Khozin | materi 1b Copyright khozin
[email protected] http://khozin.staff.umm.ac.id/perkuliahan/spi/materi-1b/
materi 1b 2
Mendefinisikan Sejarah
Pendidikan Islam
Bab ke dua ini dimaksudkan untuk memberikan kerangka metodologi sejarah pendidikan Islam. Ada definisi konstitutif sekaligus operasional yang dipaparkan. Yang pertama, diartikan bahwa definisi sejarah pendidikan Islam ialah sebagaimana yang terdapat dalam teks-teks lainnya. Sementara yang kedua, mengandung makna bahwa penulis juga mengajukan definisi sebagaimana yang dikehendaki dalam teks ini. Hal ini untuk memudahkan pembaca memahami topik-topik kajian yang disajikan. Persoalan yang menjadi perhatian dan hendak dijawab dalam bab ini bahwa umumnya mahasiswa yang belajar sejarah pendidikan Islam belum membaca pengantar ilmu sejarah. Apa itu sejarah, kegunaan sejarah dan perbedaan sejarah dengan ilmu sosial yang lain? Semua masih diasumsikan secara kacau, sehingga dibutuhkan penjelas yang dapat mengantarkan mahasiswa ke arah pemahaman yang tepat.
Kata mendefinisikan, dimaknai bahwa rekonstruksi masa lalu adalah kerja berkesinambungan dan dilakukan orang-orang yang mempunyai kepedulian terhadap sejarah pendidikan Islam. Mendefinisikan tidak terbatas memberikan pengertian sejarah pendidikan Islam dalam suatu kalimat saja, namun termasuk di dalamnya adalah memilih fakta yang memiliki nilai sejarah dan memaknai fakta tersebut, hingga mempunyai manfaat untuk kepentingan pendidikan Islam. Para sarjana pendidikan Islam diharapkan mempunyai kepedulian terhadap disiplin ilmunya, mengembangkan dan mendokumentasikannya. Sejarawan pendidikan Islam akan terus berkarya, merekonstruksi masa lalu pendidikan Islam. Fakta-fakta sejarah pendidikan Islam, baik yang berskala lokal maupun nasional hendanya menjadi perhatian mereka.
A. Sejarah
Dua konsep penting yang hendak dijelaskan di sini, yaitu sejarah dan pendidikan Islam. Pemahaman terhadap kedua konsep ini secara benar dianggap penting, sebelum sampai pada definisi sejarah pendidikan Islam. Selain itu, definisi yang akan diberikan dimaksudkan agar tidak terjadi penafsiran baru yang berbeda dari maksud yang dikehendaki penulis. Tentu saja cukup banyak definisi sejarah oleh ahli sejarah khususnya, baik yang diberikan secara negatif maupun positif. Bahkan ada pula yang mendefinisikan sejarah, dengan mencari penegasan-penegasan yang bersumber dari nash-nash dalam kitab suci. Yaitu, mendefinisikan sejarah dengan cara membuat sintesa berdasarkan dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an, yang ada hubungannya dengan sejarah.
Tim penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 794), mengartikan sejarah dengan silsilah, asal-usul (keturunan) atau kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Sementara dalam bahasa Arab, sejarah dinamakan dengan tarikh, yang artinya adalah pengetahuan tentang waktu, atau waktu terjadinya sesuatu. Sedangkan Ilmu tarikh berarti ilmu yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa, waktu terjadinya dan sebab-sebab terjadinya (Ma’luf, 1986: 8). Sejarah dalam bahasa Inggris adalah history, yaitu cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kejadian atau peristiwa masa lalu (branch of knowledge dealing with past event) baik dalam bidang politik, sosial dan ekonomi (Hornby, 1983: 405).
