MANFAAT JAMUR PELAPUK PUTIH Phanerochaete chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 UNTUK BIOBLEACHING PULP KARDUS BEKAS
AGUS SUPRIYANTO
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
MANFAAT JAMUR PELAPUK PUTIH Phanerochaete chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 UNTUK BIOBLEACHING PULP KARDUS BEKAS
AGUS SUPRIYANTO
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Karya Tulis Ilmiah ini khusus dipersembahkan untuk mengenang almarhum “Merry Permana Sari”
RINGKASAN AGUS SUPRIYANTO. Manfaat Jamur Pelapuk Putih Phanerochaete chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 untuk Biobleaching Pulp Kardus Bekas. Di bawah Bimbingan Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si dan Isroi, S.Si M.Si Phanerochaete chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 merupakan jamur pelapuk putih yang berasal dari Kelas Basidiomycetes. Salah satu jenis jamur pelapuk kayu yang cukup potensial untuk dimanfaatkan dalam industri kertas adalah kelompok Pleurotus. Jenis jamur Pleurotus memiliki kemampuan untuk mendegradasi bahan-bahan berlignoselulosa secara efesien. Pada saat ini kegiatan industri pulp dan kertas dalam proses pemutihan (bleaching) menggunakan klorin dan dapat menjadi sumber pencemaran lingkungan. Sehingga untuk mengurangi penggunaan klorin dalam proses pemutihan pada industri pulp dan kertas digunakan jamur yang dikenal dengan istilah biobleaching. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui potensi P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 sebagai agen biobleaching pulp kardus bekas terhadap bilangan kappa dan kadar lignin serta sifat fisik kertas kardus bekas. Penelitian ini dilakukan dengan perbanyakan inokulum P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 pada media agar (PDA) dan media cair (MEL) pada botol polypropylene yang diinkubasi selama 7 hari pada suhu 25°C. Sebanyak 25 gram pulp (kering oven) dimasukkan ke botol polypropylene dan disterilisasi di dalam autoklaf selama 15 menit (121°C,1 atm). Selanjutnya pulp dalam botol tersebut diinokulasi dengan kedua jamur tersebut sebanyak ±50 ml dan diaduk rata. Sebagai kontrol adalah pulp yang tidak diberi jamur. Kemudian diinkubasi selama 5, 10 dan 15 hari. Setelah masa inkubasi dihitung tingkat degradasi dan laju dekomposisi dan pH dengan mengambil 2 gram pulp yang ditambahkan 25 ml air suling serta diaduk selama ±2 menit pada magnetic styrer. Cairan filtrat diukur dengan pH-meter pada suhu 25°C. Pengujian aktivitas enzim menggunakan 1 gram ditambahkan 4 ml buffer fosfat pH 7 yang dihaluskan dalam bak berisi air dingin, kemudian disaring diambil cairan filtrat dimasukkan kedalam eppendorf 1,5 ml dan disentrifuge selama 10 menit (4°C, 10.000 rpm). Supernatan diambil untuk pengujian aktivitas enzim LiP yang diukur berdasarkan reaksi dengan veratril alkohol pada panjang gelombang 310 nm dan aktivitas enzim MnP yang diukur berdasarkan reaksi dengan guaiakol pada panjang gelombang 456 nm. Pulp dilakukan pengujian bilangan kappa dengan metode TAPPI no. T236 cm-85 dan sifat fisik yang meliputi Tensile Strength (TAPPI no. T404 os-74), Tearing Strength (TAPPI no. T414 ts-65), Ring Crush (TAPPI no. 818 os-76) dan Brusting Strength (TAPPI Standard). Hasil penelitian memperlihatkan P. chrysosporium L1 memiliki pertumbuhan yang paling bagus pada masa inkubasi selama 5 hari dengan pH 4,95 dan Pleurotus EB9 memiliki pertumbuhan paling bagus pada masa inkubasi selama 10 hari dengan pH 5,00. Persentase penurunan bobot kering pulp oleh isolat Pleurotus EB9 rata-rata bobot kering pulp menurun sebesar 16,4% dan pada perlakuan dengan isolat P. chrysosporium L1 rata-rata bobot kering menurun sebesar 6,43% pada masa inkubasi selama 15 hari. P. chrysosporium L1 memiliki tingkat degradasi 0,37% dan laju dekomposisi 0,0066 gram/hari pada masa inkubasi selama 15 hari. Pleurotus EB9 memiliki tingkat degradasi 0,65% dan
laju dekomposisi 0,0119 gram/hari pada masa inkubasi selama 15 hari. P. chrysosporium L1 mempunyai aktivitas enzim LiP tertinggi pada masa inkubasi hari 10 hari (0,311 U/ml) dan aktivitas enzim MnP tertinggi pada masa inkubasi selama 5 hari(0,734 U/ml). Pleurotus EB9 tidak terdeteksi mempunyai aktivitas enzim LiP. Pleurotus EB9 mempunyai aktivitas enzim MnP tertinggi pada masa inkubasi selama 5 hari (0,409 U/ml). Bilangan kappa pulp kardus bekas untuk kontrol yaitu 41,38. Perlakuan dengan isolat P. chrysosporium menurunkan bilangan kappa menjadi 41,24 pada masa inkubasi selama 5 hari. Isolat Pleurotus EB9 menurunkan bilangan kappa menjadi 39,19 pada masa inkubasi selama 10 hari. Perlakuan pulp kardus bekas dengan menggunakan isolat P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dapat menurunkan sifat fisik kertas kardus bekas. Kekuatan lembaran pulp yang terbaik dihasilkan dari perlakuan jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 pada masa inkubasi selama 5 hari. P. chrysosporium L1 menghasilkan kekuatan lembaran pulp berupa : 1). Breaking Length sebesar 4,74 Km; 2). Tearing Factor sebesar 102,01 Nm2/kg; 3). Brusting Factor sebesar 3,61 kPa m2/g dan 4). Ring Crush sebesar 12,61 Kgf. Pleurotus EB9 menghasilkan kekuatan lembaran pulp berupa : 1). Breaking Length sebesar 4,56 Km; 2). Tearing Factor sebesar 102,25 Nm2/kg; 3). Brusting Factor sebesar 3,52 kPa m2/g dan 4). Ring Crush sebesar 11,77 Kgf. Berdasarkan parameter-parameter di atas diketahui bahwa isolat P. chrysosporium L1 memiliki potensi sebagai agen biobleaching pulp kardus bekas dengan masa inkubasi 5 hari. Demikian juga, isolate Pleurotus EB9 memiliki potensi sebagai agen biobleaching pulp kardus bekas dengan masa inkubasi 5 hari.
Kata Kunci : Jamur pelapuk putih, P. chrysosporium L1, Pleurotus EB9, Pulp kardus bekas, Biobleaching.
SUMMARY AGUS SUPRIYANTO. Biobleaching of Used Cardboard Pulp by White Rot Fungi Phanerochaete chrysosporium L1 and Pleurotus EB9. Under the guidance of Dr.Ir.Elis Nina Herliyana, M.Si and Isroi, S.SI M.Si Phanerochaete chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 are types of white rot fungi that originate from Basidiomycetes class. Both of them are potential wood putrefying fungis that can be used fir pulp industry. Pleurotus has an ability to degradise lignoselulose materials efficiently. Today, the pulp and paper industry uses chlorin for bleaching which is environmentally harmful. To decrease the usage of chlorin in bleaching process in pulp and paper industry, fungis are used which generally termed as biobleaching. The purpose of this research is to find out the potenstials of P. chrysosporium L1 and Pleurotus EB9 as biobleaching agents of used cardboard pulp to kappa numbers, lignin degrees, and to determine cardboard pulp’s physical characteristics. This research was conducted by increasing the number of inocolums of P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 in gelatin (PDA) and liquid media (MEL) in polypropylene bottle that has been incubated for 7 days (25ºC). 25 grams of pulp (Oven dry) were inserted to a polypropylene bottle and sterilized in autoclave for 15 minutes (121ºC, 1 atm). Next, the pulp was inoculated with both types of fungis about 50 ml, and it was stirred evenly. Then, it was incubated for 5, 10, and 15 days. After the incubation period, the degradation level, decomposition rate, and pH were counted by subtracting 2 grams of pulp which were added with 25 ml of distilled water, and stirred for about 2 minutes with magnetic styrer. The filtrate liquid was measured with pH-meter (25 C). Enzymes activity testing was checked by using 1 gr of pulp added with 4 ml of pH 7 buffer phosphate which were evenly grinded into cold water basin. Then it was filtered. The filtration solution was put into eppendorf 1,5 ml and centrifuged for 10 minutes (4 C, 10.000 rpm). Supernatant was taken for LiP enzyme axtivity testing which was measured based on alcohol veratril reaction with amplitude 310 nm. And, MnP enzyme was measured based on guaiacol reaction with amplitude 456 nm. Kappa numeral and pulp were tested with TAPPI no. T236 cm-85 method, and physical characteristics were included Tensile Strength (TAPPI no. T404 os74), Tearing Strength (TAPPI no. T414 ts-65), Ring Crush (TAPPI no. 818 os-76, and Brusting Strength (TAPPI Standard). The results showed that P. chrysosporium L1 had the best growth in the fifth day of incubation period with pH 4,95, and Pleurotus EB9 has the best growth in the tenth day with pH 5,00. Dry pulp weight decrease percentage by Pleurotus EB9 isolate was 16,4 % in average, and on treatment with P. chrysosporium L1 the average percentage was about 6,43% on the fifteenth day of incubation. P. chrysosporium L1 had 0,37% of gradation level and decomposition rate of 0,0066 grams/day on the fifteenth day of incubation. Pleurotus EB9 had degradation level of 0,65 % and decomposition rate of 0,0119 grams/day on the fifteenth day of incubation period. P. chrysosporium L1 had the highest LiP enzyme activity on the tenth day of incubation period (0,311 U/ml), and MnP enzyme activity on the fifth day (0,734 U/ml). Pleurotus EB9 showed no activity of LiP enzyme, while the highest MnP enzyme activity was detected on the fifth day of the incubation period (0,409 U/ml). Control used cardboard kappa numeral
was 41,38. The treatment with P. chrysosporium isolate decreased the kappa numeral of 41,24 on the fifth day of incubation. Pleurotus EB9 isolate decreased the kappa numeral of 39,19 on the tenth day. The treatments on used cardboards by using P. chrysosporium L1 and Pleurotus EB9 isolates can decrease the physical characteristics of used cardboard paper. Strength paper of pulp is the best in yield by P. chrysosporium L1 treatment fungi and Pleurotus EB9 treatment fungi on the fifth day of incubation. P. chrysosporium L1 is yielding strength paper of pulp in the form of 1). Breaking Length equal to 4,74 Km; 2). Tearing Factor equal to 102,01 Nm2/kg; 3). Brusting Factor equal to 3,61 kPa m2/g and 4). Ring Crush equal to 12,61 Kgf. Pleurotus EB9 is yielding strength paper of pulp in the form of 1). Breaking Length equal to 4,56 Km; 2). Tearing Factor equal to 102,25 Nm2/kg; 3). Brusting Factor equal to 3,52 kPa m2/g and 4). Ring Crush equal to 11,77 Kgf. Based on the parameters above, P. chrysosporium L1 isolate shows the potential to be a used cardboard pulp biobleachong agent with incubation period of five days. And so do, treatments with Pleurotus EB9 isolate also shows the same results with incubation period of five days. Keywords : White rot fungi, P. chrysosporium L1, Pleurotus EB9, Used cardboard pulp, Biobleaching.
PERNYATAAN Bersama ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Manfaat Jamur Pelapuk Putih Phanerochaete chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 untuk Biobleaching Pulp Kardus Bekas adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan ataupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari skripsi ini.
Bogor, Mei 2009
Agus Supriyanto NRP E14204075
KATA PENGANTAR Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT. atas nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul Manfaat Jamur Pelapuk Putih Phanerochaete chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 untuk Biobleaching Pulp Kardus Bekas. Karya Ilmiah ini merupakan syarat untuk dapat gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Ibu Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si dan Bapak Isroi, S.Si M.Si selaku pembimbing atas segala perhatian, bantuan, bimbingan dan arahannya. 2. Bapak Ir. Trisna Priadi, M.Eng. So sebagai dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Bapak Dr. Ir. Evrizal A.M Zuhud, MS sebagai dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. 3. Ibu Tutin Suryatin, BScF. selaku laboran di Laboratorium Penyakit Hutan atas segala perhatian dan dukungannya selama melaksanakan penelitian. 4. Keluarga tercinta di rumah yaitu Ayahku, Ibuku dan Adik atas segala doa, perhatian, dukungan dan kasih sayangnya. 5. Industri Pulp dan Kertas PT. Bekasi Teguh atas kerjasamanya. 6. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan atas kerjasamanya. 7. Teman-teman seluruh Fakultas Kehutanan angkatan 41. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dunia kehutanan dan pihak-pihak yang menggunakannya.
Bogor, Mei 2009
Agus Supriyanto
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 8 Mei 1986 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sukemi Miyanto dan Ibu Saniah. Penulis menempuh pendidikan di SD Negeri 05 Pagi Jakarta Timur dan lulus pada tanggal 1998, SLTP Negeri 52 Jakarta Timur dan lulus pada tahun 2001, kemudian melanjutkan ke SMU Negeri 54 Jakarta Timur dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004, penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) dan diterima pada Jurusan Manajemen Hutan Program Studi Budidaya Hutan. Selama menempuh studi di Fakultas Kehutanan IPB penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni anggota DKM Ibaadurahman periode 2005-2006, Sekretaris Majelis Ta’lim Al Asyjar periode 2005-2006, anggota FMSC periode 2005-2006, Ketua Departemen Patologi Hutan Tree Grower Community periode 2006-2007. Penulis melakukan Praktek Pengenalan Hutan di BKPH Rawa Timur KPH Banyumas Barat dan BKPH Gunung Slamet KPH Banyumas Timur. Praktek Umum Pengelolaan Hutan di Kampus praktek lapang Universitas Gajah Mada Getas, Jawa Timur tahun 2007. Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) yang berjudul Sistem dan Pengembangan Pola Agroforestry Hutan Rakyat Ciamis di Desa Sidamulih, Kecamatan Pamarican, Kabupaten Cianjur tahun 2008. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Manfaat Jamur Pelapuk Putih Phanerochaete chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 untuk Biobleaching Pulp Kardus Bekas yang dibimbing oleh Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si. dan Isroi, S.Si, M.Si.
UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Tema yang dipilih dalam penelitian ini berjudul Manfaat Jamur Pelapuk Putih Phanerochaete chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 untuk Biobleaching Pulp Kardus Bekas. Atas selesainya penyusunan karya ilmiah ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 8. Ibu Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si dan Bapak Isroi, S.Si M.Si selaku pembimbing atas segala perhatian, bantuan, bimbingan dan arahannya. 9. Bapak Ir. Trisna Priadi, M.Eng. So sebagai dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Bapak Dr. Ir. Evrizal A.M Zuhud, MS sebagai dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. 10. Ibu Tutin Suryatin, BScF. selaku laboran di Laboratorium Penyakit Hutan atas segala perhatian dan dukungannya selama melaksanakan penelitian. 11. Keluarga tercinta di rumah yaitu Ayahku, Ibuku dan Adik atas segala doa, perhatian, dukungan dan kasih sayangnya. 12. Industri Pulp dan Kertas PT. Bekasi Teguh atas kerjasamanya. 13. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan atas kerjasamanya. 14. Indah Dara Puspita yang telah memberikan semangat, motivasi dan doanya. 15. Jaenal Mutakin yang telah membantu penulis dan memberikan semangat. 16. Sahabat terbaik Mustian, Rizal, Prabu, Chandra, Ai Rosah, Indri, Kelik, Nurrahman Laili, Yandri, Boy, Maryo, Kaka, Tri Bekti, Lienda, Eka, Kirana, Didie, Dwi dan teman-teman BDH ’41 yang belum sempat di tulis namanya yang selalu memberikan semangat dan keceriaan. 17. Teman-teman seluruh Fakultas Kehutanan angkatan 41. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap semoga karya kecil ini bermanfaat bagi semua pihak dan dunia ilmu pengetahuan.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI ......................................................................................... i DAFTAR TABEL ................................................................................. v DAFTAR GAMBAR............................................................................. vi DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... vii BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................... 1 1.2 Tujuan Penelitian ................................................................. 2 1.3 Hipotesis...................................................................................2 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................... 3 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jamur Pelapuk Putih Pleurotus spp. ................................... 3 2.2 Jamur Pelapuk Putih Phanerochaete chrysosporium ........... 5 2.3 Bahan Baku Kertas Bekas ................................................... 6 2.4 Penguraian Enzimatik Jamur Pelapuk Putih ........................ 6 2.4.1 Pengertian Enzim ...................................................... 6 2.4.2 Enzim Ligninase ....................................................... 7 2.4.3 Enzim Lakase ........................................................... 7 2.4.4 Enzim Peroksidase (MnP dan LiP) ............................ 8 2.4 Lignoselulotik.................................................................... 9 BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................ 11 3.2 Alat dan Bahan .................................................................. 11 3.3 Tahapan Kerja ................................................................... 11 3.3.1 Perbanyakan Inokulum Jamur ................................... 11
Halaman
3.3 2 Perlakuan Awal Pulp ................................................. 11 3.3.3 Perhitungan Tingkat Degradasi Berdasarkan Persentase Kehilangan Bobot .................................... 12 3.3.4 Pengukuran pH Media Setelah Inkubasi .................... 12 3.3.5 Persiapan Pengujian Aktivitas Enzim ........................ 13 3.3.5.1 Pengujian Aktivitas Enzim Lignin Peroksidase (LiP) ......................................... 13 3.3.5.2 Pengujian Aktivitas Enzim Manganese Peroksidase (MnP) ....................................... 13 3.3.6 Pengujian Bilangan Kappa (TAPPI no. T236 cm-85) ......................................... 14 3.3.7 Pengujian Kekuatan Lembaran Pulp Kardus Bekas ................................................... 15 3.3.7.1 Pengujian Tensile Strength (TAPPI no. T404 os-74)...................................15 3.3.7.2 Pengujian Tearing Strength (TAPPI no. T414 ts-65 ................................. 16 3.3.7.3 Pengujian Ring Crush (TAPPI no. 818 os-76).................................. 17 3.3.7.4 Pengujian Brusting Strength (TAPPI Standard) ........................................ 18 3.4 Analisis Data ..................................................................... 19 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Jamur Pleurotus EB9 dan P. chrysoporium L1 Pada Media Pulp Kardus Bekas .......................................... 21 4.1.1 Pengamatan Visual .................................................... 21 4.1.2 Nilai pH ..................................................................... 23 4.2 Penurunan Bobot Kering Pulp ............................................ 26 4.3 Aktivitas Enzim Lignin Peroksidase (LiP) dan Manganese Peroksidase (MnP) ............................................................. 29 4.4 Bilangan Kappa .................................................................. 35 4.5 Kekuatan Lembaran Pulp Kardus Bekas ............................. 37 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ........................................................................ 40 5.2 Saran .................................................................................. 41
Halaman
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 42 LAMPIRAN............................................................................................... 45
DAFTAR TABEL No
Halaman
1.
Penggunaan plate bar berdasarkan tebal jalur kertas......................17
2.
Faktor angka kalibrasi pemakaian plate bar ..................................18
3.
Kekuatan lembaran pulp setelah perlakuan jamur dan masa inkubasi................................................................................38
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1.
Pengujian kekuatan lembaran pulp ..............................................19
2.
Pertumbuhan jamur pada pulp kardus bekas yang telah diinkubasi. a). P. chrysosporium L1 (5 hari), b). P. chrysosporium L1 (10 hari), c). P. chrysosporium L1 (15 hari), d). Pleurotus EB9 (5 hari), e). Pleurotus EB9 (10 hari), f). Pleurotus EB9 (15 hari) ..............22
3.
Nilai rata-rata pH P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 setelah diinkubasi ........................................................................23
4.
Persentase rata-rata penurunan bobot kering pulp setelah inkubasi ...........................................................................28
5.
Aktivitas enzim P. chrysosporium L1 sampel 2 ml terhadap masa inkubasi .............................................................................30
6.
Aktivitas enzim Pleurotus EB9 sampel 2 ml terhadap masa inkubasi .............................................................................30
7.
Jamur P. chrysosporium L1 dengan aktivitas (MnP dan LiP) dan persentase penurunan bobot kering ....................................34
8.
Jamur Pleurotus EB9 dengan aktivitas (MnP dan LiP) dan persentase penurunan bobot kering .......................................34
9.
Hubungan bilangan kappa dengan masa inkubasi ........................36
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1. Alat-alat yang digunakan untuk penelitian.......................................... 46 2. Bobot kering pulp perlakuan jamur P. chrysosporium L1 ................... 47 3. Bobot kering pulp perlakuan jamur Pleurotus EB9............................. 47 4. Lama penyimpanan sampai pengujian aktivitas enzim........................ 47 5. Nilai pH perlakuan jamur P. chrysosporium L1.................................. 48 6. Nilai pH perlakuan jamur Pleurotus EB9. .......................................... 48 7. Aktivitas enzim LiP dan MnP sampel 2 ml isolat jamur P. chrysosporium L1 ................................................................ 49 8. Aktivitas enzim LiP dan MnP sampel 2 ml Isolat jamur Pleurotus EB9. ........................................................................ 49 9. Bilangan kappa pulp kardus bekas..................................................... 50 10. Kualitas handsheet berdasarkan uji breaking length .......................... 50 11. Kualitas handsheet berdasarkan uji brusting factor............................ 50 12. Kualitas handsheet berdasarkan uji tearing factor ............................. 51 13. Kualitas handsheet berdasarkan uji ring crush factor ........................ 51 14. Sidik ragam pengaruh jamur P . chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi terhadap nilai pH media pulp kardus bekas.............................................................................. 51 15. Hasil uji lanjutan Duncan nilai pH jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi ..................................................... 52 16. Sidik ragam pengaruh jamur P. chrysosporium dan Pleurotus spp. dan masa inkubasi terhadap penurunan bobot kering pulp ............................................................. 52 17. Hasil uji lanjutan Duncan penurunan bobot kering jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi ............. 52 18. Sidik ragam pengaruh jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi terhadap bilangan kappa pulp ....... 53 19. Sidik ragam pengaruh jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi terhadap breaking length................53 20. Sidik ragam pengaruh jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi terhadap tearing factor ................. 53 21. Sidik ragam pengaruh jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi terhadap brusting strength ............ 54
22. Sidik ragam pengaruh jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi terhadap ring crush ...................... 54 23. Tingkat degradasi berdasarkan penurunan bobot kering pulp terhadap masa inkubasi ..................................................................... 55 24. Laju dekomposisi berdasarkan penurunan bobot kering pulp terhadap masa inkubasi ..................................................................... 56 25. Kadar lignin pulp kardus bekas berdasarkan bilangan kappa ............. 57 26. Sidik ragam pengaruh jamur P . chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi terhadap tingkat degradasi ........... 57 27. Hasil uji lanjutan Duncan tingkat degradasi jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi ............. 57 28. Sidik ragam pengaruh jamur P . chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi terhadap laju dekomposisi ............ 58 29. Hasil uji lanjutan Duncan laju dekomposisi jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi ............. 58
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, baik keanekaragaman flora dan fauna. Pemanfaatan hutan sebagai sumber daya alam harus dapat dikelola secara lestari dan berkelanjutan. Keanekaragaman hayati yang terdapat di hutan selain kayu diantaranya beragam jenis jamur. Jamur memiliki peranan dalam ekosistem hutan sebagai dekomposer yang berfungsi untuk mengurai makhluk hidup yang sudah mati menjadi unsur hara. Saat ini potensi jamur belum dimanfaatkan secara maksimal di Indonesia. Spesies jamur pelapuk kayu yang ada di hutan tropis Indonesia sangat banyak. Hal ini disebabkan keadaan iklim tropis Indonesia yang menunjang pertumbuhan dan perkembangbiakan jamur. Dilihat dari cara hidupnya, sebagian besar jamur hidup secara saprob yaitu dengan cara memperoleh makanannya dari bahan organik yang sudah mati pada batang kayu. Menurut Herliyana (2007), salah satu jenis jamur pelapuk kayu yang cukup potensial untuk dimanfaatkan dalam industri kertas adalah kelompok Pleurotus spp. Jamur pelapuk kayu kelompok Pleurotus spp. dapat ditemukan di hutan pada batang pohon daun lebar atau batang tanaman berkayu lainnya. Pleurotus spp. tidak memerlukan banyak cahaya matahari dan miselium jamur akan tumbuh lebih cepat di tempat yang terlindung dibandingkan dengan tempat yang banyak cahaya. Pleurotus spp. dapat mendegradasi bahan-bahan berlignoselulosa secara efesien dan membuat kayu menjadi lapuk dan meninggalkan warna putih. Kegiatan utama dalam industri pulp dan kertas adalah proses pulping (proses pembuatan pulp) dan proses bleaching (proses pemutihan kertas). Sebagian besar industri kertas dalam proses bleaching menggunakan pemutih yang mengandung klorin. Klorin akan bereaksi dengan senyawa organik dalam kayu membentuk senyawa toksik seperti dioksin. Salah satu aplikasi jamur pelapuk putih yaitu pada proses pembuatan pulp (biopulping) dan pemutihan (biobleaching) pada industri pulp dan kertas untuk mengurangi bahan-bahan kimia yang tidak ramah terhadap lingkungan (Jurasek dan Paice 1990).
Proses pemutihan bertujuan untuk menghilangkan sisa lignin yang masih terdapat dalam pulp. Teknologi pemutihan lain yang tidak menggunakan klorin adalah penggunaan enzim. Enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh jamur pelapuk putih diantaranya lakase, peroksidase (lignin peroksidase (LiP) dan manganese peroksidase (MnP)). Enzim-enzim tersebut dapat mendegradasi lignin dalam proses pemutihan pulp (Fitria 2005). Industri pulp dan kertas dikenal sebagai salah satu sumber penyebab pencemaran lingkungan, terutama pada proses pemutihan (bleaching) pulp. Pencemaran oleh industri pulp dan kertas disebabkan oleh pelarut senyawa lignin yang telah mengalami proses depolimerisasi, klorinasi dan oksidasi. Sehingga untuk mengurangi penggunaan bahan kimia berbahaya dalam proses pemutihan pulp digunakan bahan biologi yaitu jamur pelapuk putih (white-rot fungi) (Herliyana 1997). Dalam penelitian ini digunakan jamur pelapuk putih Phanerochaete chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 untuk dapat mendegradasi lignin dalam proses biobleaching pulp kardus bekas. Salah satu faktor yang mempengaruhi laju delignifikasi oleh jamur yaitu waktu. Masa inkubasi jamur menjadi indikator cepat atau lambatnya laju delignifikasi yang terkait dengan pertumbuhan jamur. 1.2 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui potensi P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 sebagai agens biobleaching pulp kardus bekas terhadap bilangan kappa dan kadar lignin serta sifat fisik kertas kardus bekas. 1.3 Hipotesis a) P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 menghasilkan aktivitas enzim ligninase (MnP dan LiP). b) P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 menurunkan bilangan kappa pulp kardus bekas. c) P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 menyebabkan kualitas sifat fisik kertas yang berbeda.
1.4 Manfaat Penelitian Untuk memberikan informasi potensi kedua jamur tersebut dalam proses pemutihan pulp kardus bekas.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jamur Pelapuk Putih Pleurotus spp. Pleurotus spp. umumnya disebut juga jamur tiram (Oyster mushroom) karena tudungnya seperti tiram dengan bagian atas melebar dan bawah meruncing (spatulate) serta berbentuk seperti lidah. Jamur tiram memiliki warna yang bervariasi mulai dari biru tua, putih, krem sampai cokelat, kuning dan merah muda. Secara umum siklus hidup Pleurotus spp. terbagi menjadi dua fase, yaitu fase vegetatif dan fase reproduktif. Fase vegetatif merupakan fase pertumbuhan miselium, sedangkan fase reproduktif adalah fase pertumbuhan tubuh buah (Chang dan Miles 1989). Pleurotus spp. termasuk ke dalam kelas Basidiomycetes. Basidiosporanya membentuk miselium monokariotik yang bersifat haploid (n). Pada awalnya monokarion tersebut tidak bersepta, namun kemudian terbagi menjadi sel berinti tunggal dalam waktu yang singkat (Chang dan Miles 1989). Pleurotus spp. merupakan jamur pelapuk putih yang mampu mendegradasi lignin. Jamur pelapuk kayu dibedakan atas jamur pelapuk putih, jamur pelapuk cokelat dan jamur pelapuk lunak. Jamur pelapuk putih diketahui dapat menyerang lignin maupun polisakarida. Jamur ini mampu menguraikan lignin dari kayu secara selektif dan cepat dibandingkan dengan mikroorganisme lain. Kayu yang terdegradasi menjadi putih dan lunak. Jamur pelapuk putih menghasilkan enzim yang dapat mendegradasi lignin, yaitu lakase, LiP dan MnP (Kirk dan Chang 1990). Klasifikasi lengkap Pleurotus spp. menurut beberapa peneliti dalam Alexopoulos et al. (1996) adalah sebagai berikut : kingdom Fungi, phylum Basidiomycota, kelas Hymenomycetes, ordo Agaricales, famili Pleurotaceae, genus Pleurotus dan spesies Pleurotus spp.. Faktor fisik yang mempengaruhi bagi pertumbuhan jamur dalam keperluan nutrisi adalah : (Gunawan 2001) 1. Suhu Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan jamur. Suhu ekstrem, yaitu suhu minimum dan maksimum merupakan faktor yang
menentukan pertumbuhan jamur. Berdasarkan pada kisaran suhu, jamur dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu jamur psikrofil, jamur mesofil, dan jamur termofil. Kelompok psikrofil merupakan jamur yang mempunyai suhu minimum di bawah 0oC, suhu optimum antara 0-17oC, dan pada suhu di atas 20oC jamur ini sudah tidak dapat hidup. Jamur mesofil memiliki suhu minimum di atas 0oC, suhu maksimum di bawah 50oC, dan suhu optimum antara 15-40oC. Kelompok termofil yang mempunyai suhu minimum di atas 20oC, suhu maksimum 50oC atau lebih, dan suhu optimum sekitar 35oC atau lebih. 2. Nilai pH Pengaruh pH terhadap pertumbuhan jamur tidak dapat dinyatakan secara umum karena bergantung pada beberpa faktor, seperti ketersediaan ion logam tertentu, permeabilitas membrane sel yang berhubungan dengan pertukaran ion, produksi CO2 atau NH3, dan asam organik. Di Laboratorium umumnya jamur akan tumbuh pada kisaran pH yang cukup luas antara 4,5-8,0 dengan pH optimum antara 5,5-7,5 atau bergantung pada jenis umurnya. Kisaran pH untuk pertumbuhan miselium yang optimum pada umumnya berbeda dengan yang diperlukan untuk pembentukan tubuh buah jamur. 3. Aerasi Dua komponen penting dalam udara yang berpengaruh pada pertumbuhan jamur, yaitu O2 (oksigen) dan CO2 (karbon dioksida). Oksigen merupakan unsur penting dalam respirasi sel. Sumber energi di dalam sel dioksidasi menjadi karbon dioksida dan air sehingga energi menjadi tersedia. Karbon dioksida dapat berakumulasi sebagai hasil dari respirasi oleh jamur atau respirasi oleh organisme lainnya. Akumulasi karbon yang terlalu banyak dapat mengakibatkan salah bentuk pada tubuh buah jamur. 4. Cahaya Jamur secara umum memerlukan cahaya untuk awal pembentukan tubuh buah dan perkembangan yang normal. Untuk pembentukan tubuh buahnya, jamur Flammulina velutipes memerlukan cahaya yang efektif dengan panjang gelombang 435-470 nm (nano meter). Namun, untuk kebanyakan jamur
kebutuhan cahaya ini secara tepat belum diketahui yaitu hanya sejumlah kecil panjang gelombang tertentu yang diperlukan, tetapi cahaya putih diperlukan dalam jumlah relatif besar. 5. Kelembapan Secara umum jamur memerlukan kelembapan relatif yang cukup tinggi. Kelembapan relatif sebesar 95-100% menunjang pertumbuhan yang maksimum pada kebanyakan jamur. 2.2 Jamur Pelapuk Putih Phanerochaete chrysosporium Menurut Hawksworth et al. (1983) dan Alexopoulos et al. (1996) taksonomi P. chrysosporium adalah sebagai berikut : Kelas Basidiomycetes, Subkelas Holobasidiomycetidae, Ordo Aphyllopholares dan famili Corticiaceae. Herliyana (1997) berdasarkan beberapa pustaka (Burdsall dan Eslyn (1994) di acu dalam Riyadi (1994), Staplers (1978) diacu dalam Rayner dan Boddy (1988)) melaporkan nama lain untuk P. chrysosporium yaitu Chrysosporium pruinosum, Sporotrichum pulverulentum, S. pruinosum dan C. lignorum. Karakteristik miselium P. chrysosporium adalah sebagai berikut : Laccase (α – naphthol); kecepatan tumbuh > 70 mm dalam 7 hari; aerial miselium berbentuk seperti butirbutiran (Aerial mycelium farinaceous atau granulose); Aerial mycelium floccose; hifa generatifnya berdinding tebal (thick – walled generatif hyphae); lebar hifa ≥ 7.5 µm; extraneous material on hyphae atau hifa mengandung tetesan minyak (hyphae containing oil droplets); kristal dalam aerial miselium; artrokonidia (oidia); klamidospora; blastokonidia. P.
