MANFAAT SOSIAL EKONOMI PROYEK PELATIHAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU BAGI PETANI DAN PROSPEKNYA DI MASA MENDATANG Joko Mariyono The Australian National University Canberra, Australia ABSTRACT In Indonesia, agricultural sector has provided the highest shares of jobs. Unfortunately, the labours are unskilled and uneducated. In agricultural development, a shortage in education level is the major constraint and therefore training and education for farmers are required. If the farmers are trained and educated properly they will adopt the new technology rapidly. The Government of Indonesia implements Integrated Pest Management (IPM) Project with the goal to enhance farmers’ knowledge and skills. Trainings on IPM farmers conducted through Farmer’s Field School (FFS) does not only learn pest control methods but also agronomics, fertilizer application, and safeguarding of plants including prevention of plant diseases. The result of IPM project is decrease in pesticides use and increases in level of farm’s efficiency, which gives positive impacts on social and economic life of the farmers. Key words: IPM traning project, economic impacts, pesticides, and farm’s efficiency
Tidak dapat disangkal lagi bahwa sektor pertanian merupakan penyerap angkatan kerja yang paling tinggi di antara sektor lainnya dalam perekonomian di Indonesia. Suatu kenyataan bahwa sektor ini yang paling banyak menyerap tenaga kerja yang tidak terdidik. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian ini rata-rata berpendidikan rendah (Satari, 1999; Ministry of Agriculture, 1996). Jadi dapat dikatakan bahwa sumber daya manusia (SDM) di sektor pertanian tergolong masih rendah. Tingkat pendidikan yang rendah ini merupakan salah satu masalah yang menyebabkan usaha-usaha untuk memajukan bidang pertanian menjadi sangat lamban karena dengan tingkat pendidikan yang rendah petani tidak dapat dengan cepat menerima dan memahami kemajuan teknologi yang diperkenalkan (Gathak, 1992). Melihat kenyataan ini, sangat penting untuk meningkatkan SDM petani untuk mendukung pembangunan pertanian melalui pendidikan dan pelatihan. Hal ini karena aspek pendidikan dan pelatihan mempunyai hubungan yang positif dengan proses adopsi-inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian. Artinya, petani dengan pendidikan, baik formal maupun non formal, relatif lebih tinggi akan lebih cepat melakukan adopsi-inovasi. Ini terjadi karena akses dalam menerima informasi lebih mudah sehingga proses adopsi dapat berjalan lebih cepat. Dalam hal ini yang dapat dilakukan adalah menambah keterampilan dan pengetahuan melalui pendidikan non-formal (Soekartawi, 1993). Pendidikan dan pelatihan ini merupakan investasi SDM yang akan dapat meningkatkan produktivitas (marginal value product) dari tenaga kerja itu sendiri (Benllate and Jackson, 1990).
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Voume. 1, Nomor 1, September 2005, 1-10
Dalam rangka meningkatkan kualitas SDM, Pemerintah Indonesia menyelenggarakan program Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Program ini dilaksanakan untuk mewujudkan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1986 yang intinya bahwa dalam usaha menjaga ketahanan pangan, perlindungan tanaman dilakukan dengan sistem PHT yang menitik beratkan pada pemberdayaan petani sebagai pelaksana langsung di lapangan yang dilaksakanan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Program ini bekerja sama dengan petugas lapangan yang berada di garis depan, seperti pengamat hama dan penyakit (PHP), penyuluh lapangan pertanian (PPL), dan kelompok tani lain yang tersebar di 12 propinsi penghasil padi. Untuk mendukung program PHT, telah dilaksanakan proyek pelatihan PHT pada skala besar sejak tahun 1989. Proyek ini terbagi dalam dua fase. Fase pertama (1989-1992) dikoordinasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). sedangkan fase kedua (1993-1999) dilaksanakan oleh Departemen Pertanian. Pada fase pertama, Proyek didukung oleh dana hibah dari Pemerintah Amerika (USAID) untuk menyiapkan tenaga pelatih yaitu PHP dan PPL. Sedangkan fase berikutnya didukung oleh dana dari pinjaman lunak Bank Dunia untuk menyebar-luaskan teknologi PHT. Sasaran proyek adalah petani padi sebanyak 800.000 orang. Pelatihan dilakukan oleh PHP dan PPL yang telah dilatih pada proyek fase pertama (World Bank, 1993). Proyek pelatihan tersebut sudah selesai sejak tahun 1999 dan selanjutnya diharapkan dapat memberi manfaat langsung kepada petani. Artikel ini akan memberikan gambaran ringkas tentang kegiatan utama proyek pelatihan PHT dan manfaat yang dapat dinikmati oleh petani secara langsung, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini penting karena petani telah mengorbankan waktunya untuk mengikuti pelatihan selama satu musim tanam.
