Media Sosial, Pembangunan Negara, dan Kekristenan – Sebuah Eksplorasi dan Ajakan Oleh: Johan Sulaiman Tulisan ini dibuat untuk menjajaki hubungan antara teknologi media sosial, pembangunan negara, dan kekristenan. Pertumbuhan media sosial amatlah pesat di dua dekade terakhir, dan bertanggung-jawab dalam merubah cara pikir dan cara kerja masyarakat secara fundamental. Analisa-analisa mengenai implikasi perubahan-perubahan seismik ini dalam konteks pembangunan dan misi amatlah diperlukan. Pembahasan akan dimulai dengan kilasan latar belakang media sosial, karakteristik-karakteristik relevan, dan peranan ilmu jaringan dalam konteks ini. Setelah itu, bagian selanjutnya berupaya untuk mengaplikasikan pengertian media sosial kedalam empat ruang: politik, ekonomi, masyarakat, dan relasi pribadi. Bagian terakhir artikel selanjutkan akan mencoba untuk merangkum dan memuat langkah-langkah berikutnya dalam melanjutkan diskusi dan pemikiran mengenai inter-relasi antara media sosial, negara, dan iman. Selamat membaca!
Latar Belakang Media Sosial Walau khalayak umum sudah mulai menggunakan media Internet sejak pertengahan tahun 1990an, pemakaian Media Baru di satu dekade pertamanya masih mengikuti tradisi pola konsumsi media cetak yang kebanyakan satu arah dan one-to-many. Masa inkubasi ini memang diperlukan untuk menunggu pencapaian critical mass populasi pemakai Internet. Buktinya, dicatat oleh Pew Research Center, terdapat sejumlah 61% pengguna Internet dewasa di Amerika di tahun 2003, meningkat pesat dari hanya 14% di tahun 1995. Di tahap dunia, jumlah pengguna Internet di tahun 2012 mencapai 2,25 milyar orang (33% populasi), meningkat dari hanya 569 juta orang (9.1% populasi dunia) sepuluh tahun yang lalu (Best Education Sites, 2012).
Figur 1: Trend pertumbuhan Internet 10 tahun terakhir (Best Education Sites, 2012)
Seiring dengan pertumbuhan pengguna ini, keberadaan alat-alat mobil dan infrastrukturnya yang terhubung ke Internet seperti smartphone dan tablet juga menjadi subur. Prevalensi dua faktor penggerak inilah yang mendukung O'Reilly Media dan MediaLive untuk mengadakan konferensi Web 2.0 pertama di tahun 2004, yang meresmikan datangnya paradigma UserGenerated Content (UGC) untuk memampukan percakapan, partisipasi, dan kolaborasi many-tomany untuk terjadi di publik luas. Batas antara penulis dan pembaca, penerbit dan konsumen, profesional dan amatir menjadi kabur karena fitur-fitur dari Web 2.0 memfasilitasi pengguna Internet untuk berganti-ganti peran sebagai penulis, pembaca, penulis lagi, penerbit, pendistribusi, semua dalam sekejap mata. Hal ini dapat terlihat misalnya dari membludaknya jumlah situs di dunia maya dari “hanya” 3 juta situs di tahun 2002 menjadi 555 juta di tahun 2012 (Best Education Sites, 2012).