chrysosporium
merupakan
jamur
pelapuk
putih
yang
dapat
menghasilkan beberapa jenis enzim bila ditumbuhkan pada bahan lignoselulosa. Enzim ligninase, selulase, xilanase dan beberapa enzim turunan merupakan enzim terbesar yang dihasilkan P. chrysosporium (Highley dan Kirk 1979). Metode ligninolitik dari P. chrysosporium dilakukan sebagai kultur jamur yang memasuki metabolisme sekunder dan mengakibatkan pertumbuhannya terhenti karena pengurasan beberapa hara seperti keterbatasan nitrogen, karbon atau sulfur, sehingga menyebabkan terjadinya proses degradasi lignin untuk mengatasi keterbatasan nitrogen (Kirk et al. 1978; Jeffries et al. 1981). Kirk dan Fenn (1982 diacu dalam Highley dan Dashek 1998) menduga bahwa degradasi
lignin oleh jamur pelapuk putih adalah merupakan kejadian dari metabolisme sekunder karena kandungan nitrogen yang sangat rendah dari kayu. Sehingga penambahan nitrogen pada beberapa jamur pelapuk putih pada aplikasi bioteknologi yang berbeda yang menggunakan komponen lignin atau yang berhubungan dengannya akan meningkatkan efisiensi jamur ini. Biasanya P. chryosporium ditumbuhkan dengan menggunakan spora aseksual dapat berupa oidia/artrokonidia, klamidospora dan blastokonidia, tetapi dapat juga menggunakan siklus seksual untuk memproduksi basidiospora. P. chrysosporium bersifat termotoleran yaitu dapat tumbuh pada kisaran suhu 25°C sampai 50°C. Suhu optimal P. chrysosporium sekitar 40°C (Rayner dan Boddy 1988). 2.3 Bahan Baku Kertas Bekas Kertas adalah lembaran serbasama dari jalinan serat selulosa dengan bantuan zat pengikat dan dibuat dalam berbagai jenis; digunakan untuk macammacam tujuan misalnya kertas tulis, kertas cetak dan kertas bungkus. Pulp kertas bekas adalah serat sekunder yang tidak terpakai lagi dan dimanfaatkan kembali untuk sumber serat. (Achmadi et al. 1995 diacu dalam Hidayah 2008). Haygreen dan Bowyer (1986), mengemukakan bahwa kertas telah menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang hampir luar biasa pentingnya, terutama di negara-negara yang sangat maju. Kertas berfungsi sebagai produk pengepakan yang utama, media komunikasi, dasar produk yang dibuang dan bahan lembaran industri. 2.3 Penguraian Enzimatik Jamur Pelapuk Putih 2.3.1 Pengertian Enzim Enzim merupakan katalisator organik yang dibuat oleh sel hidup. Enzim diperlukan dalam proses fisiologi yang memungkinkan terjadinya reaksi-reaksi biokimia. Reaksi-reaksi biokimia dapat terjadi pada batas keadaan pH, tekanan, suhu dan kondisi tertentu (Cowling 1958 diacu dalam Herliyana 1997). Menurut Suhartono (1989) bahwa faktor-faktor utama yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah konsentrasi enzim, substrat, produk, senyawa inhibitor dan aktivator, pH dan jenis pelarut yang terdapat pada lingkungan, kekuatan ion dan suhu.
2.3.2 Enzim Ligninase Lignin adalah senyawa aromatik heteropolimer dari unit phenil-propanoid yang memberikan kekuatan pada kayu dan rigiditas struktural pada jaringan tanaman serta melindungi kayu dari serangan mikrobial dan hidrolitik (Saparrat et al. 2002; Aust dan Benson 1993 diacu dalam Fitria 2005). Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama adalah substrat, suhu, keasaman, kofaktor dan inhibibitor. Tiap enzim memerlukan suhu dan pH (tingkat keasaman) optimum yang berbeda-beda karena enzim adalah protein, yang dapat mengalami perubahan bentuk jika suhu dan keasaman berubah. Di luar suhu atau pH yang sesuai, enzim tidak dapat bekerja secara optimal atau strukturnya akan mengalami kerusakan. Hal ini akan menyebabkan enzim kehilangan fungsinya sama sekali. Kerja enzim juga dipengaruhi oleh kofaktor dan inhibitor (Suhartono 1989). Terdapat dua tipe enzim yaitu enzim ekstraseluler/eksoenzim yang berfungsi di luar sel dan enzim intraseluler/endoenzim yang berfungsi dalam sel. Fungsi utama eksoenzim adalah melangsungkan perubahan-perubahan seperlunya pada nutrien disekitarnya sehingga memungkinkan nutrien tersebut memasuki sel. Sedangkan enzim intraseluler mensintesis bahan seluler dan juga menguraikan nutrien untuk menyediakan energi yang dibutuhkan oleh sel. Jamur merupakan organisme heterotrofik dalam melangsungkan hidupnya juga memerlukan enzim untuk sintesis dan degradasi. Enzim yang berperan dalam proses degradasi yaitu enzim
ekstraseluler.
Ligninolitik
berhubungan
dengan
produksi
enzim
ekstraseluler pendegradasi lignin yang dihasilkan oleh jamur pelapuk putih berdasarkan laju dekomposisi pada substrat uji. Dua enzim yang berperan dalam proses tersebut adalah lakase dan peroksidase (LiP dan MnP) (Howard et al. 2003; Kirk et al. 1987). 2.3.3 Enzim Lakase Lakase merupakan enzim multi-copper yang dapat mengkatalis reaksi oksidasi beberapa substrat seperti polifenol, substituen fenol, diamin dan beberapa senyawa anorganik (Thurston 1994). Lakase (E.C.1.1.3.2; benzendiol: oksigen oksidoreduktase) sebagian besar merupakan glikoprotein ekstraseluler yang mengandung atom tembaga dengan berat molekul antara 60-8-kDa dan juga
merupakan salah satu grup terkecil enzim yang dinamakan oksidase tembaga biru (Thurston 1994). Lakase telah banyak menjadi subyek penelitian untuk dimanfaatkan secara luas karena lakase memiliki sifat spesifik yang
rendah
terhadap substrat-substratnya (Cavallazi et al. 2004; Thurston 1994). Hidrokiunin, katekol, dan guaiakol merupakan substrat yang cukup bagus bagi lakase. Hatakka (1994) menyatakan bahwa lakase berperan dalam proses degradasi lignin dan pemanfaatannya dalam berbagai bidang cukup luas diantaranya sebagai bleaching pada proses biodelignifikasi pada pulp dan industri kertas. 2.3.4 Enzim Peroksidase (LiP dan MnP) Lignin peroksidase (EC.1.11.1.14; diarilpropan: oksigen, hidrogen peroksidase oksidoreduktase; berat molekul antara 38 dan 43 kDa) dan manganase peroksidase (EC.1.11.1.13; Mn (II): H2O2 oksidoreduktase; berat molekul antara 43 dan 49 kDa) merupakan glikoprotein yang membutuhkan hidrogen peroksida sebagai oksidan (Hatakka 1994; Tien dan Kirk 1984; Gold dan Alic 1993 ). Enzim ektraseluler LiP dan MnP memiliki peranan yang sangat penting dalam proses biodelignifikasi. LiP memiliki kemampuan mengkatalis beberapa reaksi oksidasi antara lain pemecahan ikatan Ca-Cβ rantai samping propil non fenolik komponen aromatik lignin, oksidasi benzil alkohol, oksidasi fenol, hidroksil benzylic methylene groups dan pemecahan cincin aromatik komponen non fenolik senyawa lignin (Tien dan Kirk 1984). MnP diketahui memiliki kemampuan mengoksidasi baik komponen fenolik maupun non fenolik senyawa lignin. Prinsip fungsi MnP adalah bahwa enzim tersebut mengoksidasi Mn2+ membentuk Mn3+ dengan adanya H2O2 sebagai oksidan. Aktivitasnya dirangsang oleh adanya asam organik yang berfungsi sebagai pengelat atau pengstabil Mn3+. Mekanisme reaksi yakni MnP pada keadaan awal dioksida oleh H2O2 membentuk MnP-senyawa I yang dapat direduksi oleh Mn2+ dan senyawa fenol membentuk MnP-senyawa II. Senyawa tersebut kemudian direduksi kembali oleh Mn2+ tetapi tidak oleh fenol membentuk enzim keadaan awal dan produk (Wariishi et al. 1989). Adanya Mn2+ bebas sangat penting untuk menghasilkan siklus katalitik yang sempurna.
2.4 Lignoselulolitik Bahan lignoselulolitik merupakan sumber karbon utama bagi jamur P. ostreatus dengan nisbah C/N yang diharapkan 1:100 (Chang dan Hayes 1978 diacu dalam Herliyana 2007). Perbandingan komponen selulosa, hemiselulosa dan lignin pada kebanyakan padatan selulosa secara kasar adalah 4:3:3 (Kollman dan Cote (1968) diacu dalam Haygreen dan Bowyer 1989). Selulosa merupakan polimer yang disusun oleh unit-unit gula (glukosa) anhidrad (β-D-glukosa atau β-D-glukopiranosa) dengan ikatan β-1,4-glikosidik (ikatan glukosida). Ikatan tersebut sangat kuat dan dapat membentuk kristal mikrofibril yang secara bersama-sama membentuk selulosa tidak larut. Secara umum rumus empirik selulosa dapat ditulis sebagai (C6H10O5)n dengan n menyatakan derajat polimerisasi (DP atau jumlah unit monomer yang menyusun polimer) yang berkisar antara 305 sampai 15.300. Rantai selulosa merupakan rantai memanjang dan tidak bercabang (Fengel dan Wegener 1984). Terdapat dua ikatan hidrogen pada selulosa yaitu ikatan hidrogen intramolekuler
dan
ikatan
hidrogen
intermolekuler.
Ikatan
hidrogen
intramolekuler adalah ikatan hidrogen antara gugus OH unit-unit glukosa dalam rantai selulosa yang sama, sedang ikatan hidrogen intermolekuler adalah ikatan hidrogen antara rantai selulosa yang satu dengan rantai selulosa yang lain (Achmadi 1990). Hemiselulosa disusun oleh berbagai jenis monomer, disebut juga heteropolisakarida. Jenis-jenis monomer yang menyusun hemiselulosa adalah xilosa, glukosa, ramnosa, mannosa, galaktosa, arabinosa, serta yang berbagai asam yaitu asam glukoronat dan asam metil glukoronat. Hemiselulosa yang mengisi struktur selulosa, mempunyai bobot molekul rendah dan rantai samping yang pendek. Karbohidrat tersebut umumnya mempunyai kombinasi-kombinasi gula berkarbon lima (xilosa dan arabinosa) dengan rumus C5H10O5 dan gula berkarbon enam C6H10O6 (glukosa, mannosa, dan galaktosa) (Achmadi 1990). Lignin merupakan fenol, berbentuk amorf serta bukan merupakan karbohidrat, meskipun tersusun atas C, H dan O. Lignin, polimer aromatik kompleks yang terbentuk melalui polimerisasi tiga dimensi dari sinamil alkohol (turunan fenilpropana). Lignin membungkus polisakarida sehingga meningkatkan
kekuatan
kayu
dan
menjadikannya
lebih
resisten
terhadap
serangan
mikroorganisme (Erickson et al. 1990). Biodegradasi lignin bermanfaat untuk mengubah biomassa kayu menjadi senyawa lebih sederhana yang dapat dimanfaatkan untuk kertas, pupuk, pakan dan bahan-bahan kimia (Watanabe 2000 diacu dalam Herliyana 2007). Warna pulp berkaitan dengan kandungan ligninnya atau lebih tepat dengan adanya komponen ada lignin yang menyerap sinar yang dikenal sebagai kromofor. Kromofor yang penting antara lain kinon. Sejumlah penelitian terhadap lignin dan model senyawa lignin menunjukkan adanya pembentukan kromofor tersebut (Weir et al. 1995 diacu dalam Herliyana 2007). Egan (1985) diacu dalam Trotter (1990), melaporkan bahwa ligninase dapat mendepolimerisasi lignin. Kombinasi ligninase dengan tahap ekstraksi alkali dapat memutihkan sebagian pulp kraft. Viikari et al. (1986) bahwa ligninase jamur pelapuk putih Phebia radiata dan P. chrysosporium tidak berpengaruh terhadap bilangan kappa atau derajat putih pulp kraft pinus ketika ligninase tersebut diberikan secara langsung pada pulp, namun bila pulp diberi hemiselulase terlebih dahulu, maka pemberian ligninase dapat menurunkan bilangan kappa.
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni 2008-Maret 2009 yang bertempat di Laboratorium Patologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium Mikrobiologi Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) dan PT. Kertas Bekasi Teguh. Kegiatan perbanyakan inokulum Pleurotus EB9 dan P. chrysosporium L1 dilaksanakan di Laboratorium Patologi Hutan pada bulan Juni-Agustus 2008. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan yaitu autoklaf, cawan Petri, laminar air flow, magnetic styrer, pipet mikro, mikrotube eppendorf 2 ml, centrifuge, kuvet, spektrofotometer UV-VIS (BECKMAN COULTERTM DU®530 ; Single cell module), gelas Erlenmeyer, pH meter, oven, botol polypropylene, inkubator, jarum Ose, timbangan analitik, alumunium foil, saringan, blender. Adapun bahan yang digunakan yaitu jamur pelapuk putih (Pleurotus EB9 dan P. chrysosporium L1) koleksi Laboratorium Patologi Hutan, media PDA (Potatos Dextrose Agar), malt extract, gula, H2SO4, KMnO4, KI, Na2S2O3, ClO2, NaOH, Aquades, pulp waste (pulp dari kardus dari pabrik kertas bekasi). 3.3 Tahapan Kerja 3.3.1 Perbanyakan Inokulum Jamur Biakan murni Pleurotus EB9 dan P. chrysosporium L1 diperbanyak pada agar miring dan agar cawan berisi PDA (Potato Dextrose Agar) dan media cair (Malt Extract) pada botol polypropylene. Kedua jenis fungi tersebut diinkubasi selama kurang lebih tujuh hari pada suhu kamar (25°C). 3.3.2 Perlakuan Awal Pulp Pulp sebanyak 25 gram (kering oven) menggunakan timbangan analitik dimasukkan ke dalam botol polypropylene ditambah dengan aquades sebanyak 25 ml (konsistensi 50%) dan disterilisasi di dalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 121°C dengan tekanan 1 atm. Kemudian diinokulasi dengan kedua jenis jamur sebanyak ± 50 ml ke dalam botol dan diaduk supaya rata. Pulp yang tidak
diberi jamur sebagai kontrol. Kegiatan ini dilakukan di dalam laminar air flow yang steril. Setelah itu diinkubasi di dalam inkubator selama 5 hari, 10 hari dan 15 hari (3 ulangan setiap perlakuan). Setelah 5 hari, 10 hari dan 15 hari, bahan tersebut dihitung berat kering. 3.3.3 Perhitungan Tingkat Degradasi Berdasarkan Persentase Kehilangan Bobot Persentase kehilangan bobot adalah salah satu ukuran adanya biodegradasi oleh isolat kelompok Pleurotus yang disebut juga tingkat degradasi. Bobot kering oven (BKO) kayu pada awal dan akhir pengujian diukur, kemudian dihitung persentase kehilangan bobot kering kayu yang diinokulasikan tersebut pada masa inkubasi 5, 10 dan 15 hari menggunakan rumus berikut : Persentase kehilangan bobot hari ke – t = Berat Kering hari ke-0 – Berat Kering hari ke-t
x 100%
Berat Kering hari ke-0
Perhitungan Laju Dekomposisi menggunakan rumus Olson (1963) Xt = Xo. e-kt ln(Xt/Xo) = -k.t Keterangan : Xt = bobot kering setelah hari ke-t (gram) Xo = bobot kering awal (gram) e = bilangan logaritma natural (2,72) k = laju dekomposisi t = masa inkubasi (hari) 3.3.4 Pengukuran pH Media Pulp Setelah Inkubasi Sebanyak 2 gram pulp yang telah diinokulasi jamur diambil dari masingmasing perlakuan dan dicampur dengan 25 ml aquades dalam suatu gelas ukur. Pengadukan dilakukan dengan menggunakan pengaduk listrik (magnetic styrer) selama ± 2 menit. Setelah pengadukan, bahan tersebut disaring dan cairan filtrat diukur pH-nya dengan pH-meter pada suhu 25°C.
