Bab 1
BERMUKIM
M
anusia adalah mahluk bermukim. Artinya, kita semua bermukim. Namun, karena bermukim sedemikian mendasarnya, sehingga kita tidak begitu menyadarinya lagi, seperti halnya dalam bernafas. Semua seakan-akan terjadi secara alamiah. Kita semua lahir di tengah-tengah kehidupan bermukim orang tua kita. Kita langsung terlibat di dalamnya, sehingga segalanya terasa biasa. Jadi, seumur hidup kita sebenarnya berada dalam bermukim. Bermukim adalah bagian budaya, yakni sesuatu yang merupakan hasil budi-daya manusia, yang berproses sepanjang masa. Seperti halnya dalam melakukan pekerjaan lain, kita perlu mempelajari seluk-beluk bermukim. Kegiatan bermukim yang baik, akan memberi kenyamanan hidup bersama. Jika itu berhasil, diharap akan turut menjaga kelangsungannya sampai kepada anak-cucu kita di masa mendatang. Dalam bermukim, kita tidak pernah sendirian. Kita selalu bersamasama dengan beberapa atau bahkan banyak orang lain. Tiap-tiap orang mempunyai kepentingan dan kemauan yang belum tentu sama. Jika tidak ada sistem yang mengaturnya, mungkin saja perbedaan itu bisa menyebabkan pertikaian. Karena itu, dalam hidup bersama perlu ada seperangkat aturan yang disepakati dan dipatuhi bersama. Namun demikian, perlu kita ingat bahwa walaupun ada aturan yang disepakati bersama itu, tidak berarti seragam. Manusia, kodratnya memang berbeda-beda. Karena itu, selalu ada hak-hak perorangan yang membolehkannya untuk berbeda dengan yang lain. Setelah sekian lama berjalan, aturan itu akan merupakan suatu kebiasaan yang menggumpal menjadi adat, atau bahkan sampai dirumuskan menjadi hukum. Jadi, adat itu adalah suatu perangkat yang mengatur perbedaan-perbedaan untuk tidak saling mengganggu. Adat juga mengatur bagaimana kewajiban
— PEMUKIMAN
setiap warga (yang berbeda-beda) untuk mengikutinya, demi kepentingan bersama. Jadi, dalam suatu aturan sosial atau adat, terdapat tata hubungan antar individu, dan juga antara individu dengan kesatuan sosial. Dengan itu, akan terdapat cara atau hukum untuk menyelesaikan silang selisih secara adil. Tata-cara dalam menyikapi lingkungan tidak kalah pentingnya dibanding dengan kegiatan lain. Jika manusia lalai atau terlalu rakus dalam menggunakan lingkungan sehingga melampaui ambang batas, akan menyebabkan kerusakan alam, dan jika ini terjadi bencana pun akan datang sembarang saat. Penggundulan hutan bisa menyebabkan banjir, tanah longsor, dan kekeringan di musim kemarau. Pembuangan sampah sembarangan akan menyebabkan penyumbatan saluran pembuangan air, bau busuk, mendatangkan penyakit, keracunan, dan sebagainya. Ujungujungnya, bermukim menjadi tidak nyaman, gangguan pun banyak terjadi. Kearifan dalam bermukim akan mendukung pemeliharaan lingkungan hidup. Kenyamanan bermukim itu bukan hanya perlu untuk generasi kita sekarang, melainkan juga untuk generasi berikutnya, agar anak-cucu pun dapat terus hidup dengan baik. 1.1 Pengertian Ada dua kata yang sering dipakai yang berhubungan dengan dasar kata “mukim” ini, yang pengertiannya sama atau sedikit berbeda, yaitu: permukiman dan pemukiman. Penggunaan kata-kata itu dapat kita jumpai dalam percaturan sehari-hari, lisan maupun tertulis, untuk nama lembaga atau departemen, dan dalam buku undang-undang. Beberapa contohnya, yang diambil berbagai tulisan, seperti di bawah ini: “Wali Kota mengultimatum para pemilik penampungan ayam yang ada di kawasan permukiman untuk segera pindah.” “Kawanan gajah masih berkeliaran di sekitar permukiman warga.” “Undang–undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman.” “INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG PEREMAJAAN PEMUKIMAN KUMUH YANG BERADA DI ATAS TANAH NEGARA.”
BERMUKIM —
“Rumah dan fasilitas pemukiman yang memadai merupakan kebutuhan pokok yang sangat penting bagi manusia dalam melangsungkan kehidupannya sebagai manusia.”
Sebelum kita membuat batasan dari kata yang akan kita pakai, mari kita lihat dulu asal-usul katanya.
1.1.1 Arti Kata Kata ‘mukim’ berasal dari bahasa Arab. Kata dasarnya: iqaama (iqoomah), yang berarti “tempat (menempatkan),” “bangun (membangun), ”berdiri (mendirikan).” Makam (maqam) juga berasal dari kata dasar yang sama. Muqiim adalah orang yang melakukannya. Kemudian kata itu diserap oleh Bahasa Melayu yang setelah dipakai sekian lama, sampai beberapa ratus tahun, di Indonesia dan Malaysia maknanya mengalami sedikit perubahan. Menurut bahasa Arab, sesungguhnya untuk “tempat orang yang berdiam” lebih tepat dipakai kata “makam.” Tapi, dalam bahasa Melayu dan Indonesia kata “makam” sudah umum dipakai untuk “kuburan.” Sedangkan untuk tempat orang bermukim dipakai kata pemukiman. Dengan demikian, kata ‘bermukim’ sekarang diartikan terhadap penduduk yang “tinggal menetap,” atau orang yang “tinggal di suatu tempat.” Sedangkan pemukiman berarti wilayah atau kawasan yang digunakan untuk tinggal menetap oleh sekelompok orang. Untuk kata kerjanya, yaitu “bermukim,” tidak membingungkan, yaitu suatu tindakan melakukan kegiatan “mukim,” tinggal menetap di suatu tempat. Yang dimaksud dengan “menetap,” adalah niat dari orang bersangkutan untuk tinggal dalam masa yang cukup panjang—bukan untuk sementara seperti halnya orang bertamu—bahkan umumnya untuk tinggal seumur hidup. Akan tetapi, untuk kata benda “permukiman” dan “pemukiman” mengandung dua arti yang agak berbeda, karena itu kita perlu memperjelas lagi batasannya.
1.1.2 Batasan Ada dua arti dari kata “permukiman” maupun “pemukiman” dalam contoh-contoh kalimat di atas. Pertama, yang menyatakan sepetak lahan yang digunakan untuk bermukim sekelompok orang, yakni yang kasat mata. Kedua, yang bermakna sebagai masalah ataupun persoalan dalam kegiatan bermukim, yakni bukan sesuatu yang kasat mata.
— PEMUKIMAN
Untuk menghindari kekaburan, kita akan bedakan penggunaan kedua kata ini: yaitu “pemukiman” untuk yang didiami (tempat atau ruangnya) dan “permukiman” untuk pemasalahannya. Dengan itu, maka untuk mengadakan studi atau pengkajian, kata “pemukiman” yang dipakai, bukan “permukiman.” Atas dasar itu pula kata “pemukiman” diambil untuk judul buku ini. Karena itu, maka bahasan buku ini pun akan cukup luas. Namun demikian, tidaklah mungkin kita membicarakan seluruh permasalahan pemukiman. Kita akan batasi juga hanya pada hal-hal yang paling mendasar, sesuai dengan fasilitas waktu yang kita miliki. Karena buku ini diarahkan untuk pelajaran Seni Budaya, fokus ke arah itu akan lebih kuat ketimbang pada persoalan teknis. Dalam bab-bab berikut, akan dibahas unsur demi unsur.
1.1.3 Kegiatan Bermukim • Rumah dan Keluarga Kegiatan yang paling utama (primer, pertama-tama) dalam bermukim adalah membina rumah, yaitu tempat tinggal bagi dirinya atau bersama keluarganya. Rumah adalah satuan terkecil dari suatu pemukiman. Rumah juga adalah lingkungan atau wilayah terdekat dari diri atau keluarganya. Di dalam rumah, seseorang menjadi dirinya yang utuh. Di dalam rumahlah ia memiliki kebebasan untuk menyatakan atau mengungkapkan keberadaannya, yang mungkin sulit terwujud ketika ia berada di luar rumah. Karena itu, rumah bisa dibilang “dunia pribadi” (privasi) keluarga. Jika ada orang luar yang masuk atau menginap di suatu rumah, ia (atau mereka) adalah tamu yang bukan anggota keluarga batih (inti). Kegiatan yang paling pokok di dalam rumah, antara lain adalah tidur dan istirahat, makan-minum, bercengkerama, dan sebagainya, untuk keluarga batih. Umumnya rumah, bukan untuk bekerja. Kegiatan orang selain tidur, juga lebih banyak berada di luar rumah. Namun, lepas dari itu di rumah terdapat suatu sistem pembagian ruang dan waktu, meskipun dia tinggal sendirian. Kita ambil misal dalam suatu keluarga batih itu terdiri dari suami, istri, anak remaja (laki-laki, 13 tahun), dan anak kecil (perempuan, 8 tahun). Untuk keempat orang tersebut, di dalam rumah akan terdapat semacam pembagian, baik terhadap ruang maupun waktu, baik kewajiban (untuk bekerja, untuk “melayani” yang lain) maupun haknya (untuk memiliki, untuk “dilayani” oleh yang lain). Mereka memiliki posisi masing-masing.
BERMUKIM —
Karena itu pula maka keluarga disebut lingkup sosial yang paling kecil, karena di sana telah ada pembagian posisi dan tugas masing-masing. Tidaklah mungkin untuk masing-masing kebutuhan atau kegiatan di dalam rumah disediakan ruangan sendiri-sendiri, misalnya untuk masak dan makan. Di situ harus ada pembagian terhadap mana hak-kewajiban untuk anggota, dan mana untuk bersama sebagai satu kesatuan keluarga. Suami dan istri, memiliki fungsi yang sama sebagai orang tua, tapi juga dengan pembagian yang berbeda sebagai ayah dan ibu. Kedua anak, walaupun sama-sama sebagai anak, tapi berbeda juga fungsinya: pertama sebagai abang dan adik, kedua sebagai anak besar dan kecil (atas dasar usia), dan ketiga sebagai anak laki-laki dan perempuan. Dalam kegiatan sehari-hari, hak (dan kewajiban) mengambil bahan makanan untuk dimasak, mungkin berbeda antara ayah dan ibu. Hak anak untuk tidur bersama orang tua (sekamar atau setempat-tidur), juga berbeda antara untuk si abang dan si adik. Demikian juga dalam keadaan tertentu, misalnya ketika si abang akan disunat, “status” dia akan menjadi khusus. Jadi, dalam kehidupan keluarga itu ada pengutamaan (prioritas) tertentu pada saat yang berbeda, sesuai dengan kebutuhan atau tuntutan situasi dan kondisinya.
