Journal Ilmiah Rinjani_Universitas Gunung Rinjani Vol. 2 Tahun 2015
KEPASTIAN HUKUM SERTIPIKAT SEBAGAI ALAT BUKTI HAK MILIK ATAS TANAH (Studi Kasus Pengadaan Tanah Untuk Pembuatan TPA Pada Proyek TCSSP Di Kabupaten Lombok Utara) MASYHUR Fakultas Hukum Universitas Gunung Rinjani Selong,Lombok Timur e-mail:
[email protected] Abstract This research was conducted to find out the legal basis on granting the right over land in Indonesia. The background of this research is the case occurred in Dusun Jugil, Sambik Bangkol, Gangga, the North Lombok District which is related to the granting of right over the land that is used for TPA (Landfills) in the project of TCSSP in the North Lombok District. In the case, Simparuddin was accused to break the (law) Perpres RI No. 65 2006, that regulate the mechanism and conditions of the granting of rights over the legally-certified land. This research is a normative research with the above case as the object. The data were collected through inspecting the decision made by the court, through interview some respondents, and through considering some related documents in BPN (National Land Agency). This research showed that there is a violation of law/regulation on the mechanism of compensation payment for the land that in regulation should be deposited in court and may not be paid directly to the owner of the land. It is concluded that the violation happened for the regulation in Perpres No. 65 2006 and Regulation BPN RI No. 3 2007. Keywords: land certificate, right of ownership, violation of the law. Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui landasan hukum pemberian hak atas tanah di Indonesia dengan latar belakang kasus yang terjadi di Dusun Jugil, Desa Sambik Bangkol, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara yang kasusnya bekaitan dengan pemberian hak atas tanah untuk pembuatan TPA pada proyek TCSSP di Kabupaten Lombok Utara. Dalam kasus tersebut Simparuddin dianggap mengabaikan Perpres RI No. 65 tahun 2006 yang mengatur mekanisme dan syarat pemberian hak atas tanah yang berkepastian hukum. Penelitian ini bersifat normative dengan kasus tersebut sebagai objeknya. Data penelitian ini dikumpulkan dengan melihat hasil putusan pengadilan, dan wawancara dengan responden serta bukti data yang ada di kantor BPN. Dalam penelitian ini ditemukan adanya pelanggaran atas aturan mengenai tata cara pembayaran ganti rugi atas tanah yang seharusnya pembayarannya dititipkan pada pengadilan atau tidak diterima langsung oleh pemilik tanah. Disimpulkan bahwa terjadi pelanggaran atas Perpres RI No. 65 tahun 2006 dan Peraturan BPN RI No. 3 tahun 2007. Kata kunci: sertifikat tanah, hak milik, pelanggaran hukum.
PENDAHULUAN Tanah mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia karena mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset, tanah merupakan sarana
pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sedangkan sebagai capital asset, tanah merupakan faktor permodalan dalam pembangunan.
M asyhur
| 93
Journal Ilmiah Rinjani_Universitas Gunung Rinjani Vol. 2 Tahun 2015
Sebagai capital asset, tanah telah berkembang sebagai benda ekonomi yang sangat penting dan strategis sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi. Oleh sebab itu, tidak bisa diingkari bahwa persoalan tanah bukan hanya persoalan hari ini, tapi tanah juga menjadi persoalan masa lalu dan terus menjadi potensi persoalan pada masa mendatang. Ketidak mampuan mengelola persoalan pertanahan pada akhirnya berpotensi menimbulkan persoalan dikemudian hari. Di sisi lain tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat secara adil dan merata, juga harus dijaga kelestariannya. Pemerintah selaku penguasa yang bertanggung jawab atas terlaksananya kepentingan umum harus melakukan pengaturan terhadap masalah ini. Sebagai perwujudan tanggung jawabnya atas kepentingan umum pada tanggal 17 Juni 1993 untuk pertama kalinya mengeluarkan peraturan yang mengatur masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum secara tersendiri dalam bentuk keputusan presiden nomor 55 tahun 1993 tentang pengadaan tanah, bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Keputusan presiden nomor 55 tahun 1993 dikeluarkan sebagai pelaksanaan dari pasal 18 UUPA yang menentukan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diutus dengan undang-undang. Mengenai apa yang dimaksud dengan kepentingan umum dalam beberapa peratutan perundangundangan tidak ada kesamaan satu dengan lainnya, bahkan kriteria kepentingan umum pun ditentukan berbeda-beda. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah, dan Benda-benda Yang Ada Diatasnya mengartikan kepentingan umum secara luas, yaitu: 1. Kepentingan bangsa dan negara; 2. Kepentingan bersama dari rakyat; dan 3. Kepentingan pembangunan.