3.3.5 Persiapan Uji Aktivitas Enzim Sampel pulp sebanyak 1 gram ditambahkan 4 ml buffer fosfat pH 7 dihaluskan menggunakan mortar dalam bak berisi air dingin serta disaring diambil cairan filtrat dimasukkan ke tabung eppendorf 1,5 ml. Bahan tersebut kemudian disentrifuge pada suhu 4°C selama 10 menit dengan kecepatan 10.000 rpm. Supernatan dari bahan tersebut diambil untuk penentuan aktivitas enzim. 3.3.5.1 Pengujian Aktivitas Lignin Peroksidase (LiP) Aktivitas LiP diukur berdasarkan reaksi dengan veratril alkohol pada panjang gelombang 310 nm. Komposisi bahan adalah sebagai berikut : 0,45 milimeter aquades; 0,2 ml; 0,05 M buffer asetat pH 3; 0,05 ml 5mM H2O2; 0,1 ml veratril alkohol 8 mM dan 0,2 ml filtrat enzim. Semua bahan dimasukkan ke dalam kuvet 1 ml. Kemudian dikocok perlahan dan arbsorbansinya dibaca dengan spektrofotometer pada 0 dan 30 menit (Tien dan Kirk 1992). Satu unit aktivitas LiP didefinisikan sebagai banyaknya enzim yang mengoksidasi 1 mmol substrat per menit. Perhitungan aktivitas dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Aktivitas Enzim (U/ml) =
(At - A0) x Vtot x 109
ε maks x d x Vol
enzim
xt
Keterangan : At = Arbsorbansi pada menit ke-30 A0 = Arbsorbansi pada menit ke-0 ε maks = Absorpsivitas molar Veratril alkohol (9300 M-1 cm-1) d = Tebal kuvet (cm) t = Waktu (menit) Vtot = Volume total bahan (ml) Volenzim = Volume filtrat enzim (ml) 3.3.5.2 Pengujian Aktivitas Manganese Peroksidase (MnP) Aktivitas MnP diukur berdasarkan reaksi dengan guaiakol pada panjang gelombang 465 nm. Komposisi bahan adalah sebagai berikut : 0,3 ml aquades; 0,1 ml buffer Na-laktat 50 mM pH 4,5; 0,1 ml H2O2 1 mM; 0,2 ml MnSO4 1 mM
dan 0,1 ml guaiakol 4 mM. Semua bahan dimasukkan ke dalam kuvet 1 ml, kemudian dikocok perlahan dan absorbansinya dibaca dengan spektrofotometer pada 0 dan 30 menit. Aktivitas MnP didapat dengan mengulang reaksi tanpa MnSO4 dengan penambahan aquades menjadi 0,5 ml (Kofujita et al. 1992 diacu dalam Fitria 2005). Satu unit MnP sebanding dengan 1 mmol produk yang dihasilkan per menit. Aktivitas Enzim MnP setiap unit = A(U) – B(U). Dimana, A(U) = Aktivitas enzim MnP- dan B(U) = Aktivitas enzim MnP+ Perhitungan aktivitas dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Aktivitas Enzim (U/ml) =
(At - A0) x Vtot (ml) x 109
ε maks x d x Vol
enzim
(ml) x t
Keterangan : At = Arbsorbansi pada menit ke-30 A0 = Arbsorbansi pada menit ke-0 ε maks = Absorpsivitas molar Guaiakol (12100 M-1 cm-1) d = Tebal kuvet (cm) t = Waktu (menit) Vtot = Volume total bahan (ml) Volenzim = Volume filtrat enzim (ml) 3.3.6 Pengujian Bilangan Kappa ( TAPPI no. T236 cm-85) Bilangan kappa menunjukkan jumlah ml KMnO4 0,1 N yang terpakai oleh 3 gram pulp kering oven pada kondisi standar. Bilangan kappa dapat digunakan untuk menentukan tingkat kematangan atau derajat delignifikasi pulp. Contoh uji sebanyak 3 gram pulp kering oven ditimbang, lalu contoh uji dimasukkan ke dalam gelas piala. Setelah itu ditambahkan 500 ml air suling pada contoh uji dan selanjutnya contoh uji diuraikan dengan blender. Contoh uji yang telah terurai dipindahkan ke dalam gelas piala 2000 ml dan ditambahkan dengan air suling hingga sebanyak 795 ml. Sebanyak 100 ml KmnO4 0,1 N dan 100 ml larutan H2SO4 4,0 N dimasukkan ke dalam gelas piala 250 ml. Selanjutnya larutan kalium permanganat dan asam sulfat tersebut dituangkan ke dalam gelas piala yang berisi contoh uji yang telah diletakkan di atas pengaduk listrik dan ditambahkan air suling hingga mencapai 1000 ± 5 ml. Reaksi larutan dengan contoh uji dibiarkan selama 10
menit. Setelah 10 menit reaksi tersebut dihentikan dengan penambahan 20 ml larutan KI 1,0 N dan sedikit larutan kanji sampai larutan berwarna biru. Sesudah bercampur, segera iodium yang bebas di titrasi dengan larutan natrium thiosulfat 0,2 N. Pemakaian volume larutan N2S2O3 0,2 N dalam titrasi sebanyak a ml. Pengerjaan blanko seperti prosedur di atas tanpa menggunakan pulp. Pemakaian larutan N2S2O3 0,2 N dalam b ml. Perhitungan nilai bilangan kappa (K) sebagai berikut : K=pxf/w Dengan p = (b – a) N / 0,1 Keterangan : K = Bilangan kappa a = Jumlah ml Na2S2O3 0,2 N untuk titrasi blanko, b = Jumlah ml Na2S2O3 0,2 N untuk titrasi contoh, N = Normalitas larutan Na2S2O3 (0,2 N) f = Faktor koreksi pada pemakaian 50 % KMnO4, tergantung pada harga p (Tabel) p = Jumlah ml larutan KMnO4 yang terpakai contoh w = Bobot contoh kering tanur 3.3.7 Pengujian Kekuatan Lembaran Pulp Kardus Bekas 3.3.7.1 Pengujian Tensile Strength (TAPPI no. T404 os-74) Tensile Strength adalah daya tahan kertas terhadap gaya tarik yang bekerja pada kedua ujung jalur kertas diukur pada kondisi standar. Elongation adalah regangan maksimum yang dicapai oleh jalur kertas sebelum putus, diukur pada kondisi standar. Breaking Length adalah panjang jalur kertas dengan lebar sama dimana beratnya dapat memutuskan jalur tersebut jika salah satu ujungnya digantung. Alat yang digunakan adalah Tensile Tester Type Schopper dan Precision Cutter ukuran 15 x 220 mm. Alat pada posisi diam jarak antara ke-2 penjepit 180±5 mm dan jarum penunjuk menunjukkan angka nol lalu beban dikunci. Lembaran kertas dipotong sejajar mesin (M/D) dengan precision cutter dengan ukuran panjang 220 mm dan lebar 15 mm, kemudian dijepit dengan penjepit pada bagian atas lebih lalu bagian ujung bawah dijaga terpasang agar jalur kertas merata dan tidak melintir.
Pengunci batang penjepit dilepaskan sehingga lembaran kertas teregang bebas dan pengunci bandul dilepaskan dan tangkai penarik di tekan kebawah sampai ayunan bandul berhenti bersamaan dengan putusnya jalur kertas. Jika kertas telah putus maka tangkai penarik ditarik kembali keatas sampai batang penjepit berada pada posisi semula. Hasil pengujian sesuai dengan penunjukkan skala ketahanan tarik dan skala daya regang. Perhitungan : BL =
TS x Substance
1000 Lebar Jalur
Keterangan : BL = Breaking Length (Km) TS = Tearing Strength (Kg) Substance = Berat kertas (g/m2) Lebar Jalur = 15 mm 3.3.7.2 Pengujian Tearing Strength (TAPPI no. T414 ts-65) Tearing Strength adalah gaya yang diperlukan untuk menyobek selembar kertas pada kondisi standar. Tearing Faktor adalah jumlah kertas yang beratnya dapat menyobekkan kertas tersebut. Alat yang digunakan adalah Tearing Tester Type Elmendorf, Meja Panjang (berskala). Contoh kertas dipotong yang sejajar mesin (M/D) dan melintang mesin (C/D) dengan ukuran panjang 76±2 mm dan lebar 63±0,15 mm dan dimasukkan diantara rongga penjepit. Jumlah lembar kertas yang akan ditentukan kekuatan sobeknya disusun 1-16 lembar contoh, sehingga pembacaan pada skala berkisar antara 20-100. Penyobekan awal lembar menggunakan pisau sampai ± 20 mm dan lebar kertas yang belum tersobek harus 43 mm. Alat penahan bandul ditekan (bandul mengayun bebas) dan kertas akan sobek secara menyeluruh sampai ke tepi. Hasil pengujian sesuai dengan angka pada skala yang ditunjukkan oleh jarum penunjuk. Pehitungan : TS =
16 x A B
TF =
TS x 100 Substance
Keterangan : TS = Tearing Strength (Kg) TF = Tearing Factor (Nm2/Kg) 16 = Standar jumlah lembaran kertas yang harus disobek A = Rata-rata pembacaan pada skala dalam gram gaya (gF). B = Jumlah lembar contoh uji pada saat pengujiaan. Substance = Berat lembaran kertas (gr/m2) 3.3.7.3 Pengujian Ring Crush (TAPPI 818 os-76) Ring crush adalah daya tahan lembaran kertas terhadap gaya yang menekan salah satu tepinya yang dibentuk melingkar pada kondisi standar. Alat yang digunakan adalah Compression Tester, Specimen Holder 0,1 – 1,0 mm, Precision Cutter 12,7 x 152,4 mm, Plate Bar : 50, 100, 150, dan 250 Kg. Contoh lembaran kertas dipotong dengan arah melintang mesin (C/D) ukuran panjang 152,4 mm dan lebar 12,7 mm. Jalur kertas tersebut dimasukan kedalam specimen holder yang sesuai dengan tebal kertas yang diperiksa di atas plate bar yang sesuai, biasanya sebagai berikut : Tabel 1 Penggunaan plate bar berdasarkan tebal jalur kertas Tebal Jalur Kertas
Plate Bar
0,01 – 0,15
50 Kg
0,16 – 0,20
100 Kg
0,21 – 0,30
150 Kg
0,31 – 0,40
150 Kg
0,41 - ....
200 Kg
Posisi jarum dalam keadaan nol dan menekan switch ke bawah sampai plate penekan menyentuh dan merusak tepi kertas (lihat sampai jarum penunjuk berhenti bergerak). Lalu secepatnya swicth dinaikkan ke atas dan plate penekan akan naik lagi, motor penggerak dihentikan bila posisi plate penekan dan specimen holder telah dianggap cukup, specimen holder diangkat dan contoh kertas yang telah diujikan dibuang. Hasil pengujian ditunjukkan oleh jarum penunjuk. Perhitungan :
Ring Crush (Kg) = Angka Pembacaan x Faktor
Tabel 2 Faktor angka kalibrasi pemakaian plate bar Plate Bar (Kg)
Faktor
50
0,2424
100
0,4848
150
0,7500
250
1,2304
3.3.7.4 Pengujian Brusting Strength (TAPPI Standard) Brusting Strength adalah ketahanan lembar kertas terhadap gaya yang menekan sampai retak/jebol tiap-tiap cm2 lembaran kertas tersebut. Alat yang digunakan adalah Brusting Tester Type Mullen Kertas yang akan diuji diletakkan di atas bidang penjebol dan penekan diputar ke bawah sampai lembaran kertas tersebut terjepit kuat. Jarum manometer yang akan dipakai harus menunjukkan angka nol. Selanjutnya tangkai ditekan (handle) penggerak ke kiri, pompa biarkan menekan terus sampai kertas terebut retak/jebol. Setelah kertas retak, handle kembali ditekan ke kanan. Hasil pengujian ditunjukkan jarum manometer. Perhitungan :
BS = B x F
BF =
BS Substance
Keterangan : BS = Brusting Strength (kg/Cm2) BF = Brusting Factor (kPa m2/g) B = Angka pembaca pada manometer (Kg/Cm2). F = Angka kalibrasi dari pemakaian karet diaphragma.
x 100
3
2 1 2
3
Gambar 1 Pengujian kekuatan lembaran pulp 1). Pengujian Tensile Strength, 2). Pengujian Ring Crush, 3). Pengujian Brusting 3.4 Analisis Data Analisis statistik untuk penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jamur, masa inkubasi dan interaksi antara keduanya terhadap parameter meliputi : pH, penurunan bobot kering pulp, tingkat degradasi, laju dekomposisi, bilangan kappa dan sifat fisik pulp. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan percobaan faktorial untuk analisis pengaruh jamur pelapuk putih P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi 5, 10 dan 15 hari. Pengolahan data menggunakan aplikasi komputer program Minitab 14 dan SAS 9. Adapun prosedurnya dengan menggunakan General Linear Model.
Model linier : Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εk(ij) i = 1, 2,... ,a j = 1, 2, ..., b k = 1, 2, ..., n
dimana : Yijk = variabel respon hasil observasi ke-k yang terjadi karena pengaruh bersama taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B µ
= rata-rata yang sebenarnya (berharga konstan)
αi
= efek taraf ke-i faktor A
βj
= efek taraf ke-j faktor B
(αβ)ij = efek intraksi antara taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B εk(ij)
= efek unit eksperimen ke-k untuk kombinasi perlakuan taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B
Hipotesis-hipotesis : Pengaruh utama faktor A : H0 : αi = ... = αa = 0 (faktor A tidak berpengaruh) H1 : paling sedikit ada satu αi dimana αi ≠ 0 Pengaruh utama faktor B : H0 : βj = ... = βb = 0 (faktor B tidak berpengaruh) H1 : paling sedikit ada satu βj dimana βj ≠ 0 Pengaruh sederhana (interaksi) faktor A dengan faktor B : H0 : (αβ)ij = (αβ)12 = ... = (αβ)ab = 0 (tidak ada pengaruh interaksi antara faktor A dan faktor B) H1 : paling sedikit ada sepasang (αβ)ij dimana (αβ)ij ≠ 0 Untuk mengetahui respon yang diberikan dari masing-masing perlakuan maka dilakukan uji lanjutan bagi sumber keragaman yang pengaruhnya nyata. Uji lanjutan yang digunakan adalah uji lanjut Duncan.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Pertumbuhan Jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 Pada Media Pulp Kardus Bekas 4.1.1 Pengamatan Visual Jamur Pleurotus EB9 dan P. chrysosporium L1 yang diinkubasi selama 5, 10 dan 15 hari dalam media pulp kardus bekas memiliki pertumbuhan yang berbeda. Pertumbuhan miselium hampir merata pada keseluruhan media pulp dan secara visual warna putih miselium
terlihat tipis di hari ke-5 (Gambar 2a).
