KARANGAN ASLI
Masalah Emosi dan Perilaku pada Anak Penderita Hipotiroid Kongenital Elvi Andriani Yusuf, Zulkarnain Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk menyelidiki gambaran mengenai masalah emosi dan perilaku pada anak yang menderita hipotiroid kongenital. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, pemberian tes Child Behavior Check List (CBCL/4–18) dan AAMD Adaptive Behavior Scale bagian II. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif dengan menggunakan 3 orang subjek yang didiagnosa hipotiroid kongenital. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat gangguan pada masalah perilaku sosial, perhatian, perilaku agresif, dan reaksi buruk terhadap frustrasi. Selanjutnya pada masing-masing subjek terdapat variasi masalah emosi dan perilaku lainnya. Hasil penelitian juga menemukan adanya perubahan perilaku sebelum dan sesudah pengobatan hipotiroid, yang awalnya pasif menjadi aktif dan lebih agresif. Kata kunci: hipotiroid kongenital, masalah emosi, dan perilaku Abstract: The aim of the study is to describe about emotional problem and behavior at children, which are suffering congenital hypothyroidism. The data collected by using observation, interview, Child Behavior Checklist test (CBCL/4-18) and AAMD Adaptive Behavior Scale part of II. This study using a qualitative approach and the subject were three children who are suffering congenital hypothyroidism. The result shows there were social behavioral problem disorder, attention, aggressive behavioral and bad reaction to frustration. Hereinafter, each subject has a variation of emotional problem and behavior. It’s also found that the existence of behavioral change before and after medical treatment of hypothyroidism, what is initially passive becomes active and more aggressive. Keywords: congenital hypothyroidism, emotional problem, and behavior
PENDAHULUAN Memiliki anak yang tumbuh dan berkembang secara normal merupakan idaman setiap orangtua, tetapi pada kenyataannya tidak jarang dijumpai anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan yang mengakibatkan alur tumbuh kembangnya tidak mengikuti alur perkembangan yang normal. Hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh bawaan faktor biologis (nature), faktor lingkungan (nurture), maupun kombinasi di antara keduanya. Kedua faktor ini berinteraksi mempengaruhi aspek fisik dan psikologis anak. Salah satu faktor biologis yang dapat menghambat tumbuh kembang anak adalah adanya abnormalitas fungsi tiroid. Abnormalitas tiroid dapat dibagi atas 2 bagian besar, yaitu hipertiroid dan hipotiroid. Hipertiroid adalah tiroid hiperaktif (hipertiroidisme) yang terjadi karena produksi hormon tiroid yang berlebihan.
Sedangkan fungsi tiroid yang kurang aktif, disebut sebagai hipotiroid yang terjadi bila kelenjar tiroid tidak atau kurang memproduksi hormon tiroid. Salah satu jenis hipotiroid adalah hipotiroid kongenital (congenital hypothyroidism), yaitu gangguan metabolisme yang disebabkan kurangnya hormon tiroid pada saat bayi berada dalam kandungan dan berlanjut setelah lahir1. Divisi Tiroid pada The Magic Foundation for Children Growth menjelaskan bahwa hipotiroid kongenital adalah gangguan yang mempengaruhi anak sejak lahir (kongenital) disebabkan hilangnya fungsi tiroid akibat kegagalan perkembangan kelenjar tiroid. Kadangkala pada anak tidak terdapat kelenjar tiroid atau tiroid ektopik (di luar letak normal). Akibatnya kelenjar tiroid tidak menghasilkan thyroxine (T4) yang cukup yang dapat menyebabkan timbulnya abnormalitas
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 4 y Desember 2006
379
Karangan Asli