Gbr. 1-01: Pemukiman di Bena, Flores.
— PEMUKIMAN
Gbr.1-02: Satu keluarga di sebuah perkampungan di Flores.
Sistem atau cara-cara dalam membuat aturan-aturan pembagian tersebut, tergantung juga pada budaya masing-masing kelompok masyarakatnya. Jadi, walaupun itu adalah hak keluarga dalam menentukan, ada keterbatasan tertentu yang menyesuaikan dengan kesepakatan sosial dalam suatu kelompok pemukiman. Satu keluarga tidak terlepas sepenuhnya dari keluarga-keluarga lain, seperti halnya suatu rumah tidak terlepas sama sekali dari rumah-rumah yang lain. Aturan yang berlaku sekarang, tidak benar-benar terlepas dari aturan generasi sebelumnya. Walau tidak persis sama, tapi tidak juga berbeda total. Hal ini berhubungan dengan “perubahan” yang akan dibicarakan dalam Bab 5. Di sini, cukup kita garisbawahi saja bahwa adanya sistem yang mengatur hubungan manusia baik antar pribadi, antar keluarga, maupun antar masyarakat, adalah salah satu sifat kodrati manusia, karena itu pula maka manusia disebut sebagai mahluk sosial. Manusia tidak bisa hidup sendirian, ia butuh orang lain. Ia perlu memiliki hubungan dengan orang lain—dan karena itu pula maka semua manusia memiliki bahasa untuk berkomunikasi. • Hubungan Antar-rumah Seperti telah disinggung di atas, walau suatu rumah itu pada dasarnya mandiri, namun tidak terlepas sama sekali dari rumah-rumah yang lain
BERMUKIM —
di dalam pemukiman bersangkutan. Suatu tempat atau lingkungan baru bisa disebut pemukiman, jika di sana terdapat beberapa rumah. Jika rumah merupakan lingkungan yang “mewadahi” suatu keluarga sebagai unit sosial terkecil, maka pemukiman itu pun berarti lingkungan sosial yang terdiri dari beberapa keluarga—dari mulai yang sedikit (misalnya belasan) sampai ke puluhan, ratusan, bahkah sampai jutaan keluarga seperti yang terdapat di kota-kota besar.
Gbr. 1-03: Kesenian juga merupakan satu bentuk sosialisasi dalam sebuah desa, seperti terlihat beberepa pria memainkan alat musik untuk sebuah acara adat di desa Bayan, Lombok
Gbr. 1-04: Kegiatan olah raga merupakan sosialisasi antar individu di perkampungan.
Gbr. 1-05: Kegiatan sosialisasi lain seperti para ibu di desa Sumedang, Jawa Barat yang secara bersama-sama menyiapkan makanan untuk acara kenduri di desanya.
— PEMUKIMAN
Karena itu, dalam suatu pemukiman akan terdapat suatu sistem yang mengatur “kemandirian” (privasi), dan kebersamaan (masyarakat). Ada yang menjadi tanggung jawab masing-masing keluarganya, ada juga yang menjadi tanggung jawab bersama. Seperti halnya dalam rumah, dalam suatu pemukiman pun harus memiliki kelengkapan tertentu, seperti sarana dan prasarananya, yakni perangkat-perangkat sebagai penunjang kebutuhan pokok. Misalnya saja, diperlukan adanya prasarana jaringan jalan yang menghubungkan antara satu rumah dengan yang lainnya, dan sarana keamanan untuk kebutuhan bersama. Mengenai hal ini, lebih jauh akan dibicarakan dalam Bab 3. Kegiatan manusia dalam bermukim itu pada praktiknya adalah kegiatan mengolah atau membina lingkungan alam demi kepentingan manusia yang mendiaminya. Kegiatan tersebut biasanya memakan waktu yang cukup panjang, dan bisa tumbuh terus dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. Dalam proses itu, seperti dikatakan di atas, selalu dalam keadaan berubah, baik dalam tujuannya, sikap hidupnya, maupun dalam cara memperlakukan lingkungannya. Tuntutan dan daya berubah berkembang waktu demi waktu pula, baik karena dorongan internal komunitas bersangkutan, maupun karena adanya tantangan dari luar. Ada perubahan yang lambat, dan ada juga yang sangat cepat. Selain perubahan tersebut tergantung pada masyarakatnya masingmasing, juga tergantung pada masanya. Perubahan yang terjadi selama 100 tahun pada abad ke-19, misalnya, jauh lebih kecil dibanding dengan yang terjadi selama 100 tahun dalam abad ke-20. Dengan itu maka terjadi keragaman jenis pemukiman yang luar biasa banyaknya dalam masyarakat Nusantara, dan dunia pada umumnya, baik dari tinjauan lingkup tempatnya, maupun kurun waktunya. Hal ini akan dibicarakan lagi dalam Bab 5, sekarang kita kembali kepada dua aspek utama yang menentukan dalam pembentukan pemukiman, yaitu manusia dan lingkungan alam.
1.2 Manusia Di atas telah disinggung bahwa manusia adalah salah satu mahluk hidup, yang bernafas, berkembang biak, dan bergerak atau berpindah-pindah, seperti halnya hewan. Tapi, bedanya dengan hewan, manusia adalah mahluk sosial, yang secara kodrati berkelompok, mulai dari membangun keluarga sampai kelompok masyarakat yang besar, mulai dari mengingat para leluhur pendahulu sampai memikirkan generasi turunannya. Dari satu sisi, aspek manusia merupakan yang sangat menentukan dalam menciptakan suatu lingkungan pemukiman. Manusialah yang
BERMUKIM —
membangunnya, dan mereka pula yang menggunakannya. Karena itu, manusia adalah subjeknya. Di sisi lain, manusia dahulu (terutama) bahkan sampai sekarang (sebagian) memiliki kesadaran bahwa alam merupakan kekuatan tersendiri, yang tidak bisa seluruhnya dikuasai atau dirombak untuk kepentingan manusia. Dengan kata lain, lingkungan alam pun harus dianggap subjek, bukan semata objek. Bahkan banyak kelompok masyarakat yang melihat dan percaya bahwa alam memiliki kekuatan yang lebih besar daripada manusianya sendiri. Artinya, untuk segala tindakan, manusia harus terlebih dahulu “mendengarkan suara” alam. Untuk lebih memahami hal itu, berikut kita akan melihatnya dari tiga aspek: biologis, sosial, dan spiritual. Ketiga aspek itu sangat berkaitan dengan perwujudan pemukiman Nusantara yang beraneka ragam.
1.2.1 Biologis Segala benda dalam semesta yang tiga dimensi ini berada dengan menggunakan atau mengambil tempat. Suatu tempat yang sudah diambil oleh sebongkah batu, tidak bisa ditempati oleh sebatang kayu. Kayu hanya bisa menumpang di atas batu atau berdiri di sampingnya. Suatu tempat hanya bisa di’makan’ oleh suatu benda. Benda mati, seperti sebongkah batu, cukup memakan tempat bagi keberadaannya saja yang statis. Tapi, sepokok pohon akan membutuhkan tempat yang semakin lama semakin besar, ketika ia tumbuh. Seekor binatang, butuh ruang yang lebih besar ketimbang pohon, karena memerlukan ruang untuk bergerak. Seekor harimau misalnya, perlu ruang mencari pasangan sehingga beranak-pinak, dan perlu lahan untuk mencari mangsa, dan sebagainya. Manusia menuntut ruang yang jauh lebih luas daripada harimau, karena lebih banyak lagi macam kegiatannya. Untuk memenuhi kebutuhan biologis, misalnya makan dan tidur, manusia butuh tempat yang lebih besar, dan lebih khusus. Tempat untuk tidur, untuk mandi, untuk makan, dan untuk mati pun perlu diadakan atau dibangun secara terpisah-pisah. Untuk makan, umpamannya, selain untuk duduk atau jongkok, juga perlu tempat untuk mempersiapkan atau memasak makanannya. Untuk memasak dan makan, walaupun biasanya berdekatan, tetapi tidak pada satu tempat. Dapur (tungku, perapian) membutuhkan persyaratan tempat dan peralatan yang berbeda dengan tempat untuk makan. Kebutuhan tempat untuk sendirian, berbeda ketika makan secara bersama-sama
10 — PEMUKIMAN
dalam kelompok kecil (keluarga), dan untuk makan bersama dalam suatu perayaan. Ketika kita ingin makan sendirian, duduk di sisi perapian mungkin sudah cukup. Tetapi sewaktu makan bersama-sama dengan saudara dan orang tua, kita perlu duduk berhadapan mengelilingi makanan yang disajikan, sehingga tidak mungkin lagi dilakukan di sisi dapur. Untuk makan bersama dalam suatu perayaan upacara, kebutuhan tempat untuk makan itu akan lebih besar lagi.
Gbr. 1-06: Pada saat tertentu, kenduri atau beberapa keluarga berkumpul, acara makan bisa saja membutuhkan tempat yang lebih lapang karena banyaknya jumlah orang.
Gbr. 1-07: Ketika makan dalam sebuah keluarga cukup di suatu tempat tertentu (ruang makan) karena hanya terdiri dari beberapa orang saja.
BERMUKIM — 11
Demikian pula untuk sumber makanannya. Bagi masyarakat prapertanian pun, yaitu masyarakat “pemulung” atau “pengumpul” dari sumber makanan yang sudah disediakan oleh alam, mereka memerlukan lahan untuk tumbuhnya sumber-sumber makanan yang bervariasi. Bagi masyarakat petani, mereka perlu lahan untuk bercocok tanam, peralatan untuk berkerja, tempat untuk menyimpan hasilnya, dan sebagainya. Setelah seekor harimau besar, dewasa, ia bisa jadi sama sekali melepaskan hubungan persaudaraan. Mereka tidak memelihara hubungan keluarga, dengan saudara atau orang-tuanya sekali pun, apa lagi bibipaman, dengan nenek-kakek. Mereka bisa berkelahi atau kawin dengan saudara kandungnya sendiri. Tapi tidak demikian halnya manusia. Pada waktu meninggal, misalnya, manusia butuh tempat tersendiri, walaupun pengurusannya akan dilakukan oleh orang yang masih hidup. Harimau tidak.