Pertumbuhan miselium terus meningkat dan secara visual sudah menebal dan terlihat jelas pada hari ke-10 (Gambar 2b). Pertumbuhan miselium melambat dan secara visual menebal di hari ke-15 (Gambar 2c). Pulp di hari ke-15 tidak ditumbuhi miselium secara keseluruhan dan masih terlihat dari beberapa bagian yang tidak ditumbuhi oleh jamur. Pertumbuhan miselium yang paling bagus diantara masing-masing perlakuan yaitu pada hari ke-5. Pleurotus EB9 menunjukkan pertumbuhan miselium yang tidak merata pada media pulp pada hari ke-5. Miselium hanya tumbuh di beberapa bagian pulp dan mengumpul di satu tempat. Warna putih miselium cukup jelas terlihat dan menebal (Gambar 2d). Pertumbuhan miselium meningkat yang ditandai dengan hampir seluruh media pulp ditumbuhi jamur pada hari ke-10 dan warna putih miselium tampak jelas terlihat di sekeliling media pulp (Gambar 2e). Pertumbuhan miselium tidak memperlihatkan perubahan pada hari ke-15 (Gambar 2f). Secara visual hampir sama dengan hari ke-10. Masing-masing perlakuan menunjukkan pertumbuhan miselium yang paling bagus pada hari ke-10.
d
b
a
d
e
c
f
Gambar 2 Pertumbuhan jamur pada pulp kardus bekas yang telah diinkubasi. a). P. chrysosporium L1 (5 hari), b). P. chrysosporium L1 (10 hari), c). P. chrysosporium L1 (15 hari), d). Pleurotus EB9 (5 hari), e). Pleurotus EB9 (10 hari), f). Pleurotus EB9 (15 hari). Kecepatan pertumbuhan Pleurotus EB9 dan P. chrysosporium L1 dipengaruhi oleh kondisi media dan lingkungan yang digunakan untuk pertumbuhannya. Suhu 30°C merupakan suhu optimum bagi fungi pelapuk kayu pada umumnya dan suhu optimum bagi fungi pelapuk di daerah tropis khususnya (Highley dan Kirk 1979; Rayner dan Boddy 1988). Pada penelitian ini suhu inkubasi untuk menumbuhkan jamur Pleurotus EB9 dan P. chrysosporium L1 yaitu 28-33°C. Menurut Herliyana (1997), bahwa suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menghambat petumbuhan fungi, karenanya pada suhu 5, 10 dan 55°C P. chrysosporium tidak dapat berkembang. P. chrysosporium dapat tumbuh optimum pada suhu kamar yaitu pada kisaran 27-30°C. Menurut Rayner dan Boddy (1988), bahwa P. chrysosporium masih dapat tumbuh dengan baik pada suhu
42°C. Kisaran suhu yang ekstrem, yaitu suhu
minimum dan maksimum mempengaruhi pertumbuhan jamur pelapuk putih. Pertumbuhan jamur pelapuk putih akan terhambat di atas suhu 40°C khususnya P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9. Suhu optimum pertumbuhan P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 berkisar antara 20°C sampai 30°C. Menurut Chang dan Miles (1989), Hal ini diduga P. chrysosporium mempunyai sifat genetik tertentu sehingga dapat tumbuh pada suhu yang relatif tinggi dan bersifat
termotoleran. Pleurotus spp. memiliki suhu optimum pertumbuhan miselia dan pertumbuhan optimum tubuh buah jamur yaitu pada kisaran 26-28°C. 4.1.2 Nilai pH Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan miselium Pleurotus EB9 dan P. chrysosporium L1 yang diinokulasikan pada media pulp adalah pH. Menurut
Gunawan
(2001),
menyatakan
bahwa
pengaruh
pH
terhadap
pertumbuhan jamur tidak dinyatakan secara umum dan bergantung pada ketersedian ion logam tertentu yang terdapat di media pulp dan produksi CO2 atau NH3, dan asam organik. Kisaran pH untuk pertumbuhan miselium yang optimum pada umumnya berbeda yaitu diantara 5,5-7,5. Nilai pH awal pulp dalam penelitian ini adalah berkisar antara 6,05-6,15. Setelah diinkubasi dengan Pleurotus EB9 pada 5, 10 dan 15 hari menunjukkan adanya penurunan pH menjadi sekitar 5-6 (Gambar 3 dan lampiran 5). P. chrysosporium L1 menunjukkan penurunan kisaran pH antara 4-5 pada masa inkubasi 5, 10 dan 15 hari (Gambar 3 dan Lampiran 6). Nilai pH P. chrysosporium L1 yang diinokulasikan pada pulp memiliki rata-rata pH lebih rendah dibanding perlakuan Pleurotus EB9.
Gambar 3 Nilai rata-rata pH P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 setelah diinkubasi. Nilai rata-rata pH dengan menggunakan jamur P. chrysosporium L1 pada masa inkubasi selama 5 hari sebesar 5,90. P. chrysosporium L1 memiliki pH
tertinggi yaitu 5,01 dan pH terendah yaitu 4,875 pada masa inkubasi selama 5 hari. P. chrysosporium L1 yang diinokulasikan pada pulp setelah masa inkubasi 10 hari memiliki rata-rata pH yaitu 4,32. Nilai pH tertinggi sebesar 4,45 dan terendah sebesar 4,17. P. chrysosporium L1 memiliki rata-rata pH sebesar 6,53 pada masa inkubasi selama 15 hari. Nilai pH tertinggi yaitu sebesar 6,32 dan pH terendah yaitu sebesar 4,62. Secara statistik nilai pH pada P. chrysosporium L1 tidak berbeda secara nyata pada ketiga masa inkubasi. Perlakuan jamur Pleurotus EB9 memiliki rata-rata pH sebesar 4,95 pada masa inkubasi selama 5 hari. Nilai pH tertinggi sebesar 5,94 dan pH terendah yaitu sebesar 5,88. Jamur Pleurotus EB9 memperlihatkan grafik yang menurun pada masa inkubasi 10 hari dengan rata-rata pH sebesar 4,32. Nilai pH tertinggi sebesar 5,21 dan pH terendah E1 sebesar 4,74. Nilai rata-rata pH jamur Pleurotus EB9 meningkat pada masa inkubasi selama 15 hari sebesar 5,49. Nilai pH tertinggi sebesar 6,62 dan pH terendah sebesar 6,47. Secara statistik nilai pH Pleurotus EB9 berbeda secara nyata pada ketiga masa inkubasi. Kondisi pH dalam media dapat berubah selama pertumbuhan jamur. Metabolit-metabolit yang dihasilkan seperti asam organik dan senyawa ammonium (NH4OH) dapat menurunkan atau meningkatkan pH media. Apabila pH terlalu rendah atau terlalu tinggi maka pertumbuhan Pleurotus akan terhambat bahkan tumbuh jamur lain. pH media diatur antara 6-7 dengan menggunakan kapur (Yuniasmara et al. 2001). Proses respirasi menyebabkan meningkatnya derajat keasaman dan menurunnya nilai pH media (Rayner dan Boddy 1988). Penurunan pH yang ditunjukkan pada masing-masing isolat jamur P. chrysoporium L1 dan Pleurotus EB9 memperlihatkan isolat tumbuh dengan baik karena adanya proses respirasi isolat. Nilai rata-rata pH pada masa inkubasi selama 5 hari ke 10 hari terjadi penurunan pH. Hal ini membuktikan P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 tumbuh baik pada masa inkubasi selama 10 hari. Meningkatnya nilai rata-rata pH P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 pada masa inkubasi selama 15 hari disebabkan karena pengaruh suhu selama inkubasi. Menurut Moore dan Landecker 1996; Carlile et al. 2001 diacu dalam Herliyana (2007), nilai pH yang berbeda-beda dapat mempengaruhi permeabilitas
sel. Pada pH yang rendah, membran protoplasmik menjadi jenuh dengan ion H+ sehingga lalu lintas kation esensial terbatas. Sebaliknya, pada pH tinggi membran protoplasmik menjadi jenuh dengan ion OH- yang menyebabkan anion terbatas. Meningkatnya nilai rata-rata pH P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 pada masa inkubasi selama 15 hari diduga membran protoplasmik menjadi jenuh dengan ion OH- sehingga pH menjadi naik. Ketersediaan ion-ion terbatas dalam pulp dapat mempengaruhi kebutuhan kedua jamur. Rendahnya nilai rata-rata pH P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 pada masa inkubasi selama 10 hari menunjukkan ion-ion anion dalam pulp masih berada dalam keadaan bebas. Nilai rata-rata pH P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 yang tinggi pada masa inkubasi selama 15 hari memperlihatkan bahwa ketersediaan ion anion menjadi berkurang. Menurut Rayner dan Boddy (1988), bahwa degradasi lignin sangat kecil pada pH di bawah 3 atau di atas 5. Sehingga tingkat keasaman media dapat berpengaruh pada laju pendegradasian lignin. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh. Jamur Pleurotus EB9 memiliki rata-rata pH 5,91 pada masa inkubasi selama 5 hari mempunyai rata-rata tingkat degradasi terendah (0,07 %). Jamur P. chryosporium
L1 dengan rata-rata pH 4,95 pada masa
inkubasi selama 5 hari mempunyai rata-rata tingkat degradasi terendah (0,12 %). P. chrysosporium L1 memiliki rata-rata tingkat degradasi tertinggi (0,37 %) pada masa inkubasi selama 15 hari. Pleurotus EB9 memiliki rata-rata tingkat degradasi tertinggi (0,65 %) pada masa inkubasi selama 15 hari. Hal ini diduga dipengaruhi oleh sistem kerja enzim pada kedua jamur. Kondisi pH yang kurang optimal menyebabkan aktivitas enzim menjadi terhambat. P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 memiliki tingkat degradasi yang kecil pada masa inkubasi selama 5 hari tidak dapat menunjukkan dengan pH di bawah 5 degradasi lignin kecil atau di atas 5 degradasi lignin besar. Pleurotus EB9 dan P. chrysosporium L1 memiliki rata-rata tingkat degradasi yang besar (0,65 % dan 0,37 %) dengan rata-rata pH masing-masing 6,53 dan 5,85 pada masa inkubasi selama 15 hari. Nilai rata-rata pH kedua jamur yang di atas 5 merupakan nilai pH optimum untuk pertumbuhan jamur. Menurut Gunawan (2001),
menyatakan bahwa di laboratorium umumnya jamur akan tumbuh dengan pH optimum antara 5,5-7,5. 4.2 Penurunan Bobot Kering Pulp Hasil penelitian menunjukkan P. chrysosporium L1 dan Pleutorus EB9 mempunyai rata-rata penurunan bobot kering yang meningkat selama masa inkubasi 5, 10 dan 15 hari. P. chrysosporium L1 memiliki rata-rata penurunan bobot kering terendah 3,01 % pada masa inkubai selama 5 hari dan rata-rata penurunan bobot kering tertinggi 9,32 % pada masa inkubasi selama 15 hari. Pleurotus EB9 memiliki rata-rata penurunan bobot kering terendah 1,82 % pada masa inkubasi selama 5 hari dan rata-rata penurunan bobot kering tertinggi 16,63 % pada masa inkubasi selama 15hari. Secara statistik rata-rata penurunan bobot kering berbeda nyata pada ketiga masa inkubasi.
Gambar 4 Persentase rata-rata penurunan bobot kering pulp setelah inkubasi. Rata-rata penurunan bobot kering pada perlakuan jamur P. chrysosporium L1 lebih kecil dibandingkan dengan jamur Pleurotus EB9. Hal ini disebabkan oleh adanya respon pertumbuhan jamur terhadap oksigen selama proses inkubasi. Jamur P. chrysosporium L1 dalam proses pemenuhan oksigen untuk respirasi lebih sedikit dibandingkan dengan jamur Pleurotus EB9 dalam pertumbuhan miselium. Pleurotus EB9 memiliki bentuk miselium yang panjang dan tipis
memungkinkan proses respirasi lebih mudah dari P. chrysosporium L1 dengan bentuk miselium yang butiran dan tebal. Menurut Chang dan Miles (1989), menyatakan bahwa secara fisiologi, struktur hifa P. chrysosporium berbentuk butir-butiran, berdinding tebal dan mengandung tetesan minyak. Sedangkan struktur hifa Pleurotus spp. berbentuk panjang, berdinding tipis dan tidak mengandung tetesan minyak. Komponen gas dari udara yang paling banyak digunakan oleh jamur untuk pertumbuhan adalah oksigen dan karbondioksida. Jamur merupakan species aerobik dan oksigen yang cukup diperlukan untuk pertumbuhan miselium. Pertumbuhan vegetatif akan terus naik ketika tingkat karbondioksida naik sedikit sampai normal berdasarkan aktivitas respirasi dari miselium (Chang dan Miles 1997). Jamur pelapuk kayu merupakan organisme aerobik yang memerlukan oksigen untuk respirasi dan sebagai aseptor elektron untuk oksidasi fosforilasi fenil. Kekurangan oksigen akan menghambat metabolisme (Rayner dan Bobby 1988). Penurunan bobot kering belum bisa dikatakan sebagai banyaknya lignin yang terdegradasi. Hal ini dikarenakan dalam turunnya bobot kering pulp dapat disebabkan juga oleh komponen lain yang terdegradasi selain lignin seperti selulosa, hemiselulosa, unsur mineral lainnya (Mn, N, Fe, dll) dan zat perekat yang terkandung dalam pulp. Jamur Pleurotus EB9 dapat menurunkan bobot kering pulp lebih besar dibandingkan P. chrysosporium L1 tapi belum bisa dikatakan bahwa jamur Pleurotus EB9 dapat mendegradasi lignin lebih banyak. Rata-rata penurunan bobot kering pulp dapat menunjukkan bahwa pertumbuhan jamur Pleurotus EB9 optimal pada media pulp kardus bekas bila dibandingkan dengan P. chrysosporium L1. Tingkat degradasi dan laju dekomposisi oleh jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 terhadap media pulp kardus bekas mengalami peningkatan pada masa inkubasi selama 5, 10 dan 15 hari (Lampiran 23 dan 24). Jamur P. chrysosporium L1 mempunyai rata-rata tingkat degradasi tertinggi sebesar 0,37 % pada masa inkubasi selama 15 hari dan rata-rata tingkat degradasi terendah sebesar 0,12 % pada masa inkubasi selama 5 hari. Rata-rata tingkat degradasi tertinggi oleh jamur Pleurotus EB9 sebesar 0,65 % pada masa inkubasi selama 15
hari dan rata-rata tingkat degradasi terendah sebesar 0,07 % pada masa inkubasi selama 5 hari. Terlihat bahwa tingkat degradasi kedua jamur tersebut berbanding lurus dengan masa inkubasi, semakin lama masa inkubasi maka tingkat degradasi akan semakin meningkat. Secara statistik rata-rata tingkat degradasi jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 berbeda secara nyata pada ketiga masa inkubasi. Laju dekomposisi rata-rata jamur P. chrysosporium L1 tertinggi sebesar 0,0066 gram/hari pada masa inkubasi selama 10 dan 15 hari dan rata-rata laju dekomposisi terendah sebesar 0,0061 gram/hari pada masa inkubasi selama 5 hari. Jamur Pleurotus EB9 memiliki rata-rata laju dekomposisi tertinggi sebesar 0,0119 gram/hari pada masa inkubasi selama 15 hari dan terendah rata-rata sebesar 0,0037 gram/hari pada masa inkubasi selama 5 hari. Secara statistik rata-rata laju dekomposisi jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 tidak berbeda secara nyata pada ketiga masa inkubasi. Jamur yang memiliki tingkat degradasi rendah belum tentu mempunyai laju dekomposisi yang rendah ataupun sebaliknya, tingkat degradasi tinggi juga belum tentu mempunyai laju dekomposisi tinggi. Pada jamur P. chryosporium L1 dengan masa inkubasi selama 10 hari mempunyai tingkat degradasi 0,26 % dengan laju dekomposisi 0,0066 gram/hari, dan tingkat degradasi dengan masa inkubasi selama 15 hari mempunyai tingkat degradasi 0,37% dengan laju dekomposisi 0,0066 gram/hari. Penurunan bobot kering pulp yang meningkat berbanding lurus dengan tingkat degradasi, namun tidak selalu diikuti oleh laju dekomposisi. Besar atau kecilnya tingkat degradasi dan laju dekomposisi oleh jamur pelapuk putih (P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 tidak selalu dapat dipastikan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan jamur, lama masa inkubasi dan jenis media tumbuh jamur. Menurut Herliyana (2007), jamur Pleurotus EB9 dengan media kayu pinus memiliki tingkat degradasi rata-rata 18,1 % dan laju dekomposisi ratarata 42,4 mg/minggu; media kayu akasia memiliki tingkat degradasi rata-rata 16,9 % dan laju dekomposisi rata-rata 38,4 mg/minggu; media kayu sengon memiliki tingkat degradasi rata-rata 20,3 % dan laju dekomposisi rata-rata 64,2 mg/minggu.
Dapat disimpulkan bahwa jamur Pleurotus EB9 tidak hanya mendegradasi lignin saja tetapi juga komponen glukosa lainnya. Hal ini juga pada P. chrysosporium L1 yang memiliki kemampuan degradasi lignin secara selektif. Dalam penelitian ini yang didasarkan pada penurunan bobot kering pulp tidak dapat dijelaskan seberapa banyak komponen glukosa selain lignin yang didegradasi oleh jamur pelapuk putih Pleurotus EB9 dan P. chrysosporium L1. Menurut Herliyana (2007), bahwa jamur pelapuk putih diketahui dapat mendegradasi lignin dan polisakarida. Fase vegetatif Pleurotus EB9 mempunyai kemampuan meningkatkan kelarutan zat ekstraktif cukup tinggi (26,2%) dan menurunkan kadar lignin cukup besar (20,8%), dan menurunkan kadar selulosa (20,1%) serta peningkatan kadar hemiselulosa (70,6%). Isolat Pleurotus EB9 pada fase vegetatif juga mempunyai peningkatan kelarutan dalam NaOH 1% yang mengindikasikan adanya polisakarida yang terdegradasi. 4.3 Aktivitas Enzim Lignin Peroksidase (LiP) dan Mangan Peroksidase (MnP) Lignin peroksidase (LiP) memiliki kemampuan mengkatalis beberapa reaksi oksidasi antara lain pemecahan ikatan Cα-Cβ rantai samping propil non fenolik komponen aromatik lignin, oksidasi benzyl alkohol, oksidasi fenol, hidroksilasi benzylic methylene groups dan pemecahan cincin aromatik komponen non phenolik senyawa lignin (Tien dan Kirk 1984). Enzim mangan peroksidase (MnP) diketahui memiliki kemampuan mengoksidasi baik komponen fenolik maupun non fenolik senyawa lignin. Prinsip fungsi mangan peroksidase adalah bahwa enzim tersebut mengoksidasi Mn2+ membentuk Mn3+ dengan adanya H2O2 sebagai oksidan. Aktivitasnya dirangsang oleh adanya asam organik yang berfungsi sebagai pengkelat atau menstabilkan Mn3+. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa isolat P. chrysosporium L1 memiliki aktivitas LiP tertinggi pada masa inkubasi selama 15 hari sebesar 0,311 U/ml dan terendah pada masa inkubasi 10 hari sebesar 0,260 U/ml. Aktivitas MnP tertinggi pada masa inkubasi selama 5 hari sebesar 0,734 U/ml dan terendah pada masa inkubasi selama 10 hari sebesar 0,133 U/ml (Gambar 6).
