Marching Band: Analisa Sebuah Organisasi menggunakan ilmu multi-disiplin Marko S Hermawan Marko S Hermawan adalah Kepala Program Studi Akuntansi dan Keuangan S1 Binus International University
[email protected]
Abstrak Perkembangan yang pesat akan ketertarikan membuat sebuah marching band membawa dampak bagi semua kalangan disekitarnya. Tulisan ini menjelaskan pandangan umum tentang bagaimana sebuah organisasi marching band dikelola dengan menggunakan berbagai ilmu multi-disiplin, yang mana setelah ditelaah, banyak factor yang harus diperhatikan dan dikembangkan agar organisasi ini berjalan dengan baik.
Keywords: Marching Band, Multi-disiplin, organisasi, band, manajemen, psikologi, musik
PENDAHULUAN Maraknya perkembangan marching band di tanah air membuat penulis tergerak untuk membuat ulasan dan penelitian kecil mengenai kegiatan ini. Tidak jarang organisasi marching band ditemukan di hampir semua sekolah dan institusi pemerintahan di seluruh Indonesia, mulai dari TK hingga dewasa. Para pemain juga berasal dari anak sekolah, mahasiswa dan karyawan perusahaan.
Adapun tujuan dari penulisan adalah: 1. Memberikan perbandingan tentang perkembangan marching band yang ada di Amerika dengan yang ada di Indonesia. 2. Memberikan pengertian bahwa organisasi marching band memerlukan multidisiplin dalam menjalankannya. 3. Menelaah permasalahan dan fenomena yang terjadi di organisasi marching band dan solusinya. 4. Membuat kontribusi yang positif untuk dunia marching band di Indonesia yang semakin berkembang.
Dalam penelitian ini akan dibahas tentang pengertian, pengetahuan, sejarah, dan ilmu multidisiplin yang terkait dengan organisasi marching band.
PENGERTIAN DAN SEJARAH MARCHING BAND Ada beberapa pengertian tentang definisi marching band yang menarik untuk dijelaskan. Kirnadi (2004) menyebutkan Marching band adalah musik bergerak atau musik berjalan. Band berarti kumpulan musik, sedangkan marching artinya bergerak atau berjalan. Sehingga dapat didefinisikan sebuah kumpulan orang-orang yang bermain musik sambil berjalan.
Definisi lain menyebutkan hal yang sama, Banoe dalam buku kamus musik (2002) menjelaskan bahwa Marching band adalah satuan musik lapangan, yang mana dipergunakan atau dimainkan sambil baris berbaris, berintikan kelompok perkusi sebagai penunjang derap, di samping kelompok alat musik tiup sebagai penunjang melodi.
2
Pengertian ini mengisyaratkan adanya beberapa kelompok musik, diklasifikasikan berdasarkan jenis musik, sebagai syarat terbentuknya sebuah marching band.
Seiring perkembangan yang pesat di Indonesia, marching band telah menjadi salah satu sarana mengapresiasikan diri, baik untuk pemain, pembina, pengurus, pelatih dan para pemerhati sekitar. Mudahnya informasi yang datang dari luar negeri, memberi inspirasi baru akan perubahan dan penyesuaian format dan kepelatihan di aktivitas marching band ini. Sejak diadakannya pertandingan nasional, dimulai dari Grand Prix Marching Band, yang diadakan setiap tahun, berawal dari format Kejuaraan Terbuka Drumband Jakarta (KTDJ), sampai beberapa pertandingan nasional lainnya seperti Darunajjah Marching Competition, Hamengkubuwono Cup Jogjakarta, Langgam Indonesia Bali, dll.
Kesemuanya ini berakibat positif terhadap perkembangan dan pengembangan marching band Indonesia. Gaya permainan ‘corps style’ mulai menyuarak pada awal tahun 90-an, dimana Corps Gita Teladan memperkenalkan format ini di hadapan pecinta marching band pada kejuaraan GPMB. Dengan menggunakan ‘front bell’ brass, fenomena ini berlanjut dan diikuti oleh beberapa unit marching band yang ada di Indonesia. Namun ada baiknya kita melihat ke belakang mengenai perkembangan singkat marching band di Amerika, sebagai komparasi paralel dengan yang ada di Indonesia.
Sejarah di Amerika Serikat membuktikan bahwa perkembangan marching band membutuhkan waktu yang cukup panjang. Berawal dari derap ritme konstan dari genderang sederhana yang mengiringi tentara yang hendak berperang di medan perang, sampai dengan permainan musik yang biasa dibawakan statis di panggung, menuju lapangan. Secara harafiah berikut adalah beberapa pengertian dalam perkembangan dunia marching band (Marshall, 2007):
1. Military Band Tradisi marching band berawal dari tahap ini. Menurut Arthur Bartner (1963), band militer berasal dari negara Perancis dan Jerman, sekitar pertengahan abad
3
ke-19. Tradisi ini dibawa ke Amerika sebagai penyemangat saat perang revolusi. Kemudian military band menjadi populer dan mengalami perkembangan saat dibawa tur keliling Amerika oleh John Philip Sousa, yang diberi nama The United State Marine Band (1880-1892). Peralatannya pun masih sederhana: 2 oboe, 2 clarinet, 2 Frenchhorn, 1 Fagot dan 1 bass drum (Banoe, 1996). Dari beliaulah, maka berkembang military band menjadi marching band universitas di Amerika.
