a. Klasifikasi dalil (tartib adillah). Dalam klasifikasi ini, pelaku istidlal harus mampu memposisikan masingmasing dalil pada posisi dan statusnya sesuai dengan urutan sumber hukum yang sudah menjadi konsensus ulama ushul fikih (al-adillah al-muttafaq „alaih), yaitu yang dimulai dari urutan pertama: al-Qur`an, hadits, Ijma‟ dan qiyas. Karena masing-masing dalil mempunyai kekuatan dan daya jangkau validitas. Adapun dalil-dalil yang masih diperdebatkan eksistensinya sebagai sumber
5
hukum Islam (al-adillah al-mukhktalaf fiha) seperti „urf, istihsan, maslahah, sad adzdzari‟ah dan lain-lain, diperlukan kajian khusus untuk melihat tingkat kedekatan masing-masing dalil ini dengan maqasid asy-Syari‟ ketika akan memecahkan sebuah persoalan hukum.6
b. Kajian pemaknaan dan maksud dalil (tasaruf fi adillah) Kajian ini sering juga disebut ilmu dilalah al-alfazh (maksud dan sasaran lafalh). Kajian ini membutuhkan kapabilitas tinggi dalam ilmu-ilmu bahasa arab beserta kaidah-kaidah kebahasaanya. Content primer dalam kajian ini di antaranya; pengetahuan tentang lafal umum dan khusus, mutlak dan muqayyad, mujmal dan mubayyan. Kajian ini termasuk salah satu kajian yang rumit dan cukup komplek di antara konten-konten ushul fikih. Perbedaan tingkat penguasaan dan ilmu bahasa para ulama ushul dan fikih, maka mereka juga akan berbeda dalam menafsirkan maksud lafal-lafal dalil atau nass-nass hukum. Perbedaan sudut pandang dan tingkat intelektual ini menimbulkan teori-teori pemikiran unik yang akan bermuara pada lahirnya mazhab-mazhab hukum (fikih dan ushul fikih). c. Kajian selektif dalil-dalil (tarjih adillah) ketika terjadi kontradiktif. Dalil-dalil yang memiliki dilalah hukum (petunjuk hukum), dalam keadaan tertentu nampak ke permukaan mengandung dilalah yang bertentangan dengan dilalah dalil yang lain. Kontradiktif ini bisa saja terjadi – dari tata bangun dalil – antara ayat al-Qur`an dengan ayat lainnya, antara sesama hadits, antara ayat al-Qur`an dengan hadits. Polemik sekitar ada dan tidak, atau boleh dan tidak bolehnya terjadi kontradiktif antara nass-nass syar‟i (baik ayat maupun hadits) masih terus mewarnai ruang debat dalam fokus kajian ini; sebagian ulama ushul mengatakan tidak mungkin terjadi pertentangan antara dilalah satu dalil dengan dilalah dalil lain karena keduanya berasal dari sumber yang sama, dan kejadian ini adalah sebuah kemustahilan bagi asy-Syari‟ (Allah dan Rasul). Dan ada juga ulama yang berpendapat bahwa perbedaan antara satu nass (dalil) dengan nass yang lain bisa saja terjadi, tapi itu semua tidak boleh dan tidak bisa dipahami begitu saja, tapi
6
harus melalui metode ushul fikih, yaitu dengan mengkolaborasi kedua nass atau dalil yang bertentangan itu dan mencarikan titik temunya, selanjutnya bisa juga kedua dalil itu ada yang mansukh (habis validitas) dan ada pula yang nasikh (pengganti). Terlepas dari polemik di atas, menurut pengamatan penulis dan melalui penelusuran beberapa dalil al-Qur`an dan hadits, penulis bisa mengatakan bahwa kontradiktif dalil-dalil hukum bisa saja terjadi jika dilihat dari zahir (konstruksi) dalil, tapi dari segi substansi atau dilalah, tidak mungkin terjadi, karena kontradiktif substansi dalil akan mengurangi kekuatan dalil tersebut sebagai sumber hukum, dan juga tidak mungkin terjadi bagi pembuat hukum (Allah dan Rasul). Jadi dengan kata lain, kontradiktif hanya terjadi atau tampak pada lafal dalil saja dan bukan pada makna dan tunjukan dalil (dilalah nass). 