Gambar 5 Aktivitas enzim P. chrysosporium L1 sampel 2 ml terhadap masa inkubasi.
Gambar 6 Aktivitas enzim Pleurotus EB9 sampel 2 ml terhadap masa inkubasi. Jamur Pleurotus EB9 menunjukkan tidak terdeteksi aktivitas enzim LiP dan aktivitas enzim MnP yang tertinggi pada masa inkubasi selama 5 hari sebesar 0,409 U/ml dan terendah pada masa inkubasi selama 15 hari sebesar 0,200 U/ml (Gambar 7). Herliyana (2007) dalam penelitiannya melaporkan bahwa isolat Pleurotus EB9 aktivitas MnP mulai muncul pada hari ke-3 inkubasi, dan semakin meningkat sampai hari ke-6 inkubasi. Tidak terdeteksinya aktivitas enzim LiP pada isolat Pleurotus EB9 disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya : pH media, substrat, suhu dan inkubasi. Lamanya penyimpanan sampel isolat juga mempengaruhi aktivitas enzim dalam pengujian enzim. Suhartono (1989), bahwa faktor-faktor utama yang
mempengaruhi aktivitas enzim adalah konsentrasi enzim, substrat, produk, senyawa inhibitor dan aktivator, pH dan jenis pelarut yang terdapat pada lingkungan, kekuatan ion dan suhu. Menurut Herliyana (2007), berdasarkan pelaksanaan pengujian ekspresi enzim Pleurotus EB9 dan Pleurotus EA4 diketahui lama penyimpanan mempengaruhi ekspresi enzim. Lamanya penyimpanan sampel yang disimpan dengan suhu (10°C) pada penelitian ini berbeda-beda sampai melakukan pengujian enzim. Sampel perlakuan jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dengan inkubasi 5 hari disimpan selama 8 hari sampai pengujian enzim. Sampel perlakuan jamur P. chrysosporium L1 dengan inkubasi 10 hari disimpan selama 23 hari dan Pleurotus EB9 selama 24 hari. Sedangkan sampel perlakuan jamur P. chrysosporium L1 disimpan selama 19 hari dan Pleurotus EB9 selama 20 hari pada inkubasi 15 hari. Tiap enzim memerlukan suhu dan pH (tingkat keasaman) optimum yang berbeda-beda karena enzim adalah protein, yang dapat mengalami perubahan bentuk jika suhu dan keasaman berubah. Terjadinya peningkatan dan penurunan nilai aktivitas enzim akibat perubahan pH disebabkan karena perubahan tingkat ionisasi pada enzim atau substrat. Penurunan aktivitas enzim disebabkan karena turunnya afinitas dan stabilitas enzim. Faktor pH sangat mempengaruhi terhadap aktivitas enzim, pH yang terlalu tinggi atau rendah dapat menghambat aktivitas enzim dan memungkinkan strukturnya menjadi rusak. Menurut Rayner dan Boddy (1988), bahwa aktivitas kerja enzim yang optimal berkisar antara pH 3-5. Pada penelitian ini jamur P. chrysosporium L1 aktivitas enzim MnP dan LiP yang optimal pada masa inkubasi selama 5 hari dengan pH 4,95. Jamur Pleurotus EB9 memiliki aktifitas enzim MnP yang optimal pada masa inkubasi selama 10 hari dengan pH 5,00. Aktivitas enzim LiP dan MnP pada masing-masing isolat yaitu P.chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dengan media yang sama menggunakan pulp kardus bekas menunjukkan aktivitas enzim LiP dan MnP yang cukup signifikan. Jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 memperlihatkan aktivitas enzim MnP yang berfluktuasi. Jamur Pleurotus EB9 menunjukkan tidak terdeteksi aktivitas enzim LiP. Sehingga dapat dikatakan bahwa jamur Pleurotus EB9 termasuk jenis jamur pelapuk putih tanpa LiP. Menurut Katagiri (1995),
aktivitas enzim MnP jamur P. chrysosporium yang diinokulasikan pada pulp kraft yang tidak diputihkan tampak terlihat adanya fluktuasi. Aktivitas enzim MnP mengalami peningkatan pada masa inkubasi hari ke-2 dan menurun pada hari ke3. Menurut Herliyana (2007), aktivitas MnP, LiP dan lakase pada produksi skala kecil oleh jamur kelompok Pleurotus dalam penelitian tampak berfluktuasi, hasil ini diduga ketidakstabilan enzim ekstraseluler. Kerem et al. (1992) diacu dalam Herliyana (2007), menyatakan kurangnya ulangan (hanya 2 ulangan) dan dilakukan dalam botol, yang harus dibuka ketika tiap kali dilakukan pengambilan ekstrak kasar dengan cara mengambil langsung menggunakan mikropipet dapat mengganggu pertumbuhan jamur. Ada beberapa alasan untuk kesulitan dalam membuktikan aktivitas LiP pada suatu jamur, seperti penggunaan media yang tidak sesuai atau kondisi pada saat kultivasi, rasio produksi LiP dan MnP serta jamur P. chrysosporium L1 dan jamur lainnya tergantung pada konsentrasi Mn(II) dalam medium. Konsentrasi Mn dalam medium untuk pengoptimalan pertumbuhan jamur P. chrysosporium L1 dimana miselium tumbuh cepat dan banyak. Selain itu ada beberapa jamur yang pertumbuhannya lambat. Sehingga memungkinkan medium yang cukup Mn untuk menekan ekspresi LiP. Aktivitas enzim pada jamur juga tergantung dari ketersediaan substrat kayu dalam memproduksi enzim lignolitik Menurut Hatakka (1994), bahwa veratril alkohol oksidase (VAO) dan aromatic alkohol oksidase (AAO) telah dihasilkan dari P. ostreatus, P. eryngii dan B. adusta, tetapi peranannya dalam mendegradasi lignin belum dapat diketahui. Kemungkinan memiliki peranan dalam produksi H2O2 untuk enzim peroksidase. Bagaimanapun, aktivitas AAO yang ditemukan dalam jamur tidak terlihat jelas seperti aktivitas peroksida. Jamur pelapuk putih menghasilkan H2O2 dari aktivitas enzim seperti glyoxol oksidase, glukosa oksidase, aryl alkohol oksidase dan veratryl alkohol oksidase. Dalam aktivitas enzim lignolitik seperti LiP dan MnP peranan H2O2 sangat penting. Hubungan antara aktivitas lignolitik dan produktivitas H2O2 dalam P.chrysosporium memiliki peranan penting untuk mendegradasi lignin dan kosentrasi nitrogen dan karbon dalam medium untuk mendegradasi lignin yang sama baiknya dengan H2O2. Produksi telah meningkatkan degradasi lignin yang
terbukti dalam katalis dimana mengurai H2O2. Menurut Reddy et al. (1994), dalam medium cair dengan kondisi rendah nitrogen aktivitas MnP naik pada hari ke-4 dan aktivitas LiP naik pada hari ke-6. Ander dan Eriksson (1997) melaporkan bahwa aktivitas lakase Pycnoporus cinnabarinus dalam medium cair dengan penambahan glukosa sebagai sumber karbonnya terdeteksi pada hari ke-7 sebesar 1,2 U/ml. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas enzim tergantung dari kecocokan antara jenis isolat dan substrat yang digunakan. Strain Bjerkandra adusta diketahui menghasilkan LiP pada kondisi pertumbuhan terkendali (Kaal et al. 1993; Mester et al. 1996). Pada media kultur PDA (Potato Dextrose Agar) dan GMY (Glucose Malt Yeast), Bjerkandra adusta juga tidak menghasilkan LiP (Pickard et al. 1999). Sama halnya dengan P. eryngii yang hanya menghasilkan lakase ketika berada pada kondisi media yang mengandung komponen aromatik dan jerami alkali lignin (Munoz et al. 1997). Hal ini menunjukkan bahwa jenis isolat dan juga media berpengaruh dalam produksi enzim ligninase. Jamur dalam melangsungkan hidupnya memerlukan enzim untuk sintesis dan degradasi. Enzim yang berperan dalam proses sintesis yaitu enzim intraseluler dan untuk proses degradasi yaitu enzim ekstraseluler. Fungsi dari enzim intraseluler adalah mensintesis bahan seluler dan menguraikannya untuk menyediakan energi yang dibutuhkan oleh sel. Enzim ekstraseluler berfungsi untuk melangsungkan perubahan seperlunya pada nutrien disekitarnya sehingga memungkinkan nutrien tersebut masuk ke sel. Ligninolitik berhubungan dengan produksi enzim ekstraseluler pendegradasi lignin yaitu lakase dan perokidase yang dihasilkan oleh jamur pelapuk putih. Prinsip kerja deradasi lignin merupakan proses dan tidak-spesifik oleh jamur pelapuk putih. Proses tersebut berhubungan dengan lignin peroksida dan sistem kompleks dengan beberapa enzim (ligninolytic, H2O2-producing and reductases) dan reduced oxygen species. Enzim-enzim ligninolitik, LiP, MnP dan lakase, mengkatalisis oksidasi satu elektron unit lignin aromatic radicals yang memulai depolimerisasi non-enzymatic (Kirk dan Farrell 1987; Hatakka 1994; Guillen et al. 1996).
Gambar 7 Jamur P. chrysosporium L1 dengan aktivitas (MnP dan LiP) dan persentase penurunan bobot kering.
Gambar 8 Jamur Pleurotus EB9 dengan aktivitas (MnP dan LiP) dan persentase penurunan bobot kering. Aktivitas enzim MnP dan LiP berbanding terbalik dengan persentase penurunan bobot kering. P. chrysosporium L1 menghasilkan aktivitas enzim MnP tertinggi pada masa inkubasi selama 5 hari (0,734 U/ml) dan aktivitas enzim LiP tertinggi pada masa inkubasi selama 15 hari (0,311 U/ml). Pleurotus EB9 menunjukkan aktivitas enzim MnP yang terus menurun, dan puncaknya masa inkubasi selama 5 hari (0,409 U/ml) dan tidak terdeteksi aktivitas enzim LiP. Hasil pengukuran persentase penurunan bobot kering, menunjukkan beberapa aktivitas enzim MnP dan LiP baik P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 ternyata tidak diikuti pada persentase penurunan bobot kering pulp yang
tinggi. P.chrysosporium L1 memiliki aktivitas enzim LiP tertinggi terjadi pada persentase penurunan bobot kering yang tinggi yaitu masa inkubasi selama 15 hari (Gambar 8). Hal ini di duga P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 menghasilkan enzim ekstraseluler selain MnP dan LiP yaitu lakase. P. chrysosporium L1 menghasilkan enzim MnP, LiP dan produksi lakase dengan media selulosa sebagai sumber karbon (Srinivansan et. al. 1995 diacu dalam Herliyana 2007). Menurut Herliyana (2007), menyatakan bahwa P. djamor EB9 menghasilkan enzim lakase dan MnP, sementara LiP tidak terlalu signifikan produksinya. Aktivitas enzim lakase paling tinggi dihasilkan pada panen hari ke-6 (0,970 U/ml) dan hari ke-9 (0,965 U/ml), selanjutnya semakin menurun sampai hari ke-15. 4.4 Bilangan Kappa Hasil pengujian bilangan kappa yang diperoleh menunjukkan bilangan kappa pulp kardus bekas untuk kontrol yaitu sebesar 41,38. Pulp yang telah diberi perlakuan jamur P. chrysosporium L1 yang di inkubasi selama 5, 10 dan 15 hari didapatkan bilangan kappa berturut-turut yaitu 41,24; 41,91 dan 42,09. Perlakuan jamur Pleurotus EB9 yang di inkubasi selama 5, 10 dan 15 hari didapatkan bilangan kappa berturut-turut yaitu 42,23; 39,19 dan 41,96 . Nilai bilangan kappa saat inkubasi 5 hari untuk perlakuan jamur P.chrysosporium L1 lebih rendah dari kontrol yaitu 41,24. Sedangkan untuk perlakuan jamur Pleurotus EB9 lebih tinggi dari kontrol yaitu 42,23. Setelah inkubasi selama 10 hari bilangan kappa dengan perlakuan jamur P. chrysosporium L1 meningkat menjadi 41,91 dan Pleurotus EB9 turun menjadi 39,19. Perlakuan jamur P. chrysosporium L1 bilangan kappa terus meningkat pada masa inkubasi selama 15 hari yaitu 42,09 dan Pleurotus EB9 meningkat 41,96. Penurunan bilangan kappa pulp terjadi pada masa inkubasi selama 5 hari dengan jamur P. chrysosporium L1 dan selama 10 hari dengan jamur Pleurotus EB9. Secara statistik bilangan kappa pulp kardus bekas tidak berbea secara nyata pada ketiga masa inkubasi.
Gambar 9 Hubungan bilangan kappa dengan masa inkubasi. Dengan menggunakan bilangan kappa dapat diketahui kadar lignin pulp kardus bekas. Kadar lignin pulp kardus pada perlakuan kontrol sebesar 6,09 %. Perlakuan jamur P. chrysosporium L1 kadar lignin pada masa inkubasi 5, 10 dan 15 hari berturut-turut 6,07 %; 6,16 % dan 6,19 % dan jamur Pleurotus EB9 berturut 6,21 %; 5,76 % dan 6,17%. Secara statistik perlakuan jamur terhadap penurunan kadar lignin pulp kardus bekas tidak berpengaruh secara nyata pada ketiga masa inkubasi. Dalam penelitian ini pulp yang digunakan adalah pulp kardus bekas yang dimana jumlah lignin yang terkandung berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh bahan baku pembuatan pulp berasal dari berbagai macam jenis kardus dan menggunakan
proses
semi-kimia.
