Marien melangkahkan kakinya keluar dari kereta, suasana stasiun Paris du Noord sore itu sangat ramai, libur panjang akhir pekan kali ini pastilah membuat orang-orang memanfaatkannya untuk melakukan perjalanan ke kota lain. Marien berbaur dengan ratusan orang yang menuju pintu keluar, didepan belasan loket tiket yang berderet ia sempat berhenti sejenak, memperhatikan rute-rute perjalanan kereta yang akan berangkat dan baru datang. Tak ada yang benarbenar dicarinya, ia hanya sedang berusaha mengalihkan pikirannya dari rasa frustasi yang kian waktu kian menderanya. Marien melanjutkan lagi langkahnya, ia menuju eskalator ke ruang bawah tanah dimana ia harus menemukan trem ke area hotel yang telah dipesannya. Puluhan orang mengantri disalah satu loket yang terbuka. Marien membaca rute trem di layar elektronik yang terpampang diatas loket, ia pun bergabung dengan orangorang yang mengantri panjang di loket itu. Antrian dibelakangnya tampak semakin panjang, beberapa orang menggerutu karena mesin tiket mati sehingga mereka harus ikut mengantri di loket. Marien tersenyum masam mendengarkan gerutuan orang-orang itu. Tiba gilirannya dilayani petugas loket, ia membeli 3 days pass. Harga transportasi di Paris cukup mahal dibandingkan Amsterdam, Marien sempat tertegun saat petugas menyebutkan harga pass yang harus dibayarnya.
Tak lama menunggu, trem yang diperlukannya datang. Ia dan beberapa orang yang ada disitu naik memasuki trem, beberapa menit kemudian pintu tertutup dan trem pun melanjutkan perjalanannya meninggalkan stasiun Paris du Noord. Marien harus mengganti tremnya tiga kali selama 35 menit perjalanannya untuk sampai di hotel. Hotel itu berada di lingkungan yang cukup sepi, jauh dari keramaian, disalah satu sudut jalan kecil yang sedikit sulit untuk ditemukan. Tapi ia membaca review orang-orang di internet yang meninggalkan kesan sangat baik untuk hotel ini, jadilah ia memutuskan untuk menggunakan debit tabungannya untuk membayar kamar selama seminggu di hotel ini. Ia memberikan hotel voucher yang telah diprintnya kepada resepsionis hotel. Setelah mengisi lengkap formulir tamu, ia mendapatkan kunci kamarnya. Resepsionis bermata biru dengan wajah khas Perancis itu memberitahunya arah menuju kamarnya. Marien mengangguk berterimakasih, lalu ia menyeret kopernya menuju lift, memencet tombol 4 yang akan mengantarkannya ke lantai dimana kamarnya berada. Marien membuka pintu kamar 407, ruang kamar berdesign modern minimalis dengan gradasi warna hijau tosca dan ungu muda itu langsung membuatnya senang. Marien sangat menyukai setiap furnitur yang ditata didalam ruangan itu. Sebuah sofa single berukuran besar berwarna 2
putih tampak begitu nyaman ditaruh disebelah jendela besar yang menghadap ke jalan. Langit yang sudah mulai gelap membuat jalan kecil didepan hotel itu tampak indah dan romantis dihias oleh lampu-lampu jalan yang cantik, beberapa kedai kopi dan bar kecil yang berada disepanjang jalan kecil itu juga memperkuat suasana romantis di jalan kecil itu. Sesaat Marien tenggelam menikmati suasana dijalan kecil yang ia pandangi dari balik jendela kamarnya, senyumnya mengukir diwajahnya. Waktu-waktunya banyak dihabiskan berjalan-jalan di taman atau minum kopi dari satu café ke café lain, berkenalan dengan banyak orang setiap