2. Langkah-langkah Istidlal Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa salah satu unsur utama yang harus dimiliki oleh seorang yang akan melakukan proses ijtihad (penggalian hukum), yaitu harus mengetahui dalil-dalil hukum, dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan proses istidlal dan istinbat. Abu al-Husein al-Bashri mengatakan: “Bahwa seseorang tidak dibenarkan untuk melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa kecuali setelah memilki dua syarat utama, yaitu pengetahuan tentang dalil-dalil hukum, dan mampu melakukan proses istidlal untuk persoalan hukum tersebut”.7 Dan mungkin saja terjadi, bahwa ada orang yang hanya tahu dalildalil hukum saja tapi tidak mampu melakukan istidlal, maka orang seperti ini juga belum boleh berijtihad untuk persoalan hukum.8 Untuk menetahui dalil-dalil hukum dalam proses istidlal, dapat dilakukan dengan kajian kritis yang terakumulasi dalam langkah-langkah berikut: a. Otentisitas Dalil (tautsiq) Otentisitas (tausiq) dalil atau nass adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi untuk mengetahui tingkat orosinalitas dalil dalam proses perundang-undangan hukum Islam, untuk itu memastikan kesahihan
7
suatu dalil harus menjadi prioritas utama sebelum melakukan istinbat atau ijtihad hukum. Adapun yang dimaksud dengan orisinalitas dalil ini ialah kepastian silsilah dalil itu berasal dari asy-Syari‟ (Allah dan Rasulullah), dan terhindar dari segala bentuk penyelewengan baik berbentuk penambahan maupun pengurangan.9 Proses tausiq ini bukanlah hal yang baru dalam ushul fikih Islam, karena sudah dilakukan oleh ulama-ulama salaf, seperti yang diriwayatkan dalam hadits berikut: “Ibn Abbas berkata ; dulu ketika kami mendengar ada orang berkata; “Berkata Rasulullah”, maka kami langsung memperhatikan dan mendengarkanya dengan sepenuh hati, tapi setelah terjadi banyak polemik dan skandal (dalam periwayatan), maka kami tidak mendengarkan lagi kecuali dari orang-orang yang kami kenal.”10 Dalam riwayat lain Ibn Sirin pernah berkata : “Sesungguhnya ilmu itu (tentang dalil-dalil syar‟i) adalah bagian dari agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu.”11 Dan Sufyan ats-Tsauri pun berkata: “(Ilmu isnad) Silsilah adalah senjata orang mukmin, jika mereka tidak punya senjata maka dengan apa mereka akan berperang.” 12 b. Instrumen dalam Memahami dalil Setelah seorang pelaku ijtihad dan istidlal mengetahui eksistensi dan meyakini kebenaran sebuah dalil – bahwa dalil tersebut benar adanya berasal dari asy-Syari‟ (Allah dan Rasulullah) – maka langkah selanjutnya, pelaku istidlal
dituntut mengetahui dan memahami cabang-cabang ilmu tertentu
yang menjadi variable pendukung dalam memahami konteks dan dilalah sebuah dalil. Di antara ilmu-ilmu tersebut ialah: ilmu tentang lafal umum dan khusus, ijmal dan bayan, muthlak dan taqyid, hakikat dan majaz, nasikh dan mansukh, nass dan zhahir, awamir dan nawahi. Karena pada intinya, hukum-hukum syar‟i itu disarikan dari makna dan maksud sebuah lafal, yang dimaksud di sini adalah lafal hukum atau nass (dalil), dan nass-nass hukum itu diambilkan dari dua sumber hukum utama, yaitu nass al-Qur`an dan nass hadits, adapun nass-nass hukum yang lain
8
hanyalah ekstensi dilalah dan interpretasi lanjut dari kedua nass di atas (nass al-Qur`an dan nass hadits).