Karakteristik Penting Media Sosial Dengan demikian terbentuklah topografi Media Sosial yang kita hidupi saat ini, dalam bentuk situs-situs yang memampukan para pengguna biasa untuk dapat menerbitkan dan menkonsumsi materi elektronik kepada satu sama lain secara bersamaan dan dalam skala masif. Manifestasinya sudah tidak asing bagi kita, 1) blog interaktif (Wordpress, Blogspot), 2) jejaring sosial (Facebook, Google+), 3) proyek kolaborasi crowdsourcing (Wikipedia, Kickstarter), 4) komunitas pembagian kontent (Youtube, Twitter), dan lain lain (Kaplan & Haenlein, 2010). Makin hari, khalayak ramai mulai membuka pintu yang belum pernah mereka lewati sebelumnya, dimana mereka menggunakan keberanian, pengetahuan, perangkat lunak, dan peralatan mobil elektronik mereka untuk mulai bersuara satu sama lain di ruang publik maya. Makin hari semakin beragam suara-suara rakyat menggema dengan berbagai intonasi (ramah, kasar, menggurui, menghibur, melucu), volume (skala jangkauan kepada penghuni dunia
virtual), dan durasi. Dengan kata lain, masyarakat semakin mampu untuk menggunakan media sosial sebagai wadah melakukan citizen journalism (Jurnalisme Warga) (Shirky, 2008). Suara-suara ini selanjutnya melakukan pengorganisasian diri dalam upaya menyatukan tujuan, strategi, dan berkolaborasi. Praktisnya, keberadaan media sosial telah menghapus faktor jarak dalam mengikat individu-individu, sehingga mereka yang sebelumnya bak pulau menyendiri, sekarang menjadi tergabung dalam kesatuan jejaring-jejaring sosial. Implikasinya, melalui sosial media isu-isu lokal bisa dibicarakan dan diproses sampai ke tahap global, dan sebaliknya berita tahap global dapat meluas ke lokalitas-lokalitas di berbagai tempat. Lebih lagi, bukan hanya diseminasi berita saja yang terjadi, tapi media sosial juga memungkinkan partisipasi kontributif dari setiap anggota jejaringan, dan secara menakjubkan memampukan tiap upaya, bahkan yang terkecil sekalipun, untuk bersatu menjadi upaya yang signifikan (Shirky, 2008). Fitur media sosial dalam menggabungkan upaya-upaya dan kontribusi-kontribusi mikro oleh banyak sekali kontributor individual sering disebut dengan istilah crowdsourcing. Pembuatan Sistem Operasi komputer Linux misalnya, adalah satu jenis crowdsourcing. Di dalam konteks media sosial dan Jurnalisme Warga, situs sindikasi blog Indo Progress (http://www.indoprogress.com) juga adalah satu bentuk karya “keroyokan masal” ini. Media Sosial juga mempunyai dua lagi karakteristik menarik yang saling berhubungan, yaitu sentralitas kontent dan bukti empiris berlakunya Power Law (Shirky, 2008). Dampak langsung dari meningkat pesatnya jumlah pencipta online kontent (kebanyakan amatir) adalah menjamurnya kuantitas kontent seiring berjalannya waktu, jauh melebihi pertumbuhan waktu kumulatif pemirsa dalam mengkonsumsi kontent. Misalnya, dalam setiap menit di tahun 2012 ini, 72 jam video telah diunggah ke Youtube (Usa Today, 2012). Karenanya, kualitas kontent menjadi penting karena pemirsa dipaksa untuk memilah wabah kontent ini dengan hanya membuka kontent yang paling populer, paling banyak dibagikan, paling disukai, paling trending dan paling-paling lainnya. Dampaknya adalah distribusi konsumsi kontent yang mengikuti distribusi power law (lihat Figur 2), yang dibedakan dengan jenis distribusi bell-curve yang paling umum secara statisik. Secara anatomi, distribusi power law dibagi dua, bagian head (kepala) yang kecil dan bagian tail (ekor) yang panjang. Distribusi power law merefleksikan ketidakseimbangan yang terjadi, dimana tidak semua kontent diciptakan sama, dan hanya segelintir kontent saja, sekitar 20%, dari populasi kontent (bagian head atau kepala) yang akan mendapat 80% perhatian konsumen (Shirky, 2008). Distribusi power law ini juga ditemukan ketika menghitung jumlah produsen kontent paling aktif, seperti digambarkan di Figure 2, ketika meneliti jumlah submisi foto ke situs foto media sosial Flickr untuk acara tahunan Mermaid Parade di New York tahun 2005 misalnya. Terlihat di sini bahwa kontributor pengunggah foto terbanyak (#1 Contributor) memasukan 238 foto, jauh melebihi penggunggah terbanyak kedua (#2 Contributor) yang hanya memasukan 158 foto. Dan kontribusi kedua orang ini jauh melebihi penggunggah lain yang rata-rata hanya menunggah 26 foto. Bisa dipastikan di dalam suatu komunitas virtual, hanya beberapa orang-orang paling aktif saja yang timbul di atas sebagian besar yang lain, dan yang otomatis mempunyai influencing power yang terkuat.
Figur 2. Distribusi pembagian foto di Flickr sehubungan acara Mermaid Parade tahun 2005 di Coney Island, NY, USA (Shirky, 2008)
Menariknya, model bisnis monetasi kontent juga diguncang oleh media sosial, ketika sekarang harga jual kontent mengalami penurunan drastis dibanding dahulu. Sampul majalah Time tanggal 27 April 2009 misalnya, menjadi sejarah karena Time hanya membayar sang fotografer $30 untuk foto yang dibeli melalui situs stock photo iPhoto.com (Figur 3), jauh dibawah $3000 honor standar untuk foto sampul majalah sekelas Time (Stout, 2009). Yang terjadi adalah mata uang dollar atau rupiah tidak lagi menjadi satu-satunya pertimbangan dalam perjual-belian kontent atau hasil usaha. Reputasi, status, ketenaran, dan kepuasan pribadi juga menjadi motivator yang valid. Proses untuk menjadi influencer ini bisa lama, bisa juga cepat (misalnya bila salah satu kontent tiba-tiba disukai konsumen sehingga menjadi viral, i.e. mewabah seperti virus). Yang pasti, konsumsi kontent-kontent yang disebarkan itu terjadi dalam burst yang tinggi variabilitasnya, dan bukan melalui distribusi penggunaan yang mulus.
