Media Baru Digital Storytelling di Perpustakaan Endang Fatmawati Kepala Perpustakaan FEB UNDIP & Dosen LB Jurusan Ilmu Perpustakaan FIB UNDIP
Abstract Librarians certainly have an interesting story about his experiences to tell. Nowadays with digital tools and software will make the librarian becomes more easy and convenient to create digital stories. The purpose this article is to describe digital storytelling like definition and element, characteristic component and process, learning, and culture change. The method used is descriptive. It is to describe the conditions that exist in the field related to the digital storytelling then analyzed with a literature review to reach understanding. The result about digital storytelling means discusses stories about various things that use digital multimedia. It uses new media tools and platforms to tell stories. Narrative and literacy in the digital storytelling based on digital technology so as storytelling or information also through digital media. Keywords:
digital storytelling, digital stories, new media, library.
Vol.4, No.2, Tahun 2015
105
Endang Fatmawati
Pendahuluan Sewaktu saya membaca bukunya Lundby Knut (2008) yang berjudul Digital Storytelling Mediatized Stories: Self-Representations in New Media, rupanya menggugah mata batin saya sehingga dapat memberikan pemahaman tentang terjadinya suatu perubahan media yang digunakan dalam bercerita. Jika mengingat masa kecil dulu, orang tua kita dengan segala kepiawaiannya sering membacakan cerita sebagai pengantar tidur kepada anaknya melalui buku cerita dalam durasi waktu yang lama sampai anaknya tertidur lelap. Begitupun dahulu ketika pustakawan yang berperan sebagai storyteller bercerita juga menggunakan media buku, sehingga pemustaka harus berusaha menggambarkan tentang objek yang diceritakan agar imajinasi pemustaka bermain. Suatu contoh, ketika pustakawan menceritakan tentang laut, maka otak pemustaka sebagai pendengar berimajinasikan gambaran laut itu seperti apa. Buku cerita anak-anak bermacam-macam, mulai dari bacaan bergambar, komik, majalah ilustrasi, sampai dengan novel. Perbedaan yang jelas adalah ada perubahan kultur bercerita era sekarang. Saat ini dengan adanya alat digital dan berbagai perangkat lunak membuat sebagian orang termasuk para pustakawan menjadi lebih mudah dan nyaman untuk membuat cerita digital. Saat penulis mengamati di salah satu perpustakaan umum, anakanak terlihat asyik bercengkerama duduk santai di karpet sambil menyaksikan pemutaran film edukatif berbasis pengetahuan yang diputar pustakawan melalui video. Nampaknya ini fenomena digital storytelling, karena anak-anak tidak lagi mendengar dongeng dari tutur kata pustakawannya secara tradisional. Tujuan dan Metode Tujuan penulisan artikel ini untuk menggambarkan tentang digital storytelling, yang meliputi: definisi dan elemen; karakteristik, komponen, dan proses; pembelajaran; serta perubahan budaya. Metode yang digunakan deskriptif, yaitu dengan menggambarkan kondisi yang ada di lapangan terkait dengan digital storytelling, kemudian dianalisis dengan tinjauan literatur untuk mencapai pemahaman. Definisi dan Elemen Digital storytelling diterjemahkan dengan cerita digital. Landis, et.al. (2011: 5), menyebutkan “digital storytelling is the art of combining 106
Jurnal Ilmiah Kepustakawanan "Libraria"
Media Baru Digital Storytelling di Perpustakaan
narrative with digital media such as images, sound, and video to create a short story”. Maksudnya sebagai seni yang menggabungkan cerita dengan media digital seperti gambar, suara, dan video untuk membuat cerita pendek. Digital storytelling ibarat seperti bahasa yang memuat kodekode atau tanda-tanda yang berfungsi untuk memproduksi maknamakna. Digital storytelling meliputi praktik bercerita dengan menggunakan media digital dalam multimedia yang diproduksi oleh para profesional. Media digital yang dimaksud bisa berupa: slide show, narasi di blog dan media sosial, narasi interaktif dan game, video amatir di youtube, maupun film. Kemudian pengertian digital storytelling menurut Rule (2007) dalam Digital Storytelling Association, bahwa: “...is the modern expression of the ancient art of storytelling. Digital stories derive their power by weaving images, music, narrative and voice together, thereby giving deep dimension and vivid color to character, situations, experiences, and insights.” Artinya bahwa digital storytelling merupakan ekspresi modern dari seni bercerita yang kuno dengan mengandalkan kekuatan gambar, musik, suara (lagu dan narasi), bersama-sama sehingga memberikan dimensi dan warna dalam hal karakter, situasi, pengalaman, dan wawasan.