c. Mengetahui Makna Lafal, Dilalah dan Frase. Seorang pelaku istidlal, di samping harus mengetahui ilmu-ilmu lafal, juga perlu mengetahui dan menghayati makna, tujuan serta maksud sebuah teks atau nass hukum. Untuk menguasai ilmu ini, seorang pelaku istidlal harus memiliki kemampuan dan pengetahuan bahasa arab yang tinggi, serta mampu meresapi dan menjiwai makna-makna setiap kosa kata walaupun dalam berbagai penggunaan yang berbeda. Setiap kosa kata dalam bahasa arab mempunyai dilalah yang terkadang berbeda seiring dengan berbedanya konteks penggunaanya dalam sebuah kalimat. Lafal-lafal hukum ini mempunyai dilalah yang bermacam-macam, seperti: 1) Dilalah mutabaqah, yaitu lafal yang mempunyai dilalah makna zahir (konkrit) dari lafal itu sendiri, seperti lafal “insan” mempunyai dilalah sebagai “hewan yang berbicara”. 2) Dilalah tadhamun, yaitu lafal yang mempunyai dilalah sebahagian saja dari makna umum zahir (kongkrit) lafal, seperti lafal “shalat” yang digunakan untuk menyatakan “ruku‟” atau “sujud” saja. 3) Dilalah iltizam, yaitu lafal yang mempunyai dilalah untuk menunjukkan makna di luar atau berbeda dengan makna leksikal dari lafal itu, seperti lafal “insan” dipakai untuk menunjukkan makna “sesuatu yang bisa tertawa” atau “ sesuatu yang bisa menulis”. Jenis dilalah seperti ini lebih sering masuk dalam kosa kata tunggal. Jenis dilalah yang lain, seperti dilalah mantuq dan dilalah mafhum, lebih sering terdapat dalam kalimat dan frase. 4) Dilalah mantuq ialah lafal yang memiliki dilalah yang jelas dan sesuai dengan makna leksikal dari lafal tersebut.
9
5) Dilalah mafhum ialah lafal yang mempunyai dilalah yang berbeda dengan makna lafal, dan lafal bisa bermakna lain. Contoh dilalah mantuq dan mafhum ialah seperti yang terdapat dalam ayat berikut: آية،)فَال ََت ُق ْلل ََلُقَما أَ ٍّف ( سورة اإلسراء ”Janganlah kamu mengatakan “Ah” kepada keduanya (Ibu dan Bapak).” (Qs. al-Isra‟: 23). Ayat ini mempunyai dilalah mantuq yaitu hukum haram untuk mengatakan kata-kata “Ah, atau Uh” kepada orang tua, dan ayat ini mempunyai dilalah mafhum, yaitu hukum haram memukul atau menganiaya orang tua.
d. Mengutamakan Ijma’. Dalam proses istidlal dan istinbat, seorang pelaku istidlal dan ijtihad harus mempunyai daya berpikir kritis dan ketajamanan analisa terhadap kekuatan masing-masing dalil dan dilalahnya terhadap hukum-hukum fikih. Untuk itu, seorang pelaku ijtihad dituntut untuk mengetahui objek-objek yang sudah menjadi konsensus hukum (ijma‟) di kalangan ulama. Metode ijma‟ ini sudah mulai berkembang sejak zaman sahabat. Ijma‟ adalah hasil kesepakatan mayoritas (atau semua) ulama terhadap suatu permasalahan hukum setelah melalui proses istidlal dan istinbat dari kalangan ulama-ulama yang berkompeten. Konsekuensi alur ini menuntut pelaku ijtihad untuk selalu mengedepankan ijma‟ dari sumber-sumber hukum yang lain. Konsekuensi ini disebabkan oleh faktor-faktor berikut: 1) Ijma‟ mempunyai penetapan hukum (dilalah hukum) yang pasti tanpa meninggalkan ruang khilaf dan debat serta interpretasi yang lain. Jadi jika terjadi ijma‟ yang bertentangan (secara tekstual) dengan sejumlah dalildalil hukum yang lain, seperti ayat, hadits, qiyas, maslahah dan lain-lain, maka yang diambil adalah hukum dari ijma‟.13 2) Hukum hasil ijma‟ adalah hasil nyata dari penelusuran istidlal dan istinbat dari semua ulama umat, sedangkan proses istidlal dan istinbat individual masih
sarat
dengan
kekurangan
kecendrungan tidak obyektif.
