BIODELIGNIFIKASI LIMBAH TANAMAN JAGUNG MENGGUNAKAN KAPANG PELAPUK PUTIH Phanerochaete chrysosporium
SKRIPSI
KIRANA SANGGRAMI SASMITALOKA F34062053
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
CORN STOVER BIODELIGNIFICATION USING WHITE-ROT FUNGI Phanerochaete chrysosporium
Kirana Sanggrami Sasmitaloka Departement of Agroindustrial Technology, Faculty of Agroindustrial Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, Bogor, West Java, Indonesia.
ABSTRACT Biodelignification is processing of lignin omission to make fibre free from the tying by using microorganism like mould, bacteria or enzyme. Delignification needed because lignin is main barier at cellulose hydrolysis process. Corn stover is lignocellulosic material which have large potential for the development future products. Some white-rot fungi has used to lignin degradation. The most commonly utilized fungus is the white-rot fungus Phanerochaete chrysosporium. The experimental result shows that significant factor in biodelignification is temperature. The best condition from corn stover biodelignification is estimated 30oC, 10 ml fungus addition. In this condition, corn stover contents from 1,671 gram lignin, 1,868 gram hemicellulose, and 2,514 gram α-cellulose, with beginning weight before biodelignification is 10 gram (dry). So that condition to produce lignin removal 11,73 % (0,222 gram), α-cellulose removal 24,59 % (0,82 gram) and hemicelllulose removal 32,44 % (0,897 gram).
Keywords: Corn stover, Biodelignification, Phanerochaete chrysosporium.
Kirana Sanggrami Sasmitaloka. F34062053. Biodelignifikasi Limbah Tanaman Jagung Menggunakan Kapang Pelapuk Putih Phanerochaete chrysosporium. Di bawah bimbingan Ani Suryani dan Djumali Mangunwidjaja. 2010
RINGKASAN Lignoselulosa merupakan komponen utama tanaman yang menggambarkan jumlah sumber bahan organik yang dapat diperbaharui. Komposisi terbesar bahan lignoselulosa terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Limbah tanaman jagung sebagian besar adalah bahan berlignoselulosa yang memiliki potensi besar untuk pengembangan produk masa depan. Limbah tanaman jagung mengandung selulosa (36,81%), hemiselulosa (27,01%), lignin (15,70%), abu (6,04%) dan lain-lain (14,44%). Lignin merupakan suatu makromolekul kompleks. Lignin membentuk matriks yang mengelilingi selulosa dan hemiselulosa. Sehingga lignin menjadi faktor penghambat utama hidrolisis selulosa. Biodelignifikasi merupakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan antara lain dengan menggunakan sistem biologi, yang mengambil keuntungan dari kemampuan alamiah suatu organisme dalam melepaskan serat selulosa dari lignin. Sejumlah kapang pelapuk putih telah dicoba kemampuannya dalam mendegradasi lignin. Salah satu kapang yang sering digunakan adalah Phanerochaete chrysosporium. Tujuan penelitian ini adalah menentukan suhu inkubasi dan volume inokulum kapang yang terbaik pada proses biodelignifikasi limbah tanaman jagung. Parameter mutu yang diuji untuk menentukan kondisi terbaik pada proses biodelignifikasi adalah kadar air, kadar ekstraktif, kadar lignin, kadar holoselulosa, kadar alfaselulosa. Nilai batas bawah untuk suhu inkubasi dan volume inokulum kapang secara berturut-turut adalah 30oC dan 2,5 ml. Sedangkan nilai batas atas adalah 70 oC dan 10 ml. Metode yang digunakan untuk mengetahui kondisi terbaik adalah metode permukaan respon. Penelitian mengenai proses biodelignifikasi pada limbah tanaman jagung menunjukkan bahwa faktor suhu dan volume inokulum kapang tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar lignin dan kadar alfaselulosa pada proses biodelignifikasi. Pada kadar hemiselulosa, hanya faktor suhu yang berpengaruh pada proses biodelignifikasi, sedangkan faktor volume inokulum kapang tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar hemiselulosa. Dari persamaan tersebut diketahui kondisi terbaik untuk proses biodelignifikasi limbah tanaman jagung adalah pada suhu inkubasi 30oC dan volume inokulum kapang 10 ml selama 7 hari inkubasi. Pada kondisi tersebut kadar lignin pada pada LTJ yang telah dibiodelignifikasi sebesar 1,671 gram, kadar hemiselulosa sebesar 1,868 gram, dan kadar α-selulosa sebesar 2,514 gram. Dengan berat awal LTJ yang belum dibiodelignifikasi adalah 10 gram kering. Sehingga kondisi ini menghasilkan susut lignin sebesar 11,73 % (0,222 gram), susut alfaselulosa sebesar 24,59 % (0,82 gram) dan susut hemiselulosa sebesar 32,44 % (0,897 gram).
Kirana Sanggrami Sasmitaloka. F34062053. Corn Stover Biodelignification Using White-Rot Fungi Phanerochaete chrysosporium. Supervised by Ani Suryani dan Djumali Mangunwidjaja. 2010 SUMMARY Lignocellulose is the major structural component of plants which represents a major source of renewable organic renewable. Lignocellulose composed of three major components. They are cellulose, hemicelluloses and lignin. Corn stover is lignocellulosic material which have large potential for the development future products. Corn stover consists of cellulose (36,81%), hemicelluloses (27,01%), lignin (15,70%), ash (6,04%) and other material (14,44%). Lignin is complexs macromolecules. Lignin is further linked to both hemicelluloses and cellulose forming. Lignin acts as a barrier for hydrolysis of cellulose. Biodelignification is use technologies with enviromentall-friendly such as biology system, use advantages from organisms to separated cellulose fiber from lignin. Some white-rot fungi has used to lignin degradation. The most commonly utilized fungus is the white-rot fungus Phanerochaete chrysosporium. The goal of this research is to determine of effects, temperature, and fungus addition to to find the best condition in the bidelignification process of corn stover with Phanerochaete chrysosporium. The lowest number for temperature and fungus addition were consecutively 30 oC and 2,5 ml. While for the highest number were consecutively 70 oC and 10 ml. Methods that was used to know the best condition was response surface method. The experimental result shows that significant factor in biodelignification is temperature. The best condition from corn stover biodelignification is estimated 30 oC, 10 ml fungus addition. In this condition, corn stover contents from 1,671 gram lignin, 1,868 gram hemicellulose, and 2,514 gram αcellulose, with beginning weight before biodelignification is 10 gram (dry). So that condition to produce lignin removal 11,73 % (0,222 gram), α-cellulose removal 24,59 % (0,82 gram) and hemicelllulose removal 32,44 % (0,897 gram).
BIODELIGNIFIKASI LIMBAH TANAMAN JAGUNG MENGGUNAKAN KAPANG PELAPUK PUTIH Phanerochaete chrysosporium
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh Kirana Sanggrami Sasmitaloka F34062053
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul : Biodelignifikasi Limbah Tanaman Jagung Menggunakan Kapang Pelapuk Putih Phanerochaete chrysosporium Nama : Kirana Sanggrami Sasmitaloka NIM : F34062053
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
(Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA)
(Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA)
NIP 19581026 198303 2 003
NIP 19500720 198103 1 003
Mengetahui: Ketua Departemen,
(Prof.Dr.Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP : 19621009 198903 2 001
Tanggal Lulus : 6 September 2010
PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Biodelignifikasi Limbah Tanaman Jagung Menggunakan Kapang Pelapuk Putih Phanerochaete chrysosporium” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2010 Yang membuat pernyataan
Kirana Sanggrami S. F34062053
© Hak cipta milik Kirana Sanggrami Sasmitaloka, tahun 2010 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, microfilm, dan sebagainya
RIWAYAT PENULIS Penulis dilahirkan di Purwokerto, 8 desember 1988 dari pasangan Bapak Ir. Eko Haryanto dan Ibu Suciati, yang merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan di SD Negeri Purwanegara 5 purwokerto, kemudia dilanjutkan ke SLTP Negeri 1 Purwokerto dan SMU Negeri 1 purwokerto. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan diterima sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Selama kuliah, penulis aktif di beberapa organisasi, diantaranya Forum Bina Islami Fateta (FBI-F) dan LDK DKM Al Hurriyyah. Selain itu penulis juga berkesempatan menjadi asisten praktikum Bioproses, asisten minyak, lemak dan oleokimia, dan asisten Pendidikan Agama Islam. Pada tahun 2009 penulis melaksanakan praktek lapang di PT Takasago Indonesia, Purwokerto, Jawa Tengah. Laporan praktek lapang yang disusun berjudul “Mempelajari Aspek Pengawasan Mutu pada Proses Produksi Minyak Nilam di PT. Takasago Indonesia, Purwokerto”. Penulis melakukan penelitian sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Biodelignifikasi Substrat Limbah Tanaman Jagung sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol dengan Menggunakan Kapang Pelapuk Putih Phanerochaete chrysosporium” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA dan Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA.
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin. Segala puji bagi Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah, serta kasih sayangNya yang tak henti-hentinya penulis terima sehingga skripsi yang berjudul “Biodelignifikasi
Limbah
Tanaman
Jagung
Menggunakan
Kapang
Pelapuk
Putih
Phanerochaete chrysosporium”, ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi yang membutuhkan. Amin.
Bogor, September 2010
Penulis
iii
UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji bagi Allah SWT, kami memuji-Nya, memohon pertolongan kepada-Nya, dan memohon ampun kepada-Nya. Kita berlindung kepada-Nya dari kejahatan jiwa kita, dan keburukan amal kita. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwa Muhammad SAW. adalah hamba dan utusan Allah. Semoga shalawat dan salam atas Beliau, keluarga dan sahabat-sahabat Beliau, serta orang-orang yang tetap lurus di jalan Beliau hingga hari akhir. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada: 1.
Bapak, Ibu, Mama, Bayu, Angga dan keluarga besar tercinta atas doa dan dorongan semangat yang tak pernah berhenti penulis dapatkan, serta laut biru yang selalu memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan studinya. Semoga ridha Allah selalu menyertai keluarga kita. Amin.
2.
Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA selaku Pembimbing I atas segala bantuan dalam memberi arahan serta kesabaran dalam membimbing penulis.
3.
Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA selaku Pembimbing II atas bimbingan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan proyek ini sebagai tugas akhir skripsi.
4.
Drs. Purwoko, M. Si selaku dosen penguji yang telah memberikan koreksi dalam penulisan skripsi ini dan beberapa arahan serta nasihat untuk perbaikan diri penulis.
5.
Bapak Wagiman, STP, M. Si yang telah banyak memabntu penulis selama menyelesaikan skripsi.
6.
Seluruh staf dan laboran Departemen Teknologi Industri Pertanian yang bersedia membantu selama penulis melaksanakan penelitian.
7.
Rizka Ardhiyana dan Sandra Setyawati, atas kebersamaan dan kesediaan mereka dalam berbagi ilmu yang bermanfaat selama penelitian dan obrolan-obrolan pada waktu-waktu yang membosankan.
8.
Cucu dan Tiwik, atas persahabatan dan persaudaraan yang mereka tawarkan kepada penulis.
9.
Bu Dian Rahim dan teman-teman sepermainan (Suci, Ulfa, Dya, Rani, Sani, Mesil, dan Anri), atas persaudaraan dan semangat ruhiyah yang penulis dapatkan. Semoga kita dapat berkumpul kembali di surga-Nya dalam suatu lingkaran. Amin.
10. Adik-adikku tersayang (Nurul TEP 44, Gilda TIN 44, Dewi TIN 44, Tia AGB 45, Risna KPM 45, Isma TIN 45, Lela TIN 45, dan Nisa TEP 45). Kita belajar bersama untuk menjadi muslimah yang dicintai Alloh. 11. Teman-Teman pengurus Forum Bina Islami Fateta (FBI-Fateta) Kabinet Lingkar Cendekia, atas kebersamaan dan pelajaran hidup yang penulis dapatkan. 12. Rekan-rekan guru Bimbingan Belajar Kharisma Prestasi, atas canda tawa dan pelipur lara selama ini.
iv
13. Teman-teman kosan Ramadan (Mba Heni IKK42, Ayu IPTP 43, Septin THP 43, Nana THP 43, Anna ITP 43, Anis ITP 44, Rida GM 45, Arin AGH 45, Rayhanah IPTP 45, Nurul TEP 44, Jessy PSP 45, dan Estriana AGH 45), atas bantuan dan dukungan mereka dalam keseharian penulis dan ketika penulis melaksanakan penelitian. 14. Teman-teman TIN 43, atas segala bantuan dan dukungannya selama melaksanakan penelitian. 15. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas semua yang telah diberikan. Hanya Allahlah sebaik-baiknya Pemberi Balasan. Dengan segala kekurangan yang terdapat di dalamnya, penulis berharap tulisan ini dapat mendatangkan manfaat bagi siapapun yang membutuhkannya dan menjadi salah satu amalan baik penulis di hadapan Allah SWT. Amin.