SEKOLAH LAPANGAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU Kegiatan utama proyek pelatihan PHT adalah melatih petani melalui kegiatan yang disebut Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT). SLPHT adalah kegiatan proses pembelajaran yang pelaksanaannya secara langsung dilakukan di lahan milik petani. Guru –yang selanjutnya disebut pemandu terdiri dari dua orang, satu orang sebagai Pengamat Hama Penyakit (PHP) dan satu orang sebagai Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Mereka berdua memandu petani sebanyak 25 orang. Satu unit pelatihan yang terdiri dari dua orang pemandu dan 25 petani ini disebut satu kelompok SLPHT. Pelatihan ini dilakukan selama satu musim tanam mulai dari awal tanam sampai dengan panen. Pertemuan dilakukan sebanyak 12 kali pertemuan dengan frekuensi pertemuan satu minggu sekali. Dalam pelaksanaannya, satu kelompok pelatihan dibagi kedalam lima kelompok kecil, dengan satu kelompok terdiri dari lima anggota. Sebagai bahan belajar, satu kelompok pelatihan memanfaatkan lahan seluas kira-kira 1000 meter persegi yang dibagi menjadi dua bagian. Bagian satu diberi nama petak perlakuan petani setempat, dan bagian lain diberi nama petak perlakuan PHT. Dua jenis lahan ini yang selanjutnya dipakai sebagai ‘buku referensi’ dalam kegiatan SLPHT selama satu musim tanam. Selanjutnya dalam satu kali pelatihan dilakukan kegiatan sebagai berikut. Pukul 08:00 - 08:30 Pengamatan di Lapangan. Peserta yang terbagi menjadi lima kelompok kecil melakukan pengamatan di lahan praktek. Pada proses ini, petani melakukan pengamatan kondisi
2
Mariyono, Manfaat Sosial Ekonomi Proyek Pelatihan PHT bagi Petani
umum lahan, pengambilan sampel tanaman, dan pengumpulkan serangga serta membawa specimen dari lahan yang diamati. Pukul 08:30 - 09:30 Analisa Agroekosistem. Proses ini merupakan inti dari kegiatan yang dilakukan setiap minggu. Tiap-tiap kelompok kecil menggunakan hasil pengamatannya dan hasil pengambilan sampel untuk membuat alat analisis dengan mengkombinasikan serangga yang diamati, kesehatan tanaman, kondisi umum lahan, cuaca, air, dan perlakuan terakhir. Pukul 09:30 - 10:00 Pengambilan Keputusan. Hasil kegiatan ini adalah sebuah keputusan yang diambil melalui diskusi kelompok kecil. Hasil keputusan ini dipresentasikan dan dipertahankan dalam diskusi terbuka di hadapan kelompok lain. Pukul 10:00 - 10:30 Dinamika Kelompok. Untuk menyegarkan suasana pelatihan, semua peserta melakukan dinamika kelompok dengan berbagai permainan yang mempunyai tujuan tertentu, diantaranya penyelesaian masalah, komunikasi, pembentukan kelompok, dan motivasi. Selesai permainan, beberapa anggota kelompok diminta untuk mengungkapkan makna dan tujuan dari permainan yang telah dilakukan. Pukul 10:30 - 11:30 Pembahasan Topik Khusus. Topik khusus ini dipilih berdasarkan masalah yang sedang atau sering dihadapi di wilayah kelompok yang bersangkutan. Jadi topik ini menjawab persoalan spesifik lokasi sehingga topik yang dibahas akan berbeda untuk wilayah yang berbeda. Pukul 11:30 – selesai. Peninjauan Ulang dan Perencanaan. Sebelum pertemuan berakhir, pemandu mengadakan tinjauan ulang terhadap kegiatan yang telah dicapai. Hasilnya digunakan untuk bahan perencanaan kegiatan yang akan dilaksanakan pada minggu berikutnya. Satu seri kegiatan di atas dilakukan sebanyak 10 kali dengan frekuensi satu minggu sekali. Pertemuan yang pertama digunakan untuk memberikan penjelasan umum proses pelatihan sedangkan pertemuan terakhir digunakan untuk evaluasi dan melaksanakan ubinan (pendugaan hasil panen perhektar) untuk mengukur perbedaan antar petak percobaan lapangan (Ministry of Agriculture, 1996; Rolling & Fliert, 1994).