1.2.2 Sosial Di atas telah dibicarakan bahwa fitrah manusia adalah mahluk sosial, yaitu mahluk yang hidup dalam kelompok, untuk bersama-sama membangun kehidupan dengan sesamanya. Karena itu, seseorang membutuhkan orang lain, saling tergantung satu sama lain. Sebagian besar waktu hidupnya pun berada bersama orang lain, entah dengan keluarganya, teman-temannya, pembantunya atau siapa pun. Walau ada yang suka menyendiri, tapi itu hanya dalam waktu tertentu saja. Manusia tidak bisa melangsungkan kehidupannya tanpa ada sesamanya, dari mulai dilahirkan (melahirkan) sampai meninggal. Juga di atas telah kita bicarakan bahwa satuan terkecil dalam kelompok sosial ini adalah keluarga, yaitu suatu kelompok yang terjalin karena hubungan darah terdekat, antara orang tua dan anak. Hubungan ini yang amat mendasar karena kaitan biologis, secara emosional pun terbangun dalam jangka waktu yang sangat panjang, sehingga ikatannya sangat erat dan mendalam. Karena keluarga itu merupakan satuan sosial, di situ terdapat semacam pembagian tugas kerja, seperti yang telah dicontohkan dengan misal suatu keluarga yang memiliki dua anak. Tugas tersebut, tentu saja ditentukan oleh keluarganya sendiri, yang sesuai dengan kondisi atau kemampuan (minat-bakat) masing-masing individunya. Jika pada suatu waktu misalkan mereka akan membawa hasil panen seperti padi, ubi, atau buah-buahan dari ladang ke rumah, Si Ayah mungkin akan membawanya dengan dipikul, Si Ibu dengan di gendong, Si Anak Besar
12 — PEMUKIMAN
dengan diusung di atas kepala, dan Si Anak Kecil dengan ikatan kecil yang dipegangnya.
Gbr. 1-08: Cara membawa beban dengan dipikul yang biasa dilakukan kaum laki-laki
Gbr. 1-09: Cara membawa beban di gendong atau diusung di atas kepala biasa dilakukan oleh perempuan
BERMUKIM — 13
Demikian pula ketika di rumah, ketika mereka akan makan bersama, mereka memiliki hak dan kewajiban masing-masing, mulai dari cara mempersiapkan makanan, sampai penentuan tempat dan cara makannya. Contoh itu diandaikan dalam kondisi yang “normal.” Akan lain lagi ceriteranya jika misalnya saja kondisi fisik mereka ada yang cacat, ada yang mendadak sakit, atau jika karakter salah seorang anaknya ada yang manja, nakal, dan lain sebagainya. Namun, pada intinya adalah bahwa suatu keluarga itu dibangun oleh beberapa orang, yang sama-sama bekerja untuk membangun kehidupan keluarga tersebut sebaik mungkin. Untuk tujuan itu, maka di dalam suatu lingkungan terbentuk suatu aturan atau norma hidup, yang mengatur tata hubungan dan pembagian tugas, sesuai dengan lingkupnya masing-masing. Dalam hubungannya dengan lingkup sosial, yang berarti juga lingkup pemukiman, dalam situasi kita sekarang ini sesungguhnya ada sistem lain, yakni sistem administrasi pemerintah. Misalnya saja, lingkup terkecil dari lembaga sosial ini adalah Rukun Tetangga (RT), kemudian beberapa RT berada dalam suatu RW (Rukun Warga), beberapa RW di bawah satu desa atau kelurahan, dan seterusnya sampai kecamatan, kabupaten atau kota, provinsi, yang tingkat puncaknya dalam suatu negara adalah pemerintah pusat. Dalam sistem pembagian hirarkis (bertingkat) ini, terdapat aturanaturan yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan, yang kadangkadang sesuai, kadang-kadang tidak sesuai dengan pembagian adat. Hal ini akan dibicarakan lagi dalam Bab 2, dalam bagian Organisasi Kemasyarakatan. Di sini hanya untuk menunjukkan bahwa terdapat kerumitan tersendiri, antara aturan adat dan pemerintahan, yang tidak akan dibahas terlalu jauh dalam buku ini. Kita hanya akan menyampaikan beberapa sudut pandang p a d a t a t a r a n d a s a r, sebagai upaya dalam memahami lingkungan Gbr. 1-10: Rumah juga bisa sebagai tempat untuk bekerja, seperti menenun yang pemukiman. dilakukan dibagian bawah dari rumah panggung
14 — PEMUKIMAN
1.2.3 Spiritual Yang dimaksud dengan aspek spiritual di sini adalah yang bersifat “sukmawiah,” “gaib,” atau “supernatural,” yakni hal-hal yang tidak bisa diterangkan dengan teori atau hukum alam (fisika). Dengan kata lain, sesuatu yang bersifat spiritual itu titik tolak utamanya adalah dari keyakinan (sukmawiah), walaupun keyakinan tersebut bisa saja berkaitan dengan kenyataan duniawi yang terindra. Dalam wujud dan praktik nyata, adalah yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan-kepercayaan setempat yang beragam. Kita tidak akan membicarakan sistem-sistem kepercayaan, melainkan perlu diulas di sini karena hal ini sangat berkaitan dengan wujud atau praktik manusia bermukim. Kepercayaan manusia terhadap yang sukmawiah ini, adalah salah satu yang membedakan manusia dengan makhluk duniawi yang lain, yaitu hewan. Sejak jaman purba, manusia menyadari bahwa kenyataan (fenomena) dunia ini tidak seluruhnya bisa diterangkan atau dikendalikan olehnya. Karena itu dipercayai adanya kekuatan di luar dirinya (mikrokosmos), walaupun yang berada di luar kekuatan dunia secara keseluruhan (makrokosmos). Tata letak suatu pemukiman, struktur dan bentuk rumah, simbolsimbol dalam patung atau gambar yang terdapat sebagai “hiasan,” dan mata-angin, umpamanya, banyak yang berdasar pada kepercayaan setempat. Hal itu, bukan berarti seluruhnya tidak bisa diterangkan atas dasar fungsinya secara fisik, melainkan bahwa menurut masyarakat yang bersangkutan praktik tersebut mengikuti kepercayaan yang mereka anut. Suatu misal, rumah-rumah panggung di Nusantara ini, menurut masyarakat adatnya dipandang sebagai perlambang dari tiga dunia: dunia bawah, dunia tengah, dan dunia atas. Dunia bawah adalah kolong, yang sering dijadikan juga sebagai tempat hewan piaraan. Dunia tengah, adalah ruangan yang ditempati manusia. Dunia atas adalah bagian atap yang menaungi. Sehubungan dengan itu, dari sisi teknik pembangunannya yang tidak memakai paku melainkan dengan pasak dan ikatan, sering didasari pula oleh konsep atau filsafat adat setempat yang berkaitan dengan kepercayaannya. Kini, banyak orang yang melihatnya dari sisi manfaat atau fungsinya, yang menghasilkan logika tersendiri. Kolong dalam rumah panggung (yang ditinggikan) itu untuk menghindari ancaman binatang berbahaya, dan juga kelembaban yang meresap naik dari bumi—apa lagi untuk rumah-rumah di daerah pantai, di rawa-rawa, atau bahkan di atas air laut. Dengan itu, maka dari sisi fungsinya, rumah itu dianggap lebih baik,
BERMUKIM — 15
b
c
a
d
Gbr. 1-11a,b,c,d: Ornamen pada setiap rumah yang berbeda beda di beberapa wilayah yang mempunyai arti tersendiri berdasarkan kepercayaan mereka. (a) Pintu sebuah gereja di Nias, (b) hiasan rumah Toraja, (c) hiasan pintu rumah di Lombok, (d) Hiasan rumah di Aceh.
karena lebih aman atau lebih sehat. Atap rumah-rumah tradisional banyak yang dibangun sangat tinggi, bahkan sering jauh lebih tinggi daripada ketinggian bagian kolong dan ruangan tinggalnya. Hal ini, dari pandangan fungsionalis, dianggap lebih baik karena untuk rumah di wilayah tropis, atap tinggi akan membuat ruangan rumah itu lebih sejuk pada siang hari. Demikian juga dari bahan atapnya yang menggunakan ijuk atau alangalang (bukan genteng atau seng), akan menambah kesejukan di siang hari, dan kehangatan di malam hari, karena bahan tersebut berfungsi sebagai isolasi suhu. Lepas dari bahwa kedua pandangan itu saling mendukung, yang penting kita pahami adalah bahwa pandangan yang satu bukan harus menggantikan yang lain. Pandangan fungsional tidak harus menggantikan pandangan spiritual. Keduanya mungkin saling mengisi, tapi tidak perlu menggeser, karena tujuan kita dalam pelajaran ini adalah untuk memahami realitas. Jika untuk tujuan itu kita berangkat hanya dengan pandangan sendiri (katakanlah fungsional) maka kita tidak akan merasa
16 — PEMUKIMAN
berkepentingan untuk memahami pandangan lainnya. Persoalannya, banyak kenyataan kehidupan dalam pemukiman itu yang tidak atau belum bisa dijelaskan dari sisi logika fungsional. Simbolsimbol dalam kesenian (rupa, gerak, suara, bahasa), praktik-praktik upacara, misalnya, sulit sekali dipahami dari pandangan ini. Kita di sini bukan untuk mengatakan apa lagi menentukan pandangan mana yang benar, sehingga sebaiknya, untuk sementara ataupun seterusnya, kita pakai saja kedua pandangan yang ada itu. Dilemanya sekarang, adalah bahwa dalam dunia pendidikan, kita seperti terdesak oleh pendekatan logika sekuler-pragmatis, yakni yang berdasar pada logika atau analisis pikir (otak) saja, dan makin tidak mempercayai logika spiritual-simbolis. Jika itu yang kita pakai, maka kita akan menemui kesulitan besar dalam upaya memahami kebudayaan setempat yang sangat beragam bukan hanya dari bentuknya, melainkan juga dari maknanya. Dalam kebudayaan, umpamanya, pemaknaan atau logikanya tidak hanya berdasar pada prinsip “efektif dan efisien,” seperti halnya terdapat pada anjuran-anjuran sekuler-pragmatis. Kebudayaan (kesenian) memiliki alasan atau “kegunaan” yang lain, yang tidak berdasar pada logika sekuler-pragmatis—yang dalam teori-teori mutahir disebut “kecerdasan emosional” dan “kecerdasan spiritual.” Selain itu, yang juga mungkin lebih sulit, adalah bahwa kita juga dihadapkan pada kepercayaan yang sering berbeda antara pandangan agama-besar dan kepercayaan setempat. Seperti halnya kasus logika pikir di atas, dalam hal ini pun kita bukan untuk turut menganut kepercayaannya, melainkan sebagai upaya untuk lebih mampu mengetahui kenyataan kelokalan. Pandangan-pandangan spiritual lokal yang berbedabeda itu adalah bagian dari kenyataan. Jika kita memahami yang lain, seperti halnya dalam mengetahui dan menikmati kesenian dari budaya lain, kita mungkin justru akan lebih mampu memahami dan meyakini budaya kita sendiri. Keterbukaan terhadap pengetahuan adalah juga merupakan prinsip pendidikan modern. Singkatnya, kenyataan budaya, yang sebagian besar terdapat dalam lingkup pemukiman itu memiliki dua makna: makna fungsional dan makna spiritual. Makna kesenian, dan makna-makna (simbolik) lainnya, terkait dengan kedua aspeknya: kadang bermakna dari salah satunya saja, tapi kadang-kadang bermakna dari keduanya. Makna-makna serupa itu, sering terdapat dalam adat masing-masing masyarakat, yang kemudian menghasilkan produk budaya yang sangat beragam, karena masyarakat Nusantara ini pun sangatlah beragam. Hal ini akan kita bicarakan di bagian bawah.
