MATA KULIAH
Kesehatan Reproduksi
WAKTU DOSEN
IRMA NURIANTI, SKM. M.Kes
TOPIK
Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender
Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender
1
SUB TOPIK Diskriminasi Gender
OBJEKTIF PERILAKU MAHASISWA Setelah perkuliahan ini mahasiswa dapat menjelaskan tentang: 1.
Diskriminasi Gender
REFERENSI 1. 2.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Dirjen Pembinaan Kesehatan Agung Aryani, I Gusti Ayu. 2002. Mengenal Konsep Gender (Permasalahan dan Implementasinya dalam Pendidikan). 10 halaman.
3.
Arjani, Ni Luh. 2002. Gender dan Permasalahannya. Pusat Studi Wanita Universitas Udayana. Denpasar. 10 halaman.
4.
Susilowati Tana, Gender dan Seksualitas dalam fenomena global epidemi HIV/AIDS http://semloknaskeragaman.org/folders/Makalah%20Susilowati%20Rev_31d01c.pdf
5.
Seksualitas dan Gender. Tersedia dari http://meida.staff.uns.ac.id/2009/05/05/sexualitas-dan-gender
Kesehatan Reproduksi
Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender
2
DISKRIMINASI GENDER Kondisi yang telah menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan di atas telah juga melahirkan pelbagai bentuk ketidakadilan gender (gender inequalities) yang termanifestasi antara lain dalam bentuk: a) Marginalisasi Proses marginalisasi, yang merupakan proses pemiskinan terhadap perempuan, terjadi sejak di dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dengan anggota keluarga perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya, banyak diantara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali atau hanya mendapatkan separuh dari jumlah yang diperoleh kaum laki-laki. Demikian juga dengan kesempatan dalam memperoleh pekerjaan, berbeda antara laki-laki dan perempuan, yang akibatnya juga melahirkan perbedaan jumlah pendapatan antara laki-laki dan perempuan. Seorang perempuan yang bekerja sepanjang hari di dalam rumah, tidaklah
dianggap
“bekerja”
karena
pekerjaan
yang
dilakukannya,
seberapapun banyaknya, dianggap tidak produktif secara ekonomis. Namun seandainya seorang perempuan “bekerja” pun (dalam arti di sektor publik) maka penghasilannya hanya dapat dikategorikan sebagai penghasilan tambahan saja sebagai penghasilan seorang suami tetap yang utama, sehingga dari segi nominal pun perempuan lebih sering mendapatkan jumlah yang lebih kecil daripada kaum laki-laki.
b. Subordinasi Pandangan berlandaskan gender juga ternyata bisa mengakibatkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional berakibat munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.
Kesehatan Reproduksi
Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender
3
Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Salah satu konsekuensi dari posisi subordinat perempuan ini adalah perkembangan keutamaan atas anak laki-laki. Seorang perempuan yang melahirkan bayi laki-laki akan lebih dihargai daripada seorang perempuan yang hanya melahirkan bayi perempuan. Demikian juga dengan bayi-bayi yang baru lahir tersebut. Kelahiran seorang bayi laki-laki akan disambut dengan kemeriahan yang lebih besar dibanding dengan kelahiran seorang bayi perempuan. Subordinasi juga muncul dalam bentuk kekerasan yang menimpa kaum perempuan. Kekerasan yang menimpa kaum perempuan termanifestasi dalam berbagai wujudnya, seperti perkosaan, pemukulan, pemotongan organ intim perempuan (penyunatan) dan pembuatan pornografi. Hubungan subordinasi dengan kekerasan tersebut karena perempuan dilihat sebagai objek untuk dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan sebagai individu dengan hak atas tubuh dan kehidupannya. (Mosse, 1996:76) Anggapan bahwa perempuan itu lebih lemah atau ada di bawah kaum lakilaki juga sejalan dengan pendapat teori nature yang sudah ada sejak permulaan lahirnya filsafat di dunia Barat. Teori ini beranggapan bahwa sudah menjadi “kodrat” (sic!) wanita untuk menjadi lebih lemah dan karena itu tergantung kepada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya.
