Mantu Poci Oleh Nahdliyah Furri Utami “Paaak! Bapaaaaaaak! Mene mangan ndisit! Kie ibu gawa sega urab karo gesek!” kata wanita separuh baya dari luar sana. “Sedelat bu, tanggung!” balas si Bapak dari seberang. “Cepetan ya, pak! Kesusu segane adem!” katanya lagi. Sang Bapak menegakkan diri dari bungkuknya, melirik sang Ibu sembari mengangguk, tanda setuju. Tak lama, lelaki yang dipanggilnya kemudian melangkahkan kaki menghampiri sang Ibu. Terik matahari begitu menyengat, siang itu. Mentari seakan mengajak berbincang melalui panas yang tak kunjung memadam. Hujan seakan membawa awan meninggalkan semayamnya diatas sana. Hingga mentari terlihat begitu jelas, seakan menampakkan senyum, mengajak sang Bapak bergurau disiang bolong. Rambutnya sudah tak lagi hitam, memudar, sedikit keputihan. Mungkin saja karena terkena panasnya mentari setiap hari. Kakinya tak lagi bisa berlari sekencang kijang seperti dulu. Walaupun sedikit lamban, tetapi masih sanggup membawa badan yang tak lagi kekar, dengan genangan lumpur menjadi medannya. Kadar air sisa hujan semalam, semakin siang semakin menyusut. Membuat lumpur memadat dan menyatu pada panasnya terik mentari. Dalam langkah yang tidak begitu cepat, sang Bapak mengerucutkan pandangannya. Seakan bertanya, “dengan siapa istriku gubuk sebrang sana?” Semilir angin menjadi salah satu sebab mengapa sang Bapak mampu berlama-lama ditengah panasnya terik mentari, selain istri tercinta. Sang Ibu mengayunkan tangan, seakan menyuruh sang Bapak melangkah lebih cepat lagi. Sosok anak kecil yang duduk disamping Ibu berteriak kegirangan, “Bapaaaaak!” sembari melambaikan tangan, menirukan gaya sang Ibu. 1
Sawah yang mereka punya tak luas, namun letaknya lumayan jauh dari gubuk yang biasa digunakan untuk beristirahat. Sembari menunggu, sang Istri membuka bekal yang dibawanya dalam rantang. Dia telah mempersiapkan seluruhnya dari siang. Memasak dengan senang hati, berharap masakannya disantap habis oleh sang Suami. Sesampainya digubuk, sang Suami duduk disamping anak kecil yang berada disisi kanan sang Istri sembari menyantap bekal yang telah disiapkan sang Istri. “Wis ma’em, nok?” kata sang Bapak pada anak kecil yang duduk diantara mereka. “Wis mau Pak, didulang Ibu.” Jawab anak kecil itu. Sang Bapak kemudian melanjutkan makannya, hingga habis. Sang Istri menatap dengan senyum melihat suaminya makan dengan lahap, lalu menatap si kecil disampingnya dengan penuh rasa sayang. “Enak ora, Pak?” tanya sang Ibu kepada Bapak. “Ora bu,” jawab sang Bapak sembari mengembalikan rantang yang ada digenggamannya tanpa sisa makanan sedikitpun. “Ora enak, tapi ‘enteng ya, Pak?” kata Ibu sembari merapikan rantang tua susun tiga yang dibawanya. “Rantang’e ora enak, bu. Hahaha...” jawab sang Bapak seakan mengajak Ibu bergurau. “Wis balik sekolah, Nok?” kata bapak sembari berpindah tempat duduk menjadi dipojok bilik gubuk. Si Kecil membuntutinya kemudian tanpa aba-aba ia langsung duduk di pangkuan sang Bapak. “Sekolahe wis balik, Nok?” tanya sang Bapak sekali lagi. “Wis pak,” jawab anak kecil itu, singkat. “Ya wis, mana