Figur 3. Sampul Majalah Time. Apr 27, 2009, Time hanya membayar $30 untuk hak pakai foto toples tersebut
Peranan Filter dan Jaringan Media sosial sudah membuka lebar-lebar pintu buat siapa saja untuk mempublikasi kontent/isi, dan ini memaksa kita untuk mempunyai filter yang handal dalam mencegah masuknya “sampah informasi” ke dalam sistem kita. Filter ini bisa bermacam-macam bentuknya, mulai dari email spam filter dan bloker, penggunaan RSS, tag, hashtag, dan lain lain. Pengidentifikasian pemeran-pemeran penting dalam suatu jaringan sosial (i.e. individu-individu yang termasuk dalam top 20% dalam distribusi Power Law) yang lalu di-follow misalnya melalui Twitter juga satu lagi jenis penyaringan. Selain itu, kenalan-kenalan kita sebetulnya juga bisa dilihat sebagai filter; malah mereka mungkin jenis filter paling ampuh. Ini dikarenakan teman dan relasi kita, ketika digabungkan dengan repositori sejarah interaksi kita dengan mereka, berlaku sebagai pemberi kredibilitas dan konteks dalam mengevaluasi masuk banjirnya kontent. Secara implikasi, hal ini memperbesar peluang orang-orang disekitar kita untuk mempengaruhi pola pikir dan aksi kita. Otomatis, ini pun berlaku dua arah, dan kita pun dapat mengandalkan kredibilitas dan relasi kita untuk lebih efektif memberi pengaruh kepada orang sekitar kita. Dapat dibayangkan bagaimana dampak dinamika pengaruhi-mempengaruhi ini kepada misi dan tugas Kristiani masa kini. Selanjutnya, peranan hubungan inter-personal ini semakin mengungkap dekatnya hubungan ilmu network (jejaring) dengan media sosial, dimana suatu network dilihat sebagai suatu sistem menyeluruh yang terdiri dari hubungan-hubungan antar node anggota (yang
merepresentasikan individu-indivdu). Ilmu Jejaring mengatakan tidak semua node (individu) sama, namun dibedakan melalui parameter parameter seperti (Kadushin, 2011): 1) kuantitas interaksi yang dia punya (degrees), 2) tingkat pemerantaraan dengan node-node lain (betweeness), 3) jarak ke node-node lain (closeness), dan 4) tingkat aktifitas (brokerage measurements)
Biasanya juga dibedakan peranan anggota network, apakah dia seorang connector, maven (pakar informasi), atau salesman (pengguna informasi untuk menggerakan aktifitas kelompok atau jaringan) (Knowledge Sharing Toolkit, 2012). Grup atau Kelompok sendiri juga dapat dianalisa tingkat densitas dan kohesifitasnya (Kadushin, 2011). Aplikasi dari analisa network sosial ini beragam dan menjanjikan. Misalnya analisa dapat dilakukan untuk: 1) mengetahui kelemahan kekurangan jaringan, 2) mengidentifikasi peran dan potensi individu di dalamnya, 3) menggalang dan menumbuhkan sumber daya manusia dan juga hubungan-hubungan di antaranya (dengan kata lain, memperbanyak tabungan social capital), 4) mempermudah pembuatan hubungan-hubungan dengan jaringan-jaringan lain untuk kerjasama dalam proyek gabungan, melakukan pemetaan power structure dari berbagai konteks sosial (negara, daerah, peta-politik, misalnya), dan lain sebagainya. Satu hal juga yang penting untuk membantu pemprosesan data, selain filter, adalah teknik visualisasi. Website visual.ly (www.visual.ly) contohnya yang mencoba merepresentasikan data yang lebih visual melebihi format plain text. Ini menjadi satu lagi cara menghadapi banjir informasi yang akan semakin menghebat di jaman ini.