10
–metodolagi,
substansi
–
serta
3) Hukum dari ijma‟ relatif lebih aman dari amandemen hukum dan interpretasi logik manusiawi yang serba terbatas. Mengutamakan ijma‟ di sini bukan berarti mengutamakan proses ijma‟ dari ayat atapun hadits, dan meninggalkan ayat dan hadits dalam mencari hukum sebuah subjek, tapi yang dimaksud di sini ialah mengedepankan ijma‟ dalam proses istidlal hukum, atau dengan kata lain mengawali proses istidlal dan istinbat dengan memperhatikan ijma‟, sebab bisa saja subjek hukum yang akan
dibahas sudah diputuskan
dalam ijma‟
atau konsensus ulama
sebelumnya.14
e. Menggunakan Kaidah-Kaidah dan Prinsip-Prinsip Umum Dengan berbagai keterbatasan manusia, dalam hal ini mujtahid (pelaku ijtihad) dan mustadil (pelaku istidlal) dalam tingkat intelektual dan penguasaan ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan perkembangan entitas kehidupan umat manusia yang tidak terbatas, menimbulkan permasalahanpermasalahan baru dalam ijtihad. Keterbatasan nass syar‟i, permasalahan yang semakin komplek, semakin jarangnya orang yang mampu menguasai ilmu-ilmu istidlal dan istinbat seperti ulama-ulama periode awal (salaf), maka pelaku ijtihad dan istidlal bisa menggunakan kaidah-kaidah fikih kulli (utama) yang bisa menjadi dalil hukum virtual yang baru. Pada hakikatnya kumpulan kaidah-kaidah hukum ini adalah prinsip-prinsip umum dari nassnass syar‟i atau dalil-dalil hukum yang disimpulkan dalam sebuah hukum umum yang bisa dipakai untuk memecahkan berbagai persoalan hukum yang berbeda. Simpulan Kajian teoritis dalam ushul fikih bukanlah suatu kajian yang gampang, apalagi ketika kajian itu akan dilanjutkan dengan aplikasi sejumlah teori yang masih menyisakan ruang khilafiyah dengan berbagai macam persoalanya. Istidlal adalah satu dari kajian dan subjek ushul fikih itu. Interpretasi yang salah serta kerancuan metodologis sering mewarnai studi subjek ini, mulai dari
11
mencampuradukkan antara istidlal dan istinbat, istidlal langsung dari dalil tanpa memperhatikan langkah-langkah istidlal. Istidlal tidak sesederhana yang dianggap sebagian orang selama ini, dengan begitu menemukan dalil langsung mengklaim dan menvonis subjek hukum dengan halal dan haram. Istidlal dalam ushul fikih memiliki langkah-langkah yang menjadi kerangka acuan dalam proses istidlal dilakukan, dan dalam istidlal juga terdapat fokus-fokus kajian yang harus menjadi sikap ilmiah dari setiap pelaku ijtihad dan istidlal. Endnotes: 1 Bisri, Cik Hasan, Model Penelitian Fikih, Paradigma Penelitian Fikih Dan Fikih Penelitian, Ed. 1, Cet. 1, (Bogor: Kencana, 2003), h. 46. 2 Banyak ulama-ulama ushul fikih yang mencoba memberikan batasan definitif untuk kata “dalil”, tapi masing-masing mereka mendefinisikan dalil dengan redaksi-redaksi yang berbeda, namun dilihat dari substansi hampir semua definisi itu menuju titik pandang yang sama, lihat Sanu, Qutb Musthafa, Mu’jam Musthalahat Ushul al-Fikih (Araby–Injlizy), Cet. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), h. 207 3 Ada beberapa kelompok ulama Islam yang biasa memakai metode istidlal dalam kajian-kajian mereka, seperti: ulama mantik, ulama ilmu kalam dan ulama ushul fikih Islam, tapi dalam tulisan ini penulis hanya mengutip pendapat ulama ushul fikih Islam. Lihat al-Kafrawi, As’ad Abd al-Ghani as-Sayyid. Cet. 1 (Cairo: Dar al-Salam, tt), h. 19-21. 4 Sanu, Qutb Musthafa, Mu’jam Musthalahat Ushul al-Fikih, h. 55, Al-Kafrawi, h. 75186 5 Selain rujukan normatif (dalil berbentuk nass) hukum fikih Islam juga ikut mempertimbangkan (bersumber) dari rujukan empiris dalam kehidupan manusia, seperti psikologis, antropologis, sosiologis dan historis), dan juga rujukan rasio atau akal yang kemudian dijadikan ragam cara berpikir. Lihat Bisri, Model Penelitian Fikih, h. 41. 6 Thufi, Najmuddin, Syarah Mukhtashar ar-Raudhah, Editor: Abdullah at-Turki, Beirut: Muassasah al-Risalah , 1407H/1987, III: 673 – 674. Al-Kafrawi, h. 441. 7 Al-Bashri, Abu al-Husein, Al-Mu’tamad fi Ushul al-Fikih, Pengantar: Syaikh Khalil al-Mis, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tt), II: 357. 8 Al-Kafrawi, h. 431 9 Dalam studi-studi keislaman, proses isnad dan tausiq (periwayatan dan otentisitas dalil) merupakan dasar untuk menetukan eksistensi yuridis sebuah subjek, karena itu ulama-ulama Islam telah membuat sekitar dua puluh konsentrasi kajian yang dipakai sebagai ukuran kesahihan sebuah dalil atau periwayatan, di antara kajian-kajian tersebut ialah. Studi asanid, jarah wa ta’dil, ilmu musthalah al-hadits. Abd al-Muthallib, Rif’at Fauzi, Al-Madkhal Ila Tautsiq al-Sunnah; wa bayan makanatuha fi bina’i al-Mujtama’ al-Islami, (Mesir: Pustaka al-Khanji, 1398H/1978, h. 7. 10 Nawawi, Shahih Muslim dengan syarah Imam Nawawi, di bagian Muqaddimah, Bab An-Nahyu ‘an ar-Riwayah ‘an ad-Dhu’afa, seri hadits no 81. 11 Nawawi, Shahih Muslim dengan syarah Imam Nawawi, Bab: Bayan anna al-Isnad min al-din, seri hadits no: 83. 12 As-Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi Syarh taqrib an-Nawawi, Editor Abd al-Wahab Abd al-Lathif, (Beirut: Dar al-Kutub al-Haditsah , 1385H/1966), II: 160
12
13 Al-Ghazali , Al-Mustashfa min ‘Ilmi Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) II: 176. 14 Al-Kafrawi, h. 463–464.
Daftar Pustaka Abd al-Muthallib, Rif’at Fauzi, Al-Madkhal Ila Tautsiq as-Sunnah; wa bayan makanatuha fi bina’i al-Mujtama’ al-Islami, Mesir: Pustaka al-Khanji, 1398H/1978. Al-Bashri, Abu al-Husein, Al-Mu’tamad fi Ushul al-Fikih, Pengantar: Syaikh Khalil al-Mis, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tt, Jilid II. Al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilmi Ushul, Beirut: Dar al-Fikri, tt, Jilid II. As-Suyuti, Tadrib ar-Rawi fi Syarh taqrib an-Nawawi, Editor: Abd al-Wahab Abd al-Lathif, Beirut: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1385H/1966, Jilid II. Nawawi, Shahih Muslim dengan syarh Imam Nawawi, di bagian Muqaddimah, Bab An-Nahyu ‘an ar-Riwayah ‘an adh-Dhu’afa, seri hadits no 81 Thufi, Najmuddin, Syarah Mukhtashar ar-Raudhah, Editor: Abdullah at-Turki, Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1407H / 1987, Jilid III.
13