harinya dan kadangkadang membuat janji bertemu lagi di hari berikutnya. Marien berusaha keras untuk berhenti memikirkan Zack dan kepergian lelaki itu dari hidupnya, ia berusaha menikmati kesendiriannya saat ini. Ia sedang asyik berbincang-bincang dengan beberapa gadis disalah satu meja di cafe kecil yang terletak di jalan Montgemary saat Irina, gadis Ceko yang baru 3 hari ini dikenalnya, menyebut nama yang terdengar sangat menyakitkan untuknya. Ia menoleh ke layar tv yang sedang diperhatikan Irina. Disana, wajah Anca tampak berseri-seri saat menjawab pertanyaan reporter yang mewawancarainya tentang New York fashion show yang diikutinya kali ini. Irina terus mengungkapkan kekagumannya akan sosok Anca, baginya Anca adalah role model yang sangat tepat 3
untuknya yang baru saja menggeluti dunia catwalk. Marien menelan ludahnya, rasa sakit yang hampir saja dikuburnya terasa memerih kembali, ia meninggalkan teman-temannya menuju toilet. Di dalam salah satu ruang toilet ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, tangisnya berhamburan tanpa suara. *** Suara sms masuk membangunkannya pagi buta, Paris, teman baru yang dikenalnya di coffeshop beberapa minggu lalu, mengabarinya bahwa ia akan pergi ke Paris hari itu untuk menghadiri undangan fashion show salah satu kenalannya. Marien tersenyum lebar. Beberapa waktu belakangan ia sering sekali mencurahkan perasaannya pada lelaki itu, sesuatu yang tak biasa ia lakukan pada siapapun yang dikenalnya. Tapi sesuatu dalam diri Paris membuatnya merasa tenang dan percaya untuk membagi ceritanya dengan pria bermata hijau itu. Mereka terus saling berkirim sms untuk beberapa saat. Marien menanyakan jam kedatangan keretanya di Paris du Noord, ia bermaksud menjemput teman barunya itu nanti. Mereka sepakat bertemu di stasiun saat Paris sampai nanti, lalu Marien meletakkan handphonenya kembali di meja kecil sebelah tempat tidurnya. Beberapa detik kemudian matanya sudah terpejam lagi meneruskan tidurnya yang terputus tadi.
4
Waktu menunjukkan pukul 11.23, kereta yang membawa Paris dari Amsterdam baru saja sampai. Marien terus memperhatikan orang-orang yang berhamburan keluar dari dalam gerbong-gerbong itu. Tak lama ia melihat sosok yang dicarinya. Paris mengenakan kemeja kotak-kotak warna pink bertangan panjang yang ia gulung sampai ke siku dengan celana jeans belel dan sepatu converse putih, ia menggendong backpack besar warna hitam dipunggungnya. Sesaat Marien sempat terpaku melihat temannya itu. Sudah hampir 3 minggu mereka tak bertemu, Paris tampak membiarkan brewoknya tumbuh tanpa dicukur, itu membuatnya terlihat sangat seksi. Paris langsung menghampiri Marien, mereka saling berpelukan, lalu pergi menuju pintu keluar. Paris sudah memesan kamar di salah satu hotel tak jauh dari stasiun, mereka pergi menuju hotel itu untuk menyimpan tas backpacknya sebelum pergi untuk makan siang. Sepanjang perjalanan menuju hotel, Marien menceritakan teman-teman barunya yang ia kenal beberapa hari belakangan, dan bagaimana mereka menghabiskan waktu-waktu yang menyenangkan dari satu cafe ke cafe lain. Paris tersenyum mendengar cerita Marien. Gadis itu tak menyinggung sedikitpun tentang pernikahan Zack, dan Paris tak mau mulai menggubris peristiwa yang menyakitkan wanita muda yang dikaguminya itu.