Penulis
v
DAFTAR ISI Halaman
KATA PENGANTAR……………………………………………………. iii DAFTAR TABEL………………………………………………………… viii DAFTAR GAMBAR……………………………………………………... Ix DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………...
x
I. PENDAHULUAN………………………………………………………
1
A. LATAR BELAKANG………………………………………….. 1 B. TUJUAN ……………………………………………………….. 2 II. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 3 A. JAGUNG......................................................................................
3
B. LIGNOSELULOSA.....................................................................
3
C. LIGNIN DAN EKSTRAKSINYA...............................................
4
D. PERLAKUAN AWAL DAN BIODELIGNIFIKASI..................
5
E. FUNGI PELAPUK PUTIH Phanerochaete chrysosporium........
7
III. METODE..............................................................................................
10
A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN....................................
10
B. BAHAN DAN ALAT................................................................... 10 C. METODE PENELITIAN.............................................................
10
C. 1. Persiapan Inokulum Jamur..................................................
10
C. 2. Karakterisasi LTJ (Limbah Tanaman Jagung).........................
11
C. 3. Penelitian Utama..............................................................
13
C. 4. Pengolahan Data...............................................................
15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................. 17 A. KARAKTERISASI LIMBAH TANAMAN JAGUNG............. 17 B.
C.
PENGARUH
FAKTOR
TERHADAP
KANDUNGAN
LIGNIN......................................................................................
17
B. 1. Suhu Inkubasi...................................................................
18
B. 2. Volume Inokulum Kapang ................................................
19
PENGARUH FAKTOR TERHADAP KANDUNGAN HEMISELULOSA.................................................................. 20
vi
C. 1. Suhu Inkubasi...................................................................
21
C. 2. Volume Inokulum Kapang................................................... 21 D. PENGARUH FAKTOR TERHADAP KANDUNGAN α – SELULOSA...............................................................................
22
D. 1. Suhu Inkubasi..................................................................
23
D. 2. Volume Inokulum Kapang ................................................
24
E. KONDISI TERBAIK PROSES BIODELIGNIFIKASI............. 24 V. KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................
26
A. KESIMPULAN.......................................................................... 26 B. SARAN......................................................................................
26
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................
27
LAMPIRAN................................................................................................. 29
vii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Enzim Lignolitik yang Dihasilkan white –rot fungi……………………………
8
Tabel 2. Nilai Rendah dan Tinggi Perlakuan....................................................................
15
Tabel 3. Karakterisasi Limbah Tanaman Jagung……………………….........................
17
Tabel 4. Peluang nilai p > F interaksi suhu inokulum kapang pada kadar lignin ……………………………………………………………………………….
19
Tabel 5. Peluang nilai p > F interaksi volume inokulum kapang dengan suhu inkubasi kadar lignin……..............................................................................................
19
Tabel 6. Peluang nilai p > F interaksi suhu dengan volume inokulum kapang pada kadar hemiselulosa……………………………………………………………
21
Tabel 7. Peluang nilai p > F interaksi volume inokulum kapang dengan suhu inkubasi pada kadar hemiselulosa……………………………………………………...
22
Tabel 8. Peluang nilai p > F interaksi suhu dengan volume inokulum kapang pada kandungan α-selulosa…………………………………………………………
23
Tabel 9. Peluang nilai p > F interaksi volume inokulum kapang dengan suhu inkubasi pada kadar α-selulosa…………………............................................................
24
Tabel 10. Perkiraan kondisi optimum pada proses biodelignifikasi……..........................
25
Tabel 11. Perbandingan komponen lignoselulosa pada LTJ sebelum dan sesudah biodelignifikasi……………………………………………………………..
25
viii
DAFTAR GAMBAR Halaman
Gambar 1. Satuan Penyusun Lignin …………………………………………………...
5
Gambar 2. Kompleks lignin/fenolik-karbohidrat………………………………………
5
Gambar 3. Skema Perlakuan Awal ……………………………………………………
6
Gambar 4. Diagram Alir persiapan Inokulum Kapang……………...............................
11
Gambar 5. Diagram Alir Karakterisasi Limbah Tanaman Jagung…….........................
12
Gambar 6. Diagram Alir Persiapan Bahan…………………………….........................
13
Gambar 7. Diagram Alir Proses Biodelignifikasi……………………………………...
14
o
Gambar 8. Pengaruh kombinasi suhu ( C) dengan volume inokulum kapang (ml) terhadap kadar lignin (gram)……………………………………………
18
Gambar 9. Pengaruh kombinasi suhu (oC) dengan volume inokulum kapang (ml) terhadap kadar hemiselulosa (gram)…………………………………….
20
o
Gambar 10. Pengaruh kombinasi suhu ( C) dengan volume inokulum kapang (ml) terhadap kadar alfaselulosa (gram)……………………………………...
23
ix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Lampiran 1. Tabel Nilai Faktor yang Diamati Berdasarkan Rancangan Percobaan CCD Dua Faktor (a), Tabel Kombinasi Perlakuan Percobaan Berdasarkan Rancangan Percobaan CCD Dua Faktor (b)………............................. Lampiran 2. Data Hasil Biodelignifikasi………………………………………………... Lampiran 3. Analisis Ragam Kandungan Lignin untuk Respon Kuadratik (a), Analisis Ragam Kandungan Lignin untuk Respon Linear Transform Power ( λ = 3) (b)……………………………………………………………… Lampiran 4. Analisis Ragam Kandungan Hemiselulosa untuk Respon Kuadratik (a), Analisis Ragam Kandungan Hemiselulosa untuk Respon Kuadratik Tereduksi (α = 0,05)…………………………………………………… Lampiran 5. Analisis Ragam Kandungan α - selulosa untuk Respon Kuadratik (a), Analisis Ragam Kandungan α - selulosa untuk Respon Linear Transform Power ( λ = 3) (b)………………………………………….. Lampiran 6. Kondisi Terbaik Proses Biodelignifikasi…………………………………….. Lampiran 7. Prosedur Analisa Kadar Air (a), Kadar Bahan Ekstraktif (b), Klakson Lignin (c), Holoselulosa (d), Alfaselulosa (e)…………………………….
30 32
33
34
35 36 37
x
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Lignoselulosa merupakan komponen utama tanaman yang menggambarkan jumlah sumber bahan organik yang dapat diperbaharui. Komposisi terbesar bahan lignoselulosa terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Menurut Mtui (2009), sumber lignoselulosa dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu bahan berkayu dan limbahnya, rumput-rumputan, limbah industri pulp dan kertas, limbah pertanian, dan limbah industri pertanian. Ketersediaan sumber lignoselulosa yang melimpah dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku energi alternatif. Pemanfaatan sumber lignoselulosa sebagai bahan baku energi alternatif dinilai lebih potensial jika dibandingkan dengan sumber pati atau gula karena dapat mengurangi terjadinya kompetisi penggunaan lahan bahkan sinergis dengan kebutuhan pangan dan pakan. Selain itu, pemanfaatan sumber lignoselulosa sebagai bahan baku energi alternatif dapat mencegah adanya food-feed-fuel conflicts (konflik pangan, pakan, dan bahan bakar). Pemanfaatan lignoselulosa masih memiliki kendala yaitu kesulitan akses terhadap komponennya karena sifat strukturnya yang kompleks. Oleh karena itu, biokonversi lignoselulosa ini harus dimulai dengan proses perlakuan awal. Ada tiga jenis perlakuan awal yang dapat dilakukan, yaitu perlakuan awal secara fisik, kimia, dan biologi. Perlakuan pendahuluan secara fisik dan kimia membutuhkan energi tinggi (penguapan dan listrik) dan reaktor yang tahan terhadap tekanan tinggi dan tahan korosi. Perlakuan pendahuluan dengan kapang berpotensi mengurangi kebutuhan yang tinggi terhadap asam, suhu, dan waktu. Perlakuan ini juga diduga mengurangi degradasi biomassa dan akibatnya mengurangi konsentrasi penghambat dibandingkan dengan perlakuan pendahuluan termokimia konvensional. Lebih jauh lagi keuntungan potensial dari perlakuan pendahuluan dengan kapang pada residu pertanian adalah pada keefektifannya dalam meningkatkan derajat cerna selulosa pada banyak serat dan limbah pertanian (Fitria et al., 2007). Menurut Fadilah et al. (2008), lignin merupakan suatu makromolekul kompleks. Lignin membentuk matriks yang mengelilingi selulosa dan hemiselulosa. Sehingga lignin menjadi faktor penghambat utama hidrolisis selulosa. Biodelignifikasi merupakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan antara lain dengan menggunakan sistem biologi, yang mengambil keuntungan dari kemampuan alamiah suatu organisme dalam melepaskan serat selulosa dari lignin. Sejumlah kapang pelapuk putih telah dicoba kemampuannya dalam mendegradasi lignin. Salah satu kapang yang sering digunakan adalah Phanerochaete chrysosporium. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fadilah et al. (2008), Phanerochaete chrysosporium mempunyai kemampuan degradasi lignin sebanyak 81,4 % dan selulosa sebanyak 22,3 % dengan waktu inkubasi selama 30 hari. Pada proses biodelignifikasi limbah tanaman jagung menggunakan kapang Phanerochaete chrysosporium, belum ditemukan suhu inkubasi dan volume inokulum kapang yang terbaik untuk meningkatkan degradasi lignin dan menurunkan degradasi selulosa serta hemiselulosa.
1
B. TUJUAN Tujuan penelitian ini adalah memperoleh suhu inkubasi dan volume inokulum kapang yang terbaik pada proses biodelignifikasi limbah tanaman jagung menggunakan metode permukaan respon (response surface methodology).
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. JAGUNG Tanaman jagung merupakan tanaman berumpun, tegak, tinggi ± 1,5 m. batang bulat massif, tidak bercabang, pangkal batang berakar, berwarna kuning atau jingga. Daun tunggal, berpelepah, bulat panjang, ujung runcing, tepi rata, panjang 35-100 cm, lebar 3-12 cm, berwarna hijau. Bunga tanaman jagung majemuk, berumah satu, bunga jantan dan betina berbentuk bulir, bunga terletak di ujung batang dan ketiak daun, benang sari ungu, bakal buah buah berbentuk bulat telur, berwarna putih, buah berbentuk tongkol dengan panjang 8-20 cm, hijau kekuningan (Anonim, 2008). Luas panen tanaman jagung di Pulau Jawa sekitar 2. 020.972 ha dengan hasil produksi 8.554.352 ton/tahun (BPS, 2009). Limbah tanaman jagung sebagian besar adalah bahan berlignoselulosa yang memiliki potensi besar untuk pengembangan produk masa depan. Jagung memiliki peranan tersendiri dalam kegiatan industri dalam negeri. Permintaan terhadap komoditas ini semakin meningkat setiap tahunnya. Dalam kegiatan industri jagung dihasilkan limbah (Hambali et al., 2007). Limbah jagung sebagian besar adalah bahan berlignoselulosa yang memiliki potensi untuk pengembangan produk masa depan. Pada dasarnya limbah tidak memiliki nilai ekonomi, bahkan mungkin bernilai negatif karena memerlukan biaya penanganan. Namun demikian, limbah lignoselulosa sebagai bahan organik memiliki potensi besar sebagai bahan baku industri pangan, minuman, pakan, kertas, tekstil, dan kompos. Di samping itu, fraksinasi limbah ini menjadi komponen penyusun yang akan meningkatkan daya gunanya dalam berbagai industri (Richana et al., 2005). Menurut McCutcheon (2002), limbah tanaman jagung terdiri dari batang 50% (BK), daun 20% (BK), tongkol 20% (BK), kelobot 10% (BK). Limbah tanaman jagung mengandung selulosa (36,81%), hemiselulosa (27,01%), lignin (15,70%), abu (6,04%) dan lain-lain (14,44%) (Anonim, 2009).
B. LIGNOSELULOSA Lignoselulosa merupakan komponen utama tanaman yang menggambarkan jumlah sumber bahan organik yang dapat diperbaharui. Lignoselulosa terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan beberapa bahan ekstraktif lain. Semua komponen lignoselulosa terdapat pada dinding sel tanaman (Sjostrom, 1995). Lignoselulosa merupakan material organik yang menjadi komponen utama tanaman. Lignoselulosa terdiri dari tiga komponen utama, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selain itu, terdapat pula beberapa komponen minor yang dapat ditemukan pada lignoselulosa, seperti abu, protein, dan pektin. Kadar ketiga komponen minor pada lignoselulosa tersebut berbeda-beda sesuai dengan sumber lignoselulosanya (Dashtban et al., 2009). Lignin merupakan suatu makromolekul kompleks, suatu polimer aromatic alami yang bercabang-cabang dan mempunyai struktur tiga dimensi yang terbuat dari fenil propanoid yang saling terhubung dengan ikatan yang bervariasi. Lignin membentuk matriks yang mengelilingi selulosa dan hemiselulosa (Fadilah et al., 2008).
