KAJIAN KUALITAS BELANJA DAERAH (Studi Kasus di Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat)
TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan Konsentrasi: Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Keuangan Daerah
Oleh :
MASLAN ADAM S421408009
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016
i
ABSTRAK KAJIAN KUALITAS BELANJA DAERAH (Studi Kasus di Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat) MASLAN ADAM S421408009 Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bagaimanakah kualitas belanja daerah Kabupaten Halmahera Barat. Terdapat 9 (sembilan) indikator yang dikaji, yaitu disiplin belanja, ketepatan alokasi belanja modal, ketepatan alokasi belanja pegawai, ketepatan alokasi belanja hibah dan bantuan sosial, ketepatan waktu penetapan APBD, efisiensi dan efektifitas belanja, pertanggungjawaban, dan dapat diakses publik. Data dihimpun dengan metode survei, wawancara, dokumen, dan observasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis interaktif. Hasil penelitian: (1) Pengelolaan belanja daerah relatif belum disiplin terhadap prioritas pembangunan. Ketidakdisiplinan ini cenderung disebabkan oleh kualitas dokumen perencanaan yang masih rendah, pelaksanaannya belum konsisten, serta keberpihakan yang masih lemah dalam politik anggaran; (2) Alokasi belanja modal belum dapat ditingkatkan hingga 30 persen. Sebabnya, kemampuan keuangan daerah masih rendah, dan kebijakan „pimpinan‟ yang sering mendistorsi nilai alokasi anggaran; (3) Alokasi belanja pegawai cenderung menurun di bawah 50 persen. Rata-ratanya dari tahun 2011-2015 sebesar 46,5 persen. Namun, pembangunan di Kabupaten Halmahera Barat yang relatif masih tertinggal, maka nilai alokasi belanja pegawai dalam temuan ini, dinilai masih memberatkan APBD; (4) Belanja hibah dan bantuan sosial relatif belum tepat sasaran, karena pengelolaannya belum transparan dan akuntabel; (5) Penetapan APBD dalam kurun waktu 2011-2015 sudah sesuai ketentuan perundang-undangan, yakni sebelum tanggal 30 Desember tahun berjalan. Namun, sering terlambat dalam pengajuan dokumen RKUARPPAS ke DPRD; (6) Pengelolaan belanja daerah relatif belum efisien; (7) pengelolaan belanja daerah relatif belum efektif. Inefisiensi dan ketidakefektifan ini disebabkan penyusunan anggaran yang cenderung masih mengikuti pendekatan incremental dan lineitem budget; (8) Pengelolaan belanja daerah belum sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan. Kecenderungan ini teridentifikasi dari pengelolaan belanja daerah yang relatif belum ekonomis, efisien, dan efektif (value for money). Sebab yang lain adalah perolehan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari BPK, yang berarti bahwa masih terdapat unsur pengelolaan keuangan daerah yang terindikasi belum dapat dipertanggungjawabkan; 9) Pengelolaan belanja daerah belum sepenuhnya dapat diakses publik. Hal ini teridentifikasi dari pola transparansi yang cenderung masih bersifat „formalistik‟. Secara keseluruhan, belanja daerah (APBD) di Kabupaten Halmahera Barat relatif belum berkualitas. Berdasarkan temuan ini, disarankan kepada Pemerintah Daerah bersama DPRD Kabupaten Halmahera Barat agar berkomitmen mempraktikkan sistem perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja dengan memperhatikan prinsip money follow program. Kata Kunci: Kualitas belanja daerah, anggaran berbasis kinerja, money follow program
ii
ABSTRACT A STUDY ON REGIONAL EXPENDITURE QUALITY (A Case Study in West Halmahera District Government) MASLAN ADAM S421408009 This study aims to describe the quality of regional expenditure of West Halmahera District. There are nine (9) indicators studied, expenditure discipline, accuracy of capital expenditure allocation, accuracy of personnel expenditure allocation, accuracy of grant expenditure and social assistance allocation, punctuality of Regional Budget (APBD), efficiency and effectiveness of expenditure, accountability, and accessible to the public. Data were collected by survey method, interviews, documents, and observation. Data analysis technique used was an interactive model. Results: (1) Management of regional expenditure has not been relatively disciplined on development priorities. This indiscipline is likely to be caused by quality planning document that is still low, its implementation is not consistent, and the partiality is still weak in the budget politics; (2) Allocation of capital expenditure cannot be increased up to 30 percent. It is because the fiscal capacity is still low, and the policy of 'leaders' who often distort the allocation of the budget; (3) Allocation of personnel expenditures tend to decline below 50 percent. The average from 2011-2015 was equal to 46.5 percent. However, development in West Halmahera is still relatively underdeveloped. Therefore, the value of the allocation of personnel expenditures in these findings, is still considered burdensome for Regional Budget; (4) Grants and social assistance expenditure is relatively not well targeted, because the management is not transparent and accountable; (5) Regional budget in the period 2011 to 2015 has been determined in accordance with the legislation, i.e. before December 30 of the current year. However, it is often too late in filing RKUA-RPPAS documents to Regional House of Representative (DPRD); (6) Management of regional expenditure is relatively inefficient; (7) Management of regional expenditure is relatively ineffective. Inefficiency and ineffectiveness is because the budgetary tend to still follow the incremental and line-item budget approach; (8) Management of regional expenditure cannot be fully accounted for. This trend is identified from regional expenditure management that is relatively not economical, efficient, and effective (value for money). Another cause is the acquisition of Fair With Exceptions (WDP) opinion of from Audit Board of the Republic of Indonesia (BPK), which means that there is still an element of regional financial management indicated as cannot be accounted for; 9) Management of regional expenditure has not been fully accessible to the public. It is identified from the pattern of the transparency that tends to be 'formalistic'. Overall, the regional expenditure (APBD) in West Halmahera is relatively not quality. Based on these findings, it is suggested to the local government along with the West Halmahera Regional House of Representative (DPRD) to commit to practice performance based planning and budgeting system on the principle of money follow program. Keyword: Regional expenditure quality, performance based budgeting, money follow program. iii
iv
v
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: MASLAN ADAM
NIM
: S421408009
Program Studi
: Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan
Konsentrasi
: Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Keuangan Daerah
Menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil karya sendiri dan bukan merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain. Demikian surat pernyataan ini saya buat sebenar-benarnya.
Surakarta, 18 Juni 2016
MASLAN ADAM S421408009
vi
Persembahan Karya ini kupersembahkan untuk: 1. Ayah dan Ibuku tercinta, Alwia Djumati dan Hi. Basarun Aba 2. Saudar-saudaraku tercinta 3. Almamaterku, Universitas Sebelas Mareta Surakarta.
vii
MOTTO “Capaian merupakan Konsekuensi Pertemuan antara Kemauan dan Kemampuan”
“Perang tidak berhenti hanya karena peluru sudah tidak ditembakkan” (Budayawan, Emha Ainun Nadjib) “.....jika kau tak berani lagi bertanya kau akan jadi korban keputusan-keputusan jangan kau penjarakan ucapanmu jika kita menghamba pada ketakutan kita memperpanjang perbudakan” (Ucapkan Kata-Katamu, Wiji Thukul) “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Alqur‟an, Al-Insyirah:5-6)
viii
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis dengan judul “Kajian Kualitas Belanja Daerah (Studi Kasus di Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat)” merupakan manifestasi dari rasa ingin tahu penulis terhadap perkembangan pengelolaan keuangan daerah, khususnya pada pos belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Halmahera Barat. Disadari bahwa dalam menyelesaikan tesis ini banyak pihak yang telah berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, MS, selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret. 2. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd, selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret yang telah berkenan memberikan ijin penelitian. 3. Dr. Evi Gravitiani, SE,. M.Si, selaku Kepala Prodi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan yang selalu memberikan motivasi demi kelancaran penyelesaian tesis ini. 4. Prof. Dr. J.J. Sarungu, MS, selaku pembimbing I yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis. 5. Dr. A.M. Soesilo, M.Sc, selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis. 6. Dr. Vincent Hadiwiyono, MA, selaku Ketua Tim Penguji yang telah meluangkan waktunya untuk berdiskusi selama proses penyelesaian tesis ini, dan berkenaan menjadi penguji dalam ujian tesis penulis 7. Seluruh dosen di Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan (MESP) Universitas Sebelas Maret, yang telah menyalurkan ilmu pengetahuan kepada penulis selama perkuliahan. 8. Teman-teman Angkatan 23 Pascasarjana (S2) MESP yang telah memberikan dukungan, berbagi pengetahuan selama masa perkuliahan. Penulis sebutkan: Bahtiar, Lala, Nio, Rafi, Mas Eko, Mas Titis, Mas Tris, Pak Bambang, Mba Tri, Mba Ani, dan Mba Khomariah 9. Seluruh dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Khairun Ternate yang telah menyalurkan ilmu pengetahuan dan memotivasi penulis hingga melanjutkan studi di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta 10. Kepada Pemerintah Daerah, dan lebih kepada Kepala Kesbangpol Kabupaten Halmahera Barat yang telah memberikan ijin penelitian.. 11. Kepada pegawai Kabupaten Halmahera Barat, khususnya buat Ko Fen dan Ko Budi yang telah banyak memabantu penulis demi kemudahan dan kelancaran penelitian dan penyusunan tesis ini. ix
12. Kepada seluruh informan penelitian yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan pandangan terkait informasi yang penulis butuhkan. 13. Teristimewa Ayah dan Ibuku tercinta, Alwia Djumati dan Hi. Basarun Aba, telah menjadi pahlawan dalam hidup penulis. Tesis ini adalah bagian dari bukti kepahlawanan mereka. Sujudku, semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu mencurahkan cinta dan kasih sayang-Nya untuk mereka hingga akhir hayat. 14. Kepada saudara-saudaraku tercinta: Wan dan Ila, Jiman dan Mila (Tesis ini adalah kado saya untuk pernikahan kalian), Rumi, Iba (Alm), Ko Bai (Alm) dan Ci Nur, Kak Ocen dan Ci Asmi, Ama dan Om Saf (Alm), Is dan Om Mado, La dan Ko Baci. Kepada Om Salim dan Ci Sun, Iha (Alm), Ama, Mi, Ahe, Ilun, Inci, dan Nati. Keponakan tercinta yang selalu menginspiratif: Najila, Ifa, Ajin, Zidan, Iran, Iki, Wulan, Fijai, Eca, Jihan, Diman dan Fatin. Kalian semua adalah penyuplai semangat hingga penulis sampai di titik ini. 15. Teruntuk @Daffa, „sahabat imajinatif-ku‟. Sulit rasanya menerjemahkan semua ini, jika tanpa „hadirmu‟, Manis. 16. Kepada Ruzwan Tomsio dan Marnita Dahlan, bersama malaikat kecil kalian, Alya. Terima kasih telah berbagi, memberikan dukungan baik moril maupun materiil. Ketika kalimat ini penulis rangkai, rasanya tidak sabar untuk sampai pada satu kalimat kebanggaan, “Bangga Mengenal Kalian”. 17. Kepada Azu, Komar, Dik Ipi, Kiki, Niken, OneNita, dan Zakiah. Terima kasih atas segalanya. Ketika berjibaku dengan alur narasi dalam tesis, kalian selalu hadir dalam ruang imajinasi penulis. Hadir membawa setumpuk canda dan tawa, menggelitik. Dan itu, asyik. 18. Kepada Himpunan tercinta, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Penulis sebutkan: Dik Ronal Ode Rusdin (Alm), Dik Bahrun, Dik Muhaidin, (Aida & Dino Gantie), Dik Yana, Dik Lety, Dik Zainal Abidin, Dik Upi, Muhar Sahdi, Gazali Far Far dan Asni, Dindaku Auda, Dik Nur Aini (Onco), Dik Sardudi, Dik Mardian Pratama, Dik Maidex, Dik Mus Fadel, Dik Acha, Dik Rival, Dik Fandi & Raf, M. Fajrin, Iksan Bahrudin, Fahmi Albaar dan Ifah, Bang Nurdin Muhammad, Bang Muamil Sun‟an, Bang Tam Gani, Udin Bakar, dan Dinda/Adinda Komisariat Ekonomi Unkhair Ternate. Yakin Usaha Sampai. Tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari sepenuhnya, tesis ini masih jauh dari yang diidealkan. Kritik dan saran sangat diharapkan. Dengan segala ikhtiar, semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan kasih sayang-Nya dalam segala aktifitas keseharian kita. Amin. Sebagai akhir, semoga karya ini bermanfaat bagi pembaca. Surakarta, 18 Juni 2016
Maslan Adam x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL....................................................................................... HALAMAN ABSTRAK ................................................................................. HALAMAN ABSTRACT .............................................................................. HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ....................................................... HALAMAN PERNYATAN ........................................................................... HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... HALAMAN MOTTO ..................................................................................... KATA PENGANTAR .................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................... DAFTAR TABEL ........................................................................................... DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... DAFTAR GRAFIK ......................................................................................... DAFTAR BAGAN ......................................................................................... DAFTAR DIAGRAM ..................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................... B. Rumusan Masalah .................................................................. C. Tujuan Penelitian .................................................................... D. Manfaat Penelitian .................................................................. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teoritis ........................................................................ 1. Prinsip-Prinsip Pengelolaan Keuangan Daerah ................. 2. Urgensi Belanja Daerah ..................................................... 3. Indikator Kualitas Belanja Daerah ..................................... 4. Desentralisasi Fiskal dan Implikasi Belanja Pemerintah terhadap Proses Percepatan Pembangunan Daerah ........... 5. Politik Anggaran dalam Perspektif Teori Keagenan ......... B. Kajian Empiris ........................................................................ C. Kerangka Konseptual Analisis ...............................................
BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian dan Unit Analisis ........................................... B. Teknik Penentuan Informan ................................................... C. Proses Pengumpulan Data ...................................................... D. Teknik Pengujian Validitas Data ............................................ E. Definisi Operasional Konsep .................................................. F. Teknik Analisis Data .............................................................. xi
i ii iii iv v vi vii viii ix xi xiii xiv xv xvi xvii xviii
1 10 11 11 12 12 18 24 27 34 42 45 48 48 49 52 53 54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Latar Penelitian ...................................................... B. Perkembangan Realisai Belanja Daerah Kabupaten Halmahera Barat ..................................................................... C. Temuan Penelitian dan Pembahasan ...................................... 1. Kesesuaian antara Kinerja dan Harapan terhadap Kualitas belanja daerah Kabupaten Halmahera Barat ....... 2. Disiplin Belaja terhadap Prioritas Pembangunan Kabupaten Halmahera Barat .............................................. 3. Ketepatan Alokasi Belanja Daerah Kabupaten Halmahera Barat ................................................................ 4. Ketepatan Waktu Penetapatan APBD ............................... 5. Efisiensi dan Efektifitas Belanja Daerah ........................... 6. Akuntabilitas dan Transparansi Pengelolaan Belanja Daerah ................................................................................. D. Dinamika Penyusunan Penganggaran Publik (APBD) di Kabupaten Halmahera Barat: Sebuah Ringkasan Temuan ..... BAB V
57 61 62 62 63 78 96 99 117 128
PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................. B. Saran ....................................................................................... C. Implikasi .................................................................................
130 133 140
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 144 LAMPIRAN-LAMPIRAN.............................................................................. 153
xii
DAFTAR TABEL Tabel 1.1
Gambaran Makro Sosial-Ekonomi Kabupaten dan Kota di Provinsi Maluku Utara ........................................................... Tabel 2.1 Klasifikasi Belanja Daerah Berdasarkan Kelompok Belanja..... Tabel 3.1 Pertanyaan Penelitian, Data yang Diperlukan, dan Teknik Pengumpulan Data ......................................................... Tabel 3.2 Definisi Operasional Konsep ..................................................... Tabel 4.1 Struktur Ekonomi Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2010-2014 ....................................................................... Tabel 4.2 Penilaian Informan terhadap Indikator Kualitas Belanja Daerah Kabupaten Halmahera Barat .......................................... Tabel 4.3 Sinkronisasi Prioritas Nasional, Prioritas Provinsi, dan Prioritas Kabupaten Halmahera Barat ........................................ Tabel 4.4 Identifikasi Permasalahan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Daerah Kabupaten Halmahera Barat .......................................... Tabel 4.5 Kontribusi PAD terhadap Total Pendapatan Daerah Kabupaten Halmahera Barat Tahun Anggaran 2011-2015 ........ Tabel 4.6 Perbandingan Anggaran Belanja dengan Realisasi Belanja Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2011-2015 ......................... Tabel 4.7 Perbandingan Realisasi Belanja dengan Realisasi Pendapatan Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2011-2015 ..... Tabel 4.8 Kategori Kinerja Keuangan untuk Rasio Efisiensi .................... Tabel 4.9 Perbandingan Realisasi Beberapa Item Belanja Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2011-2014 ........................................... Tabel 4.10 Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Per kapita Kabupaten dan Kota di Provinsi Maluku Utara Tahun 2011-2013 ....................................................................... Tabel 4.11 Perbandingan Realisasi dan Target PAD Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2011-2015 ......................... Tabel 4.12 Kategori Kinerja Keuangan untuk Rasio Efektifitas ..................
xiii
09 21 51 53 59 62 64 66 80 100 101 101 106
109 114 114
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Model Bandura tentang Pengaruh Timbal Balik antara Tingkah Laku, Faktor Manusia dan Kognitifnya, dan Lingkungan ........................................................................ Gambar 3.1 Teknik Trianggulasi .................................................................. Gambar 3.2 Model Analisis Interaktif .......................................................... Gambar 4.1 Persentase Penduduk Kabupaten Halmahera Barat Menurut Kecamatan Tahun 2013 ............................................. Gambar 4.2 Persentase Kontribusi Sektor Ekonomi terhadap PDRB Kabupaten Halmahera Barat (2010-2014) ................................ Gambar 4.3 Penilaian Informan terhadap Indikator Disiplin Belanja Daerah Kabupaten Halmahera Barat ..................................................... Gambar 4.4 Dinamika Interaksi dalam Hubungan Keagenan di Sektor Publik ............................................................................ Gambar 4.5 Penilaian Informan terhadap Indikator Ketepatan Alokasi Belanja Modal, Pegawai, Hibah dan Bantuan Sosial Kabupaten Halmahera Barat ..................................................... Gambar 4.6 Perilaku „Menggeser Anggaran‟ dalam Perspektif Model Bandura ......................................................................... Gambar 4.7 Penilaian Informan terhadap Indikator Waktu Penetapan APBD Kabupaten Halmahera Barat ........................ Gambar 4.8 Penilaian Informan terhadap Indikator Efisiensi dan Efektifitas Belanja Daerah Kabupaten Halmahera Barat .. Gambar 4.9. Penilaian Informan terhadap Indikator Pertanggungjawaban dan Dapat Diakses Publik .........................................................
xiv
41 52 56 58 60 67 70
78 81 96 99 118
DAFTAR GRAFIK Grafik 4.1 Tren Realisasi Belanja Daerah Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2011-2015 ......................................................................... 61 Grafik 4.2 Persentase Proporsi Belanja Modal, Belanja Pegawai, Belanja Hibah Dan Bantuan Sosial Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2011-2015 .......................... 84 Grafik 4.3 Perbandingan Anggaran Belanja Pegawai, Belanja Modal, Belanja Hibah dan Bantuan Sosial dengan Realisasinya di Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2011-2015 ..................... 92
xv
DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 Keterkaitan Atribut dan Indikator Kualitas Belanja Daerah ........ Bagan 2.2 Kerangka Konseptual Analisis ..................................................... Bagan 4.1 Dinamika Penyusunan Perencanaan dan Penganggaran Publik (APBD) di Kabupaten Halmahera Barat: Sebuah Ringkasan Temuan .........................................................
xvi
25 47
129
DAFTAR DIAGRAM Diagram 4.1 Tipologi Klasen: Pola dan Struktur Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara (2011-2013) ........
xvii
110
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4
Daftar Informan yang Disurvei............................................... Kuesioner Penelitian ............................................................... Matriks Perbandingan Penelitian Terdahulu .......................... Format: Indikator Kinerja Pembangunan dalam Dokumen RPJMD 2011-2015 Kabupaten Halmahera Barat .................. Lampiran 5 Format: RKA-SKPD dalam Dokumen RKPD 2015 Kabupaten Halmahera Barat ................................................... Lampiran 6 Format: RKA-SKPD (Contoh untuk Dinas Pendidikan Kabupaten Halmahera Barat ................................................... Lampiran 7 Dokumentasi Observasi .......................................................... Lampiran 8 Surat Izin Penelitian dari Program Pascasarjana Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan UNS Surakarta ................ Lampiran 9 Surat Rekomendasi Penelitian dari Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Halmahera Barat ................... Lampiran 10 Surat Rekomendasi (Perpanjang) Penelitian dari Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Halmahera Barat ...................................................
xviii
153 154 157 160 161 162 163 170 171
172
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Paradigma pembangunan yang cenderung pada dominasipusat, terbukti tidak mampu mengangkat eksistensi daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Konsekuensinya, kompleksitas masalah yang dihadapi Pemerintah Pusat semakin menyulitkan posisinya dalam merespon dinamika dan tantangan pembangunan di daerah (Rasyid, 2007). Fenomena sentralisasi seperti itu telah memunculkan masalah rendahnya akuntabiltas, memperlambat pembangunan infrastruktur serta pengembangan kelembagaan sosial ekonomi di daerah (Shah et al, 1994 dalam Mardiasmo, 2002). Sebagai komitmen reformasi, maka salah satu unsur yang fundamental adalah tuntutan atas pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah. Pengalaman di banyak Negara mengungkapkan bahwa pemberian otonomi secara luas kepada daerah merupakan salah satu resep politik untuk membuka kemungkinan bagi proses demokratisasi yang pada gilirannya semakin mengukuhkan stabilitas sistem secara keseluruhan (Lay, 2006). Pada dasarnya, tuntutan ini dimaksudkan untuk mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya melalui ketersediaan pelayanan publik dan penciptaan ruang partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Huntington dan Nelson (1992) mengemukakan bahwa, dalam teori pembangunan, perubahan yang mengarah ke
1
semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat, diperlukan ruang yang lebih terbuka terhadap partisipasi masyarakat. Kegagalan membangun institusi dalam penyediaan ruang kepada masyarakat, akan menghancurkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Ruang dan institusi yang dimaksud adalah partisipasi, transparansi dan keadilan (Chalid, 2005). Kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 sebagai pengganti UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 33 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah melimpahkan kewenangan yang semakin luas kepada Pemerintah Daerah. Misi utama kedua UU tersebut adalah desentralisasi, yang sejauh ini telah membawa perubahan mendasar pada pola hubungan antar pemerintahan, keuangan antar pusat dan daerah, memperkokoh sendi-sendi perekonomian daerah, serta penyediaan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat (Mardiasmo, 2002; Noor, 2012). Konsekuensi dari pelimpahan wewenang tersebut, makasalah satu tujuan dari UU No. 33 tahun 2004 adalah perbaikan efisiensi ekonomi, perbaikan akuntabilitas, peningkatan mobilitas dana dan keadilan (Salam, 2007). Dalam kerangka tersebut, seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia setiap tahunnya harus merencanakan, menyusun dan melaksanakan seluruh kegiatan dan pendanaan yang sudah terangkum dalam rencana keuangan tahunan berupa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penyusunan anggaran diupayakan 2
dapat mempertajam keutamaan penggunaan dana yang tersedia untuk pembiayaan program yang menjadi prioritas pembangunan daerah. Anggaran dalam instrumen (APBD) tersebut merupakan terjemahan dari berbagai macam kebijakan pemerintah dalam politik, darimana uang itu diperoleh dan kemudian digunakan untuk apa saja. Dari kebijakan anggaran yang dibuat, dapat tercermin apakah pemerintah memperhatikan kebutuhan rakyat atau hanya menguntungkan pihak elit saja (Suhadak dan Nugroho, 2007). Hal ini berarti bahwa pengelolaan anggaran publik tidak hanya dimaksudkan sekedar menghabiskan dana semata, namun harus dibelanjakan sesuai dengan prioritas dan target yang akan dicapai. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mardiasmo (2002), anggaran merupakan alat bagi Pemerintah Daerah untuk menjamin kesinambungan pembangunan serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Kemampuan
daerah
dalam
mengelola
anggarannya
mencerminkan
kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas dan fungsi pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat. Namun demikian, dinamika pengelolaan keuangan daerah saat ini masih dihadapkan berbagai macam permasalahan. Pengelolaan anggaran dalam pelaksanaan Otonomi Daerah masih terus memerlukan pembenahan, terutama dalam penyediaan pelayanan publik yang sejauh ini masih belum menunjukkan pencapaian yang signifikan (Mendagri, 2012). Dalam kajian sisi belanja, permasalahan yang sering terjadi mencakup ketidakdisiplinan belanja Pemerintah Daerah terhadap prioritas pembangunan, 3
rendahnya
penyerapan
belanja, masalah
pengelolaan anggaran, serta
akuntabilitas dan transparansi
adanya kasus „pasar keliru‟ dan „jembatan
abunawas‟ yang menyebabkan inefisiensi, dan anggaran tidak efektif semakin tinggi (Tim Asistensi Desentralisasi Fiskal, 2013a). Dilain sisi, nilai penyimpangan anggaran yang dilakukan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) cenderung naik. Kasus-kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menyeret para pejabat Negara merupakan indikasi buruk atas pengelolaan anggaran publik. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) 1-2014 Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK)
menyebutkan,
temuan
penyimpangan
dalam
bentuk
ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan mencapai Rp10,93 triliun. Modus yang sering dipakai adalah penggelembungan nilai pengadaan barang dan jasa yang mencapai Rp 527 miliar, kemudian perjalanan dinas fiktif atau ganda yang membuat negara merugi Rp 92,83 miliar selama semester 1-2014 (BPK, 2014a). Dalam IHPS I-2015, nilainya kembali meningkat, meliputi 7.890 permasalahan ketidakpatuhan ketentuan perundang-undangan senilai Rp 33,46 triliun. Sebanyak 4.609 masalah berdampak finansial pada kerugian negara Rp 2,26 triliun, potensi kerugian Rp 11,51 triliun dan kekurangan penerimaan Negara senilai Rp 7,85 triliun (Kompas, 06 Oktober 2015). Kabupaten Halmahera Barat merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Maluku Utara. Awalnya Halmahera Barat merupakan Kabupaten Maluku Utara (Kabupaten induk). Setelah diberlakukannya UU No. 1 Tahun 2003, nama 4
Kabupaten Maluku Utara diubah menjadi Kabupaten Halmahera Barat. Sebagai tolok ukur perkembangan desentralisasi fiskal, studi Kemenkeu (2013a) tentang tingkat kesehatan keuangan daerah dengan menggunakan indikator pendapatan daerah per kapita, kemandirian keuangan daerah, ruang fiskal daerah, peningkatan pajak daerah dan retribusi daerah, kemampuan mendanai belanja daerah, belanja modal, belanja pegawai tidak langsung, optimalisasi SiLPA, dan kemampuan pembayaran pokok hutang dan bunga daerah, menunjukkan bahwa secara keseluruhan Kabupaten Halmahera Barat termasuk dalam kategori Kabupaten dengan tingkat kesehatan keuangan daerah rendah. Hasil kajian Suaib (2014) memberikan beberapa penjelasan; pertama,indeks kinerja keuangan daerah Kabupaten Halmahera Barat masih rendah, akibat tingginya ketergantungan fiskal disebabkan besarnya belanja pegawai. Kedua, secara umum indeks kinerja pelayanan publik Kabupaten Halmahera Barat relatif belum stabil, sebab terbatasnya sarana prasaran, sebaran guru maupun tenaga kesehatan belum merata serta kualitas infrastruktur jalan khususnya jalan Kabupaten masih kurang baik. Ketiga, rendahnya kualitas aparatur disebabkan oleh minimnya persentase aparatur yang berpendidikan sarjana. Implikasinya, dari dimensi kemandiran daerah, rasio PAD terhadap total pendapatan Kabupaten Halmahera Barat sampai pada tahun 2013 hanya 2,02%, masih jauh dibawah rata-rata Kabupaten Kota di Provinsi Maluku Utara yang sebesar 7,70% (Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Maluku Utara, 2014; BPKAD Kabupaten Halmahera Barat). Berdasarkan pola dan struktur 5
perekonomian hingga di tahun 2015, Kabupaten Halmahera Barat masih tergolong sebagai Kabupaten yang relatif tertinggal di wilayah Provinsi Maluku Utara (Bappenas, 2015). Bersamaan dengan itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai representasi indikator kesejahteraan menunjukan bahwa Kabupaten Halmahera Barat hingga tahun 2013 masih menempatkan posisi ke-8 dari 9 Kabupaten dan Kota di wilayah Provinsi Maluku Utara (BPS Maluku Utara, 2014). Salah satu masalah mendasarnya adalah urgensi belanja daerah yang belum sepenuhnya mencerminkan keberpihakan terhadap kepentingan publik dan stimulus bagi proses percepatan pembangunan di daerah. Studi Kemenkeu (2013a) menunjukan bahwa pergerakan perekonomian di Provinsi Maluku Utara sangat dipengaruhi oleh realisasi belanja dalam APBD. Hal ini ditunjukkan oleh rasio realisasi belanja terhadap PDRB di Provinsi Maluku Utara mencapai 82, 8%, Maluku 59% dibandingkan dengan daerah-daerah di Jawa yang hanya berkisar 6-7%. Ada indikasi bahwa sejauh ini pola belanja daerah dinilai belum maksimal mendorong sektor-sektor strategis dan pembangunan infrastruktur yang sangat bermanfaat dalam mendorong aktifitas perekonomian daerah. Berbagai studi telah menyebutkan bahwa anggaran yang disediakan untuk investasi infrastruktur, baik yang diukur dengan kuantitas maupun kualitas infrastruktur berdampak positif pada pertumbuhan jangka panjang dan berdampak negatif pada ketimpangan pendapatan (Calderon dan Sevren, 2008). Dari dimensi pembangunan manusia, World Bank (1991) dengan tegas 6
menyatakan bahwasanya tantangan utama pembangunan adalah memperbaiki kualitas kehidupan yang tidak sekedar mensyaratkan pendapatan yang tinggi, namun syarat penting lainnya yang harus terpenuhi adalah pendididkan yang lebih baik, peningkatan standar kesehatan dan pemberantasan kemiskinan. Temuan Adekola (2014), Gennaioli, La Porta, Slanes dan Shleifer (2013) menyimpulkan bahwa rezim yang memperbesar investasi publiknya untuk modal manusia pada akhirnya berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan menjadi estimasi yang penting dalam mengukur perbedaaan pembangunan antar daerah. Sukar dibayangkan ada kelompok masyarakat yang aktif berpartisipasi dalam proses pembangunan tanpa diinjeksi dengan keberpihakan belanja pada bidang pendidikan dan keterampilan, peningkatan standar kesehatan, dan dukungan infrastruktur yang memadai. Isu desentralisasi yang diperbincangkan sejauh ini banyak dikaitkan dengan permasalahan pendapatan yang ditransfer. Padahal permasalahan disisi belanja juga tidak kalah pentingnya dalam mewujudkan proram-program Otonomi Daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Alasannya jelas, dari sisi belanja akan dapat dilihat dan dideteksi permasalahan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, baik dari indikator belanja aparatur maupun belanja untuk pelanyanan publik (Mulyanto, 2007). Artinya, peningkatan pelayanan publik adalah kondisi yang terjadi di hilir, sehingga permasalahan di hulu menjadi tahapan yang krusial untuk dibenahi. Dalam konteks inilah, tuntutan atas peningkatan kualitas belanja daerah terus mengemuka. 7
Secara normatif, atribut belanja berkualitas telah disebutkan dalam Pasal 4 ayat 1 PP No. 58 Tahun 2005 yang berbunyi “keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memerhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat”. Ketentuan ini menjadi amanat UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004. Norma ini serupa dengan Azas Keuangan Negara seperti diatur dalam UU No.17 Tahun 2003. Merujuk pada landasan tersebut, TADF (2013a) mendefinisikan belanja berkualitas adalah belanja yang dialokasikan berdasarkan prioritas pembangunan daerah yang dilakukan secara efisien dan efektif, tepat waktu, transparan dan akuntabel. Pengejawantahannya,belanja daerah perlu diprioritaskan pada peningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan publik, berupa pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, perizinan, dan fasilitas umum yang layak, serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Pencapaian ini diharapkan berimplikasi dan menjadi stimulus bagi proses percepatan pembangunan di daerah. Dengan demikian, komitmen Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kualitas belanja dapat menjadi langkah strategis, tidak hanya untuk menyiasati kendala penganggaran, tetapi juga berkontribusi pada penguatan kemandiran fiskal daerah. Dalam kerangka tersebut, maka studi empirik terkait dengan tema kualitas belanja daerah menjadi penting untuk dilakukan. Sebagaimana dalam deksripsi sebelumnya, fokus kajian ini menempatkan Kabupaten Halmahera Barat sebagai 8
unit analisis untuk dikaji. Sebagai Kabupaten induk, Halmahera Barat termasuk Kabupaten yang relatif tertinggal perkembangan ekonominya, tertinggal pada dimensi pembangunan manusianya, serta rendah kinerja kemandiran fiskalnya dibandingkan dengan rata-rata Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara. Gambaran atas kondisi tersbut dapat ditunjukkan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Gambaran Makro Sosial-Ekonomi Kabupaten dan Kota di Provinsi Maluku Utara Indikator Kabupaten/Kota
Halmahera Barat Halmahera Tengah Halmahera Selatan Halmahera Timur Halmahera Utara Pulau Morotai Kepulaua Sula Kota Tidore Kepulauan Kota Ternate Rata-rata
Tahun 2011-2013
Tahun 2013
Tahun 2013
Tahun 2013
Tahun 2013
PE (persen)
PDRB/Kap (rupiah)
Kemandiran Keuangan (persen)
Rasio Belanja Infrastruktur (persen)
IPM (Poin)
Tingkat Kemiskinan (persen)
5,57 6,79 6,24 6,58 7,51 6,81 6,27 6,13 7,91 6,64
2442376 5904665 3061853 2568027 2664653 2148332 3249851 3270454 3620645 3214540
2,02 4,03 9,22 15,55 15,57 1,93 11,83 2,43 6,72 7,70
14,38 38,66 21,96 39,41 23,62 31,81 39,22 17,55 19,48 27,34
68,56 70,55 69,45 69,42 70,36 67,03 69,59 70,8 78,44 70,46
9,78 17,44 6,04 16,43 5,9 9,18 9,16 5,77 3,24 9,22
Sumber: BPS Provinsi. Maluku Utara (2014); Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Maluku Utara (2014). Diolah *Tidak termasuk Kab. Pulau Taliabu Berdasarkan tabel 1.1 dapat dideskripsikan bahwa dari berbagai indikator yang digunakan, tidak ada satu pun capaian indikator untuk Kabupaten Halmahera Barat yang secara kuantitatif nilainya di atas rata-rata Kabupaten dan Kota di Provinsi Maluku Utara. Sebaliknya, tingkat kemiskinan, angkanya masih di atas rata-rata Kabupaten dan Kota. Hal ini mengindikasikan bahwa akumulasi
9
dari permasalahan tersebut, tentunya memiliki relasi dengan sejauhmana keberpihakan Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat dalam memprioritaskan belanjanya untuk percepatan proses pembangunan di daerah. Demikian, studi terhadap kualitas belanja daerah di Kabupaten Halmahera Barat menjadi tema yang mendesak untuk diteliti. B. Rumusan Masalah Merujuk dari deskripsi yang diuraikan dalam latar belakang, maka masalah dalampenelitian ini adalah bagaimanakah kualitas belanja daerah di Kabupaten Halmahera Barat. Adapun masalah tersebut, dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kesesuaian antara kinerja dan harapan terhadap kualitas belanja Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat ? 2. Bagaimanakah disiplin belanja terhadap prioritas pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat ? 3. Bagaimanakah ketepatan alokasi belanja Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat ? 4. Bagaimanakah ketepatan waktu penetapan APBD Kabupaten Halmahera Barat ? 5. Bagaimanakahefisiensi dan efektifitas belanja Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat? 6. Bagaimanakah akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan belanja Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat? 10
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: 1. Kesesuaian antara kinerja dan harapan terhadap kualitas belanja Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat 2. Disiplin belanja terhadap prioritas pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat 3. Ketepatan alokasi belanja Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat 4. Ketepatan waktu penetapan APBD Kabupaten Halmahera Barat 5. Efisiensi dan efektifitas belanja Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat 6. Akuntabilitas dan transparansi pengelolaan belanja Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan teori dalam kajian kualitas belanja Pemerintah Daerah. Di lain sisi, diharapkan menjadi stimulus untuk penelitian selanjutnya sehingga dapat memperluas khasanah pengetahuan dalam kajian analisa keuangan daerah. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan berimplikasi pada kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat, khususnya yang terkait dengan upaya meningkatkan kualitas belanja daerah. 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teoritis 1. Prinsip-Prinsip Pengelolaan Keuangan Daerah Di era Otonomi Daerah, format pengelolaan keuangan disusun dengan menggunakan pendekatan kinerja. Pendekatan ini menekankan pada hasil pencapaian program-program pembangunan yang didasarkan pada desain perencanaan anggaranyang ditetapkan. Ritonga (2010, dalam Halim dan Kusufi, 2012:103) menyatakan bahwa kelemahan yang ada selama ini (teruama untuk Pemerintah Daerah) adalah lemahnya kualitas perencanaan anggaran. Pemerintah daerah masih cenderung menggunakan paradigma lama, yaitu penyusunan program hanya berdasarkan „kebiasaan‟ tahun-tahun sebelumnya dengan penentuan anggaran yang bersifat inkremental. Fenomena ini diperburuk lagi dengan kondisi Pemerintah Daerah yang tidak mampu meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan.Di lain sisi pengeluaran terus meningkat secara dinamis, tetapi tidak disertai dengan penentuan skala prioritas dan besarnya plafon anggaran. Studi Arnet (2014) tentang kondisi fiskal di 50 negara menemukan bahwa negara-negara dengan kondisi fiskal terburuk, disebabkan oleh manajemen keuangan yang buruk selama bertahun-tahun. Argumen mendasar yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena tersebut adalah tercerabutnya prinsip-prinsip dasar dalam pengelolaan 12
keuangan publik di daerah. Hampir pasti dapat disetujui bahwa pengelolaan keuangan daerah sejauh ini masih dihadapkan pada berbagai permasalahan. Dinamika ketergantungan finansial daerah kepada pusat, banyak daerah yang masih memperoleh Opini Tidak Wajar dari BPK, masalah transparansi dan akuntabilitas, penggunaan anggaran yang belum efisien dan efektif hingga perilaku Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang membudaya, merupakan potret buruknya pengelolaan anggaran publik. Pelimpahan wewenang di era Otonomi Daerah, dengan sendirinya memberikan ruang yang relatif besar kepada daerah untuk menyusun kebijakan terkait dengan penggunaan anggaran publik. Dalam konteks tersebut, Mardiasmo (2002) berpandangan bahwa untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah, diperlukan prinsip manajemen pengelolaan yang meliputi: 1) Akuntabilitas Prinsip ini mensyaratkan bahwa pimpinan-pimpinan di daerah dalam pengambilan keputusan harus berperilaku sesuai dengan mandat yang diterimanya. Mandat itu merupakan amanah dari ketentuan perundangundangan yang berlaku, di mana keputusan yang diambil terkait dengan penganggaran publik harus mencerminkan keberpihakan kebijakan pada kepentingan publik. Untuk itu, perumusan kebijakan bersama-sama dengan cara dan hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal dengan baik. 13
2) Value for Money Dalam konteks Otonomi Daerah, konsep value for money merupakan jembatan untuk mengantarkan Pemerintah Daerah untuk mencapai good governance. Operasionalisasi dari konsep ini (value for money) terlihat pada sejauhmana pengelolaan anggaran publik memenuhi nilai-nilai ekonomis, efisien, dan efektif. Dengan demikian, diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah yang baik. Hal tersebut dapat dicapai apabila Pemerintah Daerah memiliki sistem akuntansi yang baik. 3) Kejujuran dalam mengelola keuangan publik (probity) Dalam pengelolaan keuangan daerah, prinsip ini sangat diperlukan sehingga menghindari perilaku yang mengarah pada Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dalam pengelolaan keuangan daerah. Dalam pandangan Dhakidae (2013), korupsi lebih berhubungan dengan perkembangan modern terbesar, yaitu birokrasi dan modal. Dalam konteks pengelolaan keuangan daerah, Pemerintah Daerah adalah „rumahnya‟ birokrasi. Oleh karena itu, tindakan-tindakan yang mengarah pada „pembunuhan‟ korupsi harus di mulai dari integritas seorang Kepala Daerah melalui kebijakannya untuk memilih sumberdaya-sumberdaya manusia birokrasi yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi dalam pengelolaan anggaran publik.