5
Hotel tempat Paris menginap tampak lebih seperti hostel, tapi pelayan yang sangat ramah dan suasana rumah yang sangat kental disini membuat orang tak akan menyesal membayar beberapa puluh euro untuk sewa kamar permalamnya. Seseorang mengantar mereka menuju kamar Paris sambil menjelaskan beberapa fasilitas yang mereka punya di hotel itu. Tak banyak, tapi toh Paris juga tak akan menghabiskan banyak waktunya di hotel, dia sudah cukup senang dengan keramahan para staff hotel. Pria itu membukakan pintu kamar Paris dan mempersilahkan mereka masuk, lalu ia meninggalkan mereka setelah memberitahu nomor extensi yang bisa mereka hubungi, jika mereka membutuhkan sesuatu. Paris mengangguk dan berterimakasih. Kamarnya sedikit lebih kecil dibanding kamar Marien, furnitur yang dipakai tampak tua dan kokoh, set up-an kamar yang bergaya klassik ini membuat orang hanya ingin bermalas-malasan didalamnya. Diluar jendela kamar, beberapa untaian daun yang menjulur keluar dari pot-pot tanaman yang digantung membuat tempat itu terasa seperti berada di daerah tropis. Seluruh ruangan harum oleh wewangian mawar. Marien melotot saat membuka pintu bathroom. Bathroom itu sangat besar dan indah, sebuah bathtub diletakkan ditengah ruangan, washbasin yang terbuat dari batu dengan kaca besar dengan lampu disetiap
6
sisinya dan semua amenities yang diset up sebegitu rupa membuatnya terpesona. “Ah seharusnya aku tahu tempat ini..¨ ujarnya Paris tertawa kecil sambil mengeluarkan beberapa potong baju yang dibawanya dalam backpack untuk diletakkan di dalam lemari, ¨well kau boleh mengambil kamarku jika kau tak mau membaginya denganku¨ ¨Huh..¨ Marien memonyongkan bibirnya sambil menghempaskan dirinya diatas ranjang. ¨Jadi fashion show siapa ini? Aku tak tahu kau punya kenalan designer¨ ujarnya lagi kemudian ¨Mm nanti kau juga tahu setelah kau bertemu dengannya besok malam..¨ sahut Paris ¨Eh, aku boleh ikut ?¨ tanya Marien kaget ¨Jika kau tak keberatan..¨ Marien tersenyum lebar, ¨well aku agak malu untuk memintamu mengajakku, tapi aku ingin sekali melihat fashion show itu! Aah Paris kau memang yang terbaik!!¨seru Marien penuh semangat Paris tersenyum menatapnya, seandainya Marien tak pernah tersakiti begitu dalam oleh lelaki lain, rasanya ia ingin sekali mencoba menjadi lelaki dalam hidupnya. ***
7
Setiap baju yang dipamerkan model-model tadi membuat Marien tak berhenti berdecak kagum, ia benarbenar terkesima dengan rancangan-rancangan designer yang namanya tak begitu familir ditelinganya itu. Dia designer kelahiran Samobor, sebuah kota kecil tak jauh dari Zagreb, ibukota Kroasia. Pria paruh baya itu belajar fashion design dan memulai karirnya di London. Ia telah berkeliling eropa untuk menggelar fashion show-fashion shownya selama hampir 30 tahun karirnya, ia sempat menetap di Eindhoven beberapa tahun. Sesuatu yang sangat menarik bagi Marien, bahwa mereka pernah memiliki lelaki dengan rancanganrancangan yang menakjubkan ini di negaranya, tapi ia merasa sangat asing saat mendengar nama Dmitar Andrija, designer itu, disebut. Seusai fashion show, Dmitar menghampiri mereka. Ia mencium kedua pipi Paris penuh kerinduan, mereka saling berpelukan. Paris sedikit berkaca-kaca saat Dmitar melepaskan pelukannya, sorot matanya seakan menyeruakkan rasa rindu dan sayangnya pada lelaki itu. Dmitar tak ubahnya Paris, wajahnya memerah dengan airmata yang hampir mengalir keluar dari pelupuknya. Marien hanya terpaku melihat pemandangan dihadapannya, ia tak mengerti siapa laki-laki ini yang tampak begitu berarti untuk Paris.