3
Hemiselulosa merupakan polimer dari pentose (xilosa dan arabinosa), hexosa (terutama manosa) dan sugar acids termasuk selulosa yang merupakan homopolimer dari glukosa (Howard et al., 2003). Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1,4 glukosida dalam rantai lurus. Bangun dasar selulosa berupa suatu selobiosa yaitu dimer dari glukosa. Rantai panjang selulosa terhubung secara bersama melalui ikatan hidrogen dan gaya van der Waals (Perez et al. 2002). Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat molekul rendah. Jumlah hemiselulosa biasanya antara 15 dan 30 persen dari berat kering bahan lignoselulosa. Hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa dan arabinosa. Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa membentuk mikrofibril yang meningkatkan stabilitas dinding sel. Hemiselulosa juga berikatan silang dengan lignin membentuk jaringan kompleks dan memberikan struktur yang kuat (Taherzadeh 1999). Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman. Selulosa adalah biopolymer dari glukosa dengan rantai lurus yang dihubungkan dengan ikatan β-1,4-glukosida. Rantai panjang selulosa terhubung secara bersama melalui ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, dan gaya van der Waals (Dashtban et al., 2009). Hemiselulosa merupakan komponen kedua pada bahan berlignoselulosa, berupa polimer yang heterogen dari pentose (termasuk xilosa dan arabinosa), hexosa (terutama manosa, sebagian kecil glukosa, dan galaktosa) dan sugar acids. Komposisi hemiselulosa di alam sangat beragam dan bergantung pada sumber tanaman (Dashtban et al., 2009). Lignin merupakan komponen ketiga pada lignoselulosa, berupa polimer yang heterogen. Umumnya lignin terdiri dari alkohol aromatik, meliputi coniferil alkohol, sinafil alkohol, dan pkumaril alkohol. Lignin merupakan penghambat hidrolisis selulosa dan hemiselulosa. Lignin mencegah adanya penetrasi enzim lignoselulolitik ke dalam struktur lignoselulosa (Dashtban et al., 2009). Lignin yang terdapat pada lignoselulosa dapat digunakan untuk membuat produk vanillin dan asam gallic. Vanillin yang disintesis dari lignin membutuhkan biaya produksi yang lebih murah jika dibandingkan dengan produksi vanillin dari ekstraksi tanaman vanilla. Selulosa dan hemiselulosa potensial untuk dikembangkan menjadi produk bioteknologi, seperti bahan kimia, bahan bakar, bahan pangan, bahan pakan, tekstil, pulp, kayu, lain sebagainya (Howard et al., 2003).
C. LIGNIN DAN EKSTRAKSINYA Lignin merupakan komponen makromolekul kayu ketiga yang berikatan secara kovalen dengan selulosa dan hemiselulosa. Struktur molekul lignin sangat berbeda bila dibandingkan dengan polisakarida, karena terdiri atas sistem aromatik yang tersusun atas unit-unit fenil propana. Lignin ada di dalam dinding sel maupun di daerah antar sel (lamella ttengah) dan menyebabkan kayu menjadi keras dan kaku sehingga mampu menahan tekanan mekanis yang besar. Lignin dapat diisolasi dari bahannya sebagai lignin preparatip atau turunan lignin (pseudolignin), tetapi sifat protolignin yang asli sulit didapat. Hal tersebut dikarenakan belum adanya metode untuk mengisolasi lignin secara utuh sehingga tidak dapat menyebabkan perubahan mendasar dalam lignin alam (Heradewi, 2007). Lignin terbentuk melalui polimerasi tiga dimensi derivate dari sinamil alkohol terutama ρ-kumaril, coniferil dan sinafil alkohol (Perez et al. 2002) dengan bobot molekul mencapai 11.000.
4
Struktur lignin dapat dilihat pada Gambar 1. Lignin yang melindungi selulosa bersifat tahan terhadap hidrolisis karena adanya ikatan arilalkil dan ikatan eter. Kompleks lignin/fenolikkarbohidrat dapat dilihat pada Gambar 2.
Para Kumaril Alkohol Koniferil Alkohol
Sinapil Alkohol Model
Gambar 1. Satuan Penyusun Lignin (Steffen 2003)
Gambar 2. Kompleks lignin/fenolik-karbohidrat (modifikasi dari Buranov dan Mazza, 2008) Menurut Sjostrom (2005), lignin dapat dibagi menjadi beberapa kelas menurut unsurunsur strukturnya yaitu lignin guaiasil (terdapat pada kayu lunak sebagian besar merupakan produk polimerisasi dari koniferil alkohol), dan lignin guaiasil-siringil (khas kayu keras, merupakan kopolimer dari koniferil alkohol dan sinapil alkohol) . Lignin merupakan senyawa yang heterogen dengan berbagai tipe ikatan sehingga tidak dapat diuraikan oleh enzim hidrolisis. Lignin dapat didegradasi oleh kapang pelapuk putih tetapi hanya dapat didegradasi secara sempurna oleh kapang pelapuk putih (white-rot fungi). Kapang Phanerochaete chrysosporium merupakan salah satu kapang yang dapat menguraikan ikatan dan mendegradasi lignin dengan bantuan enzim pendegradasi lignin (Boyle et al., 1992).
D. PERLAKUAN AWAL DAN BIODELIGNIFIKASI Konversi biomassa berlignoselulosa menjadi etanol membutuhkan beberapa tahapan proses yang dilalui. Bahan berlignoselulosa terdiri dari lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Ketiga bahan ini harus dipisahkan terlebih dahulu supaya penetrasi enzim selulase dalam menghidrolisis selulosa menjadi lebih mudah, rendemen gula yang dihasilkan tinggi sehingga rendemen etanol
5
dari fermentasi gula juga tinggi. Proses pemisahan ini dapat dilakukan secara fisis, kimia, biologis, maupun kombinasi ketiganya (Fitria et al., 2007). Perlakuan awal pada bahan berlignoselulosa akan mengubah struktur rumit lignoselulosa sehingga akan meningkatkan digesitibilitas enzim. Sehingga akan mempermudah untuk menghidrolisis polisakarida menjadi gula yang lebih sederhana (Mosier et al., 2005). Selulosa pada dinding sel tanaman tidak dapat dihidrolisis oleh enzim dengan cepat karena adanya kristal serat selulosa yang menghambat akses hidrolisis dan mencegah selulosa bekerja secara efisien. Selain itu, adanya lignin dan hemiselulosa pada permukaan selulosa juga menghambat pemecahan selulosa secara efisien. Oleh karena itu, perlakuan pendahuluan pada bahan berlignoselulosa sebelum hidrolisis, sangat diperlukan dan perlakuan pendahuluan ini dapat dilakukan melalui beberapa metode (Dashtban et al., 2009). Skema perlakuan awal pada bahan berlignoselulosa dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Skema Perlakuan Awal (Sumber : Mosier et al. (2005)). Perlakuan pendahuluan pada bahan berlignoselulosa dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu perlakuan pendahuluan secara fisik, kimia, biologi, dan fisiko-kimia (perlakuan pendahuluan yang menggabungkan perlakuan secara fisik dan kimia). Akan tetapi, sebelum bahan berlignoselulosa mengalami perlakuan pendahuluan secara fisik, kimia, biologi, dan fisiko-kimia, bahan berlignoselulosa tersebut umumnya akan mengalami perlakuan pendahuluan secara mekanik. Perlakuan pendahuluan secara mekanik bertujuan memperkecil ukuran bahan berlignoselulosa untuk meningkatkan digestibilitas selulosa dan hemiselulosa pada bahan berlignoselulosa (Mtui, 2009). Perlakuan pendahuluan secara fisik dapat dilakukan dengan iradiasi gelombang mikro, pirolisis, dan iradiasi sinar gamma (Mtui, 2009), akan tetapi hampir semua perlakuan awal secara fisik tidak cukup efektif untuk menghilangkan lignin dan seringkali memerlukan biaya besar (Knauf dan Moniruzzaman, 2004). Perlakuan pendahuluan secara kimia dapat dilakukan dengan bantuan asam, basa, dan garam untuk mendegradasi lignin pada bahan berlignoselulosa. Perlakuan secara fisiko-kimia, dapat dilakukan dengan steam explosion, ammonia fibre explosion (AFEX), dan liquid hot water (LHW) (Mtui, 2009). Perlakuan awal secara biologi dilakukan dengan menumbuhkan organisme pada media lignoselulosa sehingga terjadi pengurangan lignin dan selulosa. Dalam perlakuan awal secara biologi, kapang pelapuk putih yang dianggap paling efektif. Perlakuan pendahuluan dengan kapang berpotensi mengurangi kebutuhan yang tinggi terhadap asam, suhu, dan waktu (Taherzadeh dan Karimi, 2008). Menurut Fatriasari (2007),
6
perlakuan pendahuluan secara kimia dan fisiko-kimia membutuhkan energi tinggi (penguapan dan listrik) dan reactor yang tahan terhadap tekanan tinggi tahan korosi. Suhu yang tinggi dan penambahan asam umumnya digunakan dalam degradasi selulosa secara kimiawi dan termasuk dalam perlakuan pendahuluan pada bahan berlignoselulosa yang digunakan pada skala industri. Akan tetapi, perlakuan pendahuluan ini dinilai mahal dan tidak efisien. Yield dari proses fermentasi berkurang karena perlakuan pendahuluan secara kimia menghasilkan inhibitor, seperti asam lemah, furan, dan fenol (Dashtban et al., 2009). Teknologi yang digunakan dalam perlakuan pendahuluan pengolahan bahan berlignoselulosa harus memenuhi kriteria tertentu. Teknologi tersebut harus ekonomis dalam perlakuan pendahuluan konversi bahan berselulosa menjadi bahan bakar dan bahan kimia (Mosier et al., 2005). Selain ekonomis, perlakuan pendahuluan yang dipilih harus memerlukan konsumsi energi yang rendah, dengan kata lain teknologi tersebut membutuhkan energi yang efisien (Mtui, 2009). Proses biologis cukup menjanjikan dibandingkan proses lainnya karena dapat dilakukan dalam kondisis proses lebih mudah dan murah. Salah satu proses biologis biomassa berlignoselulosa dalam pemisahan lignin dan bahan adalah dengan menggunakan kapang pelapuk putih (white-rot fungi). Penggunaan kapang pelapuk putih bertujuan untuk merombak kadar lignin bahan berlignoselulosa sehingga memudahkan perombakan selulosa menjadi gula sederhana yang selanjutnya difermentasi menjadi etanol (Fitria et al., 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Fatriasari (2007), perlakuan kapang mengurangi konsumsi energi dan mengurangi polusi lingkungan. Aktivitas biologis kapang pelapuk putih menyebabkan pengembangan dan pelunakan dinding sel akibat modifikasi dan depolimerisasi lignin. Kapang ini memproduksi serangkaian enzim yang terlibat langsung dalam perombakan lignin, sehingga sangat membantu proses delignifikasi pada biomassa lignoselulosa. Biodelignifikasi merupakan teknologi yang ramah lingkungan. Salah satu mikroorganisme yang digunakan pada proses biodelignifikasi adalah kapang pelapuk putih (whiterot fungi) Phanerochaete chrysosporium. Phanerochaete chrysosporium akan melepaskan serat selulosa dari lignin dengan kemampuan degradasi lignin sebanyak 81,4 % dan selulosa sebanyak 22,3 % pada 30 hari inkubasi (Fadillah et al., 2008).
E. FUNGI PELAPUK PUTIH Phanerochaete chrysosporium White-rot fungi terdapat pada kelompok Basidiomycetes dan Ascomycetes. Kapang ini dapat mendegradasi lignin secara lebih cepat dan ekstensif dibanding mikroorganisme lain. Substrat bagi pertumbuhan mikroorganisme ini adalah selulosa dan hemiselulosa dan degradasi lignin terjadi pada akhir pertumbuhan primer melalui metabolism sekunder dalam kondisi defisiensi nutrien seperti nitrogen, karbon atau sulfur (Hatakka, 2001). Tingkat dan laju pengurangan polisakarida dan lignin dari substrat dapat berbeda diantara spesies white-rot fungi (Adaskaveg et al. 1995). Kapang ini ada yang mampu mendegradasi lignin secara selektif dan ada pula yang non selektif (Blanchette 1995; Hatakka 2001). Kapang pelapuk putih selektif (contoh: Ceriporiopsis subvermispora, Dichomitus squalens, Phanerochaete chrysosporium, Phlebia radiata), lignin dan hemiselulosa didegradasi lebih banyak dibanding selulosa, sedangkan kapang non selektif (contoh: Trametes versicolor and Fomes fomentarius), mendegradasi semua komponen lignoselulosa dalam jumlah yang sama (Rayner dan Boddy 1988; Blanchette 1995; Hatakka 2001).
