Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
MANAJEMEN PENGORGANISASIAN SELF REGULATED LEARNING DALAM PEMBELAJARAN AGAMA, MORAL DAN DISIPLIN PADA ANAK USIA DINI Luluk Elyana1), Siti Maemunah2) Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Veteran Semarang Email :
[email protected] &
[email protected] Abstrak Pembelajaran agama moral dan disiplin merupakan salah satu materi dasar dalam pendidikan yang harus disampaikan kepada anak sebagai pondasi dasar keimanan dan panduan prilaku agar dapat menjadi individu yang baik. Pendidikan agama dan moral bertujuan untuk menumbuh kembangkan benih-benih keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT sedini mungkin dalam kepribadian anak didik yang terwujud dalam perkembangan kehidupan jasmaniah dan rohaniah sesuai dengan tingkat perkembangannya. Keberhasilan Pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa aspek, salah satunya adalah metode pembelajaran yang diterapkan sesuai dengan materi yang akan disampaikan. Metode pembelajaran dengan penerapan Self Regulated Learning (SRL) menjadi salah satu solusi yang dapat digunakan dalam pembelajaran agama dan moral pada anak usia dini. SRL menempatkan urgensi kemampuan anak untuk belajar disiplin mengatur dan mengendalikan diri sendiri serta belajar atas inisiatif sendiri. Hal ini sesuai dengan materi pembelajaran yang menuntut anak untuk dapat memahami agama dan mampu mengamalkan nilai-nilai moral berdasarkan kesadaran diri bukan pada unsur doktrinasi. Pembelajaran berbasis Self Regulated Learning akan membantu anak memahami dan mengamalkan materi pembelajaran agama dan moral dengan baik. Menumbuhkan inisiasi dalam pembelajaran agama dan moral guru menempatkan diri sebagai fasilitator dan motivator dengan memahami keunikan–keunikan yang terdapat pada diri anak yang muncul karena individual differences. Anak–anak akan tumbuh rasa empatinya dan selalu bangga menemukan pengetahuan yang muncul dari perbedaan ini. Untuk itu pembelajaran SRL pada anak usia dini perlu di terapkan dalam pembelajaran agama dan moral sebagai upaya pembinaan anak sejak dini dalam menumbuhkan rasa empati dan potensi - potensi yang di miliki melalui pembiasaan–pembiasaan positif serta kesadaran melaksanakan tugas–tugasnya dengan baik dan menghargai setiap perbedaan. Kata Kunci : Pembelajaran Agama Moral dan Disiplin, Manajemen, Self Regulated Learning, Anak Usia Dini
PENDAHULUAN Proses belajar mengajar adalah salah satu bentuk kegiatan penerapan kurikulum yang sangat penting dalam sebuah lembaga pendidikan. Belajar merupakan proses yang tidak terpisahkan dalam aktivitas pembelajaran. Seseorang yang belajar akan mendapatkan pengetahuan yang demikian pesat bertambah sebagai bagian dari proses belajar itu sendiri. Keberhasilan belajar tidak lepas dari unsur-unsur pendukung dalam pembelajaran, diantaranya adalah metode atau pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran. Kegiatan pembelajaran anak usia dini pada hakikatnya adalah pengembangan kurikulum secara konkret berupa seperangkat rencana yang berisi sejumlah pengalaman belajar melalui bermain yang di berikan pada anak usia dini berdasarkan potensi dan tugas perkembangan yang harus di kuasainya dalam rangka pencapaian kompetensi yang harus di miliki oleh anak. Sedangkan orang dewasa lebih berperan sebagai fasilitator saat anak membutuhkan bantuan untuk memecahkan masalah yang di hadapi.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
1