BERMUKIM — 17
b
a Gbr. 1-12a,b,c,d: Bentuk-bentuk atap setiap wilayah berlainan seperti (a) rumah Toraja, (b) rumah Toba, (c) rumah Timor, (d) rumah Minangkabau. c
18 — PEMUKIMAN
1.3 Lingkungan Di antara kalian, mungkin ada yang saat ini tidak tinggal di rumah orang tua, misalnya karena jarak rumah terlalu jauh dari sekolah sehingga harus kost, ngontrak (kamar atau rumah), atau mungkin ikut dengan keluarga lain. Pada waktu kalian pertama kali datang untuk melihat-lihat (survey) tempat yang akan ditinggali, pasti ada beberapa hal yang akan menjadi bahan pemikiran atau pertimbangan. Misalnya, jarak antara tempat dengan sekolah, kemudian sarana apa yang bisa dipergunakan untuk memudahkan perjalanan misalnya: jalan kaki, naik sepeda, atau kendaraan umum. Selain itu juga melihat kondisi fasilitas ruangan yang disediakan apakah sudah cukup nyaman dan memadai misalnya kamar tidur, ruang makan, kamar mandi, ruang belajar dan keamanan lingkungan. Termasuk yang berkaitan dengan hobi misalnya jika kalian suka lari pagi, adakah tempat atau sarana olah raga yang yang tidak terlalu jauh dari tempat itu, demikian pula tempat ibadah, tempat hiburan, dan lain-lain. Pendeknya ada beberapa pertimbangan, yang sedikit-banyaknya, besar-kecilnya, akan tergantung dari keinginan, kemampuan, atau kondisi masing-masing. Ketika seseorang mau bermukim, pada dasarnya sama akan mempertimbangkan berbagai hal serupa di atas. Tentu saja, yang diper timbangkannya berbeda dengan seseorang yang mencari tempat kost untuk sekolah. Jaman sekarang, untuk bermukim ditempat baru mungkin karena didorong oleh sesuatu kepentingan yang telah mendahuluinya. Misalnya saja karena seseorang itu telah mendapatkan pekerjaan di tempat baru, diajak seorang teman, ikut program transmigrasi, atau bisa juga karena mendapatkan jodoh dari tempat yang berbeda. Dengan demikian, pada jaman sekarang mungkin hampir tidak ada lagi kasus di mana seseorang datang untuk pertama kali menciptakan pemukiman baru, di mana di situ sama sekali belum terdapat apa pun, dan tidak ada siapa pun—artinya, untuk menjadi suatu pemukiman ia harus menunggu beberapa generasi turunannya sehingga membentuk suatu kesatuan masyarakat. Kemungkinan yang akan terjadi adalah seseorang untuk dapat menyesuaikan diri dengan suatu pemukiman beserta sistem kehidupan yang telah ada dan berlaku sebelumnya. Akan tetapi, sebagai perbandingan, coba bayangkan ketika pada jaman purbakala seseorang bersama keluarganya (suami, isteri dan anakanaknya) berkelana mencari tempat yang sesuai untuk tempat tinggal. Kemudian mereka tiba di suatu tempat yang masih “kosong,” dan selanjutnya mempertimbangkannya sebagai tempat bermukim, kira-kira pertimbangan apa saja yang harus mereka pikirkan.
BERMUKIM — 19
Di bawah ini, tidak akan diuraikan mengenai hal-hal apa yang harus dipertimbangkan untuk memilih lahan yang paling ideal untuk pemukiman, hanya akan disampaikan gambaran selintas mengenai keadaan lahan yang terdapat di bumi Nusantara. Dengan bekal perkiraan di atas, kalian tentu akan bisa berpikir secara kritis terhadap masalahmasalah apa yang sekiranya perlu dipertimbangkan dalam memilih dan memelihara lahan untuk bermukim.
1.3.1 Tanah dan Lahan Indonesia terletak di pertemuan busur-busur vulkanik dunia, yaitu garis pertemuan antara tiga lempengan benua. Di celah-celah pertemuan lempengan ini isi perut bumi banyak menemukan celah-celah untuk muncul ke permukaan berupa rangkaian gunung berapi. Semburan (atau letusan) gunung berapi terbesar dalam sejarah manusia terjadi di wilayah ini. Benar bahwa letusan ini membawa bencana bagi penduduk di sekitarnya, tetapi dalam jangka waktu panjang, debu dan hancuran vulkanik ini adalah sumber kesuburan tanah. Kebutuhan dasar makanan dan pakaian mudah didapat, hampir-hampir tanpa usaha. Di tingkat yang lebih rinci, pengaruh bentuk muka bumi lebih banyak berpengaruh pada pembangunan pemukiman. Muka bumi di sebagian besar Nusantara sangat beragam, mulai dari dataran rendah dan dataran tinggi, gunung dan lereng, pantai yang landai dan curam, hutan rimba tropika, sungai dan jeram beserta danau dan rawa. Semua ini menawarkan kemungkinan dan kesempatan kepada manusia dari berbagai paras budaya untuk mengolahnya. Kelompok berburu dan meramu dapat berkelana di sepanjang garis pantai kepulauan maupun hutan-hutan tropika basah yang amat kaya dengan keragaman hayatinya. Pertanian sederhana bisa memanfaatkan keluasan daerah pedalaman berupa pegunungan dan padang sabana. Pertanian lanjut sudah tentu menemukan dataran-dataran tinggi bertanah subur yang dialiri banyak sungai, sehingga tidak memerlukan banyak kesulitan untuk mencetak sawah-sawah mereka. Keletakan Indonesia Bagian Barat sebagai simpul jalur perniagaan antara Cina, Asia Barat dan Maluku menjanjikan bandar-bandar yang ramai. Pada gilirannya, bahan baku bagi berdirinya industri yang kokoh untuk memasok jalur-jalur perniagaan itu juga hampir semua ada di Nusantara. Manusia di hadapan alam sering tampak tak berarti, tapi sebenarnya kekuatan yang sangat besar. Manusia berbeda dengan mahluk lain karena memiliki kesadaran dan kecerdasan. Sudah demikian, dalam dua abad terakhir jumlahnya
20 — PEMUKIMAN
meningkat dengan amat pesat sehingga menjadi ancaman yang semakin besar terhadap lingkungan. Bukan saja jumlah, kemampuan manusia untuk mengolah lingkungan hidup juga sudah sedemikian dahsyat, jika tidak segera dikendalikan bisa-bisa menghancurkan dirinya sendiri. Lingkungan alami seakan tetap tak pernah berubah, tidak bereaksi apa-apa di bawah tekanan apapun. Di bawah penampakan pasif ini sebenarnya terkandung kekuatan yang sangat besar, yaitu hukum keseimbangan alami sendiri. Sudah terbukti bahwa perubahan besar, aplagi dalam waktu singkat, akan melahirkan perubahan besar pula, biasanya berdampak buruk pada manusia. Banjir bandang yang terjadi karena penebangan liar di kawasan hulu misalnya atau kabut asap yang amat pekat akibat pembakaran hutan liar. Bahkan pemanasan bumi akibat meningkatnya kandungan gas CO2 dalam atmosfir nampaknya akan memicu bencana dalam skala dunia juga.
1.3.2 Iklim Iklim pertama-tama ditentukan oleh keletakan garis lintang, yaitu garisgaris maya yang biasa ditemukan di atlas dan peta dunia. Garis 0° terletak di tengah-tengah bola dunia, yaitu garis khatulistiwa, sedangkan garis atau titik 90° adalah kutub utara dan selatan. Karena posisi bola dunia yang terletak miring terhadap bidang yang melintasi khattulistiwa matahari, maka kuat penyinaran matahari tidak merata ketika tiba di muka bumi. Wilayah antara 23,5° LU (Lintang Utara) dan LS (Lintang Selatan) boleh dikata menerima pancaran sinar matahari yang tetap, tidak berubah jumlahnya sepanjang tahun. Inilah wilayah yang disebut wilayah tropika. Suhu udara sepanjang tahun tidak banyak berbeda, berkisar antara 20° -30° C (derajat Celsius). Karena itu hutan raya tumbuh di wilayah ini dengan keragaman hayatinya. Perbedaannya hanya iklim tropika kering (Jazirah Arabia bagian selatan, India Selatan dan sebagian Afrika dan Australia) serta iklim tropika basah, yang dibedakan lagi menjadi iklim tropika basah kepulauan (Indonesia dan Kepulauan Karibia) dan iklim tropika basah benua (Afrika dan Amerika Selatan). Antara 23,5° dan 66,5° disebut wilayah subtropika yang sudah mengalami perbedaan 4 musim dalam satu tahun. Perbedaan di antara keempat musim ini sangat menyolok, perubahan suhu antara musim panas dan musim dingin bisa amat besar. Kawasan di antara 66,5° dan 90° sudah termasuk lingkaran kutub, semakin dekat ke kutub semakin dingin. Di wilayah tropika basah kepulauan, seperti di Nusantara ini hanya ada dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau.
BERMUKIM — 21
Dalam setengah tahun yang satu curah hujan tinggi (banyak hujan) dan di setengah tahun lainnya curah hujan rendah (sedikit hujan). Suhu dan kelembaban tidak banyak bervariasi sehingga sepanjang tahun hawanya hangat dan kelembaban sedang karena pengaruh angin muson yang bertiup di wilayah ini. Daerah seperti ini adalah lingkungan hidup yang paling sesuai untuk kehidupan manusia. Alam sangat ramah kepada manusia sehingga manusia tidak perlu banyak melindungi dirinya. Pelindung badan seperti pakaian bisa dibilang tidak diperlukan, ancaman dingin dan panas yang berlebihan tidak ada. Mungkin satu-satunya gangguan hanya sengatan sinar matahari yang pada tengah hari bisa amat terik dan menyilaukan.