Tujuan pendaftaran tanah ialah untuk terlaksananya “rechtkadaster” hukum) dan untuk (kepastian menyediakan informasi kepada pihakpihak yang berkepentingan, termasuk pemerintah untuk memperoleh data dan penyajian data dibidang pertanahan serta untuk pengenaan pajak.Karena bidang pertanahan ikut berperan, untuk itu dibutuhkan status hukum, kepastian hukum dari tanah tersebut serta kepemilikan secara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 UUPA ayat 1 yaitu bahwa: “Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuanketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah” Disamping untuk kepastian hukum bagi status tanah tersebut, pendaftaran tanah juga untuk melindungi para pemegang hak atas tanah, agar kepemilikan haknya tidak terganggu oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap tanahnya. Untuk itu ditegaskan dalam Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA, bahwa: “Pendaftaran tanah dalam Pasal ini meliputi : c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.” Berdasarkan latar belakang tersebut maka ada tiga pertanyaan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana landasan hukum pemberian hak atas tanah di Indonesia? 2. Bagaimana mekanisme dan syarat pemberian hak atas tanah yang berkepastian hukum? 3. Bagaimana kasus pengadaan tanah untuk pembuatan TPA pada proyek TCSSP di Kabupaten Lombok Utara? METODE Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif.Penelitian hukum normatif bisa juga disebut sebagai penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian ini, sering kali
M asyhur
| 94
Journal Ilmiah Rinjani_Universitas Gunung Rinjani Vol. 2 Tahun 2015
hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundangundangan (Law in book) atau hukum yang dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku masyarakat terhadap apa yang dianggap pantas. Namun sesungguhnya hukum juga dapat dikonsepkan sebagai apa yang ada dalam tindakan (Low in action). Low in book adalah hukum yang seharusnya berjalan sesuai harapan, keduanya seiring berbeda, artinya hukum dalam buku sering berbeda dengan hukum dalam kehidupan masyarakat. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legis positivis yang menyatakan bahwa hukum adalah identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga-lembaga atau pejabat yang berwenang.Selain itu konsep ini jugamemandang hukum sebagai sistem normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat. HASIL DAN PEMBAHASAN Landasan Hukum Pemberian Hak Atas Tanah Di Indonesia UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional UUPA Konstitusional dari akar kata konstitusi atau Undang – Undang Dasar, dengan demikian merujuk pada semua langkah politik yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku di suatu negara.Karena Undang-Undang Dasar adalah hukum tertinggi dalam suatu negara maka suatu tindakan konstitusional adalah semua langkah yang sesuai hukum. Jadi dapat disimpulkan bahwa Konstitusi adalah keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat Negara.
