MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (CLEAN DEVELOMENT MECHANISM) TERHADAP KAWASAN HUTAN BERDASARKAN PROTOKOL KYOTO
TESIS
Oleh
FL. FERNANDO SIMANJUNTAK 077005037/HK
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (CLEAN DEVELOMENT MECHANISM) TERHADAP KAWASAN HUTAN BERDASARKAN PROTOKOL KYOTO
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
FL. FERNANDO SIMANJUNTAK 077005037/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (CLEAN DEVELOMENT MECHANISM ) TERHADAP KAWASAN HUTAN BERDASARKAN PROTOKOL KYOTO : FL. Fernando Simanjuntak : 077005037 : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasutioan, SH, MH)
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
(Dr. Sunarmi, SH, M. Hum) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Tanggal lulus : 27 Juni 2009
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Telah diuji pada Tanggal 27 Juni 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota
: 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS 2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 4. Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
ABSTRAK Clean Development Mechanism (CDM) atau yang diartikan dalam bahasa Indonesia dengan Mekanisme Pembangunan Bersih adalah merupakan satu-satunya mekanisme dalam Protokol Kyoto yang memungkinkan peran negara berkembang untuk membantu negara Annex I dalam upaya mitigasi GRK (Gas Rumah Kaca). Pembahasan tentang Clean Development Mechanism (CDM), harus dikaitkan dengan terminologi perubahan iklim, Gas Rumah Kaca (GRK), Efek Rumah Kaca (ERK), Protokol Kyoto dan seterusnya. Pemanfaatan energi yang berlebihan, terutama energi fosil, merupakan sumber utama emisi GRK. Hutan yang semakin rusak, baik karena kejadian alam maupun pembalakan liar akan menambah jumlah GRK yang diemisikan ke atmosfer dan akan menurunkan fungsi hutan sebagai penghambat perubahan iklim. Peran utama hutan adalah untuk menyerap GRK — terutama karbon — yang ada di atmosfer. Karenanya kegiatan kehutanan dalam isu perubahan iklim ini termasuk dalam carbon sequestration activities, yaitu kegiatan-kegiatan yang menyerap karbon yang ada di atmosfer. Oleh sebab itu hutan juga dikenal sebagai carbon sinks (rosot karbon). Dengan perannya ini, hutan dapat membantu mencapai tujuan Konvensi Perubahan Iklim dalam menjaga stabilitas konsentrasi gas rumah kaca pada tingkat aman yang tidak membahayakan sistem iklim global. Protokol Kyoto adalah sebuah instrumen hukum (legal instrumen) yang dirancang untuk mengimplementasikan Konvensi Perubahan Iklim yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) agar tidak mengganggu sistem iklim bumi. Setelah diadopsi pada tanggal 11 Desember 1997, Protokol Kyoto dibuka untuk ditandatangani pada tanggal 16 Maret 1998. Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah Apakah Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto memilki kekuatan hukum secara global, sejauh mana ruang lingkup Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto dan kendala-kendala apa yang dihadapi dalam penerapan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto Metode penelitian yang dilakukan berbentuk yuridis normatif dengan metode deskriptif analitis. Data sekunder diperoleh melalui penelitian perpustakaan (library research) yaitu Undang-Undang, Keputusan-Keputusan (Agreement) Konferensi, Konvensi, Peraturan Pemerintah, buku – buku referensi, makalah dan dokumen– dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini. Analisis data dilakukan secara yuridis dengan pendekatan kualitatif, melalui metode berpikir deduktif dan induktif, dimana pembahasan mengutamakan tinjauan dari peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto. Dari hasil pembahasan dan analisa diperoleh kesimpulan yang memberi jawaban atas permasalahan yang diteliti serta ditulis dalam bentuk deskriptif.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto dinyatakan telah berkekuatan hukum secara global sejak 21 Maret 1994, setelah diratifikasi oleh 50 negara. Dan hingga tahun 2005, konvensi tersebut telah diratifikasi oleh lebih dari 141 negara dan mempunyai ruang lingkup pada sektor reforestasi dan aforestasi namun masih memiliki kendala-kendala teknis yaitu Baseline; Non-permanence; Uncertainties; Leakage (kebocoran; Aadditionality; Dampak Sosial dan Ekonomi dan Dampak Pada Ekosistem Alam sehingga CDM atau Mekanisme Pembangunan Bersih dapat berjalan secara penuh, efektif dan berkelanjutan berdasarkan Protokol Kyoto dan diharapkan kesiapan semua pihak dalam mengimplementasikannya secara global, baik dari negara-negara Annex I dan Annex II. Disarankan agar suatu negara dan masyarakat dunia untuk mempersiapkan diri dalam menyiapkan kelembagaan yang terkait dengan implementasi Protokol Kyoto melalui proyek-proyek CDM atau Mekanisme Pembangunan Bersih, termasuk Indonesia. Penunjukan otoritas nasional (Designated National Authority, DNA) merupakan syarat utama agar negara berkembang dapat berpartisipasi. Lembaga inilah yang nantinya akan merancang kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan proyek (project development) dan pengembangan kapasitas (capacity building) agar para pihak yang tertarik melakukan investasi dapat merancang proyeknya bersama mitranya di mana proyek akan diimplementasikan. Otoritas nasional ini juga akan membantu pemerintah dalam meningkatkan kesadaran publik (public awareness) akan pentingnya membangun proyek-proyek baru yang ramah lingkungan. Kata Kunci : Mekanisme Pembangunan Bersih, Protokol Kyoto, Perubahan Iklim, Gas Rumah Kaca
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
ABSTRACT
Occasionally, Clean Development Mechanism (CDM) in Indonesian version means “Mekanisme Pembangunan Bersih” which is only one mechanism under Kyoto Protocol possibly for developing countries countries in Annex I at mitigation effort to reduct greenhouse gases (GHG). The description of Clean Development Mechanism (CDM) must be consulted to climate change, Greenhouse Gases (GHG), Greenhouse Effect, Kyoto Protocol and so on. The more using of energy, mainly fosil energy is main source for increasing emission of GHG. Deforestation is caused by natural phenomena or illegal logging donated greenhouse gases which was emmissed to atmosphere and decreased forest function as acounter climate change. Main role of forest is to adopt greenhouse gases – mainly carbon – flied around atmosphere. Therefore, forestry activities at climate change issue summarized to carbon sequestration activities, activities adopted carbon at atmosphere. Therefore, it is also welknowned as carbon sinks. Its role is will help to reach Climate Change Convention target in stabilizing of greenhouse gases concentration in safety position which never take at risk for global climate system. Kyoto Protocol Kyoto is legal instrumen designed for implementing Climate Change Convention purposed to stabilize Greenhouse in which does not borther climate system. Since adopting on 11 December 1997, Kyoto Protocol legally signed on 16 March 1998. Basically, the problems will be analyzed in this research is “Is Clean Development Mechanism (CDM) for forestry on Kyoto Protocol having strengthed legal framework globally, How far the scope of Clean Development Mechanism (CDM) for forestry on Kyoto Protocol and What are the problems will be faced in implementing Clean Development Mechanism (CDM) for forestry on Kyoto Protocol. Academically, this research adopts juridical normative by using analytic descriptive method. The secondary data compiled from library research, Regulation, Convention, Government Regulation, some books literatures, conferences Agreement and journal connected to thesis. The data analysis written juridically with qualitative norm implemented both deductive and inductive method in which the description mainly concerned in formal regulations connected with Clean Development Mechanism for forest sector under Kyoto Protocol. From analysis results summarizing in which answering the problems descriptively. The conclusion absolutely denoted that Clean Development Mechanism for forest sector under Kyoto Protocol declared having legal status globally since 21 March 1994 after ratificated by 50 countries. And until 2005, the convention ratificated by more than 141 countries and especially for forest sector covered both reforestation and aforestation but still having a little bit problem technically, they are Baseline; Non-permanence; Uncertainties; Leakage (kebocoran; Aadditionality; Social and Economic Assesment and Ecosystem Assesment and wish Clean Development Mechanism run smoothly and effectively and sustainably under Kyoto
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Protocol and hopefully all stakeholders implemented globally, even countries in Annex I and Annex II. In regard, all countries prepared any bodies and institution related to Kyoto Protocol implementation of Clean Development Mechanism projects, especially for Indonesia Kyoto. Designated National Authority, DNA was a main term in regard the developing countries participated in the projects. This authority will design the program related to project development and capacity building in which all part of developers will invest in designing the project with their own partners where the project implement is. National Authority also helps Government in developing public awareness towards the essential of establishing newest eco project.
Key Words : Clean Development Mechanism, Kyoto Protocol, Climate Change
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
KATA PENGANTAR
Di celah kesibukan waktu yang cukup padat sebagai wakil rakyat sekaligus sebagai Ketua DPRD di Kabupaten Tapanuli Utara Provinsi Sumatera Utara, penulis berupaya sekuat tenaga untuk dapat menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan judul tesis “MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM) TERHADAP KAWASAN HUTAN BERDASARKAN PROTOKOL KYOTO“ sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi Magister Ilmu Hukum pada Univeritas Sumatera utara. Proses selama mengikuti perkuliahan banyak suka duka serta berbagi macam kesulitan terutama masalah waktu yang harus dibagi, dimana jarak domisili yang harus ditempuh setiap perkuliahan harus memakan waktu lebih kurang tujuh jam perjalanan. Kesulitan tersebut tidak mengendorkan niat dan cita-cita penulis untuk dapat meraih gelar Magister Ilmu Hukum, karena penulis meyakini betapa pentingnya ilmu yang harus dimiliki penulis yang ditransfer para dosen yang sangat berkualitas untuk diabdikan penulis ke tengah-tengah masyarakat banyak di kemudian hari. Di saat penulis akan melanjutkan penyempurnaan tesis ini, penulis menyadari betapa banyak kekurangan dan keterbatasan kemampuan, tetapi penulis tidak mau surut dan mundur karena kekurangan-kekurangan yang ada. Penulis telah membulatkan tekad dalam hati “Ilmu itu harus kuraih dan kumiliki dan tidak akan ada kata mundur maupun terlambat”
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Terima kasih Tuhan.....! Puji syukur yang tiada taranya penulis persembahkan kehadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan telah memberiku waktu dan kesempatan yang sangat berarti untuk menggapai cita-cita, Tuhan memelihara dan menuntun hidupku mulai perkuliahan sampai pada gilirannya penulis dapat menyempurnakan tesis ini. Kebahagiaan dan kebanggaan yang tiada taranya penulis rasakan setelah para dosen pembimbing menyatakan setuju dengan judul tesis ini. Penulis berharap bahwa disamping manfaat untuk menyelesaikan studi, penulis juga berharap bahwa pembahasan dalam tesis ini dapat bermanfaat untuk orang banyak khususnya kontribusi
pemahaman
betapa
pentingnya
kepedulian
untuk
menjaga
dan
menyelamatkan lingkungan hidup. Pembahasan dari judul tesis ini adalah membahas prinsip-prinsip hukum dalam penyelamatan lingkungan hidup dan pengendalian kerusakan hutan yang sangat berdampak pada perubahan iklim yang harus dijaga, karena apabila berbicara masalah hutan dan perubahan iklim, berarti juga membicarakan kelangsungan hidup manusia dan kehidupan orang banyak. Penulias menyadari bahwa, uraian yang terdapat dalam tesis ini belumlah merupakan hasil pemikiran yang bersifat final dan sempurna, tetapi penulis menyadari akan kekurangan dan kelemahan, baik dari sisi untaian kata-kata dan kalimat maupun substansi yang menjadi topik bahasan. Menyadari kekurangan dan kelemahan yang sangat banyak tersebut, penulis sangat mengharapkan kritikan dan sumbang saran yang bersifat konstruktif dari semua pihak sehingga segala
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penulisan dan pembahasan dalam tesis ini dapat diatasi dengan baik atau setidaknya dapat diminimalisir kekurangan dan kesalahan yang penulis tuangkan dalam tesis ini. Atas sumbangsih
kritik dan saran-saran dalam penyempurnaan tesis ini,
panulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah berperan langsung maupun tidak langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas-tugas penulis dalam penyempurnaan tesis ini. Penulis tidak lupa mengutarakan beberapa nama yang secara langsung penulis sebutkan namanya dalam tesis ini, sebagai ungkapan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan menjadi mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara 3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH sebagai Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana USU, sekaligus sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan perhatian penuh, dan membekali penulis dengan ilmu yang bermanfaat dalam menyelesaikan studi 4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS dan Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
5. Bapak/Ibu para dosen dan Guru Besar yang telah memberikan mata kuliah selama penulis duduk di bangku kuliah Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 6. Istriku dan anak-anakku tercinta, Aditya Wims, Putri margaretha, Dading Justice Reformasi, yang telah mendukung dan mendorong penulis menggapai cita-cita untuk menyelesaikan studi Sekolah Pascasarjana USU sebagai teladan warisan intelektual di masa depan. 7. Abangda Erwin Hasibuan, SH. MH, sahabatku Moslem dan saudara-saudaraku yang kukasihi yang singkat nama penulis sebutkan dengan NN yang sangat banyak membantu dan mendorong penulis mulai dari awal studi sampai selesainya tesis ini. 8. Drs. Karel Sihotang dan Masa Sihombing, SH serta seluruh staf sekretariat DPRD Tapanuli Utara yang telah banyak memberikan dukungan moril hingga penulis dapat menyelesaikan studi tepat pada waktunya. 9. Puncak ucapan terima kasih ini saya persembahkan buat Ayahanda Amry Simanjuntak dan Almarhumah Ibunda tercinta Erita Lumangga Hutauruk, yang sejak penulis lahir telah bercita-cita supaya penulis menjadi orang yang bijak, pintar dan berguna bagi orang banyak. Mudah-mudahan dengan keberhasilan penulis dalam menyelesaikan studi ini, dapat membahagiakan kedua orang tua yang sangat penulis kasihi. Sesungguhnya ucapan terima kasih ini penulis haturkan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi mulai dari awal studi sampai pada akhirnya penulis bisa
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
menyelesaikan penulisan tesis ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namun tetap terukir dalam hati sanubari penulis yang tidak akan terlupakan penulis selama hidup. Semoga semua jasa baik dan bantuan yang diberikan selama ini mendapat berkat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi penulis dan bagi kemajuan kita semua.Semoga......! Terima kasih.
Medan,
Juni 2009
FL. Fernando Simanjuntak
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
RIWAYAT HIDUP Nama
:
FL. Fernando Simanjuntak
Tempat/Tanggal Lahir
:
Padang Sidempuan, 10 Juni 1968
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Agama
:
Kristen Protestan
Pekerjaan
:
Ketua DPRD Kabupaten Tapanuli Utara
Pendidikan
:
SD Negeri Tamat Tahun 1981 SMP Negeri 2 Tarutung Tamat Tahun 1984 SMA HKBP Tarutung Tamat Tahun 1987 Strata Satu (S1) Universitas Sisimangaraja XII Tamat Tahun 1993 Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2009
Organisasi
:
Tahun 1997 Sampai 2004 Pengacara Penasehat Hukum Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 1999 Sampai Sekarang Ketua GM SKFFI Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2001 Sampai Sekarang Ketua DPD KNPI Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2001 Sampai 2004 Wakil Ketua DPD II Partai Golkar Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2004 Sampai Sekarang Sekretaris DPD II Partai Golkar Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2005 Sampai Sekarang Wakil Ketua GM SKFFI Sumatera Utara
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ...................................................................................................
i
ABSTRACT ..................................................................................................
iii
KATA PENGANTAR.................................................................................
v
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................
x
DAFTAR ISI................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR...................................................................................
xvi
DAFTAR ISTILAH ....................................................................................
xvii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................
1
A.
Latar Belakang Penelitian ............................................
1
B.
Perumusan Masalah .....................................................
16
C.
Tujuan Penelitian .........................................................
17
D.
Manfaat Penelitian .......................................................
17
E.
Keaslian Penelitian.......................................................
18
F.
Kerangka Teori dan Konsep.........................................
19
G.
Metode Penelitian ........................................................
22
1. Metode Pendekatan ................................................
22
2. Spesifikasi Penelitian .............................................
22
3. Metode Pengumpulan Data ....................................
23
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
BAB II
4. Alat Pengumpulan Data .........................................
24
5. Metode Analisis Data.............................................
25
KEKUATAN HUKUM MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (CDM) TERHADAP KEHUTANAN BERDASARKAN PROTOKOL KYOTO................................................................................
26
A.
Hutan di Indonesia .......................................................
28
1. Tutupan Hutan........................................................
28
a. Laju Deforestrasi dan Emisi Karbon................
33
b. Lahan Kritis dan Produktivitas Hutan..............
36
2. Potensi Hutan .........................................................
44
a. Tekanan Kerusakan Hutan ...............................
44
b. Upaya Konservasi dan Pengendalian Kerusakan Hutan..............................................
45
Keanekaragaman Hayati ..............................................
48
1. Kondisi Keanekaragaman Hayati...........................
48
2. Ancaman Terhadap Kenaekaragaman Hayati........
80
3. Upaya Pengelolaan Keanekaragaman Hayati ........
82
Perubahan Iklim ...........................................................
87
1. Dampak Perubahan Iklim.......................................
91
2. Upaya Dunia Dalam Pengendalian Dampak Perubahan Iklim.......................................
93
3. Komitmen Indonesia Terhadap Perubahan Iklim ..
96
B.
C.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
D.
Kekuatan Hukum Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) Menurut Perundang – Undangan di Indonesia .............................................. ...................
99
RUANG LINGKUP MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH TERHADAP KAWASAN HUTAN BERDASARKAN PROTOKOL KYOTO........................................................
103
A.
Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) Kehutanan.
103
B.
Protokol Kyoto.............................................................
109
C.
Kebijakan Indonesia Terhadap Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) Kehutanan.....................
114
BERBAGAI PERMASALAHAN TEKNIS MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (CDM) KEHUTANAN........................................................
123
1. Baseline ...........................................................................
123
2. Non-permanence .............................................................
124
3. Uncertainties ...................................................................
125
4. Leakage ...........................................................................
127
5. Additionality....................................................................
128
6. Dampak Sosial dan Ekonomi ..........................................
128
7. Dampak Pada Ekosistem Alam.......................................
129
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................
130
A. Kesimpulan ......................................................................
130
B. Saran.................................................................................
131
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
133
BAB III
BAB IV
BAB V
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
DAFTAR TABEL Nomor
1 2
Judul
Halaman
Hasil Penafsiran Citra Satelit Pada Hutan Suaka Alam di Beberapa Provinsi Terpilih s/d Tahun 2003................
30
Luas Kawasan Hutan dan Perairan Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan, Tahun 2003 (Ha).......................
32
3
Produksi kayu Gergajian Menurut Provinsi, Tahun 2000 - 2004 ..................................................................... 38
4
Perkembangan Produksi Kayu Olahan Menurut Jenisnya, Tahun 1995/1996 – 2004............................................ 39
5
Produksi Kayu Lapis Menurut Provinsi, Tahun 2000–2004...... 40
6
Luas Kawasan Hutan Yang Perlu Direhabilitasi Sampai Dengan Tahun 2002 (Ha).............................................. 42
7
Realisasi Kegiatan Reboisasi 5 Tahun Terakhir, Tahun 2000 – 2004 (Ha) ....................................................................... 43
8
Status Keterancaman Jenis Dipterocarpaceae di TNBG Berdasarkan Daftar Merah IUCN .............................. 62
9
Jumlah Species Keanekaragaman Hayati................................... 64
10
Daftar Flora dan Fauna Yang Dilindungi Di Sumatera Utara.... 65
11
Daftar Flora dan Fauna Yang Tidak Dilindungi Di Sumatera Utara Yang Dimanfaatkan .................................... 69
12
Tumbuhan Darat......................................................................... 72
13
Satwa Daratan ............................................................................ 73
14
Tumbuhan Perairan .................................................................... 78
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
15
Potensi Lahan Yang Layak Untuk CDM ................................... 116
16
Potensi Penyimpanan Karbon ..................................................... 117
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
DAFTAR GAMBAR Nomor
Judul
Halaman
1
Gas Rumah kaca (GRK) ........................................................
91
2
Struktur Penunjukan Otoritas.................................................
114
3
Struktur Institusi Nasional untuk CDM .................................
114
4
Ilustrasi perhitungan keuntungan karbon dari proyek CDM Kehutanan ....................................................................
118
Ilustrasi pemberian kredit karbon...........................................
119
5
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
DAFTAR ISTILAH
Aforestrasi Konversi lahan bukan hutan menjadi lahan hutan melalui kegiatan penanaman (biasa disebut penghijauan) dengan menggunakan jenis tanaman (species) asli (native) atau dari luar (introduce). Menurut Marrakech Accord (2001) kegiatan penghijauan tersebut dilakukan pada kawasan yang 50 tahun sebelumnya bukan merupakan hutan. Akumulasi Terkumpulnya suatu zat tertentu menjadi satu kesatuan dalam kurun waktu tertentu. Atmosfer Lapisan udara yang menyelimuti planet bumi. Atmosfer terdiri dari nitrogen (79,1%), oksigen (20,9%), karbondioksida (+/- 0,03%) dan beberapa gas mulia (argon, helium, xenon dan lain-lain), ditambah dengan uap air, amonia, zat-zat organik, ozon, berbagai garam-garaman dan partikel padat tersuspensi. Atmosfer bumi terdiri dari berbagai lapisan, yaitu berturut-turut dari bawah ke atas adalah troposfer, stratosfer, mesosfer dan termosfer. Bahan Bakar Fosil Bahan bakar yang terbentuk dari fosil-fosil tumbuhan dan hewan di masa lampau. Contoh bahan bakar fosil (BBF) atau fossil fuel adalah minyak bumi, gas alam dan batu bara. BBF tergolong bahan bakar yang tidak terbarukan. Biogas Gas yang dihasilkan dari proses fermentasi mikroorganisme, biasanya dihasilkan dari bahan baku sampah organik ataupun dari sisa pencernaan (baca: kotoran) mahluk hidup. Unsur utama biogas adalah gas metana (CH4). Biomassa Total berat kering (dry weight) satu spesies atau semua spesies mahluk hidup dalam suatu daerah yang diukur pada waktu tertentu. Ada dua jenis biomassa, yaitu biomassa tanaman dan biomassa binatang. BOE Barrel Oil Equivalent. 6.000 cubic feet, faktor yang digunakan untuk mengkonversi volume dari hidrokarbon yang diproduksi.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
CH4 Gas Metana. Salah satu GRK utama yang memiliki GWP sekitar 25 kali CO2. GRK ini banyak dihasilkan dari dekomposisi bahan organik secara anaerobik, misalnya sawah, penimbunan sampah organik dan kotoran mahluk hidup. CO2 Karbondioksida. Salah satu dari enam GRK yang utama dan dijadikan referensi GRK yang lain dalam menentukan Indek GWP, sehingga GWP-nya = 1. GRK ini banyak dihasilkan dari pembakaran BBF, biomassa dan alih guna lahan. COP Conference of Parties. Konferensi para pihak (negara-negara) penandatangan konvensi PBB, dalam hal ini konvensi perubahan iklim (UNFCCC). COP/MOP Conference of Parties Serving as Meeting of Parties. Konferensi Para Pihak Konvensi Perubahan Iklim yang merupakan Pertemuan Para Pihak Protokol. Deforestasi Penebangan hutan atau konversi lahan hutan menjadi lahan tidak berhutan secara permanen. El Nino/ENSO Kadangkala disebut ENSO (El Nino-Southern Oscillation) adalah peristiwa meningkatnya suhu muka air laut di sebelah timur hingga tengah Samudra Pasifik. Peristiwa ini terjadi pada akhir tahun setiap 2-13 tahun sekali dan berlangsung selama 12-18 bulan. Emisi Zat yang dilepaskan ke atmosfer yang bersifat sebagai pencemar udara. ET Emission Trading. Mekanisme perdagangan emisi antar negara maju untuk menghasilkan AAU (Assigned Amount Unit), satuan penurunan emisi GRK. GWP Global Warming Potential. Indeks potensi pemanasan global, yaitu indeks yang mengunakan CO2 sebagai tolok ukur. Gigaton (109 ton) - unit yang kerap digunakan untuk menyatakan jumlah karbon atau karbondioksida di atmosfer.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Gletser Lapisan es yang besar yang bergerak di lereng gunung atau daratan karena adanya gaya gravitasi. Gletser biasanya bergerak sangat lambat, dari 10 m - 1000 m per tahun. Lapisan es ini luasnya bisa menyamai sebuah benua, contohnya lapisan es yang menutupi Benua Antartika.
HFCs Hidrofluorokarbon. Salah satu dari enam GRK yang diperhitungkan dalam pasal 3 Protokol Kyoto. HPH Hak Pengusahaan Hutan. Izin yang dikeluarkan untuk kegiatan pengelolaan hutan dengan sistim Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) di kawasan hutan-hutan alam produksi selama periode tertentu, umumnya 20 tahun, dan dapat diperbaharui lagi untuk satu periode selanjutnya, yaitu selama 20 tahun lagi. HTI Hutan Tanaman Industri adalah program penanaman lahan hutan tidak produktif dengan tanaman-tanaman industri seperti pohon kayu jati dan mahoni guna memasok kebutuhan serat kayu (dan kayu pertukangan) untuk pihak industri. IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change adalah suatu panel ilmiah yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia. Panel ini bertugas untuk mengkaji atau meneliti semua aspek dari masalah perubahan iklim. INC Intergovernmental Negotiating Organization. Panitia yang dibentuk PBB untuk mempersiapkan penyusunan UNFCCC sebelum dan sesudah Earth Summit (1992) di Rio de Janeiro. JI Joint Implementation adalah sebuah mekanisme penurunan emisi GRK yang dapat dilakukan oleh antarnegara maju untuk menghasilkan ERU (Emission Reduction Unit), satuan penurunan emisi GRK. Karbondioksida (lihat CO2) Keanekaragaman Hayati Kadangkala disebut biological diversity atau biodiversity, adalah keanekaragaman mahluk hidup dan hal-hal yang berhubungan dengan ekologinya, dimana mahluk
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
hidup tersebut terdapat. Keanekaragaman hayati mencakup keanekaragaman genetik, spesies dan ekosistem. LULUCF Land-use, Land-use Change and Forestry adalah kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan dan perubahan tata guna lahan serta kehutanan yang berpengaruh langsung terhadap emisi GRK karena adanya pelepasan dan penyerapan karbon, seperti dalam hal penebangan dan kebakaran hutan.
MW Megawatt = 1 juta watt
Reforestasi Umumnya berarti penanaman kembali pada lahan hutan yang rusak. Menurut Marrakech Accord (2001), kegiatan penanaman kembali ini dilakukan pada hutan yang telah rusak sebelum 31 Desember 1989. Salinitas Kemasinan atau kadar garam yang terdapat dalam sebuah larutan. Simpanan Karbon Banyaknya kandungan karbon yang ada di pohon pada suatu areal hutan. Asumsinya pohon menyerap dan menyimpan CO2. TSCF Terra Standart Cubic Feet = 1012 SCF (Standard Cubic Foot) tC/Tj ton Coal/Terra joule Vegetasi Tumbuh-tumbuhan pada suatu area yang terkait sebagai suatu komunitas tetapi tidak secara taksonomi. Atau, jumlah tumbuhan yang meliputi wilayah tertentu atau di atas bumi secara menyeluruh. UNFCCC United Nations Framework Convention on Climate Change adalah Konvensi PBB tentang perubahan iklim yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi GRK sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi. Konvensi ini sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No.6/1994.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
UNEP United Nations Environment Programme adalah sebuah badan PBB yang berwenang untuk meningkatkan kepedulian masyarakat dan negara anggota PBB akan masalahmasalah lingkungan. WMO World Meteorological Organization adalah suatu badan organisasi dunia yang bergerak di bidang meteorologi.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Clean Development Mechanism (CDM) atau yang diartikan dalam bahasa Indonesia dengan Mekanisme Pembangunan Bersih merupakan satu-satunya mekanisme dalam Protokol Kyoto yang memungkinkan peran negara berkembang untuk membantu negara Annex I dalam upaya mitigasi GRK (Gas Rumah Kaca).