MANFAAT SOSIAL EKONOMI DAN KESEHATAN
Proyek pelatihan PHT telah berakhir sejak tahun 1999. Lebih dari satu juta petani padi dari 12 propinsi penghasil padi telah mendapat pelatihan PHT. Mereka yang dilatih diharapkan akan menjadi ‘virus’ yang terus menularkan pengetahuan dan keterampilannya kepada petani lainnya sehingga dampak proyek dapat diterima secara merata. Secara garis besar dampak proyek dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, adalah dampak makro dan yang kedua adalah dampak mikro. Salah satu dampak makro adalah penghapusan subsidi pestisida sekitar 120 juta USD per tahun. Selama sepuluh tahun sebelumnya subsidi pestisida mendekati 1.5 milyar USD (Ministry of Agriculture, 1996). Selanjutnya penghematan tersebut dapat dialokasikan untuk keperluan yang lain. Dinamika penggunaan pestisida, subsidi dan luas areal untuk tanaman padi dapat dilihat pada Diagram 1.
3
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Voume. 1, Nomor 1, September 2005, 1-10
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Tahun (1970=1) Pestisida (ribu ton)
Subsidi (10 juta US$)
Luas areal (juta hektar)
Sumber: Indonesian Integrated Pest Management Preparation Report (1992)
Diagram 1. Penggunaan Pestisida dan Subsidi Pestisida Diagram 1 menunjukkan bahwa penggunaan pestisida terus meningkat sejak diperkenalkan revolusi hijau pada akhir 1960an. Salah satu faktor utama peningkatan penggunaan tersebut adalah subsidi. Pada tahun 1987, subsidi sudah mulai dikurangi dan penggunaan pestisida mulai turun meskipun luas areal terus meiningkat. Subsidi pestisida dihapus pada tahun 1990 satu tahun setelah proyek pelatihan PHT dimulai. Pertanyaan yang muncul: apakah turunnya penggunaan pestisida disebabkan oleh tidak adanya subsidi atau karena pelatihan PHT? Studi yang dilakukan oleh Mariyono & Irham (2001) serta Mariyono, Pawukir, & Suratiyah (2002) menunjukkan bahwa penghapusan subsidi pestisida dan pelatihan PHT mempunyai dampak yang simultan. Secara tidak langsung, penghapusan subsidi pestisida menyebabkan harga pestisida naik. Harga pestisida yang naik inilah yang menyebabkan penggunaan pestisida menjadi turun. Pada waktu yang bersamaan, telah diperkenalkan teknologi pengendalian hama terpadu yang dapat menghemat penggunaan pestisida. Teknologi tersebut diperkenalkan melalui pelatihan PHT. Studi terbaru dari Mariyono (2005) mendukung bahwa penyebab utama penurunan penggunaan pestisida adalah teknologi PHT. Harga pestisida sendiri tidak berpengaruh yang nyata karena pada saat yang sama harga beras juga naik sehingga harga pestisida relatif terhadap harga beras tidak meningkat tajam. Sementara itu, dampak mikro yaitu dampak yang langsung dinikmati oleh petani sebagai pemanfaat proyek. Untuk mengukur dampak suatu proyek diukur berdasarkan tujuan utama dari proyek
4
Mariyono, Manfaat Sosial Ekonomi Proyek Pelatihan PHT bagi Petani
tersebut dilakukan. Maksud dan tujuan proyek pelatihan PHT adalah stabilitas produksi, khususnya padi dan mempromosikan sistem produksi yang ramah lingkungan –manajemen lingkungan yang aman dan efisien serta pengendalian dan pengurangan polusi– yang dititik beratkan pada penguatan kelembagaan dan pengurangan risiko yang disebabkan oleh penggunaan pestisida (World Bank, 1993). Jika dilihat dari tujuan tersebut maka dampak yang relevan untuk diukur dari proyek ini adalah penggunaan pestisida oleh petani sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan (Useem, Setti, & Pincus, 1992). Perbedaan dalam hal penggunaan pestisida antara perlakuan setempat dan perlakuan PHT di 12806 unit kegiatan SLPHT di 12 propinsi dapat dilihat pada Diagram 2.
Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Barat
Perlakuan setempat Perlakuan PHT
Bali Jawa Timur Yogyakarta Jawa Tengah Jawa Barat Sumatera Selatan Sumatera Utara Sumatera Barat N.A.D. 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
Aplikasi pestisida (kali) Sumber: Laporan pendataan nasional SLPHT, 1998.
Diagram 2. Penggunaan Pestisida pada SLPHT Pada Diagram 2 dapat dilihat bahwa petak perlakuan PHT pada SLPHT di 12 propinsi menunjukkan penurunan pestisida lebih dari 50%. Penurunan tertinggi terjadi di Propinsi Selawesi Selatan dan penggunaan tertinggi di Propinsi Jawa Tengah. Perbedaan ini menunjukkan bahwa penerapan teknologi PHT secara teknis mampu mengurangi penggunaan pestisida sebesar lebih dari 50%. Berdasarkan survei usaha tani yang dilakukan oleh Program Nasional PHT, penggunaan pestisida pada tanaman padi di lima propinsi utama penghasil beras Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, menunjukkan penurunan yang signifikan, baik dalam
5
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Voume. 1, Nomor 1, September 2005, 1-10
volume maupun jumlah aplikasi, sebesar 56% setelah mengikuti pelatihan. Rata rata penurunan penggunaan pestisida di tiap-tiap propinsi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata Jumlah Aplikasi Pestisida Sebelum dan Sesudah Pelatihan (1990-1991) Wilayah Sumatera Utara Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan Rata-rata Sumber: Untung (1996)
Sebelum Pelatihan 5.17 2.39 2.23 2.31 2.33 2.58
Sesudah Pelatihan 1.72 1.04 1.37 1.17 0.48 1.13
Pengurangan (%) 66.7 56.5 38.6 49.3 75.1 56.2
Terlihat pada Tabel 1 bahwa Propinsi Sulawesi Selatan menunjukkan prosentasi penurunan yang paling tinggi dan Propinsi Sumatera Utara menunjukkan jumlah penurunan yang paling tinggi. Studi lainnya yang mendukung bahwa terjadinya penurunan penggunaan pestisida karena mengikuti pelatihan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Penggunaan Pestisida Sebelum dan Sesudah Pelatihan PHT Peneliti
Lokasi
Komoditas
Kusmayadi (1999)
Sumatera Barat
Padi
Diperta Tk I Jatim Timur (1998) Sumber: analisis penulis
Mojokerto, Pasuruan, Banyuwangi Kedelai
Penggunaan pestisida (Rp)
Penurunan (%)
sebelum
sesudah
19.081
8.479.