Media Sosial Sebagai Ruang Publik yang Berkembang Memang tidak bisa dipisahkan bahwa media sosial (Web 2.0) lahir dari keunikan Internet (Web 1.0), dan nilai-nilai dasar yang mendefinisikan Internet (inklusifitas, keterbukaan, pluralisme, meritokratisme, dan egaliter) turut juga mempengaruhi karakter media sosial. Karenanya, media sosial sebetulnya adalah media yang sangat subur untuk menjadi perwujudan ruang publik-nya Jurgen Habermas (Habermas, 1989), dimana anggota-anggota masyarakat dapat bertemu, berinteraksi, dan saling mempengaruhi bahkan secara politik dalam perjalanan bersama mereka sebagai satu komunitas. Dengan kata lain, terdapat potensi realisasi perwujudan suatu Masyarakat Sipil (civil society) yang dewasa melalui pengaplikasian media sosial. Bahkan, bisa diperdebatkan bahwa di jaman sekarang partisipasi di ruang publik tradisional, dimana interaksi sangat terbatas oleh ruang geografis misalnya, perlahan dilengkapi oleh partisipasi di ruang publik media sosial. Maka tren media sosial sebetulnya adalah suatu perkembangan amat baik untuk negara-negara dan individu-individu yang mempunyai aspirasi demokratis dan pluralis termasuk tentunya Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang juga termasuk diantaranya umat Kristiani Indonesia.
Data Penggunaan Internet di Konteks Indonesia
Di dalam konteks Indonesia, data dibawah ini mengenai Indonesia menggaris-bawahi posisi media sosial di dalam hati dan benak rakyat Indonesia:
Jumlah pengguna internet di Indonesia di tahun 2011 adalah 55 juta orang (22,4% populasi Negara), masuk ranking 20 besar dunia (Internet World Stats, 2011). Indonesia adalah negara ke-4 terbesar pengguna Facebook di dunia (Socialbaker, 2011). Di bulan Febuary 2012, Semiocast mencatat 19.5 juta twitter di produksi oleh orang Indonesia, negara paling produktif ke-5 terbesar setelah Amerika, Brasil, Jepang, dan Inggris (Semiocast, 2012).
Dari sini dapat ditarik satu kesimpulan bahwa penerimaan masyarakat Indonesia terhadap media sosial sangat antusias, mengingat 1) besarnya populasi negara, 2) prevalensi ponsel sebaagai sarana komunikasi di negara kepulauan ini, dan 3) tingginya niat rakyat Indonesia untuk saling berhubungan satu sama lain melalui situs-situs media sosial Web 2.0 seperti Facebook dan Twitter. Masuknya Indonesia dalam lima besar pengguna Facebook dan Twitter ini semakin menakjubkan ketika melihat penetrasi penggunaan Internet yang 22,4% masih sangat jauh dari titik saturasi. Dalam realita media sosial, satu ukuran paling utama adalah jumlah user, karena semua metrik keberhasilan suatu situs pada akhirnya berlandaskan seberapa banyak, seberapa sering, dan seberapa lama orang yang mengunjungi dan mengkonsumsi isi yang ditawarkan. Mengingat hal ini, Indonesia, beserta negara-negara besar populasi lainnya di dunia yaitu RRC, India, dan Amerika Serikat, mempunyai competitive advantage yang alamiah, yaitu sumber daya manusianya. Kesimpulan lainnya yang bisa ditarik dari data diatas adalah betapa sang raksasa Indonesia masih mempunyai ratusan juta individu yang tinggal menunggu waktu saja untuk masuk dalam dunia virtual. Ini berarti Indonesia masih berada di tahap early adopter, dan penanaman modal yang dilakukan di masa-masa ini dalam meningkatkan penguasaan media sosial dan Internet akan berbuah berlipat ganda bagi para investornya di tahun-tahun mendatang.
Hubungan dengan Tugas Kristiani Lalu apa hubungan media sosial, demokrasi, dan kekristenan? John Stott membahas penjelmaan tanggung-jawab Kristiani di dunia ini dalam kategori-kategori penginjilan, pelayanan sosial, dan aksi sosial (Stott, 2006). Christopher The memakai pengkategorian berdasarkan empat tugas: 1) pernubuatan, 2) pengabaran Kabar Baik, 3) bersaksi, 4) dan perantaraan (The, 2012). Apapun pembagian yang dipakai, dunia memerlukan aksi umat Kristen dalam semua kategori ini, dan peningkatan efektifitas dan efisiensi aksi-aksi Kristen dapat diraih melalui penggunaan media sosial. Pelayanan Global Media Outreach (GMO) misalnya, membeli ruang iklan dari Google seharga 10 cent (Rp 800) per banner agar pengguna Internet yang mencari Tuhan dapat menemukan situs-situs penginjilan dan pemuridan (GMO, 2012). Di bidang pelayanan sosial, penanggulangan bencana alam cepat sekali dideteksi melalui Twitter, contohnya gempa bumi di provinsi Sichuan, RRC tahun 2008 yang memakan korban 70.000 orang meninggal, dapat diketahui dan dilihat foto-foto kerusakannya dalam hitungan menit (Shirky, 2008). Di bidang aksi sosial, telah dibahas di atas tentang dampak penting media sosial dalam menciptakan ruang publik di dunia maya, yang mendukung proses-proses demokrasi.