14
4) Transparansi Prinsip ini menghendaki keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat pada umumnya. Dalam perspektif ekonomi politik, jika elemen ini tidak cukup kuat maka Pemerintah Daerah yang mempunyai potensi ekonomi sangat kuat cenderung memiliki kewenangan politik yang cukup kuat pula. Absennya civil society dan kelemahan di pihak rakyat akan menstimulasi Pemerintah Daerah cenderung menjadi otoriter (Rachbini, 2001). Transparansi pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dan masyarakatnya sehingga tercipta Pemerintahan Daerah yang bersih, efisien, efektif, akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat 5) Pengendalian Penerimaan dan pengeluaran daerah (APBD) harus sering dimonitor, yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu dilakukan analisis varian (selisih) terhadap penerimaan dan pengeluaran daerah agar dapat sesegara mungkin dicari penyebab timbulnya varian dan tindakan antisipasi ke depan.Dalam makna yang lebih luas, tindakan pengendalian diharapkan dapat memastikan apakah belanja APBD sudah sesuai dengakn kaidah-kaidah manajemen pengelolaan keuangan daerah. Di lain sisi, apakah anggaran yang sudah 15
dibelanjakan itu benar-benar menjawab permasalahan pembangunan di daerah. Secara
eksplisit, prinsip-prinsip tersebut
diurai
dalam
ketentuan
perundangan-undangan, sebagaimana berikut: “Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat”(PP No. 58 Tahun 2005 Pasal 4 ayat 1). Ketentuan ini menjadi amanat UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004. Bila dirunut kebelakang, norma ini serupa dengan Azas Keuangan Negara seperti diatur dalam UU No.17 Tahun 2003. Landasan tersebut diperjelas dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 pasal 4 sebagai berikut: 1) Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan,dan manfaat untuk masyarakat. 2) Secara tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bahwa keuangan daerah dikelola secara tepat waktu dan tepat guna yang didukung dengan bukti-bukti administrasi yang dapat dipertanggungjawabkan. 3) Taat pada peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bahwa pengelolaan keuangan daerah harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan. 4) Efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil. 5) Efisien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu. 6) Ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang terendah. 16
7) Transparan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-Iuasnya tentang keuangan daerah. 8) Bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perwujudan kewajiban seseorang untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. 9) Keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan pendanaannya dan/atau keseimbangan distribusi hak dan kewajiban berdasarkan pertimbangan yang obyektif. 10) Kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan wajar dan proporsional. 11) Manfaat untuk masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bahwa keuangan daerah diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Prinsip-prinsipinilah yang menjadi concern dalam pengelolaan keuangan daerah berbasis kinerja.Dalam konteks yang lebih sempitadalah pengelolaan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dilakukan setiap tahun sekali oleh daerah, baik oleh Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten/Kota (Mulyanto, 2007). “Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. (UU No. 17 Tahun 2003 pasal 1 ayat 8) Kata „rencana‟ dalam ketentuan tersebut perlu dimaknai sebagai „bahasa strategis‟, yang berarti bahwa APBD tidak sekedar disusun karena untuk memenuhi tuntutan-tuntutan teknis,
tetapi lebih dari itu adalah untuk
merencanakan solusi-solusi atas permasalahan pembangunan di daerah. Sementara kata „disetujui‟ perlu dimaknai sebagai perwujudan dari penilaian17
penilaian profesional dari DPRD atas dimensi tolok ukur dari program atau kegiatan yang tertuang dalam dokumen APBD.Dengan sudut pandang seperti itu, maka pelaksanaan APBD diharapkan merepresentasikan nilai-nilai taat dan tertib pada ketentuan perundang-undangan, efisien dan efektif, adil, transparan dan bertanggungjawab, serta menjadi problem solving untuk permasalahan pembangunan di daerah. 2. Urgensi Belanja Daerah Dinamika pengelolaan keuangan daerah sejauh ini menunjukan terus meningkatnya kegiatan pemerintah seiring dengan meningkatnya belanja daerah. Namun demikian, peningkatan belanja tersebut tidak secara otomatis dapat mendorong percepatan dan pemerataan pembangunan. Zali, Ahmadi dan Faroughi(2013) dalam studi di Provinsi Azerbaijan Timur menyebutkan bahwa ketimpangan distribusi infrastruktur pelayanan sosial dan ekonomi terjadi bukan sekedar karena karakteristik lingkungan, tetapi kebijakan anggaran pembangunan yang terlalu terpusat dan tidak berkeadilan. Fenomena seperti ini menjadi rujukan yang penting untuk kembali memperjelas urgensi belanja daerah. Dalam UU No. 17 Tahun
2003,
Permendagri No. 13 Tahun 2006 dan PP No 58 Tahun 2005 disebutkan: “Belanja daerah didefinisikan sebagai kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih” Dalam kajian keuangan publik (public finance), belanja pemerintah menempati posisi yang sangat penting dalam rangka memaksimalkan fungsi-
18
fungsi pemerintah. Musgrave dan Musgrave (1989) mengurai 3 (tiga) fungsi utama pemerintah dalam kebijakan anggaran, yaitu: 1. Fungsi alokasi Fungsi alokasi bermakna bahwa pemerintah adalah satu-satunya subjek yang dipandang rasional dalam menyediakan barang publik. Dasarnya, dalam hal penyediaan barang publik, mekanisme pasar tidak lagi berfungsi karena konsumen tidak bersedia membayar untuk sifat barang yang manfaatnya tersedia untuk semua orang, sehingga hubungan antara konsumen dan produsen menjadi terputus. Dalam pengertian ini, pemerintah berkewajiban mempraktikkan fungsi alokasinya untuk menyediakan barang publik tersebut. Proses alokasi tersebut sangat tergantung pada bagaimana pemerintah mengelola anggaran belanjanya, sehingga dapat menentukan seberapa banyak barang tersebut disediakan, seberapa besar dananya harus disediakan, dan sebagainya. 2. Fungsi Distribusi Fungsi distribusi menekankan pada penyesuaian terhadap distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin
terpenuhinya apa yang
dianggap oleh masyarakat sebagai suatu keadaan distribusi yang merata dan adil. Umumnya, capaian ini tergantung pada distribusi sumberdaya alam
(factor
endowment)
termasuk
kemampuan personal
dalam
menghasilkan pendapatan serta kepemilikan akumulasi dan warisan kekayaan. Dalam konteks ini, kebijakan anggaran belanja dimaksudkan 19
agar menjadi stimulus dan pendorong bagi kegiatan-kegiatan produktif di masyarakat. Dengan demikian, masyarakat diharapkan memiliki peluang dalam meningkatkan pendapatannya dari berbagai sektor kegiatan. 3. Fungsi Stabilitas Fungsi stabilitas menekankan pada penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas yang semestinya dan laju pertumbuhan ekonomi yang
tepat
dengan
memperhitungkan
segala
akibatnya
terhadap
perdagangan dan neraca pembayaran. Untuk menjalankan fungsinya ini, maka pemerintah dapat melaksanakannya melalui pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Dalam penggunaannya, berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006, belanja daerah diprioritaskan untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Pelaksanaan urusan wajib dimaksud berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Dilihat dari klasifikasi belanja daerah menurut kelompok belanja, maka Permendagri No. 13 Tahun 2006 membaginya ke dalam kelompok belanja 20
tidak langsung dan kelompok belanja langsung.Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Sedangkan kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Adapun klasifikasi belanja daerah berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006 disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Klasifikasi Belanja Daerah berdasarkan Kelompok Belanja Belanja Tidak Langsung Belanja Langsung a. Belanja pegawai a. Belanja pegawai b. Bunga b. Belanja barang dan jasa; dan c. Subsidi c. Belanja modal. d. Hibah e. Bantuan sosial f. Belanja bagi basil g. Bantuan keuangan; dan h. Belanja tidak terduga. Sumber : Permendagri No 13 tahun 2006 Berdasarkan pengelompokan belanja daerah pada tabel 2.1, secara implisit dapat ditafsir bahwa ketika struktur APBD lebih didominasi oleh kelompok belanja tidak langsung, maka porsi alokasi pada kelompok belanja langusng akan berkurang. Konsekuensinya, Pemerintah Daerah akan kesulitan dalam mendorong peningkatan program-program pelayanan dasar masyarakat seperti infrastruktur jalan dan jembatan, serta fasilitas pendidikan dan kesehatan, yang jenis kegiatannya didanai melalui kelompok belanja langsung. 21
Dalam struktur anggaran publik (APBD), belanja pegawai dan belanja lain-lain bersifat konsumtif sehingga cenderung menciptakan kebocoran, sementara belanja modal serta belanja barang dan jasa bersifat investasi sehingga cenderung menjadi injeksi. Artinya, jika terjadi pergeseran dari belanja yang sifatnya konsumsi ke belanja yang bersifat investasi berarti hal itu merupakan indikasi yang baik (Kemenkeu, 2013b). Penekanan ini tidak mengandung arti bahwa kelompok belanja tidak langsung dipandang tidak penting. Misalnya belanja hibah dan bantuan sosial, belanja tak terduga, dan jenis belanja lainnya yang tergolong dalam belanja tidak langsung. Penafsiran atas sifat dari kelompok belanja ini dimaksudkan untuk memperjelas makna dari urgensi belanja daerah. Artinya dalam isyarat ketentuan perundang-undangan (salah satunya Permendagri No 13 Tahun 2006), filosofi pengalokasian anggaran pada kelompok belanja tidak langsung sebisa mungkin menurun setiap tahunnya, kecuali untuk pembiayaan yang tidak terduga. Jika kecenderungan ini tidak terjadi, maka ada indikasi bahwa belanja yang dianggarkan belum efisien dan efektif. Sebagai contoh, belanja pegawai sulit ditekan oleh sebagian besar Pemerintah Daerah, karena sepenuhnya belum fokus pada agenda reformasi birokrasi. Fungsi dan tugas yang masih tumpang-tindih, „hasrat‟ membuka lowongan CPNSD, padahal yang tersedia relatif banyak. Dalam kasus seperti belanja hibah dan bantuan sosial untuk masyarakat miskin, jika alokasi belanjanya benar-benar efisien dan efektif, 22
maka permasalahan yang dihadapi masyarakat cenderung cepat terjawab. Artinya jika belanjanya tepat, masyarakat ini diharapkan bisa mandiri sehingga ruang fiskal yang tersedia dapat mendanai infrastruktur sosialekonomi, seperti jalan, jembatan, irigasi, fasilitas pendidikan, kesehatan, yang semuanya diharapkan mempercepat proses pembangunan di daerah. Penjelasan ini sejalan dengan ketentuan perundang-undangan, misalnya Permendagri No. 26 Tahun 2006 mengamanahkan belanja daerah yang dianggarkan dalam APBD digunakan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Hal ini dapat dicapai apabila belanja daerah disusun berdasarkan pendekatan prestasi kerja yang bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas serta memperjelas efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran. Prinsipnya, urgensi belanja daerah bukan terletak pada masalah keberpihakan pada porsi belanja langsung atau belanja tidak langsung, tetapi pengelolaan kedua kelompok belanja tersebut perlu mengikuti kaidah-kaidah manajemen belanja yang benar. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui penyusunan anggaran berbasis kinerja, sehingga akan nampak bahwa anggaran yang digunakan untuk kegiatan tertentu (misalnya belanja bantuan sosial dan hibah) tidak menciptakan ketergantungan terus menerus dalam setiap tahun anggaran. Dengan interpretasi seperti itu, maka anggaran 23
sebagai alat politik fiskal (Suparmoko, 1994) benar-benar memainkan perannya untuk mempercepat proses pembangunan di daerah. 3. Indikator Kualitas Belanja Daerah Kualitas belanja daerah menunjukkan karakteristik belanja yang memenuhi nilai-nilai efisiensi, efektifitas, keadilan, akuntabilitas dan responsif (Lewis, 2007 dalam Bappenas, 2011).Secara normatif, nilai-nilai tersebut disebutkan juga dalam UU No.17 Tahun 2003, UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004, PP No. 58 Tahun 2005, serta Permendagri No. 13 Tahun 2006 pada bagian yang mengatur Azas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah. Manifestasi dari ketentuan tersebut, TADF (2013a) mendefinisikan belanja yang berkualitas merupakan belanja yang dialokasikan berdasarkan prioritas pembangunan daerah yang dilakukan secara efisien dan efektif, tepat waktu, transparan dan akuntabel. Pada dasarnya manajemen belanja daerah merupakan bagian dari manajemen pengelolaan keuangan daerah, sehingga manajemen belanja daerah merupakan implikasi teoritis dari prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah. Dengan perkataan lain, jika nilai-nilai dalam konsep kualitas belanja daerah berhasil diwujudkan sepenuhnya oleh Pemerintah Daerah, maka pengelolaan daerah pada umumnya di Pemerintah Daerah tersebut relatif semakin membaik. Merujuk pada landasan tersebut di atas, maka keterkaitan antara atribut dan indikator kualitas belanja daerah dapat ditunjukan pada Bagan 2.1. 24
Bagan 2.1. Keterkaitan Atribut dan Indikator Kualitas Belanja Daerah Ketepatan alokasi belanja : 2. Alokasi belanja modal 3. Alokasi belanja hibah dan bansos 4. Alokasi belanja pegawai
Disiplin Belanja : 1. Disiplin belanja terhadap prioritas pembangunan
Cost Efficient dan Effectiveness : 6. Efisiensi/ekonomis 7. Efektifitas
Ketepatan Waktu : 5. Tepat waktu penetapan APBD
Akuntabilitas dan Transparansi : 8. Dapat dipertanggungjawabkan 9. Dapat diakses publik Sumber : TADF (2013a) ; Lewis, 2006 dalam Bappenas (2011) Peningkatan kualitas belanja daerah dapat ditempuh dengan membuat suatu kebijakan yang dapat mendorong Pemerintah Daerah untuk disiplin dalam merencanakan dan mengimplementasikan hal-hal yang menjadi prioritas di daerahnya (Kemenkeu, 2014). Kebijakan ini akan mendorong pemerintah daerah untuk mengalokasikan belanja daerah secara tepat, seperti misalnya meningkatkan alokasi belanja modal, menggunakan belanja pegawai secara proporsional dan sesuai dengan kebutuhan, mendorong ketepatan waktu dalam penetapan APBD,
serta menyelenggarakan
pertanggungjawaban terhadap penggunaan belanja hibah dan bansos secaratransparan. Proses ini diharapkan dapat menciptakan efisiensi yang terwujud dari pengehematan penggunaan anggaran pada setiap kegiatan, kemudian
25
mendorong efektifitas sehingga menjadi problem solving atas kebutuhan masyarakat (Lewis, 2006 dalam Bappenas, 2011). Pengujian atas efisiensi dan efektifitas belanja akan tercermin dari sejauhmana penggunaan anggaran dapat dipertanggungjawabkan dan dapat diakses oleh publik. Secara
teoritis,
akuntabilitas
bukan
sekedar
kemampuan
mempertanggungjawabkan bagaimana uang publik dibelanjakan, tetapi meliputi kemampuan menunjukan bahwa uang publik tersebut telah dibelanjakan secara ekonomis, efisien dan efektif (konsep value for money). Dilain sisi, anggaran belanja adalah alat untuk menciptakan ruang publik. Artinya masyarakat dan elemen masyarakat nonpmerintah lainnya harus terlibat dalam proses penganggaran publik (Halim dan Kusufi, 2012). Belanja
daerah
yang
berkualitas
diharapkan
dapat
mendukung
terselenggaranya pelayanan publik sesuai tujuan desentralisasi. Oleh Mendagri (2012), kebijakan desentralisasi melalui pemberian otonomi seluas-luasnya memiliki dua tujuan utama. Pertama adalah tujuan kesejahteraan, yaitu menjadikan Pemerintah Daerah sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan di tingkat lokal melalui pemberian pelayanan publik dan menciptakan daya saing daerah yang pada gilirannya akan menyumbang kepada kesejahteraan nasional. Kedua adalah tujuan politik, yaitu Pemerintah Daerah akan menjadi instrumen pendidikan politik di tingkat lokal yang kalau berhasil akan menyumbang kepada pendidikan
26
politik nasional, untuk mendukung proses demokratisasi dalam mewujudkan masyarakat madani. 4. Desentralisasi Fiskal dan Implikasi Belanja Pemerintah terhadap Proses Percepatan Pembangunan Daerah Salah satu aspek desentralisai adalah desentralisasi fiskal, dimana aspek ini merupakan komponen utama dari desentralisasi (Sidik, 2005;Sharma, 2005). Wacana tentang desentralisasi fiskal seringkali diperhadapkan dengan kondisi yang paradoksial. Misalnya studi Saputra (2012) menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat desentralisasi fiskal maka semakin tinggi tingkat korupsi di Indonesia. Sementara studi Sasana (2009) di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah menyimpulkan bahwa peran desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap kinerja ekonomi. Dalam hal pertumbuhan ekonomi, kajian Situngkir, Sirojuzilam, dan Suriadi (2014) terhadap beberapa penelitian menunjukan kesimpulan yang berbeda, di mana hasil penelitian dari Davoodi dan Zou (1998), Zhang dan Zou (1998), dan Xie et al (1999) menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan hasil penelitian Akai dan Sakata (2002), Desai et al. (2003), dan Thiessen (2003) menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara hasil penelitian Woller dan Phillips (1998), Baskaran dan
Feld
(2009)
gagal
mendapatkan pengaruh
desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi. 27
Sumarsono dan Utomo (2009) dalam studi di Provinsi Jawa Timur menyimpulkan
bahwa
kebijakan
desentralisasi
fiskal
pada
aspek
pembelanjaan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan berdampak pada stabilitas makroekonomi. Sasana dan Ratri Furry (2013) dalam studi di Kota Serang menunjukan bahwa pemekaran Kota Serang dari daerah induknya (Kabupaten Serang) memberikan penjelasan bahwa pemekaran daerah berdampak pada perbaikan kinerja ekonomi dan kinerja pelayanan publik. Dari rujukan tersebut, sangat memungkinkan bahwa desentralisasi fiskal menjadi pilihan yang masih relatif lebih baik dari „sentralisasi fiskal‟. Sebagaimana dalam pandangan Lay (2006) bahwa pemencaran kekuasaan pengelolaan fiskal jelas akan menihilkan terjadinya konsentrasi kekuasaan fiskal secara spasial dengan segala akibat negatifnya. Hal terpenting dari desentralisasi fiskal adalah mendekatkan pemerintah dengan rakyat yang diwujudkan dalam kesediaan pelayanan publik maupun keterlibatan rakyat dalam proses pembangunan.Dengan demikian, keberhasilan desentralisasi fiskal
sangat
tergantung
pada
kebijakan
PemerintahDaerah
untuk
meningkatkan pendapatan, transparansi serta bertanggungjawab terhadap belanja daerah (Bahl, 1999). Menurut Oates (1993) desentralisasi fiskal akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, karena Pemerintah Daerah akan lebih efisien dalam produksi dan penyediaan barang-barang 28
publik. Pengambilan keputusan pada level Pemerintah Daerah akan lebih didengarkan dan lebih berguna bagi efisensi alokasi. Dalam pandangan Sriyana (2015), desentralisasi fiskal yang tidak dikelola dengan tepat akan merugikan perekonomian daerah karena terjadi ketidakefisiensi dan mendorong terjadinya ilusi fiskal. Sebagaimana yang dipertegas oleh Rachbini (2001), pengaturan yang salah dalam era desentralisasi tidak lebih sebagai perpindahan pola sentralisasi dari Pusat ke Daerah. Dalam konteks ini, maka belanja daerah diharapkan mempunyai implikasi
pada
percepatan
pembangunan
daerah.
Dalam
literatur
pembangunan ekonomi, salah satu indikator kinerja perekonomian daerah adalah peningkatan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu daerah. Secara teoritis, salah satu faktor pembentuk PDRB adalah belanja pemerintah (government spending). Faktor belanja Pemerintah Daerah dalam PDRB menunjukkan kontribusi dari anggaran daerah yang dibelanjakan pada pembentukan PDRB di daerah tersebut. Dalam perspektif ekonomi makro, secara matematis peranan belanja pemerintah dapat ditulis dalam rumusan identitas (Dornbusch dan Fischer, 1987) berikut: Y = C + I + G + NX
(2.1)
Formula ini dikenal sebagai identitas pendapatan nasional, sekaligus mencerminkan penawaran agregat. Sedangkan variabel-variabel di ruas kanan disebut permintaan agregat. Variabel G menyatakan belanja 29
pemerintah (Government expenditures), I adalah investment, NX adalah net ekspor. Dengan mengamati nilai G terhadap Y dari waktu ke waktu dapat diketahui seberapa besar kontribusi belanja pemerintah dalam pembentukan permintaan agregat untuk menggerakan aktifitas perekonomian. Namun
demikian,
mengingat
masih
banyak
faktor
lain
yang
memengaruhi pertumbuhan PDRB maka tidak serta merta realisasi belanja daerah akan secara otomatis memengaruhi laju pertumbuhan PDRB.Dalam perspektif ekonomi publik, Musgrave (1983 dalam Prasetya, 2012) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil.Namun, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan aktifitas perekonomian di daerah. Secara spasial, untuk daerah-daerah di Jawa, total volume APBD dibandingkan dengan PDRB memang relatif rendah untuk agregrat Provinsi, Kabupaten danKota hanya berkisar 6% - 7%. Untuk daerah-daerah seperti ini, maka pertumbuhan ekonomi lebih banyak ditentukan oleh faktor di luar belanja Pemerintah Daerah, yaitu sektor swasta. Kondisi ini sangat berbeda dengan yang terjadi di wilayah Indonesia timur.Perbandingan besarnya volume APBD dan PDRB relatif tinggi.Sebagai contoh, volume APBD agregat Provinsi, Kabupaten, Kota se-Provinsi Maluku Utara bahkan mencapai 82,8%,sedangkan Provinsi Maluku mencapai 59% (Kemenkeu, 2013a). 30
Untuk wilayah-wilayah tersebut, pergerakan perekonomian akan sangat dipengaruhi oleh realisasi belanja pada APBD. Untuk itulah guna meningkatkan daya ungkit belanja APBD, diperlukan pola belanja yang tepat, yaitu yang bisa mendorong produksi pada sektor-sektor strategis dan pembangunan infrastruktur yang mendukung aksesbilitas dari dan menuju daerah yang bersangkutan.Sebagaimana yang dikemukakan Halim dan Kusufi (2012:51) bahwa anggaran belanja sebagai alat kebijakan fiskal pemerintah perlu diperankan untuk menstabilkan kondisi ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Oates (2005) berpandangan bahwa di sinilah pentingnya desentralisasi yang akan memengaruhi perilaku Pemerintah Daerah, yang pada gilirannya akan berpengaruh pada aktifitas dan pertumbuhan ekonomi daerah. Hidayat dan Nugroho (2010) dalam kajiannya menyimpulkan bahwa dari sisi pengeluaran, alokasi belanja dalam APBD yang diarahkan secara langsung pada upaya mendorong kegiatan investasi di daerah juga relatif kurang memadai. Hal ini terlihat dari alokasi anggaran yang ditujukan untuk mendorong kegiatan
investasi,
seperti
pengeluaran
untuk
kualitas
infrastruktur dan promosi investasi masih relatif kecil. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa terdapat kontradiksi, dimana disatu sisi pemerintah berupaya meningkatkan kemandiran fiskal melalui peningkatan pajak dan retribusi daerah. Disisi lain, alokasi anggaran infrastruktur untuk mendorong kegiatan ekonomi relatif masih kecil. 31
Berbagai studi telah menunjukan bahwa prioritas anggaran investasi di bidang infrastruktur, baik secara kuantitas dan kualitas, berdampak positif pada jangka panjang pertumbuhan dan berdampak negatif pada ketimpangan pendapatan (Calderon dan Sevren, 2008). Beberapa pengujian empiris, misalnya penelitian OECD menemukan bahwa investasi dalam infrastruktur fisik dapat mendorong hasil (output) ekonomi jangka panjang lebih tinggi dari investasi fisik apapun. Sebagai contoh, elastisitas infrastruktur yang diperkirakan untuk output di Cina berada pada kisaran 0,20 hingga 0,41.Ini berarti bahwa peningkatan 10 persen dalam stok infrastruktur berkaitan dengan peningkatan pertumbuhan PDB sebesar 2 hingga 4,1 persen (World Bank, 2013:46). Di Indonesia, penjelasan ini diperkuat oleh penelitian Prasetyo et al (2009) dengan menggunakan data infrastruktur 26 Provinsi, menemukan bahwa dimensi infrastruktur seperti panjang jalan jika meningkat 1 persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,13 persen, kemudian jika kenaikan energi listrik yang terjual sebesar 1 persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,33 persen, serta kenaikan jumlah air bersih 1 persen akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,04 persen. Pada dimensi pembangunan manusia, belanja pemerintah merupakan determinan utama. Dasarnya, karena pembangunan manusia sangat erat kaitannya dengan investasi produktif di bidang pendidikan dan pelayanan kesehatan. Meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan 32
adalah salah satu bentuk dari alokasi barang publik, sehingga investasi dibidang ini merupakan fungsi utama pemerintah. Secara teoritis, jika merujuk pada model pertumbuhan Solow, maka ada bagian dari pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang tidak dapat dijelaskan oleh pertumbuhan tenaga kerja atau modal, sehingga kondisi ini dirasionalkan sebagai akibat dari perubahan teknologi yang sifatnya eksogen. Bagian ini yang biasa disebut sebagai Solow residual. Blanchard dan Fisher (1989) menunjukan bahwa residu ini berkontribusi sekitar 50 persen pertumbuhan yang bersejarah di negara-negara industri (Todaro dan Smith, 2009:182). Maddison, Denison, dan para ahli lainnya juga menemukan bahwa faktor residual yang tidak terjelaskan dalam temuan-temuan tersebut, sering dikaitkan dengan investasi modal manusia dan kemajuan teknologi (Kuncoro, 2010:09). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mankiw, Romer dan Weil (1992), bahwa jika modal manusia diperhitungkan disamping modal fisik, maka model Solow dapat menjelaskan pendapatan dan pertumbuhan antarnegara dengan cukup baik. Dalam studi yang mereka lakukan, penekanan pada modal manusia sebagai variabel penjelas tambahan untuk modal fisik dan tenaga kerja dinilai sangat baik dalam mendeskripsikan variasi dari standar hidup lintas negara. Temuan lain oleh Adekola (2014) dan Gennaioli, La Porta, Silanes dan Shleifer (2013) menunjukkan bahwa rezim yang memperbesar investasi 33
publiknya
untuk
modal
manusia
berdampak
signifikan
terhadap
pertumbuhan ekonomi, dan menjadi estimasi yang penting dalam mengukur perbedaan pembangunan regional. Dengan demikian, meskipun belanja daerah bukan sebagai faktor utama untuk daya ungkit perekonomian wilayah, Pemerintah Daerah perlu mengoptimalkan kebijakan daerah yang kondusif terhadap investasi produktif upaya mendorong pertumbuhan sektor strategis. 5. Politik Anggaran dalam Perspektif Teori Keagenan Lebih dari enam puluh tahun lalu, V.O. Key sudah mengisyaratkan bahwa penganggaran memiliki satu masalah paling mendasar, yakni keterbatasan sumber daya. Key (1940 dalam Abdullah dan Asmara, 2006) mengajukan pertanyaan berikut: “on what basis shall it be decided to allocate x dollars to activity A instead of activity B?”, “Atas dasar apa diputuskan alokasi X dolar untuk kegiatan A dan bukan kegiatan B?”. Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki menyebabkan proses pembuatan keputusan pengalokasian menjadi sangat dinamis, terlebih lagi dalam kondisi di mana terdapat banyak pihak dengan kepentingan dan preferensi yang berbeda. Itulah sebabnya di setiap penganggaran ada interaksi sosial, penggunaan kekuasaan, pilihan alternatif, serta penetapan kebijakan. Dinamika inilah yang mengharuskan terjadinya sebuah proses politik yang kompleks. Dari penentuan alokasi anggaran dapat diketahui bagaimana politik bekerja di 34
balik penganggaran, bagaimana pemerintah beroperasi, apa yang penting dan tidak penting, siapa-apa yang diperhitungkan atau diabaikan (Good, 2011 dalam Sulton, 2015). Dalam konteks itu, maka teoritisasi tentang politik anggaran menjadi penting untuk mengurai dimensi penganggaran publik. Politik anggaran merupakan berbagai kebijakan tentang proses anggaran yang mencakup berbagai pertanyaan bagaimana pemerintah membiayai kegiatannya,
bagaimana
uang
publik
didapatkan,
dikelola
dan
didisitribusikan, siapa yang diuntungkan dan dirugikan, peluang-peluang apa saja yang tersedia baik untuk penyimpangan negatif maupun untuk peningkatan pelayanan publik (Noer Fauzi dan Yando Zakaria dalam Widodo, 2012). Dengan perkataan lain, politik anggaran dipahami sebagai cara bagaimana eksekutif dan legislatif di daerah mempraktikkan, memkontestasikan, dan memodifikasi kewenangannya dalam proses anggaran di daerah (Sulton, 2015:03). Anggaran merupakan alat utama pemerintah untuk melaksanakan semua kewajiban, janji, dan kebijakannya ke dalam rencana-rencana konkrit dan terintegrasi dalam hal tindakan apa yang akan diambil, hasil apa yang akan dicapai, pada biaya berapa dan siapa yang akan membayar biaya-biaya tersebut (Dobell dan Ulrich, 2002). Penganggaran publik adalah pencerminan dari kekuatan relatif dari berbagai budget actors yang memiliki preferensi berbeda terhadap outcomes anggaran (Hagen et al, 35
1996; dalam Abdullah dan Asmara, 2006: 05). Sesuai dengan sifatnya, anggaran merupakan sesuatu yang terbatas, sehingga dalam pengelolaannya berpotensi menciptakan variasi pilihan yang cenderung bersentuhan dengan aspek keperilakuan para pejabat publik. Menurut Von Hagen (2002) penganggaran terbagi ke dalam empat tahapan,
yaitu
executive
planning,
legislative
approval,
executive
implementation, dan ex post accountability. Pada kedua tahapan pertama terjadi interaksi antara eksekutif dan legislatif, dan pada tahap ini politik anggaran paling mendominasi, sementara pada kedua tahap terakhir hanya melibatkan birokrasi sebagai agent. Dengan demikian penganggaran di sektor publik merupakan suatu bargaining process antara eksekutif dan legislatif dalam penggunaan sumberdaya. Atas uraian tersebut, maka teori keagenan (agency theory) dapat menjadi tools untuk menjelaskan hubungan antara prinsipal-agen dalam penyusunan dan pengimplementasian anggaran publik (Christensen, 1992 dalam Asmara, 2010). Teori keagenan mengasumsikan bahwa semua indvidu yang terlibat di dalamnya bertindak atas kepentingan mereka sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen (Halim dan Kusufi, 2012). Menurut Eisenhard (1989, dalam Arifah, 2012:87), teori keagenan dilandasi oleh tiga asumsi, yaitu:
36
1. Asumsi tentang sifat manusia, dimana asumsi ini menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan diri sendiri (self-interest), memiliki keterbatasan rasional (bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk averson) 2. Asumsi keorganisasian, dimana asumsi ini menekankan adanya konflik antar anggota organisasi, serta efisiensi sebagai kriteria produktifitas 3. Asumsi tentang asyimmetric information, dimana informasi yang tidak seimbang sebagai akibat dari adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen. Dalam hal ini prinsipal seharusnya memperoleh informasi yang dibutuhkan untuk mengukur tingkat hasil yang diperoleh dari usaha agen, namun informasi yang diperoleh tentang keberhasilan agen tidak seluruhnya disediakan oleh agen. Akibatnya informasi yang diperoleh prinsipal kurang lengkap sehingga tetap tidak dapat menjelaskan kinerja agen yang sesungguhnya dalam mengelola kekayaan prinsipal yang telah dipercayakan kepada agen. Akibat adanya informasi yang tidak seimbang ini, dapat menimbulkan permasalahan keperilakuan. Dalam organisasi sektor publik, hubungan keagenan di pemerintahan melibatkan eksekutif, legislatif, dan publik. Legislatif mendelegasikan otoritas atau kewenangan kepada eksekutif sebagai expert agent untuk melaksanakan suatu tindakan. Legislatif juga berposisi sebagai agen dari publik (Fozzard, 2001), karena mereka adalah representasi dari publik yang diberi kewenangan untuk membuat keputusan tentang penggunaan danadana publik (Von Hagen, 2002). Posisi publik adalah prinsipal bagi
37
eksekutif dan legislatif, maka publik disebut juga the ultimate principals (Mitchell, 2000 dalam Asmara, 2010:06). Relasi antara eksekutif dan legislatif dalam Otonomi daerah di Indonesia, menjadi lebih menarik ketika landasan konstitusional (UU No 23 Tahun 2014 sebagai pengganti UU No 32 Tahun 2004) memodifikasi posisi, dimana „luasnya kekuasaan‟ atau kesejajaran antara legislatif sebagai prinsipal dan eksekutif sebagai agen. Dalam interaksi seperti itu, maka legislator
ingin
dipilih
kembali,
eksekutif
ingin
memaksimumkan
anggarannya, dan konstituen (publik) ingin memaksimumkan utilitasnya (Johnson, 1994 dalam Abdullah dan Asmara, 2006:08). Dalam konteks penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran, asumsi-asumsi keperilakuan (behavioural assumptions) dalam teori public choice menyatakan bahwa lagislatif terutama berkepentingan mencari program yang popular dengan memaksimalkan prospek untuk dipilih kembali dan eksekutif terutama berkepentingan dengan memaksimalkan kenikmatan (enjoyment), yang berasal dari pemanfaatan fasilitas tempat kerja, misalnya prestise dan pengaruh (Von Hagen, 2002). Dalam konteks itu, maka eksekutif yang mempunyai informasi lebih banyak tentang kinerja aktual, motivasi, dan tujuan yang sesungguhnya, dan legislatif yang memiliki discretionary power,
berpotensi menciptakan
moral hazard (Petrie, 2002). Hal ini dapat terwujud dari kecenderungan melakukan pelanggaran terhadap kontrak yang telah dibuat sebelumnya 38
antara lembaga pemerintahan dan publik pada umumnya. Oleh Kasper dan Streit (1999 dalam Abdullah dan Asmara, 2006) berpandangan bahwa kondisi seperti ini menyebabkan terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku oportunistik dalam proses penyusunan anggaran, yang justru lebih besar daripada di dunia bisnis. Von
Hagen
(2002)
menyatakan
bahwasesungguhnya
publik
berkeinginan menghilangkan peluang oportunisme „pejabat publik‟ melalui aturan yang menentukan apa yang harus mereka lakukan pada kondisi tertentu. Namun, membuat aturan untuk sesuatu yang tidak jelas dan tingginya kompleksitas situasi yang dihadapi menyebabkan kontrak yang sempurna sulit dibuat. Dengan demikian, hubungan keagenan publik-politisi dapat dipandang sebagai incomplete contract (Seabright, 1996). Idealnya, sebagai the ultimate principals, posisi publik seharusnya menjadi episentrum dalam hubungan-hubungan keagenan. Sebagaimana Von Hagen (2002),
prinsipnya hubungan keagenan antara publik dan
legislatif-eksekutif menunjukan bagaimana pembuatan kebijakan untuk kesejahteraan mereka, karena mereka (publik) bersedia memberikan dana dengan membayar pajak. Dengan demikian, kebijakan agen diharapkan mewakili kepentingan prinsipalnya dalam pengalokasian anggaran. Namun demikian, pada kenyataannya agen tidak selalu memiliki preferensi yang sama dengan publik (Groehendijk, 1997 dalam Abdullah dan Asmara, 2006)
39
Desain atas sebuah relasi keagenan yang cenderung tidak sehat akan menjurus pada perilaku korup yang mengakibatkan distorsi pengalokasian anggaran. Perilaku korup ini terkait dengan peluang untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari proyek-proyek yang pengalokasian anggarannya mudah untuk dikorupsi (Keefer dan Khemani, 2003). Sebagaimana Garamfalvi (1997 dalam Abdullah dan Asmara, 2006), menyebutkan bahwa korupsi dapat terjadi pada semua level penganggaran. Korupsi secara politis terjadi pada level penyusunan anggaran disaat mana keputusan politik sangat dominan. Sementara korupsi secara administratif terjadi dalam pelaksanaan
anggaran,
yang
berarti
bahwa
korupsi
politik
akan
menyebabkan korupsi administratif. Model Bandura (1991 dalam Wiyono, 2013) tentang “Pengaruh Timbal Balik antara Tingkah Laku, Faktor Manusia dan Kognisi, dan Lingkungan” kiranya dapat diterjemahkan secara gamblang untuk menjelaskan perilaku para eksekutif dan legislatif dalam penganggaran publik. Pada gambar 2.1 berikut terlihar simbol P[C] adalah faktor manusia dan kognitifnya, B adalah Tindakan atau Perilaku, dan E adalah Lingkungan. Ketiganya saling berinteraksi sehingga tindakan seseorang (B) dapat mempengaruhi kognisi (P[C]),
dan
sebaliknya
aktivitas
kognisi
individu
(P[C])
dapat
mempengaruhi lingkungan (E), kemudian pengaruh Lingkungan dapat mempengaruhi proses pikiran (kognisi) individu, dan seterusnya.Bandura
40
mengilustrasikan hubungan antara ketiga faktor tersebut sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Model Bandura tentang Pengaruh Timbal Balik antara Tingkah Laku, Faktor Manusia dan Kognitif, dan Lingkungan B
P (C)
E
Sumber : Bandura (1991 dalam Wiyono, 2013:264) Dalam konteks penganggaran publik, interaksi ketiga faktor ini tidak hanya dalam hal-hal yang positif, tetapi juga dalam hal-hal yang negatif. Misalnya perilaku oportunistik, baik oleh eksekutif maupun legislatif. Perilaku mencari keuntungan dengan cara-cara yang tidak benar (B), akan semakin membudaya jika tidak ditentang oleh orang-orang di sekitar mereka (E), sehingga sangat memungkinkan perilakunya akan ditiru oleh orangorang disekitar tersebut. Disini terjadi saling pengaruh, misalnya atasan yang berperilaku oportunis akan memengaruhi bawahannya untuk meniru, kemudian bawahan yang tidak menentangnya akan menyuburkan perilaku tersebut. Kondisi seperti ini memengaruhi cara pandang (P[C]) dan cara pandang tersebut memperkuat kondisi yang berlangsung.