56
73.724
29.012
73
Tabel 2 menunjukkan bahwa penggunaan pestisida telah mengalami penurunan lebih dari 50%, jika ditinjau dari segi biaya dan frekuensi aplikasi. Irham & Mariyono (2001) mengidentifikasi bahwa penurunan penggunaan pestisida setelah mengikuti SLPHT karena terjadinya perubahan cara pengambilan keputusan dalam aplikasi pestisida. Petani yang telah mengikuti pelatihan PHT tidak melakukan penyemprotan secara berkala dan juga tidak serta merta melakukan penyemprotan jika melihat serangga. Petani akan mempertimbangkan untung rugi yang didasarkan atas keseimbangan antara serangga hama dan serangga yang bermanfaat. Untung (1996) menjelaskan bahwa meningkatnya efisiensi usaha tani setelah mengikuti SLPHT disebabkan oleh karena petani mampu menggunakan informasi di lapangan untuk bahan analisis pengambilan keputusan. Menurut Mariyono (2004), informasi yang diperoleh dari lapangan menyebabkan petani menunda penyemprotan. Hal ini terjadi karena dengan adanya informasi lapangan tersebut petani lebih toleran terhadap keberadaan serangga di lahan pertaniannya. Keadaan ini menunjukkan bahwa setelah mengikuti SLPHT pengetahuan petani mengenai usaha tani meningkat. Dari sisi penggunaan pestisida telah terjadi penghematan pengeluaran untuk pestisida dan penghematan ini merupakan tambahan keuntungan usaha tani. Proyek pelatihan PHT yang dilakukan dengan SLPHT tidak hanya bertujuan untuk mengurangi penggunaan pestisida tetapi juga melatih agar petani lebih efisien dalam mengelola usaha tani,
6
Mariyono, Manfaat Sosial Ekonomi Proyek Pelatihan PHT bagi Petani
terutama dalam alokasi input. Pelatihan yang dimulai dari awal tanam sampai dengan panen, diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan input dimulai dari awal tanam sampai dengan panen. Dari hasil studi ekonomi di Sumatera Barat, petani padi yang dilatih PHT mampu menghemat input sebesar 14,4% dari Rp.163.268,- untuk setiap hektarnya dan meningkatkan pengembalian sebesar 42,7% jika dibandingkan dengan petani yang tidak dilatih melalui SLPHT. Dalam hal ini, biaya tenaga kerja tidak menunjukan perbedaan yang berarti (Kusmayadi, 1999). Hasil studi tersebut didukung oleh Utama (2004) yang menunjukkan bahwa di Sumatera Barat telah terjadi peningkatan efisiensi teknis dalam usaha tani padi setelah petani mengikuti SLPHT. Untuk komoditas kedelai partisipasi petani pada SLPHT juga meningkatkan efisiensi usaha tani di Jawa Timur (Mariyono, Pawukir, & Setyoko, 2003). Setelah mengikuti SLPHT, petani dapat meningkatkan produktivitas kedelai dan keuntungan usaha tani yang lebih tinggi. Dengan adanya penghematan input dan pengembalian yang lebih besar, Proyek pelatihan PHT telah berdampak pada peningkatan pendapatan petani. Hasil ini didukung oleh hasil monitoring dan evaluasi tentang dampak proyek terhadap 6.114 petani, yang menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang nyata lebih tinggi dalam produksi dan pendapatan usaha tani padi pada petani yang mengikuti SLPHT dibandingkan dengan yang tidak mengikuti (Mariyono, 1999). Keuntungan lain yang secara tidak langsung diperoleh oleh petani karena telah berhasil mengurangi penggunaan pestisida adalah berkurangnya biaya sosial yang berhubungan dengan eksternalitas yang disebabkan adanya penggunaan pestisida. Biaya eksternalitas yang berhubungan dengan petani berupa biaya kesehatan. Hal ini terjadi karena banyak petani yang terbukti menderita gejala keracunan setelah melakukan aplikasi pestisida (Kishi, Norbert, Djayadisastra, Satterlee, et al, 1995; Pawukir dan Mariyono, 2002). Akibatnya, petani harus mengeluarkan biaya tambahan untuk berobat dan konsultasi dokter, kehilangan waktu kerja, biaya menanggung sakit, dan berkurangnya umur harapan hidup petani akibat penggunaan pestisida. Biaya kesehatan akibat penggunaan pestisida sulit dihitung secara langsung, namun dapat diestimasi dengan beberapa pendekatan. Rola dan Pingali (1993) mengestimasi bahwa setiap peningkatan satu kilogram pestisida, petani di Filipina harus mengeluarkan biaya kesehatan kira-kira sebesar 9.000 Peso (Pawukir & Mariyono, 2004). Dari hasil estimasi tersebut, setelah dikonversi dengan keadaan sosial ekonomi petani Indonesia, biaya kesehatan untuk setiap penggunaan satu kilogram pestisida pada satu hektar usaha tani padi kirakira sebesar Rp.1.600.000,- (Pawukir & Mariyono). Sedangkan biaya eksternalitas yang berhubungan dengan publik (masyarakat secara keseluruhan) dapat berupa rendahnya pencemaran produk pertanian (Houndekon & Groote, 1998; Jungbluth, 1996). Respon masyarakat terhadap penurunan penggunaan pestisida dibahas secara lebih luas di bagian prospek penerapan teknologi PHT di masa mendatang.