Mekanisme Pemberian Hak Atas Tanah Yang Berkepastian Hukum di Indonesia Hak Milik adalah hak atas tanah yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atau badan-badan hukum, sebagai yang disebutkan dalam Pasal 8 Peraturan Meteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan, hak milik dapat diberikan kepada: a. Warga Negara Indonesia; b. Badan-badan Hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku yaitu: 1) Bank Pemerintah; 2) Badan Keagamaan dan Badan Sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah. Jika mengenai tanah pertanian, maka perlu diperhatikan ketentuanketentuan yang tercantum dalam UndangUndang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kasus Pengadaan Tanah Untuk Pembuatan TPA Pada Proyek TCSSP Di Kabupaten Lombok Utara Kasus Posisi Kasus ini berawal ketika proyek TCSSP membebaskan tanah seluas 54.680 m2 yang terletak di Sambik Bangkol milik Amaq Sekiasim (alm) dan Amaq Sumarni (alm) pada tanggal 1 September 1995 dengan nomor sertipikat 1222/Rempek, untuk di alokasikan sebagai lahan perkebunan jambu mete pada proyek TCSSP kemudian membuatkan sertipikat untuk masyarakat pemilik tanah secara perorangan kolektif. Seiring berjalannya waktu, ternyata lahan yang dibebaskan oleh proyek TCSSP itu terbengkalai, sehingga Pemda Lombok Utara berinisiatif membebaskan lahan tersebut sebagai tempat pembuatan TPA sesuai dengan keputusan Bupati Lombok Utara nomor 215/137/LH/2010 tanggal 15 Oktober 2010 perihal Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) di M asyhur
| 95
Journal Ilmiah Rinjani_Universitas Gunung Rinjani Vol. 2 Tahun 2015
Kabupaten Lombok Utara tahun anggaran 2010 yang berlokasi di dusun Jugil, Desa Sambik Bangkol, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara. Selanjutnya, Pemda mengangkat panitia yang salah satunya adalah Simparudin yang merupakan Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia Nomor : 2113/SK/PB/1985, diangkat sebagai Asisten Pemerintahan, Kesejahteraan Rakyat dan Ekonomi Sekretariat Daerah Kabupaten Lombok Utara berdasarkan SK Bupati Lombok Utara Nomor : 199/62/Peg/2010 tanggal 08 September 2010 dan sebagai Pelaksana Tugas (PLT) Sekretariat Daerah Kabupaten Lombok Utara berdasarkan Surat Perintah Bupati Lombok Utara Nomor : 800/628/2010 tanggal 25 September 2010, bertempat di kantor Sekretariat Daerah Kabupaten Lombok Utara. Simparudin sendiri dalam kasus ini berposisi sebagai wakil ketua panitia, sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Lombok Utara Nomor : 10/04/DPPKAD/2010 tanggal 21 Januari 2010 tentang pembentukan panitia pengadaan tanah Pemerintah Kabupaten Lombok Utara Tahun anggaran 2010 : Ketua merangkap anggota : Sekda KLU
- Wakil ketua merangkap anggota : As. Bidang Pemerintahan, Kesra, Ekonomi dan Pembangunan Setda KLU - Sekretaris merangkap anggota : Kepala Perwakilan Kantor Pertanahan KLU atau pejabat yang ditunjuk - Anggota : 1. Kadis Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah KLU atau pejabat yang ditunjuk 2. Kepala bagian pemerintahan Setda KLU atau pejabat yang ditunjuk 3. Kabag Hukum dab Organisasi Setda KLU atau Pejabat yang ditunjuk 4. Camat terkait atau pejabat yang ditunjuk 5. Koordinator Hak atas Tanah dan pendaftaran tanah pada perwakilan kantor pertanahan KLU atau pejabat yang ditunjuk 6. Kepala Desa terkait atau pejabat yang ditunjuk. Setelah itu, Panitia Pengadaan Tanah menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi sesuai dengan Surat Keputusan Panitia Pengadaan Tanah Pemerintah Kabupaten Lombok Utara Nomor : 43/PPT-KLU/2010 tanggal 22 Desember 2010 dengan kesepakatan para pemilik tanah diberikan ganti rugi sebesar Rp. 20.000,-/m2, dengan perincian luas dan pemilik tanah yaitu sebagai berikut:
1.
Amaq Nuriati
11.368 m2
327
15-11-2010
2.
Marianah
21.659 m2
326
15-11-2010
3.