Suryanegara (1995: 20) dalam buku Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, mendefinisikan sejarah dengan mencari rujukan dari al-Qur’an. Secara terminologis, sejarah adalah istilah yang diangkat dari bahasa Arab; syajaratun yang berarti pohon. Kata syajaratun memberikan gambaran pendekatan ilmu sejarah yang lebih analogis, karena memberikan gambaran pertumbuhan peradaban manusia dengan “pohon”, yang tumbuh dari biji kecil menjadi pohon yang rindang, dan berkesinambungan. Sukarnya memahami arti “sejarah” juga disebabkan tidak digunakannya istilah itu di kalangan umat
page 1 / 5
Khozin | materi 1b Copyright khozin
[email protected] http://khozin.staff.umm.ac.id/perkuliahan/spi/materi-1b/ Islam, karena di pesantren atau madrasah digunakan istilah “tarikh”. Sementara al-Qur’an sendiri lebih banyak menggunakan istilah kisah, dengan pengertian sebagai eksplanasi terhadap peristiwa sejarah yang dihadapi oleh para Rasul.
Peristiwa sejarah ini memang ada yang dikaitkan dengan masalah syajarah (pohon), seperti dalam al-Baqarah/2: 35: “Dan Kami berfirman: Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan jangan kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim”. Dalam surat al-A’raf/7: 22; “Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupi dengan daun-daun surga. Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: ‘Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?”
Pada surat Ibrahim/14: 24 dan 26 dinyatakan: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun”. Dalam surat al-Isra’/17: 60 dinyatakan pula: “Dan (ingatlah) ketika Kami wahyukan kepadamu: Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia. Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang terkutuk dalam al-Qur’an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka. Dalam surat Thaha/20: 120, “Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa”.
Dalam surat al-Mu’minun/23: 20; “dan pohon kayu keluar dari Thursina (pohon zaitun), yang menghasilkan minyak, dan menjadi kuah bagi orang-orang yang makan”. Dalam surat an-Nur/24: 35; “ Allah (pemberi) caya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Pada surat al-Qashash/28: 30; “Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu: Ya Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan semesta alam. Luqman/31: 27; Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta) ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah keringnya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Surat ash-Shafat/37: 62, 64, dan 146; (Makanan surga) itulah hidangan yang lebih baik ataukah pohon zaqqum. Sesungguhnya dia adalah sebatang pohon yang keluar dari dasar neraka jahim. Dan Kami tumbuhkan untuk dia sebatang pohon dari jenis labu. Pada surat ad-Dukhan/44: 43-44; Sesungguhnya pohon zaqqum itu. Makanan orang yang banyak berdosa.
Dari ayat-ayat di atas, pengertian sejarah berkaitan erat dengan “perubahan” (change). Perubahan yang bermakna “gerak” (movement) menuju ke bumi untuk menerima dan menjalankan fungsi kekhalifahan (al-Baqarah/2: 35, al-A’raf/7: 19 dan 22). Juga merupakan gambaran keberhasilan yang dicapai oleh Nabi Musa as, yang digambarkan sebagai pohon yang tinggi dan tumbuh di tempat yang tinggi (al-Qashash/28: 30), sebaliknya, juga merupakan gambaran kegagalan Nabi Yunus, as, yang dilukiskan sebagai “pohon labu” yang rendah dan lemah (ash-Shafat/37: 146). Bagi yang mencoba menciptakan sejarah dengan menjauhkan dirinya dari petunjuk Allah, hasilnya menumbuhkan “pohon pahit” (syajaratu Az-zaqqum) (ash-Shafat/37: 62, 64 dan ad-Dukhan/44: 43).
