Sri Lum’atus Sa’adah, Transformasi Fikih Klasik Menuju Fikih Kontemporer
TRANSFORMASI FIKIH KLASIK MENUJU FIKIH KONTEMPORER (Sebuah Tawaran penemuan Hukum Islam Melalui Metode Double Movement) Oleh: Sri Lum’atus Sa’adah
ABSTRAK
Timbulnya penemuan baru akibat kemajuan ilmu dan teknologi (iptek), berakibat pula menggeser cara pandang dan membentuk pola pikir yang membawa konsekuensi logis serta melahirkan norma baru dalam kehidupan masyarakat. Maka, tidak semestinya kemajuan iptek dan peradaban itu dihadapkan secara konfrontatif dengan nash, tetapi seharusnya dicari pemecahannya secara ijtihadi. Dalam pandangan Fazlur Rahman, sangat terbatasnya metodemetode klasik untuk diterapkan dalam menghadapi realitas modern inilah, sesungguhnya, kesulitan yang dihadapi pemikir muslim saat ini. Keterbatasan metode klasik tersebut pada akhirnya membawa kajian keislaman pada satu krisis metodologis yang melanda hampir seluruh wilayah kajian Islam termasuk di bidang hukum. Pada situasi seperti inilah kemunculan satu tawaran alternatif yang bisa menutupi kekurangan metode sebelumnya menjadi sangat diharapkan. Khususnya di dalam hukum Islam, adanya upaya metodologi baru diharapkan bisa memberi jalan yang lebih memungkinkan untuk menjembatani problem tekstualitas tersebut di atas ke arah kontekstualisasi metode penemuan hukum Islam. Konstruksi pemikiran Rahman tentang hermeneutika Al-Qur’an dengan teori gerak gandanya (double movement) adalah merupakan respon terhadap model penafsiran dan pemahaman al-Qur’an yang bersifat ‛atomistik‛ serta pemahaman dan pendekatan yang sepotong-potong terhadap Al-Qur’an yang biasa digunakan para mufassir abad pertengahan, bahkan juga para mufassir tradisional era kontemporer sekarang ini. Key Word: Fiqih, Fazlur Rahman, Double movement.
Dosen Tetap Jurusan Syari’ah STAIN Jember.
135
JURNAL FALASIFA. Vol.3 , No. 1 Maret 2012
Pendahuluan Berkaitan dengan banyak hal, era modern saat ini telah mengantarkan fiqih (hukum Islam) pada posisi problematis dan dilematis. Fiqih bukan hanya kesulitan menuntaskan berbagai masalah dan isu sosial yang dihadapi tapi juga masih gagap mendefinisikan kediriannya, terutama dalam konteks merumuskan metode hukum yang viable dipergunakan menuntaskan berbagai masalah tersebut. Dalam pandangan Coulson, problem inilah yang merupakan di antara sebab terjadinya ‚konflik dan ketegangan‛ antara teori dan praktek dalam sejarah penelitian dan penerapan hukum Islam.1 Di sisi lain, problem akut ini pula yang sekarang ini telah menstimulasi berbagai upaya pembaruan dalam bidang ini. Dalam perspektif umum setidaknya ada tiga level yang mesti dilakukan dalam upaya merekonstruksi fiqih. Pertama, level pembaruan metodologis yaitu perlunya interpretasi terhadap teks-teks fiqih klasik secara kontekstual, bukan teks mati; bermazhab secara metodologis (manhaj); dan verifikasi ajaran yang pokok (usul) dan cabang (furu’). Dalam level ini setidaknya dapat ditempuh dua upaya yaitu dekonstruksi (alqat’iyah al-ma’rifiyah) dan rekonstruksi (al-tawasul al-ma’rifi). Kedua, pembaruan level etis yaitu perlunya menghindari upaya formalisasi dan legalisasi fiqih, dan lebih meneguhkannya sebagai etika sosial. Ketiga, pembaruan level filosofis yaitu mengantarkan fiqih sebagai yang selalu terbuka terhadap filsafat ilmu pengetahuan dan teori-teori sosial kontemporer. Kohesivitas dalam ketiga level inilah idealitas pembaruan hukum Islam diharapkan menuai kontinum keberhasilan. Sebagai langkah awal dari upaya rekonstruksi fiqih, tulisan berikut berusaha menjelaskan sebuah tawaran solusi metode fiqih, yaitu melalui teori gerak ganda Fazlur Rahman. Dalam memahami pesan teks al Qur’an, Fazlur Rahman menggunakan dua gerakan metodis, dimana gerakan pertama terdiri dua langkah, yang pada dasarnya merupakan penjabaran dari tiga pendekatan penafsiran al Qur’an, yakni pendekatan historis, kontekstual dan sosiologis.2 Sedangkan gerakan kedua merupakan upaya
Noel James Coulson, Conflict and Tension in Islamic Jurisprudence, (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1969), 58-76. 2 Langkah pertama yang dimaksud adalah, orang harus memahami arti atau makna suatu ayat denganmengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan alqur’an merupakan jawabannya.Tentunya , sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik, orang harus melihat situasi makro dalam batasan-batasan agama, masyarakat,adat-istiadat,bahkah kehidupan masyarakat Arabia pada saat Islam datang dan khususnya Makkah dan sekitarnya.Sedangkan langkah kedua, yaitumenggeneralisasikan respon-respon spesifik tersebut dan menyatakan sebagai ungkapan-ngkapan yang memiliki tujuan moral=sosial umum, yang dapat ‚disaring‛ melalui ungkapan ayat dari perspektif sosio historis dan dalam perspektif rationes legis(‘illat hukum). 1
136
Sri Lum’atus Sa’adah, Transformasi Fikih Klasik Menuju Fikih Kontemporer