7
Hampir semua white-rot fungi menghasilkan manganese peroxidase (MnP) dan laccase, tetapi hanya sedikit yang menghasilkan lignin peroxidase (LiP). LiP mengoksidasi unit non fenolik lignin melalui pelepasan satu elektron dan membentuk radikal kation yang kemudian terurai secara kimiawi. LiP dapat memutus ikatan Cα-Cβ molekul lignin dan mampu membuka cincin lignin dan reaksi lain. MnP mengoksidasi Mn2+ menjadi Mn3+. Sifat reaktif Mn3+ yang tinggi selanjutnya mengoksidasi cincin fenolik lignin menjadi radikal bebas tak stabil dan diikuti dengan dekomposisi lignin secara spontan Laccase mengoksidasi cincin fenolik menjadi radikal fenoksil (Hatakka 2001).
Enzim
Tabel 1. Enzim Lignolitik yang Dihasilkan white –rot fungi Tipe Enzim Peran dalam degradasi Kerja bersama dengan
LiP
Peroksidaase
Degradasi unit non-fenolik
H2O2
MnP
Peroksidase
Degradasi unit fenolik dan
H2O2, lipid
non-fenolik dengan lipid Laccase
Fenol Oksidase
Oksidasi unit fenolik dan
O2,
unit
hidroxybenzotriazole
non-fenolik
dengan
mediator
:
3-
mediator Lain-lain
Oksidase
Produksi H2O2
Peroksidase
penghasil H2O2 Keadaan lignolitik adalah keadaan dimana kapang mengeluarkan enzim yang dapat mendegradasi lignin. Phanerochaete chrysosporium mengeluarkan enzim peroksidase, yaitu lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP). Kapang Phanerochaete chrysosporium menyebabkan degradasi selulosa. Hal ini disebabkan karena kapang Phanerochaete chrysosporium menghasilkan enzim yang dapat menguraikan selulosa seperti enzim protease, kuinon reduktase, dan selulase. Penambahan nutrisi berupa glukosa merupakan faktor yang memperkecil degradasi selulosa oleh kapang. Penambahan nutrisi akan meningkatkan laju degradasi lignin, meningkatkan pertumbuhan kapang serta menurunkan laju degradasi selulosa (Fadilah et al., 2008). Kapang Phanerochaete chrysosporium merupakan kapang pelapuk putih yang ada pada kayu. Kapang ini menghasilkan enzim ekstraseluler LiP, MnP, dan Lakase. Enzim yang dihasilkan ini berperan dalam pelapukan kayu, pendegradasian sampah, serta lignin. Phanerochaete chrysosporium mempunyai suhu pertumbuhan terbaik 40oC, pH 4-7, dan aerob. Dibandingkan dengan lainnya, kapang pelapuk putih merupakan jenis yang paling efektif mendegradasi lignin dan menyebabkan warna kayu lebih muda. Kapang pelapuk putih memerlukan sumber karbon sebagai energi tambahan atau nutrisinya agar kadar polisakarida dalam kayu tidak didegradasi. Klasifikasi kapang Phanerochaete chrysosporium: Divisi : Eumycota SubDivisi : Basidiomycotania Class : Hymonomycetes SubClass : Holobasidiomycetidae Genus : Sporotrichum (Phanerochaete) Spesies : Chrysosporium (Fadilah et al., 2008)
8
Kapang efektif menguraikan bahan lignoselulosa dengan menghasilkan enzim lignoselulolitik yang berbeda-beda. Pemecahan biomassa berlignoselulosa meliputi pemecahan struktur rantai panjang polisakarida, terutama selulosa dan hemiselulosa, selanjutnya hidrolisis dari polisakarida ini akan menghasilkan komponen gula C-5 dan C-6. Pada produksi bioenergi, gula ini akan dikonversi menjadi bioetanol melalui proses fermentasi (Dashtban et al., 2009).
9
III. METODE A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Laboratorium utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laboratorium Biondustri. Selain itu, juga digunakan Laboratorium Teknologi Proses, Laboratorium Pengawasan Mutu dan laboratorium lain di Departemen Teknologi Industri Pertanian sebagai laboratorium penunjang. Penelitian dimulai pada bulan Februari 2010 hingga Juli 2010.
B. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah tanaman jagung (LTJ). Limbah tanaman jagung yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari tanaman jagung varietas Bisi 2 yang komponen utamanya berupa batang, tongkol, klobot, dan daun. LTJ ini berasal dari Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta dan dikecilkan ukurannya hingga 40 mesh. Selain itu, bahan utama yang digunakan pada proses biodelignifikasi adalah biakan Phanerochaete chrysosporium yang diperoleh dari LIPI Cibinong, Bogor. Sedangkan bahan yang digunakan dalam analisis kimia adalah nutrisi, akuades, asam asetat glacial 100%, NaOCl 10%, HCl 72 %, asam asetat 10 %, NaOH 17,5%, Larutan Etanol-Benzen (1:2), dan aseton. Nutrisi yang digunakan terdiri dari 0,1137 gram (NH4)2SO4, 0,14 gram MgSO4.7H2O, 0,109 gram KH2PO4, 1,03 gram yeast extract, dan 10,19 gram glukosa. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah otoklaf, inkubator, gelas selai, shaker, dan waring blender. Sedangkan alat-alat yang digunakan untuk analisis terdiri dari gelas piala, labu Erlenmeyer, gelas filter jenis 1G3, water bath, neraca analitik, pompa vakum, pipet, labu ukur, gelas ukur, pengaduk kaca, sudip, pendingin tegak, soxhlet, cawan petri, dan oven.
C. METODE PENELITIAN C. 1. Persiapan Inokulum Kapang Biakan Phanerochaete chrysosporium yang diperoleh dari LIPI Cibinong, Bogor diremajakan untuk menjaga biakan tidak rusak dan dapat digunakan pada proses biodelignifikasi. Biakan Phanerochaete chrysosporium diinokulasi pada media padat PDA dan diinkubasi pada suhu 30oC selama 7 hari. Selanjutnya, biakan pada media PDA yang telah diinkubasi selama 7 hari, diinokulasikan kembali pada media cair PDB dan diinkubasi pada suhu 30oC selama 7 hari. Biakan Phanerochaete chrysosporium yang digunakan pada proses biodelignifikasi merupakan inokulum stok Phanerochaete chrysosporium yang diberi tambahan nutrisi dan telah dihomogenkan menggunakan waring blender. Diagram alir persiapan inokulum kapang dapat dilihat pada Gambar 4.
10
Biakan Phanerochaete chrysosporium
Inokulasi media padat (PDA, inkubasi 7 hari, 30oC)
Inokulasi media cair (PDB, shaker selama 7 hari, 30oC)
Inokulum
Penyaringan
PDB
Nutrisi
Homogenisasi (Waring blender, 5000 rpm, 2 menit)
Inokulum stok
Gambar 4. Diagram Alir Persiapan Inokulum Kapang
C. 2. Karakterisasi LTJ (Limbah Tanaman Jagung) LTJ yang digunakan sebagai bahan baku dalam penelitian ini terdiri dari batang, tongkol, klobot, dan daun. Komponen limbah tanaman jagung tersebut dikecilkan ukurannya menjadi 40 mesh dan dicampur sampai homogen dengan komposisi 4,49% tongkol, 4,72% klobot, 83,28% batang, 7,02% daun, dan 0,49% komponen minor. Karakterisasi LTJ dilakukan sebagai dasar perhitungan analisis biodelignifikasi. Karakterisasi LTJ meliputi kadar air, kadar bahan ekstraktif, kadar lignin, kadar holoselulosa, dan kadar α-selulosa. Hasil dari perhitungan kadar air digunakan untuk mengetahui bobot kering (BK) LTJ. Prosedur analisis kadar air LTJ dapat dilihat pada Lampiran 7a. Bobot kering LTJ dapat diketahui menggunakan Persamaan 3.1. MBK o= MBBo- KAo…………………………………………………………………………………(3.1) Notasi MBKo menunjukkan bobot kering LTJ (dalam gram), MBBo menunjukkan bobot basah LTJ (dalam gram), dan KAo menunjukkan kadar air LTJ (dalam gram). Sebanyak 3 gram LTJ yang telah diketahui bobot keringnya, diekstrak menggunakan pelarut. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi berupa campuran etanol dan benzene dengan perbandingan 1:2. Ekstraksi dilakukan untuk menghilangkan bahan ekstraktif pada LTJ. Prosedur analisis kadar bahan ekstraktif LTJ dapat dilihat pada Lampiran 7b. Dengan proses ekstraksi akan diketahui kadar bahan ekstraktif dalam LTJ (E0, dalam gram). Banyaknya bahan LTJ bebas bahan ekstraktif dapat diketahui menggunakan Persamaan 3.2. MBBEo = MBKo - MBEo……………………………………………………………………………(3.2)
11
Notasi MBBEo menunjukkan bobot kering LTJ yang telah bebas bahan ekstraktif (dalam gram), MBKo menunjukkan bobot kering LTJ (dalam gram), dan MBEo menunjukkan bobot bahan ekstraktif (dalam gram). LTJ yang telah bebas bahan ekstraktif digunakan untuk analisis kadar lignin dan analisis kadar holoselulosa. Sebanyak 0,5 gram LTJ bebas bahan ekstraktif yang telah diketahui bobot keringnya, digunakan untuk analisis kadar lignin. Prosedur analisis kadar lignin dapat dilihat pada Lampiran 7c. Kadar lignin pada LTJ (L0, dalam gram) digunakan untuk menghitung tingkat biodelignifikasi dan menentukan kondisi biodelignifikasi yang terbaik terhadap LTJ. Prosedur analisis kadar holoselulosa dapat dilihat pada Lampiran 7d. Sebanyak 1,5 gram LTJ bebas ekstraktif yang telah diketahui bobot keringnya digunakan untuk analisis kadar holoselulosa. Kadar holoselulosa pada LTJ (H0, dalam gram) digunakan untuk menghitung kadar hemiselulosa pada LTJ. Kadar hemiselulosa pada LTJ dapat diketahui dengan Persamaan 3.3. HEo = Ho - ao………………………………………………….(3.3) LTJ (40 mesh)
Analisis kadar air
Analisis kadar bahan ekstraktif
Analisis kadar lignin
Analisis kadar holoselulosa
Analisis kadar α-selulosa
Gambar 5. Diagram Alir Karakterisasi Limbah Tanaman Jagung Bagas LTJ yang telah dianalisis kadar holoselulosa, digunakan untuk analisis kadar α-selulosa. Bagas hasil uji holoselulosa sebanyak 0,5 gram kering digunakan untuk analisis kadar α-selulosa. Prosedur analisis kadar α-selulosa dapat dilihat pada Lampiran 7e. Kadar αselulosa pada LTJ (A0, dalam gram) digunakan untuk menentukan kondisi biodelignifikasi yang terbaik terhadap LTJ. Diagram alir karakterisasi limbah tanaman jagung (LTJ) dapat dilihat pada Gambar 5.
12
C. 3. Penelitian Utama 3.1. Persiapan Bahan LTJ (10 gram/sampel) yang berukuran 40 mesh dicampur aquades dengan perbandingan air dan bahan LTJ sebesar 5:1. LTJ dan aquades dicampur sampai homogen. Campuran tersebut kemudian dimasak pada suhu 100 0C selama 1 jam. Hasil pemasakan campuran LTJ dan aquades, dipres untuk memisahkan air dan padatan LTJ yang telah dimasak. Padatan LTJ yang telah dimasak digunakan sebagai bahan baku untuk biodelignifikasi. Diagram alir persiapan bahan dapat dilihat pada Gambar 6.
LTJ (40 mesh)
Pencampuran (Air : bahan = 5 : 1)
Air aquades
Pemasakan (1000C, 1 jam)
Pengepresan
Air perasan
Padatan LTJ yang telah dimasak Gambar 6. Diagram Alir Persiapan Bahan
3.2. Biodelignifikasi Proses Biodelignifikasi LTJ dilakukan pada gelas selai yang ditutup kain kasa, dengan tujuan untuk menjaga supaya oksigen tetap masuk ke dalam gelas selai. Sebanyak 10 gram LTJ yang telah dimasak (bobot kering), dimasukkan ke dalam gelas selai dan disterilisasi pada suhu 1210C selama 15 menit. Inokulum stok kapang Phanerochaete chrysosporium diinokulasikan ke dalam gelas selai yang berisi LTJ yang telah disterilisasi, sesuai dengan rancangan percobaan yang telah ditentukan. Gelas selai berisi LTJ yang telah disterilisasi dan inokulum Phanerochaete chrysosporium dibungkus dalam plastik transparan yang telah dilubangi pada bagian tengah dan ujung-ujungnya. Selanjutnya, gelas selai tersebut dimasukkan ke dalam inkubator untuk diinkubasi sesuai dengan suhu inkubasi yang telah ditentukan dalam
13
rancangan percobaan. Waktu inkubasi yang digunakan pada proses biodelignifikasi adalah 7 hari. LTJ yang telah dibiodelignifikasi, kemudian ditimbang untuk mengetahui bobot akhir setelah proses biodelignifikasi dan disterilkan (suhu 121 0C, selama 15 menit) untuk mematikan kapang Phanerochaete chrysosporium. Untuk mempermudah proses analisis sampel, LTJ dikeringkan dalam oven pada suhu 50 0C selama 48 jam, kemudian ditimbang dan disimpan untuk analisis berikutnya. Diagram alir proses biodelignifikasi dapat dilihat pada Gambar 7.
