Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
PENDAHULUAN Malaria merupakan masalah kesehatan dunia dengan 207 juta kasus dan lebih dari 627.000 kematian setiap tahunnya, terutama pada anak dengan usia di bawah 5 tahun di Sub-Sahara Afrika (Storm 2014)(Lou, Lucas and Grau 2001).World Health Organization (WHO) juga mencatat 300-500 juta terinfeksi malaria setiap tahunnya. Penyakit malaria juga menjadi masalah kesehatan di lebih dari 90 negara, yang meliputi 40% dari populasi dunia. Sebanyak 90% kejadian malaria terjadi di wilayah Sub-Sahara, Afrika. Sisanya terdapat pada negara India, Brazil, Sri Lanka, Afganistan, Vietnam, dan Colombia. Kematian terjadi terutama pada anak-anak di daerah kumuh dan terpencil dengan akses kesehatan yang tidak memadai (Lou, Lucas and Grau 2001). Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 65% kabupaten endemis dimana sekitar 45% penduduk di kabupaten tersebut berisiko tertular malaria. Berdasarkan hasil survei komunitas selama 2007 – 2010, prevalensi malaria di Indonesia menurun dari 1,39 % (Riskesdas 2007) menjadi 0,6% (Riskesdas 2010). Sementara itu berdasarkan laporan yang diterima selama tahun 2000-2009, angka kesakitan malaria cenderung menurun yaitu sebesar 3,62 per 1.000 penduduk pada tahun 2000 menjadi 1,85 per 1.000 penduduk pada tahun 2009 dan 1,96 tahun 2010. Sementara itu, tingkat kematian akibat malaria mencapai 1, 3%(Kemenkes 2013).
1
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
Walaupun telah terjadi penurunan Annual Parasite Incidence (API) secara nasional, di daerah dengan kasus malaria tinggi angka API masih sangat tinggi dibandingkan angka nasional, sedangkan pada daerah dengan kasus malaria yang rendah sering terjadi kejadian Luar Biasa (KLB) sebagai akibat adanya kasus impor. Pada tahun 2011 jumlah kematian malaria yang dilaporkan adalah 388 kasus. Prevalensi nasional malaria berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2010 adalah 0,6% dimana provinsi dengan API di atas angka rata-rata nasional adalah Nusa Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Bengkulu, Jambi, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Aceh. Tingkat prevalensi tertinggi ditemukan di wilayah timur Indonesia, yaitu di Papua Barat (10,6%), Papua (10,1%) dan Nusa Tenggara Timur (4,4%)(Kemenkes 2013).
Malaria merupakan penyakit akibat infeksi parasite Apicomplexan yaitu Plasmodium(Storm 2014). Terdapat 5 spesies Plasmodium yang menyerang manusia yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae, dan Plasmodium knowlesi(Kemenkes 2013). Plasmodium falciparum merupakan spesies yang paling mematikan(Storm 2014).Jenis Plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah P. falciparum dan P. vivax, sedangkan P. malariae dapat ditemukan di beberapa provinsiantara lain Lampung, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. P ovale pernahditemukan di Nusa Tenggara Timur dan Papua. Pada tahun 2010 di PulauKalimantan dilaporkan 2
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
adanya P. knowlesi yang dapat menginfeksi manusiadimana sebelumnya hanya menginfeksi
hewan
primata/monyet
dan
sampai
saatini
masih
terus
diteliti(Kemenkes 2013).
Plasmodium falciparum mengakibatkan kematian lebih dari 600.000 kasus per tahun.(Ade´ la Nacer 2014). Komplikasi terberat dari infeksi Plasmodium falciparum adalah malaria serebral, dan merupakan penyebab utama kematian pada malaria. Malaria serebral terjadi pada 80% kasus fatal dan 10% penderita malaria dirawat karena malaria serebral.(Lou, Lucas and Grau 2001)Sekitar 1 dari 100 kasus infeksi P. falciparum akan memburuk menjadi Malaria serebral. Kasus malaria serebral merupakan komplikasi neurologis terberat dari 90% kasus malaria yang menyerang anak-anak di Sub-sahara Afrika(Storm 2014)(Idro, et al. 2010).