perumusan prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan-tujuan al-Qur’an yang telah disistematisasikan melalui gerakan pertama, terhadap situasi dan atau kasus aktual sekarang ini.3 Dari kedua gerakan yang digunakan dalam memahami teks inilah dikenal dalan teori double movement (gerak ganda). Secara sederhana, metode ini berusaha menjembatani dan ‚memadukan‛ pendekatan tekstual (normatif) dan pendekatan kontekstual (historis-empiris) secara simultan dalam model penelitian ilmiah yang ‚Islami‛. Asumsi dasarnya bahwa upaya ini akan bermanfaat bagi alternasi metode penemuan hukum Islam di era multi cultural dan religius ini. Persoalan Tekstualitas Metode Penemuan Hukum Islam. Dalam perspektif ushul fiqih, setidaknya terdapat tiga pola (tariqat) atau metode ijtihad, yaitu bayani (linguistik), ta’lili (qiyasi: kausasi) dan istislahi (teleologis).4 Ketiganya, dengan modifikasi di sana sini, merupakan pola umum yang dipergunakan dalam menemukan dan membentuk peradaban fiqih dari masa ke masa. Dengan berbagai pola dan basis epistemik inilah lahir dan tersusun ribuan kitab fiqih dengan derivasi cabang yang bermacam-macam di dalamnya. Pola ijtihad bayani adalah upaya penemuan hukum melalui interpretasi kebahasaan. Konsentrasi metode ini lebih berkutat pada sekitar penggalian pengertian makna teks. Usaha ini mengandung kelemahan jika dihadapkan dengan permasalahan yang baru yang hanya bisa diderivasikan dengan makna yang jauh dari teks. Pola implementasi inilah yang berkembang dan dipergunakan oleh para mujtahid hingga abad pertengahan dalam merumuskan berbagai ketetapan hukum. Mereka hanya melakukan reproduksi makna dan belum melakukan produksi makna baru. Sebagai pengembangan, sebenarnya pada masa kontemporer ini mulai ada upaya rethinking metode ini dengan memakai alat bantu filsafat bahasa yang memungkinkan dapat melakukan produksi makna baru. Salah satu pendekatan dimaksud adalah interpretasi produktif yang dikemukakan oleh Gadamer.5 Interpretasi produktif sebagai model dari Gerakan kedua harus dilakukan dari pandangan umum menjadi pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang ini. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umm itu harus dirumuskan dalam konteks sosio-historis sekarang ini.. 4 Ijtihad istihsani tidak dianggap sebagai pola ijtihad yang berdiri sendiri dengan alasan beberapa bagian aplikasinya masuk bahasan ijtihad qiyasi dan sebagian yang lain dalam katagori istislahi, Lihat lebih lanjut pada Muhammad Ma’ruf ad-Dawalibi, al-Madhal ila ‘Ilm Usul al-Fiqh, (Ttp: Dar al-Kitab al-Jadid, 1965), 419 5 Lihat lebih lanjut pada Hans George Gadamer, Truth and Method, (New York: The Seabury Press,1975). 3
137
JURNAL FALASIFA. Vol.3 , No. 1 Maret 2012
hermeneutika memiliki relevansi tersendiri dalam upaya interpretasi terhadap penemuan hukum Islam. Mekanisme interpretasi produktif Gadamer ini dimulai dengan memandang suatu teks tidak hanya terbatas pada masa lampau (masa teks itu dibuat) tetapi memiliki keterbukaan untuk masa kini dan mendatang untuk ditafsirkan menurut pandangan suatu generasi. Sebagai hal yang bersifat historis, sebuah pemahaman sangat terkait dengan sejarah, yaitu merupakan gabungan dari masa lalu dengan masa sekarang. Namun, upaya ini sepertinya tidak begitu berkembang. Karena kurangnya spesifikasi analisis sosial dan tiadanya mekanisme operasional yang jelas adalah di antara faktor kurang berkembang dan diminatinya metode ini. Akhirnya, apriori asumsi muncul bahwa pengembangan penafsiran teks dengan memakai tawaran Gadamer ini, bagaimanapun diusahakan, tetap saja akan terjebak dengan hegemoni makna lama dari pada pencapaian makna baru. Dalam konteks sebagai sarana bantu penyelesaian kasus hukum baru, upaya penafsiran ini berimplikasi pada pencapaian status hukum yang tetap rigid dan kaku. Karena, upaya maksimal yang dapat dilakukan hanya mampu memodifikasi makna baru teks, membuat metode ini hanya cocok dipakai dalam ranah terbatas. Sedangkan pola ijtihad ke dua yaitu ta’lili (kausasi)6 berusaha meluaskan proses berlakunya hukum dari kasus nas ke kasus cabang yang memiliki persamaan illat. Dalam epistemologi hukum Islam pola ini teraplikasi melalui qiyas. Dasar rasional aplikasi pola ini adalah adanya keyakinan kuat mujtahid yang melakukan qiyas mengenai adanya suatu atribut (wasf) pada kasus pokok yang menjadi alasan ditetapkannya hukum yang berlaku terhadap kasus tersebut dan atribut yang sama terdapat pada kasus cabang sehingga hukum kasus pokok itu berlaku pada kasus cabang. Dengan melihat dasar dan pola operasionalnya, terlihat bahwa metode ini sangat gagap jika harus dihadapkan pada penyelesaian berbagai kasus baru yang muncul. Ke-monolitik-an metode ini menguasakan hukum segala persoalan aktual kepada nas, dengan cara menempelkan hukum masalah di dalam nas (asal) kepada cabang. Deduktifitas qiyas –dengan sendiri– menjauhkannya dari nuansa empirical approach, alih-alih equilibrium approach7 bagi sebuah metode, yang mengakibatkan produk hukum yang dihasilkan terasa utopis, sui generis, dan ‚ngawang-ngawang‛, tidak menyelesaikan masalah. Karena, ideal sebuah metode penemuan hukum 6
Lihat uraian metode ini pada Mahsun Fuad, ‚Ijtihad Ta’lili sebagai Metode Penemuan Hukum Islam (Telaah dan Perbandingannya dengan Analogi Hukum positif),‛ Hermenia Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol.3, No. 1, Januari-Juni 2004, 57-79. 7Yang penulis maksud dengan istilah ‚equilibrium approach‛ adalah pendekatan yang mengkombinasikan secara seimbang (adil) aspek teks dan konteks atau normatif dan historis.