Sayid Quthb mendefinisikan, “sejarah bukanlah peristiwa-peristiwa melainkan tafsiran peristiwa-peristiwa dan pengertian mengenai hubungan-hubungan nyata dan tidak nyata yang menjalin seluruh bagian serta memberikan dinamisme dalam waktu dan tempat” (Zuhairini, 1995: 2). Sejarah sebagai rangkaian peristiwa-peristiwa, membutuhkan daya imajinasi dalam memahaminya. Suatu peristiwa tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi mempunyai rangkaian dengan peristiwa lain, baik sebagai sebab maupun sebagai akibat. Hubungan antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain mungkin tampak, tapi mungkin juga tidak tampak, mungkin bersifat linier mungkin juga tidak. Dibutuhkan kemampuan sejarawan untuk menafsirkan dan mencari hubungan antara satu peristiwa dengan peristiwa lain. Suatu peristiwa sejarah akan menjadi jelas maknanya, jika berada di tangan sejarawan yang bisa menafsirkan peristiwa itu dengan baik. Tidak ada kepentingan-kepentingan pribadi maupun golongan dalam upaya menemukan kebenaran sejarah. Jika sejarah telah mengabdi untuk kepentingan tertentu; golongan atau rezim yang sedang berkuasa yang sifatnya subyektif, maka sejarah
page 2 / 5
Khozin | materi 1b Copyright khozin
[email protected] http://khozin.staff.umm.ac.id/perkuliahan/spi/materi-1b/ tidak lagi bersifat obyektif.
Sedangkan Kuntowijoyo (1995: 17) mendefinisikan, “sejarah adalah rekonstruksi masa lalu”. Sejarah sebagai rekonstruksi masa lalu tentu bukan untuk masa lalu itu sendiri, sebab itu antikuarianisme. Rekonstruksi masa lulu adalah untuk berbagai kepentingan, untuk apa masa lalu direkontruksi? Tergantung pada kepentingan penggunanya, misalnya untuk pendidikan masa depan. Yaitu, belajar dari masa lalu, tentang kegagalan-kegagalan dan keberhasilan-keberhasilan yang pernah dicapai generasi terdahulu, untuk membuat perencanaan tentang masa depan. Generasi sekarang jangan sampai mengulang kegagalan yang sama, yang pernah dialami generasi sebelumnya. Peristiwa masa lalu adalah akibat sekaligus sebab untuk masa sekarang. Sedangkan peristiwa sekarang, adalah akibat masa lalu sekaligus sebab untuk masa yang akan datang. Berangkat dari masa lalu masa depan direncanakan.
Sejarah bukanlah mitos (dongeng). Sejarah berbeda dengan mitos. Mitos menceritakan masa lalu dengan beberapa ciri, yaitu (a) waktu yang tidak jelas; kapan sebuah peristiwa terjadi, pada abad berapa, tahun dan bahkan bulan, tanggal dan hari apa? Karena itu, penyebutan waktu terjadinya suatu peristiwa dalam sejarah sangat penting, dan (b) mitos menceritakan kejadian yang tidak masuk akal orang masa kini. Sementara sejarah ialah ilmu tentang waktu. Dalam waktu terjadi empat hal, yaitu (1) perkembangan; (2) kesinambungan; (3) pengulangan; dan (4) perubahan. Perkembangan terjadi bila berturut-berturut pendidikan Islam bergerak dari satu bentuk ke-bentuk yang lain. Biasanya, berkembang dari bentuk yang paling sederhana ke bentuk yang lebih kompleks, seperti dari nggon ngaji menjadi pesantren, madrasah hingga sekolah. Kesinambungan terjadi, bila dalam pendidikan Islam melakukan adopsi-adopsi terhadap lembaga-lembaga yang sudah pernah ada sebelumnya. Pengulangan terjadi bila yang pernah terjadi di masa lampau terjadi lagi. Perubahan terjadi bila terjadi pergeseran secara besar-besaran, dan terjadi dalam waktu yang relatif singkat.