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
Tetapi dalam prosesnya tidak semua pembelajaran di kelola dengan baik. Di antara yang sering terjadi adalah orang dewasa tidak dapat menempatkan diri sebagai fasilitator dan motivator yang baik untuk anak misalnya anak tidak di beri kesempatan yang luas untuk bertanya, menyampaikan pendapatnya meskipun sederhana dan di terima ide – idenya. Dalam kenyataannya tidak semua guru memberikan kesempatan kepada anak untuk bereksplorasi serta mengembangkan pengetahuan yang di dapatkan melalui bermain baik itu main sensorimotor, main peran, main pembangunan serta character building dan memahami latar belakang yang berbeda–beda pada setiap anak. Pembelajaran agama moral dan disiplin pada anak usia dini adalah proses penanaman nilai ajaran agama yang diwujudkan dalam amal perilaku para pemeluknya, Internalisasi nilai-nilai agama dan moral adalah upaya menghayati dan mendalami nilai, agar nilai tersebut tertanam dalam diri setiap manusia. Menurut Muhaimin, tahap-tahap dalam internalisasi nilai tersebut meliputi : tahap transformasi nilai, transaksi nilai, dan tahap trans internalisasi nilai. Internalisasi nilai tersebut dapat dilaksanakan jika pembelajaran dilakukan dengan kesadaran diri siswa dalam memahami materi sehingga nilai-nilai agama moral dapat diterapkan dalam kegiatan sehari-hari. Self Regulated Learning menempatkan pentingnya kemampuan seseorang untuk belajar disiplin mengatur dan mengendalikan diri sendiri, terutama bila menghadapi tugastugas yang sulit. Pada sisi lain, Self Regulated Learning menekankan pentingnya inisiatif karena SRL merupakan belajar yang terjadi atas inisiatif sundiri. Anak didik yang memiliki inisiatif
menunjukkan
kemampuan
untuk
mempergunakan
pemikiran-pemikirannya,
perasaan-perasaannya, strategi dan tingkah lakunya untuk mencapai tujuan (Zimmerman, 2002). Dengan demikian dapat dikatakan betapa efektifnya belajar jika anak didik memiliki keterampilan self-regulated learning (SRL) menuju insan cerdas komprehensif. Pembelajaran dengan konsesp SRL pada anak usia dini perlu di terapkan sebagai upaya pembinaan anak sejak dini dalam menumbuhkan rasa awareness dan memberikan stimulasi potensi - potensi yang di miliki oleh anak melalui pembiasaan–pembiasaan positif serta kesadaran melaksanakan tugas–tugasnya dengan baik. Terutama dalam pembelajaran agama moral dan disiplin dimana anak-anak sering mengalami kesulitan dalam memahami nilai-nilai agama dan mengamalkan nilai moral dan disiplin dalam kegiatan sehari-hari. Dalam pelaksanaan Self Regulated Learning ini tentu membutuhkan pengelolaan yang baik khususnya dalam pembelajaran. Pengelolaan di perlukan untuk mendapatkan perencanaan yang matang. Kurikulum yang komprehensif memiliki elemen utama dari setiap bidang pengembangan yang disesuaikan dengan tingkatan atau tahapan usia anak. Perencanaan yang matang akan menghasilkan pelaksanaan yang baik. Untuk itu pembelajaran harus di topang dengan manajemen dan pengorganisasian yang baik. Dari latar belakang tersebut di atas maka timbul permasalahan di bawah ini. MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
2
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
A. PERMASALAHAN 1. Bagaimana
manajemen
pengorganisasian
Self
Regulated
Learning
dalam
pembelajaran agama moral dan displin untuk anak usia dini dapat di laksanakan? 2. Bagaimana penerapan Self Regulated Learning dalam pembelajaran agama moral dan displin untuk anak usia dini?