1.4 Norma Sosial Kini kita kembali pada persoalan yang lebih praktis, yakni untuk tumbuhnya suatu kelompok masyarakat yang bermukim secara bersamasama itu dibutuhkan suatu perangkat untuk mengaturnya. Kumpulan orang banyak sebagai satu kesatuan sosial, tentu memerlukan aturanaturan atau suatu sistem organisasi yang disepakati bersama, untuk membagi peran, fungsi, atau tugas masing-masing warganya.
1.4.1 Pembagian Kerja Suatu aturan dalam kehidupan masyarakat, bukan hanya berkenaan dengan bagaimana agar satu sama lain tidak saling mengganggu atau merugikan, tapi juga untuk membagi tugas demi kebutuhan bersama. Pembagian tugas kerja yang dimaksud tidak hanya terjadi pada manusia tetapi sebenarnya terjadi juga pada binatang. Misalnya, suatu kumpulan rayap ternyata memiliki sistem pembagian tugas. Rayap pekerja bertugas mencari makan dan memelihara sarang, rayap prajurit bertugas menjaga serangan luar, dan rayap ratu bertugas hanya untuk bertelur dan berkembang-biak. Masing-masing kelompok atau tingkatan ketiga rayap yang mempunyai tugas sendiri-sendiri itu, bentuk serta kelengkapan tubuhnya berbeda-beda, sesuai dengan tugasnya. Misalnya, rayap prajurit, mempunyai tubuh dan rahang yang lebih kuat dan besar daripada rayap pekerja, sedangkan rayap ratu bertubuh sangat besar sehingga tidak bisa bergerak, apalagi untuk keluar dari sarangnya tanpa bantuan yang lain. Dalam suatu kelompok masyarakat, terdapat pembagian atau penjenjangan tugas seperti halnya rayap: ada yang menjadi pemimpin, ada yang menjaga keamanan, ada yang memasok bahan makanan dan
22 — PEMUKIMAN
seterusnya. Namun demikian, walaupun tugasnya berbeda-beda, tetapi bentuk manusia tidak banyak berbeda, tidak seperti pada rayap. Otot besar lengan seorang tentara atau petugas keamanan, umpamanya, bisa diperoleh karena latihan, bukan semata-mata pembawaan keturunan. Dan sebaliknya, orang yang memiliki otot kuat itu tidak harus menjadi tentara, ia bisa juga menjadi tukang kayu, olahragawan, ataupun seorang guru pengajian. Tugas yang disandang atau pekerjaan yang dilakukannya itu bukan secara biologis ditakdirkan sejak lahir, melainkan lebih banyak karena pilihan sendiri, atau karena arahan, penyesuaian dan kebutuhan lingkungannya. Hubungan-hubungan di antara manusia, juga jauh lebih rumit daripada rayap. Rayap pekerja dan ratunya hanya memiliki satu jenis tugas, fungsi, atau pekerjaan, yang tidak bisa diubah. Hal ini berbeda dengan manusia. Seorang pemimpin militer pada saat beribadat mempunyai kedudukan sama dengan yang lain, harus patuh pada pemimpin upacara. Sebaliknya, seorang pemimpin keagamaan, andaikata melakukan pelanggaran kriminal tetap harus ditangkap polisi untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya. Singkatnya, peran-peran orang dalam tatanan sosial itu tergantung pada individu, keadaan lingkungan, dan sistem sosial yang berlaku jadi bukan merupakan kodrat alami. Pranata sosial dibangun dalam sebuah kelompok masyarakat untuk mengatur tata-aturan kehidupan masyarakat agar mendapat kenyamanan dalam bermukim, bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, berinteraksi, saling membantu dan mendukung. Pada akhirnya akan tercipta keselarasan dan keharmonisan kehidupan satu individu dengan individu yang lain. Sehingga hidup secara sosial itu lebih menyenangkan dan menguntungkan—dibanding dengan hidup sendiri-sendiri. Namun demikian, sama halnya dengan misal satu keluarga di atas, warga suatu kelompok sosial itu pun tidak sama baik minat, cita-cita, mau pun keterampilannya. Seseorang memiliki kemampuan dan tabiat yang berbeda dengan yang lainnya. Tidak semuanya bisa memenuhi cita-cita sosial yang ideal, melainkan juga ada warga yang “manja” atau “nakal” seperti dalam kasus keluarga tersebut. Karena itu perlu dibangun suatu tata-aturan untuk memberi penghormatan atau penghargaan pada orang yang baik, dan memberi sanksi, teguran, atau hukuman pada yang tidak baik. Untuk itu, ditentukanlah pimpinan kemasyarakatannya, pemimpin keagamaannya, polisinya, dan lain-lain, yang disepakati, dipatuhi, dan didukung secara bersama-sama. Dalam suatu tata sosial atau sistem pemerintahan yang lebih formal, dikenal dengan 3 kelompok besar
BERMUKIM — 23
pengurus: legislatif (yang menentukan/mengesahkan kebijakan/aturan), yudikatif (yang mengawasi dan menegakkan aturan), dan eksekutif (yang menjalankan kebijakan).
a
b
c
d
Gbr. 1-13a,b,c, d: Beragamnya aktivitas dalam kehidupan manusia (a) bercocok tanam di pedalaman Kalimantan, (b) pekerja kebersihan jalan, (c) seorang ibu yang sedang memintal benang di Watublapi, Flores (d) ibu-ibu menumbuk padi di Bayan, Lombok.
1.4.2 Aturan Jika dalam keluarga ada semacam aturan di mana para anggotanya memiliki tugas masing-masing, demikian pula dalam masyarakat. Dalam suatu kelompok sosial yang kecil sekalipun, komponen-komponen itu pun umumnya ada. Umpamanya saja, seorang atau beberapa orang pimpinan adat, bisa dianggap sebagai pihak yang menentukan rumusan aturannya, ketua kampung dan pembantunya bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakannya, dan kepala bidang keamanan yang mengawasi, menjaga,
24 — PEMUKIMAN
dan menangkap orang yang melanggarnya. Ketiga komponen ini, dalam berbagai komunitas tidak selalu terpisah-pisah dan formal, namun akan tergantung dari cara pengaturan yang sesuai dengan kebutuhan dan cara masing-masing. Perumusan aturan itu, mungkin suatu masyarakat tidak lagi menentukannya, karena sudah merupakan peninggalan orang-orang terdahulu. Jadi, suatu aturan itu tidak mesti dibangun baru oleh orangorang yang hidup dalam suatu masa, melainkan melalui suatu proses kehidupan sepanjang sejarah masyarakat tersebut. Mungkin “aturan” dalam dan untuk suatu komunitas itu ada yang baru berjalan beberapa generasi saja, misalnya untuk suatu pemukiman baru, tapi ada juga yang sudah berabad-abad. Akan tetapi pokok soal yang perlu dikemukakan di sini adalah bahwa aturan-aturan itu bertujuan dan berperan untuk mengatur dan mengembangkan warga (individu) dan sosial (kelompok) sekaligus. Hampir semua aturan bisa mengakomodasi kedua kepentingan tersebut secara adil. Kehidupan sosial itu ditentukan oleh daya atau kemampuan masingmasing individunya. Jika semua anggota masyarakat itu “baik” (menurut ukuran masing-masing), maka mereka akan menghasilkan lingkungan sosial yang baik pula. Tapi juga sebaliknya pertumbuhan individu itu pun sebagian ditentukan oleh lingkungan sosialnya. Lingkungan sosial yang terlalu banyak menekan anggotanya, atau tidak memiliki fasilitas untuk menumbuhkan kemampuan para warganya, misalnya pendidikan, akan membuat para warga itu pun tidak banyak berkembang. Pengalaman hidup sejak lahir dengan suatu kebiasaan yang relatif sama, melalui melihat, bekerja, atau belajar dengan sesama warga, akan melahirkan suatu kepercayaan pada sistem itu, sehingga akan menjadi pegangan sebagai aturan atau norma hidupnya. Norma tersebut mungkin berkait dengan pandangan fungsional, mungkin spiritual, dan mungkin pula keduanya, seperti yang telah diuraikan di atas. Dengan itu, maka kepribadian atau karakter seseorang pun akan terbangun oleh norma sosialnya. Maka, terwujudlah kepribadian seseorang itu yang tidak terlalu asing dibanding dengan orang-orang sesama warganya. Kesamaan karakter dari semua warga itu kemudian juga melahirkan karakter sosial. Selain dari pengalaman empiris setiap saat, kesamaan karakter warga individu dari suatu kelompok masyarakat terbentuk atas dasar kesamaan keturunan, kesamaan sejarah, kepercayaan, adat kebiasaan, bahkan cita-cita. Kebersamaan terbangun melalui proses atau jalannya kehidupan, melalui kesepakatan atau saling-pengertian antar warga, kesetiakawanan, kesamaan dalam pencapaian kebutuhan hidup dan
BERMUKIM — 25
lain. Semua ini mendorong terjalinnya hubungan batin bersama, yang kemudian menggumpal menjadi ciri-ciri kelompok yang sering disebut sebagai jatidiri atau identitas sosial.
Gbr. 1-14: Tor-Tor di Toba, Sumatera Utara ada yang merupakan upacara keluarga, tetapi melibatkan banyak orang di sekitarnya.
Gbr. 1-15: Anak-anak yang terlibat dalam upacara Kebo-keboan di Banyuwangi. Acara itu merupakan ritual desa
Kelangsungan tata-nilai suatu masyarakat itu pun ditentukan pula oleh masing-masing warganya. Andaikata semua warganya tidak lagi peduli terhadap norma lama, kemungkinan tata-sosial tersebut akan berubah cepat, bahkan berganti secara drastis. Perubahan yang dimaksudkan di sini, tidak berarti memiliki nilai positif ataupun negatif. Ia bisa berarti keduanya. Jadi, jika seorang warga dilahirkan dan didewasakan oleh suatu lingkungan masyarakat, sebaliknya masyarakat pun dibangun oleh para warganya. Dengan itu, maka kelangsungan adat-istiadat, kebudayaan atau kesenian setempat itu pun akan tergantung oleh kehendak masingmasing warganya. Suatu kelompok sosial tidak mungkin terbentuk tanpa orang (individu).