Implisit dalam tanggung-jawab ini adalah mandat Kristiani untuk terlibat di dalam dunia, yang misalnya kita temukan di Yohanes 17, dimana kita diutus Tuhan ke dalam dunia sama seperti Yesus Kristus yang mengemban misi keselamatan kepada orang dunia: “Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia” (Yoh. 17:18). Kehendak Tuhan agar umat Kristiani menjadi berbeda di antara dunia seperti garam yang asin, cahaya di kegelapan, dan kota di atas bukit juga sering kita dengar dan aminkan (Matius 5:13-16). Mandat ini berlaku untuk semua anak Tuhan terlepas di periode manapun ia berada, namun memang tuntutan untuk mengenal, menginterpretasi dan melampaui jaman jadi menyatu di dalam panggilan penggaraman dunia ini (Tong, 1996). Sifat keterlibatan ini sendiri bisa bermacam ragam, dan tentunya vokasi, kemampuan, dan panggilan tiap individual itu menentukan realisasi konkritnya. Di dalam keberadaan ini, memang benar pandangan Pdt. Eka Darmaputera tentang kritisnya diperlukan hermeneutika dan analisis sosial yang gamblang (Darmaputera, 2004). Satu cara untuk penganalisaan misalnya adalah dengan melakukan evaluasi keterlibatan di bidang-bidang berikut: politik, ekonomi, sosial masyarakat, dan interaksi pribadi. 1. Sosial Media dalam Politik Di bidang politik, kita lihat kemenangan Obama di arena pemilihan presiden Amerika Serikat empat tahun lalu diatribusikan ke strategi sosial media-nya yang efektif (Read Write Web, 2012). Di tahap nasional, di Pilkada DKI misalnya, kita juga lihat melalui diseminasi informasi, kampanye, dan penggalangan dukungan media sosial juga memainkan peran baik secara positif dan negatif. Terjadi banyak black campaign menggunakan Twitter, misalnya seperti yang dilakukan akun “triomacan2000” terhadap Joko Widodo dan Ahok (https://twitter.com/triomacan2000). Menariknya, muncul juga akun yang membawakan argumentasi kontra dari analisa politik negatif tersebut oleh akun “kurawa” (https://twitter.com/kurawa). Ada juga pihak lain dari kubu Jokowi-Ahok yang membalas dengan lebih positif misalnya dengan membuat online game “Selamatkan Jakarta” yang tersebar dengan amat cepat melalui Facebook, Twitter, dan media-media lainnya (http://www.metricdesign.com/game.swf). Tidak pelak lagi, di setiap negara yang beralam demokrasi pembentukan citra dan opini rakyat sebagai satu aspek utama politik menjadi penting, dan media (traditional dan modern) selalu memegang peranan kunci. Dimampukan oleh media sosial, barisan Jurnalisme Warga dapat sangat cepat menemukan berita dan membagikannya ke berbagai lapisan masyarakat, bahkan mereka yang lepas jangkauan media TV dan radio, sehingga media sosial menjadi satu kanal yang terlalu strategis untuk tidak didayagunakan oleh para politisi. Akibatnya, informasi, disinformasi, dan misrepresentasi akan semakin marak. Ditambah lagi bertambah derasnya bahaya arus ultra-sekularisme yang terlalu mengandalkan kepandaian dan kemampuan manusia dalam berkolaborasi. Arus ini membawa ide-ide egaliter, toleransi, intelektualisme, sentralnya pengetahuan, dan penghormatan hak asasi terlalu jauh hingga meniadakan unsur Ketuhanan dan membawa agenda-agenda sekular Barat seperti pemujaan sains, pengidolaan tokoh dan selebritis, pro-aborsi, perkawinan sama jenis, gaya hidup imoral, atheisme, dan lain-lain. Sama seperti yang didengungkan Os Guinness, kebebasan berpikir dan berbicara yang diperoleh dari demokrasi itu tidak bisa dilepaskan dari dua faktor penunjang Kebebasan, yaitu Kebajikan dan Iman (Guinness, 2012). Karena Kebebasan yang berjalan lepas akan menjadi daya yang menghancurkan diri
sendiri, tanpa ada cek dan balans yang absolut dan bermoral. Orang Kristen harus paham ancaman ini dan membangun strategi agar pengaruh ini tidak masuk ke dalam legislasi negara dan membawa arah pembangunan negara menuju kehancuran nilai-nilai luhur moral masyarakat, seperti yang sudah banyak terjadi di negara Eropa dan di Amerika Serikat misalnya.
2.Media Sosial dalam Perekonomian Seperti dahulu negara-negara Eropa Barat berlomba-lomba memancangkan klaim di Dunia Baru Amerika, demikianpun banyak kepentingan-kepentingan yang berlomba-lomba untuk menanamkan cakar kekuasaan di kancah Media Baru. Karena di era Internet dan Globalisasi ini, perusahaan raksasa seperti Apple dapat menjangkau konsumen di mana saja di seluruh sudut dunia. Satu dikotomi yang seru di dunia ICT misalnya adalah keuntungan dan kerugian pendekatan walled garden (Taman Bertembok) seperti Sistem Operasi Apple iOS, ketika dikontraskan dengan pendekatan open source dan crowdsourcing, yang ditemukan misalnya dalam metode pengembangan Sistem Operasi Android yang berdasarkan Linux. Dapat dibayangkan suatu skenario masa depan dimana keberadaan media sosial akan dikontrol ke suatu oligarki kalangan elit politik dan bisnis saja, yang menciptakan koalisi yang berkuasa di atas kaum proletarian. Dalam skenario buruk ini rakyat dengan konstan disuguhi kontent propaganda yang membodohi dan kontent hiburan (games, movies) yang membius, sementara kaum teknoelit mengamankan kekuatan, kuasa, dan uang. Hal ini memang mungkin terjadi ketika rakyat umum memilih untuk tidak membangun akses dan investasi mental, material, dan ketrampilan untuk berdiskursus, berpartisipasi, dan berkolaborasi secara kolektif. Model bisnis baru media sosial yang menekankan ketenaran dan reputasi juga membawa problemnya sendiri, karena cobaan yang datang dalam bentuk finansial dan pemujaan publik dapat menarik orang Kristen untuk menaruh kepercayaan kepada diri sendiri dan kecanggihan teknologi, dan pergi dari sikap rendah hati dan berserah kepada Tuhan. Pesan yang sama tentang pentingnya literasi media terulang kembali di sini. Menangkal cegah konsentrasi kekuatan di tangan segelintir orang, organisasi, atau perusahaan membutuhkan perluasan pemahaman media sosial di khalayak luas yang tergabung dalam Masayarakat Sipil yang kuat dan cerdas. Metode produksi open source yang mendifusikan kontrol produksi, distribusi, dan hak cipta bisa menjadi satu faktor pengimbang yang diperlukan. Dan satu perbedaan penting kaum tekno-elit sosial media ini dibanding kaum-kaum elit historis sebelumnya ada dalam keunikan barrier of entry untuk menyamakan kedudukan dengan kalangan borjuis ini. Karena di dunia masa kini, uang, status, struktur sosial, negara, umur, agama, atau ras bukan lagi penghambat mobilitas sosial, ekonomi, atau politik. Sebaliknya, sekarang siapa saja dengan hanya berbekal kemauan, tekad, dan waktu akan bisa bereksistensi dengan nyata di dunia Media Baru. 3. Media Sosial di dalam Masyarakat Di bidang masyarakat, Pemakaian sosmed di Amerika sudah mencapai 87% masayarakat dewasa (Pew Research Center, 2012). Di Indonesia sendiri masih 22%(Internet World Stats, 2011), tapi trendnya amat meningkat pesat, dan sedikit banyak rakyat Indonesia sebetulnya mempunyai
mesin waktu ketika melakukan perbandingan dengan trend perkembangan media sosial terkini di negara-negara maju seperti Amerika. Penggunaan paling penting media sosial dalam masyarakat Amerika sekarang adalah sebagai ruang publik maya yang mengkomplementer jalannya Masyarakat Sipil dalam mempengaruhi pihak Negara dan Bisnis dalam mengiringi perkembangan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Tidak muluk-muluk bila ada prediksi bahwa hal yang sama pun akan dapat terjadi di Indonesia. Perlu diakui bahwa Indonesia mempunyai tantangan-tantangan infrastruktur, geografis, dan ekonominya tersendiri, tapi saturasi internet di Indonesia mencapai persentase 80% ke atas tidak akan terelakan seiring berjalannya waktu. 4.Media Sosial dalam Mempengaruhi Relasi Langsung Antar Pribadi Setelah menyimak data penggunaan media sosial di Indonesia (yang notabene adalah salah satu pengguna terbesar Facebook, Twitter) dan mencatat prominensi penggunaan teknologi ponsel seperti Blackberry, tidak sulit untuk membayangkan bagaimana interaksi dan relasi antarindividu telah dan akan semakin berubah secara dalam. Rutinitas harian rakyat Indonesia di kotakota besar sesungguhnyalah tidak dapat lepas dari media sosial. Ketika semakin banyak orang mempunyai profil publik di Facebook atau Twitter, maka anoninimitas menjadi suatu hal yang langka. Segala kebaikan atau kejelekan karakter yang orang Kristen punyai dari sepak terjangnya di tempat kerja, di komunitas, di masyarakat, bahkan di dalam kehidupan pribadi teramat mudah untuk terpampang nyata di layar monitor banyak orang. Ini menjadi pedang bermata dua, ketika tantangan hidup suci dan berintegritas itu semakin menuntut orang-orang Kristen untuk mewakili dan mensaksikan Kristus yang hidup di setiap aspek kehidupan, 24 jam sehari 7 hari seminggu. Dari sisi lain, pemahaman tentang posisi kita di dalam jaringan-jaringan yang kita punyai, dan penambahan sphere of influence meminjam pengetahuan dari ilmu jejaring akan memudahkan upaya kita dalam mendapatkan kredibilitas dan bersaksi dengan perkataan, hidup, dan aksi kita. Selain itu, panggilan ini bukan saja untuk orang Kristen yang khusus di bidang ICT untuk mengerti sosial media, namun untuk semua anak Tuhan, walau mungkin dalam kadar yang berbeda. Ini dikarenakan peranan yang berbeda berbalik kepada panggilan, vokasi, dan penempatan masing-masing. Terpakai lagi peranan ilmu network dalam memberi bentuk pemikiran, dimana setiap anggota jaringan itu bisa dan harus memainkan peran berlainan. Ada yang mencari dan memberi informasi, ada yang mengumpulkan, ada yang menginterpretasi, ada yang mengaplikasi menjadi proposal aksi, ada yang menyebarkan, ada yang mengkoordinasi, dan lain sebagainya. Dalam kenyataannya, setiap orang yang melakukan satu peran di atas sudah menjadi partisipan di dunia cyber. Jadi yang dimaksud dengan media sosial engagement yang menyeluruh itu lebih pada pertumbuhan kesadaran tentang kekuatan dan cara kerja Media Baru, dan pengertian posisi dan peranan masing-masing di dalam value chain informasi, kolaborasi, dan aksi kolektif Kristiani yang sinergistik. Media sosial memang dalam bentuk paling dasarnya “hanya” membantu amplifikasi kontent, dan orang Kristen sebetulnya mempunyai kontent terbaik yang pernah ada di dunia yaitu Kabar Baik karya keselamatan Tuhan. Kabar Baik yang berkuasa membuat orang-orang berdosa menjelma menjadi “…bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya [mereka] memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil [mereka] keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1 Petrus 2:9).
Kesimpulan dan Aplikasi Mengingat betapa adopsi dan penggunaan media sosial dalam virtual public space masih sangat dini apalagi di Indonesia, hal-hal berikut baik untuk diingat menjelang masa-masa mendatang: 1. Menggunakan kesempatan di tahap early adopter ini untuk ikut membentuk dan menentukan jenis interaksi sosial media. Salah satu bentuknya adalah partisipasi dan memeperkuat ruang publik maya agar diskursus demokratis dengan nilai-nilainya seperti keterbukaan, pluralisme, kebebasan bicara dan ekspresi, perdebatan sehat dan logis, kemudahan tersedianya data dan informasi, egaliter, pemberantasan pelanggaran SARA tanpa berlebihan, dan lain-lain. 2. Sosial Media akan memegang peranan semakin penting, termasuk di Indonesia, dalam membentuk opini publik, berdemokrasi, dan membentuk sosial kapital, dan akan semakin instrumental dalam menentukan arah dan komposisi negara. 3. Panggilan untuk menjadi garam dan terang pelaksanaanya semakin beragam oleh keberadaan sosial media, dan kita sebagai manusia Kristen generasi modern perlu untuk terus mengkontekstualisasi panggilan dalam menjalankan mandat Kristiani untuk perluasan kerajaan Tuhan di Indonesia. 4. Umat Kristen perlu untuk jadi semakin aktif dalam arena Jurnalisme Warga dan terus membangun jaringan untuk saling kerjasama, di dalam dan diluar gereja. Artikel ini hanyalah sebuah upaya awal dalam mengeksplorasi suatu janji yang ditawarkan oleh media sosial untuk kemajuan negara dan perluasan kerajaan Allah. Adalah harapan penulis agar banyak diskusi dan kolaborasi bermunculan dan berkelanjutan. Semoga artikel ini, seperti media sosial, dapat menjadi alat yang baik sehingga dapat berguna untuk menjangkau dan menghubungkan anak-anak Tuhan yang sehati setertarikan untuk bekerjasama menggalang kelebihan masing-masing untuk menciptakan aksi-aksi nyata untuk kemajuan Indonesia dan dimuliakannya Tuhan. Amin. Johan Sulaiman adalah anggota Indonesian Christian Fellowship Tucson, Arizona antara tahun 1998 sampai 2002, peserta ITM Mailing List, dan co-founder organisasi sosial Keong Mas yang lahir di akhir tahun 2005. Johan sekarang berdomisili di Los Angeles, CA sambil menempuh karir di bidang Corporate Financial Systems and Business Intelligence. Semoga melalui paper ini akan banyak terjadi kolaborasi lanjutan dengan peserta ITM-Gathering 2012. Johan dapat dihubungi melalui www.GudangDaya.com, atau melalui email di
[email protected].
Resensi Best Education Sites. 2012. “The Internet a Decade Later”. Web. 20 Aug, 2012.
. Darmaputera, Eka. 2004. “Menyoal Tanggung Jawab dan Peran Sosial Gereja-gereja di Indonesia” dari buku “Persepsi dan Peran Umat Kristiani Mewujudkan Indonesia Baru”. Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. The Economist. 2011. “Eat, pray, tweet: Social-networking sites have taken off in Indonesia. Who will profit?” The Economist. Web. Aug 20, 2012.
. Global Media Outreach. Aug 19, 2012. “Introducing Global Media Outreach”. Oral Presentation from GMO executive. Calvary Chapel Chino Hills. Guinness, Os. 2012. “A Free People’s Suicide”. IVP Books. Habermas, Jurgen. 1989. “The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society”. Internet World Stats. 2012. “Asia Marketing Research, Internet Usage, Population Statistics and Facebook Information”. Web. Aug 20, 2012. Lim, Merlyna, October. 2011. “@crossroads: Democratization and Corporatization of Media in Indonesia.” Ford Foundation Public Seminar, Jakarta. Kadushin, Charles. 2011. “Understanding Social Networks: Theories, Concepts, and Findings”. Oxford University Press. Kaplan, Andreas M. and Michael Haenlein. 2010. "Users of the world, unite! The challenges and opportunities of social media." Business Horizons. Kayode, Adeyemo Lateef. 2011. “Youth Activism, Social Media and Nation Building.” Kalish, John. Feb 19, 2012. “Building A Village Starts With Building The Tractor”. Web. Aug 1, 2012. Knowledge Sharing Toolkit. 2012. “Social Network Analysis”. Web. Aug 2, 2012. Pew Research Center. 2012. Web. Jul 23, 2012. Read Write Web. 2012. “Obama’s Social Media Advantage”. Web. Aug 20, 2012.
Republika. 2012. “Tifatul: Pengguna Internet di Indonesia Belum Serius”. Web. Aug 20, 2012. Rheingold, Howard. 2012. “Net Smart: How to Thrive Online”. The MIT Press. Shirky, Clay. 2008. “Here Comes Everybody: The Power of Organizing without Organizations”. The Penguin Press. Semiocast. 2012. Web. Aug 2, 2012. . Socialbakers. 2011. “Top 5 countries on Facebook Socialbakers.” Web. Jul 15, 2012. . Suyatno. 2007. “RT-RW Net and E-Democracy in Indonesia”. Global & Strategis, Jurnal Universitas Airlangga. Web. Aug 15, 2012. . Stott, John. 2006. “Issues Facing Christians Today”. Zondervan. Stout, Mark. 2009. “The Time Magazine Cover Photo “Ripoff””. Web. Aug 20, 2012. . The, Christopher. 2012. “Using Social Media to Advance God's Kingdom in Indonesia”. Email. Aug 3, 2012. Tong, Stephen. 1996. “Pemuda dan Krisis Zaman”. Stephen Tong Evangelistic Ministries International. USA Today. 2012. “YouTube: 72 hours of video uploaded per minute”. Web. Aug 20, 2012. < http://content.usatoday.com/communities/technologylive/post/2012/05/youtube-72-hours-ofvideo-uploaded-per-minute/1#.UDIvAqBYWSo> Wikipedia. 2012. “Indonesia Internet Exchange”. Web. Aug 20, 2012.