138
Sri Lum’atus Sa’adah, Transformasi Fikih Klasik Menuju Fikih Kontemporer
tidak semata berpijak pada nalar bayani (bahasa, teks, nas) akan tetapi perpaduan gerak nalar bayani dan nalar alami (perubahan empirik). Upaya penemuan metode yang prospektif-futuristik sebenarnya dapat diharapkan pada pola ijtihad istislahi yang lebih memberi ruang kepada kemungkinan analisis sosial. Namun usaha yang dirintis oleh alGhazali8 dan tertata sebagai bidang keilmuan yang mantap dan terstruktur di tangan as-Syatibi9 ini tidak begitu berkembang, dipakai sebagai piranti ijtihad. Alasan umum realitas ini adalah tiadanya kata mufakat di antara pemikir akan otensitas dan landasan epistemik pola ini sebagai metode penemuan hukum Islam. Sebagaimana akan terlihat nanti betapa prospek metode ini akhirnya hilang dan baru muncul pada akhir-akhir ini dengan format, struktur dan kemasan yang modern. Sampai di sini, terasa sekali kesan bahwa studi hukum Islam yang berkembang selama ini adalah semata-mata bersifat normatif dan suigeneris. Kesan demikian ini sesungguhnya tidak terlalu berlebihan, karena jika kita cermati dari awal dan mendasar, usul al-fiqh sendiri –yang nota bene merupakan induk dasar metode penemuan Islam itu sendiri— selalu saja didefinisikan sebagai ""القىاعد إلستنباط اآلحكام الشرعيت العوليت هن أدلتها التفصيليت ‚seperangkat kaidah untuk mengistimbathkan hukum syar’i amali dari dalildalilnya yang tafsili‛.10 Istilah yang tidak pernah lepas tertinggal dari semua definisi usul alfiqh tersebut adalah kalimat هن أدلتها التفصيليت. Ini memberi kesan sekaligus membuktikan bahwa kajian metode hukum Islam memang terfokus dan tidak lebih dari pada analisis teks.11 Lebih dari itu, definisi di atas juga memberi petunjuk bahwa hukum dalam Islam hanya dapat dicari dan diderivasi dari teks-teks wahyu saja (law in book). Sementara itu, realitas sosial empiris yang hidup dan berlaku di masyarakat (living law) kurang mendapatkan tempat yang proporsional di dalam kerangka metodologi hukum Islam klasik.
Mengenai konsep maslahah al-Ghazalli, lihat al-Ghazalli, Al Mustasfa Min Ilm al-Usul, (Beirut Dar al-Fikr, tt), hlm 251. 9 Mengenai konsep maslahah lihat pada asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, (Ttp: Dar al-Fikr, 1341 H).tt 10 Abu Zahrah misalnya mendefinisikannya sebagai العلن با القىاعد التي ترسن الونا هج إلستنباط األحكام . العوليت هن ادلتها التفصيليت. Lihat Abu Zahroh, Usul al-Fiqh, ( ttp.: Dar al-Fikr al-‘Araby, tt.), hlm. 7. Wahhab Khallaf juga mendefinisikannya sebagai العلن با القىاعدوالبحىث التي يتىصل بها إلى . إست فادة األحكام الشرعيت العوليت هن ادلتها التفصيليت. Lihat Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, tt.), 12. 11 Secara tegas Hasyim Kamali bahkan menyebut bahwa ushul al-fiqh merupakan ilmu yang menjelaskan sumber-sumber hukum dan sekaligus metode deduksi hukum dari sumber-sumber tersebut. M. Hasyim Kamali, Principles of Islamic Jurisprudence, (Cambridge: The Islamic Texts Society, 1991), hlm. 1. Cetak miring dari penulis. 8
139
JURNAL FALASIFA. Vol.3 , No. 1 Maret 2012
Lemahnya analisis sosial empiris (lack of empiricism) inilah yang disinyalir oleh banyak pihak menjadi satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan dalam metode penemuan hukum Islam selama ini.12 Dari tiga model metode penemuan hukum Islam yang merupakan jabaran dari ushul fiqh klasik di atas, adalah ilustrasi nyata akan semua asumsi sulitnya kajian hukum Islam memberi proporsi yang seimbang bagi telaah empiris. Studi ushul al-fiqh pada akhirnya masih berputar pada pendekatan doktriner-normatif-deduktif dan tetap saja bersifat sui-generis.13 Kesulitan ini dari masa ke masa tetap saja merupakan tantangan yang belum terjawab tuntas. Walaupun usaha menjawab tantangan ini telah banyak dilakukan diantaranya melalui tawaran metodologis yang diusulkan oleh para pemikir hukum Islam klasik seperti al-Ghazali dengan metode induksi dan tujuan hukumnya maupun asy-Syatibi dengan induksi tematisnya. Menurut sebagian pengamat, meskipun telah merintis jalan pengembangan analisis empiris, tetapi dalam praktek dan kebanyakan tulisan mereka masih terpusat pada analisis normative-tekstual.14 