Gejala klinis ditandai dengan adanya koma dan ditemukan bentuk aseksual dari parasite di hapusan darah tepi. Mortalitas 15-20%, namun 10-20% yang selamat akan menderita sekuele neurologis jangka panjang. Patogenesis malaria serebral belum jelas, dan sering dihubungkan dengan tingkat parasetimia yang tinggi pada
penderita.(Storm
2014)(Ade´
la
Nacer
2014).
Studi
lain
juga
menghubungkan peran inflamasi dan sitoadheren sebagai etiologi terjadinya malaria serebral. (Storm 2014). Diagnosis pasti dari malaria serebral adalah
3
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
dengan post-mortem dimana akan ditemukan perdarahan otak dan lesi di otak dengan tertumpuknya sel eritrosit di mikrovaskular (Storm 2014). Pada tulisan ini akan dibahas mengenai beberapa penelitian terbaru mengenai malaria falciparum dan pathogenesis terjadinya malaria serebral untuk melihat perkembangan ke depan dalam mencegah terjadinya kerusakan neurologisserta perbaikan keluaran klinis pada malaria serebral.
EPIDEMIOLOGI MALARIA FALSIPARUM WHO memperkirakan kematian yang terjadi akibat malaria falsiparum mencapai 350-550 juta jiwa dengan mayoritas kasus (65%) terjadi pada usia di bawah 15 tahun. (Olupot-Olupot P 2013). Malaria falciparum merupakan penyebab utama kesakitan, gangguan neurologis dan kematian di negara tropis. Walaupun 40% populasi penduduk dunia beresiko untuk tertular, namun sebagian besar penularan terjadi di Sub-Sahara, Afrika (Gambar 1) dimana anak usia di bawah 5 tahun paling banyak terinfeksi. (Idro, et al. 2010)(Lou, Lucas and Grau 2001). Seiring dengan peningkatan usia dan peningkatan system imun maka insidensi pada anak lebih tua menjadi menurun. Satu persen dari infeksi akan mengalami komplikasi dan berkembang menjadi malaria berat. Malaria berat bermanifestasi sebagai anemia, hipoglikemi, kejang berulang, koma, kegagalan fungsi organ, dan diperkirakan menyebabkan lebih dari satu juta kematian setiap tahunnya.
4
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
Gambar1. Distribusi Malaria di Seluruh Dunia(CDC, Malaria 2010)
Malaria serebral merupakan menifestasi neurologis berat dari malaria berat. Insidensi 1.120/100.000/tahun di daerah endemis Afrika, anak-anak merupakan usia yang paling rentan. Usia puncak kejadian malaria serebral adalah usia pra sekolah dan minimal 575.000 anak di Afrika menderita malaria serebral. (Idro, et al. 2010)
5
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
PLASMODIUM
FALCIPARUM
–AGEN
PENYEBAB
MALARIA SEREBRAL Plasmodium falciparum hidup dan berkembang biak dalam eritrosit manusia. Penyakit ini secaraalami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina.(Kemenkes 2013)
Gambar 2. Siklus Hidup Plasmodium spp.(CDC, Malaria: Biology 2012)
6
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
SIKLUS HIDUP PLASMODIUM FALCIPARUM 1. Siklus Pada Manusia Pada waktu nyamuk Anopheles infektif menghisap darah manusia, sporozoit yang berada di kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dalam peredaran darah selama lebih kurang setengah jam. Setelah itu sporozoit akan masuk ke dalam sel hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian berkembang menjadi skizon hati yang terdiri dari 10,000-30,000 merozoit hati (tergantung spesiesnya). Siklus ini disebut siklus ekso-eritrositer yang berlangsung selama lebih kurang 2 minggu(Kemenkes 2013)(CDC, Malaria: Biology 2012).
Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke peredaran darah dan menginfeksi eritrosit. Di dalam eritrosit, parasite tersebut berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon (8-30 merozoit, tergantung spesiesnya). Proses perkembangan aseksual ini disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah dan merozoit yang keluar akan menginfeksi eritrosit lainnya. Siklus ini disebut siklus eritrositer. Pada P. falciparum setelah 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian merozoit yang menginfeksi eritrosit dan membentuk stadium seksual (gametosit jantan dan betina)(Kemenkes 2013).