perkembangan dan fungsi mental yang terhambat. Adapun fungsi tiroid ini pada manusia sudah tampak sejak fetus berusia 12 minggu dalam kandungan2. Dari segi medis, penyakit hipotiroid kongenital telah banyak diteliti dan dibahas namun dari sudut psikologi bagaimana perkembangan emosi dan perilaku anak hipotiroid kongenital belum banyak diulas dan masih menjadi pertanyaan. Menurut Gilberg, insiden kejadian hipotiroid kongenital adalah 1 : 3000 – 4000 kelahiran. Hipotiroid kongenital dapat mengakibatkan mental retardasi dan menghambat perkembangan motorik, jika tidak diterapi pada bulan pertama kehidupan. Hal ini terkait dengan pentingnya hormon tiroid bagi perkembangan otak. Kekurangan hormon tiroid secara langsung berhubungan dengan fungsi intelektual, motorik, dan perilaku3. Dalam kaitannya dengan intelektual, Rovet & Erlich menyatakan identifikasi dini dan pengobatan awal pada bayi hipotiroid kongenital dapat mengurangi terjadinya mental retardasi dan secara signifikan meningkatkan fungsi intelektual. Akan tetapi gangguan ringan pada beberapa aspek kemampuan tertentu seperti bahasa, visuospasial, neuromotor, memori, perhatian, pendengaran, dan kemampuan membedakan suara (auditory discrimination ability) masih terjadi. Gangguan ini ditentukan oleh tingkat gangguan, penyebab gangguan, usia, keparahan, lamanya terjadi gangguan, dan keadekuatan dosis terapi4. Di beberapa negara maju seperti Amerika, Jepang, Australia, dan Eropa sejak tahun 1970, program skrining neonatal untuk hipotiroidisme telah dilaksanakan sehingga dapat mengurangi terjadinya mental retardasi pada anak. Intelegensi anak dapat normal jika pengobatan dimulai sejak dini sebelum anak berusia 3 bulan3,4. Tidak semua anak hipotiroid kongenital mengalami mental retardasi. Intelegensi anak dapat berkembang normal jika pengobatan dimulai sejak dini sebelum anak berusia 3 bulan namun dapat menyebabkan mental retardasi jika pengobatan dimulai sesudah 6 bulan3,4,5. Mental retardasi didefinisikan sebagai fungsi intelektual di bawah rata-rata (IQ di bawah 70) yang disertai dengan keterbatasan dalam tingkah laku adaptif dalam kehidupan sehari-hari yang muncul sebelum usia 18 tahun6. Adapun klasifikasi intelegensi dalam mental retardasi menurut Skala Binet yaitu: mild mental 380
retardation dengan IQ 60 – 69, moderate mental retardation dengan IQ 50 – 59, severe mental retardation dengan IQ 40 – 49 dan profound mental retardation dengan IQ di bawah 407. Namun sayangnya skrining neonatal untuk hipotiroid tersebut belum umum dilakukan di Indonesia8,9. Deliana dalam penelitiannya pada 8 kasus anak penderita hipotiroid kongenital yang melakukan pemeriksaan intelegensi, menemukan 5 anak memiliki Intelligence Quotient (IQ) di bawah 69 (kategori mental retardasi), 2 anak dengan IQ antara 70 – 79 (borderline), dan 1 anak memiliki IQ antara 90 – 109 (rata-rata)10. Dalam kaitannya dengan emosi dan perilaku, Alloy, Riskind, dan Manos menyatakan kondisi hormon mempengaruhi respons emosional individu. Hormon tiroid yang rendah dan berlangsung kronis dapat menyebabkan munculnya gejala kecemasan, mudah terganggu (irritability), gejala depresi, kelelahan (fatigue), dan sebagainya11. Santrock menyatakan emosi seringkali disama artikan dengan perasaan atau afek yang melibatkan gabungan antara keterbangkitan fisik (physical arousal) dan perilaku nyata (overt behavior)6. Watson dan Clark mengemukakan bahwa emosi memiliki 3 komponen sentral yaitu: ekspresi, perubahan fisiologis dan diikuti oleh perasaan subjektif seperti takut, cemas, antusias atau lainnya. Dalam hal ini emosi mendorong orang untuk berperilaku dengan cara tertentu seperti gembira membuat orang merasa relaks, marah membuat orang mengancam atau menyerang, dan seterusnya. Oleh karena emosi mendorong beberapa tindakan dan berperan sebagai mata rantai motivasi antara pengalaman dan perilaku12. Ada berbagai teori tentang emosi, salah satu di antaranya adalah Cannon-Bard Theory yang menyatakan bahwa bagian otak yang disebut sebagai thalamus berperan sebagai kunci dalam emosi. Reaksi fisik muncul bersamaan dengan perasaan emosi. Teori ini kemudian disempurnakan oleh Papez yang menekankan peran hipotalamus dalam meningkatkan physical arousal sementara sistem limbik melibatkan pengalaman subjektif dari emosi. Dalam hal ini emosi mengarahkan individu untuk berperilaku tertentu. Sebagai contoh kesedihan membuat orang berperilaku menarik diri, kemarahan membuat orang mengancam, dan seterusnya12. Kemampuan untuk mengontrol emosi berkembang sesuai dimensi perkembangan.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 4 y Desember 2006
Elvi Andriani Yusuf dkk.
Dalam melihat tren perkembangan regulasi emosi ini, perlu diperhatikan bahwa ada variasi individual yang luas dalam kemampuan anak meregulasi emosinya. Anak dan remaja yang memiliki masalah seringkali mengalami kesulitan dalam mengontrol emosinya6. Rovet dan Erlich mengatakan masalah perilaku pada anak hipotiroid kongenital terdapat pada keluhan somatik, masalah atensi, kecemasan, dan depresi4. Selain itu hipotiroid kongenital juga berhubungan dengan simtom depresif dan social withdrawal. Berdasarkan hasil penilaian guru, anak hipotiroid kongenital cenderung mengalami permasalahan belajar di sekolah, masalah motivasi, masalah perhatian dan lebih impulsif serta hiperaktif3. Peneliti lainnya, Simons, Fuggle, Grant & Smith menyatakan pada anak hipotiroid kongenital terdapat hambatan emosional seperti masalah perilaku sosial, perilaku menyendiri (solitary behavior), perilaku tidak menyenangkan (miserable behavior) dan juga muncul masalah perilaku yang berkaitan dengan perhatian5. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa hipotiroid kongenital selain berpengaruh terhadap perkembangan intelektual, fisik, dan motorik anak juga dapat menyebabkan timbulnya masalah emosi dan perilaku pada anak. Beberapa masalah emosi dan perilaku yang dialami anak penderita hipotiroid, yaitu: 1. Kecemasan yaitu rasa tegang, takut, dan khawatir akan sesuatu yang mengancam dirinya. 2. Mudah terganggu (irritability) yaitu perasaan mudah terganggu akan permasalahan kecil yang terjadi. 3. Depresi yaitu suasana hati yang diwarnai dengan perasaan tertekan, sedih, dan tidak bahagia, kehilangan gairah serta kurang berharga. 4. Masalah perilaku sosial yaitu: perilaku yang kurang sesuai dengan tuntutan sosial dan kekurangmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. 5. Fatique yaitu perasaan lelah yang berlebihan meskipun tidak melakukan aktivitas yang membutuhkan energi. 6. Social withdrawal yaitu: perilaku menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosial. 7. Keluhan somatis yaitu keluhan fisik seperti sering pusing, mual, muntah, keram/sakit perut, mudah lelah, bermasalah dengan kulit
Masalah Emosi dan Perilaku…
8.
Masalah atensi yaitu kekurangmampuan untuk memusatkan perhatian yang mencakup kurang konsentrasi, tidak dapat duduk tenang, terus menerus bergerak, gelisah, dan impulsif. 9. Perilaku solitary yaitu perilaku yang suka menyendiri. 10. Perilaku yang tidak menyenangkan yaitu perilaku yang menimbulkan rasa tidak senang dan terganggu pada orang lain. Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk memperoleh gambaran masalah emosi dan perilaku pada anak penderita hipotiroid kongenital. BAHAN DAN CARA PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Hasil penelitian nantinya dideskripsikan untuk menjawab pertanyaan permasalahan yang diteliti. Penelitian kualitatif menggunakan pendekatan holistik agar diperoleh pemahaman menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti serta menampilkan kedalaman dan detail karena fokusnya pada penyelidikan mendalam pada sejumlah kasus kecil.
Instrumen Penelitian Selain menggunakan metode observasi dan wawancara, instrumen pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan skala yaitu: CBCL/4-18 dan AAMD Adaptive Behavior Scale bagian II. 1. Child Behavior Check List (CBCL/ 4–18) Child behavior Check List atau CBCL/4–18 adalah alat yang diciptakan Achenbach untuk mengukur serta mengindentifikasi kompetensi (competence scales) dan masalah emosi serta perilaku anak (problem scales) dari sudut pandang orangtua13. Penelitian ini menitikberatkan pada problem scales yang mengidentifikasi masalah emosi dan perilaku anak yang terdiri dari: - Internalizing yaitu masalah emosi dan perilaku yang mengarah ke dalam, yang terdiri dari: withdrawn, somatic complain, dan anxious/ depressed - Externalizing yaitu masalah emosi dan perilaku yang mengarah ke luar, yang terdiri dari delinquent behavior dan aggressive behavior - Hal yang merupakan di antaranya, yaitu social problems, thought problems, dan attention problems.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 4 y Desember 2006
381
Karangan Asli
2.
AAMD Adaptive Behavior Scale bagian II AAMD-Adaptive Behavior Scale adalah rating tingkah laku bagi anak-anak yang mengalami mental retardasi, ketidakmampuan menyesuaikan diri secara emosional (emotionally disabled) dan hambatan dalam perkembangan (developmentally disabled)14. Skala ini terdiri atas 2 bagian: a. Bagian I: disusun berdasarkan jalannya perkembangan (developmental lines), dirancang untuk menilai kecakapan individu dalam 10 domain kegiatan sehari-hari b. Bagian II: dirancang untuk mengukur penyimpangan tingkah laku dalam hubungannya dengan kepribadian dan gangguan tingkah laku. Terdiri dari 14 domain tingkah laku yaitu tingkah laku yang merusak dan kekerasan, anti sosial, memberontak, tidak dapat dipercaya, menarik diri, tingkah laku stereotipis, dan sikap yang aneh, sikap yang tidak pantas dalam hubungan antar-pribadi, kebiasaan bersuara yang tidak dapat diterima, kebiasaan eksentrik dan tidak dapat diterima, tingkah laku menyakiti diri sendiri, hiperaktif, penyimpangan seksual, kelainan psikologis dan penggunaan obat-obatan. Pada penelitian ini analisis tingkah laku lebih ditekankan pada AAMD Adaptive Behavior Scale Bagian II.
Subjek Penelitian Dengan fokus pada kedalaman dan proses, penelitian kualitatif cenderung dilakukan dengan jumlah kasus yang sedikit. Poerwandari menyebutkan bahwa tidak terdapat aturan yang pasti mengenai jumlah responden dalam studi kualitatif15. Dalam penelitian ini jumlah subjek penelitian adalah 3 orang anak dengan diagnosa hipotiroid kongenital berdasarkan data medis. HASIL PENELITIAN Berdasarkan riwayat hipotiroid kongenital, selama masa kehamilan ketiga ibu dalam kondisi sehat, namun berbeda dalam hal penerimaan atas kehamilan. Ibu subjek ke-1 sehat tetapi stres, ibu subjek ke-2 sehat dan sangat menerima kehamilan, sementara ibu subjek ke-3 sehat tetapi berusaha membuang kehamilan dan secara psikologis tidak siap menerima kelahiran. Selain itu subjek ke-1 382
memiliki riwayat keluarga hipotiroid kongenital sementara 2 subjek lainnya tidak memiliki riwayat hipotiroid kongenital dalam keluarga. Hipotiroid terdeteksi pada waktu yang berbeda pada ketiga subjek. Orang tua subjek ke-1 sudah mulai curiga ia berbeda dari anak lainnya sejak lahir disebabkan badannya yang kuning, lidah yang besar sehingga sulit minum dan badan yang menciut. Subjek juga belum mengalami proses berjalan dan berbicara sampai usia 1,3 tahun. Sedangkan orang tua subjek ke2 sudah curiga akan kelainannya. Pada saat usia 9 bulan, leher dan kepalanya masih lemas serta belum ada perkembangan kemampuan fisik dan bahasa. Keadaan fisiknya juga menunjukkan gejala lidah tebal sehingga sulit minum dan ia sulit buang air besar dan baru dapat berjalan dan berbicara pada usia 7 – 8 tahun. Sementara itu orang tua subjek ke-3 curiga tentang kelainan saat usia 1 – 2 tahun subjek belum bisa berbicara dan berjalan. Kondisi fisiknya menjadi perhatian orang lain karena bentuknya yang kerdil dan bengkak, lidah besar, kuning (pucat) dengan kepala yang membenjol. Perkembangan fisik subjek juga lambat, ia bisa berdiri dan merambat dipinggiran meja namun sampai usia 4 tahun 7 bulan belum bisa berjalan dan bicara. Ketiga subjek memulai pengobatan dalam waktu yang berbeda yaitu subjek ke-1 pada usia 1 tahun 3 bulan, subjek ke-2 dan subjek ke-3 pada usia 4 tahun 7 bulan. Subjek ke-1 langsung berobat medis, sedang subjek ke-2 dan subjek ke-3 sampai usia tersebut masih berobat tradisional. Ada kepercayaan pada orang tua subjek ke-2 dan subjek ke-3 bahwa anak mereka dimasuki mahluk halus sehingga harus dibawa ke orang tua (pintar) untuk ditimang, diurut atau diceploki telur wajahnya untuk menghilangkan mahluk halus. Ternyata hal ini tidak membawa hasil sehingga usia 4,7 tahun baru mulai pengobatan medis hipotiroid. Pengobatan hipotiroid yang tidak dilakukan sejak dini berdampak bagi kemampuan intelektual. Subjek ke-1 tergolong mental retardasi ringan, subjek ke-2 tergolong mental retardasi berat dan subjek ke-3 tergolong mental retardasi sedang. Pada ketiga subjek juga terlihat bahwa ada perbedaan kondisi emosi dan perilaku sebelum dan sesudah pengobatan hipotiroid. Jika sebelum pengobatan ketiganya bersikap pasif, diam, dan sulit mengekspresikan emosi maka sesudah berjalannya pengobatan perilaku mereka menjadi lebih agresif. Pada subjek ke-1, ia menjadi sensitif dan mudah terusik pada hal-
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 4 y Desember 2006
Elvi Andriani Yusuf dkk.
Masalah Emosi dan Perilaku…
hal kecil seperti jika orang berbicara dan melihat kearahnya maka ia merasa orang tersebut membicarakannya. Masalah emosi dan perilaku yang ada pada ketiga subjek menunjukkan profil yang berbeda, subjek ke-1 cenderung memiliki masalah yang internalizing, sementara subjek ke-2 dan subjek ke-3 cenderung externalizing. Namun ada beberapa masalah emosi dan perilaku dialami oleh ketiga subjek yaitu masalah perilaku sosial, masalah atensi, agresif, dan reaksi buruk terhadap frustrasi. Masalah perilaku delinkuensi
dialami oleh subjek ke-2 dan subjek ke-3; keluhan somatis hanya dialami oleh subjek ke-1 dan subjek ke-3; sedangkan perilaku yang tidak menyenangkan dialami subjek ke-1 (tertawa sendiri) dan subjek ke-3 (memegang payudara orang lain). Untuk masalah perilaku mudah terganggu, menarik diri perilaku soliter hanya dialami oleh subjek ke-1. Sementara untuk masalah kecemasan, depresi, dan fatigue tidak ditemukan pada ketiga subjek dalam penelitian ini.