Padatan LTJ yang telah dimasak
Sterilisasi (Suhu 1210C, 15 menit)
Inokulasi [Volume Inokulum (x2) 0.95; 2.5; 6.25; 10;11.55]
Inokulum stok Kapang PC (x3)
Inkubasi [Suhu (x1) 21.72; 30; 50; 70; 78.28]
Pemanenan
Padatan LTJ yang telah dibiodelignifikasi
Sterilisasi (Suhu 1210C, 15 menit)
Sampel siap analisis
Pengeringan (Suhu 500C, 48 jam)
Gambar 7. Diagram Alir Proses Biodelignifikasi
3.3. Analisis Hasil Biodelignifikasi LTJ yang telah dibiodelignifikasi akan dianalisis seperti pada analisis LTJ yang belum dibiodelignifikasi. Analisis hasil biodelignifikasi meliputi kadar air LTJ yang telah dibiodelignifikasi (KAT, dalam gram), kadar bahan ekstraktif (ET, dalam gram), kadar lignin (LT, dalam gram), kadar holoselulosa (HT, dalam gram), dan kadar α-selulosa (aT, dalam gram). Hasil uji kadar holoselulosa digunakan untuk mengetahui kadar
14
hemiselulosa (HET, dalam gram) pada LTJ. Kadar Hemiselulosa dapat diketahui melalui Persamaan 3.4. HET = HT - aT…………………………………………………..(3.4) Notasi HET menunjukkan kadar hemiselulosa pada LTJ (dalam gram), HT kadar holoselulosa pada LTJ (dalam gram), dan aT mwnunjukkan kadar α-selulosa (dalam gram). Data-data yang diperoleh dari pengujian-pengujian yang dilakukan digunakan untuk menghitung kadar lignin, kadar hemiselulosa, kadar α-selulosa, kondisi terbaik proses biodelignifikasi, dan tingkat biodelignifikasi.
C. 4. Pengolahan Data 4.1. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah rancangan faktorial dua tingkat dengan dua faktor perlakuan yaitu suhu inkubasi (x1) dan volume inokulum kapang (x2). Rancangan percobaan secara lengkap pada penelitian ini disajikan pada Lampiran 1a. Besar nilai suhu inkubasi dan volume inokulum kapang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai Rendah dan Tinggi Perlakuan Jenis Perlakuan Nilai Rendah (-)
Nilai Tinggi (+)
Volume Inokulum kapang (ml)
2.5
10
Suhu (oC)
30
70
Percobaan yang dilakukan menggunakan central composite design (CCD) dengan dua faktor. Rancangan ini menghasilkan 21 kombinasi yang dapat dilihat pada Lampiran 1b. Faktor yang berpengaruh terhadap respon diolah menggunakan Metode Permukaan Respon (Response Surface Methodology) Model rancangan percobaan faktorial untuk mengetahui pengaruh linear dari kedua faktor terhadap respon yang diinginkan adalah sebagai berikut: 3
𝑦 = 𝑎0 +
𝑎𝑖 𝑋𝑖 + 𝑖=1
𝑎𝑖𝑗 𝑋𝑖 𝑋𝑗 𝑖<𝑗
Keterangan: Y : Respon dari masing-masing perlakuan a0, ai, aij, aii : Koefisien parameter Xi : Pengaruh linier faktor perlakuan utama. XiXj : Pengaruh linier dua faktor perlakuan
15
Faktor yang berpengaruh terhadap respon diolah menggunakan Metode Permukaan Respon (Response Surface Methodology). Model persamaan yang digunakan adalah: 𝑛
𝑦 = 𝑎0 +
𝑛
𝑎𝑖 𝑋𝑖 + 𝑖=1
𝑛
𝑎𝑖𝑖 𝑋𝑖2
𝑎𝑖𝑗 𝑋𝑖 𝑋𝑗 + 𝑖<𝑗
𝑖=1
Keterangan: Y : Responsi dari masing-masing perlakuan A0, ai, aij, aii : Koefisien parameter Xi : Pengaruh linier faktor perlakuan utama. XiXj : Pengaruh linier dua faktor perlakuan X2 :Pengaruh kuadratik faktor perlakuan utama
4.2. Analisis Statistik Analisis statistik dan penentuan kondisi terbaik pada proses biodelignifikasi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Design Expert 7 trial version. Hasil pengolahan data berupa grafik respon permukaan, analisis ragam, persamaan, dan kondisi terbaik pada proses yang diamati.
16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI LIMBAH TANAMAN JAGUNG Limbah tanaman jagung (LTJ) merupakan bahan berlignoselulosa yang memiliki potensi besar sebagai bahan baku industri pangan, minuman, pakan, kertas, tekstil, dan kompos. Analisis kadar air, kadar bahan ekstraktif, kadar lignin, kadar holoselulosa, kadar hemiselulosa dan kadar αselulosa dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Karakterisasi Limbah Tanaman Jagung Komponen
Nilai %
Gram
Berat bahan
100
10
Kadar air
14,21
1,4207
Kadar ekstraktif
4,74
0,4064
Kadar lignin
23,16
1,8932
Kadar holoselulosa
74,62
6,0986
Kadar hemiselulosa
33,83
2,7649
Kadar α-selulosa
40,79
3,3337
Berdasarkan analisa komponen kimia LTJ, terlihat bahwa kadar lignin, holoselulosa, hemiselulosa, dan α-selulosa pada LTJ cukup tinggi. Kadar holoselulosa dengan persentase 74,62 % pada LTJ menjadikan LTJ potensial sebagai alternatif bahan baku pembuatan bioetanol. Pada LTJ yang digunakan pada penelitian ini mengandung hemiselulosa (33,83 %) dan α-selulosa (40,79 %). Holoselulosa terdiri dari hemiselulosa dan α-selulosa. Istilah holoselulosa digunakan untuk menyebutkan total karbohidrat yang dikandung di dalam biomassa dan meliputi selulosa dan hemiselulosa. Selulosa adalah polimer glukosa yang tidak bercabang. Bentuk polimer ini memungkinkan selulosa saling menumpuk/terikat menjadi bentuk serat yang sangat kuat. Hemiselulosa mirip dengan selulosa yang merupakan polymer gula. Namun, berbeda dengan selulosa yang hanya tersusun dari glukosa, hemiselulosa tersusun dari bermacam-macam jenis gula. Monomer gula penyusun hemiselulosa terdiri dari monomer gula berkarbon 5 (C-5) dan 6 (C-6.
B. PENGARUH FAKTOR TERHADAP KADAR LIGNIN Data yang diperoleh diolah menggunakan perangkat lunak Design Expert 7 trial version. Hasil pengolahan data pada analisis kadar lignin LTJ menghasilkan persamaan kadar lignin yang dapat dilihat pada Persamaan 4.1. L=1,274 + 0,007x1 + 0,060x2 – 2,17x10-5x1x2 – 3x10-5x12 -0,005x22……….(4.1)
17
Notasi L menunjukkan kadar lignin pada LTJ yang telah dibiodelignifikasi (gram), x1 menunjukkan suhu inkubasi selama proses biodelignifikasi ( oC), x2 menunjukkan volume inokulum kapang (ml). Nilai p > F untuk model adalah 0,6160 yang berarti tidak nyata terhadap L. Analisis ragam kadar lignin untuk respon kuadratik dapat dilihat pada Lampiran 3a. Hal ini menunjukkan bahwa faktor secara keseluruhan tidak nyata terhadap L. Hal ini juga dapat dilihat secara individu dan interaksi, dapat diketahui bahwa faktor suhu dan volume inokulum jamur berpengaruh tidak nyata terhadap L (nilai p>F lebih besar dari 0,05). Sedangkan nilai p > F untuk lack of fit adalah 0.2171 yang berarti tidak nyata terhadap L. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan yang sudah cukup untuk menggambarkan proses biodelignifikasi yang diamati. Oleh karena itu, diperlukan pengolahan data lebih lanjut terhadap kadar lignin pada LTJ yang telah dibiodelignifikasi. Pengaruh faktor suhu dan volume inokulum kapang terhadap repons kadar lignin, dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan grafik pada Gambar 8, terlihat bahwa perubahan suhu dan volume inokulum kapang tidak berpengaruh terhadap kadar lignin LTJ. Hal ini terlihat dari grafik yang cenderung mendatar pada perubahan volume inokulum dan suhu tertentu.
Gambar 8. Pengaruh kombinasi suhu (oC) dengan volume inokulum kapang (ml) terhadap kadar lignin (gram) Pengolahan data lebih lanjut terhadap kadar lignin yang telah dibiodelignifikasi menghasilkan nilai p > F untuk lack of fit sebesar 0.4473 yang berarti pengaruh factor yang diuji tidak nyata terhadap L. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan yang diperoleh cukup untuk menggambarkan proses biodelignifikasi yang diamati. Berdasarkan pengolahan data lebih lanjut menggunakan Analisis ragam terhadap respon linear transform power, maka faktor suhu dan volume inokulum kapang tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar lignin LTJ . Analisis ragam kadar lignin untuk respon linear transform power dapat dilihat pada Lampiran 3b.
B. 1. Suhu Inkubasi Perbedaan suhu pada proses biodelignifikasi menunjukkan grafik respon kadar lignin pada Gambar 8. Berdasarkan grafik respon kadar lignin pada Gambar 8, dapat diketahui bahwa suhu tidak mempengaruhi kadar lignin secara nyata pada LTJ selama proses biodelignifikasi. Hal ini dikuatkan dengan hasil analisis ragam kadar lignin untuk
18
respon kuadratik yang dapat dilihat pada Lampiran 3a yang menunjukkan nilai peluang nilai p > F untuk pengaruh suhu bernilai 0.1566, yang berarti tidak nyata terhadap L. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kapang pelapuk putih Phanerochaete chrysosporium dapat tumbuh pada suhu 30 – 50 oC. Sedangkan pada suhu 70oC, kapang pelapuk putih Phanerochaete chrysosporium sudah tidak dapat tumbuh. Menurut Fadilah et al.(2008), kapang pelapuk putih Phanerochaete chrysosporium mempunyai suhu pertumbuhan terbaik 40oC. Pengaruh interaksi suhu inkubasi dengan volume inokulum kapang pada proses biodelignifikasi yang diamati tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap nilai L. Hal ini dapat dilihat dari bentuk permukaan respon pada Gambar 8 yang cenderung tidak berubah pada berbagai kombinasi dengan faktor lain dan dikuatkan oleh peluang nilai p > F dari hasil analisis ragam yang menunjukkan pengaruh interaksi tersebut tidak berpengaruh nyata. Peluang nilai p > F interaksi suhu dengan volume inokulum kapang pada kadar lignin dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Peluang nilai p > F interaksi suhu dengan volume inokulum kapang pada kadar lignin Sumber* Peluang p > F Keterangan x1x2
0.9804
Tidak nyata
x12
0.8370
Tidak nyata
*Notasi x1x2 menunjukkan interaksi suhu dengan volume inokulum kapang, dan seterusnya.
B. 2. Volume Inokulum Kapang Volume inokulum kapang pada proses biodelignifikasi menunjukkan grafik respon kadar lignin pada Gambar 8. Grafik respon kadar lignin cenderung mendatar terhadap volume inokulum kapang. Berdasarkan grafik respon kadar lignin pada Gambar 8, dapat diketahui bahwa volume inokulum kapang tidak mempengaruhi kadar lignin pada LTJ selama proses biodelignifikasi. Hal ini dikuatkan dengan hasil analisis ragam kadar lignin untuk respon kuadratik yang dapat dilihat pada Lampiran 3a yang menunjukkan nilai peluang nilai p > F untuk pengaruh volume inokulum kapang bernilai 0.9906, yang berarti tidak nyata terhadap L. Tabel 5. Peluang nilai p > F interaksi volume inokulum kapang dengan suhu inkubasi pada kadar lignin Sumber* Peluang p > F Keterangan x2x1
0.9804
Tidak nyata
x22
0.2640
Tidak nyata
*Notasi C-A menunjukkan interaksi volume pembebanan kapang dengan suhu inkubasi, dan seterusnya. Pengaruh interaksi volume inokulum kapang dengan suhu inkubasi proses biodelignifikasi yang diamati tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap nilai L. Hal ini dapat dilihat dari bentuk permukaan respon pada Gambar 8 yang cenderung tidak berubah pada berbagai kombinasi dengan faktor lain dan dikuatkan oleh peluang nilai p > F
19
dari hasil analisis ragam yang menunjukkan pengaruh interaksi tersebut tidak berpengaruh nyata. Peluang nilai p > F interaksi volume inokulum kapang dengan suhu inkubasi pada kadar lignin dapat dilihat pada Tabel 5.