B. TUJUAN 1. Mendeskripsikan manajemen pengorganisasian Self Regulated Learning Anak Usia Dini. 2. Untuk menjelaskan penerapan manajemen pengorganisasian SRL dalam pembelajaran agama moral dan disiplin pada Anak Usia Dini. KAJIAN TEORI A. Manajemen Pengorganisasian 1. Pengertian Manajemen Ranah disiplin manajemen berangkat dari konsepsi bahwa organisasi terdiri dari sekumpulan manusia dengan hubungan social yang mengoordinasikan usaha untuk mencapai tujuan (Noor, 2015). Fokus manajemen merupakan sekumpulan manusia yang mengoordinasikan kegiatan – kegiatan yang saling berhubungan dengan menggunakan sumber daya untuk mencapai tujuan organisasi. Proses manajerial terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian. Proses ini berlangsung pada fungsi – fungsi manajemen yang meliputi sumber daya manusia dan organisasi. (Noor,2015). Luther Gulick (dalam Sugiyono,2013) mendefinisikan manajemen sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan (science) yang berusaha secara sistematis untuk memahami mengapa dan bagaimana manusia bekerja bersama untuk mencapai tujuan dan membuat system kerja sama ini lebih bermanfaat bagi kemanusiaan. 2. Pengertian Pengorganisasian. Pengorganisasian merupakan fungsi kedua dalam manajemen dan didefinisikan sebagai proses kegiatan penyusunan struktur organisasi sesuai dengan tujuan-tujuan, sumber-sumber, dan lingkungannya. Dengan demikian hasil pengorganisasian adalah struktur organisasi. Pengertian Struktur Organisasi Struktur organisasi adalah susunan komponen-komponen
(unit-unit
kerja)
dalam
organisasi.
Struktur
organisasi
menunjukkan adanya pembagian kerja dan meninjukkan bagaimana fungsi-fungsi atau kegiatan-kegiatan yang berbeda-beda tersebut diintegrasikan (koordinasi). Selain daripada itu struktur organisasi juga menunjukkan spesialisasi-spesialisasi pekerjaan, saluran perintah dan penyampaian laporan. Struktur Organisasi dapat didefinisikan MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
3
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
sebagai mekanisme-mekanisme formal organisasi diolah. Struktur organisasi terdiri atas unsur spesialisasi kerja, standarisasi, koordinasi, sentralisasi atau desentralisasi dalam pembuatan keputusan dan ukuran satuan kerja. Dari pengertian di atas disimpulkan bahwa pengorganisasian dalam self regulated learning adalah melibatkan stake holder yang ada di sekolah dengan pembagian kerja dan tugas masing – masing yang terstruktur dengan jelas.
B. Self Regulated Learning 1. Definisi self regulated learning Para ahli kognitif social dan juga psikolog kognitif mulai menyadari bahwa untuk menjadi pembelajar yang benar–benar efektif, peserta didik harus terlibat dalam beberapa aktivitas mengatur diri. Dalam kenyataan siswa tidak hanya mengatur dirinya sendiri akan tetapi mereka harus mengatur proses – proses mental mereka sendiri. Self regulated learning merupakan pengaturan teradap proses – proses kognitif sendiri agar belajar secara sukses (Ormrod, 2008).Teori sosial kognitif menyatakan bahwa faktor sosial, kognitif serta faktor perilaku, memainkan peran penting dalam proses pembelajaran. Salah satu proses pembelajaran yang melibatkan ketiga faktor tersebut adalah Self regulated learning. Zimmerman & Martinez-Pons, (dalam Zumbrunn, 2011) menyatakan bahwa Self regulated learning merupakan konsep mengenai bagaimana seorang peserta didik menjadi
pengatur
bagi
belajarnya
sendiri.