7
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
2. Siklus Pada Nyamuk Anopheles Betina Apabila nyamuk Anopheles betina menghisap darah yang mengandung gametosit,
di
dalam
tubuh
nyamuk
gamet
jantan
dan
betina
melakukanpembuahan menjadi zigot. Zigot berkembang menjadi ookinet kemudianmenembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding luar lambung nyamukookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya menjadi sporozoit. Sporozoitini bersifat infektif dan siap ditularkan ke manusia (gambar 3).Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk ke tubuhmanusia sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam.Masa inkubasi bervariasi tergantung spesies plasmodium. Masa inkubasi Plasmodium falciparum rata-rata adalah 9-14 hari. Masa prepaten adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk ke tubuhmanusia sampai parasit dapat dideteksi dalam eritrosit denganpemeriksaan mikroskopik (CDC, Malaria: Biology 2012) (Kemenkes 2013).
Replikasi
aseksual
Plasmodium
falciparum
di
dalam
eritrositakan
menimbulkan respon patologi dan akan memodifikasi system pertahanan tubuh sel host. Pada fase tropozoit, protein dari parasite akan dipindahkan ke permukaan eritrosit dimana hal ini akan berperan penting dalam pengenalan system imun dan perlekatan endotel sel host, serta interaksi selanjutnya yang terjadi dengan sel host. Interaksi antara sel host dan parasite ini yang berhubungan dengan terjadinya malaria berat (anemia berat, distress 8
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
pernafasan, koma, maupun kombinasi dari gejala-gejala tersebut) seperti malaria serebral (Storm 2014). Walaupun demikian, imunopatogenesis malaria serebral belum dapat sepenuhnya dimengerti (Lou, Lucas and Grau 2001), (Yuri C Martins 2014 ). Beberapa hipotesis telah diusulkan namun sampai saat ini masih menjadi perdebatan(Lou, Lucas and Grau 2001).
9
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
Gambar 3. Siklus hidup P.falciparum melibatkan dua fase (seksual dan aseksual)(NIAID 2007)
RESPON
IMUN
ADAPTIVE
PADA
INFEKSI
PLASMODIUM FALCIPARUM
Gambar 4. Respon Imun Adaptif pada Infeksi Plasmodium falciparum (Vercelotti 2013) Pada saat terjadi infeksi oleh P. falciparum, respon imun humoral dan seluler akan bekerja. Tahap (1) akan terbentuk antibody terhadap sporozoit yang meningkatkan fagositosis dan menghambat penetrasi ke hepatosit. Tahap (2) CD8+ limfosit sel T sitotoksik akan membasmi semua hepatosit yang teinfeksi
10
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
melalui pengenalan antigen HLA kelas 1. Tahap (3) Antibodi terhadap merozoit yang bebas dikeluarkan dari hepatosit atau eritrosit akan meningkatkan fagositosis dan menghalangi infeksi ke sel erirosit yang baru. Tahap (4) antibody terhadap protein parasite yang terdapat pada permukaan eritrosit yang terinfeksi akan meningkatkan fagositosis terutama di limpa. Tahap (5) akan terbentuk antibody terhadap gametosit yang akan berperan pada fagositosis dan mencegah gamet diambil kembali oleh nyamuk (gambar 4) (Lou, Lucas and Grau 2001)
MALARIA SEREBRAL Malaria serebral terjadi sebagai komplikasi dari malaria berat yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Malaria serebral termasuk salah satu dari manifestasi malaria berat yang ditandai dengan gangguan perilaku, gangguan kesadaran, kejang, koma, dan gangguan neurologis lainnya. (CDC, Malaria: Disease 2010). Malaria serebral memiliki gejala yang mirip dengan gangguan neurologis akibat kondisi metabolic. Pada banyak rumah sakit, hipoglikemia dan meningitis bacterial akut dapat lebih mudah dibedakan dengan malaria serebral. Namun pada kasus lain seperti ensefalitis viral dan penyebab metabolic akan lebih sulit dibedakan dengan malaria serebral, terutama pada daerah endemis dengan akses kesehatan yang terbatas(Mishra and Newton 2009).