C. PENGARUH FAKTOR TERHADAP KADAR HEMISELULOSA Data yang diperoleh diolah menggunakan perangkat lunak Design Expert 7 trial version. Hasil pengolahan data pada analisis kadar hemiselulosa LTJ menghasilkan persamaan kadar hemiselulosa yang dapat dilihat pada Persamaan 4.2. HE = 2,459 – 0,050 x1 + 0,144 x2 + 0,0001 x1x2 + 0,0006 x12 – 0,01078 x22.............(4.2) Notasi HE menunjukkan kadar hemiselulosa pada LTJ (gram). x1 menunjukkan suhu inkubasi pada proses biodelignifikasi (oC), x2 menunjukkan volume inokulum kapang (ml). Nilai p > F pada lack of fit adalah 0.0361 yang berarti nyata terhadap HE. Analisis ragam kadar hemiselulosa untuk respon kuadratik dapat dilihat pada Lampiran 4a. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan yang diperoleh belum cukup untuk menggambarkan proses biodelignifikasi yang diamati. Sedangkan nilai p> F untuk model pada persamaan tersebut bernilai 0.0666 yang berarti tidak nyata terhadap HE. Hal ini menunjukkan bahwa faktor secara keseluruhan tidak nyata terhadap HE. Sehingga diperlukan pengolahan data tahap lanjut. Pengaruh faktor suhu dan volume inokulum kapang terhadap permukaan repons kadar hemiselulosa, dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan grafik pada Gambar 9, faktor suhu dan volume inokulum kapang tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar hemiselulosa LTJ. Grafik tersebut cenderung mendatar. Walaupun terjadi kenaikan kadar hemiselulosa pada perubahan suhu tertentu, tetapi kenaikan tersebut tidak terlihat signifikan.
Gambar 9. Pengaruh kombinasi suhu (oC) dengan volume inokulum kapang (ml) terhadap kadar hemiselulosa (gram) Pengolahan data lebih lanjut terhadap kadar hemiselulosa yang telah dibiodelignifikasi menghasilkan nilai p > F untuk lack of fit sebesar 0.0694 yang berarti tidak nyata terhadap HE. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan yang diperoleh cukup untuk menggambarkan proses biodelignifikasi yang diamati. Sedangkan nilai p > F untuk model sebesar 0,0149 yang berarti nyata terhadap kadar hemiselulosa. Hal ini menunjukkan bahwa faktor secara keseluruhan nyata terhadap kadar hemiselulosa. Berdasarkan pengolahan data lebih lanjut menggunakan Analisis
20
ragam terhadap respon kuadratik tereduksi, maka faktor suhu berpengaruh secara nyata terhadap kadar hemiselulosa LTJ . Analisis ragam kadar hemiselulosa untuk respon kuadratik tereduksi dapat dilihat pada Lampiran 4b.
C. 1. Suhu Inkubasi Suhu inkubasi pada proses biodelignifikasi menunjukkan grafik permukaan respon kadar hemiselulosa pada Gambar 9. Berdasarkan grafik respon kadar hemiselulosa pada Gambar 9, dapat diketahui bahwa suhu dapat mempengaruhi kadar hemiselulosa pada LTJ selama proses biodelignifikasi secara tidak nyata. Hal ini dikuatkan dengan hasil analisis ragam yang menunjukkan nilai peluang nilai p > F untuk pengaruh suhu bernilai 0.1458, yang berarti tidak nyata terhadap HE. Analisis ragam kadar hemiselulosa untuk respon kuadratik dapat dilihat pada Lampiran 4a. Kapang pelapuk putih Phanerochaete chrysosporium memiliki suhu pertumbuhan terbaik pada 40oC. Pada suhu di atas 40oC, kapang pelapuk putih Phanerochaete chrysosporium terganggu pertumbuhannya. Semakin tinggi suhu inkubasinya, maka kemampuan kapang pelapuk putih Phanerochaete chrysosporium dalam mendegradasi hemiselulosa semakin berkurang, dengan kata lain kadar hemiselulosa pada LTJ yang telah dibiodelignifikasi masih tinggi. Pengaruh interaksi suhu inkubasi dengan volume inokulum kapang pada proses biodelignifikasi yang diamati tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap nilai HE. Hal ini dapat dilihat dari bentuk permukaan respon pada Gambar 9 yang cenderung tidak berubah pada berbagai kombinasi dengan faktor lain dan dikuatkan oleh peluang nilai p > F dari hasil analisis ragam yang menunjukkan pengaruh interaksi tersebut tidak berpengaruh nyata. Peluang nilai p > F interaksi suhu dengan volume inokulum kapang pada kadar hemiselulosa dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Peluang nilai p > F interaksi suhu dengan volume inokulum kapang pada kadar hemiselulosa Sumber* Peluang p > F Keterangan x1x2
0.9406
Tidak nyata
x12
0.0484
Tidak nyata
*Notasi x1x2 menunjukkan interaksi suhu dengan volume inokulum kapang, dan seterusnya..
C. 2. Volume Inokulum Kapang Volume inokulum kapang pada proses biodelignifikasi menunjukkan grafik permukaan respon kadar hemiselulosa pada Gambar 9. Berdasarkan grafik permukaan respon kadar hemiselulosa pada Gambar 9, dapat diketahui bahwa volume inokulum kapang tidak mempengaruhi kadar hemiselulosa pada LTJ selama proses biodelignifikasi. Hal ini dikuatkan dengan hasil analisis ragam yang menunjukkan nilai peluang nilai p > F untuk pengaruh volume inokulum kapang bernilai 0.5032, yang berarti tidak nyata terhadap HE. Analisis ragam kadar hemiselulosa untuk respon kuadratik dapat dilihat pada Lampiran 4a.
21
Pengaruh interaksi volume inokulum kapang dengan suhu inkubasi pada proses biodelignifikasi yang diamati tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap nilai HE. Hal ini dapat dilihat dari bentuk permukaan respon pada Gambar 9 yang cenderung tidak berubah pada berbagai kombinasi dengan faktor lain dan dikuatkan oleh peluang nilai p > F dari hasil analisis ragam yang menunjukkan pengaruh interaksi tersebut tidak berpengaruh nyata. Peluang nilai p > F interaksi volume inokulum kapang dengan suhu inkubasi pada kadar hemiselulosa dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Peluang nilai p > F interaksi volume inokulum kapang dengan suhu inkubasi kadar hemiselulosa Sumber* Peluang p > F Keterangan x2x1
0.9406
Tidak nyata
x22
0.1602
Tidak nyata
*Notasi x2x1 menunjukkan interaksi volume inokulum kapang dengan suhu inkubasi, dan seterusnya.
D. PENGARUH FAKTOR TERHADAP KADAR α – SELULOSA Hasil pengolahan data pada analisis kadar α – selulosa LTJ menghasilkan persamaan kadar α – selulosa dapat dilihat pada persamaan 4.3. a = 1,196 + 0,034 x1 + 0,137 x2 + 0,001 x1x2 – 0,0003 x12 – 0,016 x22…… (4.3) Notasi a menunjukkan kadar α – selulosa pada LTJ (g/g LTJ), x1 menunjukkan suhu inkubasi pada proses biodelignifikasi (oC), x2 menunjukkan volume inokulum kapang (ml). Nilai p > F pada model adalah 0.4054 yang berarti tidak nyata terhadap a. Hal ini menunjukkan pengaruh faktor secara keseluruhan tidak nyata terhadap a. Sedangkan p > F pada lack of fit bernilai 0,0234 yang berarti nyata terhadap a. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan yang diperoleh belum cukup untuk menggambarkan proses biodelignifikasi yang diamati. Oleh karena itu, diperlukan pengolahan data lebih lanjut terhadap kadar α – selulosa pada LTJ yang telah dibiodelignifikasi. Analisis ragam kadar α - selulosa untuk respon kuadratik dapat dilihat pada Lampiran 5a. Pengaruh faktor suhu dan volume inokulum kapang terhadap repons kadar alfaselulosa, dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan grafik pada Gambar 10, faktor suhu dan volume inokulum kapang tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar alfaselulosa LTJ. Grafik tersebut cenderung mendatar. Pengolahan data lebih lanjut terhadap kadar α – selulosa yang telah dibiodelignifikasi menghasilkan nilai p > F untuk lack of fit sebesar 0.1013 yang berarti tidak nyata terhadap alfaselulosa. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan yang diperoleh cukup untuk menggambarkan proses biodelignifikasi yang diamati. Berdasarkan pengolahan data lebih lanjut menggunakan Analisis ragam terhadap respon linear transform power, maka faktor suhu dan volume inokulum kapang tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar alfaselulosa LTJ . Analisis ragam kadar alfaselulosa untuk respon linear transform power dapat dilihat pada Lampiran 5b.
22
Gambar 10. Pengaruh kombinasi suhu (oC) dengan volume inokulum kapang (ml) terhadap kadar alfaselulosa (gram)
D. 1. Suhu Inkubasi Suhu inkubasi pada proses biodelignifikasi menunjukkan grafik respon kadar αselulosa pada Gambar 10. Berdasarkan grafik permukaan respon kadar α-selulosa pada Gambar 10, dapat diketahui bahwa suhu tidak nyata mempengaruhi kadar α-selulosa pada LTJ selama proses biodelignifikasi. Hal ini dikuatkan dengan hasil analisis ragam yang menunjukkan nilai peluang nilai p > F untuk pengaruh suhu bernilai 0.1364, yang berarti tidak nyata terhadap alfaselulosa. Analisis ragam kadar α - selulosa untuk respon kuadratik dapat dilihat pada Lampiran 5a. Pada suhu di atas 40oC, kapang pelapuk putih Phanerochaete chrysosporium terganggu pertumbuhannya. Semakin tinggi suhu inkubasinya, maka kemampuan kapang pelapuk putih Phanerochaete chrysosporium dalam mendegradasi α-selulosa semakin berkurang, dengan kata lain kadar α-selulosa pada LTJ yang telah dibiodelignifikasi masih tinggi. Pengaruh interaksi suhu inkubasi dengan volume inokulum kapang pada proses biodelignifikasi yang diamati tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap nilai alfaselulosa. Hal ini dapat dilihat dari bentuk permukaan respon pada Gambar 10 yang cenderung tidak berubah pada berbagai kombinasi dengan faktor lain dan dikuatkan oleh peluang nilai p > F dari hasil analisis ragam yang menunjukkan pengaruh interaksi tersebut tidak berpengaruh nyata. Peluang nilai p > F interaksi suhu dengan volume inokulum kapang pada kadar α-selulosa dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Peluang nilai p > F interaksi suhu dengan volume inokulum kapang pada kadar αselulosa Sumber* Peluang p > F Keterangan x1x2
0.5460
Tidak nyata
x12
0.3763
Tidak nyata
*Notasi x1x2 menunjukkan interaksi suhu dengan volume inokulum kapang, dan seterusnya .
23
D. 2. Volume Inokulum Kapang Volume inokulum kapang pada proses biodelignifikasi menunjukkan grafik respon kadar α-selulosa pada Gambar 10. Berdasarkan grafik respon kadar α-selulosa pada Gambar 10, dapat diketahui bahwa volume inokulum kapang mempengaruhi kadar αselulosa secara tidak nyata pada LTJ selama proses biodelignifikasi. Hal ini dikuatkan dengan hasil analisis ragam yang menunjukkan nilai peluang nilai p > F untuk pengaruh volume inokulum kapang bernilai 0.9264, yang berarti tidak nyata terhadap alfaselulosa. Analisis ragam kadar α - selulosa untuk respon kuadratik dapat dilihat pada Lampiran 5a. Pengaruh interaksi volume inokulum kapang dengan suhu inkubasi pada proses biodelignifikasi yang diamati tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap nilai alfaselulosa. Hal ini dapat dilihat dari bentuk permukaan respon pada Gambar 10 yang cenderung tidak berubah pada berbagai kombinasi dengan faktor lain dan dikuatkan oleh peluang nilai p > F dari hasil analisis ragam yang menunjukkan pengaruh interaksi tersebut tidak berpengaruh nyata. Peluang nilai p > F interaksi volume inokulum kapang dengan suhu inkubasi pada kadar α- selulosa dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Peluang nilai p > F interaksi volume inokulum kapang dengan suhu inkubasi ada kadar α-selulosa Sumber* Peluang p > F Keterangan x2x1
0.5460
Tidak nyata
x22
0.1392
Tidak nyata
*Notasi x2x1 menunjukkan interaksi volume inokulum kapang dengan suhu inkubasi, dan seterusnya.