Tekstualitas metode penemuan hukum Islam (ushul al-fiqh) tersebut di atas tentu saja bukan suatu kebetulan. Sebaliknya, ia merupakan karakteristik yang lahir dari satu sistem paradigma, epistemologi dan orientasi kajian tertentu. Penjabarannya bisa dilacak lebih jauh dengan adanya fakta bahwa sebagian besar umat Islam masih menganut subjektifisme teistik15 yang berimplikasi pada satu keyakinan bahwa hukum hanya dapat dikenali melalui wahyu Ilahi yang dibakukan dalam kata-kata yang dilaporkan Nabi berupa al-Qur’an dan as-Sunnah. Contoh dari keyakinan inilah yang tampaknya telah ikut menggiring fokus wacana hukum Islam pada analisis teks-teks suci tersebut. Disadari bahwa kecenderungan tekstualitas yang berlebihan dalam metode penemuan hukum seperti ini pada gilirannya telah memunculkan kesulitan dan ketidak-cakapan hukum Islam itu sendiri dalam merespon Lihat Abdul Hamid A. Abu Sulayman, Towards an Islamic Theory of International Relation: New Direction for Methodology and Thought, 2nd Edition, (Herndon, Virginia: IIIT, 1994), hlm. 87-92. Idem, Crisis in the Muslim Mind, alih bahasa Yusuf Talal Delorenzo, 1st Edition, (Herndon, Virginia: IIIT, 1993), hlm. 43-45. Lihat juga Akh. Minhaji, ‚A Problem of Methodological Approach to Islamic Law Studies‛, al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 63/VI tahun 1999, hlm. iv-v. 13 Bandingkan dengan Akh. Minhaji, ‚Reorientasi Kajian Ushul Fiqih‛, al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 63/VI tahun 1999, hlm. 16-17. 14 Syamsul Anwar, ‚Teori Hukum Hukum Islam al-Ghazali dan Pengembangan Metode Penemuan Hukum Islam‛, dalam M. Amin Abdullah et. al., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002), 198. 15 Syamsul Anwar, ‚Epistemologi Hukum Islam Probabilitas dan Kepastian‛, dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke Arah Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: FSHI Fak. Syari’ah, 1994), 74. 12
140
Sri Lum’atus Sa’adah, Transformasi Fikih Klasik Menuju Fikih Kontemporer
dan menyambut gelombang perubahan sosial. Karakteristik kajian fiqh klasik yang law in book oriented dan kurang memperhatikan law in action -sebagai akibat dari kecenderungan tekstualitas metodologinya-- tidak kecil kemungkinan akan selalu tertinggal di belakang sejarah; sampai batas tertentu bahkan mungkin ditinggalkan karena tidak releven lagi dengan situasi aktual umatnya.16 Epistimologi Pemikiran Fazlur Rahman Sekilas Kehidupan Fazlur Rahman Rahman lahir di pakistas tahun 1919, kemudian tumbuh dan berkembang dalam latar belakang pendidikan tradisional hingga mencapai usia 35 tahun. Rahman berasal dari keluarga yang bermadzab Hanafi, sebuah madzab sunni yang lebih bercorak rasional dari pada madzab sunni lainnya. Sekalipun ia pengikut sunni, namun pemikirannya pada masa belakangan sangat kritis terhadap sunni juga terhadap syi’ah. Sebagaimana lazimnya masyarakat muslim pada saat itu, Rahman mempelajari ilmu-ilmu Islam secara formal di madrasah. Selain itu ia mendapatkan pelajaran dari ayahnya, seorang ulama dari Deoband. Setelah menamatkan pendidikan menengah di madrasah, rahman melanjutkan studinya di Departemen Keimuran, Universitas Punjab, dan ia berhasil menyeleseikan studinya dengan meraih gelar M.A. Dalam sastra Arab. Sekalipuin Rahman terdidik dalam lingkungan pendidikan yang tradisionalis, sikap kritis yang dimilikinya menjadikan dia seorang pemikir yang berbeda dengan alumni madrasah. Sikap kritis yang menggambarkan ketidak puasan terhadap sistem pendididkan tradisional, terlihat dengan Dalam konteks yang lebih luas, Syamsul Anwar mencatat ada lima (5) karakteristik studi fiqh yang dominan, yaitu (1) pemusatan studi hukum Islam sebagai law in book, tidak mencakup law in action, (2) pencabangan materi yang rumit tanpa memperhatikan relevansi dengan permasalahan yang berkembang (3) sifat polemik-apologetik, (4) inward looking dan (5) atomistik. Secara epistemik kajian fiqh juga ditandai oleh karakteristik (1) kurang memisahkan mitos dan sejarah, (2) univokalisasi makna dan (3) nalar transhistoris. Syamsul Anwar, ‚Paradigma Fikih Kontemporer: Mencari Arah Baru Telaah Hukum Islam Pada Program S3 PPS IAIN Ar-Raniry