Membicarakan Clean Development Mechanism (CDM), harus dikaitkan dengan terminologi perubahan iklim. Gas Rumah Kaca (GRK), Efek Rumah Kaca (ERK), Protokol Kyoto dan seterusnya. Secara umum iklim didefinisikan sebagai kondisi rata-rata suhu udara, curah hujan, tekanan udara, arah angin, kelembaban udara serta parameter iklim lainnya dalam jangka waktu yang panjang antara 30-100 tahun (inter centenial). Jadi berbeda dengan cuaca yang merupakan kondisi sesaat, iklim adalah rata-rata kondisi cuaca dalam jangka waktu yang sangat panjang. Perubahan iklim adalah terjadinya perubahan kondisi rata-rata parameter iklim. Perubahan ini tidak terjadi dalam waktu singkat (mendadak), tetapi secara perlahan dalam kurun waktu yang cukup panjang antara 50-100 tahun. 1
1
Chandra. Panjiwibowo, Dkk, Mencari Pohon Uang: CDM Kehutanan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pelangi Indonesia, 2003), hlm. 5
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Perubahan iklim terjadi akibat proses pemanasan global, yaitu meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat akumulasi panas yang tertahan di atmosfer. Akumulasi panas itu sendiri terjadi akibat adanya efek rumah kaca di atmosfer bumi. Efek rumah kaca (ERK) merupakan suatu fenomena dimana gelombang pendek radiasi matahari menembus atmosfer dan berubah menjadi gelombang panjang mencapai permukaan bumi. Setelah mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang tersebut dipantulkan kembali ke atmosfer. Namun tidak seluruh gelombang panjang yang dipantulkan itu dilepaskan ke angkasa luar. Sebagian gelombang panjang dipantulkan kembali oleh lapisan gas rumah kaca di atmosfer ke permukaan bumi. Proses ini dapat berlangsung berulang kali, sementara gelombang yang masuk juga terus bertambah. Akibatnya terjadi akumulasi panas di atmosfer. Kondisi ini sama persis seperti yang terjadi di rumah kaca yang digunakan dalam kegiatan pertanian dan perkebunan. Gas rumah kaca (GRK) adalah gas-gas yang diemisikan dari berbagai kegiatan manusia, yang memiliki kemampuan untuk meneruskan gelombang pendek dan mengubahnya menjadi gelombang yang lebih panjang. Selain itu, GRK juga memiliki kemampuan meneruskan sebagian gelombang panjang dan memantulkan gelombang panjang lainnya. Dalam Protokol Kyoto terdapat enam jenis GRK, yaitu karbondioksida (CO2), nitroksida (N2O), methana (CH4), sulfurheksafluorida (SF6), perflurokarbon (PFC) dan hidrofluorokarbon (HFC). 2 Secara alami, efek rumah kaca telah terjadi sejak adanya atmosfer bumi dan efek inilah yang telah memungkinkan suhu bumi menjadi lebih hangat dan layak dihuni. Para ahli mengatakan tanpa adanya atmosfer dan efek rumah kaca, suhu bumi akan 33oC lebih dingin dibandingkan saat ini. Perkembangan populasi dan aktivitas manusia terutama sejak revolusi industri di pertengahan abad XIX, telah meningkatkan emisi GRK dengan laju yang sangat tinggi dan akibatnya efek rumah kaca yang terjadi di atmosfer semakin kuat.
2
Ibid, hlm. 6
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
GRK dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia. Di Indonesia, hal ini dapat dibedakan atas beberapa hal, yaitu pemanfaatan energi yang berlebihan, kerusakan hutan, serta pertanian dan peternakan. Pemanfaatan energi yang berlebihan, terutama energi fosil, merupakan sumber utama emisi GRK. Hutan yang semakin rusak, baik karena kejadian alam maupun pembalakan liar akan menambah jumlah GRK yang diemisikan ke atmosfer dan akan menurunkan fungsi hutan sebagai penghambat perubahan iklim. Demikian pula halnya dengan kegiatan peternakan dan pertanian yang merupakan penyumbang gas metana yang kekuatannya 21 kali lebih besar daripada gas karbondioksida. 3 Data emisi GRK tahun 1990 yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dalam National Communicati 4 pada tahun 1997 memberikan gambaran bahwa kegiatan perubahan lahan dan kehutanan memberikan kontribusi terbesar bagi emisi GRK yaitu sekitar 63 persen. Sementara sektor energi menempati urutan kedua, sekitar 25 persen dari total emisi. Kontribusi sektor kehutanan dan perubahan lahan terutama disebabkan oleh tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia. Dalam dekade terakhir ini laju kerusakan hutan adalah sekitar 2 juta ha setiap tahunnya. Data terakhir menunjukkan bahwa kawasan hutan yang rusak telah mencapai lebih dari 43 juta hektar. 5 Pada saat terjadi kerusakan hutan akan terjadi pelepasan emisi karbon ke atmosfer. Melalui aktivitas deforestasi, sekitar 33 persen karbon akan dilepaskan ke atmosfer, sementara akibat pembakaran biomassa dan dekomposisi, emisi karbon yang dilepas ke atmosfer adalah sebesar 32 persen dan 22 persen. Emisi GRK dari sektor energi terutama disebabkan oleh pembakaran sumber energi fosil yang berlebihan terutama minyak bumi, gas bumi dan batubara. Kegiatan sehari-hari yang terkait dengan
3
Ibid, hlm. 7
4
Kementerian Lingkungan Hidup. Indonesia: the First National Communication to the UNFCCC. 1997 5
Forest Watch Indonesia. 2000.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
sektor ini adalah pembangkitan listrik serta penggunaannya, kegiatan industri, dan transportasi. Semakin boros pemanfaatan sumber energi ini, maka akan semakin banyak emisi GRK yang dihasilkan. Sektor pertanian dan peternakan juga memberikan kontribusi terhadap meningkatnya emisi GRK khususnya CH4 yang dihasilkan dari sawah tergenang. Selain CH4, GRK lain yang dikontribusikan dari sektor pertanian, adalah N2O yang dihasilkan dari pemanfaatan pupuk serta praktek pertanian. Sektor peternakan juga tak kalah dalam mengemisikan GRK. Proses fermentasi di dalam sistem pencernaan ternak seperti halnya kotoran yang dihasilkan, akan menghasilkan CH4. 6 Rangkaian kejadian ini dipercaya mengakibatkan terjadinya perubahan iklim yang akan memberikan dampak bagi kehidupan. Mengingat perubahan iklim bersifat global, maka dampak yang ditimbulkannya pun akan bersifat global pula. Tidak ada daerah yang akan luput dari dampak perubahan iklim, perbedaannya hanya pada tingkat dampak yang dirasakan serta kemampuan untuk beradaptasi. Dalam skala global, perubahan iklim akan mengakibatkan terjadinya pencairan lapisan es. Pencairan ini tidak hanya terjadi di daerah kutub tetapi juga di beberapa puncak gunung yang selama ini dipercaya ditutupi lapisan es abadi. Sejak dekade 1960-an, lapisan es yang menyelimuti bumi ini telah berkurang sebanyak 10 persen. Mencairnya lapisan es memberikan dampak berupa peningkatan volume air di permukaan bumi secara keseluruhan, terutama volume air laut. Selain itu, peningkatan suhu juga akan mengakibatkan meningkatnya pemuaian air yang akan berakibat pada peningkatan volume. Peningkatan volume air laut pada akhirnya akan mengakibatkan peningkatan tinggi muka air laut. Jika tinggi muka air laut meningkat dapat dibayangkan daerah pesisir akan berubah dari daratan menjadi lautan. Studi yang dilakukan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change
6
Chandra. Panjiwibowo, Dkk, op cit., hlm. 7
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
(IPCC) 7 menyatakan bahwa dalam 100 tahun terakhir telah terjadi peningkatan permukaan air laut setinggi 10-25 cm dan diperkirakan pada tahun 2100 peningkatan muka air laut akan mencapai 15-95 cm dibandingkan saat ini. Dengan kondisi tersebut akan banyak pulau-pulau serta wilayah pesisir yang tenggelam dan mengakibatkan sekitar 46 juta orang yang hidup di pesisir pantai harus mengungsi ke daerah yang lebih tinggi. Perubahan iklim juga akan mengakibatkan terjadinya pergeseran musim. Dibeberapa tempat, musim kemarau akan semakin panjang sementara musim hujan memendek. Akibatnya akan timbul bencana kekeringan. Kekeringan akan memberikan dampak turunan seperti kegagalan panen serta krisis air bersih. Musim kemarau yang panjang mengakibatkan terjadinya musim hujan yang pendek namun dengan intensitas yang sangat tinggi. Kondisi ini menyebabkan bencana banjir, badai dan tanah longsor. Dampak perubahan iklim juga dirasakan di Indonesia. Tidak dapat disangkal lagi, karena kondisi geografis dan topografisnya, Indonesia termasuk negara yang rawan terhadap dampak perubahan iklim. Di Indonesia sendiri telah terjadi peningkatan suhu udara sebesar 0,3oC sejak tahun 1990. Dan di tahun 1998, suhu udara mencapai titik tertinggi, yaitu sekitar 1oC di atas suhu rata-rata tahun 19611990. 8 Dampak lain yang diperkirakan terjadi akibat perubahan iklim adalah tak menentunya pola curah hujan. Dalam abad ini, curah hujan di Indonesia rata-rata turun sekitar 2-3 persen pertahun. Sebaliknya, akibat dari perubahan iklim, curah hujan diperkirakan justru akan meningkat di wilayah Indonesia bagian selatan.
7
Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001 : Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Summary for Policymakers and Technical Summary of the Working Group II Report. WMO-UNDP. 8
Hulme,M. and N.Sheard. 1999. Climate Change Scenarios for Indonesia. Climatic Research Unit. UEA, Norwich, UK.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Ketidakpastian musim akan mengganggu para petani dalam menjalankan kegiatannya. Bukan hanya musim tanam yang tak menentu, melainkan juga kegagalan panen akibat kemarau panjang atau hujan yang berlebih. Tak menentunya iklim menyebabkan turunnya produksi pangan di Indonesia, akibatnya Indonesia harus mengimpor beras. Peningkatan intensitas hujan akan menimbulkan banjir yang kemudian menyebabkan produksi padi menurun karena sawah terendam air. Tingginya curah hujan juga mengakibatkan hilangnya lahan dan erosi tanah. Akibatnya, kerugian pada sektor pertanian mencapai US$ 6 milyar pertahun. 9 Dengan naiknya permukaan air laut, banyak pulau-pulau kecil dan daerah landai di Indonesia akan tenggelam. Diperkirakan sekitar 2.000 pulau akan hilang dari wilayah Indonesia. 10 Akibatnya, masyarakat nelayan yang tinggal di sepanjang pantai akan semakin terdesak. Mereka akan kehilangan bukan saja tempat tinggal serta infrastruktur pendukung yang telah terbangun tetapi juga mata pencahariannya.
Hal ini terutama disebabkan oleh berkurangnya tangkapan ikan
akibat tak menentunya kondisi iklim –misalnya kecepatan angin- serta gangguan yang terjadi terhadap ikan di laut karena perubahan temperatur air laut. Kenaikan air laut juga akan merusak ekosistem hutan bakau (mangrove), serta mengubah sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir. Masalah lain yang ditimbulkan sebagai akibat naiknya muka air laut adalah memburuknya kualitas air tanah di perkotaan akibat intrusi (perembesan) air laut. Intrusi air laut juga mempengaruhi kondisi sungai dan danau dan akan berdampak terhadap kehidupan yang berlangsung di dalamnya. Kerusakan juga akan terjadi pada banyak infrakstruktur kota akibat salinitas air laut. Sektor kehutanan pun akan menerima dampak dari perubahan iklim ini. Ketidakmampuan beberapa jenis flora dan fauna untuk beradaptasi akan mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi ekologi hutan. Spesies yang tidak mampu beradaptasi akan punah sementara spesies yang lebih kuat
9
The Asian Development Bank. 1994. Socio-economic Impacts of Climate Change and a National Reponse Strategy. A Report of The Regional Study on Global Environment Issues: Country Study of Indonesia. 10
IPCC. 1990. Impacts Assessment of Climate Change – Report of Working Group II. Australian Government Publishing Service, Australia.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
akan berkembang tak terkendali. 11 Selain itu, panjang serta keringnya musim kemarau telah memacu peningkatan terjadinya kebakaran hutan. Dampak lain dari perubahan iklim di Indonesia adalah meningkatnya frekuensi penyakit tropis, seperti malaria dan demam berdarah. Tanpa adanya upaya memperlambat terjadinya perubahan iklim, diperkirakan kasus malaria yang pada tahun 1989 sebesar 2.705 akan menjadi 3.246 di tahun 2070, demikian pula dengan kasus demam berdarah dalam periode yang sama akan meningkat empat kali lipat. 12 Sudah barang tentu, dampak negatif akan dirasakan dalam bidang sosial dan ekonomi. Pada tahun 2000 kerugian akibat banjir, kebakaran hutan, topan serta musim kemarau di seluruh Indonesia berjumlah US$ 150 milyar dan menelan korban jiwa sebanyak 690. 13 Sementara studi yang dilakukan memperkirakan kerugian tahunan di sektor pertanian sebesar Rp. 23 milyar, di sektor pariwisata sebesar Rp. 4 milyar dan dana perbaikan infrastruktur pesisir sekitar Rp. 42 milyar 14 Konvensi Perubahan Iklim mulai ditandatangani di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, pada bulan Juni 1992. Setelah diratifikasi oleh sekitar 175 negara, pada tanggal 21 Maret 1994. Konvensi Perubahan Iklim akhirnya dinyatakan berkekuatan hukum dan bersifat mengikat para pihak yang telah meratifikasi. Indonesia meratifikasi Konvensi tersebut dengan Undang-Undang No. 6 tahun 1994. Konvensi ini bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca pada tingkat aman yang tidak membahayakan sistem iklim global. Dalam konvensi ini belum dicantumkan target-target yang mengikat. Namun demikian, konvensi ini membagi para pihak ke dalam dua kelompok, yaitu negara industri dan ekonomi dalam transisi yang terdaftar dalam Annex I (dikenal sebagai negara Annex I) serta negara berkembang yang dikenal dengan negara non-Annex I. 11
Rini Hidayati. 2001. Masalah Perubahan Iklim di Indonesia. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 12 13 14
ALGAS. Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca. 1997 Kompas, 7 Maret 2001 ALGAS. Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca. 1997
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Prinsip kesetaraan dan prinsip ‘common but differentiated responsibilities’ (prinsip tanggung jawab bersama dengan tingkat yang berbeda-beda) merupakan dasar dalam Konvensi ini. Karenanya, negara-negara Annex I harus melakukan langkah nyata dalam menurunkan emisi gas rumah kaca di dalam negerinya Pada tahun 1995, diselenggarakan Conference of the Parties (COP) untuk pertama kalinya di Berlin, Jerman. Pertemuan yang merupakan upaya negosiasi internasional ini menghasilkan kesepakatan untuk mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk menghadapi perubahan iklim. Termasuk di dalamnya untuk memperkuat komitmen negara Annex I, yang tidak tercantum di dalam konvensi, dengan mengadopsi suatu protokol atau bentuk hukum lainnya. Kesepakatan yang dihasilkan pada COP I kemudian dikenal dengan nama Berlin Mandate. Setelah melakukan negosiasi yang sangat intensif selama dua tahun, akhirnya disepakati sebuah protokol yang mengikat secara hukum dengan komitmen yang lebih tegas dan lebih rinci. Protokol Kyoto ini diadopsi pada pertemuan COP III di Kyoto, Jepang pada tahun 1997. COP III yang dikenal dengan Konferensi Kyoto merupakan sebuah ajang pergulatan antara negara maju dan berkembang. Negara Annex I yang dianggap telah lebih dahulu mengemisikan GRK ke atmosfer melalui kegiatan industrinya menolak untuk memberikan komitmen yang berarti di dalam Protokol Kyoto. Sementara negara berkembang merasa belum mampu untuk menurunkan emisi GRK-nya karena dianggap akan menghambat proses pembangunan di negaranya. Protokol Kyoto merupakan sebuah kesepakatan internasional yang menunjukkan upaya yang sangat serius dalam menghadapi perubahan iklim. Secara hukum Protokol Kyoto mewajibkan seluruh negara Annex I untuk secara bersama-sama menurunkan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5,2% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008 – 2012. 15 Mekanisme CDM memungkinkan negara Annex I untuk menurunkan emisi GRK secara lebih murah dibandingkan dengan mitigasi di dalam negerinya sendiri (domestic action). Oleh karenanya,
15
Chandra. Panjiwibowo, Dkk, op cit., hlm. 13
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
CDM beserta dengan dua mekanisme lainnya dikenal sebagai mekanisme fleksibilitas (flexibility mechanisms). Dalam pelaksanaan CDM, komoditi yang diperjualbelikan adalah reduksi emisi GRK tersertifikasi yang biasa dikenal sebagai CER (Certified Emission Reduction). CER ini diperhitungkan sebagai upaya negara Annex I dalam memitigasi emisi GRK dan nilai CER ini setara dengan nilai penurunan emisi yang dilakukan secara domestik dan karenanya dapat diperhitungkan dalam pemenuhan target penurunan emisi GRK negara Annex I seperti yang disepakati dalam Annex B Protokol Kyoto. 16 Perkembangan negosiasi internasional, baik mengenai Konvensi Perubahan Iklim maupun mengenai Protokol Kyoto yang berlangsung sejak awal dekade 90-an telah memunculkan berbagai isu baru. Salah satu isu baru ini adalah pelaksanaan CDM di sektor kehutanan. Sesungguhnya hutan memiliki peran yang unik dalam isu perubahan iklim. Peran utama hutan adalah untuk menyerap GRK — terutama karbon — yang ada di atmosfer. Karenanya kegiatan kehutanan dalam isu perubahan iklim ini termasuk dalam carbon sequestration activities, yaitu kegiatankegiatan yang menyerap karbon yang ada di atmosfer. Oleh sebab itu hutan juga dikenal sebagai carbon sinks (rosot karbon). Dengan perannya ini, hutan dapat membantu mencapai tujuan Konvensi Perubahan Iklim dalam menjaga stabilitas konsentrasi gas rumah kaca pada tingkat aman yang tidak membahayakan sistem iklim global. Mengingat peran hutan tersebut, maka diusulkan agar sektor kehutanan dapat pula digunakan dalam upaya penurunan emisi GRK secara global. Isu kehutanan, yang dalam Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto dimasukkan dalam isu Land-Use, Land-Use Change and Forestry (LULUCF), yaitu mengenai pemanfaatan lahan, perubahannya serta sektor kehutanan, sempat menjadi isu kunci dalam beberapa COP, terutama dalam COP VI di Den Haag tahun 2000 dan COP VI-bis (bagian kedua dari COP VI) di Bonn tahun 2001. Dokumen yang dihasilkan pada COP VI-bis, yang dikenal sebagai Bonn Agreement, akhirnya memuat kesepakatan mengenai pemanfaatan sektor
16
Chandra. Panjiwibowo, Dkk, op cit., hlm. 17
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
kehutanan dalam CDM yang terbatas pada kegiatan reforestasi (reforestation) dan aforestasi (aforestation). 17 CDM Kehutanan memiliki berbagai permasalahan teknis yang hingga COP VIII belum berhasil disepakati. Permasalahan tersebut mengenai baseline yaitu kondisi yang digunakan sebagai dasar perhitungan bagi besarnya CER (Certified Emission Reduction) yang dihasilkan. Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam CDM Kehutanan adalah besarnya ketidakpastian (uncertainties) yang ada. Ketidakpastian ini terutama dalam hal perhitungan (measurement uncertainty) dan dalam hal menentukan parameter yang terkait dengan CDM Kehutanan. Indonesia yang kaya akan biodiversity dan merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki kawasan hutan tropis (rain forest) sangat potensial untuk dijadikan kawasan project CDM. Salah satu kawasan hutan yang ada adalah kawasan hutan di Sumatera. Selain hutan Leuser dengan Kawasan Taman Nasional Gunung Lesuser nya, kawasan hutan Batang Toru juga menyimpang keanekaragaman hayati (biodiversity) yang tinggi dan layak untuk dilindungi sehingga potensial sebagai lahan project CDM. Kawasan Hutan Batang Toru secara goegrafis terletak antara 980 53, - 990 26, bujur timur dan 020 03, - 010 27, lintang utara. Hutan alami (primer) yang tersisa saat ini di Batang Toru seluas 136.284 ha dan berada di blok barat seluas 81.344 ha, di blok timur 54.940 ha. Secara administrative lokasi ini terletak di wilayah 3 kabupaten, yakni Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah. 89.236 ha atau sekitar 65,5 persen terletak di wilayah Kabupaten Tapanuli Utara yang mengairi areal persawahan di lembah Sarulla dan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Sipansihaporas serta Aek Raisan. Sisanya dibagi dua wilayah Kabupaten Tapsel dan Tapteng. Dari hasil survey YEL (Yayasan Ekosistem Lestari), hutan Batang Toru merupakan daerah tangkapan air untuk 10 sub-DAS, dimana kawasan DAS ini masih memiliki tutupan hutan yang masih utuh dibagian hulunya dan merupakan fungsi penting sebagai penyangga dan pengatur tata air maupun sebagai pencegah bencana. 10 sub-DAS yang berasal dari hutan Batang Toru adalah Sipansihaporas, 17
Chandra. Panjiwibowo, Dkk, op cit., hlm. 29
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Aek Raisan, Batang Toru Ulu, Sarulla Timur, Aek Situmandi, Batang Toru Ilir (Barat dan Selatan), Aek
Garoga,
Aek
Tapus
dan
Sungai
Pandan.
Dalam hal ini, air di Batang Toru sangat penting untuk masyarakat sekitarnya untuk lokasi perkebunan dan persawahan, terutama untuk kehidupan manusia. Disamping untuk sumber kehidupan itu, saat ini dilema untuk mempertahankan keperawanan (The Virgin Forest) hutan ini menjadi sebuah tantangan bagi semua pihak untuk tetap melestarikan dan menjaganya. Dilema kedua adalah rencana pembangunan industri Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi/Geothermal PLTP Sarulla di Taput, Pertambangan Emas oleh PT. Agincourt Oxiana (dulu PT.Newmont Horas Nauli) di Tapanuli Selatan dan PLTA Sipansihaporas di Tapanuli Tengah. Ketiga industri ini tentunya sangat membutuhkan sumber air dari hutan Batang Toru. Proyek PLTP Sarulla tentunya akan sangat membutuhkan ketersediaan sumber air bawah tanah yang berkelanjutan, maka semuanya itu tergantung kepada kelestarian ekosistim yang ada di hutan tersebut. Proyek penambangan emas oleh PT.Agincourt yang berdekatan dengan hutan Batang Toru di blok barat juga sangat mengharapkan resapan air dari hutan Batang Toru, dimana sebagaian dari wilayah pertambangan ini masih merupakan tutupan hutan primer. Sedangkan untuk PLTA Sipansihaporas jelas merupakan teknologi yang membutuhkan perhitungan cukup teliti mengenai debit air yang akan digunakan untuk pembangkit tenaga listrik. Dimana PLTA Sipansihaporas ternyata dapat menghasilkan tenaga listrik 50 MW. Khusus untuk PLTA Sipansihaporas, pihak pengelola proyek ini sudah sepantasnya berterimakasih kepada Pemkab/Kabupaten Tapanuli Utara, karena rata-rata air sungai tangkapan Hutan Batang Toru bersumber dari wilayah kabupaten ini. Yang menjadi pertanyaan, apakah PLTA Sipansihaporas akan nantinya akan memberikan sumbangsih semisal Community Development (CD) atau semacam sumbangan atas pemfaatan jasa pelestarian alam ke Kabupaten Tapanuli Utara ? Hutan Batang Toru memiliki Geografi/topografi yang sangat rumit dan bergelombang. Jenis hutan yang dapat ditemui saat ini adalah hutan pegunungan rendah, hutan gambut, hutan batu kapur dan
hutan
berlumut.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Tanah dan air di hutan Batang Toru memiliki keasaman PH 4-5 dengan air berwarna coklat jernih. Sedangkan jenis-jenis pohon yang ada didominasi Cemara Gunung (Atturmangan/Casuarina sp), Sappinur Tali (Dacridium spp) dan jenis-jenis mayang (palaquiumspp) disamping itu juga terdapat jenis-jenis pohon Famili Theaceae, Sapotaceae dan Lauraceae. Survei Vegetasi yang dilakukan oleh YEL beberapa tahun yang lalu, ditemukan 11 jenis tanaman yang merupakan spesies baru di dunia ilmiah. Disamping itu juga ditemukan beragam jenis vegetasi khas Sumatera, seperti bunga bangkai Rafflesia Gadutensis dan bermacam-macam bunga anggrek. Sementara itu, rata-rata curah hujan di hutan Batang Toru bias mencapai 4.500 sampai 5.000 mm per tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa curah hujan dilokasi tersebut cukup tinggi, karenanya suhu pada malam harinya dilokasi ini bisa menurun hingga 14 derajat celcius. Dengan kondisi hutan dimaksud, kawasan hutan Batang Toru Tapanuli Utara sudah selayaknya dijadikan site bagi CDM project berdasarkan Protokol Kyoto jika permasalahan dan kendala dalam CDM itu sendiri dapat diselesaikan dengan baik sesuai dengan harapan dunia sebagai usaha penurunan efek Gas Rumah Kaca.
B. Perumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang di atas, maka beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut tentang : 1.
Apakah Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto memilki kekuatan hukum secara global ?
2.
Sejauh mana ruang lingkup Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto ?
3.
Permasalahan apa yang dihadapi dalam penerapan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto ?
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah tentang 1.
Untuk mengetahui kekuatan hukum Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto.
2.
Untuk mengetahui sejauh mana ruang lingkup Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto.
3.
Untuk menemukan permasalahan yang dihadapi dalam penerapan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto
D. Manfaat Penelitian Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yaitu baik secara teoritis maupun secara praktis, yakni tentang : 1.
Secara teoritis Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut dan mempunyai arti penting bagi negara-negara Annex I dan Non Anex I khususnya Indonesia dalam kaitannya dengan penerapan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto. Dan diharapkan dapat memberi manfaat bagi bidang ilmu hukum secara umum dan hukum administrasi negara secara khusus.
2.
Secara praktis a.
Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah dan aparat penegak hukum dalam upaya pembaharuan dan pengembangan hukum nasional kearah penerapan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto.
b.
Sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk menambah wawasan ilmu hukum terutama dalam bidang hukum administrasi negara, khususnya mengenai Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) Terhadap Kawasan Hutan
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Berdasarkan Protokol Kyoto” belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut asli dan sesuai dengan azas-azas keilmuan yang jujur, rasional dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsep a. Kerangka Teori Menentukan suatu teori dalam penelitian adalah penting, sedemikian pentingnya sehingga menurut David Madsen sebagaimana dikutip oleh Lintong O. Siahaan mengatakan “The basic purposes of scientific research is theory he adds that a good theory properly seen present a systematic view of phenomene by specifiying realitations among cariables, with the purposes of exploring and prediction the phenomenona” 18
Kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisi serta untuk menganalisis berbagai permasalahan mendasar dalam penelitian ini adalah teori negara hukum kemudian untuk mendukung teori ini digunakan teori negara kesejahteraan. Penjelasan terhadap landasan teoritis tersebut adalah sebagai berikut: 1. Teori Negara Hukum Konsepsi Negara Hukum adalah suatu gagasan bernegara yang paling ideal. Gagasan negara hukum ini telah berkembang sejak Plato menulis Nomoi atau bahkan jauh sebelum itu 19. Gagasan negara hukum didasari oleh suatu keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil 20. Immanuel
Kant,
dalam
bukunya
Methaphysiche
Ansfagrunde
der
Rechtslehre,
mengemukakan konsep negara hukum liberal. Kant mengemukakan paham negara hukum dalam arti
18
Lintong O. Siahaan. Prospek PTUN sebagaimana Penyelesaian Sengketa Administrasi Indonesia. Cetakan pertama. (Jakarta. Perum Percetakan Negara RI. 2005) hlm. 5 19 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 7 20
Franz Magnis Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 295
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
sempit, yang menempatkan fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat pelindung hak – hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai pemeliharaan ketertiban dan keamanan
masyarakat.