E. KONDISI TERBAIK PROSES BIODELIGNIFIKASI Penetapan kondisi terbaik proses biodelignifikasi berdasarkan pada kadar lignin, kadar hemiselulosa, dan kadar α-selulosa pada LTJ yang telah dibiodelignifikasi. Kondisi yang diinginkan pada LTJ yang telah dibiodelignifikasi adalah kadar lignin yang minimum, kadar hemiselulosa yang maksimum, dan kadar α-selulosa yang maksimum. Kondisi terbaik proses biodelignifikasi dapat diperkirakan menggunakan persamaan kadar lignin, kadar hemiselulosa, dan kadar α-selulosa. Akan tetapi, pada persamaan tersebut masih terdapat beberapa faktor yang tidak berpengaruh supaya kesesuaian persamaan dengan kondisi aktual menjadi semakin meningkat sehingga nilai perkiraan yang dihasilkan lebih mendekati nilai aktualnya. Dengan menghilangkan peubah yang tidak berpengaruh diperoleh persamaan yang hanya menyertakan peubah yang berpengaruh sebagai berikut. L = 4,662……………………………………………………………………(4.4) HE = 1,720 + 0,126 x1 + 0,274 x12…………………………………............(4.5) a = 15,883…………………………………………...………...…………...(4.6) Notasi L menunjukkan kadar lignin pada LTJ yang telah dibiodelignifikasi (gram). HE menunjukkan kadar hemiselulosa pada LTJ yang telah dibiodelignifikasi (gram), a menunjukkan kadar α-selulosa pada LTJ yang telah dibiodelignifikasi, x1 menunjukkan suhu inkubasi (oC), x2 menunjukkan volume inokulum kapang (ml).
24
Berdasarkan persamaan di atas, faktor suhu dan volume inokulum kapang tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar lignin dan kadar alfaselulosa pada proses biodelignifikasi. Pada kadar hemiselulosa, hanya faktor suhu yang berpengaruh pada proses biodelignifikasi, sedangkan faktor volume inokulum kapang tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar hemiselulosa. Perkiraan kondisi terbaik dengan menggunakan persamaan yang telah diubah mendapatkan kondisi biodelignifikasi seperti pada Tabel 10. Tabel 10. Perkiraan kondisi terbaik pada proses biodelignifikasi Perlakuan* x1
x2
30
10
x1 : Suhu inkubasi (oC); x2 : Volume inokulum kapang (ml) Pada kondisi tersebut kadar lignin pada pada LTJ yang telah dibiodelignifikasi sebesar 1,671 gram, kadar hemiselulosa sebesar 1,868 gram, dan kadar α-selulosa sebesar 2,514 gram. Dengan berat awal LTJ yang belum dibiodelignifikasi adalah 10 gram kering. Susut lignin, hemiselulosa, dan α-selulosa dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Perbandingan komponen lignoselulosa pada LTJ sebelum dan sesudah biodelignifikasi Berat Berat Susut No Komponen awal akhir (gram) (gram) Gram % 1.
Lignin
1,893
1,671
0,222
11,73
2.
Hemiselulosa
2,765
1,868
0,897
32,44
3.
Alfaselulosa
3,334
2,514
0,82
24,59
Berdasarkan Tabel 11, dapat diketahui bahwa susut lignin pada kondisi terbaik ini lebih rendah dari pada susut lignin dari penelitian yang dilakukan Fadilah et al., (2008). Walaupun demikian, kondisi ini menghasilkan susut alfaselulosa yang lebih sedikit yaitu sebesar 24,59 % (0,82 gram) dan susut hemiselulosa sebesar 32,44 % (0,897 gram). Perkiraan kondisi terbaik pada proses biodelignifikasi LTJ dapat dilihat pada Lampiran 6.
25
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Penelitian mengenai proses biodelignifikasi pada limbah tanaman jagung menunjukkan bahwa faktor suhu dan volume inokulum kapang tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar lignin dan kadar alfaselulosa pada proses biodelignifikasi. Pada kadar hemiselulosa, hanya faktor suhu yang berpengaruh pada proses biodelignifikasi, sedangkan faktor volume inokulum kapang tidak berpengaruh secara nyata terhadap kadar hemiselulosa. Dari persamaan tersebut diketahui kondisi terbaik untuk proses biodelignifikasi limbah tanaman jagung adalah pada suhu inkubasi 30oC dan volume inokulum kapang 10 ml selama 7 hari inkubasi. Pada kondisi tersebut menghasilkan susut lignin sebesar 11,73 % (0,222 gram), susut alfaselulosa sebesar 24,59 % (0,82 gram) dan susut hemiselulosa sebesar 32,44 % (0,897 gram).
B. SARAN 1. Proses pertumbuhan kapang pelapuk putih Phanerochaete chrysosporium juga dipengaruhi oleh pH. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui pH terbaik dalam proses biodelignifikasi. 2. Pengujian kadar lignin, hemiselulosa, dan alfaselulosa dilakukan pada setiap komponen. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kadar lignoselulosa pada setiap komponen karena diduga pencampuran setiap komponen pada bahan baku yang akan digunakan belum merata.
26
DAFTAR PUSTAKA Adaskaveg, J.E., R.L. Gilbertson and M.R. Dunlap. 1995. Effects of incubation time and temperature on in vitro seceltive delignification of silver leaf oak by Ganoderma colossum. Appl. Environ. Microbial. 61:138-144 Anonim.
2008. Prospek dan Arah Pengembangan agribisnis Jagung .http://www.litbang_deptan.go.id/spesial/komoditas/files/0104/ jagung [24 Mei 2010]
Anonim. 2009. Pabrik Bio Oil dari Enceng Gondok dengan Proses Pirolisis Cepat. Program Studi D3 Teknik Kimia FTI-ITS Surabaya. http://digilib.its.ac.id/public/ITS-NonDegree-88932306030070-Chapter1.pdf . [ 24 Mei 2010] Badan
Pusat Statistik Republik Indonesia. 2009. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=53¬ab=6 [29 Mei 2010]
Boyle, C.D., B.R. Kropp and I.D. Reid. 1992. Solubilization and Mineralization of Lignin by White rot fungi. Appl. Environ. Microbial. 58:3217-3224. Dashtban M., Schraft H., Qin W., 2009. Fungal Bioconversion of Lignocellulosic Residues; Opportunities and Perspectives. Int. J. Biol. Sci. 5 (6) : 578 – 595. Fadilah, Distantina, S., Artati, E. K., dan Jumari, A. 2008. Biodelignifikasi Batang Jagung dengan Kapang Pelapuk Putih Phanaerochaete chrysosporium. Ekuilibrium Vol. 7 No. 1. Januari 2008 : 7 – 11. Fatriasari, W., F. Falah, D. H. Y. Yanto dan E. Hermiati. 2007. Optimasi Pemasakan Proses Soda Terbuka dan Penggilingan Pulp Betung dan Bambu Kuning. Laporan teknik akhir tahun 2007, UPT BPP Biomaterial, LIPI. Fitria, Yanto DHY, Riksfardini AH, Hermiati E. 2007. Pengaruh Perlakuan Pendahuluan dengan Kapang Pelapuk Putih (Tremetes versicolor dan Pleurotus ostreatus) terhadap Kadar Lignin dan Selulosa Bagase. Laporan teknik akhir tahun 2007, UPT BPP Biomaterial, LIPI. Hambali, E., Mudjdalipah, S., Tambunan, A. H., Pattiwiri, A. W., dan Hendroko, W. 2007. Teknologi Bioenergi. Agromedia, Jakarta. Hatakka A. 2001. Biodegradation of lignin. In : Steinbuchel A. [ed] Biopolymers. Vol 1: Lignin, Humic substances and Coal. Germany: Wiley VCH. pp. 129-180 Heradewi. 2007. Isolasi Lignin dari Lindi Hitam Proses Pemasakan Organosolv Serat Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Howard R. L., Abotsi E., Jansen van Rensburg E. L., dan Howard S. 2003. Lignocellulose Biotechnology: Issues of Bioconversion and Enzyme Production. African Journal of Biotechnology Vol. 2 (12), pp, 602 – 619, December 2003 Knauf, M. dan M. Moniruzzaman. 2004. Lignocellulosic Biomass Processing: A Perspective. International Sugar Jurnal 106 : 147-151 McCutcheon, J dan D. Samples. 2002. Grazing Corn Residues. Extension Fact Sheet Ohio State University Extension. US. ANR10-02.
27
Mosier, N., C. Wyman, B. Dale, R. Elander, Y.Y. Lee, M. Holtzapple, dan M. Ladisch. 2005. Features of Promising Technologies for Pretreatment of Lignocellulosic Biomass. Bioresource Technology 96 : 673–686. Mtui, G. Y. S. 2009. Recent Advances in Pretreatment of Lignocellulosic wastes and Production of Value Added Products. African Journal of Biotechnology Vol. 8 (8), pp. 1398 – 1415, 20 April, 2009 Perez J., J. Munoz-Dorado, T. de la Rubia and J. Martinez. 2002. Biodegradation and biological treatments of cellulose, hemicellulose and lignin: an overview. Int.Microbiol. 5:53-63. Richana, N., dan Sumarni. 2005. Teknologi Pengolahan Jagung. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen, Bogor. Sjostrom. 2005. Kimia Kayu, Dasar – Dasar dan Penggunaan Edisi Kedua. . Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Steffen, K. T. 2003. Degredation of Recalcitrant Biopolymers and polycyclic Aromatic Hydrocarbons by Litter-Decomposing Basidiomycetous Fungi. [disertasi]. Helsinki: division of Microbiology department of Applied Chemistry and Microbiology Viikki Biocenter, University of Helsinki. Taherzadeh M. J. 1999. Ethanol from Lignocellulose: Physiological Effects of Inhibitors and Fermentation Strategies. [thesis]. Goteborg: Department of Chemical Reaction Engineering, Chalmers University of technology. Taherzadeh, M. J. dan K. Karimi. 2008. Perlakuan awal of Lignocellulosic to Improve Ethanol and Biogas Production: A Review. Int. J. Mol. Sci 9 : 1621-1651.
28
LAMPIRAN
29
Lampiran 1. Tabel Nilai Faktor yang Diamati Berdasarkan Rancangan Percobaan CCD Dua Faktor (a), Tabel Kombinasi Perlakuan Percobaan Berdasarkan Rancangan Percobaan CCD Dua Faktor (b) a) Tabel nilai faktor yang diamati Berdasarkan Rancangan Percobaan CCD Dua Faktor Faktor x1 x2 Kode
Perlakuan 21,7 0,95 -α =-1,41
30 2,5 -1
50 6,25 0
70 10 +1
78,3 11,55 +α =1,41
Keterangan: x1
: Suhu inkubasi (oC)
x2
: Volume Inokulum Kapang (ml)
30
Lampiran 1. Tabel Nilai Faktor yang Diamati Berdasarkan Rancangan Percobaan CCD Dua Faktor (a), Tabel Kombinasi Perlakuan Percobaan Berdasarkan Rancangan Percobaan CCD Dua Faktor (b) (Lanjutan) b) Tabel Kombinasi Perlakuan Percobaan Berdasarkan Rancangan Percobaan CCD Dua Faktor
Perlakuan
No. Baku
Kode A
Aktual
C
A (oC)
C (ml)
1
-1
-1
30
2,5
2
-1
-1
30
2,5
3
1
-1
70
2,5
4
1
-1
70
2,5
5
-1
1
30
10
6
-1
1
30
10
7
1
1
70
10
8
1
1
70
10
9
-1,41
0
21,72
6,25
10
-1,41
0
21,72
6,25
11
1,41
0
78,28
6,25
12
1,41
0
78,28
6,25
13
0
-1,41
50
0,95
14
0
-1,41
50
0,95
15
0
1,41
50
11,55
16
0
1,41
50
11,55
17
0
0
50
6,25
18
0
0
50
6,25
19
0
0
50
6,25
20
0
0
50
6,25
21
0
0
50
6,25
31
Lampiran 2. Data Hasil Biodelignifikasi
Kadar No.