PROSPEK PENERAPAN TEKNOLOGI PHT DI MASA MENDATANG Berdasarkan manfaat tersebut, penerapan teknologi PHT mempunyai masa depan yang cerah. Meskipun proyek pelatihannya telah berakhir, petani yang sudah dilatih akan terus menerapkan dan mengembangkan berdasarkan pengalaman yang dimiliki. Penerapan teknologi PHT tidak hanya diterapkan pada tanaman pangan dan hortikultura tetapi juga dapat diterapkan pada tanamantanaman perkebunan, misalnya tembakau, kopi, dan kakao. Dengan demikian penggunaan pestisida diharapkan terus menurun sehingga ada manfaat lain yang potensial di masa mendatang.
7
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Voume. 1, Nomor 1, September 2005, 1-10
Sehubungan dengan munculnya kepedulian masyarakat terhadap bahaya pestisida pada kesehatan dan lingkungan, penerapan teknologi PHT mempunyai prospek ekonomi yang menguntungkan. Bila petani jeli, sebenarnya masih ada kesempatan lagi untuk meningkatkan keuntungan usata tani, yaitu menjaring konsumen yang telah sadar akan bahaya pestisida terhadap kesehatan. Atas dasar kesadaran tersebut, mereka bersedia membayar dengan harga yang lebih tinggi untuk produk pertanian yang rendah residu dari bahan-bahan kimia (Mourato, Ozdemiroglu, & Foster, 2000). Dengan menerapkan PHT beberapa produk (salah satunya padi) telah berhasil dibudidayakan dengan tanpa menggunakan pestisida. Produk semacam ini bila dipasarkan secara khusus akan dapat memberikan keuntungan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan dipasarkan bersama produk yang lain. Jika petani memasarkan produknya yang dalam budidayanya tidak menggunakan pestisida, terdapat kelompok konsumen yang bersedia membeli dengan harga yang lebih tinggi. Para konsumen yang semakin tinggi tingkat pendidikannya, akan semakin tinggi kesediaan membayar dengan harga yang lebih tinggi terhadap produk yang diproduksi tanpa menggunakan pestisida (Ameriana, 1999). Sudah banyak kelompok masyarakat internasional yang telah menyadari bahaya dari pestisida dan bahan kimia lain yang terkandung dalam makanan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nimon & Beghin (1998), menunjukkan bahwa harga premium untuk barang yang ber-eco-label disebabkan oleh konsumen yang peduli terhadap kesehatan. Artinya konsumen bersedia membeli dengan harga yang lebih tinggi jika barang tersebut, selain memberi kepuasan terhadap fungsi barang itu sendiri, juga memberi rasa aman bila konsumsi. Jadi perbedaan harga yang lebih tinggi merupakan penghargaan karakteristik barang tersebut, yaitu menyebabkan pemakai merasa lebih sehat dibanding jika menggunakan barang lain yang tidak diketahui karakteristiknya. Hasil ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Akgüngör, Miran, & Abay (1999) yang menghitung kesediaan konsumen untuk membayar (consumers’ willingness to pay =WTP) untuk produk pertanian yang rendah residu pestisida. Studi yang dilakukan di Turki tersebut menunjukkan bahwa konsumen bersedia membayar harga lebih tinggi sebesar rata-rata dua persen untuk tomat yang rendah residu.