1.4.3 Hak dan Kewajiban Jika aturan atau norma sosial yang dibicarakan di atas itu adalah untuk bisa hidup bersama secara “nyaman,” itu juga berarti bahwa dalam aturan itu terdapat rumusan hak dan kewajiban untuk ditaati oleh para warganya. Baik itu mengenai kewajiban terhadap keluarga dekat ataupun terhadap warga lain yang tidak memiliki hubungan darah. Aturan tersebut, bukan hanya yang menyangkut kejahatan ataupun kekerasan. Tata-krama itu pun merupakan bagian dari norma tersebut. Jika seseorang mau masuk, melewati, atau menggunakan suatu ruang (lahan) milik orang lain, di situ pun ada aturan: seberapa jauh ia boleh
26 — PEMUKIMAN
memasuki atau menggunakannya. Umpamanya, jika kita akan melalui halaman seseorang, mungkin boleh mungkin juga tidak, tergantung dari adat masing-masing masyarakatnya. Jika halaman itu milik rumah tetangga, atau orang yang sudah kenal, mungkin dibolehkan, tanpa permisi sekalipun—apalagi jika melewati halamannya itu biasa dilakukan setiap hari. Hal itu akan berbeda jika halaman tersebut milik orang lain yang agak jauh, sehingga kasus orang tersebut melewatinya merupakan suatu kegiatan yang tidak biasa. Keadaan halamannya, juga menentukan boleh-tidaknya. Halaman yang terbuka, akan lebih boleh daripada yang berpagar. Halaman yang berpintu, akan lebih “tidak boleh” dibanding dengan yang tidak, apa lagi jika pintu tersebut terkunci. Jika Kamu sedang mengejar layang-layang putus, dan kemudian layang-layang tersebut jatuh di halaman berpintu dan terkunci, Kamu akan dipersalahkan jika melompati pagar atau pintu tersebut. Di situ, jelas Kamu tidak bermaksud untuk melakukan yang terlarang, seperti misalnya mencuri, melainkan hanya untuk mendapatkan hakmu mengambil layang-layang yang sedang dikejar. Misalnya, kasus layang-layang itu untuk menunjukkan bahwa suatu aturan akan tergantung pada situasi demi situasi. Kasus atau situasi yang nyata seperti itu, tidak terdapat dalam suatu aturan. Apa lagi dalam adat, yang kebanyakan tidak tertulis, aturan itu mengenai prinsip-prinsipnya— walaupun di sana-sini biasa pula dengan contoh-contoh kasus yang nyata, terutama mengenai hal-hal yang sangat penting. Walaupun demikian, warga yang memahami akan mampu menafsirkan kasus-kasus rinci itu dengan berdasar pada prinsip-prinsipnya saja. Berbagai komunitas, seberapa pun sederhananya, memiliki tata-cara “permisi,” ketika seseorang mau “masuk” pada wilayah orang lain, baik melalui kata (kula nuwun, assalamualaikum, sepada, maaf, punten, dan lainlain), melalui suara (“ketuk pintu”), ataupun melalui gerak (mengangguk, membungkuk). Aturan atau norma sosial tersebut mungkin tertulis atau terkatakan, mungkin juga tidak. Namun, umumnya norma itu dipahami oleh semua warganya, yang merupakan etika sosial-kultural, sopan-santun, atau tata-krama. Selain itu, ada norma-norma yang lebih jelas, seperti misalnya yang menyangkut pengambilan hak milik orang lain (pencurian), penghinaan, atau tindakan kekerasan yang membuat orang tersakiti atau bahkan sampai terbunuh. Aturan yang tegas seperti ini disebut “hukum.” Dalam lingkup sosial yang lebih formal, seperti halnya dalam suatu negara, hukum bukan hanya dibukukan, tapi juga disahkan dan ditentukan kriteria perangkat hukumnya seperti misalnya hakim, jaksa, dan pembela.
BERMUKIM — 27
Hukum adat pun umumnya menyangkut berbagai jenis pelanggaran. Ada yang tertulis, dan banyak juga yang tidak. Demikian juga dalam perumusan dan penyampaiannya. Banyak aturan itu tidak terkumpul dalam suatu buku hukum, melainkan terdapat dalam berbagai ceritera, syair-syair, yang biasa disampaikan dalam pertunjukan-pertunjukan kesenian: baik dalam acara komunal maupun individual. Dengan itu pula maka acara-acara yang diadakan secara bersama-sama itu memiliki kepentingan individual, dan sebaliknya acara individual memiliki fungsi sebagai kerekatan sosial, seperti yang akan diuraikan lagi dalam Bab 2, mengenai upacara yang terjadwal dan yang tidak terjadwal.
1.5 Kebudayaan Seorang tokoh antropologi Indonesia, Kuntjaraningrat, mengidentifikasi adanya 7 unsur pokok dalam kebudayaan, yaitu (1) sistem religi & upacara keagamaan; (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan; (3) sistem pengetahuan; (4) sistem bahasa; (5) sistem kesenian; (6) sistem matapencarian hidup; dan (7) sistem teknologi dan peralatan. Namun demikian, ketujuh sektor itu, bukanlah terpisah-pisah satu sama lain, melainkan saling berkaitan atau berhimpitan. Kalau kita gambarkan, bukan akan tampak seperti pada Gambar 1-16a, melainkan seperti pada Gambar 1-16-b.
Sistem ekonomi (mata pencarian) Sistem sosial (organisasi masyarakat)
Sistem religi (upacara keagamaan)
KEBUDAYAAN Sistem teknologi (peralatan)
Sistem kesenian
Sistem pengetahuan (ilmu)
Sistem bahasa
Gbr. 1-16a
Gbr. 1-16b
28 — PEMUKIMAN
Dalam gambar 1-16b, tampak bahwa ada setiap elemen itu menemukan himpitannya, atau tumpang tindih, sehingga tampak ada warna yang paling gelap ketika ketujuh sektor itu semua beririsan, dan makin terang warnanya jika irisannya berkurang. Warna paling gelap itulah kalau kita buat semacam analogi, yang merupakan sebagai inti kebudayaan suatu masyarakat, sehingga merupakan suatu karakter atau identitasnya. Jika itu intinya, maka sesungguhnya ia tidak akan pernah tampak sebagai bentuknya secara keseluruhan. Jadi, yang bisa terindra itu akan merupakan dari salah satu wujudnya saja, yang lahir dari suatu identitas inti. Suatu bentuk rumah (tradisional), misalnya, merupakan suatu identitas suatu masyarakat, tapi bukan merupakan identitas yang lengkap. Selain itu, harap pula diingat bahwa dengan adanya 7 unsur kebudayaan itu, tidak berarti porsinya sama seperti dalam gambar, yakni masing-masing sebesar 14,28%. Demikian pula mengenai urutannya. Tidak berarti bahwa ekonomi itu merupakan posisi yang paling atas. Porsi dan posisi tersebut akan berbeda satu sama lain, dan berbeda pula antara waktu ke waktu. Adanya rumusan 7 unsur itu membantu kita dalam melihat aspek-aspeknya, akan tetapi juga harus dilengkapi dengan pengertian bahwa semuanya tidak statis. Perwujudan dan maknanya pun berbeda-beda antara satu masyarakat dengan yang lainnya. Yang bisa terlihat jelas dari diagram itu adalah bahwa satu atau beberapa hal berkaitan dengan (atau tergantung pada) hal-hal lainnya. Jika melihat batasan kebudayaan yang mencakup ketujuh unsur di atas ini, maka segala tindakan dan pikiran manusia itu adalah kebudayaan. Kebudayaan, identik dengan manusia. Akan tetapi, dalam percaturanpercaturan sekarang, jika seseorang mengatakan “kebudayaan” maknanya tidak sejauh itu. Aspek atau sektor kebudayaan, biasanya dibedakan dengan aspek ekonomi, teknologi, politik, dan sebagainya. Jika kita mendengar atau membaca yang mengatakan “Hal itu merupakan masalah kebudayaan saja,” hampir bisa dipastikan maksudnya adalah masalah di luar ekonomi, teknologi, pendidikan, politik, dan lain-lain. Bahkan, dalam banyak kasus, yang dimaksudkan dengan “kebudayaan” itu menjadi sempit, hanya berarti kesenian, adat-istiadat, atau “tradisi.” Dalam dunia ilmu pun, ada juga dibedakan antara ilmu kebudayaan (misalnya antropologi budaya), dengan ilmu ekonomi, ilmu komunikasi, ilmu politik, dan lain-lain. Dengan itu, makin tidak mungkin pula untuk membuat suatu definisi kebudayaan hanya dalam satu pengertian yang pasti. Maka, mau tidak mau kita harus memahami apa maksud dari suatu perkataan “kebudayaan” itu atas dasar konteksnya. Artinya makna itu relatif, yang
BERMUKIM — 29
mengandung dua pengertian: pertama adalah “tidak pasti.” Kedua, adalah tergantung pada kaitannya dengan hal-hal yang lain. Namun demikian, sesungguhnya yang bersifat relatif itu bukan hanya mengenai kebudayaan, tapi demikian pula dengan misalnya ilmu fisika, dan apa lagi dengan ilmu ekonomi dan ilmu politik. Lepas dari itu, suatu hal yang dianggap sebagai kebudayaan itu adalah yang nilai-nilainya tidak semata-mata personal, melainkan telah diakui atau dianggap sebagai nilai masyarakat. Untuk itu, kebudayaan hanya bisa tumbuh dalam suatu lingkungan masyarakat, baik yang lingkupnya kecil (katakanlah satu kampung), maupun besar (katakanlah satu negara). Manusia mampu mengolah data atau gagasan-gagasan dalam pikirannya, dan mampu menyampaikan buah pikiran tersebut kepada orang lain. Karena itu bagian terbesar pengalaman dan penghayatan hidupnya dapat dialihkan kepada sesamanya dan kepada keturunannya. Hal ini amat penting, karena dengan itu si penerima tidak perlu mengulangi pengalaman pendahulunya, sehingga ia kemudian dapat mengembangkannya lagi sesuai dengan keinginan atau kebutuhannya. Demikian terjadi terus menerus selama ratusan atau ribuan tahun. Himpunan pengalaman dan penghayatan inilah yang menggumpal menjadi kebudayaan, yang juga bergulir dari waktu ke waktu. Dahulu pengelompokan kebudayaan atau masyarakat itu atas dasar kesamaan keturunan, etnik, dan agama. Sedangkan di masa sekarang, terutama sejak tumbuhnya masyarakat industri, pengelompokan sering terjadi karena kesamaan pekerjaan (profesi), tingkat ekonomi, atau gaya hidup. Namun, intinya sama, yakni karena kesalinghubungannya orangorang bersangkutan sehingga menumbuhkan suatu ikatan sosial, dengan suatu tata-nilai yang sama. Nilai atau sikap budaya seperti ini juga yang menentukan dalam berwujudnya suatu permukiman.