Paham
Kant
ini
terkenal
dengan
sebutan
nachtwakerstaat
atau
nachtwachterstaat 21 2. Teori Negara Kesejahteraan Negara Kesejahteraan adalah sebuah Negara yang memiliki wewenang secara bebas digunakan (tujuan politik dan administrasi) untuk memodifikasi percaturan kekuatan pasar yang paling tidak pada tiga ketentuan – yang pertama dengan memberi garansi baik secara individu dan masyarakat untuk mendapatkan penghasilan minimum terlepas dari nilai pasar dari kerja atau kekayaan; kedua dengan membatasi perluasan rasa tidak aman dengan memberdayakan individu atau masyarakat guna mendapatkan kemungkinan – kemungkina sosial ….. yang sebaliknya akan menggiring (menghilangkan) krisis invidu atau masyarakat itu; dan yang ketiga dengan memberi keyakinan bahwa seluruh masyarakat tanpa perbedaan status atau kelas ditawarkan standar yang memuaskan dalam kaitannya dengan pelayanan public. (Briggs 1967 : 29) Selanjutnya Briggs menjelaskan lagi : It is duty of the community through the power of the state to modify deliberately the normal play of economic forces in a market economy in order to assist the needs of the underprivileged groups and individuals by providing every citizen with a basic real income adequate for subsistence, irrespective of the market value of his work. (Briggs, 1967 : 72) 22 Merupakan tanggung jawab masyarakat lewat kekuasaan Negara untuk memodifikasi secara bebas permainan kekuatan ekonomi lewat pasarnya dalam usaha untuk membantu memenuhi kebutuhan kelompok masyarakat atau individu yang serba kekurangan dengan memberi setiap penduduk penghasilan yang memadai dalam mencari nafkah hidup, terlepas dari nilai pasar dari kerja mereka (Briggs. 1967 : 72) 3. Teori Sistem Hukum Analitis Mekanis 23 Teori ini dikenal juga dengan sebutan Metode Mekanis (piecemeal Method Analytic). Konsep dasar teori ini adalah: “Piecemeal approach; it is analytic in the sense that the entity of interest is divided into simple component parts, which are investigated separately” Teori ini mengatakan bahwa setiap bagian dari keseluruhan dipandang sebagai bagian yang terpisahkan dari keseluruhan itu.
21
Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum – Suatu Studi Tentang Prinsip – Prinsipnya Dilihat Dari Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah Dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 66 22 Op.cit, hlm. 47 23
Lili Rasjidi dan I.B Wyas Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung, Penerbit CV. Mandar Maju, 2003, hlm. 52
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Sedangkan kerangka konsepsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penjelasan dan penjabaran dari maksud dan arti dari terminologi pokok pembahasan sebagai elemen dasar dari maksud dan tujuan dari pembahasan penelitian dimaksud. b. Kerangka Konsep Adapun kerangka konsepsi tersebut adalah pengertian dari terminologi berikut: 1. Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism); yaitu salah satu instrument dalam mitigsi perubahan iklim, yang hingga saat ini adalah satu – satunya mekanisme fleksibel yang melibatkan negara – negara berkembang dalam pelaksanaannya. 24 2. Kawasan Hutan; adalah suatu zona atau areal tumbuhnya vegetasasi flora dan fauna dengan berbagai keakeragaman hayatinya. 3. Protokol Kyoto; adalah merupakan sebuah kesepakatan internasional yang menunjukkan upaya yang sangat serius dalam menghadapi perubahan iklim. Secara hukum Protokol Kyoto mewajibkan seluruh negara Annex I untuk secara bersama-sama menurunkan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5,2% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008 – 2012. 25 G. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang dilakukan dengan cara terlebih dahulu meneliti bahan-bahan kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti dan mengacu kepada norma-norma hukum yang
24
Meuthia A Naim, Panduan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim, Edisi Kedua, KLH-RI, 2007, hlm. 15 25
Chandra. Panjiwibowo. Op.cit., hlm. 13
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
terdapat dalam peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan pendapat ahli hukum maupun pendapat praktisi hukum kemudian dikaitkan dengan data primer. 2. Spesifikasi Penelitian Sesuai dengan rumusan penelitian maka penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang betujuan menggambarkan prinsip-prinsip hukum dalam penerapan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto.
3. Metode Pengumpulan Data
Menitikberatkan pada penelitian kepustakaan (library research) dan berdasarkan kepada data sekunder dan data primer, maka bahan kepustakaan yang digunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok yaitu: 26 a.
Bahan Hukum Primer; yaitu bahan – bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari: 1.
Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945;
2.
Peraturan dasar, yaitu:
3.
a.
Batang tubuh UUD 1945;
b.
Ketetapan – ketetapan MPR(S)
Peraturan Perundang – undangan: a.
Undang – Undang atau Perpu;
b.
Peraturan Pemerintah;
c.
Keputusan Presiden;
d.
Keputudan Menteri;
e.
Peraturan Daerah.
4.
Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, misalnya hukum adat.
5.
Yurisprudensi;
6.
Traktat;
7.
Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku, misalnya KUHP (WvS) dan KUHPerdata (BW).
26
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, “Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat”, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 14
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
b.
Bahan Hukum Sekunder; yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya rancangan undang – undang (RUU), rancangan peraturan pemerintah (RPP), hasil penelitian (hukum), hasil karya (ilmiah) dari kalangan hukum dan sebagainya.
c.
Bahan Hukum Tertier; yakni bahan – bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya: kamus – kamus (hukum), ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya. Agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahannya, maka kepustakaan yang dicari dan dipilih harus relevan dan mutakhir. 27
4. Alat Pengumpulan Data Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan sehingga data yang dikumpulkan pada dasarnya merupakan data sekunder sehingga alat yang digunakan adalah studi dokumentasi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelaahan kepustakaan berupa peraturan perundang – undangan yang berhubungan dengan masalah yang dikaji. Dilakukan pula penelaahan terhadap bahan – bahan hukum lainnya, seperti karya ilmiah dan kamus yang membantu dalam menganalisis dan memahami penerapan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan protokol Kyoto. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui data kepustakaan dan didukung dengan data hasil wawancara dengan informan atau responden lainnya. 5. Metode Analisis Data Kegiatan analisis dimulai dengan melakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul melalui study kepustakaan (Library Research), peraturan perundang-undangan, yang berkaitan dengan judul penelitian lainnya untuk mendukungnya. Kemudian baik data primer maupun data sekunder dilakukan analisis penelitian. Dengan analisis kualitatif juga dilakukan interpretasi. Berdasarkan metode interpretasi ini diharapkan dapat menjawab permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.
Penelitian hukum normatif yang dilakukan di sini mengutamakan penelitian Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto.
27
Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta : PT. Rajawali Grafindo Persada, 2003), hlm. 116-117
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
BAB II KEKUATAN HUKUM MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (CDM) TERHADAP KEHUTANAN BERDASARKAN PROTOKOL KYOTO
Sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragman Hayati, visi dari pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia adalah ”terwujudnya masyarakat Indonesia yang peduli, berbudaya, mandiri dan cerdas dalam melestarikan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati secara optimal, adil dan berkelanjutan melalui pengelolaan yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”. Rencana aksi pengelolaan keanekaragaman hayati untuk tahun 2003 – 2020 dijabarkan ke dalam lima tema utama yaitu: 1.
Pembanguna kapasitas manusia dan masyarakat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati;
2.
Pengembangan sumber daya, teknologi dan kearifan lokal;
3.
Peningkatan konservasi dan rehabilitasi keanekaragaman hayati;
4.
Peningkaran kapasitas kelembagaan dan pranata kebijakan;
5.
Peningkatan kapasitas penyelesaian konflik. Dalam setiap tema diajukan program-program beserta indikator kinerja keberhasilan dan
usulan lembaga yang melakukan. Semua ini dimaksudkan menjadi langkah-langkah untuk mengatasi krisis keanekaragaman hayati dan mengembalikan perannya sebagai aset bangsa. Perubahan iklim akan mempengaruhi ekosistem yang ada sehingga berdampak langsung terhadap kelestarian keanekaragaman hayati. Hal ini tentunya akan menjadi tantangan bagi Indonesia untuk dapat mencapai visi pengelolaan keanekaragaman hayati. Agenda adaptasi terhadap perubahan iklim diharapkan mampu mengurangi terhadap ekosistem, seperti polusi dan penggunaan sumber daya secara berlebih, sehingga dapat mengurangi kerusakan sistem dan kepunahan spesies. Rencana aksi sektor kehutanan dan keanekaragaman hayati termasuk:
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
1.
Hutan berfungsi mengatur iklim mikro dan memberikan layanan lingkungan (alam) seperti air kepada masyarakat dan pengguna jasa alam di hilit, tempat hidup berbagai aneka ragam hayati dan memberikan kekayaan hasil hutan berupa kayu dan produk non-kayu seperti damar, rotan, madu dan bahan obat-obatan yang menjadi mata pencaharian penduduk di sekitar hutan. Perubahan iklim dapat memberikan dampak serius terhadap layanan alam maupun kerusakan hutan (seperti kebakaran) jika hutan tidak dikelola dengan baik. Usaha perlindungan terhadap ekosistem hutan dengan peran penting dalam memberikan hasil kekayaan dan jasa lingkungan perlu terus dilakukan.
2.
Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Perubahan iklim bisa berdampak serius terhadap keanekaragaman hayati tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan inventarisasi keanekaragaman hayati di Indonesia. Perlu dibuat bank genetik berbagai spesies tumbuhan yang ada di tanah air. Dengan demikian kekayaan hayati tersebut dapat dijaga untuk memberikan manfaat bagi bangsa.
A. Hutan di Indonesia 1. Tutupan Hutan Dalam RPJMN 2005 – 2009, kebijakan pembangunan diarahkan pada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang seimbang, antara fungsinya sebagai modal pertumbuhan ekonomi dan sebagai penopang sistem kehidupan, untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional. Sebagai sumber devisa dan modal pembangunan Sumber Daya Alam adalah seluruh sumberdaya, yang mencakup materi, energi, dan set informasi yang tersedia di alam dan merupakan ciptaan Tuhan untuk dimanfaatkan dan dikelola. Sedangkan lingkungan hidup itu sendiri diartikan sebagai ruang atau wadah di mana manusia melangsungkan kehidupannya, sekaligus tempat dimana Sumber Daya Alam
berasal
harus dilindungi dan dilestarikan fungsinya. Kegagalan dalam
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
pengelolaan sumber daya alam ini akan mengakibat dampak buruk bagi kelangsungan hidup manusia di atas bumi ini. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya yang sangat penting karena melingkupi sebagian besar wilayah daratan Indonesia dan menjadi paru-paru dunia. Hutan di Indonesia memiliki fungsi yang beragam baik dari segi ekonomi maupun dari segi lingkungan. Hutan merupakan habitat bagi berbagai jenis flora dan fauna karena hutan-hutan di Indonesia terkenal memiliki keanekaragaman hayati yang sangat besar. Selain itu hutan yang luas tersebut merupakan benteng pencegah bencana alam. Sebagai wahana penyimpan air misalnya, hutan-hutan di Indonesia menjadi tanggul alam pencegahan banjir dan erosi. Demikian pula dalam fungsinya sebagai penahan laju angin (windbreaks), hutan-hutan tersebut mencegah terjadinya badai. Dengan demikian hutan dapat mempengaruhi keadaan cuaca dan iklim global. Dalam hubungannya dengan perubahan iklim global, Indonesia mempunyai peranan strategis dalam struktur iklim geografi dunia, karena sebagai negara tropis ekuator yang mempunyai hutan tropis basah terbesar kedua di dunia dan negara kepulauan yang memiliki laut terluas di dunia, mempunyai fungsi sebagai penyerap emisi gas-gas rumah kaca yang menyebabkan terjadinya pemanasan global, sebagai salah satu penyebab terjadinya perubahan iklim global. Dari luas daratan Indonesia yang lebih dari 191 juta hektar, lebih dari 58 persennya berupa hutan. Perubahan luas hutan alam terjadi sebagai akibat dari berbagai kebutuhan, baik oleh pemerintah maupun oleh rakyat, atau karena terjadinya bencana. Untuk menjaga kelestarian besaran hutan, pemerintah telah menetapkan luas hutan menurut berbagai fungsinya, sehingga hanya hutan yang dapat dikonversi saja yang dapat dimanfaatkan untuk fungsi hutan lain atau penggunaan lain. Perluasan hutan produksi dari hutan-hutan alam merupakan konsekuensi logis dari aspek ekonomi pengusahaan hutan di Indonesia yang juga merupakan salah satu sumber devisa negara. Kebutuhan akan berbagai hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga domestik, seperti membuat rumah, mebel, dan peralatan rumah tangga lainnya juga merupakan penyebab tingginya permintaan akan hasil hutan.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Berbagai kegiatan atau bencana alam yang terjadi di wilayah kawasan hutan alam seperti misalnya kegiatan peladang berpindah, pertambangan dan kebakaran hutan telah menyebabkan berkurangnya areal berhutan di hutan-hutan alam. Contoh lain adalah hasil penginderaan jauh dengan satelit untuk kawasan hutan suaka alam, yang menemukan bahwa pada tahun 2003, sebesar 2.871.000 hektar dari kawasan hutan tersebut ternyata bukan lagi masuk dalam kategori hutan. Kenyataan ini cukup mengkhawatirkan, terutama pada kawasan suaka alam di beberapa provinsi, karena proses perusakan yang terjadi pada hutan alam itu tidak dapat dipantau dengan mudah, terutama diakibatkan oleh lokasi kerusakan yang jauh di pedalaman hutan (lihat Tabel 1).
Tabel 1 : Hasil Penafsiran Citra Satelit Pada Hutan Suaka Alam Di Beberapa Provinsi Terpilih s/d Tahun 2003
Provinsi
Hutan Suaka Alam % Tidak Tertutup
Hasil Penafsiran
Awan Luas Yang Ditaksir (000 Ha)
Hutan Bukan Hutan (000 Ha)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
N. Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur
752 200 667 267 536 440 539 384 0 101 8 1 226 73 19 127 279 1.374 593 117 1.423
97 91 90 88 65 89 44 58 0 85 38 0 88 90 63 52 49 86 87 61 83
729 181 603 236 349 390 239 224 0 86 3 0 198 66 12 66 138 1.184 516 71 1.184
23 19 64 31 187 50 300 160 0 15 5 1 28 7 7 61 141 190 77 46 239
Lanjutan Tabel 1
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Provinsi
Hutan Suaka Alam % tidak tertutup
Hasil Penafsiran
Awan Luas Yang Ditaksir
Hutan Bukan Hutan (000 Ha)
(000 Ha) (1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Sulawesi Utara 121 83 101 Sulawesi Tengah 372 88 328 Sulawesi Selatan 83 76 63 Sulawesi Tenggara 208 77 161 Gorontalo 164 94 154 Maluku 284 83 237 Papua 26 77 20 5.384 INDONESIA 15.794 82 12.923 Sumber: Departemen Kehutanan, Statistik Badan Planologi Kehutanan 2003
20 44 20 47 10 47 6 1.026 2.871
Untuk mengetahuinya dibutuhkan dana yang tidak sedikit, maka dikhawatirkan jumlah areal kerusakan itu semakin lama akan semakin besar. Dampak aktivitas terhadap lingkungan alam, yaitu perubahan yang diantaranya diakibatkan oleh aktivitas yang dilakukan manusia pada lingkungan alam, merupakan faktor penekan lingkungan, yang menyebabkan semakin menurunnya kualitas lingkungan, termasuk kualitas hutan. Departemen Kehutanan khususnya Direktorat Planologi Kehutanan, melalui pola pembagian Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan (RPPH), membagi kawasan hutan menjadi hutan tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi, serta areal penggunaan lain. Hutan tetap di Indonesia pada tahun 2003 mencapai sekitar 109,9 juta hektar yang diantaranya meliputi hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi, dan hutan produksi yang dapat dikonversi. Luas kawasan hutan lindung masih termasuk yang terbesar yaitu 29.100.016 hektar, sedangkan yang terkecil adalah hutan produksi yang dapat dikonversi, yaitu sebesar 13.670.535 hektar (lihat Tabel. 2)
Tabel 2 : Luas Kawasan Hutan Dan Perairan Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Tentang Penunjukan Kawasan Hutan Dan Perairan, Tahun 2003 (Ha) Hutan Provinsi HL HPT HP HPK Tetap (1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
N. Aceh Darussalam 1.844.500 37.300 601.280 Sumatera Utara Sumatera Barat 910.533 246.383 407.849 189.346 Riau Jambi 191.130 340.700 971.490 Sumatera Selatan 760.523 217.370 2.293.083 431.445 Bengkulu 252.042 189.075 34.965 Lampung 317.615 33.358 191.732 DKI Jakarta 45 158 Jawa Barat 291.306 190.152 202.965 Jawa Tengah 75.538 174.185 396.751 DI Yogyakarta 2.058 13.851 Jawa Timur 315.505 811.583 Banten 11.715 19.810 51.330 Bali 95.766 6.719 1.907 Nusa Tenggara Barat 421.854 334.409 126.278 Nusa Tenggara Timur 731.220 197.250 428.360 101.830 Kalimantan Barat 2.307.045 2.445.985 2.265.800 514.350 Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan 554.139 155.268 688.884 265.638 Kalimantan Timur 2.751.702 4.612.965 5.121.688 Sulawesi Utara 341.447 552.573 168.108 34.812 Sulawesi Tengah 1.489.923 1.476.316 500.589 251.856 Sulawesi Selatan 1.944.416 855.730 188.486 102.073 Sulawesi Tenggara 1.061.270 419.244 633.431 212.123 Maluku 1.809.634 1.653.625 1.053.171 2.304.932 Papua 10.619.090 2.054.110 10.585.210 9.262.130 INDONESIA 29.100.016 16.212.527 27.738.950 13.670.535 Sumber : Departemen Kehutanan, Statistik Badan Planologi Kehutanan 2003 Keterangan: HL : Hutan Lindung; HPT : Hutan Produksi Terbatas; HP : Hutan Produksi; HPK : Hutan Produksi yang dapat Dikonversi
3.549.813 2.600.286 2.179.440 4.416.837 920.964 1.004.735 108.475 816.603 761.560 16.820 1.357.337 228.468 130.687 1.021.566 1.808.990 9.178.760 1.839.494 14.651.553 1.615.070 4.394.932 3.879.771 3.990.137 7.264.707 42.224.840 109.961.845
a. Laju Deforestrasi dan Emisi karbon Sebuah laporan yang dipublikasikan oleh PT. Pelangi Energi Abadi Vitra Enviro (PEACE 2007) disponsori oleh World Bank dan Department for International Development, Inggris dalam kaitannya dengan persiapan COP UNFCCC 13 di Bali bulan Desember tahun 2007, menyebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke3 negara-negara penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar di dunia. Dari
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
sekitar 3.014 M1CO2e GRK yang teremisikan, sekitar 2.563 M1CO2e diantaranya (85%) berasal dari sektor kehutanan yang terjadi terutama karena proses deforestrasi. Perkiraan tingkat emisi yang terutama diakibatkan oleh deforestrasi ini dikutip oleh PEACE dari tulisan Baumert et al. (2005) yang mendasarkan tulisan mereka pada laporan Houghton (2003). Data emisi karbon tersebut dihitung berdasarkan tingkat deforestrasi yang dipublikasikan oleh FAO (2001). Laporan PEACE kemudian menjadi salah satu bahan yang sering dirujuk oleh berbagai tulisan dalam berbagai media massa di dalam dan luar negeri berkaitan dengan persoalan pemanasan global dan perubahan iklim. Sehubungan dengan deforestrasi, terdapat berbagai data yang menunjukkan tingkat deforestrasi yang berlangsung di Indonesia. PEACE (2007) misalnya, menyebutkan bahwa World Bank memperkirakan perubahan tata guna lahan dan deforestrasi di Indonesia berkisar 2 juta hektar per tahun. Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch (FWI/GFW, 2002) dengan mengutip pendapat Holmes (2000), menyebutkan bahwa tingkat deforestrasi di Indonesia mencapai 1 juta hektar per tahun pada periode 1980an, meningkat menjadi sekitar 1,7 juta hektar per tahun pada 1990an, dan sejak 1996 meningkat lagi menjadi sekitar 2 juta hektar per tahun. Data ini, khususnya yang terjadi pada akhir 1990an kurang lebih sama dengan yang dipublikasikan FAO (2001a) Data yang berasal dari Departemen Kehutanan Republik Indonesia juga menunjukkan pola yang kurang lebih sama. Namun, sejak tahun 2000 tingkat deforestrasi mengalami penurunan. Seperti yang dilaporkan dalam laporan Status
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Lingkungan Hidup Indonesia 2006, laju deforestrasi pada kurun waktu 1982-1990 mencapai angka 900.000 hektar per tahun. Laju deforestrasi meningkat menjadi 1,8 juta hektar per tahun pada kurun waktu 1990-1997 dan meningkat lagi menjadi 2,83 juta hektar per tahun pada kurun waktu 1997-2000 (kebakaran hutan yang hebat tampaknya menjadi penyebab tingginya tingkat deforestrasi pada kurun waktu ini). Sejak tahun 2000, tingkat deforestrasi menurun menjadi rata-rata 1,19 juta hektar per tahun 28. Pada tahun 2007 Departemen Kehutanan Republik Indonesia melakukan analiis yang lebih detail dengan citra SPOT vegetasi resolusi 1 km untuk mengetahui tingkat deforestrasi pad kurun waktu 2000-2005. Berdasarkan analisis ini, diperoleh data bahwa laju deforestrasi berkisar 1,09 juta hektar per tahun. Suatu perhitungan yang bahkan lebih konservatif mengenai tingkat deforestrasi ini juga dilakukan oleh Departemen Kehutanan bekerja sama dengan South Dakota State University. Dengan menggunakan MODIS, diketahui bahwa pada periode 2000-2005 rata-rata laju deforestrasi di Indonesia berjumlah 0,73 juta ha/tahun 29 Analisis yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan pada tahun 2007 tentang tingkat deforestrasi dan implikasinya terhadap tingkat emisi karbon tampaknya sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Houhgton dan Goodale (2004) yang mengemukakan bahwa perkiraan deforestrasi di kawasan tropis, berdasarkan data satelit terkini, adalah lebih rendah dari perkiraan tingkat deforestrasi yang 28
KNLH, 2007
29
Boer, tanpa tahun
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
dilaporkan FAO (2001a) yang digunakan oleh Houghton (2003b) untuk menghitung emisi karbon. 30 Selain mengenai perkiraan tingkat deforestrasi, sebelumnya Houghton (2003a) juga mengemukakan bahwa emisi karbon di kawasan tropis berjumlah sekitar setengah dari yang diperkirakan olehnya dalam tulisan terdahulu (Houghton, 2003b) yang jumlahnya 2,2 Pg C per tahun. Pernyataan ini didasarkan pada analisis Achard et al. (2002) dan DeFries et al. (2002) yang menunjukkan bahwa emisi karbon di kawasan tropis berkisar antara 0,96 Pg C dan 1,3 Pg C per tahun. 31 Seperti halnya pernyataan Houghton dan Goodale (2004) di atas, satu tulisan lain (Boer, tanpa tahun) menganggap bahwa, berdasarkan data empiris terbaru, emisi karbon di hutan tropis Asia yang dihitung berdasarkan CAIT terlalu tinggi, yaitu 534 ton per tahun. Mengutip tulisan Gibs et al. (2007), Boer menunjukkan bahwa rata-rata stock karbon untuk hutan tropis di Asia jumlahnya 142 ton per hektar. Sementara itu, merujuk pada Yoneda et al., (1994) dan Ruhiyat (1995), Boer juga mengemukakan bahwa berdasarkan sampel yang diambil dari hutan alam Kalimantan, stok karbonnya berkisar antara 200 hingga 250 ton per hektar. Perubahan tata guna lahan dan kehutanan (landuse change and forestry, LULCF), khususnya deforestrasi, tidak dipungkiri masih merupakan sumber yang terbesar kontribusinya terhadap emisi karbon di Indonesia, yang harus terus 30
DeFries, R.S., R.A. Houghton, M.C. Hansen. C.B. Field, D. Skole, J. Townshend. 2002. Carbon Emission from tropical deforestration and regrowth based on satellite observations for the 1980s and 90s. Proc. Nat. Acad. Sci, USA, 99, 14256-14261 31
Boer, Rizaldi., tanpa tahun. Deforestration Rate and Emission in Indonesia, tanpa penerbit,
hlm. 35
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
diupayakan untuk dikurangi. Namun demikian, berdasarkan uraian di atas yang menunjukkan adanya kesalahan atau perbedaan asumsi dalam perhitungan emisi karbon yang bersumber dari perubahan tata guna lahan dan kehutanan, dapat dikemukakan bahwa perkiraan emisi karbon yang dihasilkan dari perubahan tata guna lahan dan kehutanan di Indonesia seharusnya tidak sebesar seperti yang dilaporkan dalam laporan PEACE (2007), paling tidak untuk periode setelah tahun 2000. Sehubungan dengan ini, urutan negara-negara penghasil emisi GRK terbesar di dunia tampaknya perlu dikoreksi.