8
Untuk beberapa saat mereka asyik berbincang berdua, saling menanyakan kabar dan menceritakan bagaimana kehidupan mereka saat ini. “Bagaimana kabar ayahmu? apa dia baik-baik saja?” tanya Dmitar dengan nada ragu Paris hanya tersenyum, “dia baik-baik saja” “Apa dia bahagia dengannya?” tanyanya lagi Kali ini Paris tak langsung menjawab, ia menggenggam tangan Dmitar “aku harap kau bahagia, kau pantas untuk itu” Dmitar menatapnya sedih, ada luka disorot matanya.”aku benar-benar menyesal, kau tahu itu Paris” Paris tersenyum bijak “sudahlah Dmitar, kau sudah seharusnya melupakan hal itu, menyimpan rasa bersalahmu hanya akan menyakiti dirimu. Kau benar-benar orang yang baik, dia menyayangimu juga, dan kami benar-benar ingin kau bahagia dengan hidupmu sekarang..” “Kalianlah kebahagianku..” “Kami tahu, kami sangat menyayangimu. Kau tahu kaulah orang kedua paling berharga dalam hidupku, aku tak akan bisa menjadi aku sekarang tanpamu Dmitar. ¨ Dmitar mengusap airmata yang mulai meleleh di pipinya, “maafkan aku nak, kita seharusnya masih bersama ¨
9
¨Tak ada yang perlu dimaafkan, sudahlah lupakan itu. Bagiku masih bisa melihatmu saja sudah cukup¨ Airmata mengalir semakin deras dipipi Dmitar, ia menarik tubuh Paris kepelukannya, didekapnya erat. ¨Aku selalu merindukanmu setiap kali aku sadar tak akan menemukanmu di meja makan saat aku sarapan¨ Paris memejamkan matanya, menahan tangisnya. ¨Dmitar, berjanjilah padaku kau akan berusaha untuk bahagia. Trevor pria yang baik, biarkan dirimu bahagia karena dicintai dengan tulus, kau berhak untuk itu¨ Dmitar mengangguk sambil tersenyum, mereka saling tersenyum sambil berpegangan tangan. Paris tiba-tiba sadar bahwa ia telah melupakan Marien disana, ia melirik gadis itu yang masih mematung menatap mereka. “Oh maaf Marien, aku tak mengacuhkanmu..” ujarnya sungguh-sungguh
bermaksud
Marien tersenyum maklum, “ah aku mengerti, jadi kau mau kan mengenalkanku pada designer hebat ini? aku terkagum-kagum dengan rancangannya” ujarnya sambil melirik Dmitar malu-malu Dmitar menepukkan kedua tangannya dengan wajah ceria, “jadi ini yang kulewatkan, kau sudah punya pacar sekarang huh?” 10
Paris tersenyum malu, “Marien sahabat baikku.. ¨ ¨Oh jadi namanya Marien, senang bertemu denganmu nak¨ ujarnya sambil menjulurkan tangan menjabat Marien ¨Senang bertemu denganmu juga Dmitar. Aku beruntung sekali Paris membawaku kesini, aku benar-benar menyukai rancanganmu. Aku harap suatu hari aku bisa sehebat dirimu..¨ ujar Marien sungguh-sungguh ¨Jadi kau ingin jadi designer nak ?¨ tanya Dmitar dengan nada antusias ¨Aku baru saja memutuskannya saat aku menikmati fashion show mu tadi, karyamu benar-benar menginspirasiku¨ ¨Kau akan jauh lebih baik dari aku Marien..¨ ujar Dmitar ,¨suatu hari nanti namamu akan jadi perbincangan di majalah-majalah fashion dimanapun. Kau akan jadi sehebat yang kau mau, jika kau mengerahkan seluruh kemampuanmu sampai diluar batas maksimalmu¨ ¨Kau pikir aku bisa?¨ tanya Marien polos ¨Semua orang bisa menjadi siapapun yang mereka inginkan. Kau hanya perlu memulainya dengan keyakinan penuh, dan, seperti yang kubilang tadi, berusahalah sampai diluar batas maksimalmu. Jangan pernah berhenti dan
11