Selanjutnya
Zimmerman
(dalam
Zumbrunn,2011) mendefinisikan self regulated learning sebagai suatu proses dimana seorang peserta didik mengaktifkan dan mendorong kognisi (cognition), perilaku (behaviours) dan perasaannya (affect) secara sistematis dan berorientasi pada pencapaian tujuan belajar. Berdasarkan perspektif sosial kognitif, peserta didik yang dapat dikatakan sebagai self regulated learner adalah peserta didik yang secara metakognitif, motivasional, dan behavioral aktif dan turut serta dalam proses belajar mereka (Zimmerman dalam Zumbrunn, 2011). Peserta didik tersebut dengan sendirinya memulai usaha belajar secara langsung untuk memperoleh pengetahuan dan keahlian yang diinginkan, tanpa bergantung pada guru, orang tua atau orang lain. Sejalan dengan pendapat Zimmerman, Schunk (dalam Effeney,2013) menjelaskan self regulated learning berlangsung bila peserta didik secara sistematik mengarahkan perilaku dan kognisinya dengan cara memberi perhatian pada instruksi tugas-tugas, melakukan proses dan mengintegrasikan pengetahuan, mengulang-ulang informasi
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
4
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
untuk diingat serta mengembangkan dan memelihara keyakinan positif tentang kemampuan belajar (self efficacy) dan mampu mengantisipasi hasil belajarnya. Berdasarkan definisi yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa self regulated learning adalah proses belajar di mana peserta didik mengaktifkan kognisi, tindakan dan perasaan secara sistematis untuk mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan. 3. Proses dan fase dalam Self Regulated Learning Proses tersebut pada dasarnya bersifat metakognitif (Ormrod,2008) sebagai berikut: a. Penetapan tujuan (Goal Setting) Peserta didik mengatur diri dan tahu apa yang dipelajari dalam proses pembelajaran. Misalnya mendapatkan pemahaman konseptual dalam sentra budaya tentang makanan traditional Semarang. b. Perencanaan (Planning) Peserta didik menentukan sendiri bagaimana baiknya menggunakan waktu dan sumber daya yang tersedia.. c. Motivasi diri (Self Motivation) Memiliki self efficacy yang tinggi akan kemampuan peserta didik menyelesaikan aktivitas pembelajaran dengan sukses. d. Kontrol atensi (Attention Controll) Peserta didik focus dan senang pada kegiatan yang dilakukan. e. Penggunaan strategi belajar yang fleksibel (Flexible use of learning strategies) Peserta didik memiliki cara yang berbeda – beda dalam menyelesaikan kegiatannya karena perbedaan individu yang di milikinya. f. Monitor diri (Self Monitoring) Memiliki kemampuan mengatur diri dalam melakukan kegiatan. g. Mencari bantuan yang tepat (Appropriate help seeking) Peserta didik akan berinisiatif mencari bantuan yang tepat bila di rasa dalam kesulitan. h. Evaluasi diri (Self Evaluation) Peserta didik menyadari kekurangan pada dirinya sehingga berusaha untuk memperbaiki. C. Pengembangan Nilai-nilai Agama Anak Usia Dini Menurut Zakiah Darajat (dalam Lilis Suryani dkk., 2008: 1.9), agama suatu keimanan yang diyakini oleh pikiran, diresapkan oleh perasaan, dan dilaksanakan dalam tindakan, perkataan, dan sikap. Perkembangan nilai-nilai agama artinya perkembangan dalam kemampuan memahami, mempercayai, dan menjunjung tinggi kebenarankebenaran yang berasal dari Sang Pencipta, dan berusaha menjadikan apa yang MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
5
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
dipercayai sebagai pedoman dalam bertutur kata, bersikap dan bertingkah laku dalam berbgaia situasi. Pemahaman anak akan nilai-nilai agama menurut Ernest Harms (dalam Lilis Suryani dkk., 2008; 1.10 – 1.11) berlangsung melalui 3 tahap, yaitu sebagai berikut. 1. Tingkat Dongeng (The Fairy Tale Stage) Tingkat ini dialami oleh anak yang berusia 3 – 6 tahun. Ciri-ciri perilaku anak pada masa ini masih banyak dipengaruhi oleh daya fantasinya sehingga dalam menyerap materi ajar agama anak juga masih banyak menggunakan daya fantasinya. 2. Tingkat Kenyataan (The Realistic Stage) Tingkat ini dialami anak usia 7 – 15 tahun. Pada masa ini anak sudah dapat menyerap materi ajar agama berdasarkan kenyataankenyataan yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Anak sudah tertarik pada apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keagamaan. Segala bentuk tindak amal keagamaan mereka ikuti dan tertarik untuk mempelajari lebih jauh. 3. Tingkat Individu (The Individual Stage) Tingkat individu dialami oleh anak yang berusia 15 ke atas. Konsep keagaamaan yang individualistic ini terbagi atas tiga bagian, yaitu: a. konsep keagamaan yang konvensional dan konservatif yang dipengaruhi oleh sebagian kecil fantasi, b. konsep keagamaan yang murni dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal, dan c. konsep keagamaan yang humanistic. Agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Pemahaman nilai – nilai agama pada anak usia dini menurut teori di atas adalah berada pada tingkat dongeng (the fairy tale stage).