Tangisah
8.945 m2
335
15-11-2010
Kemudian pada tanggal 22 Desember 2010, panitia pengadaan tanah menyampaikan surat dengan nomor : 45/PPT-KLU/2010 dengan perihal pembayaran ganti rugi kepada Kepala Kantor Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Lombok Utara untuk melaksanakan pembayaran ganti rugi. Akan tetapi, sebelum dilaksanakan pembayaran ganti rugi, pada tanggal 23 dan 24 Desember 2010, terjadi klaim/komplain dari pihak lain yakni
Semiah selaku ahli waris Loq Sukarip (Alm) terhadap tanah seluas 41.972 m2 didasarkan adanya alas hak berupa sertipikat hak milik No. 1222 atas bidang tanah seluas 54.680 m2 atas nama pemegang hak (1. Amaq Sekiasim dan 2.Amaq Sumarni) yang diterbitkan tanggal 01 September 1995. Kemudian terdakwa (Simparuddin) menyarankan saksi H.M. Sumadi selaku Camat Gangga untuk menyelesaikan secara kekeluargaan dengan mengadakan pertemuan di kantor camat gangga,
M asyhur
| 96
Journal Ilmiah Rinjani_Universitas Gunung Rinjani Vol. 2 Tahun 2015
namuan pihak Amaq Nuriati Cs tidak menghadiri pertemuan tersebut sehingga tidak diperoleh kesepakatan atau penyelesaiannya. Kemudian Sumadi, (Camat Gangga) kembali menemui Simparuddin untuk mengusulkan agar agar permasalahan tersebut disampaikan kepada Bupati Lombok Utara, namun terdakwa tidak menyikapinya dengan mengundang seluruh Panitia Pengadaan Tanah, melainkan terdakwa menghubungi via telepon dan meminta kehadiran Panitia Pengadaan Tanah untuk menyaksikan dilakukannya pembayaran ganti rugi kepada pemilik tanah (Amaq Nuriati cs) yang akan dilaksanakan pada tanggal 30 Desember 2010 bertempat di ruang kerja terdakwa. Pada tanggal tersebut, dilakukan pembayaran ganti rugi sebesar Rp. 839.440.000,- disaksikan oleh seluruh panitia pengadaan tanah. Akan tetapi walaupun ganti rugi sudah dibayar kepada Amaq Nuriati, Marianah dan Tangisah sebesar Rp. 797.468.000,- (Rp. 839.440.000,- dipotong Pph sebesar Rp. 41.972.000,-), objek tanah seluas 41.972 m2 belum dapat dikuasai karena masih dikuasai oleh ahli waris dari Alm. AmaqSekiasim dan Alm. Amaq Sumarni sehingga Negara mengalami kerugian sebesar Rp. 797.468.000,- atau sekitar jumlah tersebut sebagaimana Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara oleh BPKP Perwakilan Propinsi Bali Nomor : SP276/PW.22/I/2012 tanggal 27 Januari 2012. Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram - Bahwa setelah dilakukan pengukuran objek tanah tersebut oleh Kantor Pertanahan perwakilan Lombok Utara diperoleh hasil sebagaimana tertuang dalam surat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Lombok Barat Nomor : 54/52.01/KLU/V/2011 tanggal 18 Mei 2011 perihal Konfirmasi letak posisi objek tanah Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) dan lampirannya yaitu tanah seluas 41.972 m2 tersebut merupakan bagian dari luas tanah 54.680 m2 atas nama pemegang hak
(1. Amaq Sekiasim dan 2.Amaq Sumarni) yang diterbitkan tanggal 01 September 1995 yang sampai saat ini belum pemah dibatalkan. - Bahwa pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden RI Nomor : 65 tahun 2006 tanggal 5 Juni 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, ditentukan sebagai berikut: “Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah penetapan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka panitia menitipkan uang ganti rugi kepada Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan” - Bahwa lebih lanjut dalam peraturan Kepala BPN RI Nomor : 3 Tahun 2007 tanggal 21 Mei 2007 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden RI Nomor : 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden RI Nomor : 65 Tahun 2006 tentang perubahan Peraturan Presiden Ri Nomor : 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, ditentukan dalam pasal 48 ayat (1) sebagai berikut: “Panitia pengadaan tanah Kabupaten/Kota memerintahkan kepada instansi yang memerlukan tanah untuk menitipkan ganti rugi uang ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi letak tanah bagi pelaksanaan pembangunan dalam hal: c.masih dipersengketakan kepemilikannya dan belum ada kesepakatan penyelesaian dari para pihak; dan” - Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 3 jo Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undangundang RI Nomor 20 Tahun 2001.