41
B. Kajian Empiris 1. Sulton (2015), mengkaji tentang siklus politik anggaran di Kabupaten Ponorogo (Studi Kasus Dana Hibah dan Bantuan Sosial APBD 2013). Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis interaktif. Hasil studinya menunjukan bahwa terjadi perilaku korupsi politik oleh eksekutif dan legislatif sehingga menciptakan berbagai penyimpangan dalam pengelolaan dana hibah dan bantuan sosial. Modusnya berupa pemberian dana
tanpa
pengajuan,
pemotongan
bantuan,
tidak
adanya
pertanggungjawaban, serta adanya proposal atau bantuan fiktif. 2. Latifet al (2014), mengkaji tentang perencanaan anggaran belanja bantuan sosial
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Kabupaten Bantul.
Teknik analisis data yang digunakan
adalah model analsis interaktif. Hasil studinya menunjukkan bahwa perencanaan belanja bantuan sosial di Pemerintah Kabupaten Bantul belum mewujudkan sebuah perencanaan strategis. Dalam proses perencanaannya, belum menggunakan tolok ukur kinerja yang mencakup Standar Pelayanan Minimal (SPM), Analisis Standar Belanja (ASB), Standar Satuan Harga (SSH). 3. Kemenkeu (2013a), mengkaji tentang evaluasi belanja modal daerah di Indonesia. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, baik kuantitatif maupun kualitatif. Hasil studinya menunjukkan bahwa penyerapan belanja modal dipengaruhi oleh pola perencanaan dan 42
penganggaran di daerah, mekanisme transfer, dan masalah pelaksanaan program/kegiatan di daerah. 4. TADF (2013a), mengkaji tentang evaluasi regulasi pengelolaan keuangan daerah dan pengaruhnya terhadap peningkatan kualitas belanja daerahdi Indonesia. Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil studinya menunjakan bahwa terdapat regulasi pusat yang turut menghambat peningkatan kualitas belanja daerah. Sebagai contoh, regulasi yang mengatur tahapan perencanaan dan pembahasan anggaran dinilai terlalu panjang sehingga membuka ruang yang besar terhadap „gangguan politik‟. Kasus yang lain adalah regulasi belanja hibah dan bantuan sosial, yang dinilai tidak ketat, belum trasnparan dan akuntabel. 5. Wijayanti et al (2012), mengkaji tentang perencanaan anggaran berbasis kinerja di Kabupaten Pasuruan. Teknik analisis yang digunakan adalah adalah model anaisis interaktif. Hasil studinya menunjukkan bahwa penyusunan anggaran berbasis kinerja di Kabupaten Pasuruan masih menunjukkan dua hal, yaitu kurangnya komitmen Pemerintah Daerah yang ditunjukkan dengan belum disusunnya Analisis Standar Biaya (ASB) serta terlambatnya penyusunan Standar Satuan Harga, dan kurangnya pemahaman petugas perencana terhadap indikator kinerja yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan indikator outcome untuk kegiatan-kegiatan dalam satu program dan adanya perbedaan target kinerja sasaran renstra SKPD dengan RPJMD. 43
6. Bappenas
(2011),
mengkaji
tentang
kualitas
belanja
Agggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Teknik analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, baik kuantitatif maupun kualitatif. Indikator yang digunakan mencakup nilai ekonomis, efisien, efektif, keadilan, akuntabilitas, dan responsif. Hasil studinya menunjukan bahwa semua lokasi kajian tidak mempunyai kualitas belanja daerah yang mendekati sempurna tingginya, melainkan masing-masing daerah mempunyai karakteristik yang berbedabeda. 7. Abdullah dan Asmara (2006), mengkaji tentang perilaku oportunistik legislatif dalam penganggaran daerah (Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik). Teknik analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda. Terdapat dua hipotesis yang diuji, yaitu: (1) legislatif berperilaku oportunis dalam penganggaran daerah; (2) pendapatan sendiri berpengaruh terhadap perilaku oportunistik legislatif. Hasil studinya menunjukan bahwa legislator sebagai agen dari publik berperilaku oportunistik dalam penyusunan APBD, besaran PAD berpengaruh terhadap perilaku oportunistik legislatif. Hasil penelitian ini menyimpulakn bahwa APBD digunakan sebagai sarana untuk melakukan political corruption. Sebagai perbandingan, semua lokasi studi dalam kajian empiris di atas berbeda dengan lokasi penelitian saat ini, yaitu di Kabupaten Halmahera Barat. Aspek perbandingan yang lain adalah jumlah indikator belanja yang digunakan. Misalnya pada studi Sulton (2015), Latif et al (2014), dan Kemenkeu (2013a), 44
menunjukkan satu keterbatasan yang sama.Ketiga studi ini difokuskan hanya pada salah satu jenis belanja daerah. Sementara studi Wijayantietal (2012), difokuskan pada anggaran berbasis kinerja dalam pengertian yang paling umum. Artinya studi ini hanya memperlihatkan apakah lokasi yang dikaji sudah mengimplementasikan anggaran berbasis kinerja atau belum. Pada studi Abdullah dan Asmara (2006), lebih difokuskan pada pengujian hipotesis, sehingga secara metodologis nampak berbeda dengan penelitian saat ini. Sedangkan studi Bappenas (2011) dan TADF (2013a), memberikan pijakan teoritis terkait dengan indikator kualitas belanja daerah yang digunakan dalam peneliti saat ini. Namun demikian ada beberapa aspek dibarui sesuai dengan kebutuhan, kemampuan peneliti, dan perbedaan karakteristik lapangan penelitian. Secara keseluruhan, perbedaan studi ini dan studi sebelumnya terletak pada variasi metode dan lokasi penelitian. Sedangkan kontribusi dari kajian empiris sebelumnya digunakan sebagai penguatan kerangka teoritik untuk penelitian saat ini. C. Kerangka Konseptual Analisis Belanja Daerah merupakan bagian dari pengelolaan keuangan daerah yang tercermin dalam APBD. Oleh karena itu, secara normatif belanja daerah yang berkualitas adalah belanja daerah yang sesuai dengan asas umum yang telah disebutkan dalam PP No. 58 Tahun 2005 tersebut. Dari asas tersebut, kemudian disusun 5 (lima) atribut kualitas belanja daerah, yakni prioritas belanja daerah,
45
ketepatan alokasi belanja, ketepatan waktu penetapan APBD, efektivitas dan efisiensi belanja, serta akuntabilitas dan transparansi. Pada dasarnya, anggaran merupakan sesuatu yang terbatas. Oleh sebabnya, keterbatasan tersebut akan memunculkan pilihan-pilihan untuk diprioritaskan. Jika pilihan-pilihan (program/kegiatan) sudah ditentukan, maka diperlukan kedisiplinan yang tinggi dalam pengelolaan. Kedisiplinan yang tinggi terhadap prioritas akan menentukan ketepatan alokasi belanja, baik terhadap peningkatan belanja modal,ketepatan belanja pegawai serta belanja hibah dan bantuan sosial yang tepat sasaran. Prioritas dan alokasi belanja yang sudah ditentukan dengan tepat, tidak akan berarti jika anggarannya (APBD) tidak disusun tepat waktu. Ketepatan waktu penetapan APBD menjadi penting karena merupakan bagian dari faktor yang mempengaruhi percepatan realisasi belanja. Jika pengelolaan belanja benar-benar memenuhi nilai kedisiplinan dan ketepatan, maka hal tersebut akan berimplikasi pada terwujudnya belanja daerah yang efisien dan efektif. Hal ini tentunya memerlukan tolok ukur kinerja yang jelas, sehingga meminimalkan pemborosan anggaran dan berdampak signifikan terhadap pemenuhan kesejahteraan masyarakat. Untuk menjamin seberapa baik berlangsungnya proses tersebut, maka belanja Pemerintah Daerah harus dikelola secara
akuntabel
dan
transparan,
yang
tercermin
dari
kemampuan
mempertanggungjawabkan dan pelaksanaannya dapat diakses publik. Dengan demikian, jika indikator-indikator tersebut dapat diwujudkan secara optimal, maka kualitas belanja daerah cenderung akan semakin baik. Merujuk 46
pada penjelasan tersebut, maka kerangka konseptual analisis dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam Bagan 2.2. Bagan 2.2. Kerangka Konseptual Analisis
Kualitas Belanja Daerah
Konsep
Atribut
Indikator
Disiplin belanja
Disiplin belanja terhadap prioritas pembangunan daerah
Ketepatan Waktu Penetapan APBD
Ketepatan Alokasi
- Belanja modal meningkat - Belanja hibah dan bansos tepat sasaran - Belanja pegawai <50%
- Penetapan APBD selambatlambatnya tanggal 31 Desember tahun berjalan
Efisiensi Efektfitas
- Penghematan Belanja
- Dampak Belanja terhadap kepentingan publik
Akuntabilitas Transparansi
- Dapat pertanggung jawaban - Dapat diakses publik
Sumber: Diinterpretasi dari Hasil Kajian TADF (2013a); Lewis, 2006 dalam Bappenas (2011)
47
BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian dan Unit Analisis Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan, maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif yang mengacu pada rancangan strategi studi kasus deskriptif (descriptive case study). Strategi studi kasus merupakan strategi yang paling cocok untuk pertanyaan-pertanyaan „bagaimana‟ dan „mengapa‟ (Yin, 1997:29). Adapun unit analisis penelitian ini adalah Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat di Provinsi Maluku Utara. B. Teknik Penentuan Informan Teknik penentuan informan menggunakan pendekatan purposive sampling, dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informannya berdasarkan pertimbangan tertentu (Sutopo, 2006). Pertama, pimpinan SKPD merupakan Kuasa Pengguna Anggaran. Kedua,TAPD merupakan tim yang bertugas menyiapkan dan melaksanakan kebijakan Kepala Daerah dalam rangka penyusunan APBD. Ketiga,DPRD sebaagai keterwakilan masyarakat dan berperan melaksanakan fungsi anggaran. Keempat, Akademisi merupakan orangorang yang diharapkan memiliki pemahaman memadai atas permasalahan yang ditiliti. Oleh karena itu, informan dalam penelitian ini mencakup Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan unsur Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
48
sebanyak 20 orang, Akademisi sebanyak 1 orang, dan unsur DPRD sebanyak 1 orang. Informan kunci terdiri dari 9 orang dari unsur SKPD dan 3 orang dari unsur DPRD. C. Proses Pengumpulan Data 1.
Kuesioner Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara memberi seperangkat pertanyaan tertulis kepada informan. Menurut Sutopo (2006), kuesioner dalam
penelitian
kualitatif
selalu
bersifat
terbuka
(open-ended
questionnaire).Setiap pertanyaan diberikan alternatif jawabannya, pada bagian bawahnya disediakan ruang yang cukup untuk memberikan kesempatan kepada informan menulis alasan mengapa ia menjawab demikian. 2. Studi Dokumentasi Merupakanteknik pengumpulan data dengan cara mencatat dokumen untuk menemukan beragam hal sesuai dengan kebutuhan penelitian. Dengan menggunakan pendekatan content analysis, dokumen tidak sekedar dicatat apa adanya, tetapi juga dianalisis (Neuman, 2006), sehingga peneliti berusaha menangkap makna di dalam tulisan dokumen (Yin, 2000). Dokumen yang dianalisis di dalam penelitian ini diantaranya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2011-2015, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Bupati Halmahera Barat, Dokumen APBD, serta Publikasi 49
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku Utara dan Kabupaten Halmahera Barat. 3. Wawancara Mendalam Merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan komunikasi dengan sumber data. Wawancara dilakukan dengan pendekatan snowball sampling, dimana peneliti awalnya mewawancarai satu informan kunci, kemudian peneliti direkomendasikan untuk mewawancara informan yang berbeda (Patton, 2006). Demikian seterusnya, sehingga diharapkan dapat menggali data secara mendalam. Informan yang diwawancarai dalam penelitian ini terdiri dari 12 Informan yang mencakup Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Halmahera Barat. 4. Observasi Merupakanteknik pengumpulan data yang bertujuan menggali sumber data yang berupa peristiwa, aktifitas, perilaku, tempat atau lokasi, dan benda serta rekaman gambar (Sutopo, 2006:75). Observasi semacam itu berperan sebagai sumber bukti lain bagi suatu studi kasus (Yin, 1997:112). Dalam penelitian ini, tidak semua dari indikator kualitas belanja daerah yang dikaji dapat diobservasi, karena waktu terjadinya peristiwa sudah berlalu. Dalam melakukan observasi, ada pengamatan yang dapat didekati secara langsung, misalnya masalah infrastruktur jalan, bangunan terminal, dan sebagainya. Sementara secara tidak langsung, didekati melalui berita-berita media lokal.
50
Sebelum analisis data dilakukan, perlu diidentifikasi setiap pertanyaan penelitian yang disertai dengan daftar tentang sumber data yang digunakan untuk menjelaskan setiap pertanyaan tersebut (Yin, 1997). Adapun hubungan antara pertanyaan penelitian, data yang diperlukan, dan teknik memperolehnya dapat dirangkum pada Tabel 3.1. Tabel. 3.1. Pertanyaan Penelitian, Data yang diperlukan, dan Teknik Pengumpulan No Pertanyaan Penelitian Data yang Diperlukan Teknik Pengumpulan Bagaimanakan kesesuaian antara kinerja dan harapan 1 terhadap kualitas belanja - Pandangan informan Survei Informan daerah Kabupaten Halmahera Barat Dokumen RPJMD, Studi Dokumen Bagaimanakah disiplin RKPD, APBD dan LKPJ Wawancara 2 belanja daerah Kabupaten Pandangan Informan mendalam Halmahera Barat Survei Informan APBD, Ketentuan Studi Dokumen Bagaimanakah ketepatan Peraturan Perundang- Wawancara alokasi belanja daerah 3 undangan mendalam Kabupaten Halmahera Pandangan Informan Observasi Barat Hasil observasi Survei Informan Bagaimanakah ketepatan Ketentuan Perundang- Studi Dokumen waktu penetapan ABPD undangan Wawancara 4 Kabupaten Halamhera Pandangan Informan mendalam Barat Survei Informan APBD, Laporan Studi Dokumen Bagaimanakah efisiensi Keuangan Pemda, Wawancara dan efektifitas belanja Indikator makro sosial- mendalam 5 daerah Kabupaten ekonomi Observasi Halmahera Barat Pandangan Informan Survei Informan Hasil observasi Laporan Opini BPK Studi Dokumen Bagaimanakah Pandangan Informan Wawancara akuntabilitas dan 6 Hasil observasi mendalam transparansi dalam Observasi pengelolaan belanja daerah Survei Informan 51
D. Teknik Pengujian Validitas Data Dalam penelitian deskriptif kualitatif, cara yang paling umum digunakan dalam
pengembangan
dimaksudkan
sebagai
validitas perangkat
data
adalah
pembantu
teknik bagi
trianggulasi
seorang
yang
penelitiuntuk
mendapatkan data yang sahih (Paton, 2006; Denzin dan Lincoln, 2009). Dalam penelitian ini, selain trianggulasi sumber data yang mencakup wawancara, dokumen, kuesioner, dan observasi, digunakan juga teknik trianggulasi dalam bentuk review informan. Peneliti menggunakan beberapa informan kunci untuk me-review hasil dan pembahasan penelitian, sehingga diharapkan memperkuat penafsiran dan kekayaan makna dalam pembahasan yang disajikan.Teknik review informan dapat dilihat dalam Gambar 3.1. Gambar 3.1 Teknik Trianggulasi Informan1 Tafsir Data
Informan 2
Data
Informan 3 Sumber : Sutopo, 2006 Tujuannya agar validitas data bisa dikembangkan melalui berbagai perspektif informan, sehingga tafsir penelitiannya menjadi lebih teruji. Dari tafsir yang dilakukan oleh beberapa informan terhadap informasi yang berhasil digali, dan bahkan sampai dengan simpulan-simpulan sementara, diharapkan terjadi pertemuan pendapat yang pada akhirnya bisa lebih memantapkan hasil akhir penelitian. 52
E. Definisi Operasional Konsep Tabel. 3.2. Definisi Operasional Konsep No
Konsep dan Atribut Konsep : Kualitas belanja Daerah
Definisi Operasional Belanja yang dialokasikan berdasarkan prioritas pembangunan daerah yang dilakukan secara efisien dan efektif, tepat waktu, transparan dan akuntabel
Indikator -
Disiplin belanja terhadap prioritas pembangunan Ketepatan alokasi belanja Ketepatan waktu penetapan APBD Efisiensi dan efektifitas Akuntabilitas dan transparansi
Atribut : 1
Disiplin belanja daerah
2
Ketepatan alokasi belanja
3
Ketepatan waktu Penetapan APBD
5
4
Efisiensi dan efektifitas
Akuntabilitas dan Transparansi
Konsistensi perencanaan dan penganggaran dengan prioritas pembangunan daerah Meliputi ketepatan alokasi belanja modal, belanja pegawai, alokasi belanja hibah dan bantuan sosial
Sesuai dengan tahapan dan jadwal yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan Efisien menunjukan penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu. Efektif merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan Akuntabilitas menunjukan kewajiban mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah. Transparansi merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi tentang keuangan daerah
53
Disiplin belanja terhadap prioritas pembangunan daerah -
Belanja modal meningkat (sekurang-kurangnya 30%) Belanja, hibah dan bantuan sosial tepat sasaran Belanja pegawai <50 - Penetapan APBD selambatlambatnya ditetapkan pada tanggal 31 Desember -
Penghematan dalam penggunaan anggaran Dampak belanja daerah untuk kepentingan publik
-
Pengelolaan belanja daerah dapat dipertanggungjawabkan Pengelolaan belanja daerah dapat diakses publik
F.
Teknik Analisis Data Salah satu strategi umum analisis yang diajukan oleh Yin (1997) adalah strategi deskripsi kasus yang bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi tipe peristiwa yang dapat dikuantifikasi maupun yang tidak dapat dikuantifikasi. 2. Mengidentifikasi pola untuk menjelaskan mengapa suatu implementasi telah gagal. Untuk itu, analisis data dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan tahapan analisis sebagai berikut: 1. Analisis Survei Menurut Yin (1997:111), penggunaan hasil survei dalam penelitian studi kasus tak selalu perlu diambil sebagai ukuran yang sebenarnya dalam menjelaskan kasus yang diteliti, tetapi hasil survei digunakan untuk memberikan
beberapa
indikasi
tentang
kelaziman
fenomena
yang
bersangkutan. Analisis ini didasarkan pada data hasil isian kuesioner oleh informan. Pedoman analisis diadaptasikan dari Zeithaml dan Bitner (1996, dalam Umar, 2002:446-454) dalam bidang pelayanan jasa. Ada dua informasi pokok yang dianalisis dalam kuesioner, yaitu: a. Informasi tentang kinerja (kenyataan) dilapangan. Ditanyakan perihal indikator kualitas belanja, yang degradasi pilihannya berdasarkan skala Likert. Kuesioner yang disebarkan bersifat terbuka (open-ended 54
questionnaire), dimana pilihan atas jawaban akan disertai dengan penjelasan dari informan mengapa ia menjawab demikian a. Informasi tentang harapan (tingkat kepentingan). Ditanyakan perihal indikator kualitas belanja, yang degradasi pilihannya berdasarkan skala Likert.Kuesioner
yang
disebarkan
bersifat
tertutup
(close-ended
questionnaire), dimana informan memilih salah satu alternatif jawaban dari setiap pertanyaan yang telah tersedia Data yang diperoleh kemudian dibandingkan secara kuantitatif antara tingkat kinerja dan harapan. Perbandingan ini dimaksudkan untuk mengetahui gambaran umum tingkat kesesuaian kinerja dan harapan terhadap kualitas belanja daerah di Kabupaten Halmahera Barat. Hasil dari analisis survei ini, kemudian diterjemahkan lebih luas bersamaan dengan pendalaman wawancara, studi dokumentasi, serta bahan observasi. Harapannya agar terjalin interaksi antar sumber data, sehingga dapat memantapkan pembahasan dan simpulan akhir penelitian. 2. Model Analisis Interaktif Model
analisis
interaktif
merupakan
teknik
analisis
yang
mengintegrasikan multi sumber data studi kasus, yakni data dokumentasi, observasi, wawancara serta data survei. Ada tiga komponen utama dalam analisis ini, yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan simpulan serta verifikasinya. Di saat pengumpulan data, peneliti selalu membuat reduksi data dan sajian data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal 55
yang pokok, dan membuang yang tidak perlu. Kemudian melakukan sajian data yang berupa cerita sistematis dan logis dengan dilengkapi perabot sajian yang diperlukan, seperti matriks, gambar, dan sebagainya. Dari sajian data tersebut dilakukan penarikan simpulan dilanjutkan dengan verifikasinya. Bila simpulan dirasa kurang mantap, maka peneliti perlu kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah terfokus untuk mencari pendukung simpulan yang telah dikembangkannya. Adapun kerangka model analisis interaktif ditunjukkan dalam Gambar 3.2. Gambar 3.2. Model Analisis Interaktif Pengumpulan data Reduksi data
Sajian data Simpulan/ verifikasi
Sumber : Miles dan Huberman, 1984 dalam Sutopo, 2006:120
56
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Latar Penelitian Kabupaten Halmahera Barat merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Maluku Utara. Awalnya Halmahera Barat merupakan Kabupaten Maluku Utara (Kabupaten induk). Setelah diberlakukannya UU No. 1 Tahun 2003, nama Kabupaten Maluku Utara diubah menjadi Kabupaten Halmahera Barat.Ibu Kota Kabupaten Halmahera Barat adalah Jailolo. Luas Kabupaten Halmahera Barat tercatat 14.234,42 km2 dengan luas daratan 2.416.56 km2 dan laut seluas 11.823,42 km2. Secara geografis Halmahera Barat terletak antara 000.48‟ lintang utara sampai 10.48‟ lintang utara dan antara 1270.0,16‟ 00” bujur timur sampai 1270.0,16‟01” bujur timur. Batas-batas geografis wilayah Kabupaten Halmahera Barat adalah sebagai berikut (Bappeda Kabupaten Halmahera Barat, 2015): Sebelah Utara : Kabupaten Halmahera Utara Sebelah Timur : Kabupaten Halmahera Utara Sebelah Selatan: Kota Tidore Kepulauan Sebelah Barat : Laut Maluku Secara administratif, Kabupaten ini memiliki 9 Kecamatan, yaitu Kecamatan Jailolo, Kecamatan Jailolo Timur, Kecamatan Jailolo Selatan, Kecamatan Sahu, Kecamatan Sahu Timur, Kecamatan Ibu, Kecamatan Ibu Selatan, Kecamatan Ibu Utara dan Kecamatan Loloda. Kecamatan yang memiliki wilayah terluas adalah Kecamatan Ibu Selatan, sedangkan yang memiliki wilayah terkecil adalah
57
Kecamatan Jailolo Selatan. Secara keseluruhan, Kabupaten Halmahera Barat terdiri dari 176 Desa (Bappeda dan BPS Kabupaten Halmahera Barat, 2014) Penduduk Kabupaten Halmahera Barat pada Tahun 2013 adalah sebanyak 106.791 jiwa. Dari jumlah tersebut penduduk laki-laki berjumlah 54.561 jiwa dan penduduk perempuan sejumlah 52.230 jiwa. Jumlah penduduk terbesar ada di Kecamatan Jailolo, yakni sebanyak 29.288 jiwa atau 27,43 persen dari total jumlah
penduduk
di
Kabupaten
Halmahera
Barat.
Adapun
persentase
penduduknya disajikan pada Gambar 4.1. Gambar 4.1.Persentase Penduduk Kabupaten Halmahera Barat MenurutKecamatan, Tahun 2013
Sumber: Bappeda Kabupaten Halmahera Barat, 2015. Diolah Struktur perekonomian Kabupaten Halmahera Barat masih bertumpu pada sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Kategori ini merupakan leading sectoryang memiliki peranan dan pertumbuhan yang besa.Secara keseluruhan, struktur ekonomi Kabupaten Halmahera Barat disajikan pada Tabel 4.1. 58
Tabel 4.1. Struktur Ekonomi Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2010-2014(dalam persen) No
Lapangan Usaha
2010
2011
2012
2013
2014
A
Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
39,02
39,16
39,64
39,69
39,38
B
Pertambangan dan Penggalian
0,10
0,10
0,10
0,10
0,09
C
Industri Pengolahan
7,23
6,82
6,64
6,55
6,52
D
0,06
0,06
0,05
0,04
0,04
0,19
0,18
0,18
0,18
0,18
4,67
4,61
4,71
4,63
4,8
13,22
13,31
13,06
13,17
13,52
H
Pengadaan Listrik dan Gas Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang Konstruksi Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Transportasi dan Pergudangan
2,1
2,01
1,96
2,01
2,11
I
Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum
0,23
0,24
0,24
0,24
0,24
J
Informasi dan Komunikasi
3,64
3,38
3,16
2,96
2,75
K
Jasa Keuangan dan Asuransi
2,11
2,47
2,80
2,83
2,72
L
Real Estat
0,08
0,08
0,08
0,08
0,07
0,18
0,17
0,17
0,17
0,17
20,93
21,47
21,48
21,71
21,74
P
Jasa Perusahan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib Jasa Pendidikan
3,39
3,2
3,09
3,03
2,99
Q
Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial
2,43
2,37
2,28
2,24
2,30
Jasa Lainnya
0,40
0,39
0,37
0,37
0,37
100
100
100
100
100
E F G
M,N O
R,S,T,U
Produk Domestik Regional Bruto
Sumber: BPS Kabupaten Halmahera Barat, 2015. Berdasarkan tabel 4.1,sampai tahun 2014sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan berkontribusi pada PDRB di kisaran 39 persen. Kategori Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib sebesar 22 persen. Kategori Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi Mobil dan Motor berkontribusi sebesar 13 persen, diikuti oleh kategori Industri Pengolahan sebesar 7 persen. Sementara peranan kategori lainnya secara total berkontribusi sebesar 19 persen.Proporsi dari masing-masing kategori sektor disajikan pada Gambar 4.2.
59
Sumber : BPS Kabupaten Halmahera Barat, 2015. Diolah Berdasarkan jenis lapangan usaha, tercatat sebagian besar penduduk Kabupaten Halmahera Barat bekerja di sektor Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan yang berjumlah 37.008 orang atau 75,05 persen. Laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan selama kurun waktu 2011-2014 rata-rata mencapai 5,78 %. PDRB per kapita penduduk Kabupaten Halmahera Barat atas dasar hargaberlaku dalam tiga tahun terakhir naik dari Rp 4,19 juta pada tahun 2012 menjadiRp 4,47 juta pada tahun 2013. PDRB atas dasar harga berlaku tentunya masih dipengaruhi oleh faktor harga. Kenaikan yang terjadi dapat disebabkan pengaruh kenaikan tingkat harga barang dan jasa. Kenyataan tersebuttercermin dari nilai PDRB per kapita atas dasar harga konstan yang hanya naikdari Rp 2,47 juta menjadi Rp 2,51 juta (BPS Kabupaten Halmahera Barat, 2014). 60
B. Perkembangan Realisasi Belanja Daerah Kabupaten Halmahera Barat Merujuk pada ketentuan PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, maka klasifikasi serta deskripsi perkembangan realisasi belanja daerah Kabupaten Halmahera Barat dapat ditunjukan pada Grafik 4.1. Grafik 4.1. Tren Realisasi Belanja Daerah Tahun 2011-2015 (dalam juta rupiah)
Sumber: BPKAD Kabupaten Halmahera Barat, 2016.Diolah Bila dicermati, realisasi Belanja Pegawai (langsung dan tidak langsung) secara agregat cenderung meningkat. Pada tahun 2011, baru mencapai angka Rp. 209,0 miliar rupiah (pagu anggaran 219,1 miliar rupiah) dan di tahun 2015 meningkat menjadi Rp285,5 miliar rupiah (pagu anggaran 318,2 miliar rupiah). Kecenderungan yang sama terjadi pada belanja Barang dan Jasa, di manapada tahun 2011 mencapai Rp81,6 miliar rupiah (pagu anggaran 92,7 miliar rupiah) dan di tahun 2015 meningkat menjadi Rp159,9 miliar rupiah (pagu anggaran 188,4 miliar rupiah). Pada Belanja Modal cenderung mengalami peningkatan, pada tahun 2011 sebesar Rp 50,8 miliar (pagu anggaran 102,7 miliar ripiah), di 61
tahun 2015 kembali meningkat menjadi Rp 132,6 miliar (pagu anggaran 205,2 miliar rupiah). Belanja Lain-Lain cenderung fluktuatif, pada tahun 2011 mencapai Rp 21,4 miliar (pagu anggaran 28,4 miliar rupiah), turun menjadi Rp 20,9 miliar rupiah (pagu anggaran 22,7 miliar rupiah) pada tahun 2012, kemudian naik di tahun 2015 menjadi Rp 113,4 miliar (dari pagu anggaran 116,8 miliar rupiah). C. Temuan Penelitian dan Pembahasan 1. Kesesuaian antara Kinerja dan Harapan terhadap Kualitas Belanja Daerah di Kabupaten Halmahera Barat Berdasarkan survei yang telah dilakukan perihal penilaian informan terhadap 9 indikator kualitas belanja daerah Kabupaten Halmahera Barat, hasilnya disajikan pada Tabel 4.2. Tabel 4.2. Penilaian Informan terhadap Indikator Kualitas Belanja Daerah Kabupaten Halmahera Barat No
Kinerja
Indikator 5 15
4 48
3 6
2 10
1 0
Ratarata
Harapan
3,59
5 85
4 20
3 0
2 0
1 0
Ratarata
1
Disiplin Belanja
2
0
28
15
20
0
2,86
65
36
0
0
0
4,59
10
60
6
6
0
3,73
45
52
0
0
0
4,41
4
Ketepatan Alokasi Belanja Modal Ketepatan Alokasi Belanja Hibah dan Bantuan Sosial Ketepatan Alokasi Belanja Pegawai
25
44
6
8
0
3,77
55
36
6
0
0
4,41
5
Ketepatan Waktu Penetapan APBD
15
76
0
0
0
4,14
95
12
0
0
0
4,86
6
Efisiensi Belanja
0
40
27
6
0
3,32
60
40
0
0
0
4,55
7
Efektifitas Belanja
0
40
27
6
0
3,32
70
32
0
0
0
4,64
8
Dapat Dipertanggungjawaban
10
76
3
0
0
4,05
85
16
3
0
0
4,73
9
Dapat Diakses Publik
0
76
3
2
1
3,73
65
32
3
0
0
4,55
3
Jumlah Informan : 22 Orang
Total Rata-rata
32,5 3,61
Sumber: Data Survei, 2015.Diolah
62
Total Rata-rata
4,77
41,5 4,61
Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa nilai kualitas belanja yang diharapkanoleh informan sebesar 4,61 dan nilai dari kinerja kualitas belanja yang terjadi di lapangan sebesar 3,61. Artinyabahwa kinerja kualitas belanja daerah di Kabupaten Halmahera Barat masih dibawah kondisi yang diharapkan. Sebagaimana Sutopo (2005), hasil survei yang dikuantitatifkan ini perlu dimaknai sebagai fenomena pendukung analisis deskriptif kualitatif bagi kemantapan makna dalam simpulan akhir penelitian. Pola kuantitatif dari masing-masing kinerja indikator tidak dimaksudkan sebagai bahan kesimpulan akhir dari penelitian ini. Demikian, hasil survei yang ada selanjutnya
akan diterjemahkan
bersamaan dengan studi
dokumentasi, wawancara, serta observasi untuk mendeskripsikan masingmasing indikator kualitas belanja daerah.Sehingga dinamika interaksi antar sumber data dapat mendukung kekuatan interpretasi dan kedalaman makna pada setiap indikator kualitas belanja yang dikaji. 2. Disiplin Belanja Terhadap Prioritas Pembangunan Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera menetapkan visinya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2011-2015, yaitu “Membangun dengan Kasih, Wujudkan Halmahera Barat yang Berbudaya, Mandiri, Adil dan Makmur”.Hal itu diwujudkan dalam 7 prioritas pembangunan daerah sebagaimana disajikan pada Tabel 4.3.
63
Tabel 4.3. Sinkronisasi Prioritas Nasional, Prioritas Provinsi dan Prioritas Kabupaten Halmahera Barat Prioritas Nasional 1.
2.
3.
4.
5. 6.
7.
8. 9.
Menghadirkan Kembali Negara Untuk Melindungi Segenap Bangsa dan Memberikan Rasa Aman Kepada Seluruh Warga Negara Mengembangkan Tata Kelola Pemerintahan yang bersih, efektif, demoktratis dan terpercaya Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah – daerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan Memperkuat kehadiran Negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegak hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik Melakukan revolusi karakter bangsa Memperteguh Kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia
1.
2.
3.
4. 5.
Prioritas Provinsi Maluku Utara Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia (Pendidikan, Kesehatan) Pembangunan Ekonomi yang inklusif dan berkeadilan Percepatan Pembangunan Infrastruktur berbasis Tata Ruang Membangun Kehidupan Beragama dan Berbudaya Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan
Prioritas Kab Halmahera Barat 1. Menyelenggarakan Pemerintahan Daerah yang Efektif 2. Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perwilayahan 3. Peningkatan Aksesbilitas dan Kualitas di Bidang Pendidikan 4. Peningkatan Aksesbilitas dan Kualitas di Bidang Kesehatan 5. Revitalisasi Pertanian dalam arti luas dan Pembangunan Pedesaan 6. Penanggulangan Kemiskinan dan Peningkatan Kesempatan Kerja 7. Pengembangan Budaya Daerah dan Pariwisata
Sumber: LKPJ 2011-2015 Kabupaten Halmahera Barat Nampak dalam tabel 4.3 bahwa ada sinkronisasi antara Prioritas Nasional, Prioritas Provinsi Maluku Utara dan Prioritas Kabupaten Halmahera Barat.