balik karo Ibu. Bapak pan ngasab maning, Nok. Sing nurut ya karo ibu,” kata sang Bapak sembari berdiri dan menggendong Denok dalam pelukannya, kemudian mencium pipinya, kanan dan kiri. Sang Ibu bangun dari duduknya, dia mengulurkan tangan kanannya kemudian meraih tangan sang Bapak sembari dicium dengan isyarat bahwa dia pamit pulang. Jarak dari sawah kerumah sangat jauh, bisa ditempuh satu jam jalan kaki. Panas yang dirasakan sang Bapak di sawah, juga dirasakan sang Ibu dalam perjalanan dari rumah ke sawah dan sebaliknya. Dengan beban Denok yang saat 2
ini digendongnya karena ia kelelahan berjalan. Kali ini, jalan yang dilaluinya lumayan sulit karena sisa hujan semalam. Tanahnya becek, kerikilnya licin, dan tanduran disekelilingnya menjadi basah. Bisa terjatuh jika tak hati-hati. Meskipun usia sang Ibu lebih muda 6 tahun dari sang Bapak, namun ia sudah cukup rentan untuk jatuh terpleset. Apalagi dengan beban yang dipikulnya karena menggendong Denok. “Bu Ratmi... Bu Ratmi...” kata seseorang dari kejauhan. “Apa mbak?” kata bu Ratmi membalasnya. “Kas sing ‘endi, bu? Sing sawah ya?” tanyanya seperti penasaran. “Iya, Hen. Aku kas sing Sawah. Ngaterna mangan nggo Bapane,” jawab Bu Ratmi sembari melanjutkan jalannya menuju rumah. “Kuwe Denok ya, Bu?” tanyanya penasaran karena wajah Denok mengumpat diantara bahu dan leher Bu Ratmi. “Iya, lagi turu. Aku ndisiti ya, melas Denok panasan,” kata Bu Ratmi pamit. Sesampainya dirumah, Bu Ratmi langsung menidurkan dikasur yang berada pada bilik kamarnya. Menyanyikan lagu “identitas” yang merupakan salah satu lagu yang berasal dari Tegal sembari mengelus lembut rambut dikepala Denok. Bu Ratmi memandang wajah Denok dengan tatapan sayang. Diam-diam dia merindukan kehadiran sosok anak ditengah-tengah kebahagiaannya dengan Pak Ratman. Lantas, terbesit bayangan bagaimana awal dia bertemu dengan Pak Ratman. Dulu, orang tua Bu Ratmi adalah penjual Kacang Bogares. Kacang yang rasanya gurih, sangat cocok dijadikan cemilan dirumah. Jajanan khas Tegal itu yang menjadikan mereka berdua menjadi sekarang ini, sepasang suami istri. Sembilan belas tahun silam, Bu Ratmi menerima niat baik Pak Ratman untuk mengajaknya hidup bersama. Wanita kelahiran Tegal itu sudah tidak memiliki keraguan pada darah Sunda yang mengalir didalam diri Pak Ratman. Dari kecil, Pak Ratman tinggal di Bogor bersama dengan kedua orang tuanya. Saat liburan tiba, Pak Ratman sering berkunjung ke Tegal bersama neneknya, untuk mengunjungi sang Paman. Paman Pak Ratman sering mengajaknya membeli 3
Kacang Bogares di warung orang tua Bu Ratmi guna untuk oleh-oleh yang akan dibawanya ke Sunda. Ketika Pak Ratman lulus SMA, dia memutuskan merantau di Tegal guna untuk mencari pengalaman baru. Menurutnya, Tegal adalah daerah yang mempunyai beberapa keunikan. Dari cara berbicaranya yang khas dengan bahasa ngapakya, juga dengan kebudayaannya yang beragam. Hingga ia memutuskan merantau di Tegal. Hingga saat ia merantau di Tegal, ia sering dikunjungi kerabatnya dari sunda. Terkadang Pak Ratman mengajak mereka menikmati pemandian air panas