Tabel 1. Perbandingan keadaan umum antar-subjek Keadaan Umum Riwayat HK Fisik
Intelektual
Subjek ke-1 Diagnosa HK usia 1 tahun 3 bulan, ada riwayat keluarga HK Sebelum pengobatan: tangisan serak, ling-kar kepala kecil, makroglosi, jalan 2.5 tahun kurang kokoh, bicara + 3 tahun -belum jelas. Saat ini tubuh kurus, membungkuk, kepala menunduk. IQ 62 ( mild MR), sekolah SD Inpres
Subjek ke-2 Diagnosa HK pada usia 4 tahun 7 bulan, tidak ada riwayat keluarga HK Sebelum pengobatan lidah tebal, kulit kering, rambut jarang, bentuk tubuh pendek dan bengkak, berjalan 7.5 tahun, bicara 8 tahun tapi belum jelas. Saat ini postur tubuh sesuai dengan rata-rata anak seusia, wajah tipikal IQ 39 (severe MR), sekolah SD SLB
Subjek ke-3 Diagnosa HK usia 4 tahun 7 bulan, tidak ada riwayat HK Sebelum pengobatan ubun-ubun kepala belum menutup, tubuh kerdil, lidah besar, perut buncit ber jalan dan 4 tahun 8 bulan, cadel. Saat ini postur tubuh kecil namun tampak cukup “normal” IQ 51 (moderate MR), tidak sekolah, mengaji
Tabel 2. Perbandingan permasalahan emosi dan perilaku antar subjek Permasalahan emosi & perilaku 1. Kecemasan
Subjek ke-I
Subjek ke-2
Subjek ke-3
-
-
-
2.
Ada indikasi
-
-
-
-
-
Ada indikasi
Ada indikasi
Ada indikasi
-
-
-
Mudah terganggu
3. Depresi 4. Masalah Perilaku sosial 5. Fatique 6. Menarik diri
Ada indikasi
-
-
7. Keluhan Somatis
Ada indikasi
-
Ada indikasi
8. Masalah atensi
Ada indikasi
Ada indikasi
Ada indikasi
9. Perilaku soliter
Ada indikasi
-
-
10.Perilaku tidak menyenangkan
Ada indikasi
Ada indikasi
-
Permasalahan emosi & perilaku lain 1. Delinkuensi
Subjek ke-1
Subjek ke-2
Subjek ke-3
-
Ada indikasi
Ada indikasi
2. Agresif
Ada indikasi
Ada indikasi
Ada indikasi
-
Ada indikasi
-
Ada indikasi
Ada indikasi
Ada indikasi
3. Menyakiti diri sendiri 4. Reaksi buruk terhadap frustrasi
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 4 y Desember 2006
383
Karangan Asli
DISKUSI Ada beberapa hal yang didiskusikan dalam penelitian ini yaitu riwayat hipotiroid, kondisi fisik, intelektual, masalah emosi dan perilaku anak hipotiroid kongenital dalam kaitannya dengan teori serta temuan adanya permasalahan emosi dan perilaku lain pada ketiga subjek penderita hipotiroid kongenital. Dalam hal riwayat hipotiroid, ketiga subjek didiagnosa menderita hipotiroid dan mendapatkan pengobatan pada usia yang berbeda. Namun persamaannya adalah bahwa ketiganya mendapatkan pengobatan sesudah di atas usia 6 bulan sehingga berpengaruh terhadap kondisi kecerdasannya, yaitu mengalami mental retardasi. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan para ahli seperti La Franchi, Simon et.al dan Rovet & Erlich bahwa pengobatan yang dilakukan terhadap anak di atas usia 6 bulan dapat menyebabkan mental retardasi3,5,4. Subjek ke-1 yang memulai pengobatan pada usia 1 tahun 3 bulan menderita mild mental retardation, subjek ke-2 yang memulai pengobatan pada usia 4 tahun 7 bulan mengalami severe mental retardation, sedangkan subjek ke-3 yang memulai pengobatan pada usia yang sama dengan subjek ke-3 mengalami moderate mental retardation. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Deliana terhadap pasien anak hipotiroid kongenital di Jakarta yang menemukan lebih banyak anak yang menderita mental retardasi dari pada berintelegensi rata-rata (5 dari 8 anak menderita mental retardasi atau + 60 %)10. Dalam kaitannya dengan masalah emosi dan perilaku terlihat bahwa subjek ke-1 yang mengalami mental retardasi ringan memiliki banyak persamaan masalah emosi dan perilaku seperti yang dikemukakan para ahli11,4,3,5. Ia mengalami 7 dari 10 masalah emosi dan perilaku yaitu mudah terganggu (2), masalah perilaku sosial (4), Internalizing problem: menarik diri (6) dan keluhan somatis (7), juga masalah atensi (8), perilaku soliter (9) dan perilaku tidak menyenangkan (10). Hal ini berkaitan dengan penelitian yang mereka lakukan di negara maju yang sudah menerapkan skrining neonatal untuk hipotiroid sehingga subjek penelitian mereka umumnya adalah anak hipotiroid kongenital yang memiliki intelegensi sedikit di bawah normal sampai dengan normal yang lebih mirip dengan kondisi subjek ke-1. Selanjutnya terlihat ada perubahan perilaku anak sebelum dan setelah pengobatan hipotiroid berlangsung. Perilaku yang awalnya pasif, diam 384
dan sulit berekpresi sesudah diobati berubah menjadi aktif, mudah marah, agresif dan harus diikuti keinginannya. Menurut Simons et.al bahwa meskipun dalam penelitian mereka tidak ditemukan adanya peningkatan perilaku agresif dan conduct problem5. Namun dari penelitian yang dilakukan oleh Rovert & Erlich diketahui bahwa pengobatan hipotiroid dosis moderate hingga tinggi akan lebih meningkatkan resiko timbulnya permasalahan tersebut pada anak4. Ketiga subjek pada penelitian ini mengalami permasalahan perilaku agresif selama menjalani pengobatan, yaitu mudah marah, dan cenderung menyerang secara fisik dalam melampiaskan kemarahannya. Pada subjek ke-2 dan subjek ke3 juga timbul kecenderungan perilaku delinkuen (conduct problem). Selain itu hal ini juga dapat berkaitan dengan tempramen anak. Menurut Tubman & Winkle, tempramen anak yang sulit seperti lack of control berhubungan dengan permasalahan perilaku eksternal seperti delinkuensi6. Sedangkan menurut Jusiene dan Kucinskas hal ini berkaitan dengan perilaku orangtua yang cenderung selalu mengikuti keinginan (indulgent) anak yang sakit yang menyebabkan tidak adanya feedback terhadap perilaku yang benar yang menyebabkan anak kurang memiliki ketrampilan sosial2. Selanjutnya, dalam kaitannya dengan awal dimulainya terapi, ternyata pada masyarakat masih ada kepercayaan atau keyakinan bahwa penyakit itu disebabkan oleh mahluk halus. Oleh karena itu jalan keluar yang diambil oleh kedua orangtua subjek adalah dengan “berobat kampung” bukan pengobatan medis. Menurut teori ekologi Brofenbrenner, pengaruh biologis dan psikologis pada perkembangan anak bergantung pada 5 sistem lingkungan yang salah satu diantaranya adalah Macrosystem yang mencakup lingkungan budaya dimana individu hidup16,6. Budaya mengacu pada pola perilaku, kepercayaan yang ada pada lingkungan tersebut dari generasi ke generasi. Dalam kaitannya dengan hipotiroid kongenital, konteks lingkungan macrosystem yang berisi kepercayaan bahwa penyakit disebabkan oleh mahluk halus atau kesalahan yang diperbuat mempengaruhi perilaku orangtua dalam mencari solusi penyakit. Orang tua membawa subjek berobat tradisional selama beberapa tahun, setelah tidak menunjukkan hasil yang diharapkan baru subjek dibawa berobat medis. Hal ini tentunya mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis subjek.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 4 y Desember 2006