64
Dalam Laporan Keterangan Pertangung Jawaban (LKPJ) Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2011-2015 disebutkan bahwa dari 7 prioritas pembangunan, hingga akhir kepemimpinan Bupati Halmahera Barat, Ir. Namto H. Roba, realisasi pelaksanaan program dan kegiatan yang merupakan manifestasi dari prioritas pembangunan daerah dinilai belum seluruhnya mencapai 100%. Penilaian tersebut didasarkan pada evaluasi pelaksanaan prioritas pembangunan Kabupaten Halmahera Barat selama 2011-2015. Hasil kajian atas berbagai dokumen perencanaan pembangunan Kabupaten Halmahera Barat menunjukan teridentifikasinya berbagai permasalahan terkait evaluasi pelaksanaan prioritas pembangunan daerah. Permasalahan tersebut sangat terkait dengan sejauhmana kedisiplinan belanja pemerintah daerah. Dalam isyarat ketentuan perundang-undangan, disiplin belanja dapat dimaknai sebagai komitmen Pemerintah Daerah dalam pengelolaan belanja agar tertib dan taat pada peraturan perundang-undangan. Pengejawantahan dari azas tersebut bermuara pada pengalokasian belanja berdasarkan skala prioritas pembangunan daerah. Artinya ukuran terhadap disiplin belanja akan mengarah pada sejauhmana konsistensi Musrembang, RPJMD, RKPD, KUAPPAS hingga pada pembahasan APBD. Hasil evaluasi atas permasalahan pelaksanaan prioritas pembangunan di Kabupaten Halmahera Barat, sebagaimana dirangkum pada Tabel 4.4.
65
Tabel 4.4. Identifikasi Permasalahan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Daerah Kabupaten Halmahera Barat No
Prioritas Pembangunan Daerah
1
Menyelenggarakan Pemerintahan Daerah yang Efektif
2
Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perwilayahan
3
Peningkatan Aksesbilitas dan Kualitas di Bidang Pendidikan
4
Peningkatan Aksesbilitas dan Kualitas di Bidang Kesehatan
Permasalahan - Reformasi birokrasi di lingkungan instansi Pemerintah Daerah masih bersifat parsial dan terbatas - Masih terjadi praktek KKN dalam birokrasi - Kelembagaan yang terkait dengan struktur organisasi yang belum sepenuhnya mendukung tupoksi - Sumberdaya manusia aparatur yang belum sesuai dengan harapan organisasi dan masyarakat - Lemahnya koordinasi lintas sektoral, lintas SKPD danlintas pemerintah daerah, serta antara Pemerintah Daerah dengan Provinsimaupun dengan Pemerintah Pusat - Masih banyaknya ruas-ruas jalan utama yang menghubungkan antar kecamatan rusak sedang dan berat - Masih ada Kecamatan dan Desa yang belum terjangkau dengan sarana jalan - Masih rendahnya akses masyarakat terhadap pelayanan angkutan umum khususnya untuk daerah-daerah terpencil dan daerah-daerahterisolasi. - Belum terbangunnya sistem drainase mikro dan makro - Rendahnya akses terhadap air minum dan sanitasi - Masih belum meratanya kesempatan memperoleh pendidikan - Masih rendahnya kualitas, relevansi, dan daya saing pendidikan - Masih rendahnya profesionalisme guru dan belum meratanya distribusi guru - Terbatasnya kualitas sarana dan prasarana pendidikan - Belum optimalnya pendidikan karakter bangsa - Belum efektifnya manajemen dan tatakelola pendidikan - Belum terwujudnya pembiayaan pendidikan sesuai UndangUndang Sisdiknas. - Masih rendahnya akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang berkualitas yang ditandai dengan masih rendahnya status kesehatan ibu dan anak dan status gizi masyarakat - Belum optimalnya upaya pengendalian penyakit yang ditandai dengan tingginya angka kesakitan dan kematian akibat penyakit menular dan penyakit tidak menular - Masih rendahnya kualitas kesehatan lingkungan - Masih rendahnya profesionalisme dan pendayagunaan tenaga kesehatan yang merata terutama di desa terpencil - Masih terbatasnya pembiayaan kesehatan untuk memberikan jaminan perlindungan kesehatan bagi masyarakat, terutama bagi penduduk miskin - Masih rendahnya ketersediaan, pemerataan, keterjangkauan, jaminan keamanan,khasiat, mutu obat dan makanan, serta alat kesehatan
66
5
Revitalisasi pertanian dalam arti luas dan Pembangunan Pedesaan
6
Penanggulangan Kemiskinan dan Peningkatan Kesempatan Kerja
7
Pengembangan Budaya Daerah dan Pariwisata
- Sarana dan prasarana pertanian dan perdesaan belum sepenuhnya melayani wilayah produsen - Alih fungsi lahan terus terjadi sehingga mengganggu ketersediaan dan kualitas sumberdaya alam - Penelitian dan pengembangan pertanian yang masih lemah - Penduduk yang rentan terhadap rawan pangan masih tinggi - Masih rendah kulitas sumberdaya penyuluh - Ketidaktepatanpenetapan sasaran penerima program penanggulangan kemiskinan - Keterbatasan jangkauanmanfaat bantuan program - Tingkat pengangguran terbuka yang masih tinggi - Rendahnya daya serap pekerja formal yang sering dikaitkan dengan hambatan berinvestasi - Kurangnya pelestarian nilai-nilai tradisi luhur - Lemahnya perlindungan dan pemanfatan warisan budaya - Belum optimalnya pengelolaan destinasi pariwisata - Belum memadainya sarana pendukung pariwisata - Belum optimalnya kemitraan dan kerja sama antara pemerintah dan swasta termasuk masyarakat - Pemasaran dan promosi pariwisata yang belum efektif karena belum optimalnya kemitraan - Terbatasnya daya saing SDM dibidang pariwisata.
Sumber : RPJMD, RKPD, LKPJ Kab Halmahera Barat 2011-2015.Diolah Berdasarkan hasil survei, terdapat 31,8% informan masih meragukan dan/atau menyatakan bahwa Pemerintah Daerah belum disiplin dalam merencanakan dan menganggarkan program atau kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Hasil penilaian informan ini disajikan pada Gambar 4.3.
Sumber: Data Survei, 2015. Diolah 67
Ketidakdisiplinan memproses
produk
belanja
muncul
perencanaan.
sebagai
Misalnya
akibat
dari
permasalahan
kelemahan di
tingkat
Musrembang. Seperti diketahui bahwa Musrembang adalah salah satu tahapan perencanaan pembangunan yang dipandang sangat bermakna untuk menyerap aspirasi masyarakat. Namun kemudian, forum ini cenderung hanya menjadi forum „formalitas‟ daerah. Kelemahan ditingkat Musrembang selama ini, terletak pada desain perencanaan yang belum matang. Setiap Desa, Kecamatan tentunya berkepentingan agar program yang mereka usulkan harus terakomodir. Tapi kan kapasitas fiskal daerah terbatas. Masalahnya, sejauh ini pelaksanaanMusrembang masih terkesan sporadis, perencanaan ditingkat Musrembang belum memiliki penguatan tolok ukur yang jelas terhadap usulan dari masyarakat. Kenapa yang lain terakomodir dan yang lainnya tidak, ini harus dijawab dengan tolok ukur yang jelas, agar tercipta kesepakatan yang kuat ditingkat Musrembang (Anonim, 2016) Kondisi ini terpantul dari pernyataan Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Barat, bahwa Musrembang harus dipahami oleh pimpinan SKPD secara benar karena bukan sekedar diskusi program biasa namun antar SKPD harus membangun sinergi dan menyamakan persepsi dalam program. Dilain sisi, pimpinan SKPD harus mengikuti Musrembang secara tuntas sehingga program yang direncanakan benar-benar terukur (Malut Post, 16 Maret 2016). Hasil pengamatan di lapangan mengungkap permasalahan tersebut. Pimpinan-pimpinan SKPD terkesan „malas‟, tidak punya perhatian yang besar dalam menghadiri Musrembang. Padahal UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa perencanaan pembangunan didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat 68
dipertanggungjawabkan. Jika pimpinan SKPD „malas‟, maka mereka tidak bisa diharapkan mendiagnosa makna filosofis dari informasi yang terserap dari masyarakat. Konsekuensinya, tidak mustahil jika produk berupa dokumen perencanaan sulit memenuhi kualitas perencanaan yang diharapkan. Selama ini memang setiap pelaksanaan Musrembang di tingkat Kecamatan jarang sekali dihadiri oleh pimpinan SKPD, kalaupun hadir itupun hanya pada acara pembukaan. Pada pelaksanaan desk program prioritas hanya diikuti oleh utusan SKPD. Padahal kehadiran pimpinan ini sangat penting untuk mengkaji beragam usulan dan mengkalkulasi dengan anggaran yang tersedia. Ini bisa menjadi masalah di kemudian hari, jika ada usulan masyarakat yang tidak terakomodir, mereka akan melakukan „lobi-lobi‟ tertentu, baik melalui pimpinan SKPD maupun „keterwakilannya‟ di DPRD untuk meloloskan program yang tidak terakomodir sebelumnya (Anonim, 2016). Seringkali masyarakat tidak lagi bersemangat untuk datang di forum Musrembang karena apa yang mereka usulkan sering tidak masuk dalam pembahasan APBD. Bagi saya, dinamika seperti ini memang terjadi di Halmahera Barat. Kita sadari bahwa program-program yang diusulkan di Musrembang, tidak semuanya dapat dipertahankan, karena terkait dengan anggaran. Namun, tidak hanya soal anggaran, tetapi dalam prosesnya sering ada unsur „kepentingan‟ di dalamnya, kadang pimpinan SKPD tertentu berkepentingan memasukkan program yang dikehendakinya (Anonim, 2016) Dalam perspektif teori keagenan (agency theory), terdapat tiga pelaku yang saling berinteraksi untuk mengawal kepentingan masing-masing. Pelaku yang pertama
adalah
eksekutif,
yang
cenderung
ingin
memaksimumkan
anggarannya. Pelaku yang kedua adalah legislatif, yang cenderung ingin dipilih kembali oleh masyarakat. Pelaku yang ketiga adalah publik, yang cenderung ingin memaksimumkan utilitasnya (Johnson, 1994 dalam Abdullah dan Asmara, 2006). Saling silang kepentingan antara ketiga pelaku ini akan 69
berimplikasi pada kerugian yang lebih besar. Dinamika ini dapat diilustrasikan dengan Gambar 4.4. Gambar 4.4. Dinamika Interaksi dalam Hubungan Keagenan di Sektor Publik
Sumber: Diinterpretasi dari Mitchell, 2000; Kasper dan Streit, 1999 dalam Asmara (2010), Von Hagen(2002), Petrie (2002) Merujuk pada gambar 4.4 eksekutif merupakan agent yang memiliki keunggulan informasi dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran program. Sedangkan legislatif merupakan principal (dan juga sebagai agent terhadap publik) yang memiliki keunggulan „kekuasaan‟, sehingga terbuka ruang yang memadai untuk berinteraksi secara intensif dengan eksekutif. Pada tataran ini, Von Hagen (2002) menyebut ada asumsi keperilakuan (behavioural assumptions)
yang
memengaruhi
tindakan
eksekutif
memaksimalkan
„kenikmatan‟ (enjoyment), yang nantinya secara tidak langsung terindikasi pada pemanfaatan fasilitas tempat kerja, prestise dan pengaruh. Sementara 70
legislatif, berkepentingan mencari program yang popular yang nantinya menjadi „investasi pencitraan‟ di mata publik.Secara implisit, eksekutif lebih berhasrat „mengembangkan‟ organisasinya, dan legislatif lebih berhasrat „memperjuangkan‟ konstituennya, bukan publik dalam arti yang sebenarnya. Ketika informasi tentang perencanaan dan penganggaran terdistribusi secara „politis‟ dan cenderung hanya menjadi „konsumsi politis‟ eksekutif dan legislatif, maka publik sebagai the ultimate principals cenderungmenjadi korban dari distribusi informasi yang tidak berimbang (asymmetric information). Implikasinya,ada semacam „black box‟ dalam pengelolaan anggaran publik yang menjadi domain „terlarang‟ bagi publik untuk mengetahuinya. Demikian, kondisi ini sulit dikontrol dan dideteksi oleh publik, karena karakter dari interaksi antar pelaku seolah-olah tidak menempatkan publik pada posisi yang seharusnya. Dalam konteks ini, baik eksekutif maupun legislatif sama-sama berpotensi menciptakan moral hazard (Petrie, 2002). Halmana keduanya tidak memenuhi visi-misi, yang merupakan kontrak antara pihak pemerintahan (eksekutif dan legislatif) dan kepercayaan yang diberikan oleh publik. Oleh Kasper dan Streit (1999 dalam Abdullah dan Asmara, 2006) memandang kondisi seperti sebagai penyuburan perilaku oportunistik dalam proses penyusunan anggaran publik, yang justru lebih besar daripada di dunia bisnis. Inkonsistensi ini berdampak pada proses berikutnya, misalnya dinamika politik anggaran dalam rancangan KUA-PPAS dan RAPBD. Ditengarai sering 71
terjadi kebijakan pimpinan untuk mengganggu struktur alokasi anggaran yang sudah direncanakan sebelumnya. Motifnya beragam, ada yang digeser untuk kegiatan-kegiatan seperti „sosialisasi‟, memperbesar perjalanan dinas, dan kegiatan lain yang relatif tidak berdampak signifikan pada percepatan pembangunan di daerah. Sering terjadi perubahan setelah melewati rancangan KUA, sebabnya karena kebijakan anggaran pada „level atas‟ yang harus dilaksanakan sehingga terjadi pergeseran anggaran. Ini sering terjadi karena kurang disiplinnya perencanaan pada masing-masing SKPD sehingga sinkronisasi antara dokumen KUA-PPAS dan RAPBD kadangkadang mengalami perbedaan (Anonim, 2016). Keefer dan Khemani (2003), menyatakan bahwa dugaan adanya misalokasi dalam anggaran karena para „aktor‟ memiliki kepentingan masing-masing dalam penganggaran. Pada kenyataannya, kesejahteraan publik sebagai tujuan politik anggaran cenderung terabaikan. Dalam pandangan Halim (2004), kondisi ini akan melemahkan disiplin anggaran, karena tidak konsisten pada struktur anggaran yang sudah ditentukan. Di tingkat pembahasan anggaran APBD, karakter „perjuangan‟ oleh pihak legislatif masih cenderung sama. Dialek-dialek seperti konstituen, daerah pemilihan, lebih nampak di permukaan dibandingkan dengan kepentingan publik secara totalitas. Pada prinsipnya kita tetap mengawal program prioritas yang sudah direncanakan. Memang dalam pembahasan anggaran bersama legislatif, sering terjadi „gangguan politik‟, dimana “keinginan” anggota DPRD untuk mendorong program dari aspirasi daerah pemilihannya. Walaupun demikian, kita tetap berusaha untuk mengawal prioritas pembangunan daerah (Anonim, 2015). 72
Dinamika ini konsisten dengan hasil kajian TADF (2013a) di Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Badung, Kota Makasar, Kota Pekan Baru, Provinsi Riau, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi DIY, dan Provinsi Bangka Belitung, dimana ketidakdisiplinan prioritas pembangunan lebih banyak diakibatkan oleh faktor politik khususnya dari keinginan Anggota DPRD atas nama konstituennya yang memunculkan program diluar yang sudah direncanakan. Dalam perspektif politik anggaran, pembahasan APBD tentu tidak dapat terhindar dari nuansa politik, karena DPRD sebagai lembaga politik memiliki „kewajiban moril‟ untuk memperjuangkan aspirasi dari konstituennya. Namun demikian, anggaran sebagai dokumen politik (Halim dan Kusufi, 2014), harus mencerminkan bentuk komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif atas penganggaran dana publik, bukan penganggaran dana „Daerah Pemilihan‟. Anggaran tidak sekedar masalah teknik, melainkan diperlukan political skilldan pemahaman yang memadai tentang manajemen keuangan sektor publik oleh para manajer publik. Dalam pandangan Mardiasmo (2002), peran DPRD hendaknya tidak lagi sebagai „Tukang Stempel‟ saja, namun harus benar-benar memainkan fungsinya sebagai pemegang hak budget. Kecenderungan ini dapat muncul pada dua kondisi: (1) legislatif memanfaatkan discretionary power-nya dengan melakukan lobi-lobi politis dengan SKPD tertentu untuk mengamankan berbagai proyek; (2) legislatif secara fanatis „memperjuangkan‟ usulan dari konstituennya, padahal usulan 73
tersebut belum tentu lolos dari pengujian tolok ukur kinerja. Hal ini dapat terjadi karena secara politis legislatif berkeinginan untuk dipilih kembali. Jika program yang diusulkan oleh anggota DPRD tidak keluar dari program prioritas, sebenarnya tidak menjadi masalah. Hanya saja beragam program yang diusulkan tersebut akan membebani APBD yang terbilang cukup kecil. Resikonya, hampir setiap satun APBD selalu diketuk defisit (Anonim, 2016) Dalam mengamati dinamika pengelolaan keuangan publik di era Otonomi Daerah, pernyataan yang sulit dihindari adalah ketidakmampuan keuangan daerah yang merupakan masalah klasik, namun selalu bersifat kontemporer. Dalam konteks inilah, maka ada sesuatu yang sangat mendasar dan perlu dibenahi. Jika dalilnya pada ketidakmampuan keuangan, maka yang harus diperhatikan adalah bagaimana mengkualitaskan produk perencanaan, disertai dengan komitmen untuk mengawalnya. Berdasarkan hasil kajian di lapangan, masalah ketidakdisiplinan belanja di Kabupaten Halmahera Barat ini sangat terkait dengan profesionalisme penyusunan perencanaan, di samping faktor „gangguan
politik‟. Dalam
dokumen RKPD 2016 disebutkan bahwa permasalahan mendasar dalam perencanaan pembangunan Kabupaten Halmahera Barat, di antaranya adalah kualitas dokumen perencanaan yang rendah serta pelaksanaan perencanaan yang belum konsisten (Bappeda Kabupaten Halmahera Barat, 2015). Kajian
pada
beberapa
dokumen
perencanaan
dan
penganggaran
memperkuat pernyataan ini. Dalam dokumen RPJMD, RKPD, dan RKASKPD relatif belum ditemukan format perencanaan dan penganggaran yang 74
bersinergi dengan paradigma penganggaran berbasis kinerja. Misalnya dalam dokumen RPJMD 2011-2015 (termasuk RPJMD sebelumnya), teridentifikasi masih
terdapat
kelemahan
dalam
proses
evaluasi
dan
kemampuan
merencanakan. Artinya dalam kurun waktu 2011-2015, tidak ada penyajian yang komprehensif atas keberhasilan yang dicapai di awal tahun (2011), dan bagaimana membuat target kinerja yang dapat dicapai pada akhir tahun (2015). Hal yang sama terdapat dalam dokumen RKPD dan RKA-SKPD, umumnya belum ada kejelasan indikator pelaksanaan program atau kegiatan, yang mencakup penggunaan kinerja masukan, keluaran, hasil, manfaat, dan dampaknya, hingga pada tingkat penentuan lokasi kegiatan. Dalam pandangan peneliti, dokumen perencanaan dan penganggaran di Kabupaten Halmahera Barat umumnya mengalami krisis tolok ukur, sehingga alokasi belanja cenderung bias terhadap prioritas pembangunan daerah. Disebut prioritas, jika program atau kegiatan tertentu dinilai penting, realistis, dan relevan. Sejauhmana ketiga unsur tersebut dapat diwujudkan, sangat tergantung pada kemampuan merencanakan tolok ukur untuk masingmasing kegiatan. Sebagai contoh, pengentasan kemiskinan adalah salah satu tema prioritas pembangunan. Hal ini bukan berarti bahwa „semua kelompok masyarakat‟ harus dialokasikan anggarannya. Tetapi harus melalui pengujian tolok ukur, sehingga benar-benar berdampak pada pelaksanaan prioritas. Karena setiap tahapan perencanaan dan penganggaran tidak diperkuat dengan
75
tolok ukur kinerja, maka sangat memungkinkan program atau kegiatan yang sudah direncanakan relatifmudah diganti dengan kegiatan lain. Adapun DPRD, tidak dibenarkan „memperjuangkan‟ aspirasi hanya dari kelompok-kelompok tertentu saja. Tetapi prinsipnya, harus memperjuangkan program atau kegiatan yang lebih realistis, jelas tolok ukurnya, sekalipun program itu bukan dari konstituennya. Sebagaimana Von Hagen (2002), pada prinsipnya hubungan
keagenan antara publik dan legislatif-eksekutif
menunjukkan bagaimana pembuatan kebijakan untuk kesejahteraan mereka, karena mereka (publik) telah bersedia memberikan dana dengan membayar pajak dan retribusi. Dengan demikian, kebijakan agen diharapkan bersifat adil terhadap
kepentingan
prinsipalnya
(the
ultimate
principals)dalam
pengalokasian anggaran. Demikian, DPRD sebagai mitra Pemerintah Daerah perlu menciptakan politik anggaran yang mencerdaskan dalam pembahasan anggaran. Jika program yang diusulkan belum memiliki tolok ukur kinerja yang jelas, maka jangan dipaksakan hanya karena menjaga koneksi dengan konstituen. DPRD perlu hadir sebagai pembedah dokumen perencanaan, memiliki kemampuan untuk mengurangi tolok ukur kinerja dalam dokumen, sehingga kegiatankegiatan yang dinilai menciptakan pemborosan dan tidak efektif, maka dapat dibarui atau diusulkan program lain yang lebih terukur dan tidak keluar dari prioritas pembangunan daerah.
76
Tahapan pembahasan anggaran merupakan tahapan di hilir. Jika mengharapkan tahapan di hilir mampu memproduk dokumen (APBD) yang berkualitas, maka tahapan di hulu yang harus dibenahi. Dalam pemaknaan inilah, evaluasi terhadap perencanaan dan penganggaran menjadi sangat penting.Muatan evaluasi yang dipandang penting adalah penegasan terhadap tolok ukur indikator kinerja dalam setiap penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran, disamping tetap memperhatikan prinsip money follow programsehingga anggaran benar-benar diperuntukan untuk program prioritas. Pada dasarnya, permasalahan pembangunan di Kabupaten Halmahera Barat tidak harus dialamatkan secara „kaku‟ pada ketidakmampuan keuangan daerah. Tetapi harus dipahami bahwa tekanan terhadap faktor ketidakmampuan keuangan dapat dipandang final dan realistis, jika kita sudah benar-benar disiplin dalam merencanakan dan menganggarkan. Kenyataannya, anggaran berbasis kinerja terlihat ramai di wacana, tetapi masih „sunyi‟ di lapangan. Hal ini mengandung arti bahwa, jika kita bersungguh-sungguh mewujudkan pengelolaan anggaran berbasis kinerja, maka komitmen itu akan menjadi langkah strategis untuk mengatur kebutuhan fiskal yang semakin tinggi. Komitmen untuk menerapkan penganggaran berbasis kinerja akan mendorong tersedianya dokumen-dokumen perencanaan yang tergambar jelas tolok
ukur
kinerja
indikatornya.Di
lain
sisi,
komitmen
ini
sangat
memungkinkan untuk meminimalisir „faktor politik‟ dalam pembahasan anggaran, karena telah tersedia kejelasana dan keakuratan tolok ukur 77
programnya. Hal ini tentu membutuhkan kapasitas dalam manajemen keuangan sektor publik, baik sumberdaya eksekutif maupun legislatif. Dalam capaian ini, kualitas perencanaan dan penganggaran serta politik anggaran yang sehat dapat mendorong terwujudnya disiplin belanja terhadap prioritas pembangunan daerah. 3. Ketepatan Alokasi Belanja Daerah Terdapat tiga indikator yang akan dikaji, yaitu ketepatan alokasi belanja modal, belanja pegawai, serta belanja hibah dan bantuan sosial. Berdasarkan hasil survei, 68,18% informan menyatakan alokasi belanja modal tidak dapat ditingkatkan (sekurang-kurangnya 29-30%) dari total belanja daerah. Untuk belanja pegawai, terdapat 22,72% informan meragukan bahwa Pemerintah Daerah dapat memenuhi alokasi belanja pegawai dibawah 50%. Sementara alokasi hibah dan bantuan sosial, terdapat 22,27% informan menyatakan bahwa alokasinya belum tepat sasaran. Penilaian tersebut disajian pada Gambar 4.5.
Sumber: Data Survei, 2015. Diolah 78
Kesulitan memperbesar alokasi belanja modal ini sering dikaitkan dengan kemampuan keuangan daerah yang masih rendah. Tingginya kebutuhan daerah (fiskal need) tidak seimbang dengan kapasitas fiskal (fiscal capasity), sehingga menimbulkan kesenjangan fiskal (fiscal gap). Dilain sisi, jumlah pegawai Kabupaten Halmahera Barat terbilang masih cukup besar. Oleh berbagai kalangan, kondisi ini dinilai sangat membebani APBD. Sulit meningkatkan alokasi belanja modal hingga 30%. Pegawai kita masih terlalu banyak sehingga membebani APBD. Penyebab yang mendasar adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Halmahera Barat yang sangat kecil, sehingga tidak mampu menjadi stimulus bagi proporsi pembelanjaan di daerah (Anonim, 2016) Belanja modal di sini (Kabupaten Halmahera Barat) sangat tergantung pada anggaran DAK. Contoh, di tahun 2016 DAK kita menurun dibanding tahun sebelumnya. Artinya, hal ini sulit diharapkan belanja modal akan dapat ditingkatkan seperti yang kita harapkan (Anonim, 2016). Kondisi ini sejalan dengan rendahnya kemandiran keuangan daerah Kabupaten Halmahera Barat, sehingga menyulitkan Pemerintah Daerah dalam membiayai program prioritas yang sudah direncanakan. Jika dicermati, rasio PAD terhadap total pendapatan Kabupaten Halmahera Barat, rata-rata rasionya dari tahun 2011-2015 hanya 1,97% dari total pendapatan daerah. Dalam kurun waktu yang sama, Pemerintah Daerah kesulitan dalam mencapai target PAD.Sajian atas perbandingan realisasi pendapatan daerah dan targetnya dapat dilihat pada Tabel 4.5.
79
Tabel 4.5. Kontribusi PAD Terhadap Total Pendapatan Daerah pada Perhitungan APBD Tahun Anggaran 2011-2015 PENDAPATAN ASLI DAERAH TAHUN 2011 2012 2013 2014 2015 TOTAL RATARATA
TARGET PAD
REALISASI PAD
6.250.000.000,00 6.800.000.000,00 14.407.600.000,00 16.407.600.000,00 31.740.370.000,00 75.605.570.000,00
5.020.380.000,05 5.120.411.607,88 10.214.205.255,24 18.657.849.526,88 15.542.071.276,87 54.554.917.666,92
15.121.114.000,00
10.910.983.533,38
TOTAL PENDAPATAN DAERAH TARGET REALISASI PENDAPATAN PENDAPATAN DAERAH DAERAH 436.869.517.866,00 401.492.457.993,05 480.967.426.000,00 436.414.276.694,88 505.652.313.000,00 505.213.405.373,24 608.131.435.000,00 579.198.689.918,88 746.001.960.945,00 701.593.821.204,87 2.777.622.652.811,00 2.623.912.651.184,92 555.524.530.562,20
524.782.530.236,98
Sumber: BPKAD Kabupaten Halmahera Barat, 2016. Diolah Jika menggunakan data Kabupaten Kota tahun 2013, maka rasio kemandiran Kabupaten Halmahera Barat masih jauh dibawah rata-rata Kabupaten Kota di Provinsi Maluku Utara, sebesar 7,70% (Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Maluku Utara, 2014)). Oleh Ritonga et al (2012), salah satu indikator dari kondisi keuangan yang sehat dapat dilihat ketika Pemerintah Daerah mampu mengelola hak keuangan (yaitu mengumpulkan pendapatan) menyebabkan peningkatan kemandirian keuangan Pemerintah Daerah. Faktor
yang
dinilai
masih
menjadi
kendala
diantaranya
adalah
ketidakmampuan sumberdaya pengelola serta minimnya pelayanan publik sehingga berimplikasi pada keengganan masyarakat untuk membayar pajak dan retribusi daerah (LKPJ Bupati Halmahera Barat, 2016). Faktor lain, alokasi belanja modal ditengarai masih sering terganggu dalam tahapan proses perencanaan dan penganggaran di daerah. Hal ini terjadi di hampir setiap tahun
80
anggaran, sehingga alokasi yang sebelumnya sudah direncanakan kemudian mengalami perubahan pada tahapan selanjutnya. Setelah plafon anggaran diberikan, sudah ditentukan proporsi belanja masing-masing, biasanya belanja modal dialokasikan 25% dari total belanja daerah. Namun, sering terjadi perubahan setelah melewati rancangan KUA. Hal ini disebabkan karena kebijakan anggaran pada „level atas‟ yang harus disesuaikan, sehingga mendistorsi sinkronisasi antara dokumen perencanaan dan penganggaran (Anonim, 2016) Belanja modal untuk infrastruktur di Kabupaten Halmahera Barat masih sangat kecil, sehingga turut berpengaruh pada percepatan pembangunan infrastruktur di daerah. Saya kurang tahu mungkin hal ini terkait dengan kebijakan pimpinan (Anonim, 2016) Makna tersirat dari „kebijakan-kebijakan pimpinan‟ inilah yang sering mendistorsi struktur alokasi belanja. Secara teoritis, perilaku pimpinan yang „senang‟ menggeser anggaran dapat didekati dengan model Bandura (1991 dalam Wiyono, 2013), sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 4.6. Gambar 4.6. Perilaku „Menggeser Anggaran‟dalam Perspektif Model Bandura Perilaku Pimpinan: („Menggeser Anggaran‟)
Cara Pandang: („Membenarkan‟ )
Lingkungan: („Tertekan‟, „Menyetujui‟)
Sumber : Diinterpretasi dari Bandura (1991 dalam Wiyono, 2013:264) 81
Berdasarkan gambar 4.6 dapat diinterpretasi bahwa perilaku pimpinan berupa kebijakan „level atas‟ yang sering menggeser anggaran cenderung tidak mendapat reaksi perlawanan dari bawahan atau organisasinya (Lingkungan). Pimpinan dengan segala kekuasaannya seolah-olah menjadi „domain terlarang‟ untuk dikritisi oleh lingkungan sekitarnya. Lingkungan tersebut seolah-olah sudah „dibentuk‟ oleh pimpinan, sehingga lingkungan dengan keterbatasan kekuasaannya itu menjadi „tertekan‟ dan seolah-olah „menyetujui‟ perilaku pimpinannya. Justru perilaku seperti itu berpotensi ditiru atau mendapat dorongan dari bawahan, sehingga melahirkan sebuah „kelaziman‟ bahwa kebijakan yang terkait dengan pergeseran anggaran adalah „benar‟ (Cara pandang). Demikian seterusnya, sehingga dapat dibayangkan bahwa perilaku pimpinan seperti itu akan menjadi „beku‟ jika cara pandang bersama-sama dengan lingkungan di tempat kerja seolah-olah „melegitimasi‟ perilaku yang sedang dipraktikkan oleh pimpinan. Salah satu indikasi keberpihakan Pemerintah Daerah terhadap peningkatan pelayanan publik adalah komitmennya pada besaran alokasi belanja modal. Apalagi proses percepatan pembangunan di Kabupaten Halmahera Barat yang tentunya sangat membutuhkan keberpihakan alokasi belanja modal untuk menjawab beragam permasalahan prioritas pembangunan di daerah. Beragam prioritas ini sulit didanai oleh PAD, sehingga harapannya pada dana perimbangan yang dialokasikan untuk belanja modal. Artinya Pemerintah
82
Daerah harus memaknai ini sebagai peluang untuk membangun daerah, bukan sebagai „hadiah‟ untuk digunakan sesuka hati. Dalam perspektif teori keagenan, perilaku birokrat yang sering mendistorsi struktur anggaran, karena mereka sebagai expert agent memiliki keunggulan dalam informasi (Petrie, 2002). Jadi seolah-olah apa yang terjadi di dalam pengelolaan penganggaran sulit terdeteksi olehthe ultimateprincipal, yakni masyarakat pada umumnya. Atas nama „kebijakan‟, pimpinan level atas cenderung mendahulukanself-interest-nya, dan mengabaikan kepentingan yang lebih besar. Kajian empiris oleh Mardin Manurung (2014, dalam Halim, 2014) tentang pengelolaan anggaran pembangunan di Kabupaten Jayapura menunjukan bahwa dalam penyusunan rencana proyek belum memperhatikan sasaran dan manfaat kepada masyarakat, tetapi lebih dominan proyek-proyek aparatur. Latar belakang proyek lebih didasari pada kepentingan interpersonal maupun institusional. Penekanan simpulan yang teridentifikasi dari kajian ini adalah perilaku birokrat yang menganggap biasa hal-hal yang mereka putuskan, padahal dalam perspektif politik anggaran sangat merugikan masyarakat. Dalam terminologi Wiyono (2013), praktik seperti itu tentu merugikan kepentingan yang lebih besar, tetapi karena dilakukan terus menerus sehingga menjadi salah-kaprah.
Praktik ini kemudian berevolusi dari pemerintahan
sebelum ke pemerintahan berikutnya, sehingga menjadi „nilai baru‟ yang dipraktikkan secara massal. Terkait dengan perilaku tersebut, maka anggaran 83
sebagai alat politik cenderung melemahkan komitmen pengelola dalam melaksanakan program-program pelayanan publik yang telah dijanjikan sebelumnya (Nordiawan dan Hertianti, 2010) Permendagri No. 37 Tahun 2012 (Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2013) menetapkan belanja modal sekurang-kurangnya 29%, kemudian Permendagri No.27 Tahun 2013 (Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2014) serta amanah RPJMN 2010-2014 bahwa belanja modal dialokasikan sekurangkurangnya 30% dari total belanja daerah. Jika mencermati alokasi belanja modal di Kabupaten Halmahera Barat, nampak bahwa alokasi belanja modal dinilai masih rendah, dimana rata-rata proporsinya terhadap total belanja daerah dalam kurun waktu 2011-2015 sebesar 24,5%. Persentase proporsinya disajikan pada Grafik 4.2. Grafik 4.2. Persentase Proporsi Belanja Modal, Belanja Pegawai, Hibah dan Bantuan Sosial Kabupaten Halmahera Barat 2011-2015
Sumber: BPKAD Kabupaten Halmahera Barat, 2016. Diolah 84
Sementara proporsi belanja pegawai (langsung dan tidak langsung) cenderung berfluktuatif dari tahun 2011 hingga 2015. Rata-rata persentase belanja pegawai terhadap total belanja daerah sebesar 46,5%.
Proporsi
belanja hibah dan bantuan sosial juga cenderung berfluktuatif. Rata-rata proporsi belanja hibah dan bantuan sosial terhadap total belanja daerah tahun 2011-2015 sebesar 3,53%. Dalam penelitian ini, ukuran terhadap ketepatan alokasi belanja pegawai menggunakan ketentuan yang digunakan oleh TADF (2013a) dalam kajiannya pada beberapa daerah sampel di Indonesia. Ukuran tersebut adalah alokasi belanja pegawai dinilai tepat, jika proporsinya terhadap total belanja daerah dibawah 50%. Oleh karena itu alokasi belanja pegawai di Kabupaten Halmahera Barat dinilai sudah relatif tepat, karena rata-rata proporsinya dalam 5 tahun terakhir sebesar 46,5%. Kecuali untuk tahun 2012, yang kisarannya masih di atas 50%. Di tahun 2011, jumlah pegawai Kabupaten Halmahera Barat masih sebesar 3,930 orang, kemudian mengalami peningkatan di tahun 2015 menjadi 4,464 orang (BKD Kabupaten Halmahera Barat, 2016).
Namun demikian, tren
alokasinya di tahun 2015 mengalami penurunan hingga 38,4%. Penurunan ini disebabkan oleh terjadinya mutasi, kebijakan pemerintah yang belum membuka lowongan CPNS baru, pensiunan terutama guru, serta belum terjadi pengangkatan tenaga honorer, sehingga ada kecenderungan terhadap tren penurunan alokasi belanja pegawai. 85
Temuan ini merupakan indikasi yang baik terhadap ruang fiskal daerah untuk mendorong kebutuhan fiskal yang lebih mendesak. Harapan tersirat dari hasil kajian TADF (2013a) bahwa belanja daerah perlu ditekan di bawah 40%. Apalagi untuk kondisi pembangunan di Kabupaten Halmahera Barat, yang relatif tertinggal dari Kabupaten lain di Maluku Utara. Data Bappenas (2015) menunjukkan bahwa di tahun 2009 tercatat 7 Kabupaten yang tertinggal di Maluku Utara, termasuk Halmahera Barat. Berselang 7 tahun kemudian (20092015), ada 2 Kabupaten telah berhasil keluar dari zona tersebut, yakni Halmahera Utara dan Halmahera Tengah, sementara Halmahera Barat bersama 6 Kabupaten lainnya (termasuk Pulau Taliabu) masih pada zona tertinggal. Sebuah kekhususan untuk Kabupaten Halmahera Barat, karena Kabupaten ini merupakan Kabupaten induk, tetapi cenderung terbelakang dibanding Kabupaten tetangganya, seperti Halmahera Utara. Hasil kajian Suaib (2014) memberikan beberapa penjelasan. Pertama, kinerja perekonomian Kabupaten Halmahera Utara masih lebih baik dibanding daerah Kabupaten Halmahera Barat. Kedua, indeks kinerja pelayanan publik Kabupaten Halmahera Barat relatif belum stabil, sebab terbatasnya sarana prasaran, sebaran guru, tenaga kesehatan belum merata serta kualitas infrastruktur jalan khususnya jalan Kabupaten masih kurang baik. Ketiga, rendahnya kualitas aparatur disebabkan oleh
minimnya
persentase
aparatur
yang
berpendidikan
sarjana.