b. Lahan Kritis dan Produktivitas Hutan Pada tahun 1900-an Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropis yang sangat luas. Namun tingkat penurunan luas hutan di Indonesia pun merupakan yang terbesar di dunia. Hal ini terjadi karena pemerintah dan para pengusaha lebih mementingkan keuntungan ekonomi dari pada menjaga kelestarian lingkungan. Terjadinya illegal logging dan perambahan hutan merupakan kegiatan perusakan hutan. Hutan yang mempunyai fungsi ganda, tidak lagi terkelola dengan baik. Hal ini berakibat terganggunya kelestarian dan keseimbangan ekosistem hutan. Lahan hutan yang mengalami ganggungan dimaksud disebut dengan lahan kritis atau dengan kata lain menurunnya produktifitas tanah hutan. Kerusakan sumber daya hutan tersebut, dapat mengakibatkan menurunnya kualitas sumber daya hutan dan lingkungan hidup, terganggunya tata air yang berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap penyediaan airi bersih, transportasi di sungai, upaya peningkatan produksi bidang pertanian, perikanan dan sumber energi pembangkit tenaga listrik. Seperti yang terjadi pada tahun-tahun terakhir ini, yaitu banyak terjadi banjir dari mulai ujung Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, bahkan di Irian Jaya. Bencana kabut asap yang diakibatkan oleh pembakaran hutan yang melanda di Sumatera dan Kalimantan, dan sampai ke negara tetangga.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Hutan dengan segala keanekaragaman hayatinya menghasilkan produksi yang cukup tinggi yang dibutuhkan manusia. Secara umum perkembangan hasil hutan dari tahun 1999/2000 sampai dengan tahun 2002 semakin menurun volumenya, tetapi pada tahun 2003 produksi hasil hutan tersebut melonjak cukup tinggi dan pada tahun 2004 kembali mengalami penurunan walaupun hanya sedikit. Sebagian produksi dari hasil hutan (kayu gergajian, kayu olahan, dan kayu lapis) dengan fluktuasi hasil produksinya yang dirinci menurut provinsi dapat dilihat pada Tabel 3 s/d Tabel 5 berturut-turut berikut di bawah ini. Tabel 3 : Produksi kayu Gergajian Menurut Provinsi, Tahun 2000 - 2004 Provinsi (1)
N. Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku
20001)
2001
2002
2003
2004
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
91.812,3 74.206,9 9.120,4 195.879,7 188.270,9 223.559,5 2.089,8 291,7 7.794,2 269,3 137.626,7 219.115,7 104.193,9 346.885,4 2.949,6 22.754,5 1.301,8 -
29.014,6 23.186,8 5.097,9 2.419,9 141.543,0 0,0 171.001,5 276,4 8.986,0 3.137,4 36.045,5 54.209,6 37.491,7 129.298,0 9.451,4 5.797,0 888,0
37.432,5 50.490,3 4.707,0 215.649,0 221,7 3.963,5 3.898,4 55.606,9 206.097,4 278,9 21.877,4 12.457,4 9,8 5.121,4 -
7.557,0 16.450,0 102.010,0 80.412,0 9.402,0 0,0 8.025,0 295,0 15.340,0 72.596,0 10.612,0 59.139,0 36.804,0 38.276,0 198.279,0 2.410,0 10.353,0 23.394,0
19.915,0 19.631,0 19.222,0 48.704,0 18.802,0 16.172,0 2.658,0 24.102,0 44.781,0 20.193,0 5.758,0 27.333,0 31.708,0 43.730,0 20.193,0 995,0 7.643,0 18.492,0 18.640,0 6.156,0 3.078,0
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Maluku Utara Papua INDONESIA
1.155.646,8 2.783.769,3
17.023,5 674.868,1
5.683,1 623.494,8
47.204,0 24.047,0 762.605,0
1.578,0 13.486,0 432.970,0
Sumber : Departemen Kehutanan, Statistik Kehutanan Indonesia 2005 Keterangan: 1) Data Bulan April s/d Desember 2000
Tabel 4 :Perkembangan Produksi Kayu Olahan Menurut Jenisnya, Tahun 1995/1996 - 2004
Tahun
Kayu Bulat
Kayu Gergajian
Kayu Lapis
Wood Working
Block Board
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
1995/1996
24.850
2.014
9.122
285
534
1.428
1996/1997
26.069
3.565
10.270
622
629
1.321
1997/1998
29.520
2.613
6.710
142
601
1.129
1998/1999
19.027
2.707
7.155
7
662
1.314
1999/2000
20.620
2.060
4.612
10
427
1.035
2000
13.798
2.790
4.443
299
321
669
2001
11.155
675
2.101
278
388
94
2002
9.004
623
1.694
72
122
4.361
2003
11.424
763
6.111
162
436
289
2004
13.549
433
4.514
388
277
155
Veneer (7)
Sumber: Departemen Kehutanan, Statistik Kehutanan Indonesia 2005 Keterangan : 1) Data bulan April s/d Desember 2000
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Tabel 5 : Produksi Kayu Lapis Menurut Provinsi, Tahun 2000 - 2004
Provinsi (1)
N. Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur
20001)
2001
2002
2003
2004
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
104.458 50.687 528.975 86.280 1.174 147.121 93.392 151.769 756.302 80.205 4.248 96.873
110.172 1.246 269.461 222.904 -
Kaliamantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua
37.587 242.093 54.504 240.594 428.637 88.241 3.937 626.595 533.505 1.040.528 1.005.466 307 22.090 118.650
151.187 80.622 800.056 6.375 52.382
244.857 56.053 303.665 422.219 39.693 156.180 264.115 114.155 62.167 794.593 331.110 933.370 1.600.745 215.394 112.036 158.917 301.288
74.171 13.925 274.744 425.264 37.103 31.080 273 207.727 211.559 58.716 644.634 232.307 933.447 858.153 135.587 54.656 102.605 218.441
INDONESIA
4.442.735
2.101.485
1.694.406
6.110.557
4.514.392
Sumber : Departemen Kehutanan, Statistik Kehutanan Indonesia 2005
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Keterangan : 1) Data bulan April s/d Desember 2000
Dengan banyaknya hutan yang dibakar/terbakar ataupun yang ditebang, maka Departemen Kehutanan telah menghitung kawasan hutan yang perlu direboisasi sampai pada tahun 2002. Hutan yang perlu direboisasi tersebut adalah hutan lindung, suaka alam, hutan produksi, hutan produksi terbatas, hutan konversi ataupun hutan areal penggunaan lain. Kawasan yang perlu direboisasi ini yang terbanyak berada di Kalimantan yaitu sekitar 34 juta Ha atau sekitar 34 persen dari total kawasan yang perlu direboisasi. Lihat Tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6 : Luas Kawasan Hutan Yang Perlu Direhabilitasi Sampai Dengan Tahun 2002 ( Ha)
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Provinsi
Hutan Lindung
Suaka alam/ Pelestarian Alam
Hutan Produksi
Hutan Produksi Terbatas
Hutan Konversi
Areal Lain
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
N. Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua
707,5 962,4 610,6 281,2 60,5 339,0 57,8 278,0 163,3 0,1 103,0 29,5 1,1 231,6 13,0 29,0 164,8
193,3 147,5 309,0 179,3 149,5 324,8 80,3 285,3 0,2 45,1 7,3 0,5 137,3 9,4 13,5 59,9
316,7 364,5 312,4 1.361,4 401,6 1.197,8 33,8 85,6 411,4 0,2 222,5 214,1 11,6 444,6 24,2 1,8 89,0
20,9 1.019,1 155,8 1.530,2 129,4 184,0 134,6 35,4 122,3 75,4 43,3 4,3 97,7
267,42 128,32 3.171,26 444,24 -
502,8
189,9
209,6
161,9
44,56
2.116,0
1.045,9 320,5 281,6 574,6
393,3 211,3 110,0 405,5
1.931,0 4.864,8 532,7 3.294,0
1.675,6 2.169,1 69,4 2.209,5
444,64 3.900,93 122,25 -
4.605,0 39,2 1.256,6 4.049,7
64,4 581,3 1.351,7 288,4 62,3 238,5 256,0 821,1
54,1 235,6 67,5 104,4 73,2 94,3 23,6 706,6
48,1 267,3 151,3 346,3 54,3 342,0 300,2 1.353,6
119,6 698,8 616,0 221,0 178,1 461,2 315,9 434,3
13,65 159,27 78,37 125,51 15,84 874,74 617,47 1.658,94
550,7 1.424,4 2.384,4 812,7 312,6 186,3 237,8 422,0
INDONESIA 10.421,2 4.611,2 19.188,3 12.882,6 Sumber : Departemen Kehutanan, Statistik Kehutanan Indonesia 2005
12.067,41
41.466,8
-
1.570,2 1.831,7 1.216,3 68,9 1.266,4 3.635,3 949,0 1.708,3 735,8 64,2 2.540,1 2.433,7 278,7 3.046,7 683,6 364,0 676,8
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Selama tahun 2002 sampai dengan 2004, kawasan hutan yang sudah direboisasi baru mencapai sekitar 419.399 Ha yang menyebar di berbagai pulau, dan di Pulau Kalimantan hanya 13,5 persen padahal kawasan hutan yang perlu direboisasi lebih dari 34 juta Ha. Lihat Tabel 7 di bawah ini. Tabel 7 : Realisasi Kegiatan Reboisasi 5 Tahun Terakhir, Tahun 2000 – 2004 (Ha) Provinsi (1)
20001)
2001
2002
2003
2004
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
N. Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua
1.048 450 1.000 150 200 100 450
400 55 -
1710 841 580 1.238 -
20 8.478 18.664 9.355 1.750 150 321 23.701
2672 4.197 2.510 4.406 443 3.219 520 21.297 775
64 350 900 1.324 500 100 50 200 1.700 400 -
100 388 3.795 1.136 500 675 -
150 275 375 1.535 831 5.158 1.870 10.685 3.000 5512 100 500 1.073
18.658 30.176 2.705 29.531 750 181 1785 1.620 2.738 6.949 1.440 10.712 11.191 180 3.730 1.185 762
30.498 23.485 2.555 26.145 2.725 3240 9.450 7.905 8.220 7.918 6.260 5.859 1.159 300 13.296 3.326 3.275 225 1.354
INDONESIA
8.986
7.049
35.433
186.732
197.234
Sumber : Departemen Kehutanan, Statistik Kehutanan Indonesia 2005 Keterangan : 1) Data bulan April s/d Desember 2000
2. Potensi Hutan a. Tekanan Kerusakan Hutan
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Illegal logging dan perambahan hutan telah mengakibatkan kerusakan di beberapa kawasan hutan. Kerusakan sumber daya hutan tersebut, dapat mengakibatkan menurunnya kualitas sumber daya hutan dan lingkungan hidup, terganggunya tata air yang berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap penyediaan airi bersih, transportasi di sungai, upaya peningkatan produksi bidang pertanian, perikanan dan sumber energi pembangkit tenaga listrik. Selain itu illegal logging dan perambahan hutan menyebabkan menurunnya produktifitas tanah hutan, terjadinya erosi dan banjir, pendangkalan sungai dan waduk, dan munculnya lahan – lahan kritis. Illegal logging dan perambahan hutan merupakan masalah krusial yang memerlukan penanganan mendesak melalui penegakan hukum secara sinergis oleh berbagai pihak pada semua tingkatan serta berefek jera sehingga tidak menimbulkan kecemburuan akibat ketidak adilan. Secara terminologi, Illegal logging dan perambahan hutan diartikan sebagai usaha yang memberikan keuntungan yang besar dan cepat dengan investasi teknologi yang mudah, modal yang relatif kecil, dan jika terus dibiarkan maka dikhawatirkan akan memberikan dampak yang sangat buruk bagi pelestarian lingkungan. Masalah illegal logging ini jika terus dibiarkan akan memperparah kerusakan sumber daya hutan dan kerusakan ekosistem dalam tatanan Daerah Aliran Sungai (DAS), akan mempercepat hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan keragaman produk kehutanan dimasa datang, membuat semakin terganggunya kehidupan sosial budaya masyarakat di sekitar hutan, semakin mengurangi sumber pendapatan nasional, serta akan semakin mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selain penyebab kerusakan tersebut diatas, konversi lahan dan kebakaran juga menjadi salah satu penyebab kekritisan lahan yang tersedia.
b. Upaya Konservasi dan Pengendalian Kerusakan Hutan Dalam upaya penanganan permasalahan yang dihadapi dan permasalahan yang berkembang di bidang kehutanan serta dalam rangka pengelolaan sumberdaya
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
hutan untuk mewujudkan program pembangunan nasional, telah ditempuh beberapa kebijakan antara lain : 1. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 7501/Kpts-II/2002 tanggal 7 Agustus 2002 tentang 5 (lima) Kebijakan Prioritas Bidang Kehutanan, telah memberikan arahan untuk melaksanakan prioritas pembangunan pada kegiatan : a. Pemberantasan penebangan liar b. Penanggulangan kebakaran hutan c. Restrukturisasi sektor Kehutanan d. Rehabilitasi dan Konservasi Sumberdaya Hutan e. Desentralisasi sektor Kehutanan 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 tahun 2000 tanggal 6 Mei 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom, dikemukakan bahwa : a. Kewenangan Provinsi dalam perlindungan dan pengamanan hutan adalah melaksanakan
perlindungan
dan
pengamanan
hutan
(antara
lain
pemberantasan illegal logging) pada kawasan lintas Kabupaten/Kota. b. Kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan yang terdapat pada suatu wilayah Kabupaten/Kota menjadi kewenagan Pemerintah Kabupaten/Kota (bukan menjadi kewenangan Provinsi, Dinas Kehutanan Provinsi akan memberikan bantuan atau memberikan dukungan apabila diminta oleh
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Pemerintah
Cq.
Dinas
yang
menangani
urusan
Kehutanan
di
Kabupaten/Kota). Pelaksanaan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, ditetapkan sebagai berikut : 1. Kabupaten/Kota yang tidak atau belum mampu melaksanakan salah satu atau beberapa kewenangan dapat melaksanakan kewenangan tersebut melalui kerjasama antara Kabupaten/Kota, kerjasama antara Kabupaten/Kota dengan Provinsi, atau menyerahkan kewenangan tersebut kepada Provinsi.
2. Pelaksanaan
kewenangan
melalui
kerjasama
atau
penyerahan
suatu
kewenangan kepada Provinsi harus didasarkan pada Keputusan kepala Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota Oleh karenanya pada prinsipnya kegiatan pengamanan terhadap gangguan kerusakan hutan yang terjadi pada suatu daerah Kabupaten/Kota adalah menjadi kewenangan Dinas yang menangani urusan Kehutanan di Kabupaten/Kota tersebut. Dinas Kehutanan Provinsi akan melakukan kegiatan pengamanan untuk ruang lingkup yang bersifat lintas Kabupaten/Kota atau apabila diminta bantuan oleh Dinas yang menangani urusan kehutanan di Pemerintah Kabupaten/Kota.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Pemerintah dalam hal ini Dinas Kehutanan sebagai institusi yang berkompeten dalam penangan masalah yang berkaitan dengan kehuatan menyatakan bahwa Penanganan illegal logging dan perambahan hutan akan berhasil dengan melakukan : a.
Sosialisasi peraturan perundangan, pemberdayaan, peran serta dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
b.
Sosialisasi kepada pengusaha dan LSM melalui peningkatan koordinasi dan kerjasama.
c.
Sosialisasi kepada aparat pemerintah dan melaksanakan penegakan hukum secara tegas dan tidak diskriminatif.
d.
Melaksanakan pengamanan hutan
melalui pemberdayaan dan penggunaan tenaga Polisi
Kehutanan (Polhut), PPNS dan P3KB. Selain hal tersebut diatas, pemerintah juga telah membuat terobosan dalam menyelesaikan kasus illegal logging/illegal trade melalui pelaksaan penyidangan dilapangan terhadap hasil-hasil operasi dengan melibatkan aparat penegak hukum, instansi teknis terkait dan masyarakat.
Pelaksanaan pengamanan hutan/penanganan pemberantasan illegal logging yang dilakukan selama ini, diakui belum dapat menyelesaikan atau menghentikan kegiatan secara tuntas.
B. Keanekaragaman Hayati 1. Kondisi Keanekaragaman Hayati Sebagai salah satu negara mega biodiversity, pada tahun 2003, Indonesia telah mengeluarkan sebuah dokumen Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP). Sebagai produk dari sebuah proses kolaboratif yang cukup lama, hampir 20 bulan, dokumen IBSAP merupakan dokumen strategis bangsa Indonesia tentang visi ke depan pengelolaan keanekaragamanan hayatinya.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Untuk mencapai visi tersebut, diperlukan pemahaman yang menyeluruh atas kekayaan yang dimiliki. Data dan informasi perlu disajikan scara cepat, terkini, relevan dan menyeluruh untuk mendukung pelaksanaan rencana aksi IBSAP kedepan yang kongkrit dan mendukung pengambilan keputusan dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan bagi kesejahteraan bangsa. Namun nampaknya sampai saat ini kita masih belum mampu menjawab dengan tepat pertanyaan – pertanyaan seperti: seberapa besar keanekaan sumberdaya hayati kita? Bagaimana sebaran potensi sumberdaya hayati kita? Dimana saja lokasinya? Apakah jenis-jenis sumberdaya hayati tersebut masih punya kemampuan lestari? dan lain sebagainya. Saat ini, yang paling mendesak ialah dimanakah wilayah – wilayah kritis keanekaragaman hayati yang perlu segera ditangani? Karena tiap tahun, jenis yang masuk Red List akibat semakin langka dan terancam punah semakin bertambah. Keanekaragaman hayati bagi manusia adalah pendukung kehidupan. Ia memberi manusia memperoleh ruang hidup, dan di dalam ruang hidup itu tersedia bekal kehidupan (flora, fauna, dan sebagainya) untuk dikelola secara bijaksana oleh manusia, dimana sebenarnya manusia sendiri adalah salah satu komponen keanekaragaman hayati. Meskipun begitu, masih banyak yang belum memahami pentingnya peran keanekaragaman hayati sebagai penopang kehidupan. Oleh sebab itu, saat ini sangat mendesak untuk dilakukan langkahlangkah penting peningkatan kesadaran publik terhadap fakta dan permasalahan keanekaragaman hayati (KH). Seluruh komponen masyarakat harus memahami biaya sosial dan biaya lingkungan dari kemerosotan keanekaragaman hayati. Prioritas layak diberikan pada pemberdayaan konstituen keanekaragaman hayati di tingkat lokal. Atas dasar kebutuhan diatas, buku ini disusun sebagai dokumentasi suatu proses kegiatan identifikasi kawasan yang kritis keanekaragaman hayatinya. Keanekaragaman
hayati
atau
biodiversitas
adalah
istilah
yang
digunakan
untuk
menggambarkan keanekaragaman di antara mahluk hidup dari semua sumber termasuk diantaranya, daratan, lautan dan ekosistem akuatik lain serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari keanekaragamannya; mencakup keanekaragaman didalam species, antara species dan ekosistem. Dengan demikian keanekeragaman hayati mencakup semua bentuk kehidupan di muka bumi, mulai
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
dari mahluk yang paling sederhana seperti jamur atau bakteri sampai yang rumit seperti manusia atau satwa. Secara teknis ilmu biologi ada tingkatan keanekaragaman hayati, yaitu keanekaragaman ekosistem, keanekaragaman jenis dan keanekaragam genetis. Kawasan yang mempunyai keanekargaman ekosistem yang tinggi secara langsung akan memiliki keanekaragaman jenis dan genetis yang tinggi. Keanekaragaman ekosistem adalah mencakup keanekaan bentuk dan susunan bentang alam daratan maupun perairan dimana mahluk hidup berinteraksi dan membentuk keterkaitan dengan lingkungan fisiknya. Misalnya, ekosistem hutan hujan tropis di Sumatera, padang es di puncak gunung di Papua sampai hamparan padang rumput dan semak di Nusa Tenggara. Keanekaragaman jenis adalah keanekaan jenis mahluk hidup yang menempati suatu ekosistem di daratan maupun perairan. Misalnya, penyu hijau, penyu belimbing, orangutan, kera ekor panjang, burung enggang. Keanekaragaman genetis adalah keanekaan individu di dalam suatu jenis yang disebabkan perbedaan genetis antara individu. Gen adalah faktor pembawa sifat keturunan yang dimiliki setiap mahkluk hidup dan dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Misalnya varietas padi, ada varietas cianjur, rojolele atau mangga dengan varietas golek, harum manis, manalagi. Keunikan dan variasi geomormologis di Sumatera Utara, memiliki konsekuensi di propinsi ini mengandung variasi-variasi habitat yang kaya, seperti hutan rawa dataran tinggi, lahan basah, lembah sungai, hutan gamping, hutan dataran rendah perbukitan dan hutan pegunungan. Adanya variasi habitat ini tentunya lebih dapat mendukung hidupan liar dan keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Keanekaragaman hayati mengalami ancaman dan tekanan dari berbagai aspek. Akibat tekanan tersebut mengakibatkan keragaman hayati khususnya flora fauna mengalami penurunan dari sisi jumlah. IUCN melakukan klasifikasi flora fauna berdasarkan keberadaannya guna dasar pertimbangan untuk menentukan treathment pengelolaannya sehingga suatu jenis tidak mengalami kepunahan. Kriteria status flora dan fauna menurut IUCN :
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
1). Kritis (critically endagered) : jika taksa mengalami resiko kepunahan yang sangat ekstrim (tinggi) di alam dalam waktu dekat. Populasinya berkurang paling sedikit 80% selama 10 tahun terakhir dengan luas wilayah diperkirakan kurang dari 100 km2, populasi dewasa kurang dari 250 individu, jumlah populasi diperkirakan kurang dari 50 individu dewasa dan kemungkinan punah di alam paling sedikit 50% dalam 10 tahun; 2). Genting atau terancam (endagered) : jika taksa tidak termasuk kriteria genting tetapi mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu dekat. Populasinya berkurang paling sedikit 50% selama 10 tahun terakhir dengan luas wilayah diperkirakan kurang dari 5000 km2 atau daerah yang ditempati kurang dari 500 km2, populasi dewasa kurang dari 2500 individu, jumlah populasi diperkirakan kurang dari 250 individu dewasa dan kemungkinan punah di alam paling sedikit 20% dalam 20 tahun; 3). Rentan (vulnerable) : jika taksa tidak termasuk kriteria genting atau terancam, tetapi mengalami resiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu dekat. Populasinya berkurang paling sedikit 20% selama 10 tahun terakhir dengan luas wilayah diperkirakan kurang dari 20.000 km2 atau daerah yang ditempati kurang dari 2000 km2, populasi dewasa kurang dari 10.000 individu, jumlah populasi diperkirakan kurang dari 1000 individu dewasa dan kemungkinan punah di alam paling sedikit 10% dalam 100 tahun. Sumatera adalah salah satu pulau terbesar di Indonesia yang memiliki nilai keanekaragaman hayati yang tinggi. Secara zoogeografik, pulau ini memiliki 18 region secara ekologis yang membedakan karakteristik konservasi spesiesnya. Hal ini menjadikan adanya spesies-spesies yang khas pada masing-masing wilayah zoogeografik tersebut. Salah satu daerah yang mempunyai karakter ekologi yang khas di pulau Sumatera adalah kawasan hutan Daerah Aliran Sungai Batang Toru, karena diperkirakan merupakan kawasan transisi biogeografis antara kawasan biogeografis Danau Toba Bagian Utara dan Danau Toba bagian Selatan. Kawasan ini memiliki beberapa tipe ekosistem mulai dataran rendah, perbukitan hingga pegunungan
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
yang menjadi habitat bagi orangutan Sumatera (Pongo abelii), yang diperkirakan bahwa Blok Hutan Batang Toru Barat dapat menampung populasi orangutan sebanyak 400 individu dan Blok Hutan Batang Toru/Sarulla Timur sebanyak 150 individu.. Terjadinya kawasan transisi biogeografis ini kemungkinan disebabkan kekuatan tektonik dan letusan Gunung Berapi Toba pada 75.000 tahun. Pada kurun waktu itu, Sungai Batang Toru dan Sungai Batang Gadis menjadi satu dan kemudian kedua sungai besar tersebut terpisah 32, sehingga menjadi faktor penghalang ekologi yang efektif bagi penyebaran satwa dan tumbuhan liar. Bukan hanya sungai saja, di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru telah terbentuk penghalang karakter ekologis lainnya (ecological barrier), seperti pegunungan yang tinggi,
perbukitan, habitat yang
spesifik (rawa dan danau) serta tingkat perbedaan intensitas matahari pada wilayah basah dan kering. Namun selain faktor ekologis tersebut, aktifitas manusia dalam bentuk laju pembangunan yang sangat pesat di Kabupaten-kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Kodya Sibolga dan Tapanuli Utara juga menjadi faktor dalam menentukan sebaran spesies 33. Adanya kawasan transisi ini, memiliki konsekuensi tingginya nilai kekayaan dan keunikan keanekaragaman hayatinya. Fenomena ini diindikasikan, bahwa fauna khas bagian Utara Danau Toba, yaitu orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang tidak dapat ditemukan di bagian selatan dapat ditemukan di kawasan transisi tersebut, selain ditemukan di bagian Utara Danau Toba. Sebaliknya, satwa khas bagian Selatan, yakni tapir Sumatera (Tapirus indicus), kambing hutan Sumatera (Capricornis sumatraensis) yang tidak ditemukan di bagian Utara Danau Toba dapat dijumpai dikawasan transisi ini. Ekosistem hutan hujan tropis di Sumatra Utara merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa liar langka khas Sumatera dan memiliki nilai penting konservasi global. Berdasarkan pengamatan langsung dan tak langsung, diketahui keberadaan mamalia di Sumatera Utara sejumlah lebih dari 67 jenis. Di antara jenis mamalia yang tercatat adalah harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), 32 33
Rijksen, et al, 1999 Anonimous, 2006
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjac), empat jenis primata, serta beberapa jenis kucing hutan. Sementara masyarakat juga menginformasikan adanya anjing hutan/ajak (Cuon alpinus) dan dua jenis berang-berang. Konsep baru yang dipakai dalam pelestarian kawasan konservasi diantaranya menggunakan habitat satwa herbivora besar sebagai kunci dalam mendesain kawasan konservasi dalam skala luas. Pelestarian herbivora besar berkaitan dengan komposisi vegetasi, sehingga dapat dijadikan sebagai species payung bagi pelestarian fauna dan flora. Dalam konteks ini herbivora besar teresterial yang mendukung upaya pelestarian suatu kawasan hutan (ekosistem) di Sumatera Utara diantaranya adalah Tapir, Kambing Hutan, Orangutan dan Gajah. Selain mamalia besar dan burung, dari suatu survei di Sumatera Utara Bagian Selatan (Mandailing) membukukan catatan menarik bagi kelompok satwa lain. Untuk amfibia di antaranya yang tergolong menarik adalah perjumpaan dengan katak bertanduk tiga (Megophrys nasuta). Katak jenis ini merupakan penghuni dasar hutan primer di Sumatera dan Borneo. Selain itu ditemukan juga sesilia (Ichtyophis sp.), yaitu jenis amfibia tak bertungkai penghuni bawah permukaan tanah lantai hutan basah di Sumatera dan Sunda Besar. Jenis ini tergolong sulit ditemukan karena jarang sekali keluar dari persembunyiannya di tanah yang basah. Dari kelompok reptilia tercatat adanya king cobra (Ophiophagus hannah) yang merupakan jenis ular berbisa terbesar di dunia. Ekosistem Hutan Hujan Tropis Sumatara Utara memiliki keanekaragaman jenis burung yang tinggi, di antaranya merupakan jenis yang langka dan terancam punah. Survei berhasil mencatat keberadaan avifauna di TN. Batang Gadis dan Kawasan teresterial DAS Batang Toru sejumlah lebih dari 287 jenis burung. 34 Dari minimal 287 jenis tersebut, Sumatra Utara merupakan habitat bagi sekitar 40% jenis burung yang tercatat di Sumatera yang menurut pangkalan data Bird Life berjumlah 602 jenis atau 609 jenis menurut Holmes dan Rombang (2001)], 47 merupakan jenis burung yang 34
Rijksen, et al, 1999,2001
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
dilindungi di Indonesia, tujuh jenis secara global terancam punah, 12 jenis mendekati terancam punah. Dari total jenis burung yang ditemukan 13 jenis merupakan burung yang memberi kontribusi pada terbentuknya Daerah Burung Endemik (endemic bird areas), seperti Dicrurus sumatranus, Lophura inornata dan Daerah Penting bagi Burung (important bird areas), seperti paok Schneider (Pitta schneideri), sepah gunung (Pericrocotus miniatus), sempidan Sumatera (Lophura inornata), kuaukerdil Sumatera (Polyplectron chalcurum), tokhtor kopua (Carpococcyx
viridis), ciung-mungkal
Sumatera (Cochoa beccarii) dan meninting kecil (Enicurus velatus). Juga ditemukan dua jenis burung yang akibat terbatasnya informasi mengenai keberadaan jenis tersebut di dunia, dalam kriteria status flora dan fauna menurut IUCN dikategorikan sebagai ‘kekurangan data’ (data deficient), yaitu sikatan bubik (Muscicapa dauurica) dan kutilang gelambir biru (Pycnonotus nieuwenhuisii). Selain itu, kawasan ini juga dikunjungi jenis-jenis burung migran, seperti jenis elang dan burung air, misalnya cekakak Cina (Halcyon pileata), kirik-kirik laut (Merops philippinus), paok hijau (Pitta sordida), raja-udang erasia (Alcedo atthis) dan bentet loreng (Lanius tigrinus). Dengan adanya jenis-jenis burung migran ini menurut skala internasional menunjukkan bahwa kawasan hutan Sumatera Utara memiliki tingkat kepentingan global yang sangat tinggi untuk dilestarikan fauna dan habitatnya. Disamping itu ada dua jenis yang eksistensinya di Pulau Sumatera masih diragukan, tapi di TN. Batang Gadis (Kabupaten Mandailing Natal) dapat ditemukan, yaitu pendendang kaki sirip (Heliopais personata) dan rajawali (Aquila sp.). Selain jumlah total jenis burung yang tinggi tercatat juga kekayaan jenis dari beberapa kelompok burung tertentu yang keberadaannya sangat tergantung pada kondisi habitat alami yang masih baik. Kelompok jenis-jenis burung seperti rangkong dari keluarga Bucerotidae, tercatat 8 jenis di TN. Batang Gadis atau 90% dari jenis rangkong yang ditemukan di Pulau Sumatera, diantaranya Buceros rhinoceros, Rhinoplax vigil dan Aceros undulatus., takur (keluarga Capitonidae, tercatat 5 jenis), pelatuk (Picidae, tercatat 12 jenis), dan luntur (Trogonidae, tercatat 3 jenis) dikenal sebagai burung-burung yang keberadaannya bergantung pada keberadaan hutan (forest-dependent birds).