Di Indonesia, perkembangan marching band dimulai dari penjajahan Belanda, perang dunia II, sebagai pengiring tentara untuk berperang (Kirnadi, 2004). Dalam kuliah umum di MEC, Kirnadi juga menjelaskan cikal-bakal istilah ‘Drum Band’, yang berasal dari penggunaan drum saat parade oleh Belanda, tanpa menggunakan alat tiup, karena keterbatasan pemain dan tidak adanya alat tiup di Indonesia saat itu.
Dalam perkembangannya, band militer telah menjadi simbol dan kebanggaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Akademi Angkatan Laut, Akademi Angkatan Udara, Akademi Kepolisian dan Akademi Militer Angkatan Darat membetuk formasi Korps Genderang Sangkakala, Genderang Terompet, Genderang suling (Banoe, 1996).
Sumber: www.akmil.ac.id/korps
Karakter permainan lagu di band militer adalah frase A, 8 – 16 birama diulang-ulang, dilanjutkan dengan frase B, birama yang sama, diulang-ulang (Marshall, 2007).
4
2. Traditional Bands Sekitar tahun 1930-an, hampir semua universitas di Amerika mempunyai marching band (Marshall, 2007). Namun banyak juga yang meninggalkan dan mengubah dari tradisi militer ke bentuk yang lebih kontemporer, dipelopori oleh “The Big Ten-style” (universitas Iowa, Illionis, Michigan, dll). Pada tahun 1920, universitas Purdue mulai membawa bendera sekolahnya di parade, yang kemudian dikembangkan menjadi teknik toss dan spin. Mereka juga memperkenalkan gaya permainan ‘gerakan cepat (fast-moving), berwarna (colorful), dan pertunjukan spektakuler di setiap pertandingan rugby Amerika (Halftime show)’.
Marshall (2007) juga secara detail membedakan military band dengan traditional band dari segi hitungan langkah. Dalam hitungan derap (marching), band militer menggunakan 120 langkah per menit, sedang dalam band tradisional, 140 langkah per menit. Penggunaan langkah tinggi, robotic maneuvering system (RMS), visual hornline juga diperkenalkan disini.
Sumber: www.wikipedia.com
Di Indonesia, perkembangan band tradisional juga dipengaruhi oleh perkembangan politik masa itu, dimana satuan musik ini dipakai untuk mengiring pawai partai politik. Sekitar tahun 1950, organisasi kepanduan (Pramuka) membuat satuan drumband untuk menyemarakkan hari ulang tahun kemerdekaan.
5
Lahirnya Drumband Tarakanita, Drumband Santa Ursula I juga berpengaruh terhadap perkembangan marching band di Indonesia dan beralihnya band militer ke band sekolah bernuansa tradisional (traditional style). Pada tahun 1975, atas festival drumband pertama diadakan, dengan jumlah peserta sebanyak 5 unit (Banoe, 1996).
Karakteristik pembedaan band militer dan band tradisional di Indonesia juga tampak dari penggunaan bendera setiap pertunjukan, jenis lagu yang dimainkan, derap langkah, penggunaan visual dan RMS. Pada perkembangan selanjutnya, band tradisional berubah menjadi “harmony band”, yang mana penggunaan instrumentasi yang digunakan lebih lengkap, dari alat tiup kayu (woodwinds), alat tiup logam (brass) dan perkusi (WAMSB, 2006)
3. Corps-Style Bands Pengembangan marching band bertipe tradisional ini dilanjutkan dengan apa yang disebut dengan Corps-Style Bands. Sejak tahun 80an, hampir semua band di Amerika telah menjadi band bertipe korps, ditandai dengan metode “Glide-Step” dalam baris-berbaris. Marshall (2007) menyebutkan teknik ini sebagai tehnik memperhalus langkah baris, agar mengurangi efek guncangan pada badan saat meniup. Organisasi Drum Corps International (DCI) yang dibentuk pada tahun 1971 bertujuan untuk membuat standarisasi peraturan mengenai aktivitas ini.
Ciri khas dari band tipe korps adalah bahwa instrument bernada yang digunakan tidak bervariasi, bahkan cenderung homogen. Alat tiup yang digunakan adalah alat tiup logam dengan corong (bell) menghadap ke depan (Kirnadi, 2004). Ini bertujuan untuk memaksimalkan efek suara secara harmonis. Penggunaan alat perkusi juga diminimalisasi namun tetap sebagai pengatur tempo dan ritme, agar musik yang dikeluarkan tidak tertutup dengan perkusinya.
6
Tema musik yang dipilih selama tahun 1970-1990an, drum corps banyak menampilkan pertunjukan yang lebih artistic, dengan bentuk konfigurasi yang abstrak namun mendukung lagu tersebut. Pemilihan paket dan tema khusus seperti klasik, jazz, rock, musk broadway juga banyak dipakai di band ini.