Keempat,indeks kinerja keuangan daerah masih rendah, akibat tingginya ketergantungan fiskal disebabkan besarnya belanja pegawai. 86
Menurut saya, alokasi belanja pegawai memang masih terbilang besar. Hampir setengah dari APBD, kita alokasikan ke pegawai. Apalagi kondisi pembangunan Halmahera Barat yang masih tertinggal, baik infrastruktur jalan, pendidikan, kesehatan, dan lainlain. Oleh karena itu, yang harus dilakukan adalah menahan penerimaan pegawai baru, dan bagaimana caranya meningkatkan produktifitas kerja pegawai yang ada (Anonim, 2016) Perlu dicermati bahwa total pendapatan daerah dalam kurun waktu 20112015, rata-ratanya mencapai Rp 524.782.530.236. Dari jumlah ini, jika belanja pegawai 46,5%, maka hampir separuh dari total pendapatan daerah digunakan untuk belanja pegawai. Belum lagi proporsi untuk belanja „barang dan jasa‟ serta belanja lain-lain, tentunya dapat diduga bahwa belanja modal akan sulit ditingkatkan
selaras
dengan
ketentuan
perundang-undangan.
Dengan
interpretasi seperti itu, maka seperti pandangan kebanyakan orang bahwa belanja pegawai masih menggerogoti struktur APBD (Anonim, 2012a), termasuk di Kabupaten Halmahera Barat. Dalam perspektif perencanaan anggaran, struktur APBD yang lebih didominasi oleh belanja pegawai cenderung akan melemahkan prinsip money follow program dan mempekuat moneyfollow people. Sementara untuk ketepatan alokasi belanja hibah dan bantuan sosial, informasi yang diperoleh dari informan mengindikasikan bahwa alokasi bantuan sosial masih terkesan politis sehingga kelompok yang tidak layak „dipaksakan‟ harus dapat. Dinamika ini searah dengan temuan TADF (2013a) di beberapa daerah sampel di Indonesia, bahwa alokasi belanja hibah dan
87
bantuan sosial banyak dikaitkan dengan kepentingan elit politik, baik di eksekutif maupun legislatif di daerah. Problemnya terletak pada bagaimana mengakomodasi secara selektif kebutuhan masyarakat. Pengalaman selama ini hanya orang-orang yang memiliki jaringan kuat yang bisa mengakses bantuan sosial. Dilain sisi, ada yang sengaja mengambil untung dari situ, baik dari masyarakat maupun SKPD tertentu. Sebagai contoh, bantuan nelayan, ada yang jual mesin dan perahu, demikian juga alat pertukangan. Dari pihak SKPD, ada yang bikin kelompok atau kegiatan fiktif. Ini artinya bantuan tidak tepat sasaran, serta tidak adanya pembinaan sehingga bantuan tersebut tidak mampu dikelola oleh masyarakat (Anonim, 2016) Kajian Sulton (2015) di Kabupaten Ponorogo mempertegas kondisi seperti ini, dimana pertimbangan alokasi anggaran hibah dan bantuan sosial lebih pada
faktor
discretionary
power
eksekutif
dan
legislatif
daerah.
Pengelolaannya diliputi berbagai penyimpangan karena lemahnya mekanisme pengelolaan anggaran. Modusnya berupa pemberian bantuan tanpa pengajuan, melebihi alokasi, pemotongan bantuan, tidak adanya pertanggungjawaban, dan proposal atau bantuan fiktif. Ini terjadi karena adanya korupsi politik, yaitu eksploitasi politik oleh eksekutif dan legislatif daerah dalam upaya memperoleh keuntungan politik tertentu. Akibatnya pengelolaan anggaran hibah dan bantuan sosial, jauh dari prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas yang dipersyaratkan oleh peraturan perundangan-udangan yang berlaku. Dalam perspektif teori keagenan (agency theory), karakteristik dari alokasi belanja hibah dan bantuan sosial selama ini terkesan „memudahkan‟ para birokrat untuk berperilaku korup.Hal mana karena pengelolaannya tidak 88
terkontrol dalam sebuah sistem pengelolaan yang transparan. Model pengelolaan yang seperti itu, yang oleh Keefer dan Khemani (2003) anggarannya menjadi mudah dikorupsi. Perilaku seperti ini relatif mudah ditemui di lapangan, dimana peneliti sering menemukan individu-individu (masyarakat) yang sering „beraktifitas‟ di kantor DPRD (termasuk di Kantor Bupati). Mereka sibuk mencari teman, saudara atau kerabat yang kebetulan menjadi anggota dewan di Halmahera Barat. Motifnya sederhana, ingin membicarakan sebuah proposal bantuan yang mereka ajukan, dan berharap agar koneksi (Anggota DPRD) yang mereka gunakan dapat „memperjuangkan‟ proposal dimaksud. Pandangan umum di masyarakat begitu sederhana, jika pengajuan proposal bantuan tidak melalui jalur politis, maka sulit diharapkan pengajuan tersebut akan dilakukan pencairan anggaran.Di jalur eksekutif pun demikian, ada yang peneliti jumpai menuturkan hal-hal yang terkait dengan proses ini. “kalo ngana mau ajukan proposal bantuan dana, ngana harus kawal mulai dari disposisi Bupati, kemudian ke Umum sampai di Bagian Keuangan, kalo trada ngana pe proposal itu akan tatono bagitu sudah, bila perlu maso langsung di Sekda, supanya bacarita langsung” (Percakapan Singkat dengan Seorang Pegawai Pemda Kabupaten Halmahera Barat, 28 Desember 2015) Jika anda mau mengajukan proposal bantuan dana, anda harus intens mengawal, mulai dari disposisi Bupati, kemudian turun ke Bagian Umum hingga masuk ke Bagian Keuangan, bila perlu anda langsung ke „ruangan Sekda‟untuk membicarakannya (Percakapan Singkat dengan Seorang Pegawai Pemda Kabupaten Halmahera Barat, 28 Desember 2015)
89
Fenomena ini memberikan isyarat bahwa pengelolaan belanja bantuan sosial belum menunjukkan perencanaan anggaran yang baik.
Oleh Rinusu (2003,
dalam Suhadak dan Nugroho, 2007:08), prinsip dasar yang harus diakomodasi dalam penyusunan anggaran yaitu transparan, partisipatif, disiplin, adil, efisiensi dan efektif, serta rasional dan terukur. Padahal dari informasi yang didapat dalam survei, ada informan yang menilai bahwa alokasi belanja bantuan sosial di Kabupaten Halmahera Barat sudah tepat sasaran karena sudah melalui pengajuan proposal dan proses verifikasi. Dalam beberapa kasus, pandangan ini masih dapat diterima.
Tetapi
kebanyakan makna dari „pengajuan proposal dan proses verifikasi‟ tidak melalui siklus perencanaan yang jelas. Perilaku titip menitip, atau menggunakan koneksi tertentu masih membudaya. Sekalipun isi proposalnya rasional dan terukur, tetapi dalam perspektif perencanaan anggaran sulit dibenarkan, karena proses tersebut tercerabut dari prinsip keadilan, disiplin anggaran, efektifitas, partisipatif, dan transparansi dalam pengelolaan. Latif et al (2014) dalam temuan empiris di Kabupaten Bantul menunjukkan kondisi yang sama, dimana belanja bantuan sosial belum sepenuhnya mewujudkan sebuah perencanaan strategis, yang mana kegiatan belanja bantuan sosial terkesan belum mencerminkan penjabaran visi dan misi pemimpin. Selain itu dalam proses perencanaannya baik di tingkat SKPD maupun di tingkat PPKD belum menggunakan tolok ukur kinerja yang yang jelas dalam alokasi belanja bantuan sosial. 90
Dampak ganda dari proses yang seperti itu akan mempengaruhi dimensi yang lain, seperti keakuratan pertanggungjawaban para penerima bantuan. Dalam konteks ini, tercatat di tahun 2013 adanya ketidaklengkapan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) penerima dana hibah senilai Rp. 387.750.000 dan bantuan sosial senilai Rp. 511.500.000,00. Pada tahun 2014 tercatat ketidaklengkapan
LPJ
oleh
penerima
hibah
meningkat
sebesar
Rp.852.145.000,00 (BPKAD Kabupaten Halmahera Barat, 2016). Sulit dibayangkan ada lembaga atau kelompok masyarakat yang seperti itu, diharapkan dapat berpartisipasi dalam memajukan pembangunan di daerah. Masalah seperti ini tentu tidak sejalan dengan semangat ketentuan perundangundangan.
Dalam
Permendagri
No.13
Tahun
2006
Hibah
kepada
badan/lembaga/organisasi swasta dan/atau kelompok masyarakat/perorangan bertujuan
untuk
meningkatkan
partisipasi
dalam
penyelenggaraan
pembangunan daerah. Sedangkan bantuan sosial kepada masyarakat bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, diberikan tidak secara terus menerus/tidak berulang setiap tahun anggaran, selektif dan memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya. Jika dicermati tingkat serapan antara belanja bantuan sosial dan hibah, belanja pegawai dan belanja modal, penyerapan ketiga belanja tersebut masih dibawah 100%. Perbandingan anggaran dan realisasi dari ketiga belanja tersebut disajikan pada Grafik 4.3.
91
Grafik 4.3. Perbandingan Anggaran Belanja Pegawai, Belanja Modal, Belanja Hibah dan Bantuan Sosial dengan Realisasinya
Sumber: BPKAD Kabupaten Halmahera Barat, 2016. Diolah Menariknya, rata-rata serapan anggaran untuk belanja hibah dan bantuan sosial serta belanja pegawai pada kurun waktu 2011-2015 masing-masing mencapai 95,6% untuk hibah dan bantuan sosial, dan 93,7% untuk belanja pegawai. Sementara untuk belanja modal, rata-rata serapannya dalam kurun waktu yang sama hanya mencapai 64,3% dari yang dianggarkan. Gambaran ini menunjukkan bahwa belanja yang mendukung percepatan proses pembangunan di Kabupaten Halmahera Barat yang tercermin dalam belanja modal, penyerapannya masih sangat rendah. Penyerapan anggaran pada belanja modal memang belum maksimal.Ada beberapa kendala, yaitu keterlambatan juknis DAK, pelaporan progress di lapangan. Sering progress di lapangan sudah bagus, artinya sudah bisa ada pencairan selanjutnya, tetapi sering terlambat pencairan dari keuangan, dengan alasan anggaran DAK dari pusat belum masuk. Kemudian keterlambatan tender, ada kendala juga dari ULP, kemudian juga dari SKPD terkait. Disini ada kebijakan-kebijakan pimpinan yang juga mempengaruhi proses keterlambatan ini (Anonim, 2016) 92
Penyerapan anggaran ini sering terkait dengan kondisi pekerjaan di lapangan, terutama kegiatan fisik. Apalagi kegiatan-kegiatan yang dibiayai sumber dana DAK, hampir setiap tahun juknis dari kementerian teknis mengalami keterlambatan. Kadang sampai bulan juni baru keluar, jika demikian kapan kita mulai kerjanya (Anonim, 2016) Demikian, berbagai kegiatan di awal tahun anggaran akan sulit dilaksanakan, terutama pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dalam konteks ini perlu ada evaluasi, karena selama ini anggaran DAK seolah-olah „menjepit‟
inisiatif
daerah.
Pengelolaan
anggaran
DAK
„terkesan‟
menonjolkan karakter kekuasaan pusat secara berlebihan. Berdasarkan beberapa studi, terjadi perbedaan konsepsi di tingkat Pemerintah Daerah.Ada yang berpandangan bahwa skema DAK saat ini relatif masih dianggap inefisien, ditengarai karena kurangnya diskresi yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah
dalam
pengggunaan
DAK
dari
ketentuan
dan
administrasi yang relatif rigid (Bappenas, 2009; Bappenas dan GIZ, 2011 dalam TADF,2013b) Padahal tekanan desentralisasi tidak sekedar terletak pada usaha-usaha penggalian PAD tetapi adalah bagaimanakah keleluasaan Pemerintah Daerah dalam penggunaan dana-dana perimbangan tersebut (Mardiasmo, 2002). Dalam laporan penelitian tentang pengelolaan DAK, TADF (2013b) mengungkap beberapa hal. Pertama,penetapan petunjuk teknis terkait dengan penggunaan DAK dilakukan setelah adanya penetapan alokasi DAK, sehingga cenderung tidak mengikuti prinsip „money follow function‟. Kedua, 93
juknis sering berubah-ubah dan penerbitannya terlambat sehingga terjadi penundaan pelaksanaan kegiatan, dan berlaku hanya dalam satu tahun anggaran. Ketiga, kebijakan dana pendamping yang bersifat sama untuk semua. Dalam kasus-kasus tertentu, sekalipun juknis sudah diterima oleh SKPDSKPD yang menangani Dana Alokasi Khusus (DAK), tetapi pelaksanaan kegiatan masih sering terlambat. Misalnya, tercatat di tahun 2015, anggaran sebesar Rp 61 miliar di pemerintah Kabupaten Halmahera Barat melalui DAK tahun 2015, hingga bulan agustus masih mengendap di rekening Pemda. DAK sebesar itu melekat di Dinas Pekerjaan Umum (PU), Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jailolo, Dinas Kesehatan. DAK sebesar itu belum bisa direalisasikan dalam bentuk kegiatan, karena Unit Layanan Pelelangan (ULP) belum menerima dokumen kegiatan tiga instansi tersebut (Malut Post, 29 Agustus 2015). Sebagaimana Yustika (2012), kondisi seperti itu sering terjadi karena sebagian proyek/program sejak awal tidak diikuti dengan jadwal yang jelas, ataupun jadwal tersebut hanya sebagai panduan bukan sebagai target pelaksanaan. Aspek lain yang penting untuk dicermati adalah tipikal penyerapan anggaran yang cenderung menumpuk di akhir tahun anggaran. Supaya dinilai „berhasil‟ dalam pengelolaan, SKPD sering membuat kegiatan-kegiatan „mendadak‟ di akhir tahun anggaran. Misalnya kegiatan sosialisasi, jika dilaksanakan secara terukur, maka kegiatan ini di lembaga mana pun menjadi 94
sangat penting. Artinya kegiatan tersebut akan terlihat jelas dampaknya, di lain sisi dapat disiasati dan tidak terselenggara secara „terus menerus‟. Namun yang terjadi cenderung belum mendukung efisiensi anggaran. Yang seperti itu masih nampak di Kabupaten Halmahera Barat, coba lihat saja di akhir tahun anggaran, beramai-ramai melakukan kegiatan, yang paling sering adalah kegiatan sosialisasi, karena mungkin mudah untuk dilaksanakan. Kami sering diundang untuk kegiatan sosialisasi seperti itu, dan saya juga sering hadir. Tetapi begitu mengikuti kegiatannya, saya pikir-pikir tidak ada yang membanggakan, setiap tahun begitu-begitu saja, kelihatannya hanya mau menyerap anggaran (Anonim, 2016) Secara teoritis, penyerapan anggaran yang rendah di tahun sebelumnya akan menghasilkan sisa dana. Sisa dana tersebut dinamakan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran, atau SiLPA. Keberadaan SilPA ini juga disumbang oleh penyerapan belanja modal yang rendah. Semakin besar SiLPA menunjukan ketidakcermatan dalam penganggaran atau adanya kelemahan dalam pelaksanaan penganggaran (Kemenkeu, 2013b). Lebih tegas, oleh sebagian kalangan berpendapat bahwa sebagian besar permasalahan yang menyangkut dengan rendahnya penyerapan anggaran merupakan cermin dari dengan kualitas perencanaan (Anonim, 2012b). Dalam ketentuan perundang-undangan, belanja modal dan belanja pegawai serta hibah dan bantuan sosial diklasifikasikan secara berbeda. Dalam PP No.58 Tahun 2005, belanja hibah dan bantuan sosial masuk dalam klasifikasi belanja lain-lain. Dalam perspektif ekonomi makro, karakteristik belanja lainlain, ditambah belanja pegawai bersifat konsumtif, sementara belanja modal 95
serta belanja barang dan jasa bersifat investasi. Belanja yang konsumsif ini cenderung bersifat kebocoran dan belanja investasi bersifat injeksi, sehingga pergeseran dari belanja konsumsi ke belanja yang bersifat investasi merupakan indikasi yang baik. 4. Ketepatan Waktu Penetapan APBD Berdasarkan hasil survei, semua informan menyatakan bahwa waktu penetapan APBD sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu sebelum 31 Desember tahun berjalan. Sajian atas penilaian tersebut disajikan pada Gambar 4.7.
Sumber: Data Survei, 2015. Diolah Dalam 5 tahun terakhir APBD selalu ditetapkan tepat waktu, sehingga di tahun 2015 kami mendapatkan kenaikan dana DAU sebesar 25% dari Pusat. Namun demikian, dalam tahapan penyusunan APBD, sering mengalami keterlambatan pada tahapan penyampaian rancangan KUA dan rancangan PPAS oleh Kepala Daerah kepada DPRD, yang seharusnya pertengahan bulan Juni, tapi sering molor sampai pada bulan Agustus (Anonim, 2016)
96
Berdasarkan hasil kajian di lapangan, dalam kurun waktu 2011-2015, APBD berhasil ditetapkan sebelum tahun anggaran. Namun demikian, dalam proses penyusunan, pembahasan dan penetapan KUA, PPAS maupun RAPBD serta proses penyusunan APBD Perubahan masih mengalami keterlambatan. Keterlambatan ini sangat berpengaruh terhadap proses penjabaran APBD dan pengesahan DPA SKPD, dan pada akhirnya berpengaruh juga terhadap pelaksanaan APBD tahun berjalan, terutama pelaksanaan program kegiatan yang melibatkan pihak ketiga dalam proses pengadaan barang dan jasa (LKPJ Bupati Halmahera Barat, 2016). Untuk ketetapan APBD, kita tidak pernah terlambat, yakni sebelum tanggal 30 Desember tahun berjalan. Hanya saja penyerahan KUAPPAS ke kami (DPRD), sering terlambat, sehingga kami tidak punya banyak waktu untuk mengkaji lebih dalam dokumen tersebut (Anonim, 2016) Dalam pengertian luas, ketepatan waktu penetapan APBD tidak sekedar masalah formalistik. Tetapi harus dimaknai sebagai ketepatan dalam menjamin kualitas dari produk perencanaan (APBD). Tahapan ini tentunya sangat ditentukan oleh sejauhmana kemampuan eksekutif dan legislatif untuk mendiagnosa tolok ukur kinerja yang terdapat di dalam dokumen. Oleh karena itu DPRD perlu memiliki waktu yang cukup dan ketersediaan kapasitas untuk mengkaji dan mendalami dokumen yang ada, seperti KUA dan PPAS. Hal inimenjadi penting, karena KUA-PPAS merupakan landasan makro penyusunan APBD.
97
Di lain sisi, salah satu masalah mendasar yang terkait dengan penetapan APBD adalah aspek regulasi. Berdasarkan studi empirik oleh TADF (2013a) di beberapa daerah di Indonesia, apek regulasi dalam mekanisme penyusunan anggaran dinilai terlalu panjang, sehingga berpotensi membuka ruang yang relatif besar terjadinya gangguan politik. Merujuk pada temuan tersebut, rekomendasi dari temuan TADF (2013a) perlu dipertimbangkan. Mekanisme saat inipanjang dan rumit,dimulai dari Pemerintah Daerah untuk merancang KUA-PPAS, kemudian ke DPRD untuk pembahasan rancangannya menjadi KUA-PPAS, kembali lagi ke Pemerintah Daerah untuk menyusun RKASKPD menjadi RAPBD, dan dibawa ke DPRD untuk pembahasan RAPBD. Pertimbangannya adalah menyederhanakan mekanisme penyusunan dalam dua tahap, yaitu: (1)
Tahap I merupakan domain eksekutif dimana
penyusunan RKA-SKPD dilakukan berdasarkan RKPD yang telah ditetapkan Kepala Daerah. Tahap ini memudahkan Pemerintah Daerah menjabarkan prioritas daerah dalam RKPD hingga ke tingkat RKA-SKPD sehingga meminimalisir potensi gangguan dibandingkan mekanisme lama;(2) Tahap II merupakan domain legislatif, dimana pembahasan anggaran mulai dari pembahasan rancangan KUA, rancangan PPAS dan rancangan APBD. Mekanisme ini memudahkan anggota DPRD memiliki pemahaman yang utuh mengenai logika yang dibangun dari perencanaan hingga penganggaran dengan menyatukan pembahasan RKUA, RPPAS dan RAPBD dalam satu rangkaian persidangan. 98
5. Efisiensi dan Efektifitas Belanja Daerah Efisiensi berarti penggunaan dana masyarakat dapat menghasilkan output yang maksimal, sementara efektifitas berarti penggunaan anggaran tersebut harus dapat mencapai targetatau tujuan kepentingan publik (Mardiasmo, 2002:1-5). Efisiensi di sini disamakan dengan pengertian ekonomis belanja, yaitu penghematan atas penggunaa anggaran, sementara efektifitas belanja dipahami sebagai kegunaan output dari kegiatan (TADF, 2013a). Berdasarkan hasil survei, terdapat 54,54% informan menilai bahwa belanja daerah belum dikelola secara efisien. Terhadap efektifitas belanja, terdapat 54,54% informan menilai bahwa dampak dari pengelolaan belanja daerah belum efektif. Penilaian atas indikator tersebut disajikan pada Gambar 4.8.
Sumber: Data Survei, 2015. Diolah Dalam beberapa studi, misalnya Daling (2013), Palilingan et al (2015), menghitung tingkat efisiensi belanja berdasarkan perbandingan antara belanja yang dianggarkan dengan belanja yang direalisasi. Jika realisasinya lebih 99
rendah dari anggaran, maka kondisi ini dinilai terjadi efisiensi. Dalam pendekatan tersebut, Tabel 4.6 menyajikan perbandingan tersebut. Tabel 4.6. Perbandingan Anggaran Belanja dengan Realisasi Belanja Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2011-2015 Tahun Anggaran Belanja Realisai Belanja % 2011 442.922.820.976,00 362.975.712.376,00 81,95 2012 481.320.847.381,00 399.442.537.914,26 82,99 2013 557.452.934.967,00 494.326.223.822,00 88,68 2014 660.442.391.749,00 579.133.178.295,00 87,69 2015 828.597.966.004,00 691.549.080.023,00 83,46 Rata-rata 84,95 Sumber : BPKAD Kabupaten Halmahera Barat, 2016. Diolah Jika dari perbandingan tersebut, maka belanja daerah Kabupaten Halmahera Barat sudah tentu tergolong efisien. Namun demikian, pendekatan ini dinilai masih realtif lemah, karena pengelolaan belum bisa dinilai efisien semata-mata karena berhasil menyelesaikan kegiatan dibawah anggaran. Dalam pandangan Abdullah (2012), bisa saja ada „kesengajaan‟ menaikkan anggaran belanja di atas kebutuhan karena adanya „self-interest‟ yang ingin dicapai, atau bisa saja jadwal pelaksanaan kegiatan terlalu lama.Dalam perspektif teori keagenan, Niskane (1971, dalam Abdullah, 2013) menyebutkan bahwa agency (SKPD) merupakan budget maximize, sehingga dalam proses penyusunan anggaran memungkinkan SKPD melakukan penggelembungan (mark-up) untuk target belanja atau pengecilan (mark-down) untuk target pendapatan. Di lain sisi, pengendalian terhadap efisiensi belanja tidak sekedar memastikan agar realisasi tidak melebihi anggaran, tetapi apakah tingkat kegiatan yang direncanakan dapat dicapai (Mardiasmo, 2002). Dalam konteks 100
ini, maka varian belanja belum sepenuhnya menggambarkan tingkat efisiensi. Dilain sisi, jika realisasi belanja semakin kecil dari anggarannya, maka masalah lain yang muncul adalah rendahnya penyerapan anggaran, sebagai indikasi dari proses perencanaan yang tidak matang. Jika menggunakan formula yang dikembangkan oleh Medi (1996) dan Budiarto (2007) dalam Kurniawati dan Suhartono (2010), maka nampak diperoleh hasil yang berbeda untuk menilai kriteria efisiensi. Dalam hal ini, rasio
efisiensi diukur dengan membandingkan realisasi belanja dengan
realisasi pendapatan. Tabel 4.7 menyajikan perbandingan tersebut. Tabel 4.7. Perbandingan Realisasi Belanja dengan Realisasi Pendapatan Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2011-2015 Tahun Realisai Belanja Realisasi Pendapatan Rasio 1
2
3
2011 2012 2013 2014 2015
4=2/3
362.975.712.376,00 401.492.457.993,05 90,4 399.442.537.914,26 436.414.276.694,88 91,5 494.326.223.822,00 505.213.405.373,24 97,8 579.133.178.295,00 579.198.689.918,88 99,9 691.549.080.023,00 701.593.821.204,87 98,6 Rata-rata 95,64 Sumber: BPKAD Kabupaten Halmahera Barat, 2016. Diolah Tabel 4.8. Kategori Kinerja Keuangan untuk Rasio Efisiensi Hasil Kinerja Keuangan Kategori (persen) > 100 Tidak Efisien 90 – 100 Kurang Efisien 80 – 90 Cukup Efisien 60 – 80 Efisien < 60 Sangat Efisien Sumber: Medi (1996); Budiarto (2007) dalam Kurniawati dan Suhartono (2010) 101
Jika merujuk pada kriteria efisiensi pada tabel 4.8 maka kinerja keuangan di Kabupaten Halmahera Barat berada dalam kategori kurang efisien, karena rasionya terletak di antara 90 – 100 persen, yaitu 95,64 persen.
Logika
perhitungan ini dapat ditafsir bahwa dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah,
tentunya sangat tergantung pada bagaimana mengelola anggaran
belanja di daerah agar menciptakan banyak sumber-sumber pendapatan. Cara mengelola belanja inilah yang dinilai kurang efisien. Berdasarkan hasil kajian di lapangan, terjadinya inefisiensi belanja daerah karena setiap penggunaan anggaran untuk kegiatan tertentu tidak diperkuat dengan tolok ukur kinerja indikatornya. Hal ini tercermin dari penyusunan RKA oleh masing-masing SKPD. Padahal dalam amanat Permendagri No 13 Tahun 2006 menyebutkan bahwa penyusunan RKA-SKPD berdasarkan prestasi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) berdasarkan pada indikator kinerja, capaian atau target kinerja, Analisis Standar Biaya (ASB), Standar Satuan Harga, dan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Memang harus diakui bahwa SKPD dalam penyusunan RKA-SKPD masih jauh dari yang diharapkan. Dalam setiap tahun, isi dari RKASKPD tidak mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Rencana belanja belum mencerminkan tolok ukur kinerja yang akurat. Belum terdapat Analisis Standar Belanja, penerapan SPM yang belum maksimal, sehingga setiap pemasukan RKA-SKPD, kami (BPKAD) harus memanggil, menyurati mereka untuk memperbaiki kembali RKA-SKPD yang sudah dimasukkan. Kelemahan mendasar yang kita miliki saat ini adalah lemahnya sumberdaya manusia dalam merencanakan program dan kegiatan yang berbasis prestasi (Anonim, 2016).
102
Pernah dalam pembahasan anggaran, ada salah satu kegiatan pada SKPD tertentu yang mengalokasikan nilai anggarannya sama seperti nilai anggaran tahun sebelumnya. Ketika hal ini ditanyakan, SKPD yang bersangkutan menyatakan bahwa ini suatu kelalaian, nanti akan diperbaiki (Anonim, 2016) Nampak bahwa penyusunan anggaran di Kabupaten Halmahera Barat cenderung masih menggunakan pendekatan incrementalism dan line-item budget, di mana besaran anggaran yang dialokasikan sangat tergantung pada perubahan, seperti tingkat inflasi dan jumlah penduduk. Di lain sisi, alokasi anggaran cenderung hanya didasarkan pada „pos anggaran‟ yang telah ada sebelumnya (Ritonga, 2010 dalam Halim dan Kusufi, 2012). Padahal, sekalipun tingkat inflasi naik, tetapi anggaran belum tentu ikut naik. Artinya, jika ada pos-pos anggaran yang sebelumnya dinilai secara ril tidak lagi dibutuhkan, maka pos pada anggaran tersebut perlu dihilangkan. Dalam konteks ini, ada cara pandang yang terkesan sudah melembaga, di mana pospos anggaran terus dipertahankan demi „kelangsungan‟ dan „keberlanjutan‟ program dan organisasi pada umumnya. Secara normatif, untuk menjawab inefisiensi anggaran di daerah, sebenarnya sudah diatur dalam ketentuan perundang-undangan (Misalnya PP No. 58 Tahun 2005, Permendagri No. 13 Tahun 2006). Sebagai contoh, untuk menentukan kewajaran anggaran suatu kegiatan, Pemerintah Daerah melalui unit-unit kerja diharuskan untuk menyusun Analisis Standar Biaya (ASB), memaksimalkan
penerapan
Standar
Pelayanan
Minimal
(SPM),
dan
pengukuran kinerja indikator lainnya. Namun sejauh ini, amanah perundang103
undangan belum diseriusi oleh sebagian Pemerintah Daerah, termasuk di Kabupaten Halmahera Barat. Studi Wijayanti et al (2012) di Kabupaten Pasuruan menunjukkan kondisi yang sama, di mana penyusunan anggaran berbasis kinerja di Kabupaten Pasuruan masih menunjukkan dua hal, yaitu kurangnya komitmen Pemerintah Daerah yang ditunjukkan dengan belum disusunnya Analisis Standar Biaya (ASB) serta terlambatnya penyusunan Standar Satuan Harga, dan kurangnya pemahaman petugas perencana terhadap indikator kinerja. Implikasinya,
penyelenggaraan
pemerintahan
cenderung
melahirkan
aktifitas yang berlebihan, yang sebenarnya secara riil dapat dikurangi. Dilain sisi, akan mempertahankan tugas dan fungsi yang tidak menambah nilai bagi kesejahteraan masyarakat, sebaliknya justru membebani anggaran. Beberapa contoh dapat disebutkan, misalnya kegiatan sosialisasi, jika terkesan hanya sebagai kegiatan untuk „menyerap anggaran‟ maka sebaiknya dikurangi. Kasus yang lain, misalnya kegiatan Festival Teluk Jailolo (FTJ). Ini adalah kegiatan yang bertemakan pembangunan pariwisata dan budaya. Dalam 5 tahun terakhir, kegiatan ini sudah menelan anggaran kurang lebih Rp. 13, 1 milyar rupiah. Dinilai cenderung inefisien, karena desain penganggarannya diberikan ke beberapa SKPD. Misalnya Bappeda dengan nama kegiatan „koordinasilomba mancing‟, Kesbangpol dengan nama kegiatan „pemantauan dan pengamanan‟ kegiatan Festifial Teluk Jailolo. Muncul lagi kegiatan
104
fasilitasi penyelenggaraan festival budaya daerah dari program Sekretariat Daerah (LKPJ Bupati Halmahera Barat, 2016) Semakin banyak SKPD yang terlibat, semakin banyak anggaran yang akan dialokasikan ke SKPD-SKPD tersebut. Padahal jika itu didesain dengan penekanan terhadap azas penghematan, kegiatan yang bersifat „aksiden‟ seperti itu tidak perlu dianggarkan ke SKPD yang lain. Karena nampak kegiatan seperti itu, harusnya dapat ditangani oleh SKPD terkait, yakni Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda Olah Raga dan Ekonomi Kreatif.Aspek yang lain adalah masih ditemukan tugas dan fungsi yang „mubazir‟ (sekarang sudah dirampingkan). Misalnya, ada Bagian Ekonomi yang membuat program pemberdayaan fakir miskin, padahal di Dinas Sosial juga terdapat program yang sama. Tidak kalah pentingnya adalah kegiatan perjalanan dinas. Dalam ketentuan perundang-undangan, belanja perjalanan dinas tergolong dalam belanja barang dan jasa. Artinya belanja jenis ini bersifat belanja langsung, yang diharapkan berimplikasi secara signifikan pada percepatan proses pembangunan di daerah. Kenyataannya, alokasi anggaran untuk perjalanan dinas cenderung lebih banyak menciptakan pemborosan. Sebagai contoh, perbandingan antara realisasi belanja untuk kegiatan perjalanan dinas dan jenis belanja yang lain dapat ditunjuka pada Tabel 4.9.
105
Tabel 4.9. Perbandingan Realisasi Beberapa Item Belanja Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2011-2014 Uraian Belanja Perjalanan Dinas Kursus, Pelatihan, Sosialisasi dan Bimbingan Teknis PNS Peralatan dan Mesin Jalan, Irigasi dan Jaringan
2011 33.301.496.200
2012 37.979.580.168
2013 44.380.080.910
2014 53.349.844.250
892.750.000
1.167.425.000
1.514.133.000
1.689.015.700
12.665.440.970
9.864.311.640
18.035.597.554
25.545.652.671
15.956.285.360
7.850.678.825
26.424.639.153
57.853.150.892
Sumber: BPKAD Kabupaten Halmahera Barat, 2016.Diolah Perlu ada evaluasi untuk mengurangi aktifitas yang cenderung tidak mendukung efisiensi belanja daerah. Sebagai contoh, biaya perjalanan dinas, saat ini kan beragam sarana komunikasi sudah berkembang, jika ada kebutuhan daerah yang dapat dikomunikasikan melalui media komunikasi, maka tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar untuk melakukan perjalanan dinas ke luar daerah (Anonim, 2016). Mencermati proporsi belanja tersebut, dapat dilihat bahwa tren belanja perjalanan terbilang cukup besar, hingga di tahun 2014 mencapai Rp. 53.349.844.250, sementara belanja seperti kursus, pelatihan dan bimbingan teknis terbilang cukup kecil. Padahal salah satu masalah mendasar dalam pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Halmahera Barat adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia dibidang perencanaan dan penganggaran disetiap SKPD. Dilain sisi, proporsi belanja jalan, irigasi, dan jaringan serta peralatan dan mesin masih sangat kecil jika dibandingkan dengan belanja perjalanan dinas. Berbeda dengan daerah yang sudah maju, Kabupaten Halmahera Barat masih membutuhkan injeksi pendanaan yang besar untuk menggerakkan infrastruktur
106
di daerah. Sehingga pengurangan aktifitas, seperti perjalanan dinas perlu mendapat komitmen bersama antara eksekutif dan legislatif di daerah. Perjalanan dinas itu harus selektif, penganggarannya harus lebih bersinergi dengan prioritas pembangunan daerah. Misalnya, jika dalam RKPD di tahun ini memprioritaskan pembangunan infrastruktur wilayah dan revitalisasi pertanian, maka instansi ini yang diprioritaskan dalam hal perjalanan dinas. Dengan harapan aktifitas ini dilakukan secara terukur dan selektfif, sehingga berimplikasi pada kualitas pelaksanaan kegiatan di daerah (Anonim, 2016) Menurut Mardiasmo (2002), kegagalan Pemerintah Daerah dalam program efisiensi belanja daerah disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya belum berorientasi pada kinerja dan kepentingan publik, pengeluaran dilakukan cenderung bersifat jangka pendek, Pemerintah Daerah tidak proaktif untuk mengeliminasi sumber pemborosan keuangan daerah, serta tidak adanya pengetahuan yang memadai mengenai sifat biaya. Disamping efisiensi, efektifitas belanja dimaksudkan untuk mengukur keberhasilan Pemerintah Daerah dalam mengalokasikan belanja pembangunan sesuai dengan visi-misi yang telah ditentukan. Visi-misi tersebut kemudian diterjemahkan kedalam program prioritas daerah. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, prioritas pembangunan Kabupaten Halmahera Barat dalam RPJMD Tahun 2011-2015 mencakup penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, pembangunan infrastruktur wilayah, pendidikan dan kesehatan, penanggulangan kemiskinan dan kesempatan kerja, revitalisasi pertanian, serta pengembangan pariwisata.