merasa puas, tapi jangan pernah tak menghargai apa yang sudah sanggup kau capai¨ ¨Oh Dmitar aku senang sekali bertemu denganmu, terimakasih banyak untuk semua motivasimu. Aku rasa aku harus mulai browsing untuk sekolah fashion nanti, aku baru saja menyelesaikan SMA-ku¨ ¨Wah bagus sekali, jika kau mau aku bisa mengirimmu link untuk beberapa sekolah fashion terbaik, kau bisa mengecek website mereka satu persatu sebelum memutuskan sekolah mana yang ingin kau ambil¨ ¨Oh hebat ! Terimakasih banyak Dmitar, aku sangat menghargainya ¨ ujarnya sungguh-sungguh ¨Ini kartu namaku. Kau bisa mengirimkan alamat emailmu padaku, jadi aku bisa membagi link sekolahsekolah itu padamu¨ Dmitar memberikan kartu namanya pada Marien ¨Terimaksih banyak Dmitar, aku benar-benar beruntung malam ini. Terimakasih banyak, aku senang sekali bertemu denganmu¨ ¨Tak usah berterimakasih nak, itu bukan apa-apa¨ Seorang pria berambut abu dengan setelan necis menghampiri mereka, ia merangkul bahu Dmitar dengan lembut.
12
“Sayang apa kau masih ingat Paris ?¨ tanya Dmitar pada lelaki itu dengan lembut ¨Ya tentu saja, bagaimana mungkin aku lupa pada anak kebanggaanmu..¨ ujarnya sambil melepaskan tangannya dari bahu Dmitar Ia menjulurkan tangannya menjabat Paris, ¨apa kabar nak ?¨ ¨Baik Trev, terimakasih, bagaimana denganmu?¨ ¨Yah seperti yang kau lihat, aku terlihat semakin tua saja..¨ jawabnya sambil tertawa, mereka semua tertawa. Perbincangan kecil itu berlanjut untuk beberapa menit, lalu mereka semua akhirnya berpisah. Sekali lagi Dmitar dan Paris saling berpelukan erat, mata Dmitar penuh dengan airmata yang siap mengalir saat ia mencium kening Paris sebelum pergi. Paris melihat Trevor yang tampak berusaha menenangkan Dmitar saat mereka pergi meninggalkannya. Marien menggenggam tangan Paris yang sedang menengadahkan wajahnya ke atas untuk menahan airmatanya agar tak jatuh. Paris menyadari genggaman tangan itu, ia menatap Marien yang tersenyum padanya. *** Menara Eiffel tampak indah menjulang dibawah sana. Sinar biru, merah dan kuning yang silih berganti 13
menampakkan diri disekujur tubuh menara yang menjadi salah satu simbol kota teromantis di dunia itu membuatnya tampak semakin cantik. Dari atas jembatan ini, landscape kota Paris tampak begitu indah di malam hari. Langit yang gelap terlihat sangat kontras dengan kilauan sinar warna warni di menara Eiffel, lampu-lampu sepanjang sisi kanal besar dibawah jembatan dan perahu-perahu dengan hiasan lampu semarak yang hilir mudik sepanjang kanal. Diatas jembatan puluhan orang juga sibuk menawari aksesorisaksesoris dengan sinar neon berwarna mencolok pada orangorang yang lewat, beberapa turis yang ada disana tampak tertarik dengan barang-barang yang mereka anggap unik itu. Paris, di waktu kapanpun tak pernah sepi, bahkan saat tengah malam seperti ini, ratusan orang masih tampak berjalan disana sini. Marien menghentikan langkahnya, ia melihat sekelilingnya dan merasa begitu takjub dengan pemandangan yang didapatinya. ¨Aku ingin duduk disini dulu, pemandangan ini indah sekali, kurasa aku lebih menyukainya di waktu malam dengan semua permainan sinar warna-warni ini..¨ ujarnya sambil menarik tangan Paris ke pinggir tembok jembatan. Paris mengikutinya, mereka memanjat tembok pembatas jembatan itu lalu duduk diatasnya, menjuntaikan kakinya diatas kanal.