Sehingga
dapat
menghambat
proses
delignifikasi yang dilakukan oleh jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan mempengaruhi peningkatan atau penurunan bilangan kappa. Perlakuan jamur Pleurotus EB9. terhadap pulp dengan inkubasi 10 hari mendegradasi lignin relatif tinggi ditandai dengan penurunan bilangan kappa. Pada saat pengujian bilangan kappa tanpa menggunakan jamur (kontrol) dimasukkan larutan KI dan berubah warna menjadi biru tanpa harus diberikan larutan kanji. Seharusnya jika diberikan larutan KI warnanya menjadi kuning dan setelah itu diteteskan larutan kanji menjadi biru. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pulp mengandung kanji atau zat perekat yang biasa digunakan dalam pembuatan kertas kardus. Sehingga peningkatan bilangan kappa diduga karena jamur P.
chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 tidak secara langsung mendegradasi lignin pada pulp, tetapi kanji atau zat perekat dan selulosa. Peningkatan bilangan kappa pada penggunaan jamur menunjukkan pulp lebih sukar diputihkan. Bilangan kappa didasarkan pada oksidasi lignin dengan kalium permanganat dalam larutan asam. Penetapan bilangan kappa merupakan metode tidak langsung untuk penetapan sisa lignin dalam pulp; hasil yang diperoleh menunjukkan derajat delignifikasi, derajat kemasakan. 4.5 Kekuatan Lembaran Pulp Kardus Bekas Breaking Length atau panjang putus adalah untuk mengetahui panjang jalur kertas dengan lebar yang sama akan putus jika pada salah satu ujungnya diberi beban. Berdasarkan hasil pengujian breaking length diperoleh kontrol memiliki ketahanan putus sebesar 4,89 Km. Breaking Length pada perlakuan jamur P. chrysosporium L1 dengan masa inkubasi 5, 10 dan 15 hari berturut-turut diperoleh 4,74 Km; 4,66 Km dan 4,36 Km. Breaking Length pada perlakuan jamur Pleurotus EB9 berturut-turut diperoleh 4,56 Km; 4,23 Km dan 4,07 Km. Tearing Factor atau Ketahanan Sobek adalah banyaknya jumlah kertas yang dapat disobek oleh beban. Hasil tearing factor yang didapat untuk kontrol sebesar 103,43 (Nm2/kg). Selanjutnya tearing length dengan perlakuan jamur P. chrysosporium L1 dengan inkubasi 5 hari, 10 hari dan 15 hari diperoleh 102,01 Nm2/kg; 101,98 Nm2/kg dan 101,45 Nm2/kg. Tearing Factor pada perlakuan jamur Pleurotus EB9 berturut-turut diperoleh 102,25 Nm2/kg; 102,03 Nm2/kg
dan
2
101,86 Nm /kg. Brusting Strength atau Ketahanan Retak adalah gaya yang menekan lembaran pulp sampai retak tiap-tiap cm2. Brusting Strength yang diperoleh untuk kontrol sebesar 3,77 kPa m2/g. Brusting Length pada perlakuan jamur P. chrysosporium L1 secara berturut-turut diperoleh 3,61 kPa m2/g; 3,57 kPa m2/g dan 3,40 kPa m2/g. Perlakuan jamur Pleurotus EB9 berturut-turut diperoleh 3,52 kPa m2/g; 3,40 kPa m2/g dan 3,21 kPa m2/g. Ring Crush adalah daya tahan lembaran kertas terhadap gaya yang menekan salah satu tepinya dibentuk melingkar pada kondisi standar. Ring crush yang diperoleh untuk kontrol sebesar 12,90 Kgf. Ring Crush pada perlakuan jamur P. chrysosporium L1 secara berturut-turut diperoleh 12,61 Kgf; 12,07 Kgf
dan 11,93 Kgf. Ring Crush pada perlakuan jamur Pleurotus EB9. berturut-turut diperoleh 11,77 Kgf; 11,54 Kgf dan 11,43 Kgf. Tabel 3 Kekuatan lembaran pulp setelah perlakuan jamur dan masa inkubasi. Masa Inkubasi Kontrol P. chrysosporium L1
Pleurotus EB9
5 Hari 10 Hari 15 Hari 5 Hari 10 Hari 15 Hari
Breaking Length (Km) 4.89 4.74a 4.66a 4.36a 4.56a 4.23a 4.07a
Tearing Factor (Nm2/kg) 103.43 102.01a 101.98a 101.45a 102.25a 102.03a 101.86a
Brusting Factor (kPa m2/g) 3.77 3.61a 3.57ab 3.40b 3.52a 3.40ab 3.21b
Ring Crush (Kgf) 12.90 12.61a 12.07a 11.93a 11.77b 11.54b 11.43b
Perlakuan jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 pada pulp kardus bekas menghasilkan kekuatan lembaran pulp yang terbaik pada masa inkubasi selama 5 hari. P. chrysosporium L1 menghasilkan Breaking Length 4,74 Km; Brusting Factor 3,61 kPa m2/g; Tearing Factor 102,01 Nm2/kg dan Ring Crush 12,61 Kgf. Pleurotus EB9 menghasilkan Breaking Length 4,56 Km; Brusting Factor 3,52 kPa m2/g; Tearing Factor 102,25 Nm2/kg dan Ring Crush 11,77 Kgf. Kualitas lembaran yang dihasilkan oleh kedua jamur tersebut masih jauh dibawah dari yang diharapkan dan belum memenuhi standar kualitas lembaran pada PT Bekasi Teguh. Standar kualitas lembaran pada PT Bekasi Teguh diantaranya Breaking Length 5,14 Km; Brusting Factor 3,81 kPa m2/g; Tearing Factor 105,43 Nm2/kg dan Ring Crush 13,44 Kgf. Dalam penelitian ini pengujian yang dilakukan terhadap sifat fisik lembaran pulp hanya untuk mengetahui berpengaruh atau tidak perlakuan jamur dan masa inkubasi terhadap sifat fisik lembaran pulp. Secara statistik perlakuan jamur dan masa inkubasi tidak berbeda secara nyata terhadap sifat fisik lembaran pulp pada ketiga masa inkubasi. Pada Tabel 3 terlihat penurunan yang tidak jauh berbeda baik jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 Hal ini dikarenakan pulp kardus bekas memiliki ikatan serat yang pendek-pendek sehingga sifat kekuatannya akan menurun. Menurut Minor dan Attala (1992), bahwa ikatan serat yang pendek pada pulp kertas bekas di dalam proses pembuatan pulp daur ulang dapat menurunkan sifat kekuatan pulp.
Pulp kertas bekas merupakan sumber serat yang potensial karena memiliki keunggulan ekonomis dan pemanfaatannya dapat melestarikan lingkungan. Di negara-negara maju penggunaan pulp kertas bekas sebagai produk pengepakan. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan kertas bekas terutama di industri pulp dan kertas yang berbahan dasar kertas bekas adalah penurunan kualitas kertas yang dihasilkan. Menurut Leufenberg dan Hunt (1992), bahwa kelemahan yang mendasar dalam pemanfaatan pulp daur ulang berupa sifat kekuatannya jauh lebih rendah dari pulp asli. Pemanfaatan pulp daur ulang harus dapat dibatasi untuk menjaga kualitas kertas yang dihasilkan tidak turun. Dalam industri pulp dan kertas proses penghilangan lignin harus dihindari hal ini akan berkaitan dengan sifat kekuatan pulp. Hal ini bukan berarti lignin dalam pulp dipertahankan sepenuhnya tetapi untuk mendapatkan warna pulp yang cerah dan memiliki sifat fisik yang kuat digunakan bahan tambahan. Leufenberg dan Hunt (1992) menyatakan peningkatan mutu pulp daur ulang dapat dilakukan dengan menambahkan sejumlah tertentu pulp daur ulang dengan pulp asli dan proses pulp soda dapat meningkatkan ikatan serat secara kimia. Perlakuan secara kimia dapat memperbaiki dan meningkatkan potensi ikatan antar serat dalam pulp daur ulang. Penggunaan bahan kimia yang berlebihan dapat mengakibatkan dampak kerusakan lingkungan. Sampai saat ini belum banyak penelitian bioteknologi dalam pemanfaatan pulp daur ulang. Diharapkan pemanfaatan pulp daur ulang di negara-negara maju lebih mementingkan kelestarian lingkungan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 yang diinokulasikan pada pulp kardus bekas menunjukkan bahwa kedua jamur tersebut dapat tumbuh secara optimal. Pertumbuhan optimal jamur P. chrysosporium L1 pada masa inkubasi selama 5 hari dengan pH 4,95 dan Pleurotus EB9 pada masa inkubasi selama 10 hari dengan pH 5,00. P.chrysosporium L1 memiliki tingkat degradasi tertinggi sebesar 0.37 % dan laju dekomposisi tertinggi sebesar 0,066 gram/hari pada masa inkubasi selama 15 hari. Pleurotus EB9 memiliki tingkat degradasi tertinggi sebesar 0,65 % dan laju dekomposisi tertinggi sebesar 0,0119 gram/hari pada masa inkubasi selama 15 hari. Kemampuan degradasi lignin dapat dilihat pada aktivitas tertinggi LiP jamur P.chrysosporium L1 pada masa inkubasi selama 5 hari sebesar 0,734 U/ml dan MnP pada masa inkubasi selama 15 hari sebesar 0,311 U/ml. Jamur Pleurotus EB9 tidak terjadi aktivitas LiP dan MnP tertinggi pada masa inkubasi selama 5 hari sebesar 0,409 U/ml. Perlakuan jamur P. chrysosporium L1 menurunkan bilangan kappa pada masa inkubasi selama 5 hari (41,24). Pleurotus EB9 menurunkan bilangan kappa pada masa inkubasi selama 10 hari (39,19). Kekuatan lembaran pulp yang terbaik dihasilkan dari perlakuan jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 pada masa inkubasi selama 5 hari. P. chrysosporium L1 menghasilkan kekuatan lembaran pulp diantaranya Breaking Length 4,74 Km; Tearing Factor 102,01 Nm2/kg; Brusting Factor 3,61 kPa m2/g dan Ring Crush 12,61 Kgf. Pleurotus EB9 menghasilkan kekuatan lembaran pulp diantaranya Breaking Length 4,56 Km; Tearing Factor 102,25 Nm2/kg; Brusting Factor 3,52 kPa m2/g dan Ring Crush 11,77 Kgf. Jamur pelapuk putih P. chrysosporium L1 memiliki potensi sebagai agen biobleaching pulp kardus bekas pada masa inkubasi selama 5 hari dan Pleurotus EB9 memiliki sebagai agen biobleaching pulp kardus bekas pada masa inkubasi selama 5 hari.
5.2 Saran Untuk memperoleh hasil yang lebih baik dalam kaitannya dengan penelitian tentang potensi pendegradasian lignin oleh jamur Pleurotus EB9 terhadap pulp kardus bekas, maka diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai : 1. Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui jumlah selulosa dan hemiselulosa yang terdegradasi pada pulp kardus bekas. 2. Perlu dilakukan perlakuan awal untuk menghilangkan zat perekat (kanji) pada pulp sehingga tidak menghambat pendegradasian lignin oleh jamur.
DAFTAR PUSTAKA Achmadi S.S. 1990. Kimia Kayu. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. IPB. Bogor. Alexopoulos C.J., Mims C.W., Blackwell M. 1996. Introductory Mycology. Ed. Ke-4. New York: John Willey and Sons Inc. Ander P, Eriksson K.E. 1997. Studies on The Mutagenic Properties of Bleaching Effluent. Sven Papperstidn 80: 95-104. Anonim. 2008. Laccase. http://www.chem.ox.ac.uk/icl/faagroup/laccase.html. [25 juli 2008] Brown J.A., Glenn J.K., Gold M.H. 1990. Manganase Regulate Expression of Manganase Peroksidase by Phanerochaete chrysosporium. J Bacteriol 6: 3125-3130. Cavallazzi J.R.P., Oliviera M.G.A., Kasuya M.C.M. 2004. Laccase Production by Lepista sordida. Brazilian J Microbiol 35: 261- 263. Chang S.T., Miles P.G. 1989. Genetics and Breeding of Edible Mushroom. Hongkong: Gordon and Breach science Publisher. Unesco. Erickson K.E.L., Blanchette R.A., Ander P. 1990. Microbiol and Enzymatic Degradation of Wood and Wood Component. Berlin: Spinger-Verlag. Fengel D., Wegener G. 1995. Kayu; Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Terjemahan oleh Sastrohamidjojo H. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Fitria R. 2005. Optimasi Produksi Enzim Lignolitik oleh Isolat A-1 dan G. Lucidum serta Pemurnian Parsial dan Karakteristik Lakase [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia. Gold M.H., Alic M. 1993. Molecular biology of the lignin-degrading basidiomycete Phanerochaete chrysosporium. Microbiol. Rev. 57: 605622. Gunawan A.W. 2000. Usaha Pembibitan Jamur. Jakarta: Penebar Swadaya. Hadi S. 2001. Patologi Hutan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Hatakka A. 1994. Lignin Modifying Enzyme from Selected White-rot Fungi: Production and Role in Lignin Degradation. FEMS Microbiol Rev 13:125135. Haygreen J.G., Bowyer J.L. 1986. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, Suatu Pengantar. Hadikusumo SA, penerjemahan; Prawirohatmodjo S, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Forest Product And Wood Science, An Introduction. Herliyana E.N. 1997. Studi Pertumbuhan Fungi White-Rot Phanerochaete chrysosporium Pada Berbagai Macam Suhu, pH Media dan Sumber N. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Herliyana E.N. 2007. Potensi Lignolitik Jamur Pelapuk Kayu Kelompok Pleurotus [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hidayah H.N. 2008. Sifat Optik dan Mekanik Pulp Karton Bekas Bersubstitusi Pulp Asli Bambu.[Skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Highley T.I, T.K Kirk. 1979. Mechanisme of Wood Decay an The Unique Features of Heartrots. Symposium on Wood Decay J. 69 : 1151 – 1157. Higley T.L, Dashek W.V. 1998. Biotechnology in the Study of Brown and White rot Decay. Di dalam : Bruce A, Palfreyman JW, editor. Forest Products Biotechnology. Taylor & Francis Ltd, London. hlm. 15 – 36. Howard L., Abotsi L., Jansen van Rensburg E., Howard S. 2003, Lignocellulose Biotechnology : Issues of Bioconcersion and Enzyme Production. African J Biotechnol Vol 2 (12). pp 602-619. Katagiri N., Tsutsumi Y., Nishida T. 1995. Correlation of Brightening with Cumulative Enzyme Activity Related to Lignin Biodegradation During Biobleaching of Kraft Pulp by White-rot Fungi in the Solid-state Fermentation System. J App Environ Microbiol 61 : 617 – 622. Kirk T.K., Chang H.M. 1990. Biotechnology in Pulp and Paper Manufacture. New York: Butterworth-Heinemann. Kirk T.K., Schultz E., Connors W.J., Lorenz L.F., Zeikus J.G. 1978. Influence of Culture Parameters on Lignin Mechanisme by P. chrysosporium. Arch Microbiol. 32 : 131.
