Mam
MAKALAH ISLAM HAB Ke68- Kemenag, Kritik dan Harapan
15, Januari 2014
Makalah Islam
HAB Ke-68 Kemenag, Kritik dan Harapan
Dr. H. Thobib Al-Asyhar, M. Si. (Kasubag Data dan Sistem Informasi Ditjen Bimas Islam)
Ada satu guyonan khas yang sering penulis dengar, satu-satunya Kementerian/Lembaga yang mengurus soal-soal dunia dan akhirat adalah Kementerian Agama. Kalau Kementerian lain hanya ngurus satu bidang, seperti Kemendikbud bidang pendidikan, Kominfo bidang Informasi, Kemenhan bidang pertahanan, dan seterusnya. Tidak halnya dengan Kementerian Agama, meskipun koor-nya bidang agama, namun juga ngurus bidang pendidikan yang begitu besar, masalah haji yang begitu rumit, masalah pernikahan yang begitu pelik, problem kerukunan umat beragama yang begitu dinamis, dan sebagainya. Belum lagi jika terkait dengan masalah perbedaan paham internal umat yang menjadi domain Ditjen Bimas Islam, yang seakan menjadi beban sejarah Kementerian Agama yang tak berujung. Bagaimana sulitnya Kemenag Agama (Bimas Islam) mengurus masalah-masalah umat. Satu contoh kecil yang hingga kini menjadi PR besar bagi Kemenag (Bimas Islam) adalah upaya penyatuan kalender Hijriyyah, khususnya ketika harus memutuskan tanggaltanggal krusial, yaitu 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan juga 1 Dzulhijjah. Belum lagi problem kerukunan internal soal Ahmadiyah, Syiah Sampang, dan semacamnya. Dari beberapa hal di atas, maka suka atau tidak suka, Kementerian Agama sesungguhnya merupakan Kementerian yang penuh dengan problem, dalam arti mengurus problem-problem berat. Ya, semua
Kementerian/Lembaga memiliki problem. Namun sekali lagi, problemnya tidak sekompleks Kementerian Agama. Memasuki usia pengabdiannya yang ke-68 pada tahun ini (2014), ada satu pertanyaan menggelitik yang perlu dijawab, sejauh mana kontribusi Kementerian Agama dalam pembangunan umat? Pertanyaan standar yang perlu kita renungkan tanpa harus merasa underestimate. Dalam salah satu arahannya di depan forum internal, Sekjen Kementerian Agama, Bahrul Hayat, menyatakan bahwa aparat Kementerian Agama selama ini lebih banyak sibuk mengurus masalah internal dan kegiatan-kegiatan seremonial. Kesibukan luar biasa yang dilakukan oleh aparat pusat dan daerah hanya berkutat pada forum-forum yang belum menyentuh pada akar masalah keummatan. Sebagai contoh, seringnya aparatur negara yang melakukan Rapat Kerja, Rapat Koordinasi, Workshop, Seminar, Temu Konsultasi, Sinkroniasasi, Forum Silaturrahmi, dan sejenisnya kurang memberi dampak perubahan yang signifikan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Belum lagi jika harus menghitung banyaknya perjalanan dinas yang sering kurang signifikan dalam keterkaitan tugas dan fungsi pokoknya. Apa yang disampaikan oleh Sekjen tersebut merupakan kritik keras bagi para pengambil keputusan yang kurang kreatif dalam menyusun dan menemukan
inovasi-inovasi program serta kegiatan yang berdampak pada perbaikan masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang bernuansa seremonial harusnya tidak dijadikan sebagai program unggulan, tetapi sebagai kegiatan pendukung agar peran dan fungsinya dapat dilaksanakan secara maksimal. Secara teoritik, peran dan fungsi Kementerian Agama sejatinya memiliki kedudukan yang sangat strategis. Kedudukan yang strategis ini berkaitan dengan posisi agama dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan kita. Posisi agama menjadi bagian penting berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Agama berserta seluruh sistem keyakinannya yang dipeluk oleh warga negara dijamin oleh konstitusi. Meski NKRI berdiri bukan berdasarkan agama tertentu, namun NKRI berdiri di atas prinsip-prinsip agama yang bersifat universal. Dalam konsep yang lebih operasional, agama memiliki posisi dan peran yang strategis sebagai landasan moral, spiritual, dan etik. Selain itu, agama juga sebagai barometer sosial yang berfungsi memberikan panduan (koridor), motivasi dan pembentukan karakter dan perilaku masyarakat. Dalam cakupan yang lebih luas, agama memiliki fungsi edukatif (mendidik), fungsi salvatif (penyelamatan), fungsi profetik (kenabian), fungsi integratif (pemersatu), fungsi transformatif (mengubah) dan fungsi solutif (pemecahan masalah). Fungsi-fungsi itulah yang saling