Suhu
Baku
o
( C)
Kadar
Volume
Ekstraktif
Kadar
Hemiselulosa
Kadar
Inokulum ml)
(g)
Lignin (g)
(g)
Alfaselulosa (g)
1
30
2,5
0,014
1,682
1,702
2,315
2
30
2,5
0,351
1,151
1,089
1,317
3
70
2,5
0,127
1,875
1,762
2,452
4
70
2,5
0,320
1,547
1,979
2,424
5
30
10
0,070
1,609
1,937
2,022
6
30
10
0,169
1,279
1,389
1,146
7
70
10
0,261
1,784
2,197
2,726
8
70
10
0,230
1,681
2,150
2,504
9
21,72
6,25
0,274
1,794
2,729
2,950
10
21,72
6,25
0,193
1,726
2,226
2,544
11
78,28
6,25
0,379
1,786
2,860
2,868
12
78,28
6,25
0,314
1,685
2,132
2,371
13
50
0,95
0,356
1,707
1,773
2,688
14
50
0,95
0,290
1,602
1,795
2,198
15
50
11,55
0,286
1,638
1,768
2,457
16
50
11,55
0,110
1,608
1,634
2,632
17
50
6,25
0,263
1,495
1,826
2,637
18
50
6,25
0,185
1,857
2,047
2,446
19
50
6,25
0,234
1,649
1,958
3,131
20
50
6,25
0,243
1,727
1,777
2,552
21
50
6,25
0,281
1,839
1,774
2,788
32
Lampiran 3. Analisis Ragam Kandungan Lignin untuk Respon Kuadratik (a), Analisis Ragam Kandungan Lignin untuk Respon Linear Transform Power ( λ = 3) (b) a) Analisis Ragam Kandungan Lignin untuk Respon Kuadratik Sumber
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F hitung
Model
0,122738
5
0,024548
0,723774
Peluang nilai p > F 0.6160
A-Suhu B-Volume Inokulum AB
0,07545
1
0,07545
2,22461
0.1566
4,82E-06
1
4,82E-06
0,000142
0.9906
2,11E-05
1
2,11E-05
0,000623
0.9804
A^2
0,001486
1
0,001486
0,043817
0.8370
B^2
0,045672
1
0,045672
1,346607
0.2640
Residual
0,508744
15
0,033916
Lack of Fit
0,152608
3
0,050869
1,71404
0.2171
Pure Error
0,356136
12
0,029678
Cor Total
0,631482
20
b) Analisis Ragam Kandungan Lignin untuk Respon Linear Transform Power Sumber
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
Model
0
0
Residual
33,13219
20
1,656609
Lack of Fit
13,72258
8
1,715323
Pure Error
19,4096
12
1,617467
Cor Total
33,13219
20
Keterangan Tidak Nyata
Tidak Nyata
( λ = 3)
F hitung
Peluang nilai p > F
Keterangan
1,060499
0.4473
Tidak Nyata
33
Lampiran 4. Analisis Ragam Kandungan Hemiselulosa untuk Respon Kuadratik (a), Analisis Ragam Kandungan Hemiselulosa untuk Respon Kuadratik Tereduksi (α = 0,05) a)
Analisis Ragam Kandungan Hemiselulosa untuk Respon Kuadratik
Sumber
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F hitung
Peluang nilai p > F
Model
1,433538
5
0,286708
2,636921
0.0666
A-Suhu B-Volume Inokulum
0,255965
1
0,255965
2,354176
0.1458
0,051165
1
0,051165
0,470577
0.5032
AB
0,000625
1
0,000625
0,005751
0.9406
A^2
0,501773
1
0,501773
4,61493
0.0484
2,182968
0.1602
3,939452
0.0361
0,23735
1
0,23735
Residual
B^2
1,630923
15
0,108728
Lack of Fit
0,809242
3
0,269747
Pure Error
0,82168
12
0,068473
Cor Total
3,064461
20
Keterangan Tidak Nyata
Nyata
b) Analisis Ragam Kandungan Hemiselulosa untuk Respon Kuadratik Tereduksi (α = 0,05) Sumber Model
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F hitung
Peluang nilai p > F
1,144398
2
0,572199
5,364188
0.0149
A-Suhu
0,255965
1
0,255965
2,399595
0.1388
A^2
0,888432
1
0,888432
8,32878
0.0098
2,673504
0.0694
Residual
1,920063
18
0,10667
Lack of Fit
1,098383
6
0,183064
Pure Error
0,82168
12
0,068473
Cor Total
3,064461
20
Keterangan Nyata
Tidak Nyata
34
Lampiran 5. Analisis Ragam Kandungan α - selulosa untuk Respon Kuadratik (a), Analisis Ragam Kandungan α - selulosa untuk Respon Linear Transform Power ( λ = 3) (b) a) Analisis Ragam Kandungan α - selulosa untuk Respon Kuadratik Sumber Model
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
F hitung
Peluang nilai p > F
1,19429
5
0,238858
1,090342
0.4054
0,542408
1
0,542408
2,475991
0.1364
0,001931
1
0,001931
0,008817
0.9264
AB
0,083587
1
0,083587
0,381561
0.5460
A^2
0,182119
1
0,182119
0,831338
0.3763
B^2
0,534312
1
0,534312
2,439036
0.1392
Residual
3,286006
15
0,219067
Lack of Fit
1,753513
3
0,584504
4,576889
0.0234
Pure Error
1,532493
12
0,127708
Cor Total
4,480296
20
A-Suhu B-Volume Inokulum
Keterangan Tidak Nyata
Nyata
b) Analisis Ragam Kandungan α - selulosa untuk Respon Linear Transform Power ( λ = 3) Sumber Model
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
0
0
Residual
955,3237
20
47,76618
Lack of Fit
571,4991
8
71,43739
Pure Error
383,8246
12
31,98538
Cor Total
955,3237
20
F hitung
Peluang nilai p > F
2,233439
0.1013
Keterangan
Tidak Nyata
35
Lampiran 6. Kondisi Terbaik Proses Biodelignifikasi
Nomor
Suhu (oC)
Volume Inokulum (ml)
Kadar Lignin (gram)
Kadar Hemiselulosa (gram)
Kadar Alfaselulosa (gram)
Desirability
1
30.00
10.00
1.671
1.868
2.514
0,540898
2
30.00
2.50
1.671
1.868
2.514
0,540898
3
30.00
5.93
1.671
1.868
2.514
0,540898
4
30.00
6.07
1.671
1.868
2.514
0,540898
5
30.00
6.84
1.671
1.868
2.514
0,540898
6
30.00
6.00
1.671
1.868
2.514
0,540898
7
30.00
6.50
1.671
1.868
2.514
0,540898
8
30.00
5.03
1.671
1.868
2.514
0,540898
9
30.00
7.76
1.671
1.868
2.514
0,540898
10
30.00
4.56
1.671
1.868
2.514
0,540898
11
30.00
8.60
1.671
1.868
2.514
0,540898
12
30.00
9.69
1.671
1.868
2.514
0,540898
13
30.00
3.04
1.671
1.868
2.514
0,540898
14
30.00
7.97
1.671
1.868
2.514
0,540898
15
30.00
8.02
1.671
1.868
2.514
0,540898
16
30.00
4.33
1.671
1.868
2.514
0,540898
17
30.00
8.17
1.671
1.868
2.514
0,540898
18
30.00
7.46
1.671
1.868
2.514
0,540898
19
30.00
8.68
1.671
1.868
2.514
0,540898
20
30.00
7.12
1.671
1.868
2.514
0,540898
21
30.00
4.48
1.671
1.868
2.514
0,540898
36
Selected
Lampiran 7. Prosedur Analisa Kadar Air (a), Kadar Bahan Ekstraktif (b), Klakson Lignin (c), Holoselulosa (d), Alfaselulosa (e) a)
Kadar Air (Mokushitsu Kagaku Jiken Manual, 2000) Cawan kosong (ukuran medium) diletakkan dalam oven selama sehari atau ,inimal 3 jam sebelum pengujian. Cawan kosong tersebut dimasukkan ke dalam desikator sekitar 30 menit, kemudian ditimbang. Bahan (bagas) ditimbang masing-masing ± 2 gram ke dalam cawan. Cawan yang telah diisi bahan dimasukkan ke dalam oven 105oC selama 16-24 jam. Cawan dipindahkan ke desikator menggunakan penjepit untuk didinnginkan selama 30 menit. Kemudian cawan yang berisi bahan tersebut ditimbang. Kadar air (% BK) = (Berat sampel awal-berat sampel akhir) x 100 Berat sampel akhir
b)
Kadar Bahan Ekatraktif (Mokushitsu Kagaku Jiken Manual, 2000) Labu didih ukuran 250 ml disiapkan di dalam oven selama sehari (105 oC) atau minimal 3 jam sebelum pengujian. Labu kosong tersebut dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang. Kran air dicek apakah menyala atau tidak sebagai pendingin sokhlet. Bagas masing-masing sebanyak 3 gram (berat kering oven) dimasukkan ke dalam kertas saring segi empat (sebagai kokon), ditutup dengan kapas dan diikat dengan tali. Kemudian kode sampel dituliskan pada kokon menggunakan pensil. Kokon dipasangkan pemberat yaitu mini magnetic stirrer. Kokon dimasukkan pada perangkat sokhlet dan dituangkan pelarut alkohol-benzene (1;2) sebanyak sekitar 2/3 isi labu didih ke dalamnya. Kokon diekstraksi selama 6 jam pada suhu sekitar 90 oC (set angka 50 pada hot plate). Kokon dikeluarkan dari sokhlet dan dimasukkan ke dalam oven 105 oC semalam. Pelarut dimasukkan kembali ke dalam wadahnya, sementara labu yang berisi hanya zat ekstraktif di dalam oven 105oC dikeringkan semalam. Labu yang berisi zat ekstraktif dimasukkan ke desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang. Sampel yang telah bebas ekstraktif disiapkan untuk uji klakson lignin dan holoselulosa.
c)
Klason Lignin (Mokushitsu Kagaku Jiken Manual, 2000) Gelas filter IG3 kosong dan cawan ukuran kecil disiapkan dalam oven selama sehari atau minimal 3 jam sebelum pengujian. Gelas IG3 kosong dan cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit. Gelas IG3 kosong tersebut ditimbang, sedangkan cawan digunakan untuk mengukur kadar air bagas bebas ekstraktif (prosedur seperti pengukuran kadar air, tetapi berat bagas diganti menjadi 0,5 gram). Bagas bekas ekstraktif sebanyak 0,5 gram kering dimasukkan ke dalam beaker glass ukuran 50 ml. selanjutnya dimasukkan 7,5 ml H2SO4 72 %. H2SO4 72 % dibuat dengan cara menuangkan 37,89 ml H2SO4 95% ke dalam labu takar 50 ml, kemudian secara perlahan ditambahkan akuades sampai tanda tera. Diaduk sesekali (dapat dilakukan dengan memasukkan mini magnetic stirrer dan dipasang angka 10 pada stirrer plate) selama 4 jam pada suhu kamar (dilakukan dengan menuangkan air sebelum pengadukan di sekitar beaker glass yang telah disangga cawan petri). Bagas yang telah diaduk selama 4 tersebut dimasukkan ke dalam Erlenmeyer ukuran 300 ml, kemudian
37
ditambahkan masing-masing 280 ml akuades ke dalam Erlenmeyer. Erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil rangkap dua dan di autoklaf 121oC selama 15 menit (pada autoklaf dipasang timer +20 sehingga menjadi 35). Kemudian langsung disaring dengan gelas filter IG3 dan dicuci dengan air panas masing-masing 100 ml. Gelas IG3 yang telah berisi filtrat pada suhu 105oC selama 16-24 jam dikeringkan kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang. d)
Holoselulosa (Mokushitsu Kagaku Jiken Manual, 2000) Gelas filter IG3 kosong disiapkan dalam oven selama sehari atau minimal 3 jam sebelum pengujian. Selanjutnya, gelas IG3 kosong dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Bagas bebas ekstraktif sebanyak 1,5 gram kering dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 100 ml. Kemudian dimasukkan masing-masing 90 ml akuades, 2,4 ml NaClO2 25% dan 0,12 ml asam asetat glasial 100%. Erlenmeyer ditutup dengan plastik tahan panas kemudian aluminium foil rangkap dan dipanaskan dalam waterbath selama 1 jam. Kemudian tanpa menunggu dingin, ditambahkan masing-masing 2,4 ml NaClO2 25% dan 0,12 ml asam asetat glasial 100% berulang-ulang setiap jam sampai serbuk bagas berwarna putih. Serbuk bagas yang telah menjadi putih segera dimasukkan ke dalam gelas filter IG3 sambil divakum. Setiap bagas dicuci dengan air dingin 250 ml dan dibilas dengan aseton. Gelas filter IG3 yang telah berisi filter dikeringkan pada suhu 105oC selama 16-24 jam dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang.
e)
Alfaselulosa (Mokushitsu Kagaku Jiken Manual, 2000) Gelas filter IG3 kosong disiapkan dalam oven selama sehari atau minimal 3 jam sebelum pengujian. Selanjutnya, gelas IG3 kosong dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Bagas hasil uji holoselulosa sebanyak 0,5 gram kering dimasukkan ke dalam beaker glass ukuran 50 ml dan ditambahkan masing-masing 12,5 ml NaOH 17,5%. NaOH 17,5% dibuat dengan melarutkan 17,5 gram NaOH pure pellets ke dalam labu takar 100 ml dengan akuades sampai tanda tera. Beaker glass diletakkan di atas cawan penyangga yang telah dituang air di stirrer plate yang dipasang pada angka 10 selama 30 menit. Selanjutnya ditambahkan masing-masing 12,5 ml akuades dan dibiarkan selama 5 menit. Bagas disaring menggunakan gelas filter IG3 dan dicuci dengan akuades selama sekitar 3 menit dan dengan 20 ml asam asetat glasial 10%. Asam asetat glasial 10% dibuat dengan melarutkan 10 ml asam asetat glasial 100% ke dalam labu takar 100 ml dengan akuades sampai tanda tera. Masing-masing dicuci dengan 500 ml air panas. Gelas filter IG3 yang telah berisi filter dikeringkan pada suhu 105oC selama 16-24 jam dan didinginkan dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang.
38