KESIMPULAN DAN SARAN Dari uraian dan bukti tersebut, dapat ditunjukkan bahwa proyek pelatihan PHT telah memberikan dampak ekonomi yang positif bagi petani. Proyek pelatihan PHT tidak semata-mata hanya bertujuan mengurangi penggunaan pestisida tetapi juga bertujuan meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan petani. Tujuan ini telah tercapai dengan turunnya penggunaan pestisida yang secara langsung telah menghemat biaya input. Dampak dari peningkatan pengetahuan dan ketrampilan terlihat dari meningkatnya efisiensi penggunaan input-input yang lain dan tingkat pengembalian yang lebih tinggi. Keuntungan petani yang meningkat disebabkan oleh penghematan biaya input yaitu tidak perlu menggunakan pestisida. Efisensi penggunaan input lainnya, dan kesempatan untuk mendapatkan harga produk yang lebih tinggi dari konsumen yang peduli terhadap kualitas dan keamanan produk juga merupakan dampak yang memungkinkan petani untuk memperoleh penerimaan yang lebih tinggi.
8
Mariyono, Manfaat Sosial Ekonomi Proyek Pelatihan PHT bagi Petani
Manfaat tidak langsung proyek pelatihan PHT berupa peningkatan kesehatan petani, pemaparan pestisida yang dialami petani semakin berkurang. Hal ini karena pestisida merupakan bahan kimia beracun yang mempunyai efek merusak kesehatan. Masyarakat lain juga diuntungkan oleh turunnya penggunaan pestisida karena tersedia produk pertanian yang rendah residu pestisida dan tentunya akan lebih sehat dibandingkan dengan yang residunya lebih tinggi. Bahkan sekelompok masyarakat tertentu telah bersedia membayar lebih tinggi untuk produk pertanian yang residu pestisidanya rendah. Jika ditelaah lebih luas lagi, keuntungan secara sosial juga diperoleh dari berkurangnya eksternalitas pestisida terhadap lingkungan, yaitu naiknya biodiversitas dan tersedianya kembali binatang lain yang bermanfaat seperti belut, katak, dan ikan, serta binatang lain yang berguna baik langsung maupun tidak langsung. Settle, Ariawan, Astuti, Cahyana, et al. (1996) telah mengidentifikasi biodiversitas ekosistem persawahan yang dapat diselamatkan jika penggunaan pestisida dapat dikurangi. Untuk melihat dampak proyek secara komprehensif, maka sangat disarankan untuk melakukan studi yang mengupas pengurangan biaya eksternalitas lebih lanjut, agar manfaat total proyek dapat diketahui.
REFERENSI Akgüngör, S., Miran, B., Abay, C. (1999). Consumer willingness to pay for reduced pesticides residues in tomatoes: the Turkish case. Makalah dipresentasikan pada Pertemuan Tahunan Asosiasi American Agriculture Economics.Tennessee. Ameriana, M. (1999). Kepedulian konsumen terhadap residu pestisida dan peluang harga jual produk bebas residu pada tanaman sayuran. Hasil Penelitian Pendukung PHT. Program Nasional PHT, Jakarta. Benllate, D., Jackson, M. (1990). Ekonomi Ketenaga-kerjaan. Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Gathak, S. (1994). Pertanian dan pembangunan ekonomi. Dalam N. Gemmell, N. (Ed.) Ilmu ekonomi pembangunan, beberapa survey. Jakarta: LP3ES. Houndekon, V. & Groote, H. (1998). Health costs and externalities of pesticide use in locust and grasshopper control in Sahel. Benin: International Institute of Tropical Agriculture. Indonesian Integrated Pest Management Preparation Report. (1992). Jakarta: Ministry of Agriculture. Irham & Mariyono, J. (2001). Perubahan cara pengambilan keputusan oleh petani Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam menggunakan pestisida kimia pada padi. Jurnal Manusia dan Lingkungan, 8(2): 91-97. Jungbluth, F. (1996). Crop protection policy in Thailand, economic and political factors influencing pesticides use. A Publication of the Pesticide Policy Project. Publication Series 5. Kishi, M., Norbert, H., Djayadisastra, M., Satterlee N.L., Strowman, S., & Dilts, R. (1995). Relationship of pesticides spraying to signs and symptoms in Indonesian farmers. Scandinavian Journal of Work, Environment, and Health, 21. 124-133. Kusmayadi, A. (1999). Integrated pest management in rural poverty alleviation. Case Study of Indonesia. Jakarta: Ministry of Agriculture. Mariyono, J. (1998). Laporan pendataan nasional SLPHT oleh Sekretariat PHT Pusat. Program Nasional PHT. Jakarta. Mariyono, J. (1999). Monitoring dan evaluasi PHT. Program Nasional PHT. Jakarta.