Banda Aceh‛, Makalah Lokakarya Program Doktor Fikih Kontemporer pada Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh, tanggal 28 Agustus, 2002, hlm. 8-9. Karakteristik lebih sederhana diberikan oleh Hasyim Kamali, yaitu: (1) tidak mendukung efektifitas dan efisiensi administrative, karena ditulis mengikuti style abad pertengahan serta tidak mempunyai klasifikasi yang rapi, (2) consern kajiannya tidak lagi relevan dengan isu dan kondisi aktual umat Islam, dan (3) adanya tendensi scholastic isolation yang melahirkan fanatisme madzhab dengan menutup diri untuk respek pada kontribusi pemikiran lain. M. Hasyim Kamali, ‚Fiqh and Adaptation to Sosial Reality‛ dalam The Muslim World, Vol. LXXXVI, No. 1, Januari, 1996, hlm. 78-79. 16
141
JURNAL FALASIFA. Vol.3 , No. 1 Maret 2012
keputusan Rahman untuk melanjutkan studi ke Barat, oxford University, Inggris. Keputusan tersebut awal dari kontroversi Rahman, karena dipandang ganjil oleh ulama-ulama Pakistan, jika seseorang belajar ke Barat, sekalipun sikap tertentu ditempuh demi kemajuan dan kebaikan umat Islam.17 Jadi, keputusan Rahman untuk melanjutkan studi Islamnya ke Barat, Oxford, bukan tanpa alasan yang kuat. Kondisi obyektif masyarakat pakistan belum mampu menciptakan iklim intelektual yang solid. Rahman tidak menemukan pendidikan Islam Tinggi di Pakistan dengan kapasitas guru-guru besar dengan tradisi riset yang memadai. Selain itu kondisi pergolakan sebelum dan sesudah kemerdekaan tidak mendukung tumbuhnya perkembangan ilmiah. Sementara itu, semangat rasionalisme tumbuh di Barat sehingga mendorong tumbuh suburnya pemikiran intelektual, tidak hanya sain, juga dalam bidang filsafat. Kemajuan lembaga pendidikan tinggi di Barat terbukti dengan tingginya frekuensi penelitian yang akhirnya melahirkan sejumlah guru besar atau pakar. Contoh, Ignaz Goldzhiher, Josep Shacht, H.R Gibb, N.J Coulson, J.N.D Anderson. Mereka yang tersebut pada umumnya melakukan kajian keislaman melalui pendekatan historis. Dan sisi kemajuan kehidupan ilmiah di Barat inilah yang melatari keputusan Rahman menempuh studi di Oxford University, Inggris.18 Selama di Inggris Rahman selain mengikuti kuliah-kuliah resmi, ia juga giat mempelajari Bahasa Latin, Yunani, Inggris, Prancis dan juga Jerman. Penguasaan terhadap bahasa tersebut sangat membantu dalm upayanya memperdalam wawasan keilmuannya, khususnya dalan studi literatur keislaman yang ditulis para orientalis dalam bahasa mereka. Selama belajar di Oxford University, sedang barang pasti Rahman menimba pengetahuan para orientalis Barat, sehingga timbul dugaan dan tuduhan yang intinya menghujat pemikiran rahman sebagai ‛agen orientalis‛. Pada tahun 1950, Rahman menyelesaikan studi doktornya di Oxford University dengan mengajukan disertasi tentang Ibnu Sina. Setelah menyeleseikan studinya, Rahman mengabdikan diri sebagai dosen, yang pada dasarnya profesi ini merupakan pengejawantahan potensi akademis dan intelektualnya. Walhasil, terciptalah sebuah karya ilmiah sebagai perwujudan dari idealisme pemikiran Fazlur Rahman.19
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam( Jakarta:Bulan Bintang 1992), 162 Ibid , 37. 19 Ghufron A.Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman Tentang metodologi Pembaharuan Hukum Islam,(Jakarta: Raja Grafindo Persada:1997) , 19. 17 18
142
Sri Lum’atus Sa’adah, Transformasi Fikih Klasik Menuju Fikih Kontemporer
Aplikasi Teori Double Movement (Gerak Ganda) Fazlur Rahman dalam Hukum Kewarisan Islam Sudah menjadi kesepakatan di kalangan mayoritas ulama bahwa ayat-ayat kewarisan yang ada dalam Al quran merupakan ayat yang bersifat qath’i, baik dari sisi asalnya (tsubut) dan penunjukannya (dalalah)20. Konsekuensi dari atribut qath’i dalalah terhadap ayat tersebut maka siapapun tidak diperkenankan untuk menafsirkan, apalagi menyimpangi bunyi teks alqur’an tersebut. Kecuali bila penunjukannya bersifat dhanni, maka masih memungkinkan para ahli hukum memberikan pemahaman yang berbeda antara satu dengan yang lain. Menurut pendapat Ilyas Supena dan M. Fauzi dalam bukunya Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam21 pengklasifikasian terhadap atribut qath’i dan dzanni