di Guci. Suasana pegunungan yang sejuk nan asri menjadi alasan kerabat Pak Ratman mengunjungi sahabatnya di Tegal itu. Selain bisa menghilangkan penat, air pemandian di Guci juga dipercaya oleh masyarakat sana untuk menyembuhkan penyakit kulit, misalnya, gatal-gatal. Saat kerabatnya akan pulang, Pak Ratman tak lupa memberinya oleh-oleh Kacang Bogares yang dibelinya di warung orang tua Bu Ratmi. Pak Ratman seringkali bercengkrama dengan kedua orang tua Bu Ratmi. Kala itu, mereka mengenalkan Bu Ratmi sebagai anak gadis satu-satunya, karena Bu Ratmi anak bungsu dengan tiga kakaknya laki-laki. Hingga Pak Ratman merasa tertarik dengan Bu Ratmi dan dengan gagahnya ia meminta restu akan menikahi Bu Ratmi kepada kedua orang tua Bu Ratmi. Bu Ratmi tak sadar, bahwa lamunanya menghantarkan ia pada tidur siang. Ia baru tersadar jika hari sudah mulai gelap, jarum jam didinding merangkak perlahan menuju angka lima sore. Waktu dimana dia harus mulai membersihkan rumah sebagai rutinitasnya. Dia segera bangun dan melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. *** Pak Ratman adalah sosok pekerja keras. Dia tak akan pernah pulang sebelum awan menjemput senja dari cakrawala. Selain sebagai seorang petani, 4
dia juga seorang peternak kambing. Dia mempunyai beberapa kambing peliharaan yang dijadikannya usaha sampingan. Meskipun kambing yang dipeliharanya hanya terdiri tidak lebih dari enam ekor, Pak Ratman bisa memperoleh keuntungan dari ternaknya. Saat ini ternaknya kebanjiran pesanan, karena sebentar lagi Lebaran Haji. Empat diantara enam kambingnya sudah ada yang memesan untuk Lebaran Haji nanti. Dia selalu meladang setelah selesai bertani. Mencari rumput untuk makan kambing-kambing kesayangannya ditanah lapang. Rumahnya tak jauh dari tanah lapang itu, hingga dia bisa mencari pangan ternaknya sembari pulang kerumah. Pak Ratman selalu pulang larut ketika berada di kandang kambing peliharaannya itu. Bukan karena dia tak kenal waktu, tetapi karena dia mengurus ternaknya seorang diri. Dia merasa sanggup mengurus ke-enam hewan ternaknya sendirian. Dia tak hanya pandai bertani, tapi dia juga pandai berternak dan istrinya sangat memaklumi kesibukkannya itu. Meskipun dahulu, sebelum kehadiran Denok, Bu Ratmi seringkali merasakan kesepian. *** Senja beranjak pergi meninggalkan cakrawala, membiarkan bumi menggelap dengan sendirinya. Pak Ratman bergegas pulang kerumah, karena dia ingat telah mempunyai janji dengan Istrinya. Malam ini, mereka berencana datang di pesta pernikahan anak dari sahabat Bu Ratmi. Dengan sepeda motor yang mereka punya, Bu Ratmi dan Pak Ratman berangkat menuju acara pernikahan itu. Mereka mengajak Denok ikut serta, karena usianya yang baru genap 5 tahun, Denok tak mungkin ditinggal dirumah, sendirian. Sesampainya diacara pesta pernikahan, Bu Ratmi bertemu dengan teman lamanya, sang pemilik hajat itu. Mereka melampiaskan rindu dengan memeluk satu sama lain. Meskipun jarak rumah mereka tidak sampai puluhan kilo meter, tetapi mereka jarang bertemu. Bu Sumi, adalah seorang pengusaha warteg di 5