9
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Voume. 1, Nomor 1, September 2005, 1-10
Mariyono, J. (2004). Economic threshold and pesticide use adjustments associated with IPM training in Indonesia, Makalah dipresentasikan pada 15th International Plant Protection Congress (IPPC), Beijing-China, 11-16 Mei 2004. Mariyono, J. (2005). Agricultural modernisation and environmental protection: How do they work synchronically? Makalah dipresentasikan pada 6th Annual Association of Pacific Rim Universities (APRU) Doctoral Students Conference, 7-12 Agustus 2005, di the University of Oregon in Eugene, Oregon, Amerika Serikat. Mariyono, J., & Irham (2001). Usaha mengurangi penggunaan pestisida dengan Program PHT. Jurnal Manusia dan Lingkungan Vol. VIII (1). 30-36. Mariyono, J., Irham, & Suratiyah, K. (2002). Dampak teknologi Pengendalian Hama Terpadu pada permintaan pestisida pada padi di Yogyakarta. Agrosains , Vol. 15 (1). 131-142. Mariyono, J., Pawukir, E.S., Setyoko, H. (2003). Economic incentive of field management training for soybean producers in East Java. Jurnal Agribisnis, VII (1). 1-10. Ministry of Agriculture (1996). IPM farmers. Jakarta: The Indonesian Integrated Pest Management (IPM) Program. Mourato, S., Ozdemiroglu, E., & Foster, V. (2000). Evaluating health and environmental impact of pesticide use: implication for the design of ecolabel and pesticide taxes. Environmental Scientific Technology. 34 (8). 1456-1461. Nimon, W. & Beghin, J. (1998). Are eco-labels valuable? Evidence from the apparel industry. Makalah dipresentasikan pada Pertemuan Tahunan Asosiasi American Agriculture Economics. Salt Lake City. Pawukir, E.S. & Mariyono, J. (2002). Hubungan antara penggunaan pestisida dan dampak kesehatan: Studi kasus di dataran tinggi Alahan Panjang Sumatera Barat. Jurnal Manusia dan Lingkungan, IX (3). 126-136. Pawukir, E. S. & Mariyono, J. (2004). Lost productivity of work associated with adverse health impacts of pesticide use in rice production in Indonesia. Makalah dimuat dalam Proceeding of the 6th Indonesian Regional Science Association (IRSA) International Conference, 13-14 Augustus 13 -14, 2004 di Jogjakarta, Indonesia. Rolling, N. & Fliert, E. (1994). Transforming extension for sustainable agriculture: The case of Integrated Pest Management in rice in Indonesia. Agricultural and Human Value, 11 (2/3). 96-108. Satari, G. (1999). Orasi ilmiah pada Lustrum III Fakultas Pertanian. Universitas Padjajaran, Jatinagor, Bandung. Settle, W.H., Ariawan, H., Astuti, E. T., Cahyana, W., Hakim, A.L., Hindayana, D., Lestari, A., Pajarningsih, & Sartanto (1996). Managing tropical rice pests through conservation of generalist natural enemies and alternative prey. Ecology, 77 (7): 1975-1988. Soekartawi, 1993. Pendidikan nonformal untuk petani. Kompas 7 Juni 1993. Untung, K. (1996). Institutional constraints on IPM implementation in Indonesia. Publication of the Pesticide Policy Project, Publication Series, 3A. 37-47. Useem, M., Setti, L., & Pincus, J. (1992). The science of Javanese management: Organizational alignment in an Indonesian Development Programme. Public Administration and Development, 12: 447-471. Utama, S.P. (2003). Kajian efisiensi usaha tani padi sawah pada petani peserta sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT) di Sumatera Barat. Agrisep, 2(1). 58-70. World Bank (1993). Staff appraisal report. Indonesia Integrated Pest Management Training Project.
10