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Sebaliknya, keberlanjutan fungsi hutan juga sangat dipengaruhi oleh keberadaan jenis-jenis burung seperti rangkong, yang dikenal sebagai penyebar biji-bijian tumbuhan hutan sehingga dapat membantu memperkaya keanekaragaman hayati dan regenerasi di kawasan hutan alam. Catatan menarik lainnya adalah catatan tentang jenis-jenis burung pemangsa (raptor species). Sebanyak minimal 14 jenis burung pemangsa tercatat di kawasan hutan di Sumatera Utara. Salah satu di antaranya, yakni baza hitam (Aviceda leuphotes) merupakan jenis pengunjung (migratory species). Memperhatikan kedudukan burung pemangsa yang berada di puncak piramid dari rantai makanan (food web),
maka kekayaan jenis burung pemangsa di Sumatera Utara dapat
mengindikasikan kondisi populasi mangsa yang cukup baik. Kita dapat menduga bahwa kondisi populasi mangsa yang baik tentu memerlukan kondisi habitat yang baik. Oleh karena perannya yang penting dalam ekosistem, semua jenis burung pemangsa telah dilindungi dalam peraturan perundangan Indonesia. Hasil kajian mengindikasikan kawasan TN. Batang Gadis bukan hanya memiliki kekayaan fauna tetapi juga keunikan keanekaragaman hayati. Keberadaan pedendang kaki-sirip (Heliopais personata) yang keberadaannya di Sumatera selama ini masih belum meyakinkan. 35 juga berhasil direkam dalam bentuk foto. Sementara itu, dua buah gambar elang terbang yang sangat menyerupai rajawali totol (Aquila clanga) juga diyakini ada di kawasan taman nasional baru ini. Jenis elang ini di Sumatera selama ini baru tercatat sekali, yakni di daerah Sumatera Selatan. 36 Sementara itu, dalam waktu yang relatif singkat, dengan perangkap kamera telah berhasil didokumentasikan adanya kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis), kucing emas (Catopuma temmincki), dan harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Kambing hutan dan kucing emas merupakan dua jenis satwa langka yang selama ini sangat jarang ditemukan di hutan alam, bahkan oleh mereka yang telah bertahun-tahun mengoperasikan perangkap kamera di Pulau Sumatera.
35
MacKinnon et al. 1993
36
Holmes 1996
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Lebih jauh, hasil kajian mengarahkan pada dugaan sementara bahwa ekosistem hutan hujan tropis Sumatara Utara kemungkinan merupakan zona hibridisasi (pertemuan/persilangan) dari jenisjenis satwa khas Sumatera bagian Selatan, Utara dan Timur. Pengamatan sekilas mengindikasikan adanya variasi morfologi/warna beberapa jenis satwa di sana dibanding dengan jenis yang sama di tempat lain, baik di Sumatera maupun di Indonesia.
Sebagai contoh, jenis simpai/lutung/rekrek
(Presbytis sp.) yang menghuni di kawasan hutan TN. Batang Gadis dan DAS Batang Toru ternyata tidak sama dengan yang diilustrasikan dalam berbagai publikasi dan buku panduan lapangan yang ada. Pola warna rekrek/lutung di TN. Batang Gadis cenderung lebih menyerupai kombinasi pola warna antara tiga jenis Presbytis yang hidup di daerah lain yang pernah diteliti, yakni P. thomasi, P. femoralis dan P. melalophos. Seperti diketahui, P. thomasi selama ini diyakini sebarannya ke bagian selatan Pulau Sumatera tidak melampaui Danau Toba, sedangkan P. femoralis di Sumatera hanya di bagian daratan dan pulau-pulau sebelah timur. 37 Hal serupa juga terjadi pada jenis ungko/wauwau/sarudung (Hylobates sp.). Pengamatan sekilas mengindikasikan bahwa jenis yang ada di TN. Batang Gadis adalah H. agilis yang lebih bervariasi dan memungkinkan terjadinya hibridisasi. Sejauh ini daerah Dairi diketahui sebagai mintakat hibridisasi antara H. lar dengan H. agilis. 38 H. agilis selama ini dipercaya sebarannya di Sumatera ke utara tidak melewati Danau Toba, sedangkan H. lar di Sumatera sebarannya ke selatan tidak melewati Danau Toba. Semua itu semakin mengukuhkan pentingnya pelestarian kawasan itu bagi kepentingan biodiversitas global atau melindungi nilai ekonomis jasa lingkungan bagi masyarakat yang lebih luas yang tidak semata-mata hanya mengatur tata air bagi Kabupaten Madina, tapi juga bagi masyarakat konservasi internasional. Hasil kajian menunjukkan di Sumatera Utara menyimpan keanekaragaman hayati flora dan keunikan yang sangat tinggi serta banyak dari jenis tersebut terancam punah sebelum diketahui manfaatnya bagi kesejahteraan umat manusia. Berdasarkan hasil penelitian flora, dalam petak penelitian seluas 1 hektar petak cuplikan di hutan dataran rendah (660 meter dpl) terdapat 240 jenis 37
Supriatna dan Wahyono 2000
38
Gittins 1978.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
tumbuhan berpembuluh (vascular plant) yang terdiri dari 47 suku atau sekitar 0,9% dari flora yang ada di Indonesia (sekitar 25.000 jenis tumbuhan berpembuluh di Indonesia). Nilai penting jenis untuk famili dari 10 famili yang paling seringkali ditemukan menunjukan bahwa keluarga Dipterocarpaceae menempati urutan pertama dengan Species Important Values for a Family (TSIVF) sebesar 84,24% disusul secara berurutan keluarga-keluarga dari Euphorbiaceae 31.97%,
Burseraceae
24.11%,
Myrtaceae 15.89%, Fagaceae 13.72%, Lauraceae 11.62%, Sapotaceae 11.51% , Myristicaceae 9.73%, Moraceae 9.09% dan Clusiaceae 7.44%.(Kartawinata, et al 2004). Dari jumlah jenis flora yang dapat teridentifikasi diantaranya 184 jenis dalam 41 suku terdiri pohon berdiameter setinggi dada ≥ 10 cm. Disamping jenis-jenis Dipterocarpaceae/meranti-merantian (Jenis yang ditemukan dominan adalah Shorea gibbosa Brandis, Hopea beccariana Burck, Shorea acuminata Dyer, Dipterocarpus palembanicus Sloot, Hopea nigra
Burck dan Shorea parvifolia Dyer. Hopea nigra Burck yang
dilaporkan jarang dan hanya terdapat di Bangka dan Belitung ditemukan tumbuh cukup banyak di TN. Batang Gadis) mencakup 18.42 % dari semua jenis dengan luas bidang dasar 18.99 m2 atau 46.82 % dari luas bidang dasar total dalam petak cuplikan, tercatat 222 jenis tumbuhan berpembuluh. Jenis-jenis yang teridentifikasi di hutan dataran rendah terdapat jenis bunga langka dan dilindungi yaitu Bunga Padma (Raffesia sp.) jenis baru, Nepenthes sp. dan Amorphaphalus sp. Dan juga jenis-jenis endemik untuk Sumatera seperti Baccaurea dulcis Merr., Hopea nigra Burck, Shorea platyclados Sloot. ex Foxw. Selain itu, banyak jenis-jenis pohon komersil dari Dipterocarpaceae (meranti-merantian) telah masuk dalam Daftar Status Merah IUCN (IUCN Red List), sehingga penting diprioritaskan tindakan konservasinya agar jenis-jenis tersebut tidak punah (conservation dependent), seperti Aglaia ganggo Miq., Hopea nigra Burck, Shorea gibbosa Brandis, Shorea platyclados Sloot. ex Foxw., Vatica perakensis King, Vatica mangachapoi Blco, Anisoptera costata Korth., Shorea acuminata Dyer dan Hopea beccariana Burck Tingkatan ancaman kepunahan jenis bervariasi dari tingkat critically endangered, endangered sampai tingkatan vulnerable dengan penyebab pemusnahan
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
jenis diakibatkan berbagai sumber berupa perusakan habitat alami, konversi atau hilangnya habitat alami sampai penebangan habis suatu jenis (IUCN, 2004). Selain itu lebih dari 100 jenis tumbuhan berpotensi untuk obat telah dikoleksi guna menyelamatkan jenis mikroba endofitik berupa miroba jamur dan kapang yang hidup dalam jaringan tumbuhan (xylem dan phloem) dari kepunahan. Dan sampai saat ini telah dapat dikoleksi 1500 jenis mikroba yang terdiri dari jamur dan kapang. Konservasi mikroba dari hutan tropis Indonesia belum pernah dilakukan oleh lembaga mana pun sebelumnya. Mikroba ini banyak memberikan manfaat, antara lain sebagai sumber obat-obatan, pupuk organik, bio-insektisida ataupun bio-fungsida yang menunjang sektor pertanian maupun penghasil enzim dan hormon yang dibutuhkan oleh sektor industri. Dari jenis mikroba yang dikumpulkan telah menghasilkan sejumlah 745 isolat mikroba endofitik murni yang terdiri dari 393 isolat jamur dan 352 isolat bakteri. Diantaranya dari 115 jenis isolat yang telah diuji hampir separuhnya teridentifikasi menghasilkan senyawa kimia aktif yang dapat memerangi beberapa bakteri pathogen yang menyebabkan penyakit pada manusia, seperti Echerichia coli, Bacillus sp. dan bakteri penyakit tanaman budidaya, seperti Xanthomonas campestris dan Pseudomas solanaceum. Disamping itu beberapa diantaranya mampu menghasilkan hormon tumbuh (indole acetic acid) dalam jumlah besar yang dapat digunakan untuk merangsang pertumbuhan tanaman budidaya. Tabel 8 : Status Keterancaman Jenis Dipterocarpaceae di TNBG Berdasarkan Daftar Merah IUCN
NAMA JENIS
STATUS IUCN
KATEGORI DAN KRITERIA IUCN
Hopea nigra Burck
Kristis untuk punah
CR A1c, B1+2c
Hopea beccariana Burck Shorea gibbosa Brandis
Kristis untuk punah Kristis untuk punah
CR A1cd+2cd CR A1cd
Shorea acuminata Dyer
Kristis untuk punah
CR A1cd
Shorea platyclados Sloot. ex Foxw
Terancam punah
EN A1cd
Vatica perakensis King
Terancam punah
EN A1c
JENIS ANCAMAN Hilangnya dan menurunnya habitat Tidak diketahui Tidak diketahui Hilangnya dan menurunnya habitat, ekstraksi, tebang habis Hilangnya dan menurunnya habitat, ekstraksi, tebang habis Tidak diketahui
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Anisoptera costata Korth
Terancam punah
EN A1cd+2cd
Vatica mangachapoi Blco
Terancam punah
EN A1cd
Konversi hutan alam untuk pertanian Pembalakan kayu dan konversi hutan untuk pertanian
Sumber : IUCN (2004) : 2004 IUCN Red List of Threatened Species. Provinsi Sumatera Utara yang memiliki panjang pantai 545 km untuk kawasan pantai timurnya sangat berpotensi sebagai negara berkembang dengan hasil laut, pertanian, kehutanan, pariwisata dan industri. Hasil tangkapan laut yang didapat berkisar 126,500 ton per tahun untuk berbagai jenis ikan air asin. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi pantai timur Sumatera Utara sangat menguntungkan. Namun demikian, potensi yang demikian besar tidak akan berlangsung terus menerus tanpa diiringi oleh usaha masyarakat dan pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam mengelola keanekaragaman hayati pantai timur Sumatera Utara secara berkelanjutan Berikut ini berturut-turut daftar Tabel 9: Jumlah Species Keanekaragaman Hayati, Tabel 10: Flora Fauna yang dilindungi di Sumatera Utara dan Tabel 11: Daftar Flora Fauna yang tidak dilindungi namun dimanfaatkan keberadaannya.
Tabel 9 : Jumlah Species Keanekaragaman Hayati
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
No
Golongan
(1) A 1
(2) SATWA Mamalia
2
Jlh Spesies Di ketahui
Jlh. Spesies Di perhatikan
Jlh Spesies Diteliti
Jlh Species Di lindungi
(3)
(4)
(5)
(7)
% Di perhatikan Terhadap yg Diteliti (8)
58
5
1
34
-
Aves
31
4
1
18
-
3
Ampibi
23
6
0
10
-
4
Insecta
26
3
0
10
-
5
Pices
34
6
0
0
-
6
Anthozoa
5
1
0
1
-
7
Bivalvia
8
0
0
5
-
B
TUMBUHAN
1
Palmae
8
0
0
4
-
2
Raflessiaceae
3
2
0
1
-
3
Orchidaceae
40
3
1
2
-
4
Nephentaceae
2
1
-
1
-
5
Dipterocarpaceae
11
4
1
-
-
Sumber : BBKSDA Sumatera Utara, 2007
Tabel 10 : Daftar Flora dan Fauna Yang Dilindungi Di Sumatera Utara No
Nama Lokal
Nama Latin
Status
Keterangan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
MAMALIA
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
1
Mawas, Orang utan
Pongo pygmaeus
Sangat langka
2
Kukang / Malu-malu
Nycticebus coucang
Langka
3
Monyet Lar
Presbytis aygula
Langka
4
Tapir, Cipan, Tenuk
Tapirus indicus
Sangat langka
5
Gajah
Elephas indicus
Langka
6
Beruang madu
Helarctos malayanus
Langka
7
Kambing Sumatera
Capricornis sumatrensis
Sangat langka
8
Rusa
Cervus Sp.
Terancam
9
Kijang / Muncak
Muntiacus muntjak
Langka
10
Kancil / Pelanduk / Napu
Tragulus sp
Langka
11
Badak Sumatera
Dicerorhinus sumatrensis
Sangat langka
12
Trenggiling / Peusing
Manis sp
Terancam
13
Bajing tanah / Tupai tanah
Laricus insignis
Langka
14
Musang Air
Cynogale bennetti
Langka
15
Bajing terbang / Cukbo
Petaurista elegans
Langka
16
Kelinci Sumatera
Nesolagus netscheri
Langka
17
Bajing terbang ekor merah
Lomye horsfieldi
Langka
18
Landak
Hystrix brachyuran
Langka
19
Pulusan
Arctonyx collaris
Langka
20
Musang congkok
Prionodon linsang
Langka
21
Binturung
Arctictis binturong
Langka
22
Kucing emas
Felis temminoki
Langka
23
Kucing bakau
Felis viverrinus
Langka
24
Harimau dahan
Neofelis nebulosa
Langka
25
Harimau Sumatera
Panthera tigris sumatrae
Sangat langka
26
Kucing
Felis bengalensis
Langka
hutan,
Meong
congkok 27
Binatang hantu / Singapuar
Tarsius spp
Langka
28
Owa, Kera tak berbuntut
Hylobatidae
Terancam
29
Lumba-lumba Lanjutan Tabelair10laut
Dolphinidae
Langka
No
Nama Lokal
Nama Latin
30
Lutra Sumatera
Lutra Sumatrana
Langka
31
Bajing tanah bergaris
Lariscus hosei
Langka
Status
Keterangan
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
32
Macan kumbang / Macan
Panthera pardus
Langka
tutul 33
Kuskus
Phalanger spp
Langka
34
Paus
Balaenoptera Sp.
Langka
AVES 1
Itik Liar
Cairina scutulata
Sangat langka
2
Burung dara laut
Sternidae
Langka
3
Glatik kecil, Glatik gunung
Psaltria exilis
Langka
4
Julang/Rangkong/Enggang
Bucerotidae
9 jenis
5
Burung Beo Nias
Gracula religiosa robusta
Sangat langka
6
Bayan
Lorius roratus
Langka
7
Burung pecuk ular
Anhinga melanogaster
Langka
8
Bangau tongtong, Marabu
Leptotilos sp
Langka
9
Burung Alap-alap, Elang
Falconidae
Langka
10
Burung
Meliphagidae
Terancam
Sesap,
Pengsap
madu 11
Burung Alap-alap, Elang
Pandionidae
Terancam
12
Burung Alap-alap, Elang
Accipitridae
Langka
13
Burung
Alcedinidae
Terancam
Udang,
Raja
Udang 14
Kuntul / Ibis
Bubulcus ibis
Terancam
15
Pergam raja
Ducula whartoni
Langka
16
Bangau putih
Egretta spp
Terancam
17
Alap-alap putih / Alap-alap
Elanus hypoleucus
Langka
tikus REPTIL 1
Buaya sapit / Senyulong
Tomistoma schlegelli
2
Buaya muara
Crocodylus porosus
3
Tuntong
Batagur baska
4 Lanjutan PenyuTabel Belimbing 10
Dermochelys coriacea
No
Nama Lokal
Nama Latin
5
Penyu sisik
Eretmochelys imbricata
6
Sanca hijau
Chondropython viridis
Status
Keterangan
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
7
Penyu hijau
Chelonia mydas
8
Penyu tempayan
Caretta caretta
9
Biawak abu-abu
Varanus nebulosus
10
Labi Labi Besar
Chitra indica
11
Katak bercula dua
-
INSECTA (SERANGGA) 1
Kupu sayap burung goliah
Omithoptera goliath
2
Kupu
Omithoptera priamus
sayap
burung
priamus 3
Kupu raja
Troides amphrysus
4
Kupu Sayap burung surga
Omithoptera paradisea
5
Kupu Raja
Triodes criton
6
Kupu Raja
Troides Helena
7
Kupu Raja
Triodes hypolitus
8
Kupu Raja
Triodes Miranda
9
Kupu Raja
Triodes rhadamantus
10
Kupu Raja
Triodes riedeli
ANTHOZOA 1
Akar bahar, Koral hitam
Antiphates spp
BIVALVIA 1
Ketam kelapa
Birgus latro
2
Kepala kambing
Cassis cornuta
3
Kima raksasa
Tridacna gigas
4
Kima kecil
Tridacna maxima
5
Batu laga, Siput hijau
Turbo marmoratus
TUMBUHAN PALMAE 1
Bunga Bangkai Raksasa
Amorphophallus titanium
Sangat langka
2
Daun Payung / Sang
Johaneste ijsmaria
Sangat langka
altifrons 3
Palem Sumatera
Langka
Nenga gajah
Lanjutan Tabel 10 No
Nama Lokal
Nama Latin
4
Pinang Jawa
Pinanga javana
Status
Keterangan Langka
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
RAFFLESSIACEA 1
Rafflesia, Bunga Padma
Rafflesia spp
Langka
ORCHIDACEAE 1
Anggrek Hartinah
Cymbidium hartinahianum
Sangat langka
2
Anggrek Bulan Sumatera
Phalaenopsis sumatrana
Langka
3
Vanda Sumatera
Vanda sumatrana
Langka
NEPHENTES 1
Kantong Semar
Nephentes spp
TUMBUHAN BERKAYU 1
Damar
Agathis sp
ø > 50 cm
2
Jelutung
Dyera sp
ø > 60 cm
3
Kemenyan
Styrax sp
ø > 30 cm
4
Kapur barus
Dryobalanops champora
ø > 60 cm
5
Kruing
Dipterocarpus sp
ø > 50 cm
6
Jambu monyet
Anacardium ochidentale
ø > 30 cm
7
Durian
Durio zibethinus
ø> 60 cm
8
Kemiri
Aleuritas molucana
ø> 60 cm
9
Enau
Arenga piñata
ø > 40 cm
10
Garu
Excoevaria agalocna
ø > 25 cm
11
Saga
Myristica argentea
ø > 30 cm
12
Kayu manis
Cinnamomum burmanii
ø > 25 cm
13
Ecaliptus
Eucalyptus sp
ø > 40 cm
14
Kulim
Scorodocarpus sp
ø> 50 cm
Keterangan : Ø : Diameter setinggi dada orang dewasa (rata rata dengan ketinggian 130 cm) Sumber : BBKSDA Sumatera Utara, 2007
Tabel 11 : Daftar Flora dan Fauna Yang Tidak Dilindungi Di Sumatera Utara Yang Dimanfaatkan No. Nama Jumlah Keterangan (1) I.
(2)
(3)
(4)
APPENDIX CITES
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
1 2 3 1 2
1 2 3 4 1 2 3 4 1 1 2 II. 1 2 3 4 5 6 1
Mamalia Monyet ekor panjang Beruk Kalong kapuk Reptilia Ular sanca darah (kulit) (hidup) Ular sanca batik (kulit) (hidup) Biawak/Monitors Biawak dumerili Biawak abu-abu Biawak air tawar Biawak air tawar hidup Kura-kura/Turtle Labi-labi / bulus Kura-kura nenas Kura-kura emys Kura-kura pipi putih Insekta Kupu-kupu cuneifera Tumbuhan Gaharu Pakis NON APPENDIX CITES Reptilia Ular karung Ular dendrophila Ular kadut Ular punai hageni Ular punai popeorum Ular punai sumatera Kura-kura/Turtles Kura-kura denta
-
ekor ekor ekor
2.845 300 1.350 -
pcs ekor pcs ekor
45 45 12.500 500
ekor ekor pcs ekor
2000 75 100 130
ekor ekor ekor ekor
-
ekor
90 -
kg kg
650 75 25
pcs ekor ekor ekor ekor ekor
500
ekor
Lanjutan Tabel 11
No 1
Nama Kadal/Skink-Lizards Kadal ekor panjang
Jumlah -
ekor
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Londok/Agamids 1 Londok Acutirostris 2 Londok Fusca 3 Bunglon jubata 4 Bunglon grandis 5 Bunglon liogaster Cicak/tokek/Geckos 1 Cicak rumah platyurus 2 Cicak rumah mutilate 3 Tokek biasa 4 Cicak frenatus 5 Cicak typus Amphibia/Frogs 1 Kodok parvus 2 Katak tanduk Montana 3 Katak tanduk nasuta 4 Katak pohon leucomystax 5 Katak pemakan serangga 6 Katak totol/rumput 7 Katak terbang hijau 8 Katak pohon hasselti 9 Katak pardalis Aves 1 Jalak kerbau 2 Cucak hijau cochinensis 3 Murai batu / larwo 4 Bondol hijau ekor duri 5 Burung peking 6 Uncal loreng 7 Kepodang 8 Cucak hijau sonnerati 9 Burung gereja 10 Cucak kuricang 11 Kutilang 12 Decu 13 Jalak suren Lanjutan Tabel 11 No 1 2
Nama Insecta Kumbang jepit Alcides Kumbang jepit Reichei
150 50 25
ekor ekor ekor Ekor ekor
2.500 3.000 2.000 -
ekor ekor ekor ekor ekor
350 75 100 -
ekor ekor ekor ekor ekor ekor ekor ekor ekor
-
ekor ekor ekor ekor ekor ekor ekor ekor ekor ekor ekor ekor ekor
Jumlah -
ek/pcs ek/pcs
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Kumbang jepit Titanus Kumbang jepit Mandibularis Kumbang jepit Deyrollei Kumbang jepit Duivenbodei Kumbang jepit Gazella Kumbang jepit Lacordairei Kumbang jepit Micros Kumbang jepit Sommeri Kumbang jepit Stevensi Kumbang jepit Wollastoni Kumbang jepit Bruijni Kumbang jepit Decipiens Kumbang jepit Spectabilis Kumbang tanduk Atlas Kumbang tanduk Simson Kumbang bunga Sexmacula Kumbang bunga Squamosu Kumbang bunga Gigantea Kumbang bunga Striatus Kumbang kumis Amoena Kumbang kumis Parryi Kumbang kumis Equestis Kumbang kumis Bicolor Kumbang kumis Aquila Kupu biasa Agetes Kupu biasa Antipathes Kupu biasa Cloanthus Kupu biasa Neptunus Kupu biasa Forbesi Kupu biasa Karna Kupu biasa Paris Kupu biasa Hyparete Kupu biasa Momea Kupu biasa Singhapura Kupu biasa Glaucippe Kupu biasa Flavipennis
-
ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs ek/pcs
Jumlah -
ek/pcs ek/pcs
Lanjutan Tabel 11 No 39 40
Nama Kupu biasa Harmodius Kupu biasa Aemonia
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
41 Kupu biasa Noureddin 42 Kupu biasa Ceryxoide 43 Kupu biasa Absolon Sumber : BBKSDA Sumatera Utara, 2007
-
ek/pcs ek/pcs ek/pcs
Berdasarkan tempat berkembang biaknya, keanekaragaman hayati Sumatera Utara dapat dilihat dari daftar tabel berikut. Pada Tabel 12 di bawah ini menjelaskan mengenai daftar tumbuhan yang hidup di daratan Sumatera Utara. Tabel 12 : Tumbuhan Darat
No
Nama lokal
Persebaran Geografi
Statu s*
Cyathe, Contanimans
Kab.Karo,Deli Serdang,Dairi
**
Dendrobium, Cruminatum Johaneste ijsmaria altifrons
Kab. Deli Serdang
**
Nama Ilmiah
1
Pakis
2
Anggrek
3
Daun Payung / Sang
4
Palem Sumatera
Nenga gajah
5
Rafflesia, Bunga Padma
Rafflesia spp
6
Anggrek Hartinah
7
Anggrek Bulan Sumatera
8
Vanda Sumatera
9
Bunga Bangkai Lanjutan Raksasa Tabel 12
Cymbidium hartinahianum Phalaenopsis sumatrana Vanda sumatrana Amorphophall us Titanium
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Bunga Bangkai
Amorphophall us sp
No 10
Status perlind ungan ** Tidak Dilindu ngi
Habit at
Ket ***
Habit at
Ket
Langkat Besitang, Tapanuli Madina, Tapanuli Utara, Tanah karo, Simalungun, Besitang, Langkat Samosir Tapanuli, Madina Tapanuli, Madina Deli Serdang, Tanah Karo Persebaran Geografi Madina, Tanah Karo, Tapanuli
Status
Satuan
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
11
Kantong Semar
Nephentes spp
Madina, Tapanuli Utara, Tanah karo, Simalungun, Besitang, Langkat
Keterangan * Endemik, terancam, berlimpah, tidak tahu ** Dilindungi, tidak dilindungi Untuk jenis liar yang belum bernilai ekonomi = pemanfaatan, potensi budidaya dan upaya *** pengembangan (penangkaran, pelaporan, dll.) Untuk jenis liar yang sudah diketahui nilai ekonominya = jelaskan besaran nilai ekonomi dari masing-masing spesies Sumber : BBKSDASU, 2008 Pada tabel 13 berikut mengklasifikasikan satwa di Sumatera Utara yang hidup daratan. Tabel 13 : Satwa Daratan No
Nama lokal
Nama ilmiah
Persebaran geografi
Status perlindungan **
1
Mawas, Orang utan
Pongo pygmaeus
TN. Gunung Leuser, Batang Toru
Sangat langka
2
Kukang / Malu-malu
Nycticebus coucang
Madina, Tapanuli, TN. Gunung Leuser
Langka
3
Monyet Lar
Presbytis aygula
4
Tapir, Cipan, Tenuk
Tapirus indicus
5
Gajah
Elephas indicus
6
Beruang madu
Helarctos malayanus
Langka Toba Samosir, Madina Tapanuli Selatan, Labuhan Batu, TN. Gunung Leuser Madina, Tapanuli, Tanah Karo, Simalungun, Besitang, Langkat, Deli Serdang, Asahan, Samosir, Dairi
Sangat langka Langka
Langka
Lanjutan Tabel 13
No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Persebaran Geografis
Status Perlindungan
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
7
Kambing Sumatera
Capricornis sumatrensis
Tapanuli, Madina, TN. Gunung Leuser
Sangat langka
Besitang, Langkat, Deli Serdang, Asahan, Samosir, Dairi
Terancam
8
Rusa
Cervus Sp
9
Kijang / Muncak
Muntiacus muntjak
10
Kancil / Pelanduk / Napu
Tragulus sp
Tapanuli
Langka
11
Badak Sumatera
Dicerorhinus sumatrensis
TN. Gunung Leuser
Sangat langka
Terancam
Langka
12
Trenggiling / Peusing
Manis sp
Madina, Tapanuli, Tanah Karo, Simalungun, Besitang, Langkat, Deli Serdang, Asahan, Samosir, Dairi
13
Bajing tanah / Tupai tanah
Laricus insignis
Madina, Tapanuli
Langka
14
Musang Air
Cynogale bennetti
Madina, Tapanuli
Langka
15
Bajing terbang / Cukbo
Petaurista elegans
TN. Batang Gadis
Langka
16
Kelinci Sumatera
Nesolagus netscheri
Langka
17
Bajing terbang ekor merah
Lomye horsfieldi
Langka
18
Landak
Hystrix brachyuran
19
Pulusan
Arctonyx collaris
Langka
20
Musang congkok
Prionodon linsang
Langka
21
Binturung
Arctictis binturong
Langka
Madina, Tapanuli
Langka
22 Kucing emas Lanjutan Tabel 13
Felis temminoki
Madina, Tapanuli
Langka
No
Nama Ilmiah
Persebaran Geografis
Status Perlindungan
Nama Lokal
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
23
Kucing bakau
Felis viverrinus
24
Harimau dahan
Neofelis nebulosa
25
Harimau Sumatera
Panthera tigris sumatrae
Kucing hutan, Meong congkok Binatang hantu / Singapuar
26 27
Felis bengalensis
Langkat Madina, Tapanuli, Labuhan Batu Madina, Tapanuli, Labuhan Batu, TN. Batang Gadis, Madina
Tarsius spp
Langka Langka Sangat langka Langka Langka
28
Owa, Kera tak berbuntut
Hylobatidae
Madina, Tapanuli, Tanah Karo, Simalungun, Besitang, Langkat, Deli Serdang, Asahan, Dairi
29
Lumba-lumba air laut
Dolphinidae
Perairan Pantai Barat
30
Lutra Sumatera
Lutra Sumatrana
Langka
31
Bajing tanah bergaris
Lariscus hosei
Langka
32
Macan kumbang / Macan tutul
Panthera pardus
33
Kuskus
Phalanger spp
34
Paus
Balaenoptera Sp.