Demikianlah pendikotomian laki-laki dan perempuan berdasarkan hubungan gender nyata sekali telah mendatangkan ketidakadilan gender bagi perempuan yang termanifestasi dalam berbagai wujud dan bentuknya. Karena diskriminasi gender perempuan diharuskan untuk patuh pada “kodrat” –nya yang telah ditentukan oleh masyarakat untuknya. Karena diskriminasi pula perempuan harus menerima stereotype yang dilekatkan pada dirinya yaitu bahwa perempuan itu irrasional, lemah, emosional dan sebagainya sehingga kedudukannya pun selalu subordinat terhadap laki-laki, tidak dianggap penting bahkan tidak dianggap sejajar dengan laki-laki, sehingga perempuan diasumsikan harus selalu menggantungkan diri dan hidupnya kepada laki-laki. Kesehatan Reproduksi
Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender
Bertolak
dari
memperjuangkan
kondisi
kesamaan
demikianlah kelas,
kini
4
maka kaum
jika
dulu
feminis
Karl
Marx
menggemakan
perjuangannya, untuk memperoleh kesetaraan gender. Untuk memperoleh kedudukan dan hak yang sama dengan laki-laki. Sebuah gambaran mengerikan dari eksplioitasi jender adalah mutilasi alat kelamin wanita yang ditemukan di banyak negara Afrika. UNICEF memperkirakan sekitar 130 juta wanita sampai hari ini pada masa kecil atau awal masa remajanya hancur oleh operasi traumatis dimana sebagian atau keseluruhan klitorisnya dihilangkan. Meskipun usaha mempersuasi masyarakat untuk menghentikan praktek itu, namun kurang-lebih sekitar 6000 perempuan disubjeksikan pada operasi itu setiap harinya. Prosedur operasi ini dilakukan dengan pengangkatan sebagian labia, yang kemudian menjahitnya hingga hampir menutup secara total lubang vagina. Operasi ini secara tipikal dilakukan dengan peralatan kasar dan instrumen yang seadanya, tanpa prosedur bius, dan sedikit atau bahkan sama sekali tidak ada proteksi dari infeksi
Upaya Kesetaraan Gender di Indonesia a.
Memprioritaskan bidang-bidang yang b.d pemberdayaan perempuan, a.l : (Meneg UPW 1998)
b.
Pemberdayaan perempuan disegala aspek kehidupan, terutama pendidikan, kesehatan dan akses terhadap sumber daya
c.
Keadilan gender melalui pelaksanaan Gender Man Stream dalam program pembangunan, disamping tetap melaksanakan program2 dalam upaya peningkatkan peran perempuan dalam pembangunan
d.
Penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui kebijaksanaan zero toleransi
e.
Melindungi hak asasi perempuan dan anak
f.
Memperkuat kemampuan perempuan di tingkat nasional dan regional
g.