bertukar peran sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Kekuatan fungsi agama yang menyentuh seluruh dimensi hidup tersebut menarik pada episentrum kesimpulan bahwa pembangunan agama menjadi bagian dari sistem pembangunan nasional yang tidak boleh dipisahkan. Pembangunan agama merupakan cermin moral dan etis bagi pelaksanaan pembangunan nasional karena dimensinya berada pada wilayah perilaku manusia sebagai pelaku pembangunan itu sendiri. Sebuah Harapan Satu kritik pedas yang sering dilontarkan oleh masyarakat kepada Kementerian Agama adalah sering absennya Kementerian dalam banyak peristiwa keummatan. Jika pun pada akhirnya hadir, Kementerian Agama dihitung sangat terlambat dan hanya berfungsi sebagai “pemadam kebakaran”. Ambil contoh konkrit yang selama ini menjadi kritik masyarakat adalah peran Kementerian Agama pada kasus Syiah Sampang, kasus Ahmadiyah, kasus kasus gereja Yasmin, dan sebagainya. Demikian juga masalah isu gratifikasi KUA yang dianggap Kemenag lalai dalam “mengurus” hingga masalah ini mencuat ke permukaan. Meski kritik itu tidak selalu tepat, tetapi setidaknya hal tersebut menjadi pembelajaran bagi Kementerian Agama agar lebih sigap, cepat, dan memiliki
konsep integral dalam menangani berbagai persoalan keummatan. Satu contoh masalah serius yang selama ini menjadi PR bagi Kementrian Agama adalah belum adanya formula dalam bentuk SOP, petunjuk teknis atau semacam dalam penanganan masalah kerukunan umat beragama, baik intern maupun antar umat beragama, dan masih banyak lagi. Oleh karena itu, memasuki tahun pengabdian ke68, Kementerian Agama diharapkan dapat terus dapat meningkatkan kualitas peran dan kontribusinya dalam membangun umat beragama. Menurut penulis, ke depan Kementerian Agama diharapkan dapat menjadi Kementerian yang mampu melakukan hal-hal sebagai berikut: Menjadi pioneer Kementerian/Lembaga yang bebas dari korupsi dengan tata kelola yang lebih profesional, transparan, dan akuntabel. Selain menyandang “agama” yang dikesankan sebagai pihak yang “harus” baik, suci, dan bersih, Kementrian Agama yang diisi oleh orang-orang yang berlatar pemahanan agama lebih baik dibandingkan yang lain harus menunjukkan kepada publik sebagai lembaga yang mampu menjaga integritas moral dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Mampu menyuguhkan program dan kegiatan kreatif dan inovatif yang langsung diperlukan oleh umat beragama dengan meminimalisir berbagai program dan
kegiatan tidak prioritas yang bersifat seremonial-karitatif, serta resposif terhadap berbagai permasahan yang muncul dengan menghadirkan pelayanan publik yang berkualitas, cepat, dan murah, dengan zero complain. Selalu hadir dalam penanganan problem-problem keummatan, baik yang berhubungan dengan kebutuhan internal maupun antar umat beragama. Lobang-lobang peran dan fungsi Kemenag selama ini harus bisa ditutupi dengan penyusunan Renstra atau Blueprint pembangunan agama yang mampu mengcover seluruh masalah keummatan dengan memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki. Menjadi dinamisator bagi tercipta dan terpeliharanya kerukunan umat beragama berbasis pada ajaran agama dan kearifan lokal sehingga menjadi model sukses dalam pegelolaan negara yang memiliki kemajemukan tinggi. Mampu melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) dengan kompetensi tinggi yang memiliki akhlak mulia sebagai perwujudan masyarakat Indonesia yang taat beragama, rukun, cerdas, mandiri dan sejahtera lahir batin.
Sumber: bimasislam.kemenag.gi.id-informasi-opini