14
Marien terus memuji Dmitar dengan sikapnya yang sangat rendah hati dan hasil kerjanya yang hebat, designer yang sekarang berkewarganegaraan Prancis itu sudah sangat memikat hatinya. Ia mulai membayangkan dirinya beberapa tahun kedepan sedang sibuk menggelar fashion show dari satu negara ke negara lain. ¨Aku tak pernah tahu kau mengenal seseorang sehebat dia, bagaimana kalian bertemu?¨ tanyanya pada Paris Lelaki tampan disebelahnya itu tak langsung menjawab pertanyaannya, ia menatap Marien beberapa saat lalu memalingkan pandangannya pada hamparan lampulampu disisi kanal. Ia tampak sedang mencari-cari kata, sesuatu tampak mengganggunya. Marien jadi merasa tak enak hati, ia takut telah mengusik Paris tanpa disadarinya. ¨Aku besar bersamanya, dia mantan partner ayahku..¨ kata Paris kemudian Marien tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, ia menatap Paris dengan mata yang terbelalak. Paris menoleh ke arahnya, ia maklum dengan reaksi kaget yang diperlihatkan gadis itu. ¨Aku tahu ini terdengar gila untukmu, tapi itulah aku dengan dua orang yang paling kucintai di dunia¨ Paris tersenyum dengan tatapan lembutnya. Marien jadi salah tingkah menyadari sikapnya tadi pasti telah membuat Paris berpikir keliru tentang itu. 15
“Maafkan aku, aku tak bermaksud…” “Tak apa sayang, aku tahu kebanyakan orang pasti menganggap kami aneh” ujar Paris memotong kata-kata Marien, gadis itu hanya menatapnya dengan perasaan bersalah. “Ibuku meninggalkan kami saat aku bayi, aku tak pernah tahu dimana dan bagaimana dia sekarang. Sebelum mereka menikah, ibu tahu kalau ayah adalah seorang bisexual, tapi ia tampak tak peduli dan menerima keadaan ayah. Tapi setelah aku lahir sesuatu mungkin merubah pemikirannya. Dia mulai berubah, dan akhirnya benar-benar meninggalkan kami…” Paris menelan ludahnya, raut wajahnya tak mengatakan apapun selain ketegaran yang membalut rasa pedihnya. “Ayah membawaku pindah ke Edinburg, disanalah ia mengenal Dmitar. Saat itu Dmitar masih merintis karirnya sebagai perancang. Setelah beberapa bulan semenjak mereka mulai berkencan, kami pindah ke London. Kami bertiga mulai hidup sebagai keluarga di rumah kecil yang indah di pinggiran London. Aku tak ingat banyak masamasa saat aku balita, aku tak ingat saat Dmitar menggantikan popokku, atau dengan telaten membuat susuku. Yang aku tahu ia selalu bersikap selayaknya ibu bagiku. Ayah bilang, saat aku kecil aku sering sekali sakit, 16
imun tubuhku tak begitu baik. Beberapa minggu sebelum ayah mendaftarkanku ke sekolah, aku jatuh sakit, panas badanku tinggi sekali. Saat itu ayah tak ada di rumah, aku lupa sedang pergi kemana dia. Dulu ayahku seorang trader di salah satu perusahaan tambang emas, dia sering sekali melakukan perjalanan bisnis ke berbagai negara. Pengasuh yang biasa menjagaku saat Dmitar pergi ke kantor meneleponnya, dan memberitahukan keadaanku. Dmitar datang tak lama setelah itu. Ia membawaku ke dokter, lalu semalaman ia menjagaku, duduk di bangku