IMUNOPATOGENESIS MALARIA SEREBRAL 11
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
Karakteristik unik dari malaria yang disebabkan oleh P. falciparum dibandingkan dengan spesies lain adalah terjadinya sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi di venula berbagai organ, terutama di otak. (Kemenkes 2013)(Frevert 2014)(Mishra and Newton 2009). Hal ini kemungkinan menjadi penyebab banyak komplikasi yang terjadi, terutama gangguan neurologis(Mishra and Newton 2009). Mekanisme bagaimana Plasmodium falciparum dapat menginfeksi eritrosit (infected red blood cells/iRBC) dan menyebabkan kematian belum dapat dimengerti sepenuhnya(Storm 2014)(Frevert 2014). Beberapa model telah didiskusikan sejak puluhan tahun lalu untuk menjelaskan pathogenesis malaria serebral. Beberapa postulat yang diusulkan antara lain: (1) Perluasan dari hipotesis obstruksi oleh Frerichs dan Laveran (1858). Di sini dijelaskan bahwa gejala neurologis dan koma diakibatkan obstruksi parasite di kapiler otak.(Frevert 2014) (2) Hipotesis sekuestrasi oleh Marchiafava dan Bignami (1894) menyatakan bahwa malaria berat disebabkan oleh iRBC berakumulasi di pembuluh darah besar dan ini menghentikan sirkulasi darah. Pada kasus malaria serebral yang fatal, sejumlah besar iRBC akan menyumbat kapiler dan mengakibatkan gangguan fungsional kapiler darah(Kemenkes 2013) (Frevert 2014).
12
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi dan ini merupakan tanda khas pada malaria serebral. Sekuestrasi merupakan peristiwa tersebarnya eritrosit yang berparasit tersebut ke pembuluh kapiler alat dalam tubuh (Kemenkes 2013) (Storm and Craig 2014). Setelah sporozoit masuk ke dalam aliran darah manusia, parasite akan menuju hati mengalami stadium hepatic yang tidak bergejala. Hepatosit yang terinfeksi akan
pecah,
mengeluarkan
merozoit,
yang
akan
masuk
ke
dalam
eritrosit.(Kemenkes 2013) (Mishra and Newton 2009). Pada tahap lanjut, eritrosit yang terinfeksi akan menempel ke sel endotel venula, menjaga parasite tetap hidup di lingkungan yang hipoksik tersebut serta mengakibatkan destruksi dari limpa. Eritrosit yang terinfeksi akan tersekuestrasi di berbagai organ di tubuh, dimana otak menjadi target utama, diikuti dengan jantung, hati, dan kulit. (Mishra and Newton 2009). Seluruh autopsy yang dilakukan pada post mortem pada malaria serebral, menunjukkan adanya penumpukan eritrosit yang mengakibatkan kongesti di venula dan kapiler otak. Namun sekuestrasi juga dijumpai pada otak pasien malaria non malaria serebral(Storm and Craig 2014). (3) Hipotesis inflamasi oleh Maegraith (1974) menyatakan bahwa parasite, baik mengalami sitoadherensi maupun tidak, akan menginisiasi reaksi berantai yang memungkinkan protein dan air keluar melalui endotel yang telah disfungsional, secara cepat akan menjadi obstruksi inflamasi dari aliran darah yang permanen (Frevert 2014) (Yuri C Martins 2014 ). 13
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
(4) Hipotesis sitokin yang mengakibatkan malaria serebral menjadi ensefalopati oleh Clark dan Rockett (1994). Di sini dinyatakan bahwa perubahan patologis seperti edema dan koma berasal dari suatu proses inflamasi dengan peran sitokin(Frevert 2014). P. falciparum akan meningkatkan level sitokin pro inflamasi dan sitokin anti inflamasi, namun peran molekul-molekul ini pada pathogenesis penyakit belum jelas. Level sitokin pro inflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF), interleukin (IL)-6 dan anti-inflammatory IL–10 meningkat pada pasien dengan malaria serebral(Mishra and Newton 2009). Pada permukaan eritrosit yang terinfeksi akan membentuk knob yang berisi berbagai antigen P. falciparum. Sitokin (TNF, IL- 6 dan lain lain) yang diproduksi oleh sel makrofag, monosit, dan limfosit akan menyebabkan terekspresinya reseptor endotel kapiler. Pada saat knob tersebut berikatan dengan reseptor sel endotel kapiler terjadilah proses sitoadherensi (gambar 5). Sitoadherensi ini dimediasi oleh protein var genes yang dipresentasikan di permukaan setiap eritrosit yang telah terinfeksi. Protein inilah yang akan berperan dalam proses melekatnya eritrosit yang telah terinfeksi ke endotel venule(Mishra and Newton 2009). Akibat dari proses ini terjadilah obstruksi (penyumbatan) dalam pembuluh kapiler yang menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Terjadinya sumbatan ini juga didukung oleh proses terbentuknya “rosette”, yaitu bergerombolnya eritrosit
14
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
yang berparasit dengan eritrosit lainnya(Kemenkes 2013)(Lou, Lucas and Grau 2001) (Storm and Craig 2014)(Mishra and Newton 2009).