107
Dalam kajian Kemenkeu (2013b), efektifitas belanja daerah dapat dicermati dari beberapa hal, di antaranya: 1. Seberapa besar pemerintah menentukan alokasi nilai belanja untuk kepentingan publik. Dari aspek nilai belanja, kajian di lapangan menunjukkan bahwa belanja daerah Kabupaten Halmahera Barat masih rendah efektifitasnya. Hal ini dapat didekati dengan alokasi belanja modal dalam kurun waktu 20112015, rata-ratanya masih dibawah 24,54 persen. Masih jauh dibawah ketentuan perundang-undangan, yakni 29-30 persen dari total belanja daerah. 2. Seberapa besar optimalisasi nilai belanja publik mengakibatkan kegiatankegiatan ekonomi ikutan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada aspek ini, dapat didekati dari beberapa tolok ukur makro sosialekonomi yang dinilai masih menjadi tantangan dalam menyoal efektifitas belanja daerah Kabupaten Halmahera Barat. Diantaranya, tingkat pengangguran terbuka yang masih tinggi, sebagai akibat dari minimnya lapangan perkerjaan. Data BPS Kabupaten Halmahera Barat (2015) mencatat di tahun 2014 tingkat pengangguran terbuka Kabupaten ini sebesar 2.055 jiwa atau 4,00 persen dari total angkatan kerja sebesar 51.365 jiwa. Jumlah ini mengalami kenaikan yang cukup besar dari tahun sebelumnya (2013) yang hanya sebesar 648 jiwa atau 1,28 persen. Dari total jumlah penduduk yang bekerja sebesar 49.310 orang pada tahun 2014, 108
masih terdapat 28,403 orang yang bekerja tidak terbayar (BPS Kabupaten Halmahera Barat, 2015). Artinya status pekerjaan yang „jelas‟ dan terbayar lebih didominasi oleh pegawai/buruh/karyawan. Pada tahun yang sama jumlah penduduk miskin Kabupaten Halmahera Barat relatif masih cukup besar, yaitu sebesar 10.490 atau 9,78 persen dari total jumlah penduduk. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Halmahera Barat hingga tahun 2013 pada peringkat ke-8 dari 9 Kabupaten/Kota (tidak termasuk Pulau Taliabu). Untuk tahun 2013, IPM Kabupaten Halmahera Barat adalah 68,56, masih dibawah rata-rata Kabupaten/Kota yang sebesar 70,46 (BPS Provinsi Maluku Utara, 2014). Dalam struktur dan pola perekonomian, Tabel 4.10 menyajikan perbandingan antara pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita Kabupaten dan Kota di Provinsi Maluku Utara. Tabel 4.10. Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan Per kapita Kabupaten dan Kota di Provinsi Maluku Utara Tahun 2011-2013 Pertumbuhan Pendapatan Perkapita Kabupaten/Kota Ekonomi(persen) (rupiah) Halmahera Barat 5,57 2442376 Halmahera Tengah 6,79 5904665 Halmahera Selatan 6,24 3061853 Halmahera Timur 6,58 2568027 Halmahera Utara 7,51 2664653 Pulau Morotai 6,81 2148332 Kepulauan Sula 6,27 3249851 Kota Tidore 6,13 3270454 Kota Ternate 7,91 3620645 Prov Maluku Utara 6,40 3213658 Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2014. Diolah 109
Dengan menggunakan data pada tabel 4.10, maka sebuah pola dari struktur
perekonomian
antar
Kabupaten/Kota
dapat
dipetakan
menggunakan metodeclassen typology (Kuncoro, 2012). Pemetaan tersebut disajikan pada Diagram 4.1. Diagram 4.1. Tipologi Klasen: Pola dan Struktur Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara (2011-2013) PRDB per kapita (y) yi< y
yi> y
Laju pertumbuhan (r) ri> r
ri< r
KUADRAN II Kota Tidore, Kepulauan Sula KUADRAN III Halmahera Barat, Halmahera Selatan
KUADRAN I KotaTernate, Halmahera Tengah, KUADRAN IV Halmahera Utara, Pulau Morotai, Halmahera Timur
Sumber: BPS Provinsi Maluku Utara, 2014. Diolah Dalam kurun waktu 2011-2013, dapat ditunjukan bahwa daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh adalah
Kota Ternate dan Kabupaten
Halmahera Tengah. Kedua daerah ini memiliki pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi diatas capaian Provinsi. Daerah yang maju tapi tertekan adalah Tidore dan Kepulauan Sula. Kedua daerah ini memiliki pendapatan perkapita di atas capaian Provinsi, namun pertumbuhan ekonominya masih di bawah Provinsi. Daerah sedang berkembang adalah Halmahera Timur, Halmahera Utara dan Pulau Morotai. Ketiga daerah ini memiliki pertumbuhan ekonomi di atas capaian Provinsi, namun
110
pendapatan perkapitanya masih dibawah Provinsi. Sedangkan daerah yang relatif tertinggal adalah Kabupaten Halmahera Barat dan Halmahera Selatan. Kedua daerah ini memiliki tingkat pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi dibawah capaian Provinsi. Ini merupakan gambaran bahwa belanja daerah di Kabupaten Halmahera Barat belum dialokasikan secara strategis untuk memicu pergerakan perekonomian di daerah. Secara teoritis, pergerakan perekonomian di suatu daerah merupakan akumulasi dari pergerakan aktifitas Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat. Jika Pemerintah Daerah gagal menyediakan barang dan jasa publik yang memenuhi kebutuhan pasar dan masyarakat, maka kondisi ini cenderung menimbulkan perpindahan faktor produksi ke daerah lain.Dalam dinamika seperti ini, Musgrave (1983 dalam Prasetya, 2012) berpendapat bahwa investasi pemerintah tetap diperlukan untuk menggerakkan perekonomian di daerah. Hubungannya dengan anggaran publik, maka belanja pemerintah harus mengambil peran utama dalam menyediakan basic infrastruktur, seperti jalan, jembatan, sumberdaya listrik, air, sistem drainase, termasuk juga pola transportasi di daerah. Indikasi-indikasi seperti ini yang masih ditemukan di Kabupaten Halmahera Barat, misalnya alokasi belanja untuk terminal induk di Kecamatan Jailolo, sampai saat ini tidak dapat difungsikan. Pemerintah Daerah terkesan „kehabisan akal‟ sehingga lahan terminal tersebut dikontrakkan kepada pedagang kaki lima untuk berjualan. 111
Seperti yang kita ketahui bahwa, terminal induk yang sekarang ini merupakan terminal yang sudah dibangun sejak Kabupaten ini belum dimekarkan, kemudian pemeliharaannya diambil alih oleh perhubungan. Memang tidak efektif, karena tidak difungsikan sebagaimana mestinya sebuah terminal induk. Pemda, dalam hal ini instansi terkait belum memiliki pola rekayasa transportasi yang bagus, sehingga semua angkutan umum harus menumpuk di pelabuhan (Anonim, 2016) Kecuali terminal, indikasi yang lain misalnya proyek jalan yang bermasalah karena ditengarai tambal sulam, kemudian proyek seperti air bersih, tambatan perahu yang tidak dapat difungsikan dan tidak dapat dinikmati oleh masyarakat (Malut Post, 19 Juni, 29 September, 22 Oktober 2015). Terungkap di tahun 2013, Program
Bimbingan dan Penyuluhan Pekerja Sosial Masyarakat
mengakibatkan kerugian Negara ratusan juta, kegiatan ini dinilai fiktif padahal seluruh anggarannya sudah dicairkan (Malut Post, 16 Maret 2016). Di tahun yang sama, terungkap anggaran Dana Tak Tersangka (DTT) untuk bencana banjir,padahal masyarakat setempat mengaku bahwa pada tahun 2013 tidak ada bencana banjir di desa mereka (Malut Post, 22 September 2015). Kondisi ini serupa dengan yang terjadi di beberapa daerah sampel yang diteliti oleh TADF (2013a).Salah satunya adalah pembangunan „jembatan abunawas‟ yakni sebuah pembangunan jembatan yang telah berhasil dibangun tapi tidak digunakan, karena belum dipersiapkan jalan atas jembatan tersebut. Demikian pula dijumpai „pasar keliru‟ dimana pasar yang dibangun selanjutnya tidak digunakan karena masyarakat menilai keliru tempat yang dibangunnya.
112
Kegiatan lain yang masih diragukan efektifitasnya adalah event tahunan Festifal Teluk Jailolo (FTJ). Sebagian kalangan menilai bahwa, sudah 7 tahun event ini dilaksanakan, tetapi belum memberikan dampak yang signifikan terhadap percepatan pembangunan di Kabupaten Halmahera Barat. Visi misi pembangunan terkesan tidak terfokus. Semenjak ber-Otonomi, daerah ini kesulitan menciptakan positioning yang khas, apakah sebagai Kabupaten „Tani‟, Kabupaten „Nelayan‟, ataukah Kabupaten „Wisata‟. Implikasinya, kegiatan seperti FTJ lebih beraroma „hiburan‟ daripada sebagai kegiatan yang visioner. Menurut saya, alokasi belanja daerah di sebagian SKPD memang belum efektif. Belanjanya belum memiliki tolok ukur indikator yang baik, sehingga berpengaruh pada efektifitas pelaksanaan kegiatan. Misalnya hampir setiap akhir tahun anggaran, kegiatan seperti sosialisasi gencar dilakukan tetapi sumberdaya aparatur begitu-begitu saja. Belum ada pemahaman yang memadai di bidang perencanaan. Selain itu, salah satu kegiatan yang masih diragukan efektifitasnya adalah even Festifal Teluk Jailolo (FTJ), belum memberikan dampak yang positif terhadap pengembangan pariwisata di Halmahera Barat.Saya sering ke beberapa titik wisata di Halmahera Barat, tetapi belum nampak pengembangannya, belum terlihat sistem penataannya, padahal memiliki peluang yang cukup baik untuk PAD. FTJ juga belum berhasil mendatangkan investorinvestor besar ke Halmahera Barat, sehigga kita kesulitan dalam menyediakan lapangan pekerjaan untuk menyerap tingkat pengangguran (Anonim, 2016) Perlu evaluasi atas kegiatan Festifal Teluk Jailolo (FTJ). Kegiatan ini merupakan kegiatan tahunan yang menghabiskan anggaran daerah miliaran rupiah setiap tahun. Namun kontribusinya untuk PAD masih dipertanyakan. Belum berdampak signifikan pada pembangunan pariwisata di Halmahera Barat. Coba amati, berapa investor besar yang berminat berinvestasi di Halmahera Barat, coba amati kualitas infrastruktur semisal jalan menuju lokasi-lokasi wisata, apalagi sarana dan prasaran wisata, padahal even ini sudah berlangsung selama 7 tahun (Anonim, 2016). 113
Belanja daerah dikatakan efektifi jika belanja tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap kemampuan menyediakan pelayanan publik yang merupakan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya (Kurniawati dan Suhartono, 2010). Implikasi dari kemampuan tersebut pada akhirnya terindikasi pada sejauh mana Pemerintah Daerah dapat merealisasikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang telah ditargetkan. Semakin besar realisasi penerimaan PAD dibanding targetnya, maka dapat dikatakan belanja daerah semakin efektif. Untuk mengidentifikasi kecenderungan tersebut, Tabel 4.11 menyajikan kembali perbandingan target PAD dan realisasi penerimaannya. Tabel 4.11. Perbandingan Realisasi dan Target PAD Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2011-2015 Tahun Realisasi Penerimaan PAD Target PAD Rasio 1
2
3
2011 2012 2013 2014 2015
5.020.380.000,05 6.250.000.000,00 5.120.411.607,88 6.800.000.000,00 10.214.205.255,24 14.407.600.000,00 18.657.849.526,88 16.407.600.000,00 15.542.071.276,87 31.740.370.000,00 Rata-rata Sumber: BPKAD Kabupaten Halmahera Barat, 2016. Diolah Tabel 4.12. Kategori Kinerja Keuangan untuk Rasio Efektifitas Hasil Kinerja Keuangan Kategori (persen) > 100 Sangat Efektif 90 – 100 Efektif 80 – 90 Cukup Efektif 60 – 80 Kurang Efektif < 60 Tidak Efektif Sumber: Medi (1996); Budiarto (2007) dalam Kurniawati dan Suhartono (2010) 114
4=2/3
80,3 75.3 70,8 1,13 48,9 50,3
Jika merujuk pada kriteria efektifitas pada tabel 4.12 maka kinerja keuangan di Kabupaten Halmahera Barat berada dalam kategori tidak efektif, karena rasionya terletak di < 60 persen, yaitu 50,3 persen. Logika perhitungan ini dapat ditafsir bahwa dalam rangka merealisasikan target PAD, tentunya sangat tergantung pada bagaimana mengelola anggaran belanja di daerah agar menciptakan banyak sumber-sumber pendapatan. Cara mengelola belanja inilah yang dampaknya dinilai belum efektif. Dalam perspektif Lewis (2006, dalam Bappenas, 2011), pengelolaan belanja daerah
belum
difokuskan
sebagai
problem
solving
atas
percepatan
pembangunan di daerah. Jika ditelaah lebih mendasar, model perencanaan dan penganggaran di Kabupaten Halmahera Barat cenderung masih bersifat sporadis, dalam pengertian tidak terfokus pada pilihan-pilihan program yang strategis untuk dianggarkan. Khususnya di Halmahera Barat, perubahannya harus dimulai dari bagaimana mengevaluasi model perencanaan pembangunan. Selama ini kita tidak fokus, misalnya RKPD tahun I, mana yang harus prioritaskan, kemudian tahun ke-II, dan seterusnya. Karena tidak fokus, akhirnya dengan anggaran yang begitu terbatas dibagi-bagikan semua program. Sehingga pada akhir periode, tingkat keberhasilan program masih jauh dari yang diharapkan (Anonim, 2016). Dalam perkembangan yang paling mutakhir, suatu transformasi pola pikir yang bertujuan meningkatkan efisiensi dan efektifitas belanja daerah adalah penerapan prinsip money follow program. Jadi alokasi belanja tidak lagi mengikuti tugas dan fungsi yang terbilang cukup banyak. Konkretnya, tidak semua instansi pemerintah mendapatkan alokasi yang sama, kecuali pada 115
anggaran-anggaran operasional. Sebagai konsekuensinya, Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat harus merencanakan pilihan-pilihan program prioritas dan strategis. Artinya, sekalipun dalam satu periode kepemimpinan, tidak semua usulan dapat direalisasikan, namun ada progam-program pilihan yang tingkat keberhasilannya memuaskan di mata publik. Upaya mewujudkan prinsip tersebut harus sejalan dengan konsep value for money (Mardiasmo, 2002). Filosofi dari konsep ini pada dasarnya „menyadarkan‟ kepada Pemerintah Daerah agar menghargai nilai dari uang (public money) yang dikelola. Cara menghargai itulah yang akan terwujud pada pengelolaan belanja yang ekonomis, efisien dan efektif (value for money). Dengan cara pandang seperti itu, maka uang tersebut benar-benar bernilai untuk kebutuhan masyarakat. Komitmen Pemerintah Daerah atas penerapan prinsip value for money diyakini akan menjadi jembatan menuju Pemerintah Daerah yang baik dan bersih. Oleh sebab itu pemerintah dalam mengalokasian belanja daerah harus mengacu pada indikator kinerja yang meliputi indikator kinerja masukan (input), indikator kinerja keluaran output), indikator kinerja hasil (outcome), indikator
kinerja
manfaat
(benefit),
dan
indikator
kinerja
dampak
(impact).Formula-formula seperti penggunaan Analisis Standar Biaya (ASB), Standar Pelayanan Minimal (SPM) perlu mendapat perhatian serius. Harapan tersebut, tentunya membutuhkan kesiapan sumberdaya manusia SKPD yang berkualitas pada pelaksanaan tugas dan fungsinya. Salah satu 116
kebiasaan buruk yang menghambat proses seperti ini adalah Kepala Daerah dengan segala kepentingannya sering menghambat terwujudnya prinsip value for money. Misalnya, kebijakan terkait dengan mutasi atau roling jabatan, dinilai masih syarat kepentingan, ada yang pangkat dan golongannya belum cukup, basic keilmuan yang tidak tepat, sering dipaksakan (Malut Post, 15 Juni 2015). Dinamika itu memang masih terasa, ada pegawai yang tidak memiliki keahlian di bidang tertentu tapi terkesan dipaksakan, sebagai pegawai di sini saya mengakui itu, dan kita tidak dapat berbuat apa-apa, karena ini kebijakan pimpinan (Anonim, 2016) Jika suatu tugas tidak ditempati oleh orang-orang yang profesional, maka sulit diharapkan berbagai kegiatan akan berjalan secara efisien dan efektif. Sebaliknya, yang cenderung terjadi adalah pemborosan anggaran karena yang bersangkutan
tidak
memiliki
keterampilan,
misalnya
dalam
bidang
perencanaan maupun manajemen keuangan sektor publik. Dilain sisi, tugas dan fungsi yang tidak menambah nilai bagi kesejahteraan masyarakat perlu dievaluasi dan kemudian perampingan, karena akan lebih banyak menciptakan beban anggaran. Dengan kondisi keuangan daerah yang „pas-pasaan‟, tentu sangat mendesak untuk „merevolusi‟ paradigma pengelolaan keuangan di Pemerintah Daerah, termasuk di Kabupaten Halmahera Barat. 6. Akuntabilitas dan Transparansi Pengelolaan Belanja Daerah Akuntabilitas mengandung pengertian bahwa setiap bentuk pengalokasian dan penggunaan anggaran dapat dipertanggungjawabkan kepada lembaga 117
legislatif
dan
masyarakat
pada
umumnya.
Sedangkan
transparansi
mengandung pengertian bahwa dari penggunaan anggaran tersebur dapat diakses publik sehingga memungkinkan semua unsur masyarakat dapat berpartisipasi dalam memberikan masukan dan pertimbangan-pertimbangan demi perbaikan pengelolaan (TADF, 2013a; Bappenas, 2011). Merujuk pada penjelasan tersebut, terdapat dua indikator yang akan dikaji, yaitu indikator pertanggungjawaban dan indikator dapat diakses publik. Berdasarkan hasil survei, terdapat 4,55% informan masih meragukan aspek pertanggungjawaban belanja daerah Kabupaten Halmahera Barat. Sedangkan pada aspek transparansi, terdapat 13,64% informan menilai bahwa pengelolaan belanja daerah belum dapat diakses publik. Penilaian informan terhadap kedua indikator tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 4.9.
Sumber: Data Survei, 2015. Diolah Berdasarkan hasil kajian di lapangan, aspek pertanggungjawaban sering dihubungkan dengan capaian Opini Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) yang 118
diperoleh oleh pemerintah Kabupaten Halmahera Barat. BPK (2015) dalam Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I (IHPS-I) Tahun 2015 menunjukkan bahwa di tahun 2011, Opini BPK yang diberikan terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Halmahera Barat adalah Tidak Memberikan Pendapat (TMP). Namun semenjak tahun 2012 hingga 2014 mengalami perbaikan, dimana LKPD Kabupaten Halmahera Barat memperoleh Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Jika dilihat dari opini BPK, sudah mulai ada peningkatan, di tahun 2011 kami mendapat disclaimer, namun semenjak tahun 2012, kami sudah mendapat opini WDP dari BPK.Faktor yang masih menjadi masalah dalam temuan tersebut adalah permasalahan terkait dengan penataan aset daerah yang belum selesai (Anonim, 2016) Menurut Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, BPK memiliki perhitungan dalam menetapkan pemberian opini kepada Pemerintah Daerah. Standarnya,
jika
Pemerintah
Daerah
dapat
mempertanggungjawabkan
keuangan di atas 3 persen, maka opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dapat diberikan kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan (Kompas, 07 Juli 2015). Hal ini berarti bahwa pengelolaan anggaran daerah Kabupaten Halmahera Barat belum sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan, karena standar yang dapat dipertanggungjawabkan masih di bawah 3 persen (WDP). Tercatat di tahun 2011, temuan kasus oleh BPK terhadap LKPD Kabupaten Halmahera Barat senilai Rp. 1. 417,26 juta, kemudian meningkat di tahun 2014 senilai Rp. 19.793,18 juta. Nilai ini merupakan akumulasi dari ketidakpatuhan Pemerintah
Daerah
terhadap
ketentuan 119
perundang-undangan
yang
mengakibatkan besarnya kerugian daerah, potensi kerugian daerah, dan kekurangan penerimaan daerah (BPK, 2014b; BPK, 2014c). Temuan ini dapat ditafsir bahwa kerugian karena ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan mencerminkan sebuah pengelolaan anggaran daerah yang relatif tidak efisien dan tidak efektif. Aspek pertanggungjawaban dapat dikatakan sebagai aspek yang berada di „hilir‟ dalam setiap prosespenganggaran. Seberapa baik pertanggungjawaban atas proses tersebut, sangat tergantung pada seberapa besar nilai ekonomis, efisiensi dan efektifitas dari proses tersebut. Sehingga dalam pandangan Halim dan Kusufi (2012), pertanggungjawaban anggaran publik menjadi sangat penting bukan sekedar karena alokasi anggarannya sudah dilaporkan, tetapi didalamnya
masyarakat
dapat
mengetahui
bagaimana
pejabat
publik
menghargai nilai dari setiap rupiah yang dikelola. Nilai-nilai tersebut terwujud ke dalam nilai ekonomis dari uang, nilai efisiensi dari uang, dan nilai efektifitas dari uang, yang secara konstitusional adalah uang rakyat. Ini menarik, satu kelemahan dalam aspek pertanggungjawaban anggaran daerah Kabupaten Halmahera Barat adalah lemahnya pertanggungjawaban terhadap tolok ukur penggunaan anggaran. Proses penyusunan laporan pertanggungjawaban selama ini terkesan hanya sebagai „proyek‟, ada anggarannya sehingga perlu „disusun‟, disediakan dan dilaporkan. Belum nampak sebuah pertanggungjawaban yang komprehensif. Dilain sisi, harus diakui bahwa DPRD belum terlalu „responsif‟ terhadap pertanggungjawaban Pemerintah Daerah. Problem mendasarnya adalah sebagian besar anggota DPRD di sini belum memiliki kapasitas seperti yang diharapkan. Atas dasar itulah, kita kesulitan dalam menelaah sejauhmana tolok ukur penggunaan anggaran yang dipertanggungjawabkan (Anonim, 2016) 120
Pada prinsipnya, ukuran keberhasilan pertanggungjawaban tidak hanya dilihat dari Opini BPK semata, misalnya WDP, karena opini WTP sekalipun masih mengandung temuan-temuan. Jika misalnya dalam pemeriksaan ditemukan proses pengadaan barang atau jasa yang menyimpang dari ketentuan, namun secara keuangan sudah dilaporkan sesuai dengan SAP, maka laporan keuangan bisa memperoleh opini WTP. Artinya, bahwa opini WTP tidak menjamin bahwa pada entitas yang bersangkutan tidak ada pelanggaran, misalnya korupsi (BPK, 2011). Menurut saya, LHP oleh BPK belum bisa dianggap final dalam soal pertanggungjawaban. Untuk kasus di Halmahera Barat, jika peran DPRD dan masyarakat berusaha menelusuri penggunaan anggaran, maka terindikasi banyak penyimpangan. Contohnya, kasus bantuan sosial. Seringkali, kegiatannya agak susah ditelusuri. Ujung-ujungnya ada yang terbongkar, dan menyeret „petinggi di eksekutif‟. Di lain sisi, akses DPRD ke wilayah eksekutif masih lemah, sehingga melemahkan daya kontrol terhadap penggunaan anggaran (Anonim, 2016) Hal ini terindikasi dari informasi yang diperoleh dari informan, di mana ada yang
menempatkan
opini
BPK
sebagai
„dasar‟
argumentasi
untuk
„mengukuhkan‟ dimensi pertanggungjawaban. Pada tataran ini, mungkin masih dapat dibenarkan, karena sejauh ini salah satu lembaga yang dinilai objektif dan kompeten dalam proses pemeriksaan laporan keuangan adalah BPK. Namun, oleh Saparani, BPK, dan DPD (2010) menyebutkan bahwa keterbatasan fungsi audit BPK yang cenderung „hanya‟ mencocokkan akun dan melihat kesesuaian dengan standar akuntansi dengan peraturan yang berlaku mengakibatkan laporan BPK tidak menunjukkan bahwa suatu temuan yang 121
berpotensi merugikan adalah disengaja tetapi cenderung dengan indikasi kelalaian. Oleh karena itu, ukuran keberhasilan dalam pengelolaan anggaran daerah seharusnya dikembalikan pada tugas utama Pemerintah Daerah yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bila ukuran kinerja tidak dievaluasi maka sangat mungkin dana yang dikelola semakin besar dan wajar secara administrasi, tetapi belum tentu meningkatkan kinerja Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan tugas utamanya. Artinya, pertanggungjawaban dapat saja dinilai berhasil dalam pencatatan yang bersifat „administratif‟, tetapi belum tentu berhasil dan dapat diterima di di hadapan masyarakat. Penekanan ini perlu dimaknai bahwa dalam peran BPK, juga dikenal ada audit kinerja yang di dalamnya bertujuan untuk „memeriksa‟ sejauh mana nilai ekonomis, efisiensi, dan efektifitas dalam pengelolaan keuangan daerah. Namun persentase audit kinerja yang saat ini berlaku dinilai masih terbatas, di mana posisi pemeriksaan sekarang sekitar 50 persen untuk mandatori audit yaitu audit laporan keuangan, 20 persen audit kinerja, dan 30 persen audit dengan tujuan tertentu (BPK, 2014d). Sehingga Opini BPK yang „terbaik‟ (WTP) sekalipun, relatif belum menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks inilah, perlu diperkuat „audit‟ kinerja pembangunan daerah,. Semangat ke arah ini dapat didorong dan didesain melalui peran pengawasan oleh DPRD. Jelasnya, pengawasan dalam pengertian ini tentu membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas di lembaga DPRD. Hal ini 122
dipandang penting karena untuk mendiagnosa konsep value for money (ekonomis, efisien, efektif) dalam dimensi pertanggungjawaban anggaran diperlukan sumberdaya DPRD yang profesional. Nilai dari sebuah pertanggungjawaban sangat erat kaitannya dengan sejauh mana pengelolaan anggaran itu dapat diakses publik (transparansi). Masalahnya, jika pejabat publik banyak melakukan penyimpangan, maka transparansi seperti itu sulit diwujudkan. Logikanya, berbagai masalah inefisiensi dan ketidakefektifkan anggaran yang terjadi di Pemerintah Daerah „tidak mungkin‟dengan jujur akan dipublikasikan ke publik. Filsafatnya kirakira begini: “Sulit menemukan Juru Masak yang menyatakan bahwa makanan yang dia buat itu tidak enak”. Bertolak dari muatan kognitif seperti ini, maka wujud dari nilai transparansi relatif masih bersifat
„formalistik‟. Kehadiran masyarakat di forum
Musrembang, ada keterwakilannya di DPRD, merupakan bentuk-bentuk transparansi yang masih bersifat formalistik. Umumnya, masyarakat tidak terlibat langsung dalam perumusan APBD. Keterlibatan penuh masyarakat terutama disaat Musrembang. Kemudian setelah Musrembang Kabupaten dan hasilnya disinkronisasikan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang nantinya diterjemahkan kedalam Rencana Kerja Satuan Kerja Pemerintah Daerah (RKA-SKPD), sehingga pada tahapan ini masyarakat tidak lagi terlibat (Anonim, 2016) Berdasarkan hasil kajian dilapangan, berbagai dokumen keuangan pemerintah Kabupaten Halmahera Barat relatif sudah dapat ditelusuri. Semenjak tahun 2012 sudah diterapkan Sistem Informasi dan Manajemen 123
Keuangan Daerah (SIMDA) sehingga pengelolaannya dapat dipantau langsung oleh pemeriksa. Umumnya belanja daerah sudah dapat diakses publik, berbagai dokumen terkait perencanaan dan belanja daerah relatif sudah dapat ditelusuri. Diterapkannya SIMDA sangat memudahkan kami dalam proses menyelesaikan pekerjaan, ini juga merupakan perkembangan yang baik untuk mendorong transparansi pengelolaan keuangan daerah (Anonim, 2016) Namun demikian, masih terdapat hal-hal yang perlu dicermati. Pertama, dokumen-dokumen penganggaran „hanya‟ diperlukan oleh kelompokkelompok tertentu saja, termasuk di dalamnnya adalah peneliti. Dalam pengertian ini, misalnya data seperti APBD, mudah diakses secara elektronik. Tetapi masyarakat pada umumnya „tidak berkepentingan‟ sampai pada tingkat ini. Kedua, penerapan SIMDA masih lebih pada bagaimana memudahkan input data di masing-masing SKPD, disamping sebagai media pemantauan oleh Tim Pemeriksa. Ada kasus „sederhana‟ yang mungkin dapat dicermati. Pada satu kesempatan, peneliti meminta salah satu dokumen perencanaan yang terkait dengan tema penelitian ini, tetapi respon yang peneliti dapati, seperti terbaca pada percakapan berikut: „Dokumen ini belum dapat diberikan, karena saat ini kita masih dihadapkan dengan suasana politik (Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Halmahera Barat), sehingga dikhawatirkan ada kelompok-kelompok tertentu yang memanfaatkan dokumen yang ada untuk kepentingan tertentu‟ (Percakapan Singkat dengan salah satu pegawai di salah satu SKPD di Kabupaten Halmahera Barat, 23 Desember 2005) 124
Dalam kasus yang lain, temuan di lapangan tentang pengelolaan belanja bantuan sosial belum menunjukkan pengelolaan yang benar-benar transparan. Sehingga prinsip perencanaan dan penganggaran sering tersumbat karena adanya „kekuatan politis‟. Umumnya, belum tersedia ruang akses yang terbuka bagi masyarakat untuk mengetahui dan memonitor proses perencanaan dan penganggaran hibah dan bantuan sosial. Dari berbagai penjelasan tersebut, penting kiranya menyebutkan definisi transparansi dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006. “Transparansi merupakan prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah” Jika merujuk pada pengertian ini, ada beberapa penjelasan yang dapat diberikan. Pertama, makna „dapat diakses publik‟ belum tepat jika dipahami hanya sebatas kehadiran masyarakat di forum Musrembang dan secara tidak langsung
melalui
keterwakilan
DPRD.
Kedua,
dokumen-dokumen
penganggaran yang dapat diakses secara elektronik perlu dinilai sebagai syarat perlu, bukan syarat cukup dalam mengejawantahkan dimensi transparansi. Hal ini dinilai realistis, karena ada „lapisan masyarakat‟ yang membutuhkan media akses yang didesain secara sederhana. Benar, bahwa pada dasarnya masyarakat tidak dapat terlibat langsung pada tahapan tertentu dari proses perencanaan dan penganggaran, karena secara normatif memang tidak dimungkinkan. Tetapi sama benarnya juga bahwa masyarakat dijamin oleh konstitusi untuk diberikan informasi yang seluas125
luasnya tentang penganggaran dana publik. Pada tataran inilah, desain media akses yang sederhana, realistis, dan relevan menjadi kebutuhan yang mendesak untuk diwujudkan. Dasarnya, beragam kelompok dalam masyarakat dibekali dengan status sosial, kemampuan, dan kepentingan menelusuri informasi (pengelolaan anggaran daerah) berbeda-beda. Katakanlah BPK dan Kepolisian berkepentingan dengan tujuan-tujuan pemeriksaan, pelaku usaha berkepentingan dengan ekspektasi usahanya, akademisi berkepentingan dengan kerja-kerja ilmiahnya. Dalam konteks ini, data yang diperlukan relatif mudah dapat diakses. Jika prinsip transparansi hanya dipahami sebatas ini, maka seluruh Pemerintahan di Indonesia dari Pusat sampai Daerah bisa dibilang 100% sudah transparan dalam pengelolaan anggaran publik. Bagaimana dengan „lapisan masyarakat‟ yang tidak berkepentingan dengan soal-soal ini. Dengan motivasi apa agar lapisan masyarakat
ini
memiliki
pengetahuan
yang
relatif
berimbang
atasperkembangan pengelolaan keuangan publik di daerah. Tentu, prinsipnya tidak demikian. Dalam pengertian yang lebih luas, transparansi akan mengarah pada sejauhmana masyarakat mendapat akses untuk memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan pembangunan sebagai cermin dari transparansi kebijakan keuangan daerah.Media seperti surat kabar lokal, perlu dimanfaatkan secara optimal oleh Pemerintah Daerah untuk menuangkan berbagai capaian keberhasilan, permasalahan yang dihadapi, kemudian membangun interaksi secara tidak langsung kepada 126
masyarakat melalui berbagai usulan atau pertimbangan-pertimbangan yang dapat
disarankan.
Pola
seperti
ini
dinilai
cukup
realistis
dalam
mengejawantahkan makna transparansi. Dalam pengertian ini, kajian di lapangan mensinyalir bahwa format transparansi pengelolaan belanja daerah di Kabupaten Halmahera Barat belum menyentuh aspek ini. Dilain sisi, posisi DPRD sebagai representasi masyarakat belum menciptakan ruang komunikasi yang optimal bersama masyarakat untuk mengevaluasi jalannya proses pembangunan setiap tahunnya. Dalam agenda DPRD, ada yang dikenal dengan masa reses, dimana DPRD akan mengunjungi daerah pemilihannya masing-masing.
Ruang
seperti ini harusnya dapat dijadikan semacam kuliah „transpransi‟ bersama masyarakat, sehingga perkembangan penyelenggaraan pemerintahan setiap saat dapat terkomunikasi dengan baik. Sebagaimana yang dikemukakan Halim (2004), anggaran daerah merupakan salah satu sarana evaluasi pencapaian kinerja dan tanggungjawab pemerintah mensejahterakan masyarakatnya. Oleh karena itu, transparansi tentang belanja daerah tidak bisa dipahami secara parsial, tetapi harus dimaknai dalam pengertian yang lebih luas. Transparansi dalam wujud seperti itu
diharapkan
menjadi
salah
satu
persyaratan
pemerintahan yang baik, bersih dan bertanggungjawab.
127
untuk
mewujudkan
D. Dinamika Penyusunan Perencanaan dan Penganggaran Publik di Kabupaten Halmahera Barat: Sebuah Ringkasan Temuan Secara implisit, jika diinterpretasi ke dalam gambaran umum siklus perencanaan dan penganggaran publik di Kabupaten Halmahera Barat, maka berbagai indikator kualitas belanja daerah yang dikaji dapat diterjemahkan secara bersamaan dengan siklus perencanaan dan penganggaran yang terjadi. Dalam setiap siklus perencanaan pembangunan, hasil Musrembang menjadi input dari RPJMD, kemudian diurai ke dalam dokumen tahunan berupa RKPD. Dalam konteks di Kabupaten Halmahera Barat, kedua dokumen ini relatif belum berkualitas, karena terbentuk dari sebuah desain perencanaan yang memiliki kelemahan tolok ukur, belum tepat waktu, dan prosesnya masih terganggu oleh „kepentingan politik‟. Dokumen perencanaan ini kemudian diterjemahkan lebih spesifik ke dalam RKA-SKPD dan RKUA-PPAS yang menjadi landasan makro penyusunan RAPBD. Pada tataran ini, input RAPBD adalah RKA-SKPD dan KUA-PPAS, di mana hasil kajian mendeskripsikan bahwa dokumen-dokumen inputuntuk RAPBD belum sepenuhnya mengikuti kaidah-kaidah penyusunan penganggaran publik, yang tercermin dari belum optimalnya penggunaan tolok ukur indikator kinerja dalam anggaran publik, berupa indikator kinerja input, output, outcome, benefit, dan impact.Termasuk didalamnya penyusunan ASB dan SPM. Implikasi dari semua proses ini, melahirkan belanja daerah (APBD) yang relatif belum berkualitas. Dinamika ini dapat digambarkan dalam Bagan 4.1. 128
Bagan 4.1. Dinamika Penyusunan Perencanaan dan Penganggaran Publik (APBD) di Kabupaten Halmahera Barat: Sebuah Ringkasan Temuan Musrembang - Kelemahan tolok ukur - Belum tepat waktu - Unsur „kepentingan politik‟
RKA-SKPD/RKUA-PPAS RPJMD-RKPD
RAPBD Berimplikasi pada: - Masalah ketidakdisiplinan belanja daerah - Masalah ketidaktepatan waktu - Masalah ketidaktepatan alokasi belanja daerah - Masalah inefisiensi dan ketidakefektifan belanja daerah - Masalah akuntabilitas dan transparansi pengelolaan belanja daerah
APBD
- Belum optimal menggunakan tolok ukur indikator kinerja (kinerja input, output, outcome, benefit, dan impact). - Belum optimal menerapkan SPM, dan blum terwujudnya komitmen penyusunan ASB - Terganggu oleh „kebijakan level atas‟ sehingga sering terjadi pergeseran nilai alokasi anggaran - Politik „konstituen‟ dalam pembahasan anggaran - Keterbatasan kapasitas SDM, baik Legislatif maupun Eksekutif
Belanja daerah (APBD) relatif belum berkualitas Sumber: Diolah dari, Hasil Wawancara, Kajian Dokumen, Hasil Survei dan Observasi. 2016. Disesuaikan dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 dan Permendagri No 21 Tahun 2011.