D. Pengertian Perkembangan Moral dan disiplin Anak Usia Dini Hakikat moralitas (Piaget dalam sinilungan 1997) adalah kecenderungan menerima dan menaati sistem peraturan. Selanjutnya, kohlberg (Sujiono, 2005) mengemukakan bahwa aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari lahir, tapi sesuatu yang berkembang dan dapat diperkembangkan dan dipelajari. Perkembangan moral merupakan proses internalisasi nilai atau norma masyarakat sesuai dengan kematangan dan kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap aturan yang berlaku dalam kehidupannya. Jadi, perkembangan moral mencangkupaspek kognitif yaitu pengetahuan tentang baik buruk atau benar salah, dan aspek afektif yaitu sikap perilaku moral itu dipraktekkan. piaget mengajukan perkembangan moral, yang digambarkan pada aturan permainan. Selain teori perkembangan moral, dalam mempelajari pola perkembangan moral yang berkaitan dengan ketaatan akan suatu aturan yang berlaku universal, perlu dibahas mengenai disiplin. Disiplin berasal dari kata ”disciple” yang berarti seseorang yang belajar dari atau secara sukarela mengikuti seorang pemimpin. Disiplin diperlukan untuk membentuk perilaku yang sesuai dengan aturan dan peran yang ditetapkan dalam MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
6
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
kelompok budaya tempat orang tersebut menjalani kehidupan. Melalui disiplin, anak belajar untuk bersikap dan berperilaku yang baik seperti yang diharapkan oleh masyarakat lingkungan. Disiplin dapat ditanamkan secara otoriter melalui pengendalian perilaku dengan menggunakan hubungan. Secara permisif melalui kebebbasan yang diberikan kepada anak tanpa adanya hukuman atau secara demokratis melalui penjelasan, diskusi, dan penalaran mengani peraturan yang berlaku. Unsur yang berkaitan dengan disiplin adalah sebagai berikut: 1. Peraturan sebagai pola yang ditetapkan untuk perilaku dimana anak hidup. Mempunyai nilai pendidikan tentang arah yang harus diikuti dan ditaati anak dan juga membantu mengekang perilaku yang tidak diinginkan. 2. Hukuman diberlakukan apabila anak melakukan kesalahan ataupun bertindak yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Hukuman yang menghalangi anak untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak diinginkan, mendidik anak untuk belajar dari pengalaman dan memotivasi anak untuk menghindari perilaku yang tidak diterima oleh masyarakat. 3. Penghargaan diberikan apabila anak melakukan sesuatu dengan nilai atau norma yang berlaku, mendidik anak dan memotivasi anak mengulangi perilaku yang baik dan benar sesuai harapan masyarakat. 4. Konsistensi atau keajegan dalam melaksanakan aturan dan disiplin sehingga tidak membingungkan anak dalam memperlajari sesuatu yang benar atau salah, baik atau buruk. Disiplin bermanfaat apabila ada pengaruh disiplin terhadap perilaku, menimbulkan kepekaan akan sikap perilaku yang baik, benar, dan adil serta mempengaruhi kepribadian anak dimana sikap perilaku disiplin merupakan bagian yang terinternalisasi pada anak secara keseluruhan
E. Internalisasi agama moral dan disiplin Pembelajaran agama moral dan disiplin pada anak usia dini merupakan proses penanaman nilai ajaran agama yang diwujudkan dalam amal perilaku para pemeluknya, Internalisasi nilai-nilai agama dan moral adalah upaya menghayati dan mendalami nilai, agar nilai tersebut tertanam dalam diri setiap manusia. Pembelajaran agama moral dan disiplin dapat diterapkan sejak dini guna melandasi anak dengan nilai-nilai keimanan yang dapat diaplikasikan kedalam prilaku dan membentuk karakter positif pada anak. Menurut Muhaimin, tahap-tahap dalam internalisasi nilai tersebut meliputi : tahap transformasi nilai, transaksi nilai, dan tahap trans internalisasi nilai. Internailsasi nilai-nilai agama moral dapat dilakukan melalui tahapan berikut :