Menetapkan tentang keadilan dan kesetaraan gender sebagai tujuan pembangunan nasional (GBHN 1999-2004)
Kesehatan Reproduksi
Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender
5
Masalah – Masalah Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Sebagai Akibat Dari Bias Gender
1. Poligami Dalam banyak adat, perkawinan seorang laki –laki dengan beberapa orang perempuan dapat diterima, sementara dari pihak perempuan yaitu poliandri sama sekali tidak dibenarkan. Sebagai contoh, Agama islam membolehkan laki – laki beristri lebih dari satu dengan persyaratan – persyaratan tertentu yang sama sekali tidak mengabaikan hak -–hak perempuan. Kenyataannya di Indonesia, yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, ditambah lagi dengan pemahaman agama yang kurang, sering mnafsirkan izin tersebut sebagai “ izin resmi yang longgar” sehingga mengabaikan persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh izin tersebut. Akibatnya, hak perempuan yang sudah diperistrinya belum terpenuhi, laki –laki tersebut menikah lagi. Peraturan Pemerintah yang tertuang lewat UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 3 menyatakan bahwa salah satu izin untuk beristri lagi bila istri pertama ternyata tidak dapat memberikan keturunan dalam perkawinan tersebut. Dari UU tersebut tampak bahwa pemerintah secara resmi mengakui tujuan perkawinan untuk reproduksi, padahal suatu perkawinan tidak melulu ditujukan untuk pemenuhan reproduksi yang notabene diemban oleh perempuan. Inilah yang dianut sebagian besar masyarakat kita bahwa laki –laki boleh beristri lagi tanpa harus meminta persetujuan dari sang istri, dan tanpa adanya tanggungan terhadap keluarga yang ditinggalkannya. Akibatnya angka perceraian meningkat yang sangat berpengaruh pada kesehatan reproduksi perempuan.
2. Hubungan Seks Sebelum Menikah dan Masalah Keperawanan Pandangan masyarakat, khususnya Indonesia terhadap hubungan seksual sebelum menikah juga mempunyai bias gender. Hubungan tersebut terlarang dan dianggap sebagai perilaku menyimpang dari norma. Biasanya, perempuanlah yang selalu menjadi tertuduh atas perilaku tersebut. Dalam hal keperawanan, juga dipakai sebagai acuan dan merupakan syarat yang ketat dikenakan pada perempuan. Kesehatan Reproduksi
Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender
6
Keperawanan dianggap sebagai “Indikator Kesucian” dan penilaian terhadap kualitas perempuan. Sebagai contoh, ambiguitas peraturan di Indonesia terhadap calon istri tentara dan calon Korps Wanita ABRI harus terbukti masih perawan yang sibuktikan dengan keutuhan selaput daranya. Sementara tidak ada ketentuan sebaliknya bahwa calon tentara, atau calon suami tentara harus terbukti keperjakaannya. Ini jelas merugikan karena hanya wanita yang dihakimi atas hilangnya keperawanan sementara laki – laki tidak. Ironis memang, jika seorang perempuan melakukan seks sebelum menikah dan kehilangan keperawanannya, akan dianggap “ kotor” hingga berpengaruh terhadap kehisupan seksual berikutnya, sementara jika laki – laki yang berbuat, ia akan merasa bangga karena berhasil menunjukkan “kejantanannya” dan kendalinya terhadap perempuan.
3. Kontrasepsi Penggunaan kontrasepsi juga dapat digolongkan sebagai kekeresan seksual yang bias gender. Dari sekian banyak metode kontrasepsi, sebagian besar ditujukan untuk perempuan. Sementara metode kontrasepsi laki – laki seperti kondom dan vasektomi jarang digunakan atau malah dianggap penghinaan terhadap maskulinitas mereka. Pada umumnya laki – laki lebih senang menyuruh istrinya memakai kontrasepsi karena kehamilan akibat hubungan seksual hanya dialami perempuan dan menjadi urusan perempuan semata. Perempuan hampir tidak punya hak untuk menentukan perilaku seksual dan reproduksi yang diinginkannya. Asalah keputusan suami untuk menentukan metode kontrasepsi yang akan digunakan istrinya dan pada umumnya laki – laki akan memilih metode yang tidak mengganggu hubungan seksualnya dengan istri tanpa memperdulikan hak perempuan untuk memilih sendiri metode kontrasepsi demi keamanan fisiologis tubuhnya.