Elvi Andriani Yusuf dkk.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: 1. Pada anak penderita hipotiroid kongenital terdapat beberapa masalah emosi dan perilaku yaitu masalah perilaku sosial, masalah atensi, perilaku agresif serta reaksi buruk terhadap frustrasi. 2. Terdapat perbedaan yang nyata dari kondisi emosi dan perilaku anak hipotiroid kongenital sebelum menjalani pengobatan dan sesudah menjalani proses pengobatan. Sebelum menjalani pengobatan subjek cenderung diam, pasif dan kurang mampu mengekspresikan emosinya tetapi sesudah pengobatan subjek menjadi aktif, mudah marah dan lebih agresif. 3. Terdapat masalah emosi dan perilaku yang bervariasi pada ketiga subjek. SARAN Beberapa saran berkaitan dengan penelitian ini, yaitu: 1. Melakukan screening test hipotiroid segera setelah kelahiran bayi. Hal ini bermanfaat agar bayi dapat diterapi sejak dini, sebelum usia 3 bulan sehingga dapat mengurangi dampak buruk perkembangan anak. 2. Selama ini hanya pemeriksaan medis yang rutin dilakukan pada anak penderita hipotiroid kongenital, sedangkan dari hasil penelitian terlihat adanya efek psikologis masalah emosi dan perilaku pada anak penderita hipotiroid kongenital. Oleh sebab itu, disarankan agar dilakukan pemeriksaan dan penanganan psikologis secara berkala agar perkembangan psikologis anak dapat terpantau dan berkembang secara lebih maksimal. DAFTAR PUSTAKA 1. Semiardji, G., 2003. Penyakit Kelenjar Tiroid. Gejala, diagnosis dan pengobatan. Balai Penerbit Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. 2.
3.
Jusiene, R & Kuncikas., 2004. Psychological Adjustment of Children with Congenital hypothyroidism and phenylketoburia as related to parental psychological adjustment. www. Medicina.kmu.lt/0407/0407-10e-pdf. Gillberg, C., 1995. Clinical Child Neuropsychiatry. Cambriage University Press.
Masalah Emosi dan Perilaku…
4.
Rovet, J.P., & Erlich, R.M., 2000. Psychoeducational Outcome in Children with Early Treated Congenital Hypothyroidism. Pediatric. Vol. 105. Pp. 515-522.
5.
Simon, F.W., Fuggle, P.W, & Grant, D.B., 1997. Educational Progress, Behavior, and Motor skills at 10 years in Early treated Congenital Hypothyroidism. Archives of disease in childhood. ADC On Line.
6.
Santrock, J.W., 2002. A Topical Approach to Life Span Development. International Edition. Allyn & Bacon Inc.
7.
American Psychiatric Assosiation., 2000. Diagnostic and statistical Manual of Mental Disorder-revised (5th ed.). Washington, DC : Author.
8.
Siregar, C. D., 2001. Bawaan. Dexa Media.
9.
Pulungan, A., B., 2003. Hipotiroid Kongenital. Buletin IDAI. No. 31. Thn XXIII.
Hipotiroidisme
10. Deliana, M., 2003. Hipotiroidisme Kongenital di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 1992-2002. Sari Pediatri. Vol.5, No.2 h.7984. 11. Alloy, L.B., Riskind, J.H., Manaos, M.J., 1999. Abnormal Psychology. Thirteenth Edition. USA : Harcourt College Publisher 12. Wortman, C., Loftus, E., & Weaver, C., 1999. Psychology. Fifth Edition. Mc. Graw Hill College. 13. Achenbach, T.M., 1991. Manual for the Child Behavior Checklist/4-18 and 1991 profile. Department of Psychiatry University of Vermont. 14. Hadis, F.A., 1983. Penelitian Menggunakan AAMD Adaptive Behavior Scale di Indonesia. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia 15. Poerwandari, K., 2001. Pendekatan Kualitatif. LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. 16. Mash, E.J, & Wolfe, D.A., 1999. Abnormal Child Psychology. Brooks/Cole Wadsworth. International Thompson Publishing Company.
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 4 y Desember 2006
385