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
7
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
1. Tahap transformasi nilai, pada tahap ini guru sekedar menginformasikan nilai-nilai yang baik dan yang kurang baik kepada siswa, yang semata-mata merupakan komunikasi verbal. 2. Tahap transaksi nilai, yaitu suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi dua arah, atau interaksi antara siswa dan guru bersifat timbal balik. Dalam tahap ini tidak hanya menyajikan informasi tentang nilai yang baik dan yang buruk, tetapi juga terlibat untuk melaksanakan dan memberikan contoh yang nyata, dan siswa diminta memberikan respons yang sama, yaitu menerima dan mengamalkan nilai tersebut. 3. Tahap transinternalisasi, yakni bahwa tahap ini lebih dalam daripada sekedar transaksi. Dalam tahap ini penampilan guru di hadapan siswa bukan lagi sosok fisiknya, melainkan sikap mentalnya (kepribadiannya).Demikian juga siswa merespons kepada guru bukan hanya gerakan dan penampilan fisiknya, melainkan sikap mental dan kepribadiannya. Fungsi nilai-nilai moral agama pada tahap-tahap internalisasi ini diupayakan sebagai berikut: 1. Menyimak, yakni pendidik memberi stimulus kepada peserta didik dan peserta didik menangkap stimulus yang diberikan. 2. Responding, peserta didik mulai ditanamkan pengertian dan kecintaan terhadap tata nilai tertentu, sehingga memiliki latar belakang Teoritik tentang sistem nilai, mampu memberikan argumentasi rasional dan selanjutnya peserta didik dapat memiliki komitmen tinggi terhadap nilai tersebut. 3. Organization, peserta didik mulai dilatih mengatur sistem kepribadiannya disesuaikan dengan nilai yang ada. 4. Characterization, apabila kepribadian sudah diatur disesuaikan dengan sistem nilai tertentu dan dilaksanakan berturut –turut, maka akan terbentuk kepribadian yang bersifat satunya hati, kata dan perbuatan. Perkembangan moral anak usia dini menurut kohlberg berada pada tingkatan paling dasar yang dinamakan dengan penalaran moral pra konvensional. Pada tingkatan ini anak belum bisa menunjukan internalisasi nilai-nilai moral secara kokoh, namun sebagian sudah memiliki kepekaan atau senisitivitas yang tinggi dalam merespon lingkunganya. Internlisasi nilai tersebut dapat diterapkan dengan pola pembiasaan dan teladan. Pola tersebut dapat melahirkan karakter positif dalam mengamalkan nilai-nilai agama moral dan disiplin dalam kehidupan sehari-hari.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
8
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
PEMBAHASAN 1. Manajemen Pengorganisasian SRL Self regulated learning (SRL) pada diri anak tidak terjadi begitu saja. Untuk itu di perlukan manajemen penerapan dengan strategi yang tepat. Diperlukan pengorganisasian dalam pelaksanannya dengan melibatkan stake holder sekolah dan menggunakan strategi yang tepat.Strategi ini sesuai dengan proses dan fase dalam SRL. Dalam SRL melibatkan self regulated activity yaitu perencanaan aktivitas yang terlebih dahulu di lakukan sebelum SRL misalnya meminta anak untuk menyampaikan pendapatnya tentang prilaku positif dan prilaku negatif dilingkungan bermain anak. Contoh lain dalam pembiasaan positif ketika datang anak mengucapkan salam, menaruh tas pada lokernya, menempatkan bekal pada meja saji lalu bermain bebas di halaman sekolah sampai pijakan awal di mulai. Dalam proses ini diperlukan fungsi manajerial dan dalam pelaksanaannya melibatkan pendidik, peserta didik dan orang tua. Tabel di bawah ini adalah pemberian instruksi Self Regulated Activity kepada anak yang sudah di rencanakan dengan matang untuk memperoleh SRL. Tabel 1.1 Performa tugas Tahap