Gambar 5. Patofisiologi Sitoaderensi(Kemenkes 2013) (5) Kombinasi dari sekuestrasi dan inflamasi vascular oleh Kossodo (1994), Hermsen (1997) dan Postels (2013). Kombinasi sekuestrasi dan inflamasi vascular akan menyebabkan molekul saling berdempetan dan mengakibatkan eritrosit yang terinfeksi akan mengalami sitoadherensi dengan platelet dan leukosit akan tertahan, hal ini akan semakin membuat eritrosit yang 15
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
terinfeksi mengalami sekuestrasi (Frevert 2014).Sekuestrasi dari eritrosit yang terinfeksi (gambar 6) akan mengurangi laju aliran darah, yang dapat mengganggu eritrosit yang belum terinfeksi. Nekrosis jaringan jarang terjadi, namun iskemik jaringan yang terjadi dapat mengakibatkan progresivitas menjadi lebih buruk secara cepat(Mishra and Newton 2009). Terjadinya kerusakan endotel akan mengakibatkan kerusakan sawar darah otak yang permanen(Frevert 2014). Pada analisis post mortem dewasa dengan malaria serebral, dijumpai kerusakan protein penghubung (zonula occludens 1, occludin and vinculin) dan aktivasi sel endotel di vascular. Proses ini mengakibatkan gangguan metabolit, dimana metabolit tertentu dapat masuk melewati sawar darah otak dan dapat mengganggu kesadaran dan mencetuskan kejang(Mishra and Newton 2009). (6) Teori factor jaringan oleh Fracischetti (2008) menyatakan terdapat beberapa langkah penyebab gejala menjadi progresif yang diawali dengan sekuestrasi iRBC sebagai proses krusial yang mengaktivasi endotel serta menginisiasi kaskade koagulasi dan inflamasi. Sekuestrasi iRBC dan platelet akanmenimbulkan kaskade yang berakibat pada koagulasi intravascular dan berkontribusi pada disfungsi dan kegagalan fungsi berbagai organ (Frevert 2014). (7) Teori PfEMP1 CIDRα1/EPCR oleh Moxon (2013) dan Turner (2013) menyatakan bahwa pada kasus malaria berat pada anak dimediasi oleh UpsA var genes (DC 8 dan 13) yang mengekspresikan iRBC untuk berikatan dengan protein 16
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
reseptor pada endotel (endothelial protein C receptor /EPCR). Interaksi ini akan menghambat kaskase sitoprotektif dan anti inflamasi yang seharusnya dapat diinduksi oleh aktivasi dan pengikatan protein C ke EPCR. Hasilnya adalah aktivasi protease activated receptor 1 (PAR1) yang bisa mencetuskan kaskade proinflamasi dan menurunkan stabilitas sawar darah otak (Frevert 2014)(Idro, et al. 2010).
Gambar 6. Sekuestrasi eritrosit yang telah terinfeksi(Idro, et al. 2010)
17
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
Ket: HA, hyaluronic acid; TSP, thrombospondin; ELAM-1, endothelial/leukocyte adhesion molecule 1; P-Sel., P-selectin; VCAM-1, vascular cell adhesion molecule 1; PECAM (CD31), platelet endothelial cell adhesion molecule 1; CR1, complement receptor 1; HS-like GAGs, heparin sulphate-like glycosaminoglycans; IgM, immunoglobulin M.