seberang tempat tidurku. Setiap kali aku mengigau dan membuka mata, aku mendapatinya duduk di sisi risbangku, mengelus wajahku dengan tatapan cemas. Bagiku saat itu dialah ibu, lelaki lembut yang mencurahkan semua perhatiannya padaku, yang selalu ada di sebelahku setiap kali aku membutuhkannya.” Airmata mulai mengalir di pipinya, ia berusaha sekali meredam emosinya saat melanjutkan ceritanya, “saat aku kecil aku merasa segalanya sempurna. Dmitar dan ayah tampak saling mencintai, mereka terlihat sangat bahagia saat bersama, dan aku tak pernah kekurangan perhatian mereka. Aku tak pernah tahu jika bagi dunia diluar rumah kami, hal itu tidaklah normal. Aku baru menyadari jika ibu seharusnya berkelamin perempuan, sebuah rumah tangga itu seharusnya dibangun oleh seorang laki-laki yang menikahi perempuan. Aku hanya baru menyadarinya saat aku mulai masuk 17
sekolah. Setiap ibu yang disebut teman-temanku semuanya memakai rok dan riasan wajah, sama sekali berbeda dengan Dmitar. Suatu hari di malam seni yang diadakan sekolahku, aku membacakan sebuah puisi tentang ibu diatas podium, dihadapan ratusan anak-anak, orang tua dan guru-guru. Puisi itu sangat indah dan kubuat sepenuh hati untuk Dmitar. Saat aku selesai membacakan puisi itu, semua orang berdiri dan bertepuk tangan, aku melihat ayah dan Dmitar diantara orang-orang itu, mereka menatapku dengan bangga…” Paris mengeluarkan bungkus rokok dari saku jaketnya, menyalakan sebatang dan menghisapnya dalamdalam, “saat aku berjalan ke belakang panggung, guruku dan beberapa teman yang akan tampil setelahku berdiri dibalik layar panggung. Guruku memelukku sambil mengatakan bahwa puisiku membuatnya sangat merindukan mendiang ibunya. Aku bangga sekali rasanya saat itu. Tapi seorang teman yang ada disana saat itu tiba-tiba membuatku merasa dunia menikamku dalam malu. Ia bilang puisiku itu bukan untuk ibu, tapi untuk laki-laki aneh yang kusebut ibu. Rasanya sakit sekali saat ia mengatakannya, beberapa anak yang ada disana saat itu ikut menertawakanku. Sejak itu, entah bagaimana aku mulai merasa tak nyaman dengan Dmitar dan ayah. Aku tak mau lagi dia mengantar atau menjemputku ke sekolah, aku merasa malu. Aku mulai tak mau lagi bicara dengannya, rasanya aku ingin pergi ke suatu 18
tempat dimana tak ada yang mengenalku sebelumnya. Tapi kemana ? umurku masih 7 tahun, aku bahkan tak tahu bagaimana mencari uang untuk membeli susu yang kuminum setiap hari… ¨ ¨Selama beberapa tahun, hubunganku dengan ayah dan Dmitar sangat dingin, kami tak banyak bicara. Aku merasa asing dengan apapun disana. Saat umurku 11 tahun, ayah dan Dmitar memutuskan untuk pindah ke Belanda. Dimalam terakhir kami sebelum berangkat kesana, Aude, pengasuhku sejak kecil, mengatakan sesuatu yang membuatku berpikir ulang tentang sikapku selama ini. Dia bilang, aku beruntung memiliki orang tua yang menyayangiku sepenuh hati, yang melakukan segala yang terbaik untukku. Dia tak pernah tahu siapa orang tuanya, seseorang menemukannya