B. Pendidikan Islam Sebelum sampai pada definisi pendidikan Islam, akan dikemukakan definisi pendidikan secara umum. Pendidikan lazimnya didefinisikan dalam dua macam pengertian. Pertama, pendidikan sebagai proses pewarisan, penerusan atau enkulturasi dan sosialisasi perilaku sosial dan individual, yang telah menjadi model anutan masyarakat secara baku. Dalam pengertian ini, pendidikan berarti proses pembudayaan atau untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada anak didik, baik dalam institusi keluarga, sekolah maupun masyarakat. Kedua, pendidikan diartikan sebagai upaya fasilitatif yang memungkinkan terciptanya situasi atau lingkungan, di mana potensi-potensi dasar anak dapat berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan zaman di mana mereka harus survive (Abdurrahman, 1995: 245 dan Hasan, 1993: 66).
Dua definisi ini masing-masing memiliki implikasi operasional yang berbeda-beda. Pada definisi pertama, pendidikan berusaha membentuk anak sesuai keinginan lembaga, kurikulum atau gurunya. Bahkan guru akan cenderung menjadikan dirinya sebagai model idola bagi anak didiknya, yang wajib diikuti atau dicontoh baik kemampuan maupun perilakunya. Lembaga-lembaga pendidikan Islam umumnya masih menganut definisi pertama. Dalam konteks kajian sejarah, apakah pendidikan Islam pada masa lalu juga menganut definisi pertama atau kedua?
Pada definisi kedua, pendidikan cenderung memberikan kebebasan kepada anak didik untuk menentukan profil dirinya. Sementara sekolah hanya menyediakan fasilitas yang memungkinkan peserta didiknya dapat mengembangkan potensi, bakat dan kemampuannya. Guru adalah fasilitator, yang siap membimbing dan membantu kesulitan belajar anak didiknya. Karena itu definisi ini memberikan peluang besar kepada anak didik untuk menjadi dirinya sendiri, sejalan dengan tantangan yang akan dihadapinya. Secara demikian, maka anak didik bukan dibentuk oleh institusinya, tetapi institusi cukup memfasilitasi dengan menciptakan situasi yang kondusif, yang memungkinkan potensi-potensi dasar anak didik dapat berkembang sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman.
Adapun pendidikan Islam, bisa didefinisikan dalam dua cakupan definisi sebagai berikut: (1) segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam ke dalam diri sejumlah siswa. (2) semua lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program pendidikannya atas pandangan serta nilai-nilai Islam (Buchori, 1984: 237).
Pendidikan sebagai kegiatan belajar atau proses belajar mengajar, dapat terjadi di dalam maupun di luar ruangan atau dinding tembok yang membatasi ruang gerak anak didik. Sebagai suatu kegiatan, pendidikan bisa berlangsung dalam keluarga, di jalan dan di tempat-tempat terbuka di luar gedung sekolah. Sedangkan sebagai lembaga, mulai dari bentuknya dan strukturnya yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Kegiatan atau lembaga yang dimaksud, adalah menanamkan dan menjadikan Islam sebagai dasar dalam penyelenggaraan pendidikannya.
page 3 / 5
Khozin | materi 1b Copyright khozin
[email protected] http://khozin.staff.umm.ac.id/perkuliahan/spi/materi-1b/ Dalam konteks ini, pendidikan Islam bisa dalam bentuk institusi seperti masjid, pesantren, madrasah, sekolah dan pendidikan tinggi. Bisa pula dalam bentuk lain, seperti kegiatan-kegiatan kependidikan yang diselenggarakan orang-orang Islam dalam lingkungan keluarga, atau di masyarakat dalam bentuk pendidikan non-formal/jalur luar sekolah. Institusi atau aktivitas yang dimaksud dilakukan dalam bingkai normativitas Islam, dan biasanya dinamakan dengan lembaga pendidikan Islam.
Zarkowi Soejoeti (dalam Fadjar, 1998: 2), memberikan beberapa definisi pendidikan Islam, yaitu: Pertama, pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya, didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam nama lembaganya maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai, yang akan diwujudkan dalam seluruh kegiatan pendidikan. Kedua, jenis pendidikan yang memberikan perhatian sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakan. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai bidang studi, sebagai ilmu, dan diperlakukan sebagaimana ilmu yang lain. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian di atas. Di sini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai, sekaligus sebagai bidang studi yang ditawarkan lewat program studi yang diselenggarakan.