129
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan temuan dan pembahasan sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut: 1. Secara keseluruhan, kualitas belanja daerah (APBD) di Kabupaten Halmahera Barat relatif belum berkualitas. 2. Indikator disiplin belanja daerah Terdapat
3
(tiga)
faktor
utama
yang
cenderung
menyebabkan
ketidakdisiplinan belanja terhadap prioritas pembangunan daerah, yaitu (1) Kualitas dokumen perencanaan dan penganggaran yang masih rendah; (2) Pelaksanaannya yang belum konsisten; (3) Politik anggaran yang cenderung belum memihak pada konsistensi pelaksanaan prioritas pembangunan daerah. 3. Indikator ketepatan alokasi belanja modal, ketepatan alokasi belanja pegawai, serta ketepatan alokasi belanja hibah dan bantuan sosial a. Alokasi belanja modal Kabupaten Halmahera Barat belum dapat ditingkatkan hingga 30%. Sebabnya adalah kemampuan keuangan daerah yang masih rendah, serta kebijakan pimpinan „level atas‟ yang sering mendistorsi nilai alokasi anggaran sehingga belanja modal yang ditentukan sebelumnya dapat berubah pada tahap selanjutnya. b. Alokasi belanja pegawai cenderung menurun di bawah 50% dari total belanja daerah. Dari tahun 2011-2015, rata-ratanya 46,58%. Namun, kondisi 130
pembangunan di Kabupaten Halmahera Barat yang relatif masih tertinggal, maka nilai alokasi belanja pegawai dalam temuan ini, dinilai masih memberatkan APBD. c. Belanja hibah dan bantuan sosial relatif belum tepat sasaran. Pengelolaannya belum transparan dan akuntabel, sehingga sering terjadi perilaku oportunistik. Pada kasus bantuan sosial, perilaku ini terindikasi ketika ada pihak SKPD yang sengaja merancang kelompok atau kegiatan fiktif. Sementara di tingkat masyarakat, belum terwujud pembinaan yang komprehensif sehingga ada masyarakat yang „berinisiatif‟ menjual bantuan tersebut. Kondisi ini kemudian melahirkan masalah pada tahap pertanggungjawaban anggaran. 4. Indikator penetapan APBD Kabupaten Halmahera Barat Dalam 5 tahun terakhir (2011-2015) sudah tepat waktu, yaitu sebelum tanggal 30 Desember tahun berjalan. Namun, sering terlambat dalam proses penyusunan dan penyerahan KUA-PPAS ke DPRD. Keterlambatan ini tentunya akan memengaruhi pendalaman kajian DRPD terhadap dokumen tersebut. Implikasinya, produk dokumen berupa APBD relatif sulit memenuhi kualitas dokumen yang diharapkan. 5. Indikator efisiensi dan Efektifitas Belanja a. Pengelolaan belanja daerah di Kabupaten Halmahera Barat relatif belum efisien, terutama pada kegiatan seperti perjalanan dinas, pengelolaan anggaran Festival Teluk Jailolo, kegiatan „sosialisasi‟, serta tugas dan fungsi yang berlebihan (overlapping) sehingga cenderung menciptakan pemborosan 131
anggaran. Di lain sisi, terindikasi adanya penyalahgunaan (korupsi) anggaran publik (APBD) oleh „pejabat daerah‟, yang berarti mencerminkan pengelolaan belanja semakin tidak efisien. b. Pengelolaan belanja daerah di Kabupaten Halmahera Barat relatif belum efektif. Hal ini ditandai: (1) Keberpihakan alokasi belanja masih kecil untuk kepentingan publik; (2) Masih terdapat kegiatan-kegiatan yang sudah dilaksanakan tetapi belum dapat digunakan (dinikmati) masyarakat; (3) Pada beberapa kasus, masih terdapat alokasi anggaran fiktif; (4) Belanja daerah belum optimal dalam menggerakkan aktifitas perekonomian di daerah; (5) Umumnya, pengelolaan belanja daerah belum berdampak signifikan sebagai problem solving atas permasalahan pembangunan di daerah c. Penyusunan anggaran masih cenderung mengikuti paradigma incrementalism dan line-item budget. Hal ini terindikasi dari lemahnya tolok ukur indikator kinerja dalam setiap program dan kegiatan yang dianggarkan oleh sebagian besar SKPD. Termasuk di dalamnya adalah penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang belum optimal. Di lain sisi belum ada keseriusan dalam penyusunan Analissi Standar Biaya (ASB) sebagai metode menilai kewajaran penggunaan anggaran. 6. Indikator pertanggungjawaban dan dapat diakses publik (akuntabilitas dan transparansi pengelolaan belanja daerah) a. Pada indikator pertanggungjawaban, pengelolaan belanja daerah belum sepenuhnya dapat dipertanggungjawaban. Kecenderungan ini teridentifikasi 132
dari pengelolaan belanja yang relatif belum ekonomis, efisien, dan efektif (pertanggungjawaban atas value for maney). Jika pengelolaan belum sepenuhnya memenuhi nilai-nilai tersebut, maka ada indikasi pemborosan, atau juga penyimpangan. Secara implisit, ini menandakan ada bagian dari anggaran publik yang pada akhirnya cenderung sulit dipertanggungjawabkan. Indikasi yang lain adalah
perolehan opini Wajar Dengan Pengecualian
(WDP) dari BPK, yang berarti bahwa masih terdapat unsur-unsur pengelolaan keuangan daerah yang belum dapat dipertanggungjawabkan. b. Pada indikator dapat diakses publik, pengelolaan belanja daerah belum sepenuhnya dapat diakses publik. Wujud transparansi masih sebatas transparansi „formalistik‟, yang tercermin dari forum Musrembang dan keterwakilan masyarakat di DPRD. Permasalahan yang menjadi tantangan saat ini adalah belum tersedianya akses alternatif bagi masyarakat umum untuk mengevaluasi keberhasilan program pemerintah dalam setiap tahun anggaran. Hal ini dipandang penting, karena berhasil tidaknya sebuah program merupakan cermin dari kebijakan pengelolaan belanja daerah. B. Saran 1. Meningkatkan disiplin belanja daerah Untuk meningkatkan disiplin belanja daerah, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, di antaranya: a. Memperkuat tolok ukur dokumen perencanaan dan penganggaran agar program pembangunan benar-benar terselektif untuk dianggarkan 133
b. Penguatan sumberdaya perencana dan komitmen eksekutif terhadap nilai alokasi anggaran yang sudah direncanakan c. Penguatan pengawasan oleh DPRD terhadap proses dan tahapan perencanaan, mulai dari Musrembang hingga pelaksanaan APBD d. Komitmen eksekutif dan legislatif untuk meminimalisir „faktor politik‟ dalam pembahasan anggaran. 2. Meningkatkan ketepatan alokasi belanja daerah a. Meningkatkan alokasi belanja modal 1) Dalam rangka meningkatkan alokasi belanja modal, maka pemerintah perlu memperkuat peran sumberdaya manusia guna menggali sumbersumber pendapatan yang dapat membantu mendanai kebutuhan daerah. Salah satu program strategis yang perlu didorong adalah menggagas hadirnya Perusahan Daerah (BUMD) yang dikelola secara profesional. Pertimbangan ini menjadi penting, karena BUMD seharusnya juga didesain sebagai media „transit‟ hasil-hasil usaha ekonomi masyarakat untuk dipasarkan. Dalam konteks ini, BUMD diharapkan menjadi penggerak aktifitas perekonomian di daerah, dan dari sini Pemerintah Daerah dapat „merekayasa‟ sumber-sumber pendapatan baru yang lebih realistis, dan tidak terkesan membebani masyarakat. 2) Di lain sisi, komitmen pimpinan terhadap peningkatan alokasi belanja modal sangat diperlukan. Wujud dari komitmen tersebut terlihat ketika
134
pimpinan tidak dengan „sewenang-wenang‟ mengganggu nilai alokasi belanja yang sudah direncanakan sebelumnya. b. Untuk alokasi belanja pegawai, Pemerintah Daerah belum perlu menerima pegawai baru. Perlu dilakukan adalah mengefektifkan posisi dan peran aparatur untuk meningkatkan produktifitas kerja. c. Untuk meningkatkan ketepatan alokasi belanja hibah dan bantuan sosial, Pemerintah Daerah perlu memperketat aspek regulasi untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi pemberian hibah dan bantuan sosial. Salah satunya adalah pemerintah dapat mengumumkan penerima hibah dan bantuan sosial melalui media yang mudah diakses publik. Dengan demikian, kelayakan serta kewajarannya dapat dievaluasi dan diketahui publik. 3. Penetapan APBD a. Dalam rangka meningkatkan kualitas APBD, proses penyusunannya harus tepat waktu mulai dari Musrembang hingga pembahasan anggaran. Hal ini dimakudkan agar baik eksekutif maupun legislatif memiliki waktu yang cukup untuk melakukan kajian lebih mendalam. b. Dalam konteks penetapan APBD, rekomendasi TADF (2013a) perlu dipertimbangkan. Aspek regulasi dalam mekanisme penyusunan anggaran saat ini dinilai terlalu panjang, sehingga berpotensi membuka ruang yang relatif besar terjadinya „gangguan politik‟. Mekanisme saat ini dimulai dari Pemerintah Daerah merancang KUA-PPAS, ke DPRD untuk pembahasan rancangannya menjadi KUA-PPAS, kembali lagi ke Pemerintah Daerah 135
untuk menyusun RKA-SKPD menjadi RAPBD, dan dibawa ke DPRD untuk pembahasan RAPBD. c. Pertimbangannya adalah menyederhanakan mekanisme penyusunan dalam dua tahap, yaitu: (1)
Tahap I merupakan domain eksekutif, di mana
penyusunan RKA-SKPD berdasarkan RKPD yang telah ditetapkan Kepala Daerah. Tahap ini memudahkan Pemerintah Daerah menjabarkan prioritas daerah dalam RKPD hingga ke tingkat RKA-SKPD sehingga meminimalisir potensi gangguan dibandingkan mekanisme lama; (2) Tahap II merupakan domain legislatif, dimana pembahasan anggaran mulai dari pembahasan rancangan KUA, rancangan PPAS dan rancangan APBD. Mekanisme ini memudahkan anggota DPRD memiliki pemahaman yang utuh mengenai logika yang dibangun dari perencanaan hingga penganggaran dengan menyatukan pembahasan RKUA, RPPAS dan RAPBD dalam satu rangkaian persidangan. 4. Meningkatkan Efisiensi dan Efektifitas Belanja Daerah Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas belanja daerah, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, di antaranya: a. Menerapkan prinsip money follow program. Tujuannya agar anggaran yang dibelanjakan tidak lagi disesuaikan dengan banyaknya tugas dan fungsi SKPD. Konsekuensinya, setiap tahun tidak semua SKPD dapat mengelola anggaran dengan jumlah yang relatif sama, kecuali untuk keperluan operasional. Anggaran daerah difokuskan hanya pada program-program 136
pilihan yang sudah diprioritaskan, bukan pada banyaknya SKPD, sehingga tingkat keberhasilannya lebih terjamin. b. Berkomitmen menerapkan anggaran berbasis kinerja. Salah satunya adalah penyusunan Analisis Standar Biaya (ASB) sebagai ukuran kewajaran biaya dalam kegiatan yang dianggarkan. Kecuali itu, Pemerintah Daerah perlu secara maksimal menerapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM). c. Menyelenggarakan pelatihan yang intensif untuk memperkuat sumberdaya di bidang perencanaan dan penganggaran keuangan daerah d. Terapkan reward dan punishment pada setiap SKPD yang penyusunan RKASKPD-nya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. e. Diperlukan pemimpin yang berintegritas agar tidak sewenang-wenang memutasi, roling jabatan, hanya karena kepentingan politik. Hal ini menjadi penting, karena jabatan yang diisi oleh sumberdaya yang tidak profesional akan cenderung menciptakan pemborosan anggaran. f. Perkuat sistem pengawasan, baik dari DPRD maupun masyarakat luas atas kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. 5. Meningkatkan Nilai Akuntabilitas dan Transparaansi Pengelolaan Belanja Daerah a. Indikator Pertanggungjawaban 1) Untuk meningkatkan nilai pertanggungjawaban, perlu ada „reformasi‟ cara pandang terhadap makna dari nilai pertanggungjawaban. Artinya, nilai dari sebuah pertanggungjawaban belanja daerah tidak sekedar dan „tidak 137
identik‟ dengan perolehan Opini BPK. Prinsipnya, opini BPK merupakan salah satu indikator, sehingga memang diperlukan (necessary condition), tetapi
belum
mencukupi
(sufficient
conditions).
Artinya,
unsur
pemeriksaan BPK masih lebih banyak pada audit laporan keuangan yang melihat tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Implikasinya, daerah dapat memperoleh opini WTP jika penggunaan dan pertanggungjawaban anggaran sesuai dengan aturan. Tetapi belum tentu anggaran tersebut digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 2) Keberhasilan pertanggungjawaban belanja daerah harusnya ditekankan pada meningkat atau tidaknya kinerja pembangunan. Dalam hipotesa yang sederhana, ketika dampak dari pengelolaan belanja daerah mampu menghadirkan sebuah kondisi masyarakat yang „sehat‟, „cerdas‟, dan „mapan‟, maka indikator-indikator ini cenderung lebih „hidup‟ dalam memaknai nilai dari sebuah pertanggungjawaban anggaran publik. Kondisi seperti ini cenderung tercapai ketika pengelolaan belanja daerah benarbenar mengikuti konsep value for money. 3) Diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah yang baik, dan itu tercapai apabila Pemerintah Daerah memiliki sistem akuntansi yang baik, sehingga tersedia pemahaman yang memadai atas pengelolaan dan pelaporan keuangan daerah. Dalam capaian ini, tidak mustahil bahwa pengelolaan keuangan daerah relatif mudah memperoleh opini „terbaik‟ 138
(WTP) dari BPK. Dalam konteks ini, BPK perlu menaikan persentase pemeriksaan untuk audit kinerja, sehingga Opini BPK yang diberikan kepada Pemerintah Daerah diharapkan mencerminkan sebuah tolok ukur yang „realistis‟ atas pengelolaan anggaran publik di daerah. 4) Perlu didesain pelatihan untuk DPRD dalam meningkatkan pemahaman terkait manajemen keuangan sektor publik. Posisi DPRD terhadap pertanggungjawabkan anggaran tidak sekedar hadir sebagai „pendengar‟ kemudian mengesahkan. Tetapi perlu dibedah, didiagnosa tolok ukur penggunaan anggaran, sejauh mana nilai ekonomis, efisiensi, dan efektifitas (value for money) atas dana publik yang dianggarkan. DPRD perlu merekayasa fungsi pengawasannya sebagai fungsi „audit‟ terhadap pertanggungjawaban atas kinerja pelaksanaan pembangunan daerah. 5) Jika kondisi di atas tercapai, maka Pemerintah Daerah dinilai relatif lebih berhasil
dalam
mempertanggungjawabkan
Kecenderungan ini dapat terjadi, ketika
anggaran
publik.
masyarakat benar-benar
menikmati hasil-hasil pembangunan di daerah, yang itu terwujud dari peningkatan kesejahteraan masyarakat. b. Indikator dapat diakses publik 1) Untuk meningkatkan transparansi pengelolaan belanja daerah, selain media Musrembang dan keterwakilan di DPRD, perlu didesain beberapa pilihan akses keterlibatan masyarakat dalam pembahasan anggaran seperti melalui surat, baik konvensional maupun elektronik. 139
2) Pemerintah Daerah perlu mempublikasi sejauhmana keberhasilan program pembangunan. Salah satunya adalah bekerjasama dengan media lokal agar setiap tahunnya dapat menerbitkan edisi khusus tentang kinerja pembangunan daerah. Pola seperti itu, diharapkan mendorong masyarakat berperan aktif untuk mengontrol, mengevaluasi, dan memberikan pertimbangan kritis atas kendala dan berbagai permasalahan yang dihadapi Pemerintah Daerah. Dalam konteks ini, nilai transpransi diharapkan dapat membentuk sebuah dinamika pemerintahan „milik masyarakat‟, bukan milik „birokrat dan politisi‟. C. Implikasi 1. Implikasi Metodologis Berdasarkan proses dan hasi penelitian, terdapat beberapa implikasi metodologis yang dapat dikemukakan, di antaranya: a. Keterbatasan instrumen pengumpulan data. Dalam penelitian ini belum menggunakan teknik Focus Group Discussion (FGD). Di lain sisi, penggunaan kuesioner belum cukup membantu dalam mengeksplorasi pandangan informan. Dalam penelitian lanjutan, perlu penggunaan teknik FGD, karena sangat membantu dalam „menyatukan‟ persepsi informan dalam suatu media komunikasi terfokus. Di lain sisi, perlu dipikirkan pola penyebaran kuesioner agar diperoleh banyak penjelasan-penjelasan empirik maupun teoritis dari informan.
140
b. Pertimbangkan pemilihan unit analisis. Aspek ini perlu mendapat perhatian karena calon peneliti yang mengangkat tema tentang keuangan daerah akan cenderung berhadapan dengan „tuntutan-tuntutan kuantitatif‟. Katakanlah untuk mendeskripsikan indikator efisiensi, cenderung akan mengalami „kelemahan‟ jika sekedar dinarasikan secara kualitatif. Oleh karena itu, untuk memperoleh hasil yang relatif lebih valid, peneliti fokuskan kajiannya pada unit analisis yang lebih sempit, misalnya unit kerja tertentu dalam struktur pemerintahan di daerah, sehingga dalam contoh efisiensi belanja, peneliti dapat menghitung kewajaran penggunaan anggaran kegiatan, misalnya dengan menggunakan Analisis Standar Biaya (ASB), atau mendeskripsikan efektifitas belanja yang dapat diperkuat dengan kajian mendalam terhadap penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Dengan mengfokuskan pada unit yang lebih sempit, memudahkan peniliti untuk menerapkan cara-cara ini. c. Penguatan pengujian validitas data. Penelitian ini dibatasi hanya pada penggunaan review informan, disamping trianggulasi sumber data yang terdiri dari hasil wawancara, studi dokumentasi, observasi dan kuesioner. Menariknya, jika pada kajian selanjutnya memperdalam trianggulasi teori sehingga masalah yang dikaji, misalnya penganggaran publik dapat diinterpretasi dengan berbagai teori dari disiplin ilmu yang berbeda. d. Pertimbangan
terhadap
penguatan
pendekatan
kombinatif
(mixed
methodology). Secara emplisit penelitian ini berusaha membangun corak 141
kombinasi metodologis antara kuantitatif dan kualitatif. Namun disadari, usaha ini belum maksimal dan belum sepenuhnya berhasil menampilkan secara utuh corak yang dimaksud. Perspektif ini dipandang penting, karena fenomena umumnya menunjukan bahwa tema tentang keuangan sektor publik tidak dapat dipisahkan dengan dua hal, yaitu mengenai tema yang bersifat numerik dan tema yang bersentuhan dengan aspek keperilakuan pengelola anggaran publik. Dua sudut pandang ini kiranya dapat menjadi landasan untuk memperkuat pendekatan kombinasi antara kualitatif dan kuantitatif dalam kajian keuangan sektor publik. 2. Impikasi Teoritis a. Hasil penelitian ini cenderung konsisten dengan pola keterkaitan antar indikator kualitas belanja daerah yang diadaptasikan dari kajian teoritis TADF (2013a). Secara ringkas, indikator disiplin belanja akan menentukan ketepatan waktu dan ketepatan alokasi. Jika kinerja dari indikator ini rendah, maka berimplikasi pada tingkat efisiensi dan efektifitas. Rendahnya efisiensi dan efektifitas belanja akan berimplikasi pada memburuknya aspek pertanggungjawaban dan transparansi anggaran. Secara implisit, konsistensi dari pola keterkaitan ini sesuai dengan temuan di lapangan. b. Hasil penelitian ini mengungkap adanya dimensi kelogisan dari rujukan teoritik yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Pertama, penggunaan teori keagenan, di mana teori ini dapat diadaptasikan untuk menginterpretasi dinamika alokasi belanja daerah sebagai hasil „interaksi‟ 142
antara eksekutif (agent), legislatif (principas), dan publik (the ultimate principals). Kedua, model Bandura, di mana model ini dapat diadaptasikan untuk menginterpretasi bagaimana sebuah „budaya‟ oportunistik pengelola anggaran publik terbentuk dari hasil „saling mendukung‟ antara tingkah laku, lingkungan, dan manusia beserta muatan kognitifnya. Relevansinya dengan implikasi metodologis sebelumnya, maka penggunaan teori yang tepat sangat bermanfaat untuk menguatkan validitas temuan penelitian. c. Rujukan teoritis dalam penelitian ini perlu dipertimbangkan dan dapat dikembangkan
untuk
penelitian
selanjutnya.
Menariknya
jika
dikembangkan dalam pilihan unit analisis yang lebih sempit, sehingga pola dan tingkah laku yang diteliti relatif mudah diamati. Harapannya, agar teori yang digunakan lebih „hidup‟ dalam menginterpreatsi peristiwa yang sedang terjadi.
143
DAFTAR PUSTAKA Arnett, Sarah. 2014. “State Fiscal Condition Ranking the 50 States”. Mercatus Center Working Paper 1402. Adekola. 2014. “Public Investment in Human Capital and Economic Growth in Nigeria: Analysis on Regime Shifts”. JEDS 2(2): 213-231. Afifah, Dista Amalia. 2012. “Praktek Teori Agensi Pada Entitas Publik dan Non Publik”. Jurnal Prestasi 9(1): 1-11. Abdullah, Syukriy. 2013. Defisit/Surplus dan SILPA dalam Anggaran Daerah: Apakah Saling Berhubungan?. https://syukriy.wordpress.cpm/2012/10/16/. Diakses 05 Januari 2016. ………2012. Varian Anggaran Pendapatan dan Varian Belanja Daerah. https://syukriy.wordpress.cpm/2012/10/16/. Diakses 05 Januari 2016. Anonim. 2012a. Belanja Pegawai Kuras APBD. http://m.jpnn.com/news.php?id=145. Diakses 14 Agustus 2015. ……….2012b. Menteri Keuangan: Penyerapan Anggaran Bermasalah. http://www.tempo.co/read/news/2012/12/06/. Diakses 22 September 2014. Asmara, Jhon Andra. 2010. “Analisis Perubahan Alokasi Belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”. Jurnal Telaah dan Riset Akuntansi 3 (2): 155-172. Abdullah, Syukriy dan Jhon Andra Asmara. 2006. “Perilaku Oportunistik Legislatif dalam Penganggaran Daerah”. Simposium Nasional Akuntansi. Tanggal 23-26 Agustus 2006. Padang. BKD Kabupaten Halmahera Barat. 2016. Jumlah Pegawai Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2011-2015. Jailolo: BKD. BPKAD Kabupaten Halmahera Barat. 2016. Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat 2011-2014danData APBD Tahun 2011-2015. Jailolo: BPKAD. Bappenas. 2015. Forum Pramusrembangnas Pembangunan Daerah Tertinggal Provinsi Maluku Utara. Jakarta: Kementerian Perencanan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 144
………2011. Laporan Akhir: Kajian Kualitas Belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Jakarta: Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah. BPK. 2015. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I (IHPS-I) Tahun 2015. Jakarta: BPK Republik Indonesia. ………2014a. Penyimpangan Anggaran Naik. http://www.bpk.go.id. Diakses 14 Agustus 2015 ………2014b. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I (IHPS-I) Tahun 2014. Jakarta: BPK Republik Indonesia. ………2014c. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II (IHPS-II) Tahun 2014. Jakarta: BPK Republik Indonesia. ………2014d. BPK RI akan Tingkatkan Audit Kinerja. www.bpk.go.id. Diakses pada 23 Juni 2016. ………2011. Opini WTP Tidak Menjamin Tidak Ada Korupsi. www.bpk.go.id. Diakses pada 06 Mei 2016. Bappeda Kabupaten Halmahera Barat. 2015. Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2015-2016. Jailolo: Bappeda. ………2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2011-2015. Jailolo: Bappeda. ………dan BPS Kabupaten Halmahera Barat. 2014. Monografi Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2013. Jailolo: Kerjasama Bappeda dan BPS. BPS Provinsi Maluku Utara. 2014. Statistik Keuangan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara 2013. Ternate: BPS. ………2014. Perkembangan Beberapa Indikator Sosial Provinsi Maluku Utara 2013. Ternate: BPS. ………Kabupaten Halmahera Barat. 2015. Data PDRB Halmahera Barat, Kemiskinan Kabupaten/Kota 2010-2014, dan Data Ketenakerjaan Maluku Utara Tahun 2010-2014. Jailolo: BPS. Bahl, Roy. 1999. “Implementation Rules for Fiscal Decentralization”. International Studies Program Working Paper 30. 145
Calderon, Cesar dan Luis Serven. 2008. “Infrastructure and Economic Development in Sub-Saharan Africa”. Policy Research Working Paper 4712. Chalid, Pheni. 2005. Otonomi daerah: Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik. Jakarta: Kemitraan. Daling, Marchelino. 2013. “Analisis Kinerja Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara”. Jurnal EMBA 1(3): 8289. Dhakidae, Daniel. 2013. “Kapital, Korupsi, dan Keadilan”. ESAI. Prisma 32(1): 1-5. Denzin, Norman K dan Lincoln, Yvonna S. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dobell, Peter dan Martin Ulrich. 2002. “Parliament‟s Performance in the Budget Process: A Case Study”. Policy Matters 3(2): 1-24. Dornbusch, Rudiger dan Stanley Fischer.1987. Makroekonomi. (Alih Bahasa: Julius A.Mulyadi). Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga. Fozzard, Adrian. 2001. “The Basic Budgeting Problem: Approaches to Resource Allocation in the Public Sector and Their Implications for Pro-Poor Budgeting. Center for Aid and Public Expenditure, Overseas Development Institute (ODI)”. Working paper 147. Gennaioli, Nicola, Rafael La Porta, Flarencio Lopez-de-Silanes dan Andrei Shleifer, 2011. “Human capital and Regional Development”. USA: NBER. Halim, Abdul (penyunting). 2004. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Edisi Revisi. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. ………dan Syam Kusufi (penyunting). 2012. Akuntansi Sektor Publik: Teori, Konsep dan Aplikasi, dari Anggaran Hingga Laporan Keuangan, Dari Pemerintah Hingga Tempat Ibadah. Jakarta: Salemba Empat. Hidayat, Agus Syarip dan Agus Eko Nugroho. 2010. “Dilema Investasi dan Resiko Politik Keuangan Daerah: Studi Kasus di Provinsi Kepualaun Riau”. Jurnal Bhinneka Tunggal Ika 1(1): 101-124. Huntington, Samuel P dan Joan Nelson. 1992. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta.
146
Kompas. 2015. Pansus Pelindo II Harus Terbuka. Edisi Selasa 06 Oktober 2015. ………2015. Ini Penjelasan BPK soal Opini WDP yang Diterima Pemprov DKI. http://megapolitan.kompas.com/read/.. Diakses 08 April 2016. Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Maluku Utara. 2014. Kajian Fiskal Regional Provinsi Maluku Utara Semester II Tahun 2013. Ternate: KFR. Kemenkeu. 2014. Kebijakan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) Dalam Rangka Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Jakarta: DJPK Kemenkeu Republik Indonesia. ………2013a. Analisis Realisasi APBD Tahun Anggaran 2012. Jakarta: DJPK Kemenkeu Republik Indonesia. ………2013b. Laporan Evaluasi Belanja Modal Daerah. Jakarta: DJPK Kemenkeu Republik Indonesia. Kuncoro, Mudrajad. 2012. Perencanaan Daerah : Bagaimana Membangun Ekonomi Lokal, Kota, dan Kawasan?. Jakarta: Salemba Empat. ………2010. Ekonomika Pembangunan: Masalah, Kebijakan, dan Politik. Jakarta: Erlangga. Kurniawati, Tri dan Suhartono. 2010. “Kemampuan Keuangan Daerah dalam Era Otonomi Daerah (Kasus Kabupaten Banyumas Tahun 2003-2008)”. Laporan Penelitian. Jakarta: LPPM Universitas Terbuka. Keefer, Philip dan Stuti Khemani. 2003. “The Political Economy of Public Expenditures”.Background paper for WDR 2004: Making Service Work for Poor People. The World Bank. LKPJ Bupati Halmahera Barat. 2016. Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Bupati Halmahera Barat 2011-2015. Jailolo: LKPJ. Latif, Muh, Andy Fefta Wijaya dan Tjahjanulin Domai. 2014. “Perencanaan Anggaran Belanja Bantuan Sosial Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bantul”. Jurnal Wacana 17(2): 78-87. Lay, Cornelis. 2006. “Otonomi Daerah dan Keindonesian” dalam Abdul Gaffar Karim (editor), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
147
Malut Post. 2016. Kegiatan Bimbingan Diduga Fiktif. Edisi Rabu, 16 Maret 2016. ………2015. Proyek Air Bersih PNPM Tidak Bermanfaat. http://malutpost.co.id. Diakses 04 Januari 2016. ………2015. DPRD Sebut Jalan di Ibu Tak Sesuai. http://malutpost.co.id. Diakses 04 Januari 2016. ………2015. Tambatan Perahu Tidak Berfungsi. http://malutpost.co.id. Diakses 04 Januari 2016). ………2016. Bupati Tekankan Tiga Program Prioritas. Edisi Rabu, 16 Maret 2016. Mendagri. 2012. Keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah. 03 April 2012. www.kemendagri.go.id. Diakses 10 Agustus 2015. Mulyanto, 2007. Modul Mata Kuliah Analisis Keuangan Daerah „Aspek dan Dimensi Keuangan Daerah di Era Otonomi dan Desentralisasi Fiskal‟ ; Kajian Atas Peraturan Perundangan Mutakhir. Surakarta: Program S-2 MM dan S-2 MESP UNS. Mardiasmo, 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi. Musgrave, Richard A dan Peggy B. Musgrave. 1989. Public Finance in Theory and Practice. Fifth Edition. Mcgraw-Hill International Edition. Mankiw, N. Grogory, David Romer, dan David N. Weil. 1992. “A contribution to the Empirics of Economic Growth”. The Quarterly Journal of Economics 107(2): 407-437. Noor, Isran. 2012. Politik Otonomi Daerah untuk Penguatan NKRI. Jakarta: Seven Strategic Studies. Nordiawan, Deddi, Ayuningtyas Hertianti. 2010. Akuntansi Sektor Publik. Edisi 2. Jakarta: Salemba Empat. Neuman, W Lawrence. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Sixth Edition. Pearson Education, Inc.
148
Oates, Wallace E. 2005. “Toward A Second-Generation Theory of Fiscal Federalism”. International Tax and Public Finance 12: 349-373. ……...1993. “Fiscal Decentralization and Economic Development”. National Tax Journal 46(2): 237-243. Palilingan, Anastasia Friska, Harijanto Sabijono dan Lidia Mawikere. 2015. “Analisis Kinerja Belanja dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Pada Dinas Pendapatan Kota Manado”. Jurnal EMBA 3(1): 17-25. Prasetya, Ferry. 2012. Modul Ekonomi Publik Bagian II: Teori Sektor Publik. Malang: FEB-UB. Prasetyo, Rindang Bangun dan Muhammad Firdaus. 2009.“Pengaruh infrastruktur pada Pertumbuhan Ekonomi Wilayah di Indonesia”. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan 2(2): 222-236. Patton, Michael Quinn. 2006. Metode Evaluasi Kualitatif (terjemahan Budi Puspo Priyadi). Yogyakarta: Pustaka Belajar. Petrie, Murray. 2002. “A Framework for Public Sektor Performance Contracting”. Journal on Budgetiing: 117-152. Ritonga, Irwan Taufiq, Colin Clark, dan Guneratne Wickremasinghe. 2012. “Assessing Financial Condition of Local Government in Indonesia: an Exploration”. Public pand Municipal Finance 1(2): 37-50. Rasyid, Ryaas. 2007. “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya” dalam Syamsudin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: LIPI Press. Rachbini, Didik J. 2001. Analisis Kritis Ekonomi Politik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sriyana, Jaka. 2015. Dinamika Kinerja Fiskal di Indonesia. Yogyakarta: UII Press. Sulton. 2015. “Siklus Politik Anggaran di Kabupaten Ponorogo (Studi Kasus Dana Hibah dan Bantuan Sosial APBD 2013)”. Jurnal Aristo Vol. 5. Suaib,
Rahmat. 2014. “Evaluasi Kinerja Daerah Otonom Baru Pasca Pemekaran (Studi Kabupaten Halmahera Utara dan Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara)”. Journal of Governance and Public Policy 1(1): 109-140. 149
Situngkir, Freddy, Sirojuzilam, Erlina, dan Agus Suriadi. 2014. “Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Sumatera Utara”. Jurnal Ekonom 17(3): 125-137. Sasana, Hadi dan Ratri Furry P.R. 2013. “Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah terhadap Kinerja Ekonomi dan Kinerja Pelayanan Publik di Kota Serang”. Journal of Economics 2(3): 1-13. Saputra, Bambang. 2012. “Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Korupsi di Indonesia”. Jurnal Borneo Administrator 8(3): 293-309. Saparini, Hendri, BPK, dan DPD. 2010. Analisis atas Temuan BPK tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta: Kerjasama Konsultan Dr. Hendri Saparini dengan Bagian Analisa Pemeriksaan BPK dan Pengawasan DPD. http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/bpkdpd. Diakses 05 November 2015. Sumarsono, Hadi dan Sugeng Hadi Utomo. 2009. “Deliberate Inflation pada Kebijakan Desentralisasi Fiskal Jawa Timur dan Dampaknya bagi Pertumbuhan Daerah”. JESP 1(3): 1-12. Sasana, Hadi. 2009. “Peran Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah”. Jurnal Ekonomi Pembangunan 10(1): 103-124. Suhadak dan Nugroho, Trilaksono. 2007. Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Penyusunan APBD di Era Otonomi. Malang: Bayumedia Publishing. Salam, Alfitra. 2007. “Menimbang Kembali Kebijakan Otonomi Daerah” dalam Syamsudin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: LIPI Press. Sutopo H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Edisi kedua. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Sidik, Machfud. 2002. Format Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang Mengacu pada Pencapaian Tujuan Nasional. Seminar Nasional “Public Sector Scorecard”, 17-18 April 2002. Jakarta. Sharma, Chanchal Kumar. 2005. “When does Decentralization Deliver? The Dilemma of Design”. South Asian Journal of Socio-Political Studies 6(1): 3845.
150
Seabright, Paul. 1996. “Accountability and Secentralisation in Government: An Incomplete Contracts Models”. European Economic Review 40: 61-89. Shah, Anwar, Zia Qureshi, Amaresh Bagchi, Brian Binder, and Heng-fu Zou. 1994. “Intergovernmental Fiscal Relations in Indonesia”. World Bank Discussion Papers 239. Suparmoko, M. 1994. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: BPFE. Todaro, Michael dan Stephen C. Smith. 2009. Pembangunan Ekonomi. Alih bahasa : Agus Dharma. Edisi Kesebelas. Jilid 1. Jakarta: Erlangga. TADF. 2013a. “Evaluasi Regulasi Pengelolaan Keuangan Daerah dan Pengaruhnya Terhadap Upaya Peningkatan Kualitas Belanja Daerah”. Laporan Penelitian. Jakarta: TADF Kemenkeu Republik Indonesia. ………2013b. “Pengelolaan DAK: Kondisi dan Strategi Ke Depan”. Laporan Penelitian. Jakarta: TADF Kemenkeu Republik Indonesia. Umar, Husein. 2002. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wijayanti, Anita Wahyu, Mujibur Rahman Khairul Muluk dan Ratih Nurpratiwi. 2012. “Perencanaan Anggaran Berbasis Kinerja di Kabupaten Pasuruan”. Jurnal Wacana 15(3): 10-17. World Bank. 2013. Perkembangan Triwulan Perekonomian Indonesia: Tekanan Meningkat. Laporan Indonesia Economic Quarterly. World Bank ………1991. World Development Report 1991: The Challenge of Development. World Development Indicators. New York: Oxford University Press. Wiyono, Vincent(ius) Hadi. 2013. Parasit Pembangunan. Salatiga: Satya Wacana University Press. Widodo, Nurjati. 2012. Teori Politik Keuangan Publik dan Kebijakan Anggaran. http://nurjatiwidodo.lecture.ub.ac.id/files/2012/10/. Diakses 06 Mei 2016. Yustika, Ahmad Erani. 2012. Perekonomian Indonesia: Catatan Dari Luar Pagar. Malang: Bayumedia Publishing.
151
Yin, Robert. K. 1997. Studi Kasus: Desain dan Metode. (terjemahan M. Djauzi Mudzakir). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Zali, Nader, Hassan Ahmadi, dan Seyed Mohammadreza Faroughi. 2013. “An Analysis of Regional Disparities Situation in The East Azarbaijan Province”. Journal of Urban and Environmental Engineering 7(1): 183-194. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan daerah ………Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ………Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah ………Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ………Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara ………Nomor 1 tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan di Provinsi Maluku Utara ………Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah ………Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor Pengelolaan Keuangan Daerah.