Sumber: www.trendmarching.or.id
Di Indonesia, sesuai dengan penjelasan diatas, diperkenalkan oleh salah satu peserta Grand Prix Marching Band pada tahun 1990an. Tema dan paket penampilan juga bervariasi, sesuai dengan kreatifitas unit tersebut. Hingga saat ini, unit-unit yang mengikuti kejuaraan ini banyak yang mengadopsi Corps-Style.
MARCHING BAND SEBAGAI ILMU MANAJEMEN PRAKTIS Seperti halnya membuat suatu perusahaan, membuat dan membangun organisasi marching band tidaklah mudah. Banyak hal-hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan serta komitmen dari para pelaku marching band.
Kesempurnaan
organisasi ini dapat dilihat melalui tata administrasi yang rapid an penempatan orang yang tepat di tugasnya masing-masing (Banoe, 1996). Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui komponen pendukung yang harus ada dalam sebuat organisasi marching band, antara lain: 1. Komponen internal Adalah komponen inti dari organisasi ini, terdiri dari unsur pokok antara lain: a. Badan Pelindung
7
Komponen ini merupakan pencetus dan pemrakarsa berdirinya organisasi marching band. Dilatarbelakangi oleh pembinaan generasi muda, ekstrakurikuler, sampai pengaplikasian Corporate Social Responsibility (CSR) suatu perusahaan, komponen ini memegang peranan penting dalam hidup matinya marching band. Dalam komponen ini terdiri dari orangorang yang bertanggung jawab secara tidak langsung terhadap segala aktivitas marching band, seperti Direktur utama, Kepala sekolah, Rektor Universitas. b. Badan manajemen Badan ini merupakan ‘manager’ dari sebuah institusi. Tugasnya adalah mengatur dan memonitor jalannya organisasi marching band. Pihak-pihak yang ada didalamnya antara lain: Ketua marching band, Guru musik sekolah, Kepala bidang humas, Pelatih, dll. c. Anggota band Komponen ini merupakan komponen terpenting dan menjadi obyek dari kegiatan marching band. Tidak ada anggota, maka tidak ada unit. Banyak sedikitnya unit tergantung pada jumlah siswa atau peminat yang ada di sekitar kegiatan, serta kepintaran sang badan pengurus untuk merekrut mereka secara tepat. d. Badan pencari dana (Booster) Tidak banyak organisasi marching band yang mempunyai badan pencari dana. Namun ada baiknya melihat sisi ini sebagai suatu badan tersendiri, diluar kepengurusan, namun mempunyai entitas dan sub-organisasi tersendiri. Unit-unit sekolah seperti Korps Putri Tarakanita dan Santa Ursula Marching Brass memiliki badan ini yang diekuivalensikan dengan Pota (Persatuan Orang Tua Anak) atau Booster Club. Badan ini bertugas mencari dana ke pihak luar dalam rangka mendukung kelancaran aktivitas ini. Sebagai organisasi non-profit, ada kalanya badan ini mutlak diperlukan.
8
2. Komponen eksternal Adalah komponen penunjang kegiatan marching band, berada di luar internal unit, antara lain: a. Sponsor/institusi pendukung Komponen ini merupakan komponen eksternal bersifat financial, membantu aktivitas marching band tertentu dengan memberikan dana financial maupun non-financial kepada unit tersebut. Tidak jarang unitunit mengenakan logo suatu perusahaan tertentu pemberi dana, sebagai bentuk kontra-prestasi atas sumbangan yang diberikan. b. Acara khusus (Special Occasion Event), seperti Kejuaraan, Parade Terkadang unit marching band diminta untuk tampil dalam suatu acara peresmian produk tertentu. Atau unit tersebut mempersiapkan diri dalam suatu kejuaraan, maka seyogyanya marching band ini dapat berlatih agar tampil dengan prima. c. Badan hukum Komponen ini merupakan komponen eksternal yang bertanggung jawab secara hukum atas organisasi marching band. Walau tidak mengurusi secara langsung, namun secara kolektif termasuk membawahi organisasi ini.
Termasuk
dalam
komponen
ini
adalah
perusahaan/institusi,
universitas, sekolah tempat marching band itu berada. d. Lingkungan Umum Komponen ini secara tidak langsung terlibat dalam kegiatan marching band, namun mampu menelaah dan memperhatikan kondisi kegiatan ini. Sebagai contoh, penonton kejuaraan marching band, juri, alumni pemain, dan masyarakat yang berada disekitar kegiatan itu.
Dari beberapa komponen diatas, maka penulis mencoba menciptakan suatu sistem yang terintegrasi. Dengan memakai teori pendekatan sistem (System Approach Theory), yaitu teori dengan melihat organisasi atas dasar hubungan antar bagian didalamnya (Robbins, 1996), maka terbentuk suatu sistem kegiatan bernama ‘Sistem Organisasi Marching Band’. Berikut adalah ilustrasinya:
9
Gambar 1. Sistem Organisasi Marching Band
Badan Hukum
Pelindung
Event
Pengurus
Booster
Sponsor
Anggota
Lingkungan
Dalam gambar diatas, jelas bahwa penulis tidak memperhatikan tingkatan dan struktur organisasi hirarki di komponen internal dulu. Hal ini disebabkan penulis mencoba menjelaskan secara kompensial, bahwa keberadaan komponen ini saling mendukung satu sama yang lainnya. Lingkaran dalam merupakan bentuk organisasi marching band, dengan komponen internal wajib. Masing-masing memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Tidak adanya salah satu bagian diatas, menyebabkan organisasi ini tidak bisa berjalan, sehingga mutlak harus ada manajemen yang sistematis dan terintegrasi.