M asyhur
| 97
Journal Ilmiah Rinjani_Universitas Gunung Rinjani Vol. 2 Tahun 2015
17. Panitia pengadaan tanah TPA dalam melakukan penelusuran apakah tanah tersebut sudah bersertipikat atau belum hanya berpedoman pada data fisik dan kejujuran dari pemohon. Kepastian Hukum Bagi Para Pihak Yang Memegang Tanda Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah (Sertipikat) Melihat kasus diatas adalah kasus yang cukup rumit dimana ada tiga orang pemilik yang sudah setuju, akan tetapi sebelum dibayarkan ganti rugi, muncul dua orang pemilik yang menunjukkan tanda bukti yang sah atas tanah tersebut dan mengajukan gugatan. Setelah melalui berbagai proses, masih belum mendapatkan jalan keluar, terdakwa secara langsung memberikan uang ganti rugi kepada pihak yang setuju sehingga tanah tersebut tidak dapat dimiliki oleh pemerintah akan tetapi ganti rugi sudah terbayarkan sehingga negara menderita kerugian yang besar. Pengadaan tanah untuk pembangunan TPA yang merupakan fasilitas umum, memang termasuk dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebagaimana terdapat dalam Pasal 10 huruf b Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (“UU 2/2012”): Pasal 10 UU 2/2012: “Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan: Pada dasarnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil sebagaimana dikatakan dalam Pasal 9 ayat (2) UU 2/2012. Penilaian besarnya nilai ganti kerugian atas tanah yang terkena pengadaan tanah untuk kepentingan umum ditetapkan oleh Penilai (Pasal 33 jo. Pasal 32 UU 2/2012). Penilai ini ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan (Pasal 31 ayat (1) UU 2/2012).Nilai ganti kerugian yang dinilai oleh Penilai
merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum (Pasal 34 ayat (1) UU 2/2012). Penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik tersebut (Pasal 63 Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum). Nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai tersebut menjadi dasar musyawarah penetapan ganti kerugian (Pasal 34 ayat (3) UU 2/2012). Penentuan bentuk dan besarnya ganti kerugian dilakukan dengan musyawarah antara Lembaga Pertanahan dengan pihak yang berhak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari (Pasal 37 ayat (1) UU 2/2012).Pihak yang berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah (Pasal 1 angka 3 UU 2/2012). Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak.Hasil kesepakatan tersebut dimuat dalam berita acara kesepakatan (Pasal 37 ayat (2) UU 2/2012). Jika tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah musyawarah penetapan ganti kerugian (Pasal 38 ayat (1) UU 2/2012).Pengadilan negeri memutus bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan (Pasal 38 ayat (2) UU 2/2012). Jika ada pihak yang keberatan dengan putusan pengadilan negeri, maka pihak yang keberatan tersebut, dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia (Pasal 38 ayat (3) UU 2/2012). Selanjutnya, Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak M asyhur
| 98
Journal Ilmiah Rinjani_Universitas Gunung Rinjani Vol. 2 Tahun 2015
permohonan kasasi diterima (Pasal 38 ayat (4) UU 2/2012). Putusan pengadilan negeri/ Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan (Pasal 38 ayat (5) UU 2/2012). Jika pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu yang telah ditetapkan dalam Pasal 38 ayat (1) UU 2/2012, maka karena hukum pihak yang berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian hasil musyawarah (Pasal 39 UU 2/2012). Melihat dari ketentuan-ketentuan di atas, jika para pemilik tanah lainnya tidak setuju dengan besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil perundingan, maka pemilik dapat mengajukan keberatan pada pengadilan negeri setempat. Pemilik tidak dapat digusur dengan paksa karena berdasarkan Pasal 5 UU 2/2012, pemilik tanah wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah pemberian ganti kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terdapat perbedaan cara memperoleh hak atas tanah individu atau pribadi dengan cara memperoleh hak atas tanah oleh pemerintah, yaitu: Pribadi Memperoleh hak atas tanah melalui proses keperdataan yaitu dapat dilakukan melalui perbuatan hukum seperti jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, pelelangan dan penyertaan tanah sebagai modal usaha dalam satu badan hukum; SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Dasar konstitusional Peraturan Presiden No.65 Tahun 2006 adalah nilainilai yang terkandung di dalam Pancasila dan Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang
dasar 1945; Pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan bagi kepentingan umum sepanjang sejak didiundangkan menggantikan Peraturan Menteri dalam Negeri No.15 tahun 1975 menimbulkan kontroversi hukum seperti pendahulunya. Sekalipun memiliki pijakan konstitusionalitas, namun ditinjau dari bentuk, format, substansi, penegakan hukum tidak memenuhi persyaratan sebagai produk hukum yang baik dan benar.Nilai-nilai luhur UUD 1945 tentang moral, keadilan, kemanusiaan, kesejahteraan harus diaktualisasikan pada peraturan perundangan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan. Pemberian hak di Indonesia yang berdasarkan mekanisme dan syarat yang sudah di tetapkan oleh undang-undang seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan UUPA masih belum terlaksana dengan baik dikarenakan banyaknya masyarakat yang belum mengerti tentang mekanisme dan syarat pendaftaran tanah tersebut. Kerugian yang dialami oleh negara dalam kasus yang terjadi di Dusun Jugil, Desa Sambik Bangkol Kecamatan Gangga Kabupaten Lombok Utara Diatas, tidak semata-mata dikarenakan lemahnya undang-undang yang menangani masalah tersebut, akan tetapi lebih disebabkan karena aparatur pemerintahan yang dalam hal ini panitia pembebasan lahan tersebut kurang teliti dalam menjalankan undangundang dan peraturan yang sudah ada serta mengabaikan tuntutan masyarakat sehingga setelah ganti rugi dibayarkan, negara masih belum bisa menguasai lahan tersebut dikarenakan adanya pihak yang masih memegang tanda bukti kepemilikan yang sah dan belum menyerahkan haknya kepada pemerintah. Hal ini juga dipicu oleh ketidaktelitian BPN dalam menerbitkan sertipikat kepemilikan sehingga terdapat lebih dari satu sertipikat kepemilikan yang sah atas tanah yang sama. Saran Hendaknya pemerintah memperhatikan landasan-landasan hukum pemberian hak yang jelas baik itu secara M asyhur
| 99
Journal Ilmiah Rinjani_Universitas Gunung Rinjani Vol. 2 Tahun 2015
Konstitusional, Yuridis, maupun secara Filosofis sehingga jelas tujuan dan manfaatnya sesuai apa yang di amanatkan oleh Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 dan Undang-undang Pokok Agraria. Pemerintah diharapkan melakukan sosialisasi secara menyeluruh kepada masyarakat sehingga masyarakat mengerti akan mekanisme dan syarat dari pemberian hak di Indonesia. Dalam hal adanya gugatan yang terjadi setelah penetapan ganti rugi, pembayaran harus mengacu kepada pasal 10 Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tanggal 5 Juni 2006 dan Peraturan Kepala BPN RI No. 3 Tahun 2007 tanggal 21 Mei 2007. . DAFTAR PUSTAKA Boedi, Harsono. 2003. Hukum Agraria Indoensia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Cet. 9, Jakarta: Djambatan. http://www.pengertianahli.com/2013/08/pe ngertian-konstitusi-negara.html http://koffieenco.blogspot.com/2013/08/pe nelitian-hukum-normatif.html lombok: http:www.primadona KasusDugaan Korupsi Proyek TPA diakses tanggal 20 April 2014 Mahfud MD. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Manan,
Bagir. 2009. Hukum Positif Jakarta: Pustaka Indonesia. Belajar.
Catatan Materi Muchsan. 2012. Perkuliahan Hukum Tata Usaha Negata, Program Pasca Sarjana Magister Hukum Kenegaraan-, Yogyakarta: UGM. Parlindungan, A.P. dan Yanis Maladi. Masalah Hukum 1990. Pertanahan di Indonesia,
makalah disampaikan pada Temu Ilmuah dan Muskemas Ismahi III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 9 tahun 1999 tentang tata cara pemberian dan pembatalan hak atas tanah negara dan hak pengelolaan. Peraturan Kepala BPN RI Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah. (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013) Putusan Pengadilan Negeri Kelas I A Mataram tentang Tindak Pidana Korupsi Nomor : 10/PID.SUS/2012/PN.MTR atas Nama Terdakwa Simparudin, SH tanggal Putusan : 4 Oktober 2012 Rubiae,
Achmad. 2001. Pengadaan Tanah Kepentingan Umum. Banyumedia Publising.
Hukum Untuk Malang:
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metode Penelitian Hukum dan jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 11. Salim. 2013. Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cetakan ke 1, 2013, Hlm. 39. Riawan,
Tjandra W. 2008. Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
www.gagasanhukum.wordpress.com. Online intemet tangal 11 Januari 2010 www.id.wikipedia.org, diakses tanggal 14 Mei 2014 M asyhur
| 100