Jakarta. Dia ikut suaminya merantau di Jakarta bersama putri tunggalnya yang saat ini sedang melangsungkan pernikahan. Hal itu membuat keduanya tak pernah berjumpa hingga belasan tahun. Bu Sumi menikah 5 tahun lebih dulu, lalu pergi meninggalkan Tegal dan hidup lama disana. “Pimen kabare, Ratmi?” sapanya. “Alhamdulillah apik. Sampeyan pimen kabare?” jawabnya. “Apik, Rat. Kie putune? Mantu kok ora ngulemi?” tanya Bu Sumi sembari mencubit lembut pipi Denok, lalu menciumnya. “Ayu ya Mba, kaya simbahe. Emban Bukde ayo, cantik...” ajaknya pada Denok. Bu Ratmi belum sempat menjawab, Bu Sumi meminta mengemban Denok yang menggemaskan. Kemudian dia bercerita tentang kehidupannya di Jakarta. Tamu undangan datang silih berganti, namun sudah hampir satu jam Bu Sumi mengajaknya berbicara. Membicarakan tentang senang sedihnya hidup di Jakarta. Dia sangat membanggakan putri tunggalnya. Kemudian datang Bu Marni, teman lama mereka berdua. Bu Marni teman satu desa Bu Ratmi, jadi mereka berdua tahu keadaan keluarga masing-masing tanpa saling bercerita. Bu Ratmi merasa sudah terlalu lama berada diacara pernikahan temannya itu, dan berpamitan pulang, tak lupa membawa Denok. “Eh Denok... Ibune durung balik ya? Dadine esih karo Bukde Ratmi. Diih... anak wadon ora kopen” kata Bu Marni. “Nggeh dereng, Bukde Marni... Denok wangsul nggeh bukde...” kata Bu Ratmi mewakilkan denok sembari berpamitan. “Si Ratmi mantu kapan sih, Mar? Nganti duwe putu aku kok ora krungu,” kata Bu Sumi kepada Bu Marni. “Sih Ratmi pan mantu sapa Mbak?” Bu Marni balik bertanya kepada Bu Sumi. “Lho, si Denok kuwe dudu putune Ratmi?” kata Bu Sumi kebingungan. “Dudu, mbak. Ratmi durung duwe anak. Denok kuwe anake ponakane Ratmi, si Endang. Endang karo lanange kerjane awan bengi, dadine si Denok dititipna neng Bukdene.” Kata Bu Marni menjelaskan. “Ya Allah, jahat nemen aku. Pantesan mau tak takoni mung meneng, aku kudu njakuk ngapura karo Ratmi.” Katanya penuh penyesalan. 6
Dalam perjalanan pulang, Bu Ratmi tampak kecewa. Meskipun dia sudah terbiasa dengan omongan orang yang selalu menyinggung dimana keberadaan anaknya, hati kecil dia tetap merasa sakit. Bu Ratmi sudah memasrahkan seluruhnya kepada pemilik alam semesta. Hingga usia pernikahannya merangkak ke-19 tahun, mereka belum saja dikaruniai keturunan. Bu Ratmi dan Pak Ratman adalah pasangan yang kuat, mereka mampu bertahan selama itu meski tidak dikaruniai keturunan. Mereka berdua sangat merindukan sosok anak ditengahtengah keluarga kecil mereka, sebagai pelengkap kebahagiaan mereka berdua. Endang bersama suaminya tiba didepan rumah bibinya, bersamaan dengan sang Bibi yang baru pulang dari acara pernikahan anak kerabatnya itu. Denok yang tertidur dipelukkan Bu Ratmi, kemudian dipindahkan ke pelukkan Bu Endang, lalu dibawanya pulang kerumah. Hari belum terlalu larut, masih menunjukkan pukul 8 malam. Pak Ratman hendak berkunjung kerumah Pak Lurah, hendak menanyakan jadi memesan kambing atau tidak. Karena kambing hanya sisa dua dan rencananya itu akan dipesan oleh Pak Lurah untuk dikurbankan pada saat Lebaran Haji, nanti. Ketika