Apabila ditelaah lagi, terdapat hubungan spesifik antara komponen internal dengan eksternal. Masing-masing mempunyai keterkaitan, baik secara struktural maupun fungsional. Badan pelindung mempunyai tanggung jawab struktural dan moral kepada badan hukum, yang mana organisasi marching band ini harus melakukan kegiatan yang positif dan mendukung kegiatan secara umum di lingkungan badan hukum. Tanggung jawab perusahaan kepada lingkungannya (CSR-Corporate Social Responsibility) merupakan salah satu motivasi berdirinya marching band. Di sisi lain, Badan Pengurus mempunyai hubungan fungsional ke Event, yang mana mereka bertanggung jawab mencari penampilan, kejuaraan, parade dan kegiatan lainnya agar marching band ini
10
mempunyai tujuan. Booster sebagai pihak yang mencari dana, hubungan fungsional adalah mencari sponsor diluar badan hukum yang mau menyokong dan mendukung organisasi ini. Terakhir, anggota juga mempunyai hubungan eksternal dengan lingkungan, yang mana para pemain berasal dari lingkungan sekitar organisasi, sekolah, universitas dan tempat kerja.
Secara definitif, Robbins (1996) mengartikan manajemen sebagai sebuah proses dalam rangka menyelesaikan suatu aktifitas secara efisien dan efektif dengan melibatkan sejumlah orang yang bekerja. Sehingga dengan pengaplikasian komponen internal diatas, maka perlu adanya suatu sistematika kepemimpinan dan manajemen secara professional di organisasi marching band. Secara hirarki, dapat di gambar sebagai berikut: Gambar 2. Struktur Organisasi Marching Band
Pelindung
Manajemen
Booster
Anggota
Dari gambar diatas, dapat disimpulkan bahwa hirarki paling utama dan terpenting dalam ilmu manajemen adalah Badan Manajemen. Komponen ini berfungsi sebagai ‘nahkoda’ atas sukses tidaknya program kerja marching band, serta memonitor kegiatan marching band ini secara langsung. Sebagai manajer, Badan Manajemen juga harus mampu mentransformasikan keinginan atau visi Badan/Yayasan pelindung, kedalam tujuan aplikatif di kegiatan marching band ini. Booster yang mempunyai hubungan nonstruktural (diberi tanda panah putus-putus) juga mempunyai peran linear dalam pendukung dana. Mengacu pada pedoman Univeristy Interscholastic League (2007),
11
tugas Booster adalah mengadakan program penggalangan dana bagi organisasi. Mereka mempunyai badan tersendiri, terpisah dari manajemen, dan mempunyai laporan keuangan penggalangan dana. Biasanya beranggotakan orang tua murid, pemerhati marching band, guru-guru non-musik, dll. Berikut adalah skema penginterpretasian dan pendelegasian sebuah organisasi marching band:
Tabel 1. Skema pembagian tugas kerja dalam marching band No 1
2
3
Komponen Pelindung
Manajemen
Booster
Tujuan struktural
Tanggung Jawab
•
Melaksanakan tanggung jawab sosial (CSR)
Perusahaan,
•
Membina generasi muda
universitas
•
Menciptakan kegiatan positif bagi lingkungan
•
Mengatur jalannya organisasi
Pelindung, Perusahaan,
•
Membuat program kerja organisasi
Sekolah, Universitas
•
Membuat sistematika organisasi
•
Membuat paket kepelatihan
•
Menggalang dana ke sponsor, mengadakan acara
Pelindung, Manajemen
penggalangan dana.
4
Anggota
•
Mengatur dan mengontrol arus keuangan organisasi
•
Berlatih dengan tekun dan disiplin
•
Menyelesaikan paket kepelatihan sesuai instruksi
Manajemen
pelatih •
Melaksanakan program kerja yang ditetapkan oleh pengurus
Raxsdale (1985) menyarankan untuk memperhatikan secara seksama mengenai tujuan organisasi ini. Seyogyanya sebuah marching band memiliki tujuan dan perencanaan berdasarkan jangka waktu, seperti: 1.
Ultimate Goals: Jangka panjang, 7-9 bulan program, berisi program penampilan, kejuaraan yang diikuti.
2.
Intermediate Goals: Jangka menengah, 6 bulanan, seperti mendesain show dan display, pertemuan dengan booster club, korenpondensi dengan orang tua.
12
sekolah,
3.
Immediate Goals: Jangka pendek, tiga bulan program, tujuan spesifik per alat, seperti seleksi lagu cadangan, konfirmasi tanggal Training Center (TC), audisi pemain, perbaikan alat.