1: Cognitive Guru
Instruksi tugas
menunjukkan Guru
memberikan
perilaku yang diinginkan. instruksi dengan kata –
modelling
Misalnya main dolanan kata dan contoh konkrit tradisional jamuran Tahap
2:
Overt, Peserta
External Guidance
menampilkan yang diinginkan
Tahap
3: Overt, Self Peserta
Guidance
menampilkan
didik Guru
memberikan
perilaku instruksi dengan kata – kata dan contoh konkrit didik Peserta didik mengulangi perilaku instruksi
yang diinginkan Tahap
4: Faded, Peserta
Overt self Guidance
menampilkan
didik Peserta
didik
perilaku membisikkan instruksi
yang diinginkan Tahap 5: Covert self Peserta instruction
menampilkan yang diinginkan
didik Peserta
didik
berpikir
perilaku dengan tenang mengenai instruksi
dan
melaksanakannya
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
9
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
2. Manajemen Pengorganisasian SRL Keseluruhan proses pembelajaran bersifat komprehensif termasuk pemberian instruksi yang diperlukan selama kegiatan baik pada pijakan awal, pijakan saat main maupun pijakan setelah main. Sebagaimana penjelasan di atas bahwa
instruksi ini
diperlukan karena sebelum sampai pada self regulated learning terlebih dahulu dilakukan self regulated activity. Memahami perbedaan setiap anak adalah mutlak dilakukan termasuk memahami perbedaan latar belakang budayanya. Anak yang dibesarkan di tengah-tengah lingkungan keluarga yang mengajarkan kearifan budaya lokal tentu akan terpatri di dalam jiwa dan tingkah lakunya. Apabila mereka sudah berkumpul dalam satu kelas tentu diperlukan kesempatan
untuk
saling
mengenal
budaya
masing–masing
anak
dan
mengembangkannya sebagai wujud pendidikan multikultural sejak dini. Salah satu contoh yang sering dilakukan dalam aktivitas pembelajaran PAUD adalah role play atau bermain peran misalnya bermain peran tentang sunatan massal, belanja ke pasar tradisional, berkunjung ke lawang sewu atau bertamu ke rumah saudara yang berada di lintas provinsi. Melalui SRL anak akan memiliki inisiasi yang timbul dengan kesadaran sendiri dan akan melakukannya kembali dengan senang tanpa tekanan dari siapapun.
3. Penerapan SRL dalam pembelajaran agama moral dan disiplin Pembelajaran agama moral dan disiplin pada anak usia dini membutuhkan pendekatan yang tepat agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Manajemen pengorganisasian SRL dalam pembalajaran agama moral dan disiplin dapat diterapkan agar anak dapat memahami nilai-nilai tersebut sesuai dengan konsep SRL sehingga dapat diinternalisasikan
kedalam
prilaku
sehari-hari
tanpa
adanya
doktrinasi
dalam
pembelajaran. Sehingga yang membuat anak lebih nyaman dan merasa senang dalam kegiatan pembelajaran. Nilai agama moral dan disiplin yang biasanya sulit diterima anak akan lebih mudah dipahami karena proses belajar ini mengaktifkan dan mendorong kognisi (cognition), perilaku (behaviours) dan perasaannya (affect) secara sistematis dan berorientasi pada pencapaian tujuan belajar. Sehingga nilai tersebut dapat diaplikasikan dalam sikap dan prilaku dengan adanya kesadaran pribadi anak.