dia akan melangkahkan kaki keluar rumah, dia melihat sang istri sedang termenung. Dia menghampiri istrinya, lalu bertanya mengapa dia seperti itu. Bu Ratmi menceritakan apa yang terjadi diacara pesta pernikahan tadi. Dia merasa tersinggung oleh perkataan teman lamanya, Bu Sumi. Pak Ratman sebagai lelaki yang dewasa, memberi pengertian kepada Bu Ratmi bahwa kita tak bisa semena-mena menyalahkan takdir. Ketika Tuhan sudah memutuskan seperti itu, kita harus bisa menjalaninya dengan ikhlas. Tapi, Bu Ratmi bukan mempermasalahkan karena dia tak mempunyai keturunan. Dia sudah semakin bisa menerima apa yang Tuhan berikan kepadanya, hingga saat ini. Dia bercerita kepada Pak Ratman, bahwa dia ingin mengadakan suatu pesta. Pesta apapun, asalkan ada pesta dirumahnya, begitu kata Bu Ratmi. Pak Ratman kebingungan harus mengadakan pesta apa untuk menuruti permintaan istrinya. 7
Dia hanya mengiayakan dan berkata bahwa nantinya akan diadakan pesta dirumahnya. Lalu dia meminta izin untuk pergi kerumah Pak Lurah, guna memastikan jadi atau tidaknya beliau memesan kambing kepada Pak Ratman. *** Dirumah Pak Lurah, Saya menjumpai Pak Ratman. Saya adalah mahasiswa yang sedang menjalankan KKN. Kebetulan posko yang saya tempati berada dikediaman Pak Lurah. Pak Budi, beliau sebagai lurah sangat terbuka. Hingga tak jarang ada warganya bercerita tentang permasalahan yang sedang mereka alami, seperti Pak Ratman. Beliau menceritakan kepada kami, perihal masalah yang Pak Ratman hadapi. Setelah didiskusikan, saya kira untuk menuruti permintaan Bu Ratmi adalah dengan diadakannya ritual “Mantu Poci.” Mantu Poci adalah suatu kebudayaan asli Tegal yang sudah hampir punah. Ritual Mantu Poci sudah sulit ditemukan dewasa ini. Mantu Poci, ada dua kata yang memiliki arti. “Mantu” dalam bahasa jawa berarti “menantu.” Dan “Poci” adalah maskot Tegal itu sendiri. Mantu Poci biasanya dilaksanakan oleh sepasang suami istri yang sudah lama menikah tetapi belum mempunyai keturunan. Dengan tujuan memohon agar dipermudahkan untuk mendapat keturunan. Mantu Poci juga bisa digunakan sebagai cara untuk mengadakan pesta pernikahan meskipun tidak mempunyai keturunan. Yang dinikahkan disini adalah poci, bukan manusia. Penyelenggaraannya sama persis seperti orang menikah, dengan mengadakan pesta dan mengundang tamu. Acara tersebut juga bisa dijadikan cara kita melestarikan kebudayaan daerah yang kita miliki. Dengan kita berani memulai, rasa cinta itu akan datang dengan sendirinya. Pak Ratman mengangguk senada dengan Pak Budi, sepertinya mereka setuju atas saran yang kami berikan. Kemudian kami mengunjungi Bu Ratmi sekaligus meminta persetujuan kepada Bu Ratmi tentang apa yang tadi dibicarakan. Setelah mendengar penjelasan dari Pak Budi, Bu Ratmi tanpa ragu 8
mengatakan bahwa ia setuju. Dan rencananya acara ritual Mantu Poci itu akan dilaksanakan satu minggu kedepan, dikediaman Pak Ratman. Pak Ratmanpun lega karena permintaan istrinya akan segera dituruti, sayapun turut merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh pasangan suami istri Bu Ratmi dan Pak Ratman.
9