di dalam got di pinggir jalan, hanya dibalut selimut bayi yang sudah basah. Lalu orang itu membawanya ke panti asuhan, dan disanalah ia tumbuh sampai akhirnya memutuskan untuk mencari jalan hidupnya sendiri. Ia iri padaku, dengan semua perhatian dan kasih sayang Dmitar dan ayah yang begitu besar padaku. Ia pernah melihat Dmitar menangis memeluk fotoku, ia berharap ibunya melakukan hal yang sama juga untuknya. Ada katakatanya yang terus menghantui rasa bersalahku pada Dmitar. Ia bilang ibu tak selalu berarti wanita yang meminjamkan rahimnya untuk kita, tapi siapapun yang
19
lebih bersedia menyayangi kita sebagai bagian terpenting dalam hidupnya. ¨ Airmata mengalir di kedua pipi Paris, sambil menghisap rokoknya dalam-dalam ia meneruskan lagi ceritanya, ¨dan aku rasa keputusan kami untuk pindah ke Eindhoven adalah hal terbaik yang kami lakukan saat itu. Aku terus memikirkan kata-kata Aude dan merasa sangat buruk dengan diriku sendiri. Aku merasa benar-benar jahat pada ayah dan Dmitar.¨ Marien menggenggam tangan Paris, diremasnya dengan lembut, ¨perlahan kami mulai bicara lagi. Setidaknya lingkunganku disana bisa lebih menerima keadaan kami dibanding saat kami masih tinggal di London, itu benarbenar membantuku untuk memperbaiki hubunganku dengan kedua orang tuaku. Dan saat aku mulai beranjak dewasa, aku sudah tak peduli lagi pada pandangan siapapun tentang mereka. Aku merasa begitu yakin dengan cintaku pada mereka, tak ada orang yang lebih berharga untukku di dunia ini selain mereka berdua. Merekalah ayah dan ibu seumur hidupku.¨ Marien meneteskan airmata mendengar kata-kata Paris, ia begitu terharu dengan perasaan dan sikap Paris, ¨dan kenapa sekarang kalian tak bersama lagi ?¨ tanyanya hati-hati.
20
Paris tak langsung menjawabnya, ia memejamkan matanya sesaat sambil menelan ludahnya dengan perasaan pedih yang kacau, lalu ia menatap Marien dengan sorot mata yang diterjemahkan Marien sebagai harapan kosong yang penuh kesedihan, ¨kau tahu, kadang-kadang kita tak cukup bijaksana untuk tahu apa yang benar-benar kita mau dan kita perlu. Kadang-kadang kita menyakiti orang yang paling kita cintai, dan terkadang saat kita sadar, kesempatan untuk kembali sudah tak ada.¨ ¨Ayah menemukan Dmitar dengan lelaki lain, dan saat itu mungkin Dmitar memang sedang jatuh cinta dengan lelaki itu. Ia tak begitu memperdulikan ayah, sampai ayah berhenti mengharapkannya dan bangkit dari keterpurukannya. Setelah berbulan-bulan dia pergi, Dmitar kembali ke rumah, lelaki itu mencampakkannya. Ia menangis meminta ayah memaafkannya, tapi ayah sudah terlalu terluka. Ia tak pernah lagi membuka pintu hatinya untuk Dmitar, sejak itu kami tak lagi hidup bersama.¨ Marien berdiri menghadapnya, melihat sahabat baiknya itu dengan rona wajah sedih yang tak pernah dilihatnya sejak pertama kali ia bertemu Paris beberapa bulan yang lalu. Ditariknya kepala Paris ke dadanya. Dalam dekapannya, Paris mengeluarkan semua rasa pedih dan rindunya melalui tangis itu.
21