perlu dipertanyakan kesahihannya karena mengandung kekurangan dan kelemahan baik secara metodologis maupun historis. Secara metodologis sangat sulit bagi seseorang untuk memiliki kesamaan terhadap satu persoalan apalagi sebuah teks kitab suci (alQur’an), karena suatu nash yang oleh sebagian orang dianggap sudah jelas maknanya (sharih) belum tentu jelas bagi sebagian orang yang lain (ghair sharih).22 Ini artinya, pengklasifikasian terhadap keqath’ian dan kedzannian suatu teks lebih bersifat subyektif (dari ulama yang bersangkutan). Oleh karena itu hukum yang dikandungnya bernilai relatif. Dengan perkataan lain, dalam penentuan suatu nash termasuk qath’i dan yang lain termasuk dzanni terkandung unsur inkosistensi. Sebagai upaya untuk menghindarkan atau setidaknya untuk meminimalkan bahaya subyektifitas terhadap penafsiran teks, menurut Fazlur Rahman sebagai ilmuwan yang memperkenalkan teori double movement (gerak ganda) dalam memahami dan menafsirkan teks al Qur’an, Rahman mengajukan sebuah metodologi tafsir yang terdiri dari tiga pendekatan: Pertama, pendekatan historis untuk menemukan makna teks. Kedua, pendekatan kontekstual untuk menemukan sasaran dan tujuan yang terkandung dalam ungkapan legal spesifik; dan ketiga, pendekatan latar
Secara umum dapat disimpulkan nash yang qath’i adalah nash yang berbicara masalah-masalah akidah, ‘ibadah, hukuman kafarat (denda), hudud (tindak pidana), ketentuan bagian warisan serta hal-hal yang bersifat aksiomatik, dan lain-lain. Abd Wahab Khalaf, Mashadir al Tasyri’ fima la nash fih (Kuwait:Dar al Qalam,1972), 11 21 Ilyas Supeno dan M Yasin, Dekonstrusi dan Rekonstruksi Hukum Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 255-256 22 Kasusnya hampir mirip dengan ijjma’. Masalah yang dianggap telah disepakati ulama, ternyata hanya kesepakatan ulama mazhabnya saja. M.Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an (Bandung,Mizan,1992), 141-142. 20
143
JURNAL FALASIFA. Vol.3 , No. 1 Maret 2012
belakang sosiologis untuk menguatkan hasil temuan pendekatan kontekstual. 23 Berkaitan dengan metodologi yang dibangun fazlur rahman, di bawah ini akan diuraikan pemahaman dari tekstual ke kontekstual (sosilogis-historis) tentang ketentuan hukum bagian waris laki-laki dan perempuan. Menurut modernis asal Pakistan ini, bagian waris yang diterima oleh anak perempuan sama dengan yang diterima oleh saudara laki-lakinya (1:1). Hal ini dikarenakan kondisi wanita telah mengalami perubahan, sebagaimana nilai-nilai dan keajaiban ekonomi dalam suatu masyarakat tradisional merupakan simbol-simbol fungsional dari peran-peran aktual dalam masyarakat yang bersangkutan. Menurut Rahman, peran-peran di masyarakat itu tidak ada yang inheren dan pasti mengalami perubahan. Maka jika rasa dan pertimbangan keadilan menghendakinya, perubahan atas peran-peran tersebut sudah barang tentu tidak bertentangan dengan prinsip moral dalam al Qur’an. Demikian pula mengenai bagian suami dan istri. Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 11 mengatur 1/8 harta waris untuk janda jika terdapat anak, dan ¼ bagian jika tidak terdapat. Bagian ¼ ini sebesar bagian suami jika ada anak. Jika tidak bersama anak, suami menerima bagian yang lebih besar lagi, yakni ¼ harta waris. Adalah suatu yang nyata dalam kehidupan masyarakat kesukuan bahwa anggota suku yang berharta sangat peduli anggota-anggota suku lainnya sehingga perbedaan bagian yang mencolok tersebut selaras dengan etika sosial masyarakat kesukuan tersebut. Bersamaan dengan lunturnya sistem kesukuan dan kebersamaan dengan perubahan-perubahan sosial lainnya yang tentunya juga disertai dengan perubahan peran sosial – ekonomi, maka bagian-bagian waris pun layak berubah pula.24 Adapun yang menjadi landasan metodologinya bagi Fazlur Rahman dalam bagian waris laki-laki dan perempuan itu sama adalah relasi timbal balik antara wahyu ketuhanan (divine revelation) yang suci dan sejarah kemanusiaan (human history) yang profan. Permasalahannya adalah bagaimana norma-norma dan nilai-nilai wahyu ketuhanan itu mempunyai relevansi yang dapat terus menerus bertahan dalam sejarah umat beragama, tanpa salah tempat dan salah waktu25.