58
Tahun
2005 Tentang
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2015 ………Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah ………Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah ………Nomor 26 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2007
152
Lampiran 1 Daftar Informan yang Disurvei (Studi Kasus di Kabupaten Halmahera Barat) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Instansi Kepala Dinas BPKAD Kepala Bappeda Kepala BLH Kepala BKD Kepala Badan Kesbangpol Kepala BPMD Kabag Pemerintahan Kabag Bagian Hukum Kepala Dinas PU Kepala Dinas Perhubungan Kepala Dinas Pendidikan Kepala Dinas Kesehatan Kepala Dinas Sosial, Nakertrans Kepala Dinas Pertanian Kepala Dinas Dukcapil Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Kepala Dinas Tata Kota Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Kepala Perpustakan Kepala Inspektorat DPRD Universitas STPK Banau Kepala Bagian Humas Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kepala Dinas Perindagkop Jumlah
153
Jumlah kuesioner yang dibagikan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 5 2 1 1 1 30
Kuesioner yang terpakai 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Tidak terpakai Tidak terpakai Tidak terpakai 22
Lampiran 2 KUESIONER I PENILAIAN INDIKATOR KUALITAS BELANJA DAERAH KABUPATEN HALMAHERA BARAT PETUNJUK PENGISIAN : Lingkarilah pada jawaban (A, B, C , D atau E) yang menurut anda paling sesuai, selanjutnya berikan penjelasan atas jawaban tersebut. Penjelasan dapat disertai dengan contoh kasus ataupun pengalaman yang pernah anda alami. 1. Belanja daerah Kabupaten Halmahera Barat sudah sesuai (disiplin) dengan program prioritas yang direncanakan a. Tidak Setuju (1) b. Kurang setuju (2) c. Ragu-ragu (3) d. Setuju (4) e. Sangat Setuju (5) Penjelasannya………………………………………………………………………. 2. Alokasi belanja modal meningkat (sekurang-kurangnya 30%) dari total belanja daerah a. Tidak Setuju (1) b. Kurang setuju (2) c. Ragu-ragu (3) d. Setuju (4) e. Sangat Setuju (5) Penjelasannya…………………………………………………………………… 3. Alokasi belanja subsidi, hibah dan bantuan sosial sudah tepat sasaran a. Tidak Setuju (1) b. Kurang setuju (2) c. Ragu-ragu (3) d. Setuju (4) e. Sangat Setuju (5) Penjelasannya……………………………………………………………………
154
4. Alokasi belanja pegawai sudah dibawah 50% dari total belanja daerah a. Tidak Setuju (1) b. Kurang setuju (2) c. Ragu-ragu (3) d. Setuju (4) e. Sangat Setuju (5) Penjelasannya……………………………………………………………………… 5. Sudah tepat waktu dalam penetapan APBD a. Tidak Setuju (1) b. Kurang setuju (2) c. Ragu-ragu (3) d. Setuju (4) e. Sangat Setuju (5) Penjelasannya……………………………………………………………………… 6. Belanja daerah Kabupaten Halmahera Barat sudah tergolong belanja yang efisien Realisasi belanja daerah sudah sesuai dengan jadwal rencana a. Tidak Setuju (1) b. Kurang setuju (2) c. Ragu-ragu (3) d. Setuju (4) e. Sangat Setuju (5) Penjelasannya……………………………………………………………………… 7. Belanja daerah Kabupaten Halmahera Barat sudah tergolong belanja yang efektif a. Tidak Setuju (1) b. Kurang setuju (2) c. Ragu-ragu (3) d. Setuju (4) e. Sangat Setuju (5) Penjelasannya……………………………………………………………………… 8. Pengelolaan belanja daerah dapat dipertanggungjawaban a. Tidak Setuju (1) b. Kurang setuju (2) c. Ragu-ragu (3) d. Setuju (4) e. Sangat Setuju (5) Penjelasannya……………………………………………………………………… 155
9. Pengelolaan belanja daerah sudah transparan a. Tidak Setuju (1) b. Kurang setuju (2) c. Ragu-ragu (3) d. Setuju (4) e. Sangat Setuju (5) Penjelasannya……………………………………………………………………… KUESIONER II PENILAIAN ASPEK KEPENTINGAN INDIKATOR PETUNJUK PENGISIAN : Berillah tanda cek ( √ ) pada skala kepentingan yang menurut anda paling sesuai. Keterangan Penilaian : SANGAT PENTING = 5 PENTING
= 4
CUKUP PENTING
= 3
KURANG PENTING = 2 TIDAK PENTING
= 1
No
INDIKATOR
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Disiplin belanja terhadap program prioritas Pemda Alokasi belanja modal meningkat Alokasi belanja subsidi, hibah dan bansos tepat sasaran Alokasi belanja pegawai kurang dari 50 persen Tepat waktu penetapan APBD Efisiensi belanja daerah Efektifitas belanja daerah Pertanggungjawabkan pengelolaan belanja daerah Transparansi pengelolaan belanja daerah
SKALA KEPENTINGAN 5
156
4
3
2
1
Lampiran 3 Matriks Perbandingan Penelitian Terdahulu No
1
2
3
Sampel/ Informan TAPD, Satker terkait, dan Banggar DPRD
Teknik Analisis Model Analisis Deskriptif Kualitatif
Mengetahui Pere bagaimanakah ncanaan perencanaan belanja anggaran bantuan sosial di Bela Pemerintah nja bantuan Kabupaten Bantul. sosial
Bappeda dan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah
Model Analisis Interaktif
Mengidentifikasi permasalahan di lapangan terkait dengan rendahnya realisasi belanja modal daerah
20 Daerah Model sampel (Provinsi/ Analisis Kabupaten/Kota) Deskriptif dan Kualitatif
Penelitian
Tujuan
Sulton (2015) Siklus politik anggaran di Kabupaten Ponorogo (Studi Kasus Dana Hibah dan Bantuan Sosial APBD 2013)
Mendiskripsikan bagaimana siklus politik anggaran dalam kasus alokasi hibah dan bantuan sosial pada APBD tahun 2013 di Kabupaten Ponorogo
Latif et al (2014) Perencanaan anggaran belanja bantuan sosial pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bantul
Kemenkeu (2013a) Evaluasi Belanja Modal Daerah
Konsep -
Sikl us politik anggaran
-
Bela nja modal
157
Hasil Penelitian Terjadi perilaku korupsi politik oleh eksekutif dan legislatif sehingga menciptakan berbagai penyimpangan dalam pengelolaan dana hibah dan bantuan sosial. Modusnya berupa pemberian dana tanpa pengajuan, pemotongan bantuan, tidak adanya pertanggungjawaban, serta adanya proposal atau bantuan fiktif. Perencanaan belanja bantuan sosial di Pemerintah Kabupaten Bantul belum sepenuhnya mewujudkan sebuah perencanaan strategis. Dalam proses perencanaannya, belum menggunakan tolok ukur kinerja yang mencakup Standar Pelayanan Minimal (SPM), Analisis Standar Biaya (ASB), Standar Satuan Harga (SSH).. Penyerapan belanja modal dipengaruhi oleh pola perencanaan dan penganggaran di daerah, mekanisme transfer, dan masalah pelaksanaan program/kegiatan di daerah
TADF (2013) Evaluasi regulasi pengelolaan keuangan daerah dan pengaruhnya terhadap peningkatan kualitas belanja daerah
4
Wijayanti et al (2012) Perencanaan Anggaran Berbasis Kinerja di Kabupaten Pasuruan. 5
-
Mengk Kual aji definisi itas belanja belanja yang daerah berkualitas Indi Mende kator kualitas skripsikan 1. Disi indikatornya plin belanja Mengk 2. Kete aji regulasi yang patan alokasi menghambat 3. Kete peningkatan patan waktu kualitas belanja 4. Efes daerah iensi dan Efektifitas 5. Aku ntabilitas dan Transparansi Reg ulai pengelolaan keuangan daerah Mendeskripsikan Pere proses perencanaan ncaanaan anggaran berbasis anggaran kinerja di Berbasis Kinerja Kabupaten Pasuruan.
158
8 Daerah sampel (sampel (Provinsi dan Kabupaten/Kota)
Model Analisis Deskriptif kualitatif
-
Hasil penelitian menyimpulkan belanja berkualitas merupakan belanja berkualitas adalah belanja yang dialokasikan berdasarkan prioritas pembangunan daerah yang dilakukan secara efisien dan efektif, tepat waktu, transparan dan akuntabel. Pengelolaan belanja daerah belum sepenuhnya memenuhi nilai-nilai kualitas belanja ang mencakup disiplin, tepat waktu, tepat alokasi, efisien dan efektifitas, serta transparansi dan akuntabilitas Terdapat regulasi yang menghambat peningkatan kualitas belanja daerah
Bappeda dan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah
Model Analisis Interaktif
Belum disusunnya Analisis Standar Biaya (ASB) serta terlambatnya penyusunan Standar Satuan Harga (SSH), dan kurangnya pemahaman petugas perencana terhadap indikator kinerja
Bappenas (2011) Kajian Kualitas Belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2011 6
7
Abdullah dan Asmara (2006) Perilaku oportunistik legislatif dalam penganggaran daerah (Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik)
Mendeskripsikan kualitas belanja APBD.
Indikator : Eko nomis Efes ien Efek tif, Kea dilan, Aku ntabilitas Resp onsif. Menguji hipotesis : Peril 1. Legisla aku oportunistik tif berperilaku legislatif (Y) oportunis dalam Sum penganggaran ber pendapatan daerah daerah (X) 2. Pendap Jenis atan sendiri pemerintahan berpengaruh daerah (Kontrol) terhadap Leta perilaku k pemerintahan oportunistik daerah (Kontrol. legislatif.
159
8 Daerah sampel (sampel (Provinsi dan Kabupaten/Kota)
Model Analisis Deskriptif Kualitatif dan Kuantitatif
Semua lokasi kajian tidak mempunyai kualitas belanja daerah yang mendekati sempurna tingginya, melainkan masingmasing daerah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda.
53 Daerah sampel (Kabupaten dan Kota)
Model Regresi Linear Berganda
-
Legislator sebagai agen dari publik berperilaku oportunistik dalam penyusunan APBD Besaran PAD berpengaruh terhadap perilaku oportunistik legislatif. Hasil penelitian ini menyimpulakn bahwa APBD digunakan sebagai sarana untuk melakukan political corruption
Lampiran 4 Format: Indikator Kinerja Pembangunan dalam Dokumen RMJMD 2011-2015 Kabupaten Halmahera Barat Sararan 1. Peningkatan pendidikan melalui akses pendidikan yang murah dan terjangkau, fasilitas pendidikan yang memadai, peningkatan sumberdaya manusia, terutama bagi tenaga penddik serta peningkatan mutu pendidikan
2. Peningkatan Kesehatan melalui akses kesehatan yang mudah, murah dan terjangkau, dukungan fasilitas kesehatan yang memadai (sarana dan prasarana), ketersediaan dokter dan tenaga kesehatan profesional yang cukup serta peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang lebih baik.
Indikator 1. Persentase sarana pendidikan, pemerataan tenaga pengajar dan peningkatan mutu pendidikan 2. Penyediaan kelengkapan bahan belajar (buku) dan Perpustakaan. 3. Peningkatan dana bantuan penunjang kegiatan sekolah, baik tingakt dasar, menengah, umum dan sekolah tinggi 4. Peningkatan jumlah tenaga pengajar yang professional dengan basic ilmu yang memadai 5. Pemberian beasiswa bagi siswa dan mahasiswa berprestasi serta kurang mampu 6. Pemberian insentif bagi tenaga pengajar di wilayah terpencil 7. Angka melek huruf 8. Angka rata-rata lama sekolah 9. Angka partisipasi sekolah 10. Rasio tenaga pengajar dan murid untuk semua jenjang pendidikan 1. Persentase sarana pelayanan kesehatan, dokter dan tenaga kesehatan professional sertapenyediaan kelengkapan obat-obatan di rumah sakit, puskesmas/pustu dan poskeskel 2. Pemberian insentif kepada dokter dan tenaga kesehatan di wilayah terpencil 3. Jumlah masyarakat miskin yang mendapat jamkesda 4. Angka harapan hidup 5. Angka kematian bayi per persentase kelahiran hidup setiap tahun 6. Angka kematian ibu per persentase kelahiran hidup setiap tahun 7. Persentase gizi buruk pada balita 8. Persentase desa dan kecamatan bebas rawan gizi buruk 9. Persentase posyandu 10. Persentase persalinan dengan tenaga lain diluar tenaga kesehatan 11. Rasio puskesmas 12. Rasio penderita malaria
3. Dst…………….
160
Lampiran 5 Format: RKA SKPD dalam Dokumen RKPD Tahun 2015 Kabupaten Halmahera Barat PRIORITAS RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH / RENCANA KERJA SKPD DERDASARKAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN HALMAHERA BARAT TAHUN ANGGARAN 2015 KODE
URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH / PROGRAM / KEGIATAN
1 1 1.01 1.01 . 1.01.01 1.01 . 1.01.01 . 01 1.01 . 1.01.01 . 01 . 01
2 URUSAN WAJIB Pendidikan Dinas Pendidikan Dinas Pendidikan Program Pelayanan Administrasi Perkantoran Penyediaan jasa surat menyurat Penyediaan jasa komunikasi, sumber daya air dan listrik Penyediaan jasa pemeliharaan dan perizinan kendaraan dinas/operasional Penyediaan jasa administrasi keuangan Penyediaan jasa perbaikan peralatan kerja Penyediaan alat tulis kantor Penyediaan barang cetakan dan penggandaan Penyediaan peralatan dan perlengkapan kantor
1.01 . 1.01.01 . 01 . 01 . 01 1.01 . 1.01.01 . 01 . 01 . 02 1.01 . 1.01.01 . 01 . 01 . 06
1.01 . 1.01.01 . 01 . 01 . 07 1.01 . 1.01.01 . 01 . 01 . 09 1.01 . 1.01.01 . 01 . 01 . 10 1.01 . 1.01.01 . 01 . 01 . 11 1.01 . 1.01.01 . 01 . 01 . 13
PRIORITAS DAERAH
SASARAN DAERAH
INDIKATOR KINERJA
LOKASI KEGIATAN
3
4
5
6
PAGU INDIKATIF (Rp)
7 227.152.826.015,00 25.265.108.000,00 25.265.108.000,00 25.265.108.000,00 400.000.000,00 12.043.000,00 20.000.000,00 30.000.000,00
20.000.000,00 9.000.000,00 18.500.000,00 13.200.000,00 60.000.000,00
dst..............................
161
SUMBER DANA
8
KET
9
Lampiran 6 Format: RKA-SKPD (Contoh untuk Dinas Pendidikan Kab Halmahera Barat)
162
Lampiran 7 Dokumentasi Observasi
Kondisi infrastruktur jalan di Kecamatan Ibu Selatan Kab Halmahera Barat Observasi tanggal 17 Februari 2016
Kondisi infrastruktur jalan di Kecamatan Ibu Kab Halmahera Barat Observasi tanggal 17 Februari 2016
163
Kondisi Terminal Induk Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat. Observasi langsung, tanggal 18 Maret 2016
Tambatan Perahu di Desa Guaimaadu Tidak Berfungsi
DPRD Sebut Proyek Jalan di Kecmatan Ibu Tak Sesuai
Kondisi Pasar Ikan Jailolo Memprihatinkan
Malut Post, 29 September 2015
Malut Post, 12 Februari 2016
Malut Post, 19 Juni 2015
164
Proyek Air Bersih PNPM tidak Bermanfaat (Malut Post, 22 Oktober 2015)
DAK Rp 61 Miliar „Beku‟ di Rekening Pemkab (Malut Post 29 Agustus 2015)
JAILOLO – Proyek air bersih yang dibuat PNPM di Desa Pasir Putih, Jailolo Timur, Halmahera Barat (Halbar), tidak bermanfaat. Betapa tidak, proyek yang dibangun sejak 2013 itu, sampai saat ini tidak bisa difungsikan. Akibatnya, warga Desa Pasir Putih kekurangan stok air bersih. Warga tidak bisa berharap banyak air bersih yang dipasok melalui proyek Pemkab Halbar. Sebab, sering macet.
JAILOLO – Anggaran Rp 61 miliar di Pemkab Halbar melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2015, hingga kini masih mengendap di rekening Pemkab. DAK sebesar itu melekat di Dinas Pekerjaan Umum (PU) sebear Rp 19 miliar, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jailolo Rp 20 miliar dan Dinas Kesehatan Rp 30 miliar. DAK sebesar itu belum bisa direalisasikan dalam bentuk kegiatan, karena dokumen kegiatan tiga instansi tersebut belum dimasukkan ke Unit Layanan Pelelangan (ULP). Ketua ULP Halbar, Barkah Soamole mengatakan, kegiatan yang sumber anggarannya dari DAK, deadline waktunya tinggal 120 hari. Dia berharap tiga instansi tersebut segera melengkapi dokumen kemudian menyerahkan ke ULP untuk dilakukan pelelangan. ”Kalau dokumennya sudah mereka serahkan, sudah pasti kami lakukan proses tender,”jelasnya. Terkait hal tersebut, anggota DPRD juga angkat bicara. Ketua Komisi III DPRD Halbar, Djufri Muhammad mendesak tiga instansi tersebut supaya secepatnya melaksanakan program yang dibiayai DAK. “Karena jangan sampai menjadi beban pada tahun akan datang,”harapnya.(ado/lex)
“Sudah beberapa kali kami keluhkan ke pihak PNPM, tapi tidak ditanggapi. Sebenarnya progres pekerjaannya sudah rampung, seperti pipa dan lainnya. Tapi entah kenapa air belum bisa mengalir,”keluh Kepala Desa Pasir Putih, Demianus Bajo. “Kami minta Pemkab agar berkoordinasi dengan PNPM, supaya proyek mereka ini difungsikan agar kami bisa menikmatinya,”harap Demianus.(ado/lex
Bantuan Warga Tidak Mampu Salah Sasaran (Malut Post, 07 September 2015)
Infrastruktur di Halbar Belum Memadai (Fajar Malut, 05 Desember 2016)
JAILOLO - Program bantuan perumahan bagi warga tidak mampu di Kabupaten Halmahera Barat (Halbar) disinyalir tidak tepat sasaran.
JAILOLO – Infrastruktur di Halmahera Barat (Halbar), seperti jalan raya, jembatan dan lainnya, terbilang belum memadai. Itu sebabnya, pemerintah pusat menaruh perhatian serius untuk membenahi tahun 2016 nanti.
Lihat saja yang diterima sejumlah Kepala Keluarga di Desa Hoku-hoku, Kecamatan Jailolo. Warga yang menerima bantuan tergolong mapan secara ekonomi. Akibat bantuan salah sasaran ini, warga kurang mampu terpinggirkan. Misalnya, empat KK di Desa Hoku-hoku yang dianggap tidak mampu, dan datanya sudah dimasukkan ke pihak berwenang, justru tidak menerima bantuan itu. “Atas dugaan ini, kami minta Kejaksaan mengusut proyek yang ditangani tim teknis perumahan rakyat Dinas PU Halbar dengan tim pendataan perumahan tidak layak huni,”pinta Wakil Ketua KNPI Halbar, Mursid.
Ketua Balai Jalan dan Jembatan Maluku-Maluku Utara, Amran Mustari mengatakan, pemerintah pusat akan mengucurkan anggaran sebesar Rp70 miliar tahun 2016 nanti untuk pembangunan insfrastruktur di Halbar. Dana sebesar itu dikhususkan untuk perbaikan atau pengaspalan jalan dari Desa Todowongi menuju pelabuhan Matui, Kecamatan Jailolo. ”Paling lambat Januari 2016 sudah harus ditenderkan,”jelas Amran Mustari pada Malut Post, kemarin (4/12). Menurutnya, selain pengaspalan jalan raya, Balai juga fokus pada perbaikan geometrik jalan dan perbaikan jembatan. “Agar jalan yang dibuat itu lebarnya hingga tujuh meter. Saya Pemerintah Halbar dan masyarakat mengawal proses pekerjaan demi kebaikan bersama,”harap Amran.(ado/lex)
Menurutnya, KNPI akan turun lapangan melakukan pendataan di setiap desa. “Jika kedapatan benar adanya indikasi kongkalikong, KNPI tidak segan-segan melaporkan kepada pihak penegak hukum untuk ditindaklajuti sesuai ketentuan berlaku,”kata Mursid.(ado/lex)
165
Pemkab Kontrakkan Lahan Terminal (Malut Post, 17 Juni 2015)
DPRD Sebut Roling Sarat Kepentingan (Malut Post15 Juni 2015)
JAILOLO – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Halmahera Barat (Halbar), akhir-akhir ini fokus meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berbagai cara dilakukan Pemkab, demi meningkatkan PAD. Tak tanggung-tanggung, lahan terminal Jailolo dikontrakkan kepada sejumlah pedagang sembilan bahan pokok (sembako) asal Jawa dan Makassar, Sulawesi Selatan. Kepala Dinas Perhubungan Komonikasi dan Informatika (Dishubkominfo), Agus Prawoko mengakui hal itu. Menurutnya, Dishubkominfo harus mengkontrakkan lahan terminal Jailolo, demi menggenjot PAD. ”Karena terminal belum difungsikan, maka kami kontrakkan. Uangnya kami setorkan ke Kepala Terminal. Ini hanya bersifat sementara,”aku Kepala Dishubkominfo pada Malut Post, kemarin (16/6). Namun, Agus enggan menyebut besaran biaya kontrak. Kata dia, Dishubkominfo tidak tahu jelas besar dana yang didapat Pemkab dari hasil kontrak lahan terminal. “Yang jelas dihitung berdasarkan per meter, dan dibayar per bulan. Dananya akan disetor ked as daerah,”katanya. Para pedagang juga mengakui hal tersebut. “Mungkin karena lahan di Pasar Gofasi sudah sempit jadi kami dipindahkan, tapi harus kontrak lahan terminal,”jelas beberapa pedagang.(ado/lex)
JAILOLO – Roling pejabat eselon II, III danb IV di Pemkab Halmahera Barat (Halbar), disoal DPRD. Anggota DPRD Hahdin Husen mengatakan, roling pejabat yang dilakukan Bupati Namto H. Roba sarat kepentingan. Ia mengatakan, ada beberapa Pegawai Negeri Sipil (PNS) diduga dipaksakan diangkat menduduki jabatan, meskipun golongannya belum cukup. Lebih spesifik, Mahdin menyebut Plt Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transimigrasi Sosial. Menurutnya, Bupati harusnya mengangkat pejabat definitif, bukan Plt. “Untuk itu saya minta kepada Baperjakat (Badan Pertimbangan Pangkat dan Jabatan) agar mendata setiap PNS yang pangkat dan golongannya belum layak duduki jabatan esalon II,III dan IV,”ujarnya berharap pada Malut Post, kemarin 14/6). Menurut Mahdin, selain pangkat dan golongan pejabat baru yang diangkat itu belum cukup, basic keilmuaannya dianggap tidak tepat. Akibatnya, kinerja SKPD tidak berjalan maksimal. Alhasil, perubahan di Halbar yang selama ini diidamkan bersama, tidak tercapai. "Pergantian pimpinan SKPD itu memang hak penuh Bupati, tapi sebaiknya perhatikan norma dan tradisi yang baik, jangan sampai ada kegaduhan politik,”sentilnya. Mahdin menambahkan, berdasarkan Undang-Undang (UU) nomor 5 tahun 2014 tentang aparatur sipil negara, secara tegas diisyaratkan mutasi PNS dilakukan dengan memperhatikan prinsip larangan konflik kepentingan, dimana dalam pasal 73 ayat 7 UU nomor 5 tahun 2014 itu menegaskan, setiap jabatan sebagaimana dimaksud ditetapkan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. ”Jika dilakukan roling lagi, saya berharap harus melalui fit and proper test,”saranya mengakhiri.(ado/lex)
166
Dugaan Mafia Proyek di DPRD Mencuat (Malut Post, 27 Juni 2015)
Kegiatan Bimbingan Diduga Fiktif (Malut Post, 16 Maret 2015)
JAILOLO – Pembahasan APBD selalu dimanfaatkan anggota DPRD untuk bermain proyek. Istilah titipan proyek dari wakil rakyat juga terjadi di Halmahera Barat (Halbar) dalam pembahasan APBD tahun anggaran 2015. Diduga kuat, ada oknum DPRD yang memiliki titipan proyek di sejumlah instansi. Dugaan mafia proyek di Halbar ini terungkap setelah dibeberkan sejumlah kontraktor. Para kontraktor di Halbar mengaku dihubungi oknum DPRD untuk mengerjakan proyek milik mereka di beberapa instansi. Proyek tersebut dikerjakan menggunakn CV milik orang. Dengan cara itu, nama oknum DPRD tidak terungkap ke publik. ”Praktik titipan proyek ini sudah menjadi rahasia umum di Halbar. Setiap pembahasan anggaran, pasti ada titipan proyek. Mereka (wakil rakyat) menggunakan CV orang agar mengelabui masyarakat,”ungkap sejumlah kontraktor saat menemui Malut Post, kemarin (26/6) Dinas Pekerjaan Umum (PU) Halbar enggan menanggapi masalah mafia proyek yang diduga dilakukan oknum anggota DPRD tersebut. “Masalah ini sebaiknya Pak Kadis saja yang komentar. Karena soal titipan proyek ini bukan kewenangan saja untuk berbicara,”kata Kepala Bidang Sipta Karya PU, Anhar. Sementara itu, anggota DPRD Mahdi Husen membantah, bahwa pihaknya tidak terlibat dalam mafia proyek. Dia berharap agar ditelusuri lebih dalam. “Kalau disebut oknum, pasti iya. Karena tidak semua anggota DPRD terlibat. Ini menyangkut citra institusi jadi harus ditelusuri tuntas,”tambahnya.(ado/lex)
Bangunan Kantor Camat Jailolo Disorot (Malut Post, 21 September2015) JAILOLO – Proyek pembangunan kantor Camat Jailolo di Desa Acango diduga bermasalah. Proyek yang dianggarkan Rp1 miliar melalui APBD Halbar tahun 2013 itu progress fisiknya diketahui tidak berbanding lurus dengan alokasi anggaran. Liga Mahasiswa Banau (LMB) menyoroti masalah tersebut. Koodinator LMB Muhammad Rusman Kurnain meminta Kejaksaan untuk menyelidiki proyek kantor Camat itu. "Yang jelas dilihat sepintas saja ada ketidakberesan dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan. Kalau dibiarkan, akan merugikan keuangan daerah. Kami minta Kejaksaan mengusutnya,”pintanya pada Malut Post, kemarin (20/9). Sementara itu, Camat Jailolo Imran Lolory mengatakan, bangunan kantor Camat dirancang dua lantai dengan ploting anggaran bertahap. Anggaran selanjutnya akan dialokasikan melalui APBD 2016. dia mengaku, proyek tersebut berjalan, sebelum ia menjabat Camat. "Jadi untuk proyek kantor Camat itu dibangun sebelum saya jadi Camat dan dirancang lantai dua. Maka itu, tahun 2016 akan dianggarankan untuk pembangunan tahap selanjutnya, agar rampung 100 persen,"ujarnya.(ado/lex)
167
Sistem Informasi dan Manajemen Keuangan Daerah (SIMDA) Kabupaten Halmahera Barat. Gambar diambil pada tanggal 05 April 2016 di DPPKAD Kab Halmahera Barat
Tersangka APBD Halbar Serahkan Data (Malut Post, 22 September 2015
Bantuan Warga Tidak Mampu Salah Sasaran (Malut Post,07 September 2015
TERNATE – Tersangka kasus dugaan korupsi APBD Halmahera Barat (Halbar), Rahmat yang juga bendahara Sekretariat Halbar, menyerahkan sejumlah dokumen penting yang ada kaitannya dengan kasus tersebut ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Malut, kemarin (21/9). Dokumen yang diserahkan kemarin sebagian besar adalah kwitansi. “Puluhan kwitansi tersebut terdapat anggaran senilai Rp200 juta lebih yang dikeluarkan Pemkab untuk anggaran perjalanan dinas petinggi Halbar selama Mei dan Juni tahun 2009,”jelas Kasi Penkum Kejati, Idham Timin. Menurutnya, dokumen kemarin yang diserahkan ke Kejati itu, rata-rata tidak bisa dipertanggungjawabkan Pemkab Halbar. "Makanya belanja SPPD lebih banyak daripada pembangunan,"lanjutnya. Dokumen tersebut akan diteliti, kemudian diserahkan ke Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) untuk keneptingan audit. “Kemungkinan masih penyitaan lanjutkan di Halbar,”tambah Timin mengakhiri. Sementara itu, Kepala Desa Idamgamlamo, dan Kepala Buku Bualawa, diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi Dana Tak Tersangka (DTT) Halbar di Dinas Sosial tahun 2014. dua Kepala Desa itu mengaku, bahwa pada tahun 2013 tidak ada bencana banjir di desa mereka.(cr-02/lex)
JAILOLO - Program bantuan perumahan bagi warga tidak mampu di Kabupaten Halmahera Barat (Halbar) disinyalir tidak tepat sasaran. Lihat saja yang diterima sejumlah Kepala Keluarga di Desa Hoku-hoku, Kecamatan Jailolo. Warga yang menerima bantuan tergolong mapan secara ekonomi. Akibat bantuan salah sasaran ini, warga kurang mampu terpinggirkan. Misalnya, empat KK di Desa Hoku-hoku yang dianggap tidak mampu, dan datanya sudah dimasukkan ke pihak berwenang, justru tidak menerima bantuan itu. “Atas dugaan ini, kami minta Kejaksaan mengusut proyek yang ditangani tim teknis perumahan rakyat Dinas PU Halbar dengantim pendataan perumahan tidak layak huni,”pinta Wakil Ketua KNPI Halbar, Mursid. Menurutnya, KNPI akan turun lapangan melakukan pendataan di setiap desa. “Jika kedapatan benar adanya indikasi kongkalikong, KNPI tidak segan-segan melaporkan kepada pihak penegak hukum untuk ditindaklajuti sesuai ketentuan berlaku,”kataMursid.(ado/lex)
DPRD Desak Kejati Ekspos Kasus APBD (Malut Post, 08 Juni 2015
DPRD Minta Usut Dugaan Masalah Pajak Kendaraan (Malut Post, 22 Agus 2015
JAILOLO – DPRD Kabupaten Halmahera Barat (Halbar), meminta Kejaksaan Tinggi (Kejati) segera mengekspos penetapan tersangka kasus dugaan korupsi APBD Halbar tahun 2007-2009. “Kami minta penyidik yang menangani kasus ini supaya umumkan nama-nama tersangka yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi tersebut,”pinta anggota DPRD Halbar, Frangki Luang. Menurut Frangki, anggota DPRD sudah memiliki gambaran siapa saja yang terlibat dalam kasus tersebut. Sebab, jumlah saksi yang memberikan keterangan di Kejati tidak sedikit. “Dan dokumen yang disodorkan saksi Usman Drakel itu sudah lengkap dan jelas terkait dugaan pemotongan 10 persen di masing-masing SKPD,”katanya. Frangki justru menilai Kejati memutar-mutar proses penyelidikan dan penyidikan kasus dugaan korupsi APBD Halbar. “Ada indikasi arah kasus ini makin tidak ada kejelasan. Padahal, Kasi Penkum sudah menyampaikan bahwa penyidik sudah mengantongi nama-nama tersangka. “Setelah kami balik dari Jakarta, kami akan hearing dengan penyidik Kejati yang tangani kasus tersebut,”ujar Frangki. Frangki meminta kepada warga Halbar agar sama-sama mengawal proses hukum kasus tersebut di Kejati. Sementara itu, Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara (Asdatun) Kejati, Asep Maryono menyatakan, pihaknya akan mengagendakan untuk melakukan ekspos. Namun, dirinya tidak menyampaikan secara jelas, kapan ekspos dilakukan.
JAILOLO – DPRD Halmahera Barat (Halbar) meminta tim investigasi pajak kendaraan Provinsi Maluku Utara (Malut) untuk turun melakukan investigasi dugaan masalah pajak kendaraan di Samsat Halbar. “Karena dugaan masalah pajak kendaraan ini dapat merugikan daerah, maka kami minta lakukan investigasi,”pinta anggota Fraksi Golkar DPRD Halbar, Samad Moid. Selain itu, Samad juga meminta Polda menyelidiki keterlibatan mantan Kanit Tilang Polres Ternate, Aiptu Jefri Wojor, yang diduga terlibat dalam masalah pajak kendaraan. Menurutnya, Pemkab Halbar adalah salah satu daerah yang terdapat masalah pajak kendaraannya lebih besar dari daerah lain di Malut. “Harus turun lakukan investigasi agar dapat diketahui siapa-siapa saja yang terlibat, kemudian diproses hukum. Masalah pajak kendaraan ini harus diusut, karena merugikan dan membuat malu daerah,”cecar Samad. Samad menambahkan, belum ada lama ini ada temuan bahwa ada sejumlah blangko pajak kendaraan mobil yang diduga dipalsukan oleh oknum tertentu. “Masalah ini sudah seperti lingkaran setan, jadi sekali lagi harus diusut,”harapnya.(ado/lex)
“Akan ada gelar perkara lagi, kemudian dilakukan ekspos,”tambah Kasi Penkum Kejati, Idham Timin.(ado/lex)
168
Dana Proyek Seragam Korpri Diduga Ditilep (Malut Post, 20 Agustus 2015
8 Orang Bakal Tersangka Kasus Korpri (Malut Post, 28 Agustus 2015
JAILOLO – Pengadaan seragam korpri tahun 2014 dengan anggaran Rp 1 miliar di Halmahera Barat (Halbar), diduga bermasalah. Pihak berwenang dalam proyek tersebut diduga menyalahgunakan anggaran. Kasus ini sementara dilidik penyidik Reskrim Polres Halbar. Kemarin (19/8), penyidik memeriksa dua saksi, berinisial KR dan MS. Keduanya diperiksa lebih dari dua jam Ternate, karena KR dan MS berdomisili di Ternate. Selain dua saksi itu, sebelumnya penyidik sudah memeriksa sejumlah saksi. Kapolres Halbar, AKBP Sutoyo menyatakan, setelah dua saksi itu diperiksa, dalam waktu dekat pihaknya akan menggelar perkara. Gelar perkara melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) Malut. Soal kerugian Negara, kata Kapolres, sementara ini diaudit BPKP. Selama penyelidikan berlangsung, penyidik sudah menyita sejumlah barang bukti. Proyek tersebut diduga kuat bermasalah setelah penyidik memeriksa pelaksana kegiatan atau pemasok barang. Saksi tersebut mengakui adanya dugaan penyalahgunaan anggaran Rp 1 miliar itu. Kapolres memastikan akan melakukan penetapan tersangka dalam waktu dekat, setelah gelar perkara. “Tidak lama lagi kami tetapkan tersangkanya,”jelasnya menegaskan.(ado/lex)
JAILOLO – Pengadaan seragam korpri tahun 2014 dengan anggaran Rp 1 miliar di Halmahera Barat (Halbar), diduga bermasalah. Pihak berwenang dalam proyek tersebut diduga menyalahgunakan anggaran. Kasus ini sementara dilidik penyidik Reskrim Polres Halbar. Kemarin (19/8), penyidik memeriksa dua saksi, berinisial KR dan MS. Keduanya diperiksa lebih dari dua jam Ternate, karena KR dan MS berdomisili di Ternate. Selain dua saksi itu, sebelumnya penyidik sudah memeriksa sejumlah saksi. Kapolres Halbar, AKBP Sutoyo menyatakan, setelah dua saksi itu diperiksa, dalam waktu dekat pihaknya akan menggelar perkara. Gelar perkara melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) Malut. Soal kerugian Negara, kata Kapolres, sementara ini diaudit BPKP. Selama penyelidikan berlangsung, penyidik sudah menyita sejumlah barang bukti. Proyek tersebut diduga kuat bermasalah setelah penyidik memeriksa pelaksana kegiatan atau pemasok barang. Saksi tersebut mengakui adanya dugaan penyalahgunaan anggaran Rp 1 miliar itu. Kapolres memastikan akan melakukan penetapan tersangka dalam waktu dekat, setelah gelar perkara. “Tidak lama lagi kami tetapkan tersangkanya,”jelasnya menegaskan.(ado/lex)
Bahaya, Puluhan Ribu Warga Halbar Krisis Air (Malut Post, 11 September 2015 “Akan ada gelar perkara lagi, kemudian dilakukan ekspos,”tambah Kasi Penkum Kejati, Idham Timin.(ado/lex) JAILOLO – Halmahera Barat (Halbar) sementara ini mengalami krisis air bersih. Krisis air ini
Proyek Rp7,3 Miliar Dikerjakan Tanpa Tender (Malut Post, 21 September 2015 “Akan ada gelar perkara lagi, kemudian dilakukan ekspos,”tambah Kasi Penkum Kejati, Idham Timin.(ado/lex) JAILOLO – Adanya Panitia Unit Layanan Pengadaan (ULP) di satu kabupaten, bukan berarti menjadi jaminan proses tender kegiatan akan berjalan lancar, sesuai dengan aturan yang berlaku. Lihat saja yang terjadi di Halmahera Barat (Halbar). Proyek bangunan Pasar Jailolo yang dianggarkan Rp7,3 miliar melalui dana APBN, meski sementara ini baru masuk tahap tender, justru sudah ada pengerjaan. Pengurus DPD Asosiasi Konstruksi Indonesia (Aksi) Malut menganggap ULP melanggar Perpres 70 tahun 2014 atas perubahan Perpres 54 tahun 2010. Marwan, salah satu pengurus DPD AKSI menduga ada permainan dalam proyek sebesar Rp7,3 miliar tersebut. ”Jadi rupanya perusahan milik seorang bernama Ciwan mengikuti tender proyek senilai miliaran itu hanya formalitas saja,”sindirinya. “Saya meminta kepada ULP agar menjunjung tinggi Perpres 70 dan perubahannya, serta aturan main pengadaan barang. Jangan terkesan ULP selama ini dikenal sebagai lembaga independen bisa dapat diatur-atur oleh oknum-oknum tertentu,”harap Marwan seraya menambahkan, AKSI akan mengawal proses tender di Halbar, sehingga berlangsung jujur, adil dan memenuhi unsur lainnya.(ado/lex)
dialami puluhan ribu warga di delapan desa, yakni Desa Gamsungi, Angwon, Cempaka, Gamia, Hoku-hoku, Tibobo, Akelamo dan Aketola. Mirisnya, mereka sudah mengalami kondisi buruk itu sejak Juli 2015. tapi, sampai saat ini belum ada langkah solutif dari Pemkab Halbar demi memenuhi kebutuhan primer puluhan ribu masyarakat. Informasinya, mesin pompa yang mengalirkan air di delapan desa itu rusak. Padahal, mesin pompa tersebut belum lama dipasang pihak PDAM Jailolo. Masalah yang dialami puluhan ribu warga ini menjadi perhatian Wakil Ketua Komisi III DPRD Halbar, Carles Ricar. “Padahal meteran air sudah dipasang oleh PDAM, kenapa kondisinya masih begitu,”ujarnya dengan nada tanya. Menurutnya, ia akan mengusulkan ke pimpinan DPRD untuk memanggil pihak PDAM, guna membahas masalah krisis air di delapan desa tersebut. “Kami minta Direktur PDAM menjelaskan masalah ini apakah masih menunggu proyek air bersih dari SDA Provinsi ke PDAM jailolo? Dan meminta kepastian kapan dilakukan penyerahan, karena sudah terhitung dua tahun ini hanya uji coba. Selain itu, Direktur PDAM Jailolo harus melobi ke SDA Provinsi agar proyek air bersih di Kecamatan Sahu Timur segera diserahkan ke PDAM Jailolo, jangan sebatas janji,”katanya berharap. Sementara itu, Direktur PDAM Suwibno Nurmidin mengakui bahwa mesin pompa air di beberapa desa tersebut rusak, sehingga berdampak pada aliran air. Hanya saja, ia enggan mengatakan bagaimana PDAM mencari solusi atas masalah yang mengancam nasib puluhan ribu warga itu.(ado/lex)
“Akan ada gelar perkara lagi, kemudian dilakukan ekspos,”tambah Kasi Penkum Kejati, Idham169 Timin.(ado/lex)
170
171