Muhaimin (2001: 29-30) dalam “Paradigma Pendidikan Islam”, membedah istilah pendidikan Islam ke dalam tiga pengertian. Pertama, pendidikan menurut Islam atau pendidikan islami, yaitu pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran Islam. Pendidikan Islam dapat berwujud teori atau pemikiran pendidikan yang dikembangkan dari sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kedua, pendidikan keislaman atau Pendidikan Agama Islam, suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai Islam agar menjadi pandangan dan sikap hidup. Ketiga, pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dalam sejarah umat Islam. Pada pengertian ini, pendidikan Islam dapat dipahami sebagai segala macam bentuk pendidikan yang dikembangkan umat Islam dari generasi ke generasi. Beberapa paparan definisi ini cenderung lebih empiris. Lebih merupakan konstruksi pakar dan praktisi, atas realitas dan praktik pendidikan Islam di masyarakat. Sengaja dikutipkan definisi-definisi empiris dan bukan normatif, karena pembicaraan dalam teks ini berkenaan dengan sejarah sebagai konstruksi atas realitas juga.
C. Sejarah Pendidikan Islam Dari penjelasan konsep sejarah dan pendidikan Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa sejarah adalah peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Sampai kapan batasan masa lalu yang akan direkonstruksi oleh sejarah, maka agaknya ibarat orang yang naik kereta api, ia dapat melihat ke belakang, ke samping kanan dan kiri, satu-satunya kendala ialah tidak bisa melihat ke depan. Maka, sejarah hanya akan mengkaji persoalan-persoalan yang dapat dikaji dengan pendekatan sejarah, dan rentangan waktunya ke belakang juga yang masih memungkinkan dikaji dengan pendekatan sejarah. Sedangkan pendidikan Islam berarti kegiatan dan lembaga, maka pendidikan Islam dalam buku ini mengikuti definisi ini. Secara demikian, sejarah pendidikan Islam adalah rekonstruksi masa lalu pendidikan Islam, baik institusi maupun kegiatannya.
Selain pengertian di atas, Zuhairini (1994: 2) mendefinisikan sejarah pendidikan Islam sebagai: (1) keterangan mengenai pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dari waktu ke waktu yang lain, sejak zaman lahirnya Islam sampai dengan masa sekarang; dan (2) cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, baik dari segi ide dan konsepsi maupun segi institusi dan operasionalisasi, sejak zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Sedangkan Hasbullah (1995: 8) mendefinisikan sejarah pendidikan Islam sebagai: (1) catatan peristiwa tentang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dari sejak lahirnya hingga sekarang ini. (2) cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam, baik dari segi gagasan atau ide-ide, konsep, lembaga maupun operasionalisasinya sejak zaman Nabi Saw., hingga sekarang.
D. Kegunaan Sejarah
Sejarah tentu ada gunanya. Orang tidak akan belajar sejarah kalau tidak ada gunanya. Kenyataan bahwa sejarah terus ditulis orang, di semua peradaban dan sepanjang waktu, sebenarnya menjadi bukti bahwa sejarah itu ada gunanya. Secara teoritik Kuntowijoyo (1995: 19) menjelaskan kegunaaan sejarah dalam dua hal, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Setidaknya ada empat guna sejarah secara intrinsik, yaitu: (1) sejarah sebagai ilmu, (2) sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau, (3) sejarah
page 4 / 5
Khozin | materi 1b Copyright khozin
[email protected] http://khozin.staff.umm.ac.id/perkuliahan/spi/materi-1b/ sebagai pernyataan pendapat, dan (4) sejarah sebagai profesi. Adapun secara ekstrinsik, sejarah mempunyai fungsi pendidikan, yaitu: (1) moral, (2) penalaran, (3) politik, (4) kebijakan, (5) perubahan, (6) masa depan, (7) keindahan, (8) ilmu bantu. Selain sebagai pendidikan, sejarah juga berfungsi sebagai (9) latar belakang, (10) rujukan, dan (11) bukti.