Selayaknya sebuah manajemen perusahaan, maka organisasi marching band memerlukan komitmen dan kerja keras dari para komponen internal. Dengan mengadopsi teori manajemen, organisasi marching band harus mempunyai proses PODC, yaitu Perencanaan (Planning), Pengorganisasian (Organizing), Pengaturan (Directing), dan Pengontrolan (Controlling) (Griffin, 1996). Skema dibawah adalah ilustrasi penerapan sederhana dari proses tersebut di kegiatan marching band: Tabel 2. Penerapan proses PODC dalam marching band No
Aktifitas
Komponen
1
Planning
Pelindung
•
Membuat program CSR
Manajemen
•
Membuat program kerja tahunan
•
Menciptakan tujuan jangka panjang dan pendek.
•
Membuat kepengurusan internal
Booster
2
Organizing
•
Membuat program kerja sponsor dan finansial
Anggota
•
Membuat program kerja harian
Pelindung
•
Membuat badan manajemen secara hukum
Manajemen
•
Membuat struktur organisasi manajemen
•
Membuat struktur kepelatihan
•
Membuat struktur organisasi Booster
•
Membuat laporan keuangan tahunan dana
Booster
Anggota
3
Directing
Kegiatan
Pelindung
•
Membuat kepengurusan anggota, komandan, kepala per alat.
•
Berlatih dengan tekun dan rajin
•
Memberi
pengarahan
kepada
manajemen
tentang
kinerja
manajemen • Manajemen
Pengaplikasian tujuan jangka panjang dan pendek
•
Mengarahkan anggota untuk berjalan sesuai dengan program kerja
•
Melatih lagu dengan kepelatihan yang efektif
Booster
•
Mengatur menjalankan organisasi booster dengan baik
Anggota
•
Komandan dan kepala alat mengatur anak buahnya agar program latihan efektif
4
Controlling
Pelindung Manajemen
•
Memonitor kinerja organisasi dan pencapaian target
•
Memonitor kinerja anggota band
•
Mengevaluasi lagu dan display
Booster
•
Mengontrol jalannya arus kas dan pengelolaan keuangan
Anggota
•
Mengevaluasi permainan dan penampilan band
13
MARCHING BAND SEBAGAI ILMU PSIKOLOGI PRAKTIS Organisasi Marching Band juga berdampak pada psikologi seseorang, terutama para anggota atau pemainnya. Banyaknya jumlah pemain yang terlibat mengakibatkan timbulnya hubungan secara interpersonal, baik secara kolektif maupun individual. Halhal seperti ini terkadang menjadi batu sandungan, bahkan hambatan dalam tercapainya tujuan dan kepelatihan di organisasi marching band. Oleh sebab itu ada baiknya juga mengulas mengapa marching band juga merupakan sarana pengaplikasian ilmu psikologi.
Menyambung dari penjelasan ilmu manajemen, sebuah organisasi yang sudah mempunyai perencanaan secara global, perlu menerjemahkan diri ke dalam tujuan struktural dan tujuan aplikatif dalam praktek kegiatan kepelatihan. Oleh karena itu, ‘sang manajer’, yaitu pengurus dan pelatih harus mampu mendelegasikan tujuan secara sistematis dan terencana. Menurunkan tujuan ini tidaklah mudah, mengingat transformasi tersebut melibatkan puluhan orang sebagai pemain yang akan bermain di unit ini. Banyaknya interpretasi dan konflik yang timbul selama proses ini mengakibatkan tertundanya program kerja kepelatihan.
Salah satu penerapan dalam psikologi adalah teori motivasi. Robbins (1996) memakai teori motivasi dalam pengaplikasian di perusahaan. Secara definisi, motivasi adalah keinginan mewujudkan tujuan perusahaan, dengan memperhatikan kebutuhan individu yang telah terpenuhi (Robbins, 1996). Pengertian lain menyebutkan bahwa sebuah kebutuhan mendorong perbuatan ke arah suatu tujuan tertentu (PPM, 1992). Secara garis besar, tujuan perusahaan atau organisasi akan tercapai, apabila kebutuhan personal seseorang terpenuhi dengan baik. Dalam marching band, seorang pemain merasa dapat bermain dengan penuh semangat, sesuai dengan apa yang diinstruksikan pengurus dan pelatih, apabila pemain itu telah terpenuhi apa yang ia inginkan (dalam latihan tersebut).
Tunjungsari (2007) dalam kuliah umumnya di MEC menjelaskan bahwa setiap individu mempunyai motivasi secara internal dan eksternal. Internal berasal dari diri individu, seperti bawaan sejak lahir, faktor genetik manusia, sedangkan eksternal berasal
14
dari luar individu, seperti pergaulan lingkungan, sekolah, teman-teman, dsb. Sebagai pengurus dan pelatih marching band, hendaknya kita harus berusaha agar faktor eksternal dapat mempengaruhi faktor internal agar terjadi kesamaan pandangan di setiap pemain dalam mentransformasi tujuan organisasi ini.
Salah satu teori motivasi yang aplikatif digunakan dalam tulisan ini adalah penerapan teori “Maslow’s Hierarchy of Needs”. Abraham Maslow memperkenalkan teori ini dengan anggapan bahwa setiap manusia mempunyai kebutuhan sesuai dengan tingkatan dasar ke tinggi, sebagai berikut (Robbins, 1996): a. Kebutuhan Psikologis (Makanan, minuman, bernafas, sex) b. Kebutuhan Keamanan (keamanan fisik dan emosi) c. Kebutuhan Sosial (berafiliasi, sayang menyayangi) d. Kebutuhan Ego, Prestise (Penghargaan, Kehormatan, Pengakuan) e. Kebutuhan realisasi diri (Pengembangan diri, pencapaian cita-cita)
Realisasi Diri Ego
Sosial Keamanan
Psikologis
Gambar 3. Mashlow Hierarchy of Needs (Robbins, 1996)
Dalam penerapan di organisasi marching band, teori Mashlow dapat diaplikasikan berdasarkan kebutuhan pengurus, pelatih, dan pemain itu sendiri. Berikut tabel contoh kebutuhan individu di marching band:
15
Tabel 3. Teori Mashlow dalam marching band. No
Kebutuhan
Penerapan di marching band
1
Psikologis
Cukupkah makanan dan istirahat yang diberikan selama latihan?
2
Keamanan
Bagaimana keadaan latihan di lapangan? Apakah terlalu panas, terlalu lama, terlalu capai, terlalu ketat?
3
Sosial
Bagaimana pergaulan dengan rekan, pengurus dan Pembina? Apakah Pembina suka mendatangi latihan untuk menyemangati pemain?
4
Ego
Bagaimana penerapan hukuman dan penghargaan yang diberikan kepada pemain? Apakah ada penghargaan atas usaha dan kerja keras selama latihan?
5
Realisasi Diri
Apakah setiap pemain mendapat kesempatan untuk menimba ilmu musik? Apakah pelatih mempercayakan pemain untuk menangani lagu yang sulit, sehingga timbul tantangan baru?
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi kebutuhan yang didapat, semakin tercapai tujuan yang diinginkan organisasi. Tentu saja pencapaian kebutuhan ke arah lebih tinggi membutuhkan proses adaptasi dan manajemen yang terarah, sehingga disetiap kebutuhan, pemain dapat merasa yakin akan tercapainya tujuan yang ditetapkan.
MARCHING BAND SEBAGAI ILMU MUSIK PRAKTIS Ilmu aplikatif yang terakhir dan juga tidak kalah penting adalah pengaplikasian pendidikan musik dalam organisasi marching band. Pendidikan musik merupakan salah satu ilmu pengetahuan terapan yang telah berkembang sejak lama, bahkan dijadikan ilmu pengetahuan khusus, diantara ilmu linguistik, matematik, ilmu alam, sosial dan teknologi (Rowley, 1999). Di negara maju seperti Amerika, Eropa dan Jepang, ilmu musik telah berkembang dengan pesat, dan telah melahirkan komposer-komposer terkenal. Sekolah konservatori musik juga banyak melahirkan musisi dan dirigen terkenal, sehingga pantaskan negara-negara ini merupakan panutan bagi dunia musik pada umumnya.
Secara umur, pendidikan musik dapat dimulai sejak dini. Ini dibuktikan dari banyak penelitian dari luar dan dalam negeri, yang menyebutkan bahwa anak usia 3 tahun mampu menirukan sebuah lagu dan ritme. Sejak awal usia, anak-anak akan mampu
16
mendapatkan latihan bermain, pendengaran, baca musik, vokal, ritmik, tulis musik, ansambel, komposisi, harmoni dan pengetahuan umum musik (Banoe, 2007).
Organisasi marching band merupakan sebuah kumpulan orang-orang yang bermain musik. Sesuai dengan pengertiannya, ini merupakan sebuah ansambel, yang mana kumpulan ini bermain bersama-sama dan patuh mengikuti pemimpin dalam satu keseragaman ide (Banoe, 2007). Pengertian ini menunjukkan banyak sekali aspek yang harus diperhatikan dalam bermain musik ansambel.
Mengacu pada ilmu manajemen diatas, suatu ansambel terbentuk selayaknya sebuah perusahaan. Ada seorang manajer dan karyawan, dalam hal ini seorang pemimpin lagu (dirigen, field commander) dengan pemainnya. Pemimpin lagu hendaknya mempunyai jiwa kepemimpinan disamping literatur musik yang memadai. Rapi tidaknya sebuah musik tergantung dari kelihaian pemimpin lagu dalam mengarahnya pemainnya. Para pemain juga merupakan komponen penting dalam ansambel, dimana mereka wajib patuh pada pemimpin lagu, bermain lagu sesuai dengan partitur yang diberikan, dan berusaha agar lagu tersebut dimainkan secara kolektif dan koordinatif.
Ada banyak ilmu musik berkenaan dengan ansambel yang seharusnya sudah diberikan sejak bangku sekolah. Salah satunya pemikiran praktis berasal dari Prof. Gary Corcoran, dimana ia membuat metode “Linear Balance” (Keseimbangan Linier). Terminologi keseimbangan musik dalam ansambel terkadang menjadi rancu bagi pemimpin lagu dan pemain, dimana masing-masing mempunyai interpretasi dan konsep yang berbeda-beda (Whaley, 2005). Secara harafiah, Balance berarti bercampur dan membuat satu suara secara harmonis. Pemain yang memainkan akord dalam lagu itu ditekankan untuk bermain secara seimbang untuk mengahasilkan efek musik yang harmonis.
Bagi pemain muda seperti halnya pemain marching band, menginterpretasi kata ‘seimbang’, belum tentu sama dengan yang diinginkan pelatih. Bisa saja suara terompet dia seimbang dengan rekan terompet lainnya, dimana suaranya tidak menonjol. Namun
17
pemain ini lupa bahwa suara kolektif terompet dia tidaklah seimbang dengan suara alat musik lainnya, seperti trombone, mellophone dan perkusi. Sehingga yang terjadi adalah dominannya suara terompet diantara suara lainnya. Prof. Corcoran menyarankan agar setiap seksi alat mempelajari partitur sesuai dengan tanda bacanya dan mencoba bermain secara “unison” dan seimbang (Whaley, 2005). Tidak ada dominasi suara antar seksi alat, dan saling mendengarkan intensitas, sonoritas suara sendiri dengan suara alat lainnya. Sehingga terbentuk keseimbangan linier dalam ansambel. Peran pemimpin lagu sangat berpengaruh terhadap keseimbangan ini, dan peran pemain untuk mematuhi pemimpin lagu juga sangat penting
Seorang pemimpin lagu hendaknya mengerti definisi keseimbangan per alat secara velositas suara, volume dan dinamik, serta interpretasi lagu. Namun seorang pemain juga harus mengerti apa yang tertulis partitur mereka, dan juga apa yang mereka dengar diantara ansambel tersebut. Pengertian mengenai Melodic Material (melodi utama), Counter Melodic material (melodi kontrapung), Sustained Harmonic Material (not pengiring) dan Rythmic Harmonic Material (melodi ritmis, latar belakang) harus dipahami oleh setiap pemain (Whaley, 2005).
Permasalahan yang terjadi di organisasi marching band ini adalah minimnya pengurus dan terutama pelatih yang mempunyai latar belakang pendidikan musik aplikatif. Kebanyakan dari mereka adalah berdasarkan pengalaman bermain di unit sebelumnya dan sistem senioritas merupakan sistem yang dipakai dalam kepelatihan di marching band. Mereka yang sudah bermain lama di sebuah unit akan bertindak sebagai pelatih untuk mengajarkan apa yang ia kuasai kepada murid-muridnya. Sehingga bisa disimpulkan, ilmu yang berlangsung turun-temurun akan menjadi ‘lingkaran-setan’ yang tidak pernah hilang, mengingat terbatasnya ilmu yang mereka miliki ini. Salah satu contoh adalah ketidakmampuan pemain membaca not balok dengan sistematis dan cepat. Tak banyak sekolah musik formal di Indonesia juga menyebabkan terbatasnya terapan musik di lingkungan marching band.
18
Salah satu solusi atas permasalahan ini adalah diperkenalkannya ilmu musik praktis dan aplikatif terhadap organisasi marching band. Metode menghafal dan mendikte merupakan metode efektif yang telah diterapkan lama oleh Kirnadi. Dengan cara membacakan not dan ritmenya kepada pemain, mereka diharuskan untuk menghafal not tersebut dengan cepat. Metode ini kerap dipakai oleh Kirnadi kepada unit didiknya agar mampu mencapai target lagu dengan cepat dan efektif. Namun metode ini mempunyai kelemahan, yaitu pemain tidak dibiasakan untuk membaca not balok, sehingga mempunyai kesulitan apabila harus membaca sendiri partitur per alatnya.
Dr. Pono Banoe (2006) dalam disertasi doktoralnya, menciptakan tehnik bacaan pola ritme dengan nama metode “Tikitiki”. Anak usia 4 – 6 tahun mampu berlatih ritmitik dengan menggunakan metode ini dengan sempurna. Penulisan tanda baca musik juga diinterpretasikan sesuai dengan kelompok usia ini, dengan menggunakan perumpamaan (lihat tabel). Demikian praktisnya menyebabkan teori musik ini menjadi sangat menarik dan tidak membosankan.
Gambar 4. Metode ‘Tikitiki’ oleh Dr. Pono Banoe
19
KESIMPULAN Banyak hal-hal yang menarik untuk dikumpas dan ditelaah dari penulisan ini. Penulis menyadari bahwa mengelola sebuah organisasi marching band tidaklah mudah. Pengumpulan, perngorganisasian, pemrograman latihan dan penyelesaian konflik di dalam organisasi ini membutuhkan ilmu pengetahuan dan kemampuan manajemen yang praktis dan komprehensif. Berikut adalah beberapa kesimpulan yang dapat diambil: 1. Dalam membuat sebuah marching band, sebuah badan hukum, universitas atau sekolah hendaknya mengetahui apa tujuan dasar dari pembentukan organisasi ini. Apakah hanya sekedar memenuhi program CSR tanpa mengindahkan konsistensi pengelolaan organisasi, atau hanya mengedepankan prestise sekolah tanpa memperhatikan intensitas latihan bagi pemain? Atau hanya ingin mengejar sebuah kejuaraan bergengsi? Semua pertimbangan ini hendaknya diperhitungkan dari segi manajemen, psikologi latihan dan pengetahuan musik yang ada. Sebuah organisasi marching band yang solid adalah organisasi yang memperhatikan struktur dan hirarki secara konsisten, pendelegasian tugas dengan tepat, pengarahan anggota dengan tegas, dan pengontrolan kinerja yang sistematis. Ada baiknya organisasi marching band meniru gaya manajemen perusahaan, sehingga dapat dilakukan secara professional. 2. Mengelola sebuah organisasi besar berarti mengelola orang banyak. Banyaknya pemain juga berakibat banyaknya pikiran dan perasaan. Manajemen seyogyanya memperhatikan keadaan pemain secara psikis, pergaulan, kondisi mental dan kebutuhannya. Sebagai seorang manusia, sudah pasti membutuhkan apa yang seharusnya diperlukan. Semakin tinggi tuntutan manajemen akan kepelatihan, semangat banyak yang dibutuhkan para pemain. Sukses tidaknya program latihan, selain dari kerja sama manajemen dan pemain, juga dari pencapaian kebutuhan dan kepuasan pemain dalam bermain. 3. Sekali lagi, marching band adalah sekumpulan orang bermain musik. Komponen terakhir dan terpenting adalah bagaimana sebuah marching band dapat bermain musik dengan baik. Bagus tidaknya sebuah musik bergantung pada materi musik yang diberikan pelatih kepada pemain. Pelatih musik dan pemain setiap saat harus dibekali dengan ilmu pengetahuan musik yang memadai, sehingga interpretasi
20
lagu dan permainan dapat dilakukan dengan optimal. Terbatasnya ilmu musik di masing-masing
pihak
berakibat
dangkalnya
permainan
musik,
kurang
berkembangnya variasi dalam musik, dan terbatasnya kapabilitas bermain musik. Program yang terencana dengan rapih dan penerapan latihan dengan disiplin akan sangat mempengaruhi sebuah marching band yang sempurna. Sehingga mutlak bagi sebuah marching band untuk selalu bermain secara musikal, selayaknya sebuah pertunjukan orkestra di panggung.
REKOMENDASI Terbatasnya referensi tentang marching band di dalam negeri membuat tulisan ini jauh dari sempurna. Penulis menyadari bahwa karya tulis ini membutuhkan saran dan kritik membangun dari pembaca, demi semakin sempurnanya penulisan ini. Namun di atas itu, dengan bekal ilmu yang ada, penulis sangat antusias untuk mengembangkan dan meneliti dunia marching band di Indonesia ke dalam suatu penulisan akademik.
Hal-hal yang sekiranya dapat dikembangkan dalam karya tulis ini, sebagai rekomendasi untuk pembaca ke depan adalah: 1. Kepemimpinan sebuah organisasi marching band membutuhkan suatu manajemen yang profesional. Bagaimana struktur organisasi marching band yang ideal, sesuai dengan lingkungan, tanggung jawab dan sistem kepelatihan? 2. Perlukah sebuah Booster Club di semua organisasi marching band? Bagaimana pelimpahan tanggung jawab dan kinerja dengan pengurus? 3. Bagaimana membuat suatu metode yang efektif agar dapat memotivasi pemain dalam latihan, terutama menjelang sebuah pertandingan besar? 4. Kendala apa yang dihadapi sebuah marching band dalam memperoleh pengetahuan musik yang tepat guna dan metode pelatihan musik apa yang dapat diterapkan pada setiap latihan?
Kesemuanya ini akan menjadi sebuah tulisan ilmiah yang menarik, sesuai dengan bidang studi yang terkait.
21
BIBLIOGRAFI Akademi Militer Magelang, http://www.akmil.ac.id/korps.php Banoe, Pono., Marching Band Indonesia, Modul Perkuliahan, MEC Suling Bambu, Jakarta, 1996 Banoe, Pono., Kamus Musik, Kanisius, Jogjakarta, 2003 Banoe, Pono., Pengetahuan Dasar Keguruan, Modul Perkuliahan, MEC Suling Bambu, Jakarta, 2006 Banoe, Pono., Metode Pengajaran Musik Praktis, Modul Seminar, MEC Suling Bambu, Jakarta, 2007 Griffin, Ricky W & Ronald J. Ebert., Business, Prentice Hall International, 4th ed, USA, 1996 Institut Pendidikan dan Pengembangan Manajemen, Pendidikan dan Latihan Manajemen, Modul Seminar, PT. Pupuk Kaltim, Bontang, 1992 Kirnadi, Pengetahuan Dasar Marching Band, PT. Citra Intirama, cet ke-1, Jakarta, 2004 Marshall, Kimberly J,. Recent Marching Band Recordings, Journal of American Folklore (p. 230-242), University of Illinois, 2007 Raxsdale, Bill, The Marching Band Director: A Master Planning Guide, Hal Leonard Corporation, USA, 1985 Robbins, Stephen P. & Mary Coulter., Management, Prentice Hall International, 5th ed, USA, 1996 Rowley, Gill., The Book of Music, Chancellor Press, London 1999 Tunjungsari, Harini., Psikologi Pendidikan, Modul Perkuliahan, MEC Suling Bambu, Jakarta, 2007 University Interscholastic League, www.uil.utexas.edu/policy/booster_clubs.html Trendmarching, [internet], www.trendmarching.or.id Whaley, Garwood., The Music Director’s Cookbook: Creative Recipes for a Successful Program, Meredith Music Publication, 1st ed, USA, 2005 Wikipedia, www.wikipedia.com World Association Marching Show Band, www.wamsb.org
22