Laufenberg T.L., Hunt J.F. 1992. Recycled Structural Papers : New Approaches for material Property Improvement. Material Research Society Vol. 266 : 237 – 241. Jurasek L.C., Paice M.G. 1990. The Effect of Inoculum on Bleaching of Hardwood Kraft Pulp with Coriolus versicolor. J pulp and Paper Sci 16 : 78 – 82. Minor J.L., Atalla R.H. 1992. Strength Loss in Recycled Fibers and Methode of restoration. Material Research Society Vol. 266 : 215 – 228 Olson J.S. 1963. Energy Storage and the Balance of Producer and Decomposer in Ecological Systems. Ecology 44 : 322 – 331. Puspita I.D. 2007. Aktivitas Enzim Ligninase Isolat Pleurotus spp. Liar Asal Bogor [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Rayner A.D., Boddy L.1988. Fungal Decomposition of Wood. It’s Biology and Ecology. John Wiley dan Sons : Chichester. New York, Brisbane. Toronto. Singapore. Suhartono M.T. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Depdikbud, Dirjen Dikti, antar Universitas Bioteknologi. IPB, p. 172 – 190. Venditti, Richard. 1991. Bleaching of Recycled Pulp. Associate Professor: Department of Wood and Paper Science. North Carolina State University. Viikari L., Ranua M., Kantelinen A., Sunquist J., Lonko M. 1986. Proceedyng of 3rd International Conference of Biotechnology in Pulp and Paper Industry. Swedish Forest Products Research Laboratory. STFI. Stocholm. Thurston C.F. 1994. The Structure and Function of Fungal Laccase. Microbiol. Rev. 140: 19-26. Wariishi H., Dunford H.B., MacDonald I.D., Gold M.H. 1989. Manganase Peroxidase from the Lignin-degrading Basidiomycete Phanerochaete chrysosporium: Transient-state Kinetics and Reaction Mechanism. J Biol Chem 264 : 3335 – 3340. Wartaka. 2006. Studi Pertumbuhan Beberapa Isolat Jamur Tiram (Pleurotus spp.) pada Berbagai Media Berlignin [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Alat-alat yang digunakan untuk penelitian. A. Sentrifuse eppendorf 5417 R
C. Autoklaf
F. Freeness
B. Spektrofotometer UV-VIS (BECKMAN COULTERTM DU®530; Single cell module)
D. Pulp Kardus Bekas
G. Medium Liner
E. Isolat Media Cair
Lampiran 2 Bobot kering pulp perlakuan jamur P. chrysosporium L1. Masa Inkubasi 5 Hari
10 Hari
15 Hari
Ulangan PC(A1) PC(A2) PC(A3) PC(B1) PC(B2) PC(B3) PC(C1) PC(C2) PC(C3)
Sebelum Perlakuan (gram) 25.034 25.048 25.076 25.032 25.046 25.012 25.023 25.026 25.014
Setelah Perlakuan (gram) 23.854 24.710 24.332 23.309 23.349 23.622 22.032 22.031 24.002
Selisih (gram) 1.180 0.338 0.744 1.723 1.697 1.390 2.991 2.995 1.012
Keterangan : PC (Jamur P.chrysosporium L1), Ulangan 5 Hari (A1, A2, A3) Ulangan 10 Hari (B1, B2, B3), Ulangan 15 Hari (C1, C2, C3)
Lampiran 3 Bobot kering pulp perlakuan jamur Pleurotus EB9. Masa Inkubasi 5 Hari
10 Hari
15 Hari
Ulangan E9(D1) E9(D2) E9(D3) E9(E1) E9(E2) E9(E3) E9(F1) E9(F2) E9(F3)
Sebelum Perlakuan (gram) 25.027 25.053 25.028 25.027 25.032 25.038 25.035 25.022 25.066
Setelah Perlakuan (gram) 24.633 24.585 24.520 23.201 22.899 23.309 21.289 20.797 20.742
Selisih (gram) 0.394 0.468 0.508 1.826 2.133 1.729 3.746 4.225 4.324
Keterangan : E9 (Jamur Pleurotus EB9), Ulangan 5 Hari (D1, D2, D3) Ulangan 10 Hari (E1, E2, E3), Ulangan 15 Hari (F1, F2, F3)
Lampiran 4 Lama penyimpanan sampai pengujian aktivitas enzim. Lama Penyimpanan (hari) Lama
Pleurotus EB9
Inkubasi
P. chrysosporium L1
LiP
MnP
LiP
MnP
5 Hari
8
8
8
8
10 Hari
23
23
24
24
15 Hari
19
19
20
20
Keterangan : LiP (Lignin Peroksidase), MnP (Mangan Peroksidase)
Lampiran 5 Nilai pH perlakuan jamur P. chrysosporium L1. Lama Inkubasi 5 Hari
10 Hari
15 Hari
Ulangan
pH media awal
pH setelah inkubasi
A1 A2 A3 B1 B2 B3 C1 C2 C3
6.00 6.22 6.17 6.07 6.13 6.02 6.17 6.04 6.01
5.01 4.98 4.87 4.35 4.45 4.17 5.54 6.32 4.62
rata-rata pH awal
rata-rata pH setelah inkubasi
6.13
4,95
6.07
4,320
6.07
5,490
Keterangan : Ulangan 5 Hari (A1, A2, A3), Ulangan 10 Hari (B1, B2, B3), Ulangan 15 Hari (C1, C2, C3)
Lampiran 6 Nilai pH perlakuan jamur Pleurotus EB9. Lama Inkubasi 5 Hari
10 Hari
15 Hari
Ulangan
pH media awal
pH setelah inkubasi
D1 D2 D3 E1 E2 E3 F1 F2 F3
6.00 6.30 6.12 6.10 6.06 6.00 6.08 6.21 6.15
5.91 5.94 5.88 4.74 5.05 5.21 6.62 6.47 6.51
rata-rata pH awal
rata-rata pH setelah inkubasi
6.14
5,90
6.05
5,000
6.15
6,530
Keterangan : Ulangan 5 Hari (D1, D2, D3), Ulangan 10 Hari (E1, E2, E3), Ulangan 15 Hari (F1, F2, F3)
Lampiran 7 Aktivitas enzim LiP dan MnP sampel 2 ml isolat jamur P. chrysosporium L1. Lama Inkubasi
5 Hari
10 Hari
15 Hari
Isolat PC(O1) PC(O2) PC(O3) PC(A1) PC(A2) PC(A3) PC(B1) PC(B2) PC(B3)
Aktivitas Enzim LiP (Unit/ml) 0.000 0.376 0.538 0.224 0.161 0.394 0.376 0.108 0.448
Aktivitas Enzim MnP (Unit/ml) 0.760 0.960 0.482 0.110 0.138 0.152 0.480 0.110 0.007
R-Aktivitas Enzim LiP (Unit/ml)
R-Aktivitas Enzim MnP (Unit/ml)
0.305
0.734
0.260
0.133
0.311
0.199
Keterangan : PC (Jamur P.chrysosporium L1), Ulangan 5 Hari (A1, A2, A3), Ulangan 10 Hari (B1, B2, B3), Ulangan 15 Hari (C1, C2, C3), R-Aktivitas Enzim LiP/MnP (Rata-Rata Aktivitas Enzim LiP/MnP)
Lampiran 8 Aktivitas enzim LiP dan MnP sampel 2 ml isolat jamur Pleurotus EB9. Lama Inkubasi
5 Hari
10 Hari
15 Hari
Isolat E9(D1) E9(D2) E9(D3) E9(E1) E9(E2) E9(E3) E9(F1) E9(F2) E9(F3)
Aktivitas Enzim LiP (Unit/ml) 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Aktivitas Enzim MnP (Unit/ml) 0.186 0.158 0.882 0.213 0.468 0.337 0.207 0.138 0.255
R-Aktivitas Enzim LiP (Unit/ml)
R-Aktivitas Enzim MnP (Unit/ml)
0.000
0.409
0.000
0.339
0.000
0.200
Keterangan : E9 (Jamur Pleurotus EB9), Ulangan 5 Hari (D1, D2, D3), Ulangan 10 Hari (E1, E2, E3), Ulangan 15 Hari (F1, F2, F3), R-Aktivitas Enzim LiP/MnP (Rata-Rata Enzim LiP/MnP)
Lampiran 9 Bilangan kappa pulp kardus bekas. Masa Inkubasi Kontrol P. chrysosporium L1
Pleurotus EB9
5 Hari 10 Hari 15 Hari 5 Hari 10 Hari 15 Hari
I 40.23 42.13 42.54 41.82 43.16 39.06 41.59
II 42.54 40.35 41.28 42.37 41.29 39.33 42.36
Rata-Rata 41.38 41.24 41.91 42.09 42.23 39.19 41.96
Keterangan : I (Ulangan 1 Pengujian), II (Ulangan 2 Pengujian)
Lampiran 10 Kualitas handsheet berdasarkan uji breaking length. Masa Inkubasi Kontrol P. chrysosporium L1
Pleurotus EB9
5 Hari 10 Hari 15 Hari 5 Hari 10 Hari 15 Hari
Ulangan I Ulangan II (Km) (Km) 4.66 4.80 4.70 4.66 4.63 4.60 4.22
5.12 4.68 4.62 4.06 4.49 3.86 3.92
RataRata (Km) 4.89 4.74 4.66 4.36 4.56 4.23 4.07
Lampiran 11 Kualitas handsheet berdasarkan uji brusting factor. Masa Inkubasi Kontrol P. chrysosporium L1
Pleurotus EB9
5 Hari 10 Hari 15 Hari 5 Hari 10 Hari 15 Hari
Ulangan I (kPa m2/g) 3.82 3.58 3.49 3.32 3.48 3.26 3.08
Ulangan II (kPa m2/g) 3.72 3.56 3.65 3.48 3.56 3.54 3.34
Rata-Rata (kPa m2/g) 3.77 3.61 3.57 3.40 3.52 3.40 3.21
Lampiran 12 Kualitas handsheet berdasarkan uji tearing factor. Masa Inkubasi Kontrol P. chrysosporium L1
Pleurotus EB9
5 Hari 10 Hari 15 Hari 5 Hari 10 Hari 15 Hari
Ulangan I (Nm2/kg) 103.57 102.89 102.14 101.77 102.83 102.13 102.06
Ulangan II (Nm2/kg) 103.29 101.13 101.82 101.13 101.67 101.93 101.66
Rata-Rata (Nm2/kg) 103.43 102.01 101.98 101.45 102.25 102.03 101.86
Lampiran 13 Kualitas handsheet berdasarkan uji ring crush. Masa Inkubasi Kontrol P. chrysosporium L1
Pleurotus EB9
5 Hari 10 Hari 15 Hari 5 Hari 10 Hari 15 Hari
Ulangan I (Kgf) 13.10 12.86 12.66 12.62 11.61 11.02 10.52
Ulangan II (Kgf) 12.70 12.36 11.48 11.24 11.25 10.52 10.56
Rata-Rata (Kgf) 12.90 12.61 12.07 11.93 11.77 11.54 11.43
Lampiran 14 Sidik ragam pengaruh jamur P . chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi terhadap nilai pH media pulp kardus bekas. Sumber Jumlah Kuadrat DB FHitung P Keragaman Kuadrat Tengah F1 (jamur) 1 3.57 3.57 26.34 0.00 *** F2 (Masa 2 5.51 2.75 20.33 0.00 *** Inkubasi) F1*F2 2 0.10 0.05 0.40 0.67 ns (Interaksi) Sisa 12 1.62 0.13 Total 17 10.8 ***) berpengaruh nyata pada taraf 1% ns) not significance/tidak berpengaruh nyata
Lampiran 15 Hasil uji lanjutan Duncan nilai pH jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi. Rank 1 2
Mean Name Pleurotus EB9 P.chrysosporium L1
Rank 1 2 3
Mean Name 15 hari 5 Hari 10 Hari
Mean 5.81 4.92
Mean 6.01 5.43 4.66
n 9 9
n 6 6 6
Non-significant ranges a b
Non-significant ranges a b c
Lampiran 16 Sidik ragam pengaruh jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi terhadap penurunan bobot kering pulp. Sumber Keragaman F1 (jamur) F2 (Masa Inkubasi) F1*F2 (Interaksi) Sisa Total
1
Jumlah Kuadrat 1.55
Kuadrat Tengah 1.55
2
20.54
2 12 17
DB
FHitung
P
5.59
0.03 *
10.27
37.05
0.00 ***
3.38
1.69
6.10
0.01 *
3.32 28.80
0.27
*) berpengaruh nyata pada taraf 1% ***) berpengaruh nyata pada taraf 5%
Lampiran 17 Hasil uji lanjutan Duncan penurunan bobot kering jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi. Rank 1 2
Mean Name Mean Pleurotus EB9 2.15 P.chrysosporium L1 1.56
Rank 1 2 3
Mean Name 15 hari 5 Hari 10 Hari
Mean 3.21 1.74 0.60
n Non-significant ranges 9 a 9 b
n 6 6 6
Non-significant ranges a b c
Lampiran 18 Sidik ragam pengaruh jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi terhadap bilangan kappa pulp. Sumber Keragaman F1 (jamur) F2 (Masa Inkubasi) F1*F2 (Interaksi) Sisa Total
1
Jumlah Kuadrat 1.14
Kuadrat Tengah 1.14
2
4.90
2 11 16
DB
FHitung
P
1.48
0.26 ns
2.45
3.19
0.11 ns
7.21
3.60
4.69
0.05 ns
4.61 17.87
0.76
ns) not significance/tidak berpengaruh nyata
Lampiran 19 Sidik ragam pengaruh jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi terhadap breaking length. Sumber Keragaman F1 (jamur) F2 (Masa Inkubasi) F1*F2 (Interaksi) Sisa Total
1
Jumlah Kuadrat 0.27
Kuadrat Tengah 0.27
2
0.37
2 6 11
DB
FHitung
P
3.12
0.12 ns
0.18
2.18
0.19 ns
0.031
0.01
0.18
0.83 ns
0.51 1.19
0.08
ns) not significance/tidak berpengaruh nyata
Lampiran 20 Sidik ragam pengaruh jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi terhadap tearing factor. Sumber Keragaman F1 (jamur) F2 (Masa Inkubasi) F1*F2 (Interaksi) Sisa Total
1
Jumlah Kuadrat 0.16
Kuadrat Tengah 0.16
2
0.48
2 6 11
DB
FHitung
P
0.38
0.56 ns
0.24
0.56
0.59 ns
0.64
0.03
0.07
0.92 ns
2.57 3.29
0.42
ns) not significance/tidak berpengaruh nyata
Lampiran 21 Sidik ragam pengaruh jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi terhadap brusting strength. Sumber Keragaman F1 (jamur) F2 (Masa Inkubasi) F1*F2 (Interaksi) Sisa Total
1
Jumlah Kuadrat 0.05
Kuadrat Tengah 0.05
2
0.12
2 6 11
DB
FHitung
P
3.29
0.11 ns
0.06
3.67
0.09 ns
0.01
0.00
0.33
0.72 ns
0.10 0.29
0.01
ns) not significance/tidak berpengaruh nyata
Lampiran 22 Sidik ragam pengaruh jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi terhadap ring crush. Sumber Keragaman F1 (jamur) F2 (Masa Inkubasi) F1*F2 (Interaksi) Sisa Total
1
Jumlah Kuadrat 4.99
Kuadrat Tengah 4.99
2
1.34
2 6 11
DB
FHitung
P
15.25
0.01 **
0.67
2.05
0.20 ns
0.02
0.01
0.03
0.96 ns
1.96 8.32
0.32
**) berpengaruh nyata pada taraf 5% ns) not significance/tidak berpengaruh nyata
Lampiran 23 Tingkat degradasi berdasarkan penurunan bobot kering pulp terhadap masa inkubasi. Masa Inkubasi
5 Hari P. chrysosporium L1 10 Hari
15 Hari
5 Hari Pleurotus EB9 10 Hari
15 Hari
Ulangan
Tingkat Degradasi (%)
PC(A1) PC(A2) PC(A3) PC(B1) PC(B2) PC(B3) PC(C1) PC(C2) PC(C3) E9(D1) E9(D2) E9(D3) E9(E1) E9(E2) E9(E3) E9(F1) E9(F2) E9(F3)
0.19 0.05 0.12 0.27 0.27 0.22 0.48 0.48 0.16 0.06 0.07 0.08 0.29 0.34 0.28 0.60 0.67 0.69
Keterangan : PC (Jamur P.chrysosporium L1), Ulangan 5 Hari (A1, A2, A3), Ulangan 10 Hari (B1, B2, B3), Ulangan 15 Hari (C1, C2, C3), E9 (Jamur Pleurotus EB9), Ulangan 5 Hari (D1, D2, D3), Ulangan 10 Hari (E1, E2, E3), Ulangan 15 Hari (F1, F2, F3),
Rata-Rata Tingkat Degradasi (%) 0.12
0.26
0.37
0.07
0.30
0.65
Lampiran 24 Laju dekomposisi berdasarkan penurunan bobot kering pulp terhadap masa inkubasi. Masa Ulangan Inkubasi
5 Hari P. chrysosporium L1 10 Hari
15 Hari
5 Hari Pleurotus EB9 10 Hari
15 Hari
PC(A1) PC(A2) PC(A3) PC(B1) PC(B2) PC(B3) PC(C1) PC(C2) PC(C3) E9(D1) E9(D2) E9(D3) E9(E1) E9(E2) E9(E3) E9(F1) E9(F2) E9(F3)
Laju Dekomposisi (gram/hari)
Rata-Rata Laju Dekomposisi (gram/hari)
0.0097 0.0027 0.0060 0.0071 0.0070 0.0057 0.0085 0.0085 0.0028 0.0032 0.0038 0.0041 0.0076 0.0089 0.0072 0.0108 0.0123 0.0126
Keterangan : PC (Jamur P.chrysosporium L1), Ulangan 5 Hari (A1, A2, A3), Ulangan 10 Hari (B1, B2, B3), Ulangan 15 Hari (C1, C2, C3), E9 (Jamur Pleurotus EB9), Ulangan 5 Hari (D1, D2, D3),
0.0061
0.0066
0.0066
0.0037
0.0079
0.0119
Lampiran 25 Kadar lignin pulp kardus bekas berdasarkan bilangan kappa. Masa Inkubasi
Kadar Lignin(%) 6.09 6.07 6.16 6.19 6.21 5.76 6.17
Kontrol 5 Hari 10 Hari 15 Hari 5 Hari 10 Hari 15 Hari
P. chrysosporium L1 . Pleurotus EB9 .
Kadar lignin (%) = 0,1471 x bilangan kappa
Lampiran 26 Sidik ragam pengaruh jamur P . chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi terhadap tingkat degradasi. Sumber Jumlah Kuadrat DB FHitung P Keragaman Kuadrat Tengah F1 (jamur) 1 0.03 0.03 5.44 0.03 * F2 (Masa 2 0.52 0.26 36.61 0.00 *** Inkubasi) F1*F2 2 0.08 0.04 5.96 0.01 * (Interaksi) Sisa 12 0.08 0.01 Total 17 0.73 ***) berpengaruh nyata pada taraf 1% *) berpengaruh nyata pada taraf 5%
Lampiran 27 Hasil uji lanjutan Duncan tingkat degradasi jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi. Rank 1 2
Mean Name Pleurotus EB9 P.chrysosporium L1
Rank 1 2 3
Mean Name 15 hari 10 Hari 5 Hari
Mean 0.34 0.24
Mean 0.51 0.27 0.09
n 9 9
n 6 6 6
Non-significant ranges a b
Non-significant ranges a b c
Lampiran 28 Sidik ragam pengaruh jamur P . chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi terhadap laju dekomposisi. Sumber Jumlah Kuadrat DB FHitung P Keragaman Kuadrat Tengah F1 (jamur) 1 8.68 8.68 2.03 0.17 ns F2 (Masa 2 5.64 2.82 6.60 0. 01 * Inkubasi) F1*F2 2 4.48 2.24 5.25 0. 02 * (Interaksi) Sisa 12 0.12 4.27 Total 17 1.61 *) berpengaruh nyata pada taraf 5% ns) not significance/tidak berpengaruh nyata
Lampiran 29 Hasil uji lanjutan Duncan laju dekomposisi jamur P. chrysosporium L1 dan Pleurotus EB9 dan masa inkubasi. Rank
Mean Name
Mean
n
Non-significant ranges
1 2
Pleurotus EB9 P.chrysosporium L1
0.007 0.006
9 9
a a
Rank 1 2 3
Mean Name 15 hari 10 Hari 5 Hari
Mean 0.009 0.007 0.004
n 6 6 6
Non-significant ranges a ab c