Sedangkan dalam konteks yang lebih khusus, kegunaan sejarah pendidikan Islam dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu umum dan akademik. Kegunaan yang bersifat umum, sejarah berguna sebagai teladan. Yaitu, memberikan pelajaran ihwal masa lampau, misalnya tentang keberhasilan dan kegagalan umat terdahulu.
Sehubungan dengan kegunaan sejarah, Munawir Cholil berpendapat bahwa sesungguhnya sejarah itu banyak gunanya. Siapa yang memahami sejarah, maka bertambah pengetahuannya. Sejarah bisa menjadi cermin yang dapat dijadikan perbandingan untuk kehidupan masa kini. Sejarah dan ilmu sejarah adalah pokok kemajuan suatu umat, manakalah suatu umat tidak memperhatikan sejarah, sudah bisa dipastikan akan ketinggalan dan umat yang sebaliknya akan maju pesat (Hasbullah, 1995: 13).
Secara akademik, sejarah pendidikan Islam bisa memberikan pemahaman tentang: (1) Pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam dari masa kelahirannya, yaitu dari masa Nabi Muhammad Saw. hingga sekarang. (2) Kesinambungan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam pendidikan Islam, yaitu proses-proses perkembangan pendidikan Islam hingga perubahan bentuk yang juga mungkin terjadi. Transformasi dalam pendidikan Islam adalah sesuatu yang mungkin terjadi, dan (3) mengantisipasi perubahan yang akan, terjadi dan membawa pendidikan Islam ke arah yang sesuai dengan tuntutan perkembangan dan kebutuhan.
E. Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Batas antara ilmu sosial satu dan yang lain sudah sedemikian tipis. Bahkan dalam praktiknya, di antara ilmu-ilmu sosial saling mempunyai hubungan timbal balik. Sejarah diuntungkan oleh ilmu-ilmu sosial, dan sebaliknya. Pemisahan secara diametral antara ilmu-ilmu sosial adalah hal yang berlebihan. Bahkan belajar sejarah tidak dapat dilepaskan dari belajar ilmu-ilmu sosial, meskipun sejarah mempunyai cara tersendiri dalam menghadapi obyeknya.
Kuntowijoyo (1995: 107), menyebut perbedaan antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial dalam dua hal, tujuan dan pendekatan. Tujuan sejarah ialah mempelajari hal-hal yang bersifat unik, tunggal dan idiografis, dan sekali terjadi; sedangkan ilmu-ilmu sosial tertarik kepada yang umum, ajeg, nomotetis dan merupakan pola. Pendekatan sejarah juga berbeda dengan ilmu-ilmu sosial. Sejarah itu diakronis, memanjang dalam waktu, sedangkan ilmu-ilmu sosial itu sinkronis, melebar dalam ruang. Sejarah mementingkan proses, sementara ilmu-ilmu sosial menekankan struktur. Secara demikian, meskipun antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial saling memberi topangan, tapi antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial masih ada batas-batas dan identitas yang membedakan.
Bisa dikemukakan sebagai contoh adalah sejarah dengan sosiologi, ilmu politik dan antropologi. Sejarah biasanya memanjang dalam waktu, sedangkan sosiologi cenderung melebar dalam ruang. Yang dibicarakan sejarah adalah waktu tentang perkembangan, kesinambungan, pengulangan dan perubahan. Sementara sosiologi membicarakan masyarakat, di antaranya pelapisan masyarakat. Ilmu politik membicarakan masyarakat, terutama aspek kekuasaannya. Antropologi membicarakan masyarakat di antaranya soal kebudayaan.[]
page 5 / 5