Gambar 7. Patogenesis malaria serebral yang meliputi banyak komponen respon imun (Storm 2014) Sitoadherensi dari eritrosityang terinfeksi seperti PfEMP1-DC8 dan DC13 dengan reseptor endothelial (seperti EPCR dan ICAM-1) (Gambar 6) mengakibatkan terjadinya sekuestrasi dan menurunkan laju aliran darah. Ikatan dengan ECPR (Gambar 8, 9) akan menghalangi aktivasi protein C, yang pada kondisi normal merupakan
inhibitor
thrombin
generator
(Frevert
2014)(Idro,
et
al.
2010)(Vercelotti 2013). Peningkatan thrombin mencetuskan berbagai kaskade yang berujung pada hilangnya fungsi barrier endotel, peningkatan TNF, rasio Ang2/Ang1 dan factor von Willebrand(Moxon 2014) (Storm and Craig 2014). 18
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
iRBC di dalam sirkulasi dan iRBC yang pecah akan mencetuskan suatu respon imun yang akan memproduksi sitokin. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya inflamasi dan akan mengakibatkan kerusakan endotel. Kebocoran akibat kerusakan endotel ini ke area perivascular akan menimbulkan gangguan pada astrosit dan perisit yang berakibat pada gangguan sawar darah otak (gambar 8) (Storm and Craig 2014).
Gambar 8. Peran dari endothelial protein C receptor (EPCR) (Vercelotti 2013) 19
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
PERAN NITRIC OXIDE (NO) PADA PATOGENESIS MALARIA SEREBRAL Peran NO dalam pathogenesis malaria serebral masih kontroversial. Namun pada beberapa studi dikatakan bahwa NO merupakan factor kunci bagi TNF pada pathogenesis malaria serebral. (Mishra and Newton 2009). NO berperan pada pertahanan tubuh host, mempertahankan status vascular, dan juga sebagai efektor dari TNF. Sitokin akan meningkatkan sintesis NO di sel endotel otak dan berakibat pada peningkatan produksi NO (Idro, et al. 2010). Peningkatan aktivitas NO dapat mengubah laju aliran darah dan mengurangi ambilan glutamate, berakibat toksisitas bagi jaringan otak(Mishra and Newton 2009). NO dapat berpindah dan menembus sawar darah otak, berdifusi ke jaringan otak, dan akan berinteraksi dengan neurotrasmiter, dan hal ini berperan penting dalam mekanisme terjadinya koma pada malaria serebral(Idro, et al. 2010).
20
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
Gambar 9. Mekanisme kerusakan otak pada malaria serebral Ket: Perubahan mikrovaskular otak oleh karena sekuestrasi dari eritrosit yang terinfeksi. Sitoadherensi eritrosit yang terinfeksi ke dinding endotel akan menginisiasi proses inflamasi, aktivasi endotel, keluarnya EMPs, dan apoptosis di area yang terpapar. Pada tempat sitoadherensi terjadi, sawar darah otak akan rusak, terjadi peningkatan respon inflamasi di daerah perivascular dan keluarnya sitokin pro inflamasi.
21
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
PENEGAKAN DIAGNOSIS MALARIA Manifestasi
klinis
malaria
dapat
bervariasi
dari
ringan
sampai
membahayakanjiwa. Gejala utama demam sering di diagnosis dengan infeksi lain, seperti demam typhoid, demam dengue, leptospirosis, chikungunya, dan infeksi saluran nafas(CDC, Malaria: Diagnosis-Treatment 2013)(Kemenkes 2013).
Adanya thrombositopenia sering didiagnosis dengan leptospirosis, demam dengue atau typhoid. Apabila ada demam dengan ikterik bahkan sering diintepretasikan dengan diagnosa hepatitis dan leptospirosis. Penurunan kesadaran dengan demam sering juga didiagnosis sebagai infeksi otak atau bahkan stroke.(Kemenkes 2013)Mengingat bervariasinya manifestasi klinis malaria maka anamnesis riwayat perjalanan ke daerah endemis malaria pada setiap penderita dengan demam harus dilakukan(CDC, Malaria: DiagnosisTreatment 2013)(Kemenkes 2013).