Gelombang kedua cerita digital dimulai tahun 90-an dengan munculnya produksi video populer kemudian teknologi media sosial. Lalu seiring dengan perkembangan media digital, masyarakat mulai memanfaatkan internet untuk bercerita dan saling bertukar informasi. Perubahan ke bentuk digital storytelling mempunyai ciri, seperti: durasi waktunya pendek, skala yang kecil dengan teknik sederhana, dan biasanya menggunakan cerita pengalaman hidup yang diceritakan dengan narasi suara. Suatu hal yang penting bahwa digital storytelling menjadi suatu strategi yang menggunakan aplikasi komputer yang dapat membantu pemustaka menelaah suatu topik berdasarkan sudut pandang pemustaka. Jadi digital storytelling menjelaskan kepada pemustaka dengan cara yang sederhana dan pemustaka tidak perlu berimajinasi tentang objek yang diceritakan, karena pada era penceritaan digital sudah ada suara, gambar, maupun video yang menggambarkan objek yang diceritakan tersebut. Akhirnya bisa dikatakan kalau dongeng kini sudah semakin canggih dengan didokumentasikan dalam bentuk digital. Vol.4, No.2, Tahun 2015: 99-109
107
Endang Fatmawati
Komunikasi yang termediasi secara progresif memasuki aspek kehidupan dan hubungan sosial termasuk storytelling. Sekiranya dapat disimpulkan bahwa digital storytelling adalah sebuah cara bercerita dengan penggabungan narasi, teks, audio, gambar, musik yang dikemas sedemikian rupa dalam digital dan disampaikan melalui multi media digital. Beberapa jenis digital storytelling, antara lain: 1) Narasi pribadi, merupakan sebuah dongeng dari sebuah kisah peristiwa pribadi seseorang yang memiliki nilai budaya atau nilai-nilai kehidupan yang patut dijadikan pembelajaran; 2) Cerita dokumenter, yaitu sebuah cerita yang meneliti peristiwa dramatis yang dapat membantu kita dalam mempelajari sejarah masa lalu; 3) Dongeng, yaitu cerita yang dibuat dan dirancang untuk menyampaikan informasi atau memerintah sang pendongeng pada konsep atau praktik tertentu. Selanjutnya elemen penting dalam digital storytelling, yaitu: 1) Point of view, yaitu apa perspektif si penulis; 2) A dramatic question, merupakan sebuah pertanyaan yang akan dijawab pada akhir cerita; 3) Emotional content, melibatkan aspek emosional dalam memahami makna yang tersurat maupun tersirat dalam isi cerita; 4) The gift of your voice, suatu cara untuk personalisasi cerita agar membantu pemustaka memahami konteks; 5) The power of the soundtrack, berupa musik atau audio lainnya yang mendukung alur cerita; 6) Economy, mempertimbangkan unsur ekonomi/efisiensi; dan 7) Pacing, dengan mempertimbangkan nilai ekonomi (irit dan murah), namun secara khusus berkaitan dengan seberapa lambat atau seberapa cepat cerita/ dongeng tersebut berlangsung. Adanya perkembangan teknologi informasi telah mengkondisikan masyarakat itu hidup dengan dominasi citra visual, sehingga telah mengubah cara komunikasi dan interaksi antar manusia yang bergantung pada keberadaan media visual tersebut. Begitu juga aplikasinya di perpustakaan, pemustaka era sekarang sudah berubah dalam hal mengakses informasi. Karakteristik, Komponen, dan Proses