KESIMPULAN Pembelajaran agama moral dan disiplin pada anak usia dini dimaksudkan agar anak dapat memahami nilai-nilai agama dan moral sehingga dapat menginternalisaikan nilai tersebut dalam sikap dan prilaku yang disiplin. Pembelajaran tersebut dikelola dengan baik melalui managemen pembelajaran SRL berbasis ramah anak. Self Regulated Learning (SRL) MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
10
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
hendaknya di terapkan sejak usia dini karena merupakan proses belajar di mana peserta didik mengaktifkan kognisi, tindakan dan perasaan secara sistematis untuk mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan pembelajaran SRL melibatkan seluruh pendidik dan kerja sama yang baik dengan orang tua. Untuk itu manajemen dalam pembelajaran perlu di terapkan terutama dalam kematangan perencanaan. Pengembangan nilai-nilai agama pada anak harus didasarkan pada karakteristik perkembangan anak sebagaimana menurut Kohlberg bahwa perkembangan moral anak usia dini berada pada tahap pra konvensional. Pendidikan agama yang diberikan kepada anak hendaklah secara keseluruhan atau seutuhnya, mulai dari pemberian pengetahuan, pembinaan, sikap, dan kepribadi-annya sampai kepada pembinaan tingkah laku (akhlak) sesuai dengan ajaran agama. Dengan pendidikan agama ini diharapkan tercipta suatu menifestasi riil yang tercermin dalam perilaku bermoral. Agama menjadi kepribadian anak dimana segala sikap, tindakan, perbuatan, dan perkataannya akan dikendalikan oleh pribadi yang terbina didalamnya nilai agama, yang akan menjadi pengendali perbuatannya. Inilah yang dinamakan insan yang bertaqwa.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khal’awi, Muhammad & M. Said Mursi. 2007. Mendidik Anak dengan Cerdas, terj. Arif Rahman, (Solo: Insan Kamil). Anshari, Ibnu. 2006. Perlindungan Anak dalam Agama Islam, (Jakarta: KPAI). Anonim, 2011. Repository.usu.ae.id/beatstream/29937/3/chapter II.pdf Arismantoro. 2008. Character Building: Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter, (Yogyakarta: Tiara Wacana). Aqib, Zainal,2010. Pedoman Teknis Penyelenggaraan PAUD. Bandung:Nuansa Aulia Daniel & Dr. Cai Yi Ming. 1982. Mengembangkan Kepribadian Anak dengan Tepat, terj. Commec. (Jakarta: Gunung Jati) Dahar Ratna, 2011, Teori Belajar dan Pembelajaran, Erlangga : Jakarta Effeny Gerald dkk, 2013, Australian Journal of Educational & Developmental Psychology. Vol 13,, pp. 58-74 Ismail, 2008. Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, (Semarang: Media Group). Iskandar Lia. 2011, Penerapan Self Regulated Learning untuk menumbuhkan kemandirian siswa Upi Edu : Direktori/FPOK/JUR._PEND King, L.A. 2010. Psikologi Dasar. Jakarta : Salemba Humanika Kristanto, dkk Jurnal Penelitian PAUDIA, Volume 1 No. 1 2011 Lilis Suryani dkk. (2008) Metode Pengembangan Perilaku dan Kemampuan Dsar Anak Usia Dini. Jakarta MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
11
Vol : XXIII, No : 1, MEI 2016
Nasrudin, E. 2010. Psikologi Manajemen. Bandung : Pustaka Setia Noor Juliansyah, 2013, Penelitian Ilmu Manajemen Tinjauan Filosofis dan Praktis, Prenadamedia : Jakarta Ormrod Ellis, 2008, Psikologi Pendidikan, Erlangga : Jakarta Sujiono Yuliani, 2009, Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, Indeks : Jakarta Sugiyono, 2013, Metode Penelitian Manajemen, Alfabeta : Bandung Usman, H. 2009. Manajemen, Teori, Praktik dan Riset Pendidikan. Jakarta 1 Bumi Aksara Spock, Benjamin. 1982. Membina Watak Anak, (Jakarta: Gunung Jati). Suryabrata, Sumadi. 1986. Psikologi Kepribadian, (Jakarta: Rajawali). Syah, Djalinus dkk. 1993. Kamus Pelajar, (Jakarta: Rieneka Cipta). UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Pelingdungan Anak, 2007, (Jakarta: Visi Media). Yuddin, Moh. 1999. Kuliah Akhlak, Tashawuf, (Jakarta: Kalam Mulia). Yusuf, Syamsu. 2005. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Rosda Karya).
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
12