Diagnosis malaria ditegakkan dengan: (Kemenkes 2013) A. Anamnesis Keluhan utama pada malaria adalah demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal. Pada anamnesis juga perlu ditanyakan:
22
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
1. Riwayat berkunjung ke daerah endemik malaria; 2. Riwayat tinggal di daerah endemik malaria; 3. Riwayat sakit malaria/riwayat demam; 4. Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir; 5. Riwayat mendapat transfusi darah
B. Pemeriksaan Fisik 1. Demam (>37,5 ºC aksila) 2. Konjungtiva atau telapak tangan pucat 3. Pembesaran limpa (splenomegali) 4. Pembesaran hati (hepatomegali) 5. Manifestasi malaria berat dapat berupa penurunan kesadaran, demam tinggi, konjungtiva pucat, telapak tangan pucat, dan ikterik, oliguria, urin berwarna coklat kehitaman (Black Water Fever), kejang dan sangat lemah (prostration).
C. Pemeriksaan Laboratorium Untuk mendapatkan kepastian diagnosis malaria harus dilakukan pemeriksaan sediaan darah. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan melalui cara berikut. 1. Pemeriksaan dengan mikroskop Pemeriksaan dengan mikroskop merupakan gold standard (standar baku) untuk diagnosis pasti malaria. Pemeriksaan mikroskop dilakukan dengan membuat sediaan darah tebal dan tipis. 23
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
Pemeriksaan
sediaan
darah
(SD)
tebal
dan
tipis
di
rumah
sakit/Puskesmas/lapangan untuk menentukan: a) Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif); b) Spesies dan stadium Plasmodium; c) Kepadatan parasit: 1) Semi Kuantitatif (-) = negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB/lapangan pandang besar) (+) = positif 1 (ditemukan 1 –10 parasit dalam 100 LPB) (++) = positif 2 (ditemukan 11 –100 parasit dalam 100 LPB) (+++) = positif 3 (ditemukan 1 –10 parasit dalam 1 LPB) (++++) = positif 4 (ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB) Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan mortalitas yaitu: - Kepadatan parasit < 100.000 /ul, maka mortalitas < 1% - Kepadatan parasit > 100.000/ul, maka mortalitas > 1% - Kepadatan parasit > 500.000/ul, maka mortalitas > 50%
2) Kuantitatif Jumlah parasit dihitung per mikro liter darah pada sediaan darah tebal (leukosit) atau sediaan darah tipis (eritrosit). Contoh :
24
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
Jika dijumpai 1500 parasit per 200 lekosit, sedangkan jumlah lekosit 8.000/Ul maka hitung parasit = 8.000/200 X 1500 parasit = 60.000parasit/uL. Jika dijumpai 50 parasit per 1000 eritrosit = 5%. Jika jumlah eritrosit 4.500.000/uL maka hitung parasit = 4.500.000/1000 X 50 = 225.000 parasit/uL.
2. Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test/RDT) Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan metoda imunokromatografi. Tes ini digunakan pada unit gawat darurat, pada saat terjadi KLB, dan di daerah terpencil yang tidak tersedia fasilitas laboratorium mikroskopis.
3. Pemeriksaan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Sequensing DNA Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada fasilitas yang tersedia. Pemeriksaan ini penting untuk membedakan antara re-infeksi dan rekrudensi pada P. falcifarum. Selain itu dapat digunakan untuk identifikasi spesies Plasmodium yang jumlah parasitnya rendah atau di bawah batas ambang mikroskopis. Pemeriksaan dengan menggunakan PCR juga sangat penting dalam eliminasi malaria karena dapat membedakan antara parasit impor atau indigenous.
25
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
4. Selain pemeriksaan di atas, pada malaria berat pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah: a) Pengukuran hemoglobin dan hematokrit; b) Penghitungan jumlah leukosit dan trombosit; c) Kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, sgot dan sgpt, alkali fosfatase, albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium, analisis gas darah); dan urinalisis.
PENEGAKAN DIAGNOSIS MALARIA SEREBRAL Malaria serebral merupakan komplikasi terberat dari malaria. Hampir seluruh pasien dengan malaria serebral mengalami demam, berkeringat, dan/atau menggigil. Pada beberapa pasien dapat terjadi muntah dan nyeri kepala. Penurunan kesadaran dapat terjadