Mata Razwa Rika Yoesz
M
ata itu bulat dan jernih.Tajam dan nanar menatap, yang menyimpan air mata di sudutnya dan tertahan hanya di permukaan. Mata Razwa, bukan mata Nazwa yang sering dipamerkan pada setiap pekan pada salah satu program di siaran televisi. Mata ini lebih nanar, lebih menyemburkan api benci serta dendam yang terpendam pada usianya yang masih belia. Mata yang selayaknya memancarkan kebahagiaan gadis remaja, yang selayaknya menikmati kebahagiaan hingga terpancar pada bola matanya yang indah. Lima tahun yang lalu, aku masih mengingat dan masih lekat dalam ingatanku bagaimana mata benci itu menatap tajam kepadaku.Usai sebuah penggrebekan pada sebuah rumah di kampung pedalaman nun jauh dari pemukiman, tepatnya pada tahun 2010 lalu. Saat itu aku terlambat bersama rombo-
ngan tim penggerebekan sarang teroris disebuah dusun terpencil di Kabupaten Asahan. SMS ke ponselku saat itu terlambat aku baca sehingga aku terlambat dari rombongan. Meski demikian aku masih sempat melihat sisa-sisa pengrebekan. Ada lima orang pemuda yang dibopong, dan seorang ustadz di kampung tersebut ikut diseret bersama istrinya.Tidak peduli ratapan dua orang anak mereka yang berpelukan erat dan didekap oleh pamannya.Di situ, aku melihat mata Razwa yang menahan amarah dan napas yang memburu. Hanya 30 menit, begitu cepat Tim menggeledah seisi rumah, semua menjadi porak poranda seperti sebuah kapal pecah oleh ombak yang besar. Tapi, tak ada perlawanan apa pun. Senjata api pun tak ada yang disita sebagai barang bukti, kecuali buku-buku pengajian. Tak banyak yang bisa aku ambil sebagai momen penting untuk mengisi durasi liputanku.Waktu
itu ada ketidak puasan dalam diriku karena aku hanya mengambil situasi, yang menurutku sangat tidak berpihak. Akhirnya, aku putuskan untuk kembali ke lokasi setelah para tim penggerebekan beserta wartawan lain beranjak pulang. Dan mata itu, mata itu tidak henti-hentinya terlepas dari perhatianku.Sambil memeluk dua orang adiknya, tanpa panjang berucap perempuan itu mengusirku.Tanpa memberikan kesempatan bagiku untuk melakukan wawancara. Dan memberikan porsi berita sebagai prinsip jurnalistik yang aku anut, cover both side. “Kami sudah kehilangan ayah dan ibu, sekarang kalian hadir untuk mempertontonkan kesalahan pada kami yang tidak pernah kami mengerti apa.” “Pergilah, Pak.” Seorang bapak muda berusaha bersikap ramah. ”Kami masih sangat syok.Kami masih berduka.Kami tidak tahu apakah ayah dan ibu mereka akan kembali, tak sepotong surat pun kami terima, mereka menciduk, mengambil paksa tanpa kami tahu apa kesalahan kami, tanpa kami bisa membuat pembelaan.” “Mereka orang baik-baik, guru ngaji di kampung ini. Bagaimana bisa mereka ditangkap?” ujar salah seorang tertua dari mereka yang ada. Padahal waktu itu, aku ingin sekali menggali informasi-informasi sedalam-dalamnya.Pada informasi dan liputan yang aku sendiri tidak dapat memahami.Pada liputan-liputan kejadian yang dianggap isyu besar, tetapi hanya informasi sumir yang sepihak, tanpa bisa wawancara dengan korban atau pelaku itu sendiri, informasi yang menurut aparat dalam situasi genting yang tidak bisa melakukan wawancara. Dan sekarang aku dipertemukan dengan mata itu. Mata Razwa, mata yang dulu , lima tahun silam menyimpan dendam. Dan kini aku melihat mata itu lagi. Perempuan itu dipaksa membuka cadarnya saat pemeriksaan. Aku melihat pesonanya begitu terpancar indah sempurna dengan keindahan mata yang ia miliki. Tetapi perempuan itu menariknya kembali dengan marah. “Bapak yang saya hormati, saya punya alasan menutup aurat dari anda.Saya minta diperiksa oleh polisi perempuan, jika ingin melihat identitas saya.”Tegas sekali perempuan
itu berucap. Ucapan seorang mahasiswa yang baru tingkat pertama rasanya tidak mungkin setegas itu dan dia begitu paham dengan aturan “Jika tidak, anda saya sebut melakukan tindak pelanggaran HAM.” Sang Juper rupanya takut juga dengan ucapan perempuan itu, bila melanggar HAM maka peradilan internasional-lah tempatnya. Aku membaca identitas perempuan itu, jantungku berdegup dengan sangat-sangat kencangnya.Yah, tidak salah lagi, dialah perempuan yang kala itu berada dipenggerebekan tahun 2010 saat ayah dan ibunya ditangkap. Sejumlah media dengan berbagai kalimat Headline-nya mulai dari yang halus, hingga yang paling menyakitkan “Ustadz Teroriz” “Membongkar Sarang Teroris” “Penggrebekan sarang teroris” dan lain-lain. Alamat perempuan itu persis di kampung itu. Perempuan itu kini berusia 18 tahun, kuliah disalah satu perguruan tinggi negeri, dan kini ia tertangkap dengan tuduhan sebagai salah satu mahasiswa yang merekrut pemuda menjadi anggota ISIS. Lagi-lagi mata penuh amarah pada insan pers tidak bisa disembunyikan oleh perempuan itu. Ia tidak menjawab, ia bungkam, tetapi mata itu seolah menelan hidup-hidup. Beberapa rekan Jurnalis jengah mendapat perlakuan seperti itu, mereka menganggap perempuan bercadar itu tidak punya sopan santun. “Apakah kita juga sopan, ketika dengan seenak perut kita membuat judul dan headline yang bombastis agar laku terjual ?” Aku mencoba melakukan koreksi bersama teman-teman, agar kami juga ramah dalam membuat tulisan. “Apakah kita juga santun, ketika saat orang lain berduka kita justru menyorongkan mikrophone, memberikan pertanyaan bertubi-tubi?” “Ah… nggak usah membela teroris itu, Bim.” Deppp ! Jantungku berdegup. Beginikah cara berfikir jurnalis yang sudah langsung menghakimi kesalahan yang belum tentu itu benar, hanya karena ia sudah ditangkap aparat? Aparat belum tentu benar, karena dari banyak kejadian, tidak sedikit dari mereka yang justru melakukan kesalahan, salah tangkap, peluru nyasar dan lainnya. Ada berapa banyak mereka yang seperti
itu, yang akhirnya merusak nama baik dan identitas kita. Aku membatin. Dan aku terdiam.Dan aku merenung.Dan aku kecewa. Ada berapa banyak pula yang mendendam pada jurnalis ketika mereka diintimidasi lewat tulisan, lewat siaran, lewat karya jurnalistik. Aku terus membatin, “Namaku razwa…” Perempuan bercadar dan bermata tajam itu memulai memperkenalkan dirinya, setelah beberapa hari aku melakukan pendekatan, “Aku mahasiswa tingkat pertama di perguruan tinggi negeri, bergabung dengan sejumlah mahasiswa dan bukan sedang melakukan perekrutan dan pemberangkatan mahasiswa menjadi anggota ISIS.Kami hanya diskusi sebagai mahasiswa. “Bagaimana kabar ibu ?” Mata itu menatapku tak berkedip, mata itu menatap penuh selidik, mata itu seperti mengguratkan kembali bilur bilur benci. “lima tahun yang lalu,,, “ Aku mencoba mengembalikan memori dirinya. Tetapi perempuan ini lupa kehadiranku. Waktu itu, ia masih gadis tanggung yang masih berusia 13 tahun saat ia mendekap erat dua adiknya ketika ayah dan ibunya dibawa ke kantor polisi. “Kakak siapa ?” tanyanya curiga. “Lima tahun yang lalu, saya ikut liputan penggerebekan di kediamanmu.” Perempuan itu memalingkan wajahnya, napasnya seperti memburu. Sepertinya ia masih menyimpan amarah. Hari itu ia tak mau lagi berbicara. Hanya dua malam. Perempuan itu dan dua rekannya yang lain akhirnya dilepaskan oleh pihak kepolisian. Padahal sebelumnya polisi sudah membeberkan soal penangkapan mahasiswa sehingga menjadi liputan yang besar pula bahwa di kota ini juga mulai terkena demam ISIS. Hmmm… isyu apa pula lagi yang tengah ditutupi. Aku ngotot, memberitakan pelepasan tiga orang mahasiswa Medan dengan judul “ Polisi salah tangkap, 3 Mahasiswa yang diduga Merekrut ISIS di lepaskan” Tapi media tempat aku bekerja mencampakan berita itu ke tong sampah. Aku protes pada korlip, tapi tetap saja tidak ditayangkan. Aku nekat menelpon orang Jakarta, karena kebetulan redaktur daerah di Jakarta temanku satu organi-
sasi, “Sori, bos.Nggak bisa tayang. Payah, pimpinan menganggap nggak punya nilai ” “Gimana sih, bukankah kita harus balance, berimbang.” “Iya, aku paham.Soal balancing, kan kita sudah memberikan hak jawab mereka saat berita pertama, mereka sudah bilang tidak ada merekrut mahasiswa menjadi ISIS.” “Kalau begitu sudut pandangnya adalah polisi salah tangkap! ”Bentakku, aku nggak peduli bahwa dia itu adalah atasanku. Beraninya pula aku mengajarinya. “Bos, ini sudah keputusan.” “Hmm… mana independensi kita, Coy ? Buang saja kartu organisasi itu yang mengaku professional, percuma kita dilatih dan terlatih. Kita mengaku beda, tapi kenyataannya kita melempem di hadapan penguasa media. Kita sama saja dengan kuli tinta yang lain. Percuma ada kau ,ada aku di media, tetap saja kosong. Nol !” tandasku kesal, kumatikan handphone. Pengin sekali rasanya aku memaki, muak dan merasa menjadi orang yang kerdil. Penguasa tetap saja penguasa. Muak sekali kalau fungsi pers hanya sebagai perpanjangan corong pemerintah, harusnya kita berbeda, demi kebenaran. Itulah hakekat Independensi. Suatu hari tanpa sengaja aku bertemu lagi dengan Razwa, si pemilik mata tajam itu saat berada di sebuah masjid dekat kampus mereka. Ada sesuatu yang mengusikku, rasanya ada tanya yang belum tuntas yang ingin aku ketahui tentang dirinya. Ah entahlah. Entah karena ada sesuatu yang berbeda dari perempuan ini. Entah ada sesuatu yang berbeda dari hatiku. Mata itu setiap malam menggelitikku, dan selalu bermain-main bahkan dalam mimpiku. Meski banyak perempuan lain di sekeliling nya bercadar, tapi aku tahu ia berbeda. Matanya dan pancarannya tetap saja berbeda buatku. Dan tentu saja isyarat debaran jantungku yang kian lama kian terasa. “Anda selalu mengganggu fikiran saya.” Aku memberanikan diri menyegatnya. “Justru Anda yang mengganggu kehidupan saya,” jawab perempuan itu pelan, lambat tapi tegas. “Kamu harus menjawab pertanyaan saya, bagaimana kabar ayahmu, bagaimana kabar
ibumu?” “Kamu ?” Mata tajam itu kian melototi keberanianku bertanya “Lima tahun yang lalu saat penggrebekan itu … “ Aku mengingatkan dia. Tapi perempuan itu langsung pergi dengan marah dan dia benar-benar marah. Aku benar benar penasaran. Tanpa sadar aku menarik tangannya, jubbah hitamnya sempat tersingkap, cadarnya bahkan terlepas karena dia melawan. Aku kembali menikmati rona merah bagai cahaya yang menyinari di balik cadar itu. Tapi tidak lama. Sebab wajahku terkena tamparan kuat dari si pemilik wajah. Tidak main-main ia menendangku dengan sikunya membuat aku tersuruk karena tidak menyangka kuda-kudanya membantingku. Tak berapa lama dua lelaki berjenggot di belakangku menarikku kuat ke belakang. “Maaf Abang, jangan perlakukan akhwat kami seperti perempuan lain.” Aku terkesima, tersadar dan ucapan itu sekali lagi seperti menamparku. Aku tadi begitu spontan, dan… ah, tak seharusnya itu aku lakukan pada dia yang menjaga auratnya begitu kuat. Sumpah, aku begitu malu. “Maaf, Bang,” ujarku. “Emmmm… bolehkah … ?” Belum sempat aku bertanya kedua lelaki berjenggot itu malah pergi. Dan selamat tinggal buat hatiku yang penasaran. Aku benar-benar penasaran, atau mungkin kasmaran. Entah mengapa aku sangat menikmati peristiwa hitungan detik itu saat aku melihat wajah si pemilik mata tajam untuk kedua kalinya. Dia begitu indah. Dia begitu mempesona. Dan dia begitu menyimpan misteri. Aku bahkan tidak bisa menemukan tempat tinggalnya.Tidak juga aku dapati di tempat komunitas berjubah dan bercadar.Entah dimana dia. Aku nekat mencarinya, ke kampung tempat pertama kali aku mengenalnya, tempat dimana penggrebekan yang disebut sebut oleh aparat pada waktu itu adalah sarang teroris.Agak kesulitan juga aku menuju tempat itu kembali, lupa sebab sudah lima tahun yang silam. Aku bertemu dengan pamannya, kalau tidak salah ialah yang dahulu berada usai penggrebekan tersebut saat aku ingin konfirmasi mereka. “Maaf, Paman,” ujarku sok akrab. “Saya ingin bertemu Razwa.”
Aku benar-benar nekat. Merasa yakin kalau perempuan yang mengganggu hari-hariku itu adalah Razwa yang juga anak dari tersangka teroris. “Anak ini siapa ?” Yah, pertanyaan ini setidaknya membenarkan, kalau benar di tempat ini ada yang bernama Razwa.Semoga aku menemukan titik terang. “Saya teman kuliahnya, Paman. Laki-laki itu menarik napas. Yah, aku sudah bisa memastikan, si mata tajam itu adalah Razwa. Ah… entah mengapa, ada bahagia yang terselip indah di hatiku, hanya untuk sekadar tahu tentangnya. “Setahun yang lalu … “ Ia duduk dan mempersilahkan aku duduk pula, “ Ibunya meninggal. Sejak itu ia pergi dari kampung ini dan belum pernah kembali. Saya baru tahu dari anak kalau ia kuliah. Di mana ia kuliah?” “Universitas negeri, Paman,”jawabku lihai. “Ehmm… kalau boleh tahu, sakit apa ibunya, Paman?” Aku mencoba menyimpulkan. Sejak penangkapan itu ibunya dibebaskan. Bagaimana dengan ayahnya? “Saya juga tidak tahu. lima tahun terakhir ibunya memang sering sakit-sakitan.” “Bagaimana dengan ayahnya ? Apakah sudah keluar dari penjara?” “Kami tidak tahu bagaimana keadaannya. Apakah Razwa bercerita pada anak ?” Aku hanya tersenyum tak mencoba membenarkan. Aku harap dengan senyumku dia bisa memahami. Akhirnya, pria setengah baya itu menceritakan semuanya. Ayah Razwa adalah seorang ustadz di kampung mereka. Ia sering menulis kajiankajian keislaman dalam sebuah buku bahkan pada media massa. Buku dan tulisannya bahkan lebih dikenal di Negara Malaysia.Tak heran banyak tamunya yang datang dari tetangga jiran hanya untuk berguru, dan memang, banyak muridnya yang datang ke kampung mereka ini. Pada waktu kejadian penggrebekan yang disebut-sebut sebagai penggrebekan teroris, mereka kedatangan tamu sebanyak lima orang dan rencananya akan berguru pada adiknya itu. Tetapi belum sempat menginap dan tidak tahu entah bagaimana penggrebekan itu pun terjadi. Ayah dan Ibu Razwa ikut ditangkap. Sedangkan Ibu Razwa hanya ditahan selama satu minggu.
Tapi selepas itu, Ibu Razwa seperti orang linglung.Ia tak banyak berbicara. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berzikir dan berdoa. Ia bahkan sering sakit-sakitan. Razwa yang sering menggantikan peran ibunya, bahkan ikut mencari nafkah. Adiknya yang kecil sempat shock selama 1 tahun, ia sangat terguncang atas kejadian itu, setiap malam ia menjerit ketakutan, takut ada suara tembakan, takut ibunya akan ditangkap, takut kakak akan dibunuh, dan semua ia takutkan. Tetapi Razwa anak yang hebat, ia begitu kuat dan tegar. Informasi ini, lima tahun yang lalu tak sempat terpublis olehku. Seandainya aku lebih bersabar untuk mendapatkan kisah ini, mungkin kisah inilah yang menjadi bahan beritaku.Bukan sekadar berita yang aku sebut “kulit luar”, yang terkadang justru menyakitkan orang sebagai objek berita. “Bagaimana kabar Razwa sekarang ?” tanya paman itu “Ehmmm… anu paman, satu bulan yang lalu saya melihat dia baik-baik saja.Dia sehat. Tapi belakangan saya tidak melihat dia lagi di kampus.Itu sebabnya saya mencari tahu dia ke kampung ini, siapa tahu dia pulang kampung.” Paman itu tersenyum, ia sepertinya melihat sinyal di hatiku. Hmmm apa iya ? Razwa… engkau memang misteri.Tak aku sesali aku mengenalmu dan ingin mengenalmu lebih dan lebih.Juga tak aku sesali jika setelah itu aku pun tak bisa lagi bertemu denganmu. Mungkin hati ini cukup puas dengan mengagumimu.Rasa itu yang membuat aku ingin menulis tentangmu dan menghiasi di blog pribadiku serta aku sebar melalui media sosial. Sebab berita seperti ini dianggap tidak punya nilai di media yang kapitalis ini. Setahun sudah berlalu. Aku pun hampir lupa dengannya. .Hingga tiba-tiba aku mendapatkan pesan pada inboks facebookku.Dari seseorang yang tidak ada dalam pertemananku. Pesan itu sangat menggetarkan kalbu. Tak aku kira, doa itu maha dahsyat. Aku pernah meminta, “Tuhan, pertemukan aku lagi dengannya, sekalipun dalam mimpi, sekalipun dalam dunia maya.” “Terimaksih telah menjadi pengagumku. Terima kasih untuk cinta yang lebih.Terimakasih untuk menjadi jurnalis sejati.Tetaplah istiqomah. Semoga kita bisa dipertemukan kembali dalam
ikatan suci sekalipun dalam dunia yang berbeda.” Mata tajam itu tak pernah lekang dalam ingatakanku.Tetapi aku mencoba mengilusikannya dengan berbeda, mata tajam itu kini melihatku tak lagi nanar tetapi terasa sangat-sangat indah. Razwa… tak berapa lama setelah itu, aku menemukan kabar, bom bunuh diri terjadi di negeri kita.Pelakunya perempuan. Dari CCTV, dari banyak latar belakang cerita. Aku berani menyimpulkan itu adalah… Razwa. ***