1.5.1 Kesenian Di atas dikatakan bahwa manusia mampu memiliki dan mengolah gagasan-gagasan dalam dirinya: baik yang lahir dari dirinya sendiri seperti cita-cita atau impian, maupun yang tumbuh karena mendapat rangsangan dari luar. Di bagian atas juga telah disampaikan bahwa manusia memiliki pandangan-pandangan atau kepercayaan terhadap kekuatan rohaniah, yang turut membangun nilai-nilai dalam dirinya. Artinya, di situ manusia memiliki kecerdasan-kecerdasan untuk memahami, mengolah, menghitung, mempertimbangkan, dan memutuskan sikap
30 — PEMUKIMAN
atau tindakannya. Jika kecerdasan pertama bersifat intelektual, kecerdasan kedua bersifat spiritual. Selain itu, manusia memiliki jenis-jenis kecerdasan lain, satu di antaranya adalah kecerdasan emosional. Manusia memiliki kepekaan tersendiri dalam aspek ini. Misalkan saja, jika Kamu mempunyai seorang nenek yang sudah tua, kemudian meninggal, dari perhitungan logika Kamu harus menerimanya, karena memang manusia mempunyai keterbatasan umur. Dari sisi kepercayaan, ia kembali kepada Yang Punya. Tapi Kamu tetap merasa sedih dan menangis, karena Nenek itulah yang turut membesarkan Kamu dengan penuh kasih sayang. Setiap malam Nenek suka mendongeng, manakala menidurkanmu. Kamu juga pernah diberi selimut yang konon hasil tenunan Nenek sendiri; dan sebagainya. Karena itu, ketika Nenek “pergi,” Kamu benar-benar merasa kehilangan dia, sampai beberapa bulan. Walaupun demikian, meski secara emosional Kamu “tidak menerima” (bersedih) atas keadaan itu, tidak berarti secara logika dan spiritual Kamu menolaknya. Kecerdasan emosional itulah yang paling kuat berada dalam kesenian. Emosi itu tidak hanya yang berupa kesedihan atau kegembiraan saja, tapi lebih jauh dari itu. Suatu gagasan, atau keinginan pun ada yang masuk atau berada dalam wilayah emosional, yang sering tidak bisa disampaikan melalui kata-kata, atau perbuatan lain, dan karenanya memerlukan media lain untuk mengungkapkannya. Kesenian adalah suatu medianya. Karena itu, dalam kesenian terdapat banyak hal yang tidak bisa diterangkan. Umpamanya saja, mengapa Kamu lebih suka warna merah dan bukan hijau, atau mengapa Kamu suka musik gitar dan bukan gendang? Mungkin sebagian bisa diterangkan, tapi sebagian lagi tidak. Bahkan, mungkin pula seluruhnya tidak bisa diterangkan menurut alasan logika maupun spriritual. Tapi Kamu tetap senang. Dari sisi emosi atau perasaan, alasan “senang” itu mungkin sudah cukup, dan tidak harus memiliki alasan lain. Dengan demikian, kesenian bisa dibilang memiliki “cara berpikir” tersendiri, karena emosi itu memiliki kecerdasannya sendiri. Walaupun demikian, tidak berarti bahwa dalam kesenian tidak ada yang bisa diterangkan secara logika (pikir) atau yang berdasar pada pandangan kepercayaan. Ketiga aspek logika, spiritual, dan emosional itu berada pada satu diri, yang setiap saat bisa “berunding.” Unsur-unsur kesenian yang terwujud dalam pemukiman, umpamanya rumah, pertama bisa dilihat dari fungsinya yang di luar kegunaan teknis. Jika suatu tiang, disertai ukiran, ukiran tersebut tidak memiliki fungsi untuk memperkuat tiang itu secara struktural. Tiang
BERMUKIM — 31
diukir bukan untuk lebih kuat, melainkan agar tampak lebih bagus. Yang “lebih”-nya itulah unsur seninya. Hal seperti itu, bukan hanya pada tiang, tapi juga pada pakaian, lampu, batu nisan, warna cat pintu atau dinding, perabot rumah tangga, dan sebagainya.
a
b
Gbr. 1-17a,b: Gantungan baju (a) dan kunci pintu (b) dibuat dengan menambahkan ukiran
1.5.2 Kesenian dan Kegunaan Contoh ukiran pada tiang, adalah yang paling jelas kelihatan perbedaan antara aspek kesenian dan kegunaan (fungsional)-nya. Di situ ada tiang untuk menompang bangunan (fungsional), dan ada ukiran yang memperindah (kesenian). Ukiran adalah tambahan atau “tempelan” sehingga ia memperindah tiang. Namun demikian, antara aspek guna dan aspek seni itu sering juga tidak terpisah. Misalnya, pada guci yang ada dalam Gambar 1-18 ini, bentuknya dibuat secara “indah.” Di situ, seni yang membuat indah itu sekaligus berdaya guna secara praktis. Atau sebaliknya, Gbr. 1-18: Guci yang di buat secara seni (nyeni). membuat sesuatu yang berguna praktis, dibuat secara seni (nyeni). Hal-hal serupa demikian banyak sekali terdapat dalam berbagai benda, seperti misalnya jam tangan, sabuk-pinggang, pulpen, buku, sepeda, mobil, dan lain-lain. Barang-barang tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga menarik, menyenangkan, atau indah.
32 — PEMUKIMAN
Dalam disiplin kesenian formal, terdapat pemisahan antara senikriya (yang berdaya-guna praktis) dan seni murni (yang semata-mata ekspresi keindahan). Dua kategori itu berasal dari disiplin akademis (modernisme) Barat, terjemahan dari applied art dan fine art. Akan tetapi, paling tidak dalam 30-an tahun terakhir, kategori (penggolongan) atau dikotomi (pemisahan) itu mendapat tantangan besar, karena pada kenyataannya kedua hal tersebut tidak bisa dipisah-pisah. Batas di antara yang “berguna” dan “berseni” tidak bisa dirumuskan secara jelas. Banyak kesenian yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari kegunaan praktisnya, sehingga tidak bisa diidentifikasi mana keseniannya mana fungsional teknis. Dalam kasus guci misalnya, apakah barang itu dibuat untuk kegunaan praktis yang juga indah; atau sebaliknya untuk suatu ekspresi keindahan atau kekaryaan yang dibuat “seolah-olah” untuk digunakan. Karena, banyak orang yang membeli benda-benda “berguna” itu bukan untuk digunakan, melainkan sebagai barang kesenian. Apa lagi sekarang, barang-barang “berguna” itu banyak yang memiliki umur ratusan atau ribuan tahun, sehingga menjadi barang antik. Nah, di sini kita menemukan unsur waktu itu dapat mengubah nilai: ada yang berkurang karena kadar keusangannya, atau menambah karena kadar keantikannya. Selain itu, suatu perwujudan benda yang terdapat dalam pemukiman itu bukan semata dari dua fungsi, dari guna praktis dan seni. Di situ ada aspek lain yaitu spiritual yang telah dikatakan di atas. Sebuah tiang penyangga rumah di Dayak misalnya, banyak yang diukir, berbentuk patung-patung manusia atau binatang (kera). Tiang yang diukir tersebut, bukan hanya yang tampak dari luar, banyak juga yang tersembunyi di dalam, sehingga tidak menjadi bagian agar indah dipandang. Dalam kasus itu, aspek kesenian bukan untuk kepentingan keindahan tampilan, melainkan memiliki aspek-aspek lain, yang mungkin berkaitan dengan kepercayaan setempat. Demikian juga usuk, atau kayu-kayu penyangga alang-alang pada atap rumah bangsawan di Timor, banyak yang berukir dengan bentuk patung atau boneka. Kayu-kayu usuk tersebut, bukan dimaksudkan untuk penambah keindahan, melainkan lebih sebagai “tanda” sumbangan dari kelompok sosial atau keluarga yang bersangkutan.
1.5.3 Upacara Dalam suatu wilayah pemukiman, terdapat berbagai upacara: baik yang berkaitan dengan ritus tempat (kampung, rumah, gunung, laut), peristiwa atau sejarah-lokal, komunitas, keagamaan (mesjid, gereja, makam),
BERMUKIM — 33
pekerjaan (pertanian, perikanan), maupun perorangan atau keluarga (lahir-mati, khitanan, pernikahan) dan lain-lain.