Perairan Pantai Barat
Langka
35
Itik Liar
Cairina scutulata
Dairi
Sangat Langka
36
Burung dara laut
Sternidae
37
Glatik kecil, Glatik gunung
Psaltria exilis
Madina, Tapanuli
Langka
9 jenis
TN. Batang Gadis, Madina Madina, Tapanuli, TN. Gunung Leuser
Terancam
Langka
Langka Langka
Langka
38
Julang/Rangkong/Eng gang
Bucerotidae
Madina, Tapanuli, Tanah Karo, Simalungun, Besitang, Langkat, Deli Serdang, Asahan
39
Burung Beo Nias
Gracula religiosa robusta
Nias
Sangat Langka
Lorius roratus
Nias
Langka
Nama Ilmiah
Persebaran Geografis
Status Perlindungan
40
Bayan Lanjutan Tabel 13
No
Nama Lokal
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
41
Burung pecuk ular
Anhinga melanogaster
42
Bangau tongtong, Marabu
Leptotilos sp
Dairi, Tapanuli
Langka
43
Burung Alap-alap, Elang
Falconidae
Madina, Tapanuli, Tanah Karo, Simalungun, Besitang, Langkat,
Langka
44
Burung Sesap, Pengsap madu
Meliphagidae
Madina, Tapanuli
Terancam
Langka
Madina, Tapanuli, Tanah Karo, Simalungun, Besitang, Langkat, Deli Serdang, Asahan, Dairi Madina, Tapanuli, Tanah Karo, Simalungun, Besitang, Langkat, Deli Serdang, Asahan, Dairi
45
Burung Alap-alap, Elang
Pandionidae
46
Accipitridae
Burung Alap-alap, Elang
47
Alcedinidae
Burung Udang, Raja Udang
Madina, Tapanuli
Terancam
Madina, Tapanuli, Tanah Karo, Simalungun, Besitang, Langkat, Deli Serdang, Asahan,Dairi
Terancam
Terancam
Langka
48
Bubulcus ibis
Kuntul / Ibis
49
Ducula whartoni
Pergam raja
Langka
50
Egretta spp
Bangau putih
Terancam
51
Elanus hypoleucus
Alap-alap putih / Alap-alap tikus
53
Tomistoma schlegelli
Buaya sapit / Senyulong
Madina, Tapanuli, Tanah Karo, Simalungun, Besitang, Langkat, Deli Serdang, Asahan, Samosir, Dairi Langkat, Besitang, Deli Serdang, Asahan, Madina
Langka
Langka
Lanjutan Tabel 13
No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Persebaran Geografis
Status Perlindungan
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Perairan Barat dan Timur Labuhan Batu, Tapanuli, Madina Perairan Barat dan Timur Perairan Barat dan Timur Labuhan Batu, Tapanuli, Madina Perairan Barat dan Timur Perairan Barat dan Timur
54
Crocodylus porosus
Buaya muara
Langka
55
Batagur baska
Tuntong
56
Dermochelys coriacea
Penyu Belimbing
57
Eretmochelys imbricata
Penyu sisik
58
Chondropython viridis
Sanca hijau
59
Chelonia mydas
Penyu hijau
60
Caretta caretta
Penyu tempayan
61
Varanus nebulosus
Biawak abu-abu
62
Chitra indica
Labi Labi Besar
Tapanuli, Labuhan Batu, TN. Gunung Leuser
Langka
63
-
Katak bercula dua
TN. Batang Gadis
Sangat Langka
64
Omithoptera goliath
65
Omithoptera priamus
66
Troides amphrysus
Kupu raja
Dilindungi
67
Omithoptera paradisea
Kupu Sayap burung surga
Dilindungi
68
Triodes criton
Kupu Raja
Dilindungi
69
Troides helena
Kupu Raja
Dilindungi
70
Triodes hypolitus
Kupu Raja
Dilindungi
71
Triodes miranda
Kupu Raja
Dilindungi
72
Triodes rhadamantus
Kupu Raja
Dilindungi
73
Triodes riedeli
Kupu Raja
Dilindungi
Langka Langka Langka Langka Sangat Langka Langka Langka
Kupu sayap burung goliah Kupu sayap burung priamus
Dilindungi Dilindungi
74 Birgus latro Lanjutan Tabel 13
Ketam kelapa
Madina, Nias, T. Balai, Tapanuli
Langka
No
Nama Ilmiah
Persebaran Geografis
Status Perlindungan
Nama Lokal
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
75
Cassis cornuta
Kepala kambing
Langka
76
Tridacna gigas
Kima raksasa
Langka
77
Tridacna maxima
Kima kecil
Langka
78
Turbo marmoratus
Batu laga, Siput hijau
Langka
79
Antiphates spp
Akar bahar, Koral hitam
Perairan Pantai Barat
Langka
Sumber : BBKSDASU, 2008 Sedangkan data Tabel 14 menjelaskan mengenai daftar tumbuhan yang hidup di perairan Sumatera Utara
Tabel 14 : Tumbuhan Perairan No
Nama local
Nama ilmiah
Persebaran geografi
Status perlindungan **
1
Daun Payung / Sang
Johaneste ijsmaria altifrons
Langkat
Sangat langka
2
Palem Sumatera
Nenga gajah
Besitang, Tapanuli
Langka
Langka
3
Rafflesia, Bunga Padma
Rafflesia spp
Madina, Tapanuli Utara, Tanah karo, Simalungun, Besitang, Langkat
4
Anggrek Hartinah
Cymbidium hartinahianum
Samosir
Sangat langka
5
Anggrek Bulan Sumatera
Phalaenopsis sumatrana
Tapanuli, Madina
Langka
6
Vanda Sumatera
Vanda sumatrana
Tapanuli, Madina
Langka
7
Bunga Bangkai Raksasa
Amorphophallus titanium
Deli Serdang, Tanah Karo
Sangat langka
8
Bunga Bangkai
Amorphophallus sp
Madina, Tanah Karo, Tapanuli
Langka
Lanjutan Tabel 14
No
Nama local
Nama ilmiah
Persebaran geografi
Status perlindungan **
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Madina, Tapanuli Utara, Tanah karo, Simalungun, Besitang, Langkat
Langka
9
Kantong Semar
Nephentes spp
10 11
Damar Jelutung
Agathis sp Dyera sp
12
Kemenyan
Styrax sp
13
Kapur barus
Dryobalanops champora
ø > 60 cm
14
Kruing
Dipterocarpus sp
ø > 50 cm
15
Jambu monyet
16 17
Madina, Tapanuli, Tanah Karo, Simalungun, Besitang, Langkat, Deli
ø > 50 cm ø > 60 cm ø > 30 cm
Durian Kemiri
Anacardium ochidentale Durio zibethinus Aleuritas molucana
ø> 60 cm ø> 60 cm
18
Enau
Arenga piñata
ø > 40 cm
19 20
Garu Saga
ø > 25 cm ø > 30 cm
21
Kayu manis
Excoevaria agalocna Myristica argentea Cinnamomum burmanii Eucalyptus sp Scorodocarpus sp
22 Ecaliptus 23 Kulim Sumber : BBKSDASU, 2008
ø > 30 cm
ø > 25 cm ø > 40 cm ø> 50 cm
Dari tabel tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan luas daratan Provinsi Sumatera Utara seluas 71.680,68 km2 dan hanya terdapat beberapa species saja yang tersisa dengan status terancam, langka dan seterusnya, menandakan bahwa keanekaragaman hayati Provinsi Sumatera Utara sedang dalam kondisi yang kritis. Kondisi ini akan semakin memburuk jika aparat pemerintahnya tidak konsern terhadap krisis keanekaragaman hayati yang tengah berlangsung. Artinya, penegakan hukum dan peraturan yang telah ditetapkan harus benar – benar dijalankan.
2. Ancaman Terhadap Kenaekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati mengalami ancaman dan tekanan dari berbagai aspek. Akibat tekanan tersebut mengakibatkan keragaman hayati khususnya flora fauna mengalami penurunan dari
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
sisi jumlah. IUCN melakukan klasifikasi flora fauna berdasarkan keberadaannya guna dasar pertimbangan untuk menentukan treathment pengelolaannya sehingga suatu jenis tidak mengalami kepunahan. Kriteria status flora dan fauna menurut IUCN : Kritis (critically endagered) : jika taksa mengalami resiko kepunahan yang sangat ekstrim (tinggi) di alam dalam waktu dekat. Populasinya berkurang paling sedikit 80% selama 10 tahun terakhir dengan luas wilayah diperkirakan kurang dari 100 km2, populasi dewasa kurang dari 250 individu, jumlah populasi diperkirakan kurang dari 50 individu dewasa dan kemungkinan punah di alam paling sedikit 50% dalam 10 tahun; Genting atau terancam (endagered) : jika taksa tidak termasuk kriteria genting tetapi mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu dekat. Populasinya berkurang paling sedikit 50% selama 10 tahun terakhir dengan luas wilayah diperkirakan kurang dari 5000 km2 atau daerah yang ditempati kurang dari 500 km2, populasi dewasa kurang dari 2500 individu, jumlah populasi diperkirakan kurang dari 250 individu dewasa dan kemungkinan punah di alam paling sedikit 20% dalam 20 tahun; Rentan (vulnerable) : jika taksa tidak termasuk kriteria genting atau terancam, tetapi mengalami resiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu dekat. Populasinya berkurang paling sedikit 20% selama 10 tahun terakhir dengan luas wilayah diperkirakan kurang dari 20.000 km2 atau daerah yang ditempati kurang dari 2000 km2, populasi dewasa kurang dari 10.000 individu, jumlah populasi diperkirakan kurang dari 1000 individu dewasa dan kemungkinan punah di alam paling sedikit 10% dalam 100 tahun. Sumatera adalah salah satu pulau terbesar di Indonesia yang memiliki nilai keanekaragaman hayati yang tinggi. Secara zoogeografik, pulau ini memiliki 18 region secara ekologis yang membedakan karakteristik konservasi spesiesnya. Hal ini menjadikan adanya spesies-spesies yang khas pada masing-masing wilayah zoogeografik tersebut. Salah satu daerah yang mempunyai karakter ekologi yang khas di pulau Sumatera adalah kawasan hutan Daerah Aliran Sungai Batang Toru, karena diperkirakan merupakan kawasan transisi
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
biogeografis antara kawasan biogeografis Danau Toba Bagian Utara dan Danau Toba bagian Selatan. Kawasan ini memiliki beberapa tipe ekosistem mulai dataran rendah, perbukitan hingga pegunungan yang menjadi habitat bagi orangutan Sumatera (Pongo abelii), yang diperkirakan bahwa Blok Hutan Batang Toru Barat dapat menampung populasi orangutan sebanyak 400 individu dan Blok Hutan Batang Toru/Sarulla Timur sebanyak 150 individu. Terjadinya kawasan transisi biogeografis ini kemungkinan disebabkan kekuatan tektonik dan letusan Gunung Berapi Toba pada 75.000 tahun yang lalu. Pada kurun waktu itu, Sungai Batang Toru dan Sungai Batang Gadis menjadi satu dan kemudian kedua sungai besar tersebut terpisah, 39 sehingga menjadi faktor penghalang ekologi yang efektif bagi penyebaran satwa dan tumbuhan liar. Bukan hanya sungai saja, di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru telah terbentuk penghalang karakter ekologis lainnya (ecological barrier), seperti pegunungan yang tinggi, perbukitan, habitat yang spesifik (rawa dan danau) serta tingkat perbedaan intensitas matahari pada wilayah basah dan kering. Namun selain faktor ekologis tersebut, aktifitas manusia dalam bentuk laju pembangunan yang sangat pesat di Kabupaten-kabupaten Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Kodya Sibolga dan Tapanuli Utara juga menjadi faktor dalam menentukan sebaran spesies 40.
3. Upaya Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Upaya awal untuk mengarusutamakan pendekatan pengelolaan keanekaragaman hayati secara lestari telah dilakukan baik ditingkat global maupun lokal. Di tingkat global, Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (KKH atau United Nations Conventions on Biological Diversity) merupakan salah satu 8 produk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi 1992 di Rio de Janeiro, Brazil . Konvensi ini mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1994, melalui ratifikasi dalam bentuk UU No. 5/1994. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) adalah fokal point nasional bagi pelaksanaan KKH. Tujuan utama dari KKH yaitu:
39
Rijksen, et al, 1999 40 Anonimous, 2006
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
1.
Konservasi keanekaragaman hayati,
2.
Pemanfaatan berkelanjutan dari komponennya, dan
3.
Pembagian keuntungan yang adil dan merata dari penggunaan sumber daya genetis, termasuk akses yang memadai serta alih teknologi, dan melalui sumber pendanaan yang sesuai. Sesuai dengan tujuannya KKH mewajibkan negara – negara yang meratifikasinya, termasuk
Indonesia, untuk : 1.
Membuat strategi dan rencana aksi nasional;
2.
Memfasilitasi partisipasi masyarakat adat dan lokal dalam pelaksanaan KKH;
3.
Mendukung pengembangan kapasitas bagi pendidikan dan komunikasi keanekaragaman hayati;
4.
Menerapkan pendekatan ekosistem, bilamana memungkinkan, dan memperkuat kapasitas nasional serta lokal;
5.
Mengembangkan peraturan tentang akses pada sumber daya genetis dan pembagian keuntungan yang adil;
6.
Dan lain-lain. Kesepakatan lain yang ditandatangani oleh pemerintah di tingkat internasional ialah:
Misalnya, pemerintah meratifikasi CITES (Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Flora dan Fauna Liar yang Terancam, Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) melalui Keppres No. 43/1978 dan Konvensi Ramsar mengenai Lahan Basah melalui Keppres No.48/1991. Ditingkat nasional, kebijakan mengenai pelestarian keanekaragaman hayati adalah UU No. 5/1990 tentang Pelestarian Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya yang mengatur konservasi ekosistem dan spesies terutama di kawasan lindung. Perundangan ini belum dapat dikatakan komprehensif karena cakupannya masih berbasis kehutanan dan pelestarian hanya di kawasan lindung, padahal di luar kawasan lindung banyak sekali eksosistem yang mengalami ancaman yang setara.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Pada awal 1990an, ada beberapa kebijakan yang diharapkan dapat menjadi panduan komprehensif bagi pengelolaan keanekaragaman hayati. Misalnya, tahun 1993 Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KMNLH sekarang Kementrian Lingkungan Hidup, KLH) menerbitkan Strategi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Pada saat yang hampir bersamaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) menerbitkan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati untuk Indonesia (Biodiversity Action Plan for Indonesia 1993 - BAPI 1993). Dokumen BAPI ini pada tahun 2003 direvisi menjadi dokumen Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) juga oleh BAPPENAS. Dokumen ini telah didokumentasikan oleh sekretariat UNCBD sebagai dokumen nasional Indonesia. Tiga kebijakan, yaitu UU No.5/1990, UU No.5/1994 dan IBSAP 2003 merupakan serangkaian upaya yang apabila dijalankan dapat menjadi sarana bagi pengelolaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. Sejak tahun 1984 pemerintah telah mengeluarkan peraturan perundangan yang terkait dengan keanekaragaman hayati. Berikut ini adalah daftar peraturan-peraturan tersebut yang diklasifikasikan berdasar bentuk perundangannya: a. Undang – undang 1.
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity;
2.
Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya;
3.
Undang – Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
4.
Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan;
5.
Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
6.
Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman ; dan
7.
Undang – Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.
b. Peraturan Pemerintah
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
1.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1994 Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman hutan Nasional Dan Taman Wisata Alam;
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pelestarian Jenis Tumbuhan dan Satwa;
3.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar;
4.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 13 Tahun 1994 Tentang Perburuan Satwa Buru;
5.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom;
6.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 1993 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;
7.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Suaka Alam Dan Daerah Perlindungan Alam;
8.
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Penggunaan Jenis Kehidupan Liar; dan
9.
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Dalam Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia. Keanekaragaman hayati bagi manusia adalah pendukung kehidupan. Ia memberi manusia
memperoleh ruang hidup, dan di dalam ruang hidup itu tersedia bekal kehidupan (flora, fauna, dan sebagainya) untuk dikelola secara bijaksana oleh manusia, dimana sebenarnya manusia sendiri adalah salah satu komponen keanekaragaman hayati. Meskipun begitu, masih banyak yang belum memahami pentingnya peran keanekaragaman hayati sebagai penopang kehidupan. Oleh sebab itu, saat ini sangat mendesak untuk dilakukan langkahlangkah penting peningkatan kesadaran publik terhadap fakta dan permasalahan keanekaragaman hayati (KH). Seluruh komponen masyarakat harus memahami biaya sosial dan biaya lingkungan dari kemerosotan keanekaragaman hayati. Prioritas layak diberikan pada pemberdayaan konstituen keanekaragaman hayati di tingkat lokal. Atas dasar kebutuhan diatas, buku ini disusun sebagai dokumentasi suatu proses kegiatan identifikasi kawasan yang kritis keanekaragaman hayatinya.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Konsep pembangunan berkelanjutan meletakkan standard yang tidak hanya ditujukan bagi perlindungan lingkungan melainkan juga bagi kebijaksanaan pembangunan yang dilandasi atas kesadaran pentingnya pelestarian fungsi lingkungan hidup, kesamaan derajad antar generasi, kesadaran terhadap hak dan kewajiban masyarakat, pencegahan terhadap pembangunan yang destruktif yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan serta kewajiban untuk turut serta dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan pada setiap lapisan masyarakat. Memperhatikan kondisi ekosistem mangrove yang mendapat ancaman kerusakan tersebut maka pengelolaan mangrove secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan perlu dilaksanakan dengan memperhatikan kecenderungan bersifat positit dari dinamika ekonomi dan sosial dan alam dalam rasa kebersamaan masyarakat yang terlibat di dalamnya.
C. Perubahan Iklim Perubahan iklim atau Climate Change akhir-akhir ini semakin banyak diperbincangkan orang, dari para ilmuan, pejabat, politisi, pedagang, penjual asuransi sampai tukang becak dipinggiran jalan. Lebih-lebih lagi setelah Indonesia ditunjuk menjadi tuan rumah Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali pada tanggal 3 – 15 Desember 2008. Tetapi sebenarnya banyak yang tidak tau apa sebenarnya perubahan iklim itu. Bahkan pegawai yang bekerja di bidang lingkungan hidup belum tentu semuanya mengerti. Tulisan berikut ini mudah-mudahan dapat menambah wawasan kita tentang apa climate change itu. Secara alamiah panas matahari yang masuk ke bumi, sebagian akan diserap oleh permukaan bumi, sementara sebagian lagi akan dipantulkan kembali ke luar angkasa. Dengan adanya lapisan gas rumah kaca yang berada di atmosfer menyebabkan terhambatnya panas matahari yang hendak dipantulkan ke luar angkasa untuk menembus atmosfer. Peristiwa tertangkapnya panas matahari di permukaan bumi ini dikenal dengan istilah efek rumah kaca. Sejak revolusi industri, kegiatan manusia yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak, gas dan batubara) terus meningkat. Kegiatan seperti pembangkitan tenaga listrik, kegiatan industri,
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
penggunaan alat-alat elektronik dan penggunaan kendaraan bermotor pada akhirnya akan melepaskan sejumlah emisi gas rumah kaca yang berada diatmosfer yang kemudian menyebabkan meningkatnya suhu di muka bumi, yang umum disebut pamanasan global. Pemanasan global kemudian pada prosesnya menyebabkan terjadinya perubahan seperti meningkatnya suhu air laut, yang dapat menyebabkan meningkatnya penguapan di udara dan berubahnya pola curah hujan serta tekanan udara. Perubahan tersebut pada gilirannya menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Berdasarkan penelitian para ahli, perubakan iklim diketahui akan menimbulkan dampakdampak yang merugikan bagi kehidupan manusia. Kekeringan, gagal panen, krisis pangan dan air bersih, hujan badai, banjir dan tanah longsor, serta wabah penyakit tropis dan sebagainya. Oleh karena itu, demi kelangsungan hidup manusia, kita harus segera berupaya mengurangi kegiatan yang mengeluarkan emisi gas rumah kaca guna menghambat laju terjadinya perubahan iklim. 41 Perubahan iklim adalah berubahnya pola dan unsur cuaca secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama. Cuaca terutama dikendalikan oleh temperatur. Konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer yang kian meningkat mengakibatkan akumulasi panas di atmosfer, sehingga terjadi efek rumah kaca berlebihan yang disebut sebagai “Pemanasan Global”. 42 Gas Rumah Kaca Gas Rumah Kaca adalah gas-gas diatmosfer yang memiliki kemampuan untuk menyerap radiasi matahari yang dipantulkan oleh bumi sehingga menyebabkan suhu dipermukaan bumi menjadi hangat, gas-gas ini terutama dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia, terutama kegiatan yang menggunakan bahan bakar fosil, seperti penggunaan kendaraan bermotor dan kegiatan industri (Newby, 2007). Sedangkan menurut Porteus (1992) gas rumah kaca adalah gas yang mempunyai pengaruh pada efek rumah kaca, seperti CFC, CO2, CH4, NOx, O3, dan H2O. Beberapa komponen dari gas rumah kaca dapat merusak satu sama lain, seperti molekul metana mempunyai 20-30 kali 41 42
Newby, 2007 KLH, 2007
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
lebih kuat dari CO2. Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengenai Perubahan Iklim (United Nation Frame Convention on Climate Change-UNFCCC), menyatakan ada 6 jenis gas yang digolongkan sebagai GRK, yaitu : 1.
Karbondioksida (CO2)
2.
Fosil di sektor energi, transportasi dan industri dinitro oksida (N2O).
3.
metana (CH4)
4.
Sulfurheksaflorida (SF6)
5.
Perflorokarbon (PFCs)
6.
hidroflorokarbon (HFCs) 43 Sedangkan dalam IPCC radiative forcing refort, climate change 1995, bahwa penyumbang
gas rumah kaca yang utama adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4) dinitrooksida (N2O), CFCS, HCFCS, Perfluorocarbon, Sulphur hexa-fluoride. Gas rumah kaca adalah faktor kunci dari pemanasan global yang menangkap radiasi panas di atmosfer dan memantulkannya kembali. Lain hal menurut Khalil dalam bukunya atmopheric methane its role in the global environment mengkategorikan sumber-sumber emisi global berasal dari dua aktivitas yaitu yang berasal dari alam dan karena kegiatan manusia (antropogenic).
Gambar 1 : Gas Rumah kaca (GRK) 1. Dampak Perubahan Iklim 43
Meiviana, Armely. Dkk: Bumi Makin Panas, Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia, Jakarta, Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Yayasan Pelangi Indonesia, 2004, hlm. 4
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Perubahan iklim dalam prosesnya terjadi secara perlahan sehingga dampaknya tidak langsung dirasakan saat ini, namun akan sangat terasa bagi generasi mendatang. Berikut ini beberapa dampak perubahan iklim terhadap lingkungan fisik : 1.
Mencairnya es di kutub
2.
Meningkatnya permukaan air laut
3.
Pergeseran musim
4.
Terjadinya deposisi asam
5.
Penipisan lapisan ozon
6.
Perubahan presipitasi Dampak perubahan iklim bagi Indonesia selain meningkatkan temperatur udara, perubahan
musim dan naiknya permukaan air laut, lebih jauh adalah akan terpengaruhnya aktivitas berbagai sektor pembangunan. Sebut saja sektor pertanian. Pada sektor ini petani harus merubah pola musim tanam karena kehadiran musim kemarau dan musim penghujan yang tidak menentu. Sektor kesehatan akan berhadapan dengan munculnya berbagai gejala penyakit yang belum pernah ditemukan sebelumnya karena perubahan perilaku biota dan mikrobiologi. Sektor transportasi dan kepariwisataan juga akan terkena dampak. Jadwal penerbangan akan banyak terganggu oleh semakin kerapnya terjadi hujan dan badai. Banyak obyek-obyek wisata pantai yang akan hilang karena naiknya permukaan air laut serta matinya terumbu karang karena sengatan ultraviolet. Dari sektor kehutanan, dampak dari perubahan iklim diperkirakan akan terjadi pergantian beberapa spesies flora dan fauna yang terdapat di dalam hutan sebagai akibat perubahan iklim. Beberapa spesies akan terancam punah karena tak mampu beradaptasi. Sebaliknya spesies yang mampu bertahan akan berkembang tak terkendali (KLH, 1998). Kebakaran hutan bersumber pada tiga hal, yaitu kesengajaan manusia, kelalaian manusia dan karena faktor alam. Kebakaran hutan yang kita bahas pada bagian ini adalah yang disebabkan oleh faktor alam.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Kebakaran hutan yang disebabkan oleh faktor alam, umumnya disebabkan oleh terjadinya peningkatan suhu udara di lingkungan sekitar hutan. Peningkatan suhu yang terjadi dalam masa yang cukup lama, seperti musim kemarau panjang, mengakibatkan mudah terbakarnya ranting-ranting atau daundaun akibat gesekan yang ditimbulkan. Hal ini menyebabkan kebakaran hutan dapat terjadi dalam waktu singkat dimana api melahap sekian hektar luasan hutan dan berbagai macam keanekaragaman hayati yang berada di dalamnya. Singkat kata, peningkatan suhu meningkatkan peluang terjadinya kebakaran hutan. Oleh karena itu perubahan iklim yang berdampak pada meningkatnya suhu, dipastikan akan meningkatkan potensi kebakaran hutan. Musim kemarau pada tahun 1994, telah menyebabkan hutan Indonesia seluas 5 juta ha habis terbakar 44. Sementara pada peristiwa El-Nino tahun 1997- 1998, kawasan yang rusak akibat kebakaran hutan hampir seluas 10 juta ha, termasuk di dalamnya pertanian dan padang rumput45 . Selain hilangnya sejumlah kawasan hutan, kebakaran hutan juga menyebabkan hilangnya berbagai keanekaragaman hayati, terutama yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Belum lagi dampak sosial dan kesehatan yang ditimbulkan bagi masyarakat setempat.
2. Upaya Dunia Dalam Pengendalian Dampak Perubahan Iklim Meningkatnya bukti ilmiah akan adanya pengaruh aktivitas manusia terhadap sistem iklim serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan isu lingkungan global, menyebabkan isu perubahan iklim menjadi perhatian dalam agenda politik internasional pada tahun 1980-an. Adanya kebutuhan dari para pembuat kebijakan akan informasi ilmiah terkini guna merespon masalah perubahan iklim, maka pada tahun 1998, Word Meterogical Organization (WMO) dan United Nations Environment Programme (UNEP) mendirikan Intergovernment Panel on Climate Change (IPCC), sebuah lembaga
44
Bappenas, 1999
45
FWI/GFW, 2001
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
yang teridir dari para ilmuan diseluruh dunia yang bertugas meneliti fenomena perubahan iklim serta kemungkinan solusi yang harus dilakukan. Pada tahun 1990, IPCC menghasilkan laporan pertamanya, First Assesment Report, yang menegaskan bahwa perubahan iklim merupakan sebuah ancaman serius bagi seluruh dunia dan untuk itu diperlukan adanya kesepakatan global untuk mengatasi ancaman tersebut. Untuk merespon seruan IPCC, pada Desember 1990, Majelis Umum PBB membentuk sebuah komite, Intergovernental Negotiating Committee (INC), untuk melakukan negosiasi perubahan iklim hingga pada pembuatan Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim (Frework Convention on Climate Change/FCCC). Setelah INC melakukan beberapa kali pertemuan, sejak Februari 1991-Mei 1992, mengenai kerangka konvensi yang dikenal dengan konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change/UNFCCC). Konvensi tersebut kemudian terbuka untuk ditandatangani pada KTT Bumi di Rio de Jeneiro, Juni 1992. Konvensi perubahan iklim dinyatakan telah berkekuatan hukum sejak 21 Maret 1994, setelah diratifikasi oleh 50 negara. Setelah melakukan negosiasi yang sangat intensif selama dua tahun, akhirnya disepakati sebuah protokol yang mengikat secara hukum dengan komitmen yang lebih tegas dan lebih rinci. Protokol Kyoto ini diadopsi pada pertemuan COP III di Kyoto, Jepang pada tahun 1997. COP III yang dikenal dengan Konferensi Kyoto merupakan sebuah ajang pergulatan antara negara maju dan berkembang. Dan hingga tahun 2005, konvensi tersebut telah diratifikasi oleh lebih dari 141 negara. Artinya secara yuridis, Protokol Kyoto mempunyai hukum yang sah sejak tanggal 16 Februari 2005 dimana setelah Britania meratifikasinya pada 23 Mei 2002 dan Rusia pada 18 November 2004. Konvensi Perubahan Iklim ini mempunyai tujuan utama untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer hingga pada tingkat aman, sehingga tidak membahayakan sistem iklim global. Namun pada konvensi ini belum ada belum ada target-target yang mengikat, seperti target tingkat konsentrasi gas rumah kaca yang aman, serta batasan waktu untuk mencapai target tersebut.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Konvensi ini dilandasi dengan prinsip kesetaraan (equity) dan prinsip common but differentiated responsibilities, yaitu prinsip tanggung jawab bersama namun dengan beban yang berbeda-beda. Ini yang mendasari adanya perbedaan tanggung jawab antara negara maju dan negara berkembang dalam upaya menurunkan emisi GRK. Selanjutnya, Konvensi ini membagi negara-negara ke dalam 2 kelompok, yaitu negara maju yang terdaftar di dalam Annex I (dikenal sebagai negara Annex I) serta negara berkembang yang tidak terdaftar di dalam Annex I (dikenal dengan negara non-Annex I). Negara Annex I adalah negaranegara maju yang di dalam sejarahnya telah lebih awal mengkontribusi gas rumah kaca ke atmosfer, yaitu sejak revolusi industri tahun 1850. Emisi GRK per kapita negara Annex I terhitung jauh lebih tinggi daripada emisi per kapita negara non-Annex I atau negara berkembang. Selain itu negara Annex I mempunyai perekonomian dan kemampuan yang lebih baik dalam menghadapi masalah perubahan iklim dibanding negara berkembang. Yang termasuk dalam Negara-Negara Annex I adalah Amerika Serikat, Australia, Austria, Belanda, Belarusia, Belgia, Bulgaria, Cheko, Denmark, Estonia, Eslandia, Finlandia, Federasi Rusia, Jerman, Hongaria, Irlandia, Italia, Inggris, Jepang, Kanada, Kroasia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxemburg, Monako, Norwegia, Polandia, Portugal, Perancis, Rumania, Selandia Baru, Slowakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Ukraina, Uni Eropa dan Yunani. Oleh karena itu, prinsip kesetaraan dan prinsip 'common but differentiated responsibilities' (prinsip tanggung jawab bersama namun dengan porsi yang berbeda) yang diabadikan di dalam Konvensi, meminta negara-negara Annex I untuk mengambil langkah maju dalam hal menurunkan emisi GRK di dalam negerinya. Di dalam Konvensi Perubahan Iklim dinyatakan bahwa baik negara Annex I maupun non-Annex I harus menyerahkan laporan yang dikenal dengan National Communication, yaitu laporan mengenai inventarisasi emisi GRK serta program dan kebijakan perubahan iklim nasionalnya. Namun batas waktu penyerahan National Communication bagi negara non-Annex I lebih longgar daripada negara Annex I.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
3. Komitmen Indonesia Terhadap Perubahan Iklim Komitmen Indonesia dalam menghadapi persoalan perubahan iklim, selain diwujudkan dalam bentuk perumusan dan penerapan berbagai kebijakan di dalam negeri seperti: 1. Perumusan Keputusan Presiden Nomor 23/92 mengenai pengesahan Viena Convention for the protection of the ozone layer dan Montreal Protocol on substances that deplete the ozone layer as adjusted and ammanded by the 2nd meeting of the parties, London. Secara khusus Indonesia melarang penggunaan bahan perusak ozon kelompok CFC yang dilakukan secara bertahap sampai dengan 1 Januari 2010; 2. Revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memasukkan masalah perubahan iklim menjadi satu pasal tersendiri dan Penyusunan Peraturan Presiden tentang Komite Nasional Perubahan Iklim yang akan berfungsi sebagai institusi payung dalam seluruh kegiatan terkait dengan pengendalian dampak perubahan iklim, baik dari aspek inventarisasi gas rumah kaca, pengembangan sistem pemantauan perubahan iklim dan dampaknya, mitigasi maupun adaptasi. 3. Menyampaikan dokumen First National Communication yang menjelaskan seluruh kebijakan dalam mengatasi masalah perubahan iklim kepada sekretariat UNFCCC pada bulan Desember 1999;
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
4. Pada tahun 2003 Pemerintah Indonesia membentuk Komisi Nasional Perubahan Iklim melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 53/2003; 5. Pada tahun 2005 sebagai implementasi program Clean Development Mechanism (CDM), dibentuk Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (KNMPB) berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 206/2005. Dengan pembentukan ini, secara legal dapat mengikuti mekanisme CDM dalam upaya menurunkan emisi Gas Rumah Kaca-nya. Sejak pembentukannya sampai dengan bulan Desember 2007, KNMPB telah memberikan persetujuan kepada 24 proyek CDM; 12 proyek diantaranya telah terintegrasi di Executive Board. Dari ke-24 proyek tersebut, total emisi yang dapat diturunkan mencapai 33.079.993 ton CO2-equivalen; 6. Pada tahun 2007 diterbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 tahun 2007 tentang Baku Mutu Emisi Sumber tidak bergerak bagi Ketel Uap; 7. Tata guna lahan, perubahan tata guna lahan dan kehutanan (land use, land use change and forestry, LULUCF), dalam konteks Indonesia, dianggap sebagai sumber yang berkontribusi tinggi terhadap emisi karbon. Sehubungan dengan ini, pemerintah menerbitkan kebijakan dan peraturan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang kebakaran hutan dan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang pembalakan liar (illegal logging). Selain itu, juga diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2007 tentang Revitalisasi dan Rehabilitasi Lahan Gambut Berkelanjutan. Beberapa tahun
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
sebelumnya telah dilakukan penanaman hutan kembali pada 59 juta ha lahan kritis di Indonesia melalui Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan (Gerhan); pada tahun 2003-2007 telah tercapai penanaman pada area seluas 4 juta ha; 8. Sejak tahun 2006, Kementerian Negara Lingkungan Hidup melaksanakan program Menuju Indonesia Hijau (MIH) yang merupakan pengawasan kinerja Kabupaten dalam penaatan peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya alam dan pengendalian kerusakan lingkungan. Sasaran dari program MIH ini adalah; meningkatnya tutupan vegetasi, menurunnya laju kemorosotan keanekaragaman hayati, meningkatnya konservasi energi, dan meningkatnya perlindungan lapisan atmosfer. Program ini sejalan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; 9. Pada 12 Februari 2007 ditandatangani Deklarasi Heart of Borneo yang memuat komitmen bersama ketiga negara (Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam) untuk mengelola kawasan hutan hujan tropis di Kalimantan seluas 22 juta hektar secara berkelanjutan; 10. Pada bulan November 2007, Indonesia telah menyusun suatu Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI) yang melibatkan seluruh sektor terkait. Rencana aksi ini disusun dengan tujuan agar dapat dijadikan sebagai pedoman oleh berbagai instansi dalam melaksanakan upaya-
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
upaya terkordinasi dan terintegrasi untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Kebijakan lainnya juga diwujudkan dalam bentuk membangun kerja sama internasional.
D. Kekuatan Hukum Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) Menurut Perundang – Undangan di Indonesia Mekanisme pembangunan bersih (CDM) sebagai salah satu mekanisme pasar berbasis proyek yang diatur di dalam Protokol Kyoto merupakan usaha dunia membantu negara-negara Annex I memenuhi komitmennya menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca. Salah satu isu CDM tersebut adalah sektor Kehutanan. Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang memiliki tutupan lahan hutan yang luas sangat berpotensi untuk ikut berpartisipasi dalam proyek Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) dimaksud. Berbagai perangkat payung hukum yang mengatur teknis pelaksanaannya pun telah dipersiapkan. Hal ini senada dengan ditandanganinya Undang – Undang ratifikasi Protokol Kyoto pada tanggal 23 Juni 2004 oleh DPR. Selanjutnya Kajian Strategis Nasional (National Strategy Study) untuk pelaksanaan CDM energi dan kehutanan dan pembentukan Badan Otoritas Nasional (Designated National Authority), yaitu badan yang mengatur pelaksanaan proyek – proyek CDM di Indonesia telah dijalankan. Artinya, secara hukum Indonesia telah memenuhi persyaratan untuk berpartisipasi dalam proyek CDM tersebut.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Hal ini tidak terlepas dengan Peraturan Perundang – Undangan yang telah dikeluarkan sebelumnya, seperti Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan: BAB V PENGELOLAAN HUTAN Bagian Kedua Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Pasal 22 Tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari. Bagian Ketiga Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 23 Pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya Dari kedua pasal ini jelas dinyatakan bahwa pengelolaan hutan di Indonesia bertujuan dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, lestari dan demi kesejahteraan seluruh masyarakat. Hal ini sejalan dengan teknis Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) sektor kehutanan yang pada dasarnya mengelola hutan dengan tidak mengubah fungsinya bahkan memperluas areal kawasan dengan memanfaatkan jasa hutan berupa penjualan karbon (carbon trade) yang idealnya menurut Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang berbunyi: Perencanaan Tata Ruang
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Pasal 17 Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan keamanan dimaksudkan dalam rangka pelestarian lingkungan ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai. Dan dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 menyebutkan Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Bahkan dalam revisi Undang – Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup itu sendiri yang masih dalam proses, secara jelas dicantumkan satu pasal tersendiri tentang Pasal Perubahan. Yang menjadi permasalahan, apakah dengan berjalannya Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) sektor kehutanan seluruh kawasan hutan di Indonesia tidak dapat dikelola dengan menjadikannya sebagai hutan tanaman industri dan hutan produksi? Dalam hal ini Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM), permasalahan seperti ini disebut dengan kebocoron negatif (negative leakage). Untuk mengatasinya, baik investor maupun project developer harus terlebih dahulu menentukan project boundary secara temporal maupun spasial, kemudian mempelajari hubungan antara proyek dengan pembangunan di sekitar kawasan proyek. Dengan demikian kemungkinan leakage telah dapat diperhitungkan dan ditangani.
BAB III RUANG LINGKUP MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH TERHADAP KAWASAN HUTAN BERDASARKAN PROTOKOL KYOTO
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
A. Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) Kehutanan Hutan memiliki peran yang unik dalam isu perubahan iklim. Peran utama hutan adalah untuk menyerap GRK — terutama karbon — yang ada di atmosfer. Karenanya kegiatan kehutanan dalam isu perubahan iklim ini termasuk dalam carbon sequestration activities, yaitu kegiatan-kegiatan yang menyerap karbon yang ada di atmosfer. Oleh sebab itu hutan juga dikenal sebagai carbon sinks (rosot karbon). Dengan perannya ini, hutan dapat membantu mencapai tujuan Konvensi Perubahan Iklim dalam menjaga stabilitas konsentrasi gas rumah kaca pada tingkat aman yang tidak membahayakan sistem iklim global. Mengingat peran hutan tersebut, maka diusulkan agar sektor kehutanan dapat pula digunakan dalam upaya penurunan emisi GRK secara global. Isu kehutanan, yang dalam Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto dimasukkan dalam isu Land-Use, Land-Use Change and Forestry (LULUCF), yaitu mengenai pemanfaatan lahan, perubahannya serta sektor kehutanan, sempat menjadi isu kunci dalam beberapa COP, terutama dalam COP VI di Den Haag tahun 2000 dan COP VI-bis (bagian kedua dari COP VI) di Bonn tahun 2001. Dokumen yang dihasilkan pada COP VI-bis, yang dikenal sebagai Bonn Agreement, akhirnya memuat kesepakatan mengenai pemanfaatan sektor kehutanan dalam CDM yang terbatas pada kegiatan reforestasi (reforestation) dan aforestasi (aforestation). Pada COP VII di Marrakesh, Maroko akhir tahun 2001, dicapai satu kesepakatan yang dikenal sebagai Marrakech Accord. Dalam Marrakech Accord ini disepakati beberapa definisi yang digunakan dalam kegiatan LULUCF, dalam hal ini yang berkaitan dengan domestic action. Hingga COP VIII di New Delhi, definisi dalam Marrakech Accord ini belum disepakati untuk digunakan dalam CDM Kehutanan. Definisi yang dicantumkan dalam Marrakech Accord 46 adalah sebagai berikut:
46
UN-FCCC. Decision 11/CP7. 2001
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
1.
Hutan didefinisikan sebagai area dengan luas minimun 0,5-1,0 hektar, dengan lebih dari 10 – 30 persennya ditumbuhi tumbuhan dewasa, yang tinggi minimumnya mencapai 2 - 5 meter. Wilayah hutan dapat merupakan hutan tertutup atau terbuka dengan berbagai jenis tumbuhan.
2.
Aforestasi adalah aktivitas langsung yang dilakukan oleh manusia dalam mengubah area yang minimal selama 50 tahun bukan merupakan wilayah hutan menjadi hutan dengan tindakan-tindakan seperti penanaman, pembibitan, dan/atau aktivitas lainnya yang mempromosikan sumber-sumber pembibitan alam.
3.
Reforestasi adalah aktivitas langsung yang dilakukan oleh manusia dalam mengubah area bukan hutan menjadi area hutan melalui penanaman, pembibitan, dan/atau aktivitas lainnya yang mempromosikan sumber-sumber pembibitan alam, di area yang pada awalnya merupakan wilayah hutan namun mengalami perubahan menjadi wilayah bukan hutan. Dalam periode komitmen pertama, aktivitas reforestasi dibatasi pada area tidak berhutan pada 31 Desember 1989.
Adapun mekanisme dan prinsip pengajuan proyek Mekanisme Pembangunan Bersih sektor kehutanan melalui tahapan dan mekanisme yang telah diatur dalam Protokol Kyoto yaitu: Langkah 1: Proyek Alternative 1. Menjelaskan semua alternatif kegiatan yang realistik dan kredible yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan sudah menjadi kewajiban dan apabila ternyata proyek yang diusulkan merupakan satu-satunya alternatif kegiatan maka proyek tersebut Not Additional 2. Keputusan baru dari Badan Eksekutif bahwa ‘… a local/regional/national policy or standard cannot be considered as a clean development mechanism project activity, but that project activities under a programme of activities can be
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
registered as a single clean development mechanism project activity provided …’ Adanya keputusan ini kegiatan yang sudah menjadi kebijakan dan ketentuan untuk dilaksanakan dapat dijadikan proyek CDM asalkan ia termasuk ke dalam program kegiatan yang direncanakan akan didukung oleh CDM dapat didaftarkan sebagai proyek CDM
Langkah 2: Analisis Investasi 1. Analisis untuk menunjukkan bahwa proyek secara ekonomi dan finansial tidak menarik dari alternatif kegiatan yang ada a. Analisis biaya sederhana yaitu cukup dengan analisis yang menunjukkan bahwa proyek hanya akan menguntungkan kalau ada penjualan kredit carbon (CER) b. Analisis Perbandingan Investasi yaitu analisis yang menggunakan indikator finansial seperti IRR, NPV, termasuk semua biaya produksi, keuntungan, insentif/subsidi dan bandingkan dengan kegiatan alternative lainnya. Misal kegiatan yang diusulkan memberikan IRR yang rendah sehingga tidak menarik investor dibanding alternatif kegiatan yang ada dan baru akan memberikan IRR yang menarik kalai hanya ada penjualan CER c. Analisis Benchmark: analisis investasi yang menggunakan indikator finansial dan membandingkannya dengan nilai indikator finansial baku yang sudah umum digunakan. Misalkan untuk proyek penurunan pembakaran gas buang
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
(Gas Flaring Reduction), IRR hanya 10% sementara secara umum nilai IRR yang menarik bagi investor apabila IRR lebih dari 15%. Langkah 3: Analisis Kendala 1. Kalau proyek secara finansil menarik maka proyek masih bisa dikatakan additional apabila ada kendala yang menyebabkan proyek tidak dapat dilaksanakan a. Kendala Investasi: tidak tersedia fasilitas pinjaman bank untuk jenis kegiatan yang diusulkan atau tidak ada akses terhadap pendanaan internasional karena adanya risiko berkaitan dengan iklim investasi negara yang bersangkutan b. Kendala Teknologi: tidak tersedia tenaga yang ahli untuk menangani teknologi tersebut atau sarana infrastuktur tidak mendukung untuk pelaksanaan kegiatan c. Kendala karena kegiatan yang diusulkan merupakan kegiatan pertama yang pernah dilakukan (merupakan teknologi baru) 2. Setiap kendala yang disebutkan harus didukung dengan bukti yang cukup misalnya a. Memberikan informasi tentang regulasi atau kaidah-kaidah yang berlaku tidak mendukung; b. Hasil kajian atau survey c. Data statistik nasional d. Dokumen-dokumen pendukung misalnya data pasar yang relevan, dokumen dalam bentuk hasil pertemuan rapat yang mengungkapkan adanya kendala
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
atau hasil penilaian tenaga ahli yang independen yang mengungkapkan bahwa memang proyek yang diusulkan tidak akan bisa dilaksanakan apabila tidak melalui CDM 3. Apabila pengusul proyek tidak dapat menunjukkan bukti bahwa memang ada kendala maka proyek dikatakan Not Additonal
Langkah 4: Common Practice Analysis 1. Merupakan analisis untuk menilai apakah proyek sejenis sudah dikenal secara umum dan sudah menyebar, kalau ternyata sudah menyebar dan umum ditemukan maka pengusul proyek harus bisa menjelaskan persamaan dan perbedaan antara proyek yang diusulkan dengan kegiatan yang sudah menyebar secara luas tersebut 2. Apabila proyek pengembang ternyata tidak bisa menunjukkan dan menjelaskan perbedaan tersebut maka proyek dikatakan Not Additional Langkah 5: Dampak Registrasi 1. Analisis untuk menunjukkan bahwa dengan diregistrasinya proyek sebagai proyek CDM akan mengatasi hambatan finansial atau kendala yang ada sehingga proyek dapat dilaksanakan. Hal yang perlu ditunjukkan ialah a. Keuntungan dan insentif yang diperoleh b. Besar penurunan emisi GRK c. Keuntungan finansial dari penjualan CER d. Pengembang baru tidak akan menghadapi kendala yang sama dan memiliki kemampauan untuk melaksanakan kegiatan proyek CDM
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
e. Proyek akan mengurangi risiko inflasi atau perubahan nilai tukar yang dapat mempengaruhi pendapatan 2. Kalau proyek CDM tidak membantu maka dikatakan proyek Not Additional
B. Protokol Kyoto Protokol Kyoto adalah sebuah instrumen hukum (legal instrumen) yang dirancang untuk mengimplementasikan Konvensi Perubahan Iklim yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) agar tidak mengganggu sistem iklim bumi. Setelah diadopsi pada tanggal 11 Desember 1997, Protokol Kyoto dibuka untuk ditandatangani pada tanggal 16 Maret 1998. Sesuai dengan ketentuan Pasal 25, Protokol Kyoto secara efektif akan berlaku 90 hari setelah diratifikasi oleh paling sedikit 55 Pihak Konvensi, termasuk negara-negara maju dengan total emisi karbon dioksida paling sedikit 55 persen dari total emisi tahun 1990 dari kelompok negara-negara industri ini. Efektifitas Protokol Kyoto yang mensyaratkan agar diratifikasi oleh paling sedikit 55 negara menunjukkan bahwa Protokol ini memerlukan partisipasi banyak negara, termasuk negara-negara berkembang. Sementara syarat minimum 55 persen emisi negara maju harus dilibatkan, menunjukkan pentingnya peranan negara maju sebagai pengemisi utama untuk bertindak langsung. Selama ini merekalah yang memberi kontribusi terbesar dalam peningkatan konsentrasi GRK hingga pada keadaannya sekarang. Negara-negara inilah yang emisi totalnya pada tahun 1990 adalah 13,7 Gt (gigaton=109 ton) yang memilki tanggung jawab dan perlu menunjukkan kepemimpinannya dalam upaya melindungi iklim bumi.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Protokol Kyoto dapat segera berkekuatan hukum setelah diratifikasi oleh minimal 55 negara, dimana jumlah emisi negara-negara Annex I yang telah meratifikasi minimal mewakili 55% jumlah total emisi negara Annex I pada tahun 1990. Pernyataan AS untuk tidak meratifikasi Protokol Kyoto (Maret 2001) membuat perjalanan Protokol Kyoto untuk dapat berkekuatan hukum menjadi semakin sulit. AS sendiri mewakili 36% jumlah total emisi negara Annex I tahun 1990. Hingga 26 November 2003, jumlah negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto adalah sebanyak 120 negara. 47 Sementara jumlah total emisi negara Annex I yang telah meratifikasi sejauh ini baru sebesar 44,2%. Berarti masih kurang 10,8% lagi untuk membuat Protokol Kyoto dapat berkekuatan hukum. Saat ini seluruh dunia menanti kesediaan Rusia untuk segera meratifikasi Protokol Kyoto. Dengan jumlah emisi 17,4% dari total emisi Annex I, maka dapat dipastikan Protokol Kyoto dapat segera berkekuatan hukum. Dan akhirnya Konvensi perubahan iklim tersebut dinyatakan telah berkekuatan hukum sejak 21 Maret 1994, setelah diratifikasi oleh 50 negara. Dan hingga tahun 2005, konvensi tersebut telah diratifikasi oleh lebih dari 141 negara. Artinya secara yuridis, Protokol Kyoto mempunyai hukum yang sah sejak tanggal 16 Februari 2005 dimana setelah Britania meratifikasinya pada 23 Mei 2002 dan Rusia pada 18 November 2004. Indonesia sendiri telah meratifkasi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tanggal 1 Agustus 1994. Konferensi Bali Desember 2007 menghasilkan Bali Action Plan yang mengusung berbagai elemen sebagai pokok pembahasan negosiasi sampai periode komitmen pertama Protokol Kyoto yang berakhir pada tahun 2012. Bali Action Plan juga menyepakati pembentukan proses negosiasi baru dalam bentuk Ad hoc Working Groups on Long-term Cooperative Action (AWG-LCA) yang akan
47
http://www.unfccc.int/resource/kpstats.pdf
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
dilaksanakan secara paralel dengan kelanjutan proses Ad hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG). Sebagai salah satu implementasi Bali Action Plan, diadakanlah Bangkok Climate Change Talks pada 31 Maret hingga 4 April 2008. AWG-LCA bertemu untuk menyusun rencana kerja hingga tahun 2009, mengingat pada tahun tersebut AWG-LCA harus sudah memiliki usulan-usulan aktivitas yang perlu dilakukan oleh negara maju dan berkembang untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Secara substansi Konferensi Bali 2007 (COP UNFCCC 13) melahirkan Bali Road Map yang menetapkan “proses lengkap” untuk melaksanakan konvensi secara penuh, efektif dan berkelanjutan melalui aksi kerja sama jangka panjang, pada saat sekarang hingga 2012 dan pasca 2012. Bali Road Map berisikan 25 keputusan yang sangat penting. Beberapa diantaranya adalah tentang: a.
Ad-hoc Working Group on Long Term Cooperative Action Under The Convention (Bali Action Plan);
b.
Ad-hoc Working Group on Further Commitment for Annex I Parties Under The Kyoto Protocol (Review of Work Programme, Methods of Work and Schedule of Future Sessions) yang melibatkan hanya negara pihak dari Protokol Kyoto;
c.
Transfer teknologi (technology transfer);
d.
Dana adaptasi (adaptation fund);
e.
Mekanisme finansial (financial mechanism);
f.
Pengurangan emisi dari deforestrasi di negara-negara berkembang (Reducing Emissions From Deforestration in Developing Countries (REDD);
g.
Operasionalisasi mekanisme pembangunan bersih (CDM);
h.
Peninjauan ulang Protokol Kyoto;
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
i.
Komite Pengaduan (Compliance Committee) 48 Sementara itu, AWG menyepakati bahwa mekanisme pasar berbasis proyek yang diatur di
dalam Protokol Kyoto, seperti CDM, akan tetap dijalankan untuk membantu negara-negara Annex I memenuhi target penurunan emisi mereka. Namun mekanisme-mekanisme fleksibilitas ini berfungsi sebagai alternatif/ tambahan saja, sementara negara Annex I tetap harus menurunkan emisi di dalam negerinya sendiri juga. Proses negosiasi ini akan dilanjutkan pada bulan Juni 2008 di Bonn, Jerman. Ratifikasi Protokol Kyoto akan mendorong suatu negara dan masyarakat dunia untuk mempersiapkan diri dalam menyiapkan kelembagaan yang terkait dengan implementasi Protokol Kyoto melalui proyek-proyek CDM atau Mekanisme Pembangunan Bersih, termasuk Indonesia. Penunjukan otoritas nasional (Designated National Authority, DNA) merupakan syarat utama agar negara berkembang dapat berpartisipasi. Lembaga inilah yang nantinya akan merancang kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan proyek (project development)dan pengembangan kapasitas (capacity building) agar para pihak yang tertarik melakukan investasi dapat merancang proyeknya bersama mitranya di mana proyek akan diimplementasikan. Otoritas nasional ini juga akan membantu pemerintah dalam meningkatkan kesadaran publik (public awareness) akan pentingnya membangun proyek-proyek baru yang ramah lingkungan. Berikut Struktur Penunjukan Otoritas (Designated National Authority, DNA) dan Struktur Institusi Nasional untuk CDM 49
48
Suplemen Status Lingkungan Hidup 2007, Pemanasan Global dan Perubahan IklimKonteks dan Implikasinya Bagi Indonesia,Kementerian Negara Lingkungan Hidup, hlm. 23-24 49 Country Report: Country Report: Towards CDM Implementation In Indonesia, Presented at The CTI Sixth Workshop for Asia, ICETT, 3 Nov 2003
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Gambar 2: Struktur Penunjukan Otoritas
Gambar 3: Struktur Institusi Nasional untuk CDM
C. Kebijakan Indonesia Terhadap Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) Kehutanan Pada tanggal 23 Juni 2004, DPR telah menandatangani Undang-Udang ratifikasi Protokol Kyoto yang berarti Indonesia berhak untuk ikut berpartisipasi dalam proyek Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism). Dalam rangka persiapan, Pemerintah Indonesia melalui Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup sudah melakukan Kajian Strategi Nasional (National
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Strategy Study) untuk pelaksanaan CDM, baik sektor energi maupun sektor kehutanan yang didalam Protokol Kyoto disebut dengan LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry). Disamping itu, kajian tentang Badan Otoritas Nasional (Designated National Autohority), badan yang akan mengatur pelaksanaan proyek-proyek CDM di Indonesia juga sudah diselesaikan. Hasil kajian NSS (National Strategy Study) CDM kehutanan menunjukkan bahwa potensi sektor kehutanan dalam menyerap pasar karbon global cukup besar. Karena harga karbon dari proyek kehutanan lebih murah dibanding sektor energi, diperkirakan sektor kehutanan akan menyerap lebih banyak pasar karbon global dibanding sektor energi. Dari pasar karbon global yang besarnya sekitar 566 juta ton CO2 per tahun, Indonesia secara potensial akan mampu menyerap sebesar 36 juta ton CO2 per tahun, yaitu sebesar 28 juta ton CO2 per tahun oleh sector kehutanan dan 8 juta ton CO2 per tahun oleh sektor energi. Namun potensi ini tidak akan bisa dicapai apabila kendala utama baik yang bersifat teknis maupun non-teknis tidak dapat diatasi. Hasil NSS menunjukkan bahwa luas lahan yang tersedia dan memenuhi syarat definisi lahan Kyoto ialah sekitar 20 juta hektar, terdiri dari 7 ha. dalam bentuk lahan kritis (di dalam dan di luar kawasan), 3 juta ha. lahan alang-alang dan 10 juta ha. lahan terlantar (fallow land). Secara rinci ketersediaan lahan untuk pelaksanaan proyek karbon kehutanan di Indonesia disajikan pada tabel berikut: Tabel 15 : Potensi Lahan Yang Layak Untuk CDM
No 1. 2.