Park & Seo (2009) dalam Xu (2011: 181), berpandangan mengenai karakteristik kunci digital storytelling yaitu: flexibility, universality, interactivity and community formation. Fleksibilitas dalam cerita digital mengacu pada penciptaan cerita yang tidak linier dalam menggunakan teknologi media digital (Gregori-Signes 2008 dalam Xu 2011). Universalitas diartikan bahwa siapapun dapat menjadi produser
108
Jurnal Ilmiah Kepustakawanan "Libraria"
Media Baru Digital Storytelling di Perpustakaan
cerita digital karena ketersediaan komputer yang luas maupun perangkat lunak yang mudah digunakan. Interaktivitas dalam bentuk komunitas mengandung maksud adanya partisipasi pengguna dalam pengembangan cerita menggunakan karakteristik media yang saling dapat dipertukarkan. Terkait dengan komponen digital storytelling, ada 4 (empat) komponen dasar untuk menciptakan digital storytelling tersebut, yaitu: elemen, media, proses, dan program. Hal ini nampak pada Gambar 1 berikut:
Gambar 1 . Komponen Dasar Digital Storytelling Sumber: http://pwoessner.wikispaces.com/ Dalam prakteknya digital storytelling itu menggunakan media baru. Bahkan saat pemustaka melihat video di youtube, membuka blogspot, vivo, dan lain sebagainya, maka secara tidak langsung ketika itu sebenarnya pemustaka sedang menikmati digital storytelling. Jika mencermati realitas di lapangan, pemustaka saat di perpustakaan banyak yang senang nonton youtube, nonton film, dan segambreng aktivitas lain melalui akses internet. Hal ini didukung oleh ketersediaan secara virtual bentuk digital storytelling yang dibuat institusi/lembaga maupun perseorangan juga menjamur di internet, sehingga takheran para pemustaka sangat menikmatinya. Dari yang sederhana sampai yang bagus, dari yang amatir sampai profesional ada semua. Penulis yakin, setiap pustakawan pasti mempunyai cerita untuk disampaikan, dan setiap hari juga bisa mendengar pengalaman dari orang lain dalam bentuk cerita, sehingga tidak ada alasan tidak punya ide. Makanya pustakawan jangan ketinggalan, pustakawan bisa membuat digital storytelling juga, misalnya membuat tutorial tertentu di youtube, dari yang serius seperti “tutorial konversi ms word ke
Vol.4, No.2, Tahun 2015: 99-109
109
Endang Fatmawati
pdf”, sampai tutorial yang sifatnya lucu dan menghibur seperti “stand up komedi”. Digital storytelling dalam bentuk multimedia menggabungkan antara foto, video, animasi, suara, musik, teks, maupun suara narasi. Proses pembuatan digital storytelling dapat dilakukan dengan 8 (delapan) tahapan, yang dimulai dari munculnya ide sampai pada adanya umpan balik. Siklus prosesnya seperti tampak pada Gambar 2 berikut:
Gambar 2 . Proses Digital Storytelling Sumber: http://edtechteacher.org/
Fungsi rekreasi dari sebuah perpustakaan terlihat dalam layanan digital storytelling. Sebenarnya ada banyak cara bagi perpustakaan untuk terlibat dalam proses bercerita digital. Mulai dari menampilkan cerita rakyat sampai film animasi modern untuk anak-anak. Jenis perpustakaan umum sangat potensi untuk mengembangkan digital storytelling yang lebih luas dengan menggunakan jejaring sosial, alatalat seperti situs video sharing, blog, maupun forum online lainnya. Jadi kebutuhan pemustaka khususnya anak-anak sangat tepat jika selain terpenuhinya kebutuhan belajar juga kebutuhan akan rekreasi, karena usia anak memang cocok untuk usia bermain. Prinsipnya sembari bermain sembari belajar. Hal ini cocok dengan salah satu fungsi perpustakaan yaitu fungsi rekreasi.
110
Jurnal Ilmiah Kepustakawanan "Libraria"
Media Baru Digital Storytelling di Perpustakaan
Pembelajaran
Aplikasi cerita digital di sekolah dapat digunakan sebagai media ekspresif untuk mengintegrasikan materi pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Siswa dapat bekerja secara individu atau bersama-sama untuk menghasilkan cerita digital mereka sendiri. Hal ini bisa untuk mengekspresikan emosinya melalui sebuah cerita. Pustakawan sekolah bisa mengambil peran dalam hal ini, misalnya memberikan pelatihan membuat digital srtorytelling untuk siswa-siswanya. Oleh karena bercerita digital menjadi salah satu media baru yang bisa menstimulus munculnya kreativitas dan inovasi dalam pembelajaran, maka pustakawan sekolah bisa berkolaborasi dengan guru untuk mewujudkannya. Cerita digital tersebut menggunakan alat media baru dan platform untuk menceritakan naskah. Adanya layanan digital storytelling yang ada di perpustakaan sangat efektif untuk mendukung proses pembelajaran di sekolah. Hal tersebut karena strategi pembelajaran dapat difasilitasi melalui kegiatan mendongeng digital. Menurut Barrett (2006) dalam Xu, et.al. (2011: 183), strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa ada 4 (empat), yaitu: keterlibatan siswa (student engagement), refleksi untuk belajar lebih dalam (reflection for deep learning), pembelajaran berbasis proyek (project-based learning), dan integrasi teknologi ke dalam kelas (technology integration into the classroom). Gambar 3 berikut menggambarkan bagaimana cerita digital meningkatkan konvergensi tersebut:
Gambar 3. Convergence of Student-Centered Learning Strategies Sumber: Xu, et.al. (2011: 183)
Vol.4, No.2, Tahun 2015: 99-109
111
Endang Fatmawati
Digital storytelling merupakan salah satu dari sumber belajar. Penggunaan teknologi yang dimanfaatkan untuk penyusunan dan pengembangan media pembelajaran digital storytelling dirasa sangat efektif. Oleh karena itu, maka banyak workshop tentang pembuatan media pembelajaran digital storytelling ini. Profisiat bagi Perpustakaan Universitas Brawijaya yang telah sukses melakukan workshop cara praktis membuat digital storytelling kerja sama dengan Sampoerna Foundation. Pesertanya waktu itu adalah pustakawan dan seluruh karyawan Perpustakaan UB, mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan, mahasiswa FIB UB, dan karyawan ruang baca dari seluruh Fakultas UB. Kegiatan tersebut untuk menciptakan kreatifitas dan inovasi konten pembelajaran. Digital storytelling adalah praktek menggabungkan gambar dengan soundtrack yang diriwayatkan termasuk suara, musik dan video. Digital storytelling bisa dikatakan sebagai strategi penggunaan program aplikasi komputer yang berisi gabungan antara gambar, teks, suara (narasi dan lagu), dan video untuk menceritakan suatu cerita. Pada saat ini storytelling bisa menjadi suatu media edukasi yang diterapkan di dalam game, sehingga game bisa menggunakan storytelling sebagai media untuk pembelajaran. Seperti halnya storytelling tradisional, maka cerita digital juga menceritakan suatu topik dari sudut pandang tertentu. Ada penelitian yang pernah dilakukan oleh Prawira (2013) dengan analisis alpha dan beta. Topik penelitian tentang penerapan storytelling terhadap game lorong waktu Pangeran Diponegoro dengan menekankan arah cerita dan makna cerita. Berdasarkan hasil pengujiannya, secara alpha kesimpulannya bahwa aplikasi yang dibangun bebas dari kesalahan sintaks dan berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan. Secara beta, kesimpulannya bahwa storytelling memberikan dampak peningkatan pembelajaran sejarah sesuai dengan makna cerita yang diharapkan. Alexander (1967) menjelaskan ekspresi modern dari seni kuno bercerita, gambar, teks, audio, video, dan musik yang memberikan konteks historis. Hal ini mengacu pada teknologi baru, wawasan baru, pengalaman yang luas untuk menggambarkan proses pembuatan narasi dengan video pribadi, blog, podcast, permainan mulimedia, media sosial, maupun platform yang menawarkan jalur baru untuk kreativitas, interaktivitas, dan ekspresi diri. Melalui digital storytelling, ilmu pengetahuan bisa ditransfer melalui cerita yang menarik melalui budaya mendongeng dalam bentuk 112
Jurnal Ilmiah Kepustakawanan "Libraria"
Media Baru Digital Storytelling di Perpustakaan
digital. Apalagi kekayaan informasi lokal yang dimiliki bangsa Indonesia mempunyai nilai budaya, baik ilmiah maupun populer sehingga banyak sekali cerita yang bisa dikemas dalam bentuk digital. Hal ini merupakan kekayaan budaya nasional yang perlu mendapat perhatian dan pengelolaan secara profesional oleh pustakawan. Ada buku menarik yang ditulis oleh Crolyn Handler Miller (2008) yang saya rasa cocok untuk para pustakawan yang ingin mengembangkan proyek hiburan kreatif, seperti mengetahui teknik efektif untuk menciptakan narasi yang menarik melalui berbagai media digital. Kemudaian bukunya Midge Frazel (2010) juga tidak kalah menarik. Frazel menawarkan gambaran dan penjelasan alat bercerita digital dan beragam variasinya, seperti: e-portofolio (e-portfolios), esai foto digital (digital photo essays), maupun scrapblogs. Ada rekomendasi, ikhtisar, dan penjelasan dalam buku tersebut akan membantu para pendidik menemukan cara mendongeng digital sehingga teknologi digital storytelling dapat diterapkan dan digunakan di kelas untuk pengembangan diri agar lebih profesional. Hal ini akan memberikan petunjuk secara rinci mulai dari persiapan, produksi, presentasi, sampai pada tahap evaluasi pekerjaan siswanya. Digital storytelling telah menjadi bagian dari kehidupan modern seiring kemajuan era audio digital, teknologi capture video, serta editing perangkat lunak. Melalui konten yang disajikan sebagai cerita digital, maka akan lebih mudah menciptakan produk inovatif e-learning untuk mendukung proses pembelajaran. Konten inovatif tersebut tidak hanya dapat membuat sajian lebih menarik tetapi juga dapat menghasilkan pembelajaran yang mudah dipahami dan diingat. Tantangan untuk menghasilkan sistem e-learning yang mendukung kreativitas dan inovasi adalah dengan inovasi pedagogi seperti bercerita dan menyajikan cerita yang dikemas melalui media digital. Perubahan Kultur
Pada dasarnya manusia itu bisa disebut sebagai makhluk pencerita (homo fabulans). Setiap orang memiliki cerita mereka untuk memberitahu dan setiap hari kita mendengar dari orang lain tentang pengalaman mereka dalam bentuk cerita. Bercerita atau mendongeng (storytelling) berasal dari kata “story” artinya cerita dan “telling” artinya memberitahukan.
Vol.4, No.2, Tahun 2015: 99-109
113
Endang Fatmawati
Saat ini telah terjadi perubahan cara pustakawan dalam memberikan layanan storytelling kepada pemustaka. Bercerita merupakan salah satu bentuk dari representasi diri. Banyak sekali manfaat bercerita bagi penceritanya. Dengan bercerita, seseorang dapat mengekspresikan emosi/perasaan, menginterpretasikan pengalaman, dan berbagi informasi ke orang lain. Dahulu pustakawan (saat berperan sebagai storyteller) ketika menceritakan sebuah dongeng, legenda, fabel, hikayat, dan jenis cerita lainnya kepada pemustaka (anak-anak) bisa tanpa media apapun. Ada juga yang menggunakan media buku, gambar-gambar, maupun boneka sebagai pendukung saat bercerita. Bisa dibayangkan waktu itu antara pustakawan dan pemustaka harus bertatap muka langsung untuk bercerita, sudah pasti durasi waktunya lama. Mereka saling mendengar dan melihat kemudian umpan balik (feedback) dari yang mendengarkan dan yang melihatnya dapat diketahui pada saat itu juga. Begitu juga kita tahu bahwa waktu itu teknik berceritanya hanya mengandalkan intonasi, mimik wajah, maupun gestur saja untuk menumbuhkan imajinasi bagi pendengarnya. Dulu pemustaka bisa berinteraksi langsung saat pustakawan bercerita. Contoh untuk film, perubahan yang nampak sekarang menyebabkan umpan balik tidak langsung terjadi di saat film diputar, dan kalaupun terjadi harus dihentikan (pause) dahulu biar diskusi jadi lebih fokus. Yang terjadi biasanya pendengar justru asyik menikmati film yang diputar. Melalui digital storytelling pustakawan hanya sebagai fasilitator untuk memutar filmnya kemudian hanya mengulas saja. Sementara itu, jika ada pertanyaan ataupun tanggapan dari pemustaka, tanggapan informasinya jadi tertunda di akhir film selesai atau harus dihentikan dulu di tengah pemutaran, ada penjelasan, lalu harus diputar lagi dan begitu seterusnya. Jika dijelaskan bahwa awalnya pemustaka memperoleh informasi secara lisan, kemudian mulai mengenal buku dengan cerita yang didokumentasikan dalam media buku dan disertai dengan gambar dengan visualisasi beragam warna yang menarik. Dongeng anak-anak identik dengan cerita kerajaan seperti putri cantik yang pada akhirnya akan bertemu dengan seorang pangeran tampan. Contoh cerita dongeng yang sangat populer di kalangan anakanak, seperti: bawang merah dan bawang putih, cerita cinderella, putri salju, putri tidur, si cantik dan si buruk rupa, barbie, putri rapunzel, dan lain sebagainya. Jika fabel ada si kancil, legenda ada tangkuban 114
Jurnal Ilmiah Kepustakawanan "Libraria"
Media Baru Digital Storytelling di Perpustakaan
perahu, film edukatif ada ilmu pengetahuan tentang hewan mamalia, proses metamorfosis, dan lain sebagainya. Seiring dengan perkembangannya, pemustaka memperoleh cerita dengan mendengarkan cerita sandiwara radio maupun menonton televisi. Dalam sandiwara radio baik sender maupun message dan medianya sudah dalam bentuk digital, misalnya: suara lolongan anjing, suara air kran, dan lain sebagainya. Hanya saja umpan balik dari pendengarnya tidak langsung dapat diketahui, karena storytelling sudah termediasi dengan teknologi. Hal inilah yang disebut kultur bercerita sudah demikian berubah. Jika dianalisis lebih dalam bahwa dengan digital storytelling akan membuat proses penceritaan secara emosi bagi pemustaka menjadi lebih dalam. Hal ini dikarenakan informasi dari digital storytelling lebih dinamis daripada diceritakan secara tradisional oleh pustakawan. Kelebihannya yang jelas pemustaka menjadi lebih mudah memahami lewat tampilan visual dan audio. Perubahan penggunaan media dalam storytelling diilustrasikan dalam Gambar 4 berikut:
Gambar 4. Model Cerita Tradisional ke Digital Storytelling Sumber: ilustrasi penulis
Secara umum hadirnya perangkat media baru seperti: komputer, kamera digital, perekam, dan perangkat lunak, akan memungkinkan setiap pustakawan dapat berbagi cerita digital mereka melalui internet, pada cakram, podcast, ataupun media elektronik lainnya. Jadi dengan alat digital dan perangkat lunak akan membuat para pustakawan menjadi lebih mudah dan nyaman untuk membuat cerita digital. Penutup Teknologi komunikasi dan informasi khususnya untuk penerapan digital storytelling semakin berkembang pesat. Dongeng dalam bentuk digital storytelling telah menggantikan peran pustakawan
Vol.4, No.2, Tahun 2015: 99-109
115
Endang Fatmawati
sebagai sumber informasi. Dengan demikian, perkembangan teknologi kian mendominasi perkembangan perpustakaan dari hari ke hari, dan seperti kenyataan saat ini bahwa cerita telah menjadi sebuah cerita dalam bentuk dokumentasi digital. Digital storytelling merupakan cara bercerita dengan penggabungan narasi, teks, audio, gambar, musik yang dikemas sedemikian rupa dalam bentuk digital dan disampaikan melalui multimedia digital. Perpustakaan hendaknya mengakomodir kebutuhan pemustaka dengan menyediakan ruangan yang khusus untuk digital storytelling tersebut. Daftar Pustaka 8 Steps to Great Digital Stories. Retrieved from http://edtechteacher.org/ 8-steps-to-great-digital-storytelling-from-samantha-on-edudemic [accessed October 18, 2015]. Alexander, Bryan. 1967. The New Digital Storytelling: Creating Narratives with New Media, tersedia di http://lib.ui.ac.id/ file?file=pdf/abstrak-20371061.pdf Components of a Digital Story. Retrieved from http:// pwoessner.wikispaces.com/ Digital+Storytelling [accessed October 18, 2015]. Digital Storytelling Menciptakan Kreatifitas dan Inovasi Konten Pembelajaran. Dalam http://prasetya.ub.ac.id/berita/ [diakses tanggal 18 Oktober 2015]. Frazel, Midge. 2010. Digital Storytelling: Guide for Educators. Washington DC: International Society for Technology in Education (ISTE). Hjarvard, Stig. 2008. “The Mediatization of Society, A Theory of The Media as Agents of Social and Cultural Change.” Nordicom Review, 29 (2008) 2, pp. 105-134. Lambert, Joe. 2013. Digital Storytelling Capturing Lives, Creating Community. 4th edition New York: Routledge. Landis, et.al. 2011. “Digital Storytelling: A Tool for Teaching and Learning in The Youtube Generation”. Middle School Journal, Vol. 42, No. 5 (May 2011), pp.4-10, tersedia di www.jstor.org. Lundby, Knut. 2008. Digital Storytelling Mediatized Stories: SelfRepresentations in New Media. New York: Peter Lang. Miller, Crolyn Handler. 2008. Digital Storytelling: A Creator’s Guide to Interactive Entertainment. 2nd Edition. Boston: Focal Press.
116
Jurnal Ilmiah Kepustakawanan "Libraria"
Media Baru Digital Storytelling di Perpustakaan
Piliang, Amir Yasraf. 2003. Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial. Solo: Tiga Serangkai. Prawira, Mahardika Abdi. 2013. “Analisis Pengaruh Storytelling Terhadap Game Lorong Waktu Pangeran Diponegoro Sebagai Media Edukasi Sejarah.” Dalam http://elib.unikom.ac.id/ [diakses tanggal 18 Oktober 2015]. Rule, Leslie. 2007. Digital Storytelling Association. Dalam http:// edutechwiki.unige.ch/en/Digital_storytelling [diakses tanggal 18 Oktober 2015]. Xu, et.al. 2011. “A New Approach Toward Digital Storytelling: An Activity Focused on Writing Self-efficacy in a Virtual Learning Environment”. Educational Technology & Society, 14 (4), 181191.
Vol.4, No.2, Tahun 2015: 99-109
117