23
Ghufron a. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman……………, 149-151 Lihat Fazlur Rahman,Mayor themes of The Qur’an(Minnepolis-chicago:Biblioteca Islamica,1980), 55 25 Nurcholish Fazlur Rahman,Mayor themes of The Qur’an(Minnepolis-chicago:Biblioteca Islamica,1980), 55 Madjid, Fazlu Rahman da etika alQuur’an’dalam Islamica.no 2 Oktober 1993, 23-28 24
144
Sri Lum’atus Sa’adah, Transformasi Fikih Klasik Menuju Fikih Kontemporer
Dalam memahami pesan teks al-Qur’an Fazlur Rahman menggunakan dua gerakan metodis, dimana gerakan pertama terdiri dua langkah, yang pada dasarnya merupakan penjabaran dari tiga pendekatan penafsiran al qur’an, yakni pendekatan historis, kontentual dan sosiologis.26 Sedangkan gerakan kedua merupakan upaya perumusan prinsip-prinsip umum, nilai-nilai dan tujuan-tujuan al Qur’an yang telah disistematisasikan melalui gerakan pertama, terhadap situasi dan atau kasus aktual sekarang ini.27 Dari kedua gerakan yang digunakan dalam memahami teks inilah dikenal dalan teori double movement (gerak ganda). Gerak pertama, dari teori gerak ganda ini adalah upaya yang sungguh-sungguh untuk memahami konteks mikro dan makro pada saat al-Qur’an diturunkan. Hasil pemahaman ini akan dapat membangun makna asli (original meaning) yang dikandung wahyu di tengah-tengah konteks sosial - moral era kenabian, sekaligus juga dapat memperoleh gambaran situasi dunia yang lebih luas pada umumnya saat ini. Di sinilah peran penting konsep sebab turunnya ayat (asbab al-nuzul) dan konsep naskh. Sedangkan gerak kedua dari teori gerak ganda adalah upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip dan nilai sistematik dan umum dalam konteks pembaca al-Qur’an era kontemporer sekarang ini untuk mempraktikkan gerakan kedua ini membutuhkan analisis yang sangat kompleks. Dalam hal ini Fazlur Rahman tidak mengelaborasikan secara detil bagaimana analisis yang semestinya melibatkan gabungan antara wilayah sosial dan intelektual. Namun, yang tampak jelas dalam pikiran Rahman adalah bahwasanya ia membenarkan digunakannya ilmu-ilmu sosial modern dan humanitis kontemporer sebagai alat yang cukup baik untuk memberikan pemahaman yang bagus tentang sejarah.28 Langkah pertama yang dimaksud adalah, orang harus memahami arti atau makna suatu ayat denganmengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan alqur’an merupakan jawabannya.Tentunya , sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik, orang harus melihat situasi makro dalam batasan-batasan agama, masyarakat,adat-istiadat,bahkah kehidupan masyarakat Arabia pada saat Islam datang dan khususnya Makkah dan sekitarnya.Sedangkan langkah kedua, yaitumenggeneralisasikan respon-respon spesifik tersebut dan menyatakan sebagai ungkapan-ngkapan yang memiliki tujuan moral=sosial umum, yang dapat ‚disaring‛ melalui ungkapan ayat dari perspektif sosio historis dan dalam perspektif rationes legis(‘illat hukum). 27 Gerakan kedua harus dilakukan dari pandangan umum menjadi pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang ini. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umm itu harus dirumuskan dalam konteks sosio-historis sekarang ini.. 28 Disinilah kajian menarik yang dinyatakan oleh al Syatibi, ketentuan waris 2:1 termasuk salah satu dari ketentuan pra Islam yang telah dimodifikasi, kemudian dilegalisir Islam. Apabila dilacak dari sosio historis kultural masyarakat Arab saat itu, maka jelas sekali bahwa ktentuan warisan 2:1 merupakan bentuk adaptasi dari budaya 26
145
JURNAL FALASIFA. Vol.3 , No. 1 Maret 2012
Dari teori yang dipaparkan Fazlur Rahman tersebut apabila dikaitkan dengan masalah bagian waris laki-laki dan perempuan dapat diambil pengertian bahwa kesadaran adanya pengaruh budaya Arab terhadap ketentuan hukum al Qur’an (2:1) bukan berarti ‛mengharuskan ‛ kita berpaling dari ketentuan hukum tersebut, melainkan mencari bentuk alternatif ketentuan hukum lain apabila situasi dan kondisi benar-benar berbeda jauh dengan kondisi Arab. Doktrin Islam tentang Bagian waris tersebut merupakan ajaran yang sangat maju untuk ukuran empat belas abad yang silam, karena posisi mereka (kaum perempuan) yang pada saat itu sangat rendah dalam struktur kebudayaan Arab pra Islam. Namun sesuai dengan perkembangan zaman, konsep ini kiranya terasa anakronistik dan tidak lagi punya kekuatan untuk merespon perubahan sosial yang terjadi. Kedudukan perempuan telah mengalami perubahan. Mereka telah dapat menduduki posisi yang selama ini menjadi dominasi laki-laki, seperti jabatan Perdana Menteri (Pakistan dan Banglades) dan presiden (philipina dan Indomesia). Perubahan ini tentunya membutuhkan penyikapan baru atas ajaran agama, agar ia relevan dengan keadaan yang berubah. Bagi masyarakat yang kebetulan bercorak sama atau setidaknya mendekati corak masyarakat Arab, ketentuan hukum al Qur’an tentang bagian waris tersebut tentunya masih relevan untuk diterapkan. Penutup Timbulnya penemuan baru akibat kemajuan ilmu dan teknologi (iptek), berakibat pula menggeser cara pandang dan membentuk pola pikir yang membawa konsekuensi logis serta melahirkan norma baru dalam kehidupan masyarakat. Maka tidak semestinya kemajuan iptek dan peradaban itu dihadapkan secara konfrontatif dengan nash, tetapi seharusnya dicari pemecahannya secara ijtihadi. Sementara Al-Qur’an dan hadits sebagai rujukan bagi umat Islam dalam kehidupan sehari-hari telah berakhir (final), namun persoalan-persoalan baru senantiasa muncul berkesinambungan. Oleh karena upaya mengkontekstualisasikan hukum Islam merupakan langkah yang sangat dibutuhkan untuk memberi solusi
Arab pra Islam. Sebelum Islam datang di padang pasir Arab, kedudukan perempuan tidak lebih sebagai barang dan bahkan seperti sampah yang tidak berharga, sehingga sama sekali tidak diberi bagian warisan. Dengan kehadiran Islam, harkat dan martabat perempuan diangkat dan diakui eksistensinya. Oleh karena itu, dalam masyarakat Arab yang menganut pola patriarchal tribe, maka sangat wajar Islam memeri porsi yang lebih besar kepada laki-laki.Lembaga Darut Tuhid, wanita dalam Pandanhan Yahudi, kristen, Marxisme, dan Islam (al Usrah al Muslimah), diterjemahkan oleh A.Chumaidi Umar (Jakarta:Hikmah,
2001), 7. 146
Sri Lum’atus Sa’adah, Transformasi Fikih Klasik Menuju Fikih Kontemporer
hukum terhadap masalah-masalah kontemporer yang selalu berkembang, selaras dengan perkembangan budaya dan ilmu pengetahuan. Hukum Islam tumbuh dan berkembang sebagai hasil interpretasi terhadap prinsip-prinsip yang ada dalam perkembangan masyarakat saat itu, merupakan refleksi logis dari situasi dan kondisi dimana ia tumbuh dan berkembang. Agar hukum Islam tidak kehilangan aktualitasnya dalam memberikan jawaban yang memuaskan terhadap permasalahan yang timbul dalam masyarakat, maka perlu untuk diadakan pembaharuan hukum Islam dengan menggunakan dua bentuk pendekatan pemahaman terhadap teks Alqur’an dan hadits. Dua pendekatan yang dimaksud adalah dengan melalui analisa tekstual dan pendekatan sosio historis. Dua pendekatan inilah yang kemudian digunakan oleh pemikir Islam kontemporer yang ada di kawasan Arab misalnya Fazlur Rahman maupun para pemikir hukum Islam di Indonesia seperti Munawir Sjadzali, Hazairin, Hasbi As Shidieqi. Melalui dua pendekatan inilah hukum Islam diharapkan mampu menjadi rahmatan lil ’alamin shalih fi kullu zaman wa makan.