Land use cover Hutan skunder atau terdegradasi 50 Perkebunan
50
42
1990 Area (Ha)
2000 Area (Ha)1
12.230.000
30.785.000
2.052.447
16.543.663
Sebagian kecil dari lahan yang masuk dalam ketegori diperkirakan memenuhi kriteria lahan
Kyoto
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
3. 4. 5.
Lahan kritis (outside forest areas) 51 42
Sawah/pertanian
Lahan terlantar/kosong
43
43
6.
Lahan alang-alang
7.
Bekas perladangan berpindah/kebun/ Tegalan42 Total Kyoto lands
6.787.000
23.725.552
8.112.883
8.106.356
9.823.175
10.260.492
3.219.648
2.424.469
12.718.787 54.944.740
12.768.711 88.070.580
Sumber : MoE, 2002 Jenis proyek kehutanan yang diperkirakan dapat dijadikan Afforestasi dan Reforestasi atau disingkat dengan AR-CDM diantaranya reforestasi, HTI, agroforestri, hutan kemasyarakatan (Social Forestry), MPTS dan penghijauan. Potensi penyimpanan karbon berkisar antara 53 sampai 306 ton C/ha. hal ini dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 16 : Potensi Penyimpanan Karbon
Jenis Reforestasi
Potensi penyimpanan (t C/ha) 204 – 256
HTI (species tumbuh cepat)
53
Agroforestry
119
Community forest
63 – 256
MPTS (Multi system) proposes tree
54 – 306
Penghijauan
121
Keuntungan lain Improve water and soil quality, prevent erosion Increase soil productivity Soil slope protection areas using bamboo in hilly Increase optimal use of land for protection Buffer zone of the protection areas and production areas Soil protection and soil conservation
Sumber : MoE, 2002
51
Sebagian besar dari lahan diperkirakan memenuhi syarat Kyoto Land. Syarat Kyoto ialah lahan yang akan digunakan untuk proyek CDM kondisinya sudah bukan hutan sejak tanggal 31 Desember 1989. Defini hutan dalam Kyoto Protokol ialah lahan yang penutupan tujuknya minimal antara 10-30%, tinggi pohon secara potential bisa mencapai 2-5 meter dan luasnya minimal antara 0.05 – 1ha. Penentuan nilai diantara selang yang akan digunakan dalam mendefinisikan hutan diserahkan kepada masingmasing Negara.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Penentuan batas proyek (Project Boundary)CDM ialah batas geografis dari kawasan proyek yang berada dalam control pelaksana proyek. Lokasi proyek boleh tidak berada dalam satu satuan lahan. Net anthropogenic GHG removal by sinks disingkat dengan ‘NAGR’ (GRK netto yang diambil dari atmosfer oleh rosot sebagai akibat dari proyek atau aktivitas manusia). NAGR dihitung dengan cara berikut: GRK netto actual yang diserap oleh rosot (actual net GHG removals by sinks disingkat dengan ‘ANGR’) dikurangi dengan perubahan stok karbon dalam batas proyek pada kondisi baseline (baseline net GHG removals by sinks disingkat dengan ‘BNGR’) dikurangi dengan leakage (disingkat dengan ‘Lg’). Jadi NAGR = (ANGR-BNGR-L). ANGR ialah perubahan stok karbon dalam ‘pool’ dalam batas proyek yang dapat diverifikasi dikurangi dengan jumlah peningkatan emisi GRK yang terjadi akibat dari proyek. BNGR ialah jumlah perubahan stok karbon dalam ‘pool’ dalam batas proyek yang akan terjadi apabila proyek tidak ada. Lg ialah peningkatan emisi GRK diluar batas proyek yang dapat diukur dan merupakan akibat dari adanya proyek. Sedangkan pool ada lima bentuk yaitu biomass di atas permukaan, biomass bawah permukaan, bahan organik tanah, sarasah dan kayu mati. Apabila ada justifikasi yang kuat maka pool yang dianggap tidak nyata kontribusinya terhadap perubahan cadangan karbon dapat dikeluarkan dari perhitungan. Secara sederhana perhitungan di atas dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Baseline net GHG
removal by
sinks
Actual net GHG removal by sinks (ANRG):
(BNGR):
a. Emisi GRK oleh proyek;
a. Kondisi stok carbon di pool saat ini;
b. Penurunan emisi atau penyerapan GRK oleh
b. Perkiraan perubahan stok di pool ke depan apabila tidak ada proyek
proyek Leakage (Lg); c. Peningkatan emisi di luar batas proyek Net anthropogenic GHG removal (NAGR) by sinks = ANGR-BNGR-Lg
Gambar 4 : Ilustrasi perhitungan keuntungan karbon dari proyek CDM Kehutanan Keputusan pada COP9 Annex para 22, pelaksana proyek boleh memilih metodologi berikut sesuai dengan kondisi setempat dengan memberikan justifikasinya yaitu: (i) Perubahan stok karbon dalam pool di dalam batas proyek diperkirakan akan mengikuti kondisi histories atau kondisi pada saat sebelum proyek dimulai, (ii) Perubahan stok karbon dalam pool diproyeksikan dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan kendala investasi, (iii) Perubahan stok karbon dalam pool diproyeksikan menurut kondisi penggunaan lahan yang paling mungkin pada saat proyek dimulai. Kredit karbon yang dihasilkan oleh proyek kehutanan sifatnya tidak permanent karena suatu saat dapat saja karbon yang sudah disimpan dilepaskan kembali. Untuk mengatasi hal ini, COP9 menyetujui dua bentuk kredit karbon yaitu tCER (temporary CER) dan lCER (long-term CER). tCER hanya berlaku sampai akhir satu periode komitmen yang mengikuti periode komitmen saat CER dikeluarkan.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Gambar 5 : Ilustrasi pemberian kredit karbon Dengan definisi ini maka lama umur tCER tidak akan lebih dari 10 tahun dengan asumsi lama setiap periode komitmen ialah 5 tahun. Periode komitment periode ialah dari tahun 2008-2012. Sedangkan masa berlakunya lCER ialah selama periode kredit. Apabila masa berlakunya habis maka CER tersebut harus diganti dengan CER yang baru. Untuk lCER ini apabila setelah CER dikeluarkan terjadi penurunan nilai NAGR maka jumlah penurunan yang terjadi harus diganti dengan lCER yang baru. Lama masa kredit juga ada dua pilihan yaitu 30 tahun atau 3x20 tahun, dimana setiap 20 tahun harus dievaluasi ulang asumsi yang digunakan dalam penentuan baseline. Ilustrasi dapat dilihat pada Gambar diatas. Untuk Proyek Karbon Kehutanan Skala Kecil, COP9 sudah menyetujuinya dengan maksimum penyerapan karbon sebesar 8000 t CO2 atau 2180 t C per tahun. Proyek skala kecil ini boleh menggunakan aturan keproyekan yang disederhanakan yang masih akan dibicarakan dalam COP10 mendatang. Proyek skala kecil juga boleh digabungkan dengan mengikuti syarat yang juga akan ditetapkan pada COP10. Proyek skala kecil hanya boleh diperuntukkan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (low income community) yang definisinya diserahkan kepada masing-masing Negara. Dengan mempertimbangkan isu-isu di atas, maka hal-hal yang perlu dipersiapkan oleh Indonesia untuk dapat meningkatkan kemampuan Indonesia dalam menyerap pasar karbon kehutanan dan persiapan untuk COP10 diantaranya ialah: 1.
Perbaikan database stok karbon pada berbagai jenis vegetasi penutup lahan dan peta lahan kritis yang memenuhi definisi Kyoto. Informasi ini diperlukan untuk mengetahui sebaran daerah untuk pelaksanaan proyek CDM kehutanan dan perkiraan potensi stok karbon yang akan dihasilkan oleh proyek.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
2.
Pemilihan nilai batas untuk definisi hutan dari nilai selang yang sudah ditetapkan oleh Protokol Kyoto. Untuk penetapan ini diperlukan kajian terlebih dahulu implikasi dari pemilihan nilai batas tersebut terhadap ketersediaan lahan CDM dan jenis kegiatan proyek kehutanan yang diperbolehkan.
3.
Pelaksanaan kegiatan pelatihan bagi pihak pemangku kepentingan, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional untuk berbagai aspek yang terkait dengan implementasi CDM seperti mekanisme kelembagaan yang harus dilakukan dalam pengusulan proyek CDM (perizinan dan lain-lain), penyusunan dokumen desain proyek (Project Design Document), kemampuan untuk mengidentifikasi sumber emisi GRK dan bentuk kegiatan yang diperkirakan dapat menyebabkan perubahan besar emisi dari setiap sumber yang sudah diidentifikasi tersebut, dan teknik pengukuran dan monitoring karbon yang disederhanakan tetapi tetap memenuhi standar bamku yang sudah ada.
4.
Penyusunan paper posisi Indonesia dalam COP10 berkaitan dengan beberapa isu penting khususnya yang berkaitan dengan proyek CDM skala kecil karena potensi Indonesia dalam menyerap proyek skala kecil sangat besar karena sangat luasnya lahan-lahan yang milik masyarakat ekonomi lemah yang kurang produktif dan layak untuk dijadikan proyek CDM. Beberapa isu yang perlu mendapat perhatian Indonesia berkaitan dengan proyek CDM kehutanan skala kecil ialah: (i)
Kategori proyek CDM kehutanan skala kecil;
(ii) Penyederhanaan dalam penentuan baseline, leakage dan batas proyek; (iii) Persyaratan dan aturan dalam pengabungan proyek-proyek skala kecil dalam satu PDD; dan (iv) Usulan atau bentuk program yang dapat memfasilitasi pelaksanaan proyek CDM skala kecil.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
BAB IV BERBAGAI PERMASALAHAN TEKNIS MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (CDM) KEHUTANAN
Seperti halnya CDM sektor lain, CDM Kehutanan pun memiliki berbagai permasalahan teknis yang hingga COP VIII yang baru lalu belum berhasil disepakati. Dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai permasalahan teknis tersebut. 1. Baseline Baseline adalah kondisi yang digunakan sebagai dasar perhitungan bagi besarnya CER yang dihasilkan. Baseline pada umumnya adalah kondisi yang diperkirakan terjadi tanpa adanya kegiatan CDM. Tujuan adanya baseline adalah untuk mencegah terjadinya klaim terhadap penurunan atau
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
peningkatan penyerapan/rosot karbon yang sebenarnya akan terjadi tanpa adanya proyek CDM. Jadi baseline dapat dikatakan sebagai kondisi yang sangat mungkin terjadi pada kondisi tanpa ada CDM. Tahapan yang dilakukan dalam menentukan baseline bagi CDM Kehutanan terdiri dari: 1.
Tahap pertama: Historic baseline – dengan memperhitungkan besarnya stok karbon berdasarkan data historis yang terjadi sebelum adanya kegiatan CDM.
2.
Tahap kedua: Reference case – memprediksikan besarnya perubahan stok karbon jika tidak ada kegiatan CDM.
3.
Tahap ketiga: Project case – memprediksikan besarnya perubahan stok karbon akibat adanya kegiatan CDM.
4.
Tahap keempat: memprediksikan besarnya perbedaan stok karbon antara reference case dan project case dan pada akhirnya akan diterjemahkan sebagai CER.
2. Non-permanence Perbedaan yang mendasar antara CDM Kehutanan dengan CDM sektor lain adalah jenis CER yang dihasilkan. Pada CDM sektor lain, penurunan emisi (yang dinyatakan dalam CER) bersifat permanen, artinya sejumlah tertentu karbon tidak teremisikan sebagai hasil kegiatan CDM. Sementara itu, dalam CDM Kehutanan, bahkan selama usia proyek pun, karbon yang diserap masih mungkin terlepas ke atmosfer dan pada akhirnya upaya untuk menurunkan emisi GRK tidak tercapai. Lepasnya karbon ke atmosfer dalam CDM Kehutanan dapat disebabkan oleh penebangan, kebakaran hutan, maupun serangan hama dan penyakit. Karenanya, CER yang dihasilkan dari CDM Kehutanan bersifat non-permanent. Beberapa pendekatan telah diusulkan dalam COP maupun SBSTA (Subsidiary Bodies for Scientific and Technical Advice — pertemuan internasional yang membahas permasalahan teknis dalam menghadapi permasalahan perubahan iklim) untuk mengatasinya. Namun demikian, belum dicapai kesepakatan mengenai pendekatan tersebut. Beberapa pendekatan yang masih diperdebatkan hingga COP VIII adalah:
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
1.
Sistem perhitungan ton-tahun (tonne-year accounting) — sistem ini didasarkan bahwa keberadaan hutan selama waktu tertentu (dikenal sebagai equivalence time) akan menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah tertentu. Sehingga meskipun setelah waktu tersebut karbon diemisikan kembali, CER yang dihasilkan tidak akan hilang. Dengan demikian, hutan yang dihasilkan dari CDM Kehutanan harus dipertahankan keberadaannya untuk waktu tertentu, misalnya 100 tahun. Setelah itu, hutan tersebut boleh saja diubah fungsinya.
2.
Sistem t-CER (temproray CER) – sistem ini merupakan usulan Kolombia, yaitu CER yang sifatnya sementara. T-CER berarti bahwa CER yang dihasilkan dari CDM Kehutanan hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu saja dan setelah jangka waktu tersebut maka CER harus digantikan dengan CER lain misalnya dari sektor energi yang sifatnya permanen. Dengan demikian, t-CER ini memungkinkan penerapan CDM Kehutanan sebagai transisi menuju CDM sektor lain yang mungkin lebih mahal. Jangka waktu untuk t-CER belum ditentukan, tetapi diusulkan agar jangka waktu tersebut tidak terlalu panjang dan pelaksanaannya pun harus dibarengi dengan proses monitoring dan verifikasi yang dilakukan secara tahunan.
3.
Uncertainties Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam CDM Kehutanan adalah besarnya ketidakpastian
(uncertainties) yang ada. Ketidakpastian ini terutama dalam hal perhitungan (measurement uncertainty) dan dalam hal menentukan parameter yang terkait dengan CDM Kehutanan. Ketidakpastian dalam perhitungan lebih disebabkan karena sulitnya menentukan kemampuan hutan dalam menyerap karbon dan kenyataan bahwa kemampuan hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon sangat ditentukan oleh jenis tumbuhan, usia, lokasi serta berbagai faktor eksternal lainnya. Beberapa upaya yang diusulkan dapat dilakukan untuk memperkecil ketidakpastian ini adalah:
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
1.
Pembuatan guidelines yang kuat dalam memprediksi rosot karbon, stok karbon dan emisi GRK;
2.
Penerapan aturan yang kuat dalam hal permanence, leakage, additionality, dan aspek teknis lain dalam CDM Kehutanan;
3.
Menerapkan sistem discount bagi proyek CDM Kehutanan — ini dimaksudkan agar nilai CER dari CDM Kehutanan menjadi lebih pasti dan memberikan manfaat yang sama bagi sistem iklim global. Dengan diterapkannya sistem discount ini, maka proyek dengan ketidakpastian yang lebih tinggi akan memerlukan biaya yang lebih tinggi pula, sehingga harga satuan CER akhirnya akan lebih rendah dibandingkan CER dari proyek yang memiliki ketidakpastian lebih kecil.
4.
Leakage Leakage atau kebocoran adalah terjadinya perubahan emisi GRK di luar boundary (batasan)
proyek CDM. Leakage pada dasarnya dapat dibedakan atas: 1.
Positive leakage yaitu terjadinya penurunan emisi GRK di luar boundary proyek akibat adanya proyek CDM tersebut;
2.
Negative leakage yaitu terjadinya peningkatan emisi GRK di luar boundary proyek sebagai akibat adanya proyek CDM yang bersangkutan. Contoh positive leakage misalnya dalam CDM energi, akibat dibangunnya pembangkit listrik
dengan sumber energi terbarukan, maka lokasi yang berada di luar proyek CDM tetap mendapatkan manfaat berupa pasokan listrik, sehingga pembangkitan listrik lokal berbahan bakar diesel tidak lagi digunakan. Dengan demikian, jumlah emisi GRK keseluruhan yang diturunkan menjadi lebih besar dari perkiraan penurunan emisi GRK.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Sementara contoh negative leakage, misalnya di CDM Kehutanan, adalah akibat suatu kawasan menjadi kawasan proyek CDM sementara permintaan akan kayu tetap tinggi, maka proses deforestasi berpindah ke kawasan lain. Akibatnya, secara keseluruhan emisi GRK yang diturunkan kurang dari yang diperhitungkan dan diprediksi. Untuk mengatasinya, baik investor maupun project developer harus terlebih dahulu menentukan project boundary secara temporal maupun spasial, kemudian mempelajari hubungan antara proyek dengan pembangunan di sekitar kawasan proyek. Dengan demikian kemungkinan leakage telah dapat diperhitungkan dan ditangani.
5.
Additionality Yang dimaksud dengan additionality adalah bahwa kegiatan CDM harus lebih bersifat
melengkapi (additional) dibandingkan dengan kegiatan yang akan terjadi dengan sendirinya tanpa adanya CDM (kondisi baseline). Additionality erat kaitannya dengan baseline yang digunakan. Secara umum proyek CDM Kehutanan harus bersifat additional bagi lingkungan, sosial dan finansial.
6.
Dampak Sosial dan Ekonomi Kegiatan CDM harus memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar kegiatan terutama
dari sisi sosial dan ekonomi. CDM Kehutanan memiliki potensi yang tinggi dalam memberikan dampak negatif terhadap masyarakat sekitar, terutama masyarakat yang bergantung pada sektor kehutanan. Keberadaan CDM Kehutanan tidak boleh memicu ataupun meningkatkan konflik sosial di sekitarnya dan pada saat yang bersamaan keberadaan CDM Kehutanan harus mendukung pemanfaatan sumber alam secara berkelanjutan. Dampak positif bagi masyarakat sangat erat kaitannya dengan tujuan CDM bagi negara berkembang yaitu membantu negara berkembang dalam melaksanakan pembangunan nasionalnya yang berkelanjutan.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
7. Dampak Pada Ekosistem Alam Selain memberikan dampak positif bagi masyarakat, CDM Kehutanan juga harus memberikan dampak positif bagi ekosistem alamnya. Hal ini yang menjadi argumen beberapa pihak yang menolak bentuk perkebunan monokultur sebagai CDM Kehutanan. Dampak positif bagi ekosistem artinya keberadaan CDM Kehutanan tidak mengganggu ekosistem yang ada. CDM Kehutanan tidak boleh menurunkan keragaman hayati yang ada.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Berdasarkan pembahasan pada Bab – bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Bahwa Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto dinyatakan telah berkekuatan hukum secara global sejak 21 Maret 1994, setelah diratifikasi oleh 50 negara. Dan hingga tahun 2005, konvensi tersebut telah diratifikasi oleh lebih dari 141 negara. Artinya secara yuridis, Protokol Kyoto mempunyai hukum yang sah sejak tanggal 16 Februari 2005 dimana setelah Britania meratifikasinya pada 23 Mei 2002 dan Rusia pada 18 November 2004.
2.
Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) terhadap kawasan hutan berdasarkan Protokol Kyoto mempunyai ruang lingkup pada kegiatan reforestasi (reforestation) dan aforestasi (aforestation) seperti yang tercantum dalam Bonn Agreement (COP VI-bis) di Bonn tahun 2001 dan Conference of Parties (COP) VII di Marrakesh, Maroko akhir tahun 2001 yang mencapai satu kesepakatan dan dikenal sebagai Marrakech Accord. Definisi yang dicantumkan dalam Marrakech Accord adalah sebagai berikut: 1.
Hutan didefinisikan sebagai area dengan luas minimun 0,5-1,0 hektar, dengan lebih dari 10 – 30 persennya ditumbuhi tumbuhan dewasa, yang tinggi minimumnya mencapai 2 - 5 meter. Wilayah hutan dapat merupakan hutan tertutup atau terbuka dengan berbagai jenis tumbuhan.
2.
Aforestasi adalah aktivitas langsung yang dilakukan oleh manusia dalam mengubah area yang minimal selama 50 tahun bukan merupakan wilayah hutan menjadi hutan dengan tindakan-tindakan seperti penanaman, pembibitan, dan/atau aktivitas lainnya yang mempromosikan sumber-sumber pembibitan alam.
3.
Reforestasi adalah aktivitas langsung yang dilakukan oleh manusia dalam mengubah area bukan hutan menjadi area hutan melalui penanaman, pembibitan, dan/atau aktivitas lainnya yang mempromosikan sumber-sumber pembibitan alam, di area yang pada awalnya merupakan wilayah hutan namun mengalami perubahan menjadi wilayah bukan hutan.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
3.
CDM Kehutanan memiliki berbagai permasalahan teknis (COP VIII) yaitu Baseline, Nonpermanenc, Uncertaintie, Leakage, Additionality, Dampak Sosial dan Ekonomi dan Dampak Pada Ekosistem Alam.
B. Saran Untuk mengatasi kendala – kendala diatas dan tercapainya hal – hal yang diinginkan, penulis mengajukan saran – saran sebagai berikut: 1.
Agar CDM atau Mekanisme Pembangunan Bersih dapat berjalan secara penuh, efektif dan berkelanjutan berdasarkan Protokol Kyoto, diharapkan kesiapan semua pihak dalam mengimplementasikannya secara global, baik dari negaranegara Annex I dan Annex II.
2.
Agar suatu negara dan masyarakat dunia untuk mempersiapkan diri dalam menyiapkan kelembagaan yang terkait dengan implementasi Protokol Kyoto melalui proyek-proyek CDM atau Mekanisme Pembangunan Bersih, termasuk Indonesia. Penunjukan otoritas nasional (Designated National Authority, DNA) merupakan syarat utama agar negara berkembang dapat berpartisipasi. Lembaga inilah yang nantinya akan merancang kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan proyek (project development) dan pengembangan kapasitas (capacity building) agar para pihak yang tertarik melakukan investasi dapat merancang
proyeknya
bersama
mitranya
di
mana
proyek
akan
diimplementasikan. Otoritas nasional ini juga akan membantu pemerintah dalam
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
meningkatkan kesadaran publik (public awareness) akan pentingnya membangun proyek-proyek baru yang ramah lingkungan. 3.
Bahwa projek Mekanisme Pembangunan Bersih sektor kehutanan berdasarkan Protokol Kyoto merupakan salah satu bentuk nyata implementasi pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU-BUKU Arifin, Syamsul, dkk, Hukum Lingkungan Internasional: Kumpulan Materi Penataran, Medan: USU Press, 1997 ---------- ,Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia, Medan: Penerbit USU Press, 1995 ------------ ,Falsafah Hukum, Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat,
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1992. Asian Least-Cost Greenhouse Gas Abatement Strategy (ALGAS). Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca. ADB dan AED. 1997. Forest Watch Indonesia/ Global Forest Watch. Potret Keadaan Hutan Indonesia. 2001. Houghton, DeFries, R.S., R.A. M.C. Hansen. C.B. Field, D. Skole, J. Townshend. Carbon Emission from tropical deforestration and regrowth based on satellite observations for the 1980s and 90s. Proc. Nat. Acad. Sci, USA, 99, 14256-14261, 2002. IPCC, Intergovernmental Panel on Climate Change. Climate Change 2001 : Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Summary for Policymakers and Technical Summary of the Working Group II Report. WMO-UNDP. 2001. Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi VIII Cetakan kesembilan belas, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2006 Lili Rasjidi dan I.B Wyas Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju, 2003. Magnis, Franz Suseno, Etika Politik, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1994 Meiviana, Armely. Dkk: Bumi Makin Panas, Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia, Jakarta, Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Yayasan Pelangi Indonesia, 2004
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
Murdiyarso, Daniel: Protokol Kyoto, Implikasinya Bagi Negara Berkembang, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2003 Naim, Meuthia A: Panduan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim, Edisi Kedua, KLH-RI, 2007 National Environmental Trust dan Pelangi. Confronting Climate Change: Economic Priorities and Climate Protection in Developing Nations. 2000. Panjiwibowo, Chandra. Dkk: Mencari Pohon Uang: CDM Kehutanan di Indonesia, Jakarta, Yayasan Pelangi Indonesia, 2003 --------- From Place to Planet: Local Problematique of Clean Development Mechanism in the Forestry Sector, Jakarta, Yayasan Pelangi Indonesia, 2003 Rizaldi., Boer,. Deforestration Rate and Emission in Indonesia, tanpa tahun tanpa penerbit Sari, Agus P. Dkk: Does Money Grows on Trees? Opportunities and Challenges of Forestry CDM in Indonesia, Jakarta, Yayasan Pelangi Indonesia, 2002 Soemarwoto, Otto, Menyinergikan Pembangunan & Lingkungan. Telaah Kritis Begawan Lingkungan, Yogyakarta: PD. Anindya, 2005. ---------- , Pengelolaan Lingkungan, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1989. Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia (UI Press), 1984 Soerjani, Moh., Dkk, Lingkungan: Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan, Jakarta: UI Press, 1987. Tahir, Muhammad Azhari, Negara Hukum – Suatu Studi Tentang Prinsip – Prinsipnya Dilihat Dari Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah Dan Masa Kini, Jakarta, Bulan Bintang, 1992 Tim Kementerian Negara Lingkungan Hidup: Rencana Aksi nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim, KLH-RI, 2007 Wahjono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1986
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, PN. Balai Pustaka, 1976.
B. UNDANG-UNDANG Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 17, Pengesahan Kyoto Protokol To The United Nations Framework Convention On Climate Change. Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 26, Penataan Ruang. Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 41, Kehutanan. Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 23, Pengelolaan Lingkungan Hidup.
C. MAKALAH DAN LAPORAN Country Reports: Kyoto Protocol: Beyond 2012, Jakarta, Yayasan Pelangi Indonesia, 2003 ---------- TOWARDS CDM IMPLEMENTATION IN INDONESIA, Presented at The CTI Sixth Workshop for Asia, ICETT, 3 Nov 2003 Laporan Delegasi Republik Indonesia: UN Climate Change Conference, Nairobi Kenya 6-17 November 2006
D. INTERNET FORA (www.pelangi_indonesia.html didownload pada tanggal 29 April 2008) (www.mediaindonesiaonline.com didownload pada tanggal 29 April 2008) (www.menlh.go.id didownload pada tanggal 15 April 2008)
Fl. Fernando Simanjuntak : Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Develoment Mechanism) Terhadap Kawasan Hutan Berdasarkan Protokol Kyoto, 2009