4. Perkosaan Pemaksaan hubungan seksual terhadap perempuan tanpa izin dan sering disertai kekerasan bisa diartikan sebagai perkosaan. Tindakan ini dilarang di Kesehatan Reproduksi
Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender
7
seluruh dunia namun definisi “ tanpa izin “ menjadi lemah apabila perempuan berada di bawah ancaman yang jauh lebih menakutkannya saat ia akan diperkosa. Sayangnya pengadilan sering menitikberatkan hukuman pada perbuatan seperti halnya mengadili kasus pencurian, perampokan tanpa mengatasi akibat psikologis yang timbul akibat perkosaan. Perempuan yang diperkosa bisa saja mengalami depresi mental dan emosional, takut laki – laki bahkan trauma terhadap seks. Jelas ini akan merugikan kehidupan seksualnya. Belum lagi masyarakat secara sepihak menganggap kasus perkosaan “wajar” karena perempuan yang terlalu provokatif sehingga menggoda si pemerkosa serta UU yang dirasa masih menguntungkan si pelaku daripada korban pemerkosaan itu sendiri. Contoh pada kasus kerusuhan Mei 1998 dimana perempuan yang sebagian besar etnis Tionghoa diperkosa secara terang- terangan dengan alasan reformasi tapi sampai sekarang belum ada kepastian hukum intuk menindak si pelaku.
5. Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga Kekerasan seksual dalam rumah tangga menjadikan kaum perempuan dan anak – anaknya sebagai korban utama. Banyak kasus perkosaan antara ayah terhadap anak perempuannya, atau anak laki- laki yang memperkosa saudara perempuannya bahkan ibunya sendiri. Hal ini terkait dengan peran ayah dan anak laki – laki sebagai penguasa yang berhak sepenuhnya terhadap istri dan anak perempuannya yang
dianggap tidak berhak secara fisik dan ekonomi untuk
membuat keputusan. Faktor kerancuan budaya juga berperan, seperti manganggap suami adalah kepala rumah tangga yang memiliki kekuasaan absolut terhadap keluarganya sehingga suami boleh memaksa istri melayani kebutuhan seksualnya walaupun saat itu sang istri tidak mau melakukannya. Masyarakat pun sulit menerima pendapat tentang perkosaan oleh suami sendiri ( Marital Rape ). Ini dapat dibuktikan bahwa ada pertentangan keras yang menolak pencantuman pasal tentang Marital Rape dalam KUHP karena mereka beranggapan adalah kewajiban istri untuk melayani keinginan seksual suaminya.
Kesehatan Reproduksi
Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender
8
EVALUASI 1. Banyak diantara suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali atau hanya mendapatkan separuh dari jumlah yang diperoleh kaum laki-laki, merupakan salah satu contoh: a. Marginalisasi b. Subordinasi c. Pornografi d. Sentralisasi Jawab A 2. Seorang perempuan yang melahirkan bayi laki-laki akan lebih dihargai daripada seorang perempuan yang hanya melahirkan bayi perempuan, merupakan salah satu contoh: a. Marginalisasi b. Subordinasi c. Pornografi d. Sentralisasi Jawab B 3. Upaya Kesetaraan Gender di Indonesia a.
Memprioritaskan bidang-bidang pemberdayaan perempuan
b.
Membatasi Pemberdayaan perempuan disegala aspek kehidupan, terutama pendidikan, kesehatan dan akses terhadap sumber daya
c.
Keadilan gender
d.
Penghapusan kekerasan terhadap perempuan melalui kebijaksanaan zero toleransi
Jawab B 4. Masalah–Masalah Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Sebagai Akibat Dari Bias Gender, kecuali: a. Poligami b. Masalah keperawanan
Kesehatan Reproduksi
Kesehatan Reproduksi dalam Perspektif Gender
9
c. Kekerasan seksual dalam rumah tangga d. Hubungan seks yang aman Jawab D 5. Pria sering tidak ingin melakukan Vasektomi, ini merupakan salah satu diskriminasi dari salah satu aspek, yaitu: a.
Poligami
b. Masalah keperawanan c. Kekerasan seksual dalam rumah tangga d. Kontrasepsi Jawab D
Kesehatan Reproduksi