147
JURNAL FALASIFA. Vol.3 , No. 1 Maret 2012
DAFTAR PUSTAKA
Abu Sulayman, Abdul Hamid A. Crisis in the Muslim Mind, 1st Edition. Herndon, Virginia: IIIT, 1983. Abu Sulayman, Abdul Hamid A. Islamization of Knowledge General Principles and Work Plan. Herndon, Virginia: IIIT, 1989. Abu Sulayman, Abdul Hamid A. Towards an Islamic Theory of International Relation: New Direction for Methodology and Thought, 2nd Edition. Herndon, Virginia: IIIT, 1994. Anwar, Syamsul. ‚Epistemologi Hukum Islam Probabilitas dan Kepastian‛, dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke Arah Fiqh Indonesia. Yogyakarta: FSHI Fak. Syari’ah, 1994. Anwar, Syamsul. ‚Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam‛, dalam Ainurrofiq (ed.), Madzhab Jogja Menggagas Paradigma Usul Fiqh Komtemporer. Yogyakarta: Pustaka Ar-Ruz, 2002. Anwar,
Syamsul. ‚Teori Hukum Hukum Islam al-Ghazali dan Pengembangan Metode Penemuan Hukum Islam‛, dalam M. Amin Abdullah et. al., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002.
Coulson, Noel James. Conflict and Tension in Islamic Jurisprudence. Chicago & London: The University of Chicago Press, 1969. Dawalibi, Muhammad Ma’ruf ad-. al-Madhal ila ‘Ilm Usul al-Fiqh. Ttp: Dar al-Kitab al-Jadid, 1965. Fazlur Rahman, Mayor themes of The Qur’an, Minnepolis-chicago, Biblioteca Islamica, 1980. Fazlur
Rahman, membuka Ijtihad (Islamic Methodology in History), diterjemahkan oleh Anas Mahyudin, Bandung, Pustaka Setia, 1884.
Fuad, Mahsun. ‚Ijtihad Ta’lili sebagai Metode Penemuan Hukum Islam (Telaah dan Perbandingannya dengan Analogi Hukum positif),‛ 148
Sri Lum’atus Sa’adah, Transformasi Fikih Klasik Menuju Fikih Kontemporer
dalam Hermenia Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol.3, No. 1, Januari-Juni 2004. Gadamer, Hans George. Truth and Method, New York: The Seabury Press,1975. Ghazalli, Abu Hamid al-. Al Mustasfa min Ilm al-Usul. Beirut: Dar al-Fikr, tt. Ghufron
A.Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada 1997.
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1992. Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum, Jakarta: Bina Aksara,1981 Ibnu Katsir, tt, Tafsir al Qur-an al ‘adzim juz I Beirut , Dar Al Ma’rifah Ilyas Supeno dan M Yasin, Dekonstrusi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta, Gama Media, 2002. Imam syaukani, Konstruksi Epistimologi Pemikiran Hukum Islam Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, 2006. M Fathur al Razi, Tafsir al Fakhr al Razi, juz vi, Beirut: Dar al Fikr,1985. M.Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an, Bandung, Mizan, 1992. Mahsun Fuad , Hukum Islam Indonesia, Yogyakarta, LKIS, 2005. Minhaji, Akh. ‚Reorientasi Kajian Ushul Fiqih‛, al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 63/VI tahun 1999 Minhaji, Akh.‚A Problem of Methodological Approach to Islamic Law Studies‛, al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No. 63/VI tahun 1999 Muhadjir, Noeng. ‚Wahyu dalam Paradigma Penelitian Ilmiah Pluralisme Metodologik: Metodologi Kualitatif‛, dalam Taufik Abdullah dan Rusli Karim (ed.) Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989. Parman, Ali. Kewarisan dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Rajawali Pers, 1994.
149
JURNAL FALASIFA. Vol.3 , No. 1 Maret 2012
Syatibi asy-. al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam. Ttp: Dar al-Fikr, 1341 H. Zahrah, Abu. Ushul al-Fiqh. ttp.: Dar al-Fikr al-‘Araby, tt.
150