a
c
b
d
Gbr. 1-19a,b,c,d: Kesenian yang tumbuh di sebuah pemukiman bisa berupa ritual bersih desa, peringatan atau yang lainnya dengan. Seperti terlihat pada gambar (a) pawai peringatan 17 Agustus, (b) upacara Seblang di Banyuwangi, (c) Barongsai bagian dari acara Cap Go Meh, dan (d) Upacara Bubur Sura di Sumedang
Untuk mendirikan rumah baru, umpamanya, banyak tradisi yang melakukannya dengan upacara khusus, apakah dalam penentuan tempatnya, membangun fondasi pendirian tiang utama, dalam pemasangan atapnya, ataupun dalam menempatinya. Demikian pula dalam pembangunan jalan, jembatan, dam-pengairan, dan bangunan-bangunan publik, banyak disertai dengan upacara atau selamatan khusus, yang tidak jarang disertai pertunjukan kesenian. Upacara seperti khitanan dan pernikahan, hampir selalu menyertakan pertunjukan kesenian, bahkan ada yang disertai arak-arakan keliling desa. Besar-kecilnya upacara-upacara ini tentu tergantung dari keyakinan dan kemampuan masyarakatnya masing-masing. Dalam upacara yang bersifat komunal (masyarakat, kampung atau wilayah), acara-acara yang menyertakan berbagai jenis kesenian itu umumnya lebih besar
34 — PEMUKIMAN
dibanding dengan upacara perorangan ataupun keluarga. Dalam sekatenan (upacara Maulud Nabi Muhammad) di keataron-keraton Jawa (Surakarta, Yogyakarta, Cirebon), umpamanya, selain acara pokok yang berjalan seminggu, pasar dadakan di alun-alun masing-masing keraton tersebut bisa berlangsung selama sebulan atau lebih. Demikian pula upacara Jumat Agung umat Katolik di Larantuka (Flores), Waisyak umat Budha di candi Borobudur dan Mendut (Jawa), Cap go meh di berbagai kelenteng, dan apa lagi di umat Hindu di Bali yang memiliki berbagai upacara mulai dari siklus bulanan, tahunan (Galungan, Kuningan), sampai ke seratustahunan (Ekadasaludra). Dalam peristiwa-peristiwa seperti itu, sama halnya dengan kasus di atas, antara kesenian, kegunaan-praktis, maupun spiritual menggulung menjadi satu. Misalnya, dalam suatu upacara untuk mensyukuri dan merayakan panen, terdapat berbagai kegiatan yang bersatu. Para penduduk membawa makanan, kemudian disatukan, berdoa bersama sambil melantunkan syair-syair nyanyian, makan-makan bersama, dan kemudian pesta dengan kesennian. Seluruh kegiatan itu mengandung berbagai makna. Makna sosial, karena di situ terjadi silaturahmi melalui kumpul bersama. Makna pesta makan, dengan makanan yang khusus, yang umumnya lebih “besar” di banding makan sehari-hari. Makna ekonomi, karena di situ pun banyak orang berjualan, dan bahkan “pasar kaget” atau pasar dadakan. Makna spiritual, dengan mengadakan doa bersama. Dan makna kesenian, di mana mereka mengadakan acara tari-menari atau main musik bersama, dan menonton berbagai kesenian lain. Dalam hal serupa itu, masing-masing sektor atau aspek tampak saling mengait. Kita ambil misal lain, jika di situ terdapat pertunjukan kesenian yang membawakan cerita sejarah asal-mula padi. Dalam sejarah atau dongengnya terdapat ajaran-ajaran bagaimana masyarakat harus mengolah tanah, memelihara tanaman, dan lain-lain. Dengan demikian, kesenian di situ pun bukan hanya merupakan acara hiburan untuk keindahan atau kesenangan, melainkan di situ juga terkandung ajaran-ajaran yang berkaitan dengan norma-norma kehidupan masyarakat. Dengan demikian, dari sudut pandang itu, kesenian bukan hanya sebagai bagian dari adat setempat, melainkan juga sebagai “media” adat itu sendiri. Sehubungan dengan itu, legenda dan/atau mitologi yang dimiliki oleh hampir semua masyarakat tradisional itu umumnya disajikan lewat berbagai jenis kesenian. Dalam ceritanya, sering terkandung sejarah leluhur, asal-usul tempat (bahkan dunia, alam), ajaran-ajaran atau normanorma adat, ajaran moral, dan ajaran moral-keagamaan, sehingga kesenian di situ berfungsi juga sebagai media pewarisannya. Jika demikian, maka
BERMUKIM — 35
seniman di situ bukan hanya sebagai orang yang memiliki keterampilan berkesenian, melainkan juga sebagai orang yang memahami adatnya. Karena itu, tidak jarang terdapat seniman memiliki status tinggi, bahkan sebagai salah seorang pemuka masyarakat. Dalang-dalang wayang di kampung-kampung Jawa, terutama dahulu, selain sebagai orang terkemuka juga banyak yang memiliki pengetahuan atau kemampuan spiritual. Banyak penduduk yang mendatanginya untuk meminta petunjuk-petunjuk usaha atau bekerja, atau meminta penyembuhan dengan cara tradisional. Penari topeng pajegan di Bali, banyak yang merupakan tokoh masyarakat, yang biasa memberikan wejangan-wejangan melalui pertunjukannya. Dukun-dukun di Mentawai, di Dayak dan di berbagai wilayah lain, banyak yang menari sebagai upacara pengobatan. Ajaran-ajaran sosial yang disampaikan melalui kesenian, umumnya berbeda dengan wejangan yang diberikan oleh orang tua. Kesenian, sedemikian rupa kebanyakan merupakan media yang menyenangkan juga. Di situ, tak jelas siapa yang memberi dan diberi wejangan. Idiom (bahasa ungkap) kesenian tidak hanya berisikan hal-hal yang langsung pada isinya, melainkan banyak disertai “bumbu-bumbu” sehingga “enak” untuk ditonton. Pepatah-petitih dalam pantun Melayu, umpamanya, walaupun isinya serius, namun banyak diselingi dengan hal-hal yang lucu. Dengan demikian, kesenian adalah suatu ranah kegiatan manusia di mana tercipta suatu media yang dapat mengungkapkan isi (perasaan, pikiran, kalbu, impian) yang enak maupun tak-enak, yang jelas maupun tak-jelas, melalui sesuatu yang membuat “enak.”
1.6 Bermukim dan Pemukiman Bagian ini merupakan rangkuman dari yang diatas telah disinggung, agar dari situ kita bisa bersama-sama dapat memikirkan atau memaknainya. Seorang pun dari kita tidak ada yang terlepas dari lingkungan pemukiman, sehingga masalahnya pun adalah masalah kita bersama. Yang kita telah tinjau di atas adalah faktor-faktor pendorong terjadinya pemukiman, yaitu biologis, sosial dan budaya. Secara biologis, adalah kodrat manusia untuk menemukan dan membina ruang hidupnya. Kemudian sifat berkelompok manusia membuat manusia melakukan pembinaan lingkungannya secara bersama-sama. Unsur budaya, yang juga dikembangkan dalam komunitas tersebut, pada gilirannya akan membentuk suatu karakter sosial, sehingga akan turut memunculkan manusia dalam “jati diri” atau “identitas” masyarakatnya, yakni suatu kepribadian di tengah-tengah sesamanya. Walaupun seorang manusia
36 — PEMUKIMAN
itu tetap sebagai suatu pribadi yang utuh, ia juga merupakan bagian dari kelompok (keluarga, marga, profesi), masyarakat (kampung, desa, kota), bangsa (negara), maupun kelompok berdasar keagamaan. Unsur-unsur inilah yang memberikan warna bagi tiap-tiap pemukiman. Pemikiran mengenai “kebenaran” atau filsafat sering dikatakan sebagai sesuatu yang tidak teraga, karena isinya merupakan konsepkonsep atau ajaran-ajaran. Konsep-konsep itu mengambil wujud yang teraga, karena hanya dengan itu isinya bisa tersampaikan, bisa terindera oleh masyarakat. Wujudnya, bisa berupa tulisan di atas kertas (buku), daun lontar, perlambangan, peribahasa dan dongeng-dongeng yang dituturkan, dinyanyikan, atau dipertunjukkan. Melalui hal-hal yang teraga atau terindra itulah, warganya bisa mempelajari, memahami, memikirkan, menafsirkan, dan mengartikannya, sehingga semua orang bisa menyesuaikan diri pada aturan atau norma yang berlaku. Sekilas, pemukiman adalah apa yang tampak di sekeliling kita. Dalam praktek kehidupan, perbuatan dan pergerakan kita dibatasi dan diarahkan olehnya. Kita tidak bisa begitu saja menerobos pagar dan menyeberangi jalan. Di belakang semua yang kasat mata itu sebenarnya terkandung nilai-nilai yang dianut dan dijunjung oleh pemukiman tersebut. Tercermin sikap terhadap sesama penghuninya, status sosial dan ekonomi penghuninya, kepercayaan yang dianut, dan sebagainya—karena hal itu semua adalah hasil dari pembangunan kita juga. Dalam tingkatan ini, pemukiman adalah suatu panggung tempat terjadinya kegiatan-kegiatan manusia dalam skala kelompok. Apabila muka bumi adalah panggung bagi segenap manusia, dan rumah adalah tempat bagi satu orang atau keluarga, maka pemukiman adalah panggung bagi komunitas, kelompok manusia. Di sinilah “kita” berantar-tindak (interaksi) dengan sesama warga, sekaligus menyaksikan dan menjadi tontonan bagi “mereka.” Kita dan mereka adalah satu kesatuan. Jadi pemukiman adalah perpanjangan kodrat kita semua sebagai manusia. Pemukiman bersifat niscaya atau pasti terjadi pada manusia dalam meluhurkan kemanusiaannya. Kita hanya bisa ada apabila kita bersamasama sanak-saudara, handai-tolan, serta sesama manusia dalam keadaan atau kondisi damai dalam pemukiman kita. Bermukim adalah salah satu kegiatan manusia yang rumit, karena melibatkan sejumlah orang. Makin banyak orangnya, makin beragam minatnya, makin besar tuntuannya, sehingga makin rumit pula masalahnya. Karena, setiap orang adalah merupakan pribadi yang utuh, yang memiliki impian dan kemampuan masing-masing, sehingga untuk mencari kesepahaman sosial itu bukanlah merupakan hal yang
BERMUKIM — 37
sederhana. Bersama-sama dengan proses bermasyarakat, khazanah kebudayaan terciptakan, yang memperkaya nilai-nilai atau martabat dan kualitas hidup masyarakat bersangkutan, baik dalam tingkat falsafah, tingkah laku, maupun kebendaan. Bagi seorang petani Bali, umpamanya, rumah adalah perwujudan jagat alit (“dunia kecil”). Rumah yang dilingkungi dinding penyengker (pagar atau tembok) itu membuat lingkungan rumah benar-benar menjadi bagian dari dirinya. Di sisi lain, seorang eksekutif perusahaan multi nasional, seringkali tidak mempunyai ’rumah’ karena pola hidupnya yang terus menerus berpindah. Ia tidak mempunyai ikatan dengan satu tempat tertentu. Pekerjaannya adalah juga rumahnya. Hubungan sosial bukan berdasar pada jarak fisik, melainkan juga pada pekerjaan, karir, atau perjuangan filosofis. Untuk kasus itu, tampak betapa berbedanya dengan ikatan sosial yang terbangun dalam suatu proses bermukim. Namun demikian, di mana pun ia tinggal, di situ pula ia akan menemukan rumah yang secara fisik ditinggali, entah yang merupakan bagian dari suatu pemukiman masyarakat ataupun mes rumah dinas perusahan. Dalam praktik, sesungguhnya antara pendekatan fisik dan nonfisik itu terjadi pada semua orang. Yang berbeda hanyalah tingkatannya. Singkat kata, uraian di atas diharapkan dapat memperjelas betapa besarnya peran kebudayaan dalam kehidupan manusia. Kebudayaan sebagai hasil pengolahan budi dikembangkan bersama-sama oleh kehidupan manusianya. Setiap saat, manusia mengisi kebudayaan. Tapi, pada saat yang sama manusia juga diatur olehnya. Demikian pula halnya pada kegiatan bermukim. Pemukiman dibentuk atau dibina manusia, tapi pada saat yang sama manusia ditumbuhkan atau “dibina” dalam pemukiman.
38 — PEMUKIMAN
TUGAS
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Carilah kata-kata yang berkata dasar ‘mukim’ pada surat kabar, majalah, kamus, ensiklopedi. Berikan pendapatmu dan diskusikan di kelas! Carilah data kependudukan dan komposisi dari lingkungan tempat tinggalmu. Kumpulkan juga data lingkungan alaminya! Bandingkan dengan bentuk yang dibangun, diskusikan di kelas! Carilah cerita rakyat setempat atau legenda yang berkaitan dengan kegiatan bermukim (cerita berdirinya suatu desa atau kota, misalnya). Bandingkan dengan sejarah lingkungan yang sebenarnya! Catatlah kegiatanmu satu hari selama dalam lingkunganmu. Apa saja perlengkapan atau peralatan yang kamu perlukan. Diskusikan bersama! Tonton atau dengarkan kesenian yang ada di sekitar tempatmu, siaran TV, radio, atau kaset/CD. Coba rasakan kesenian apakah yang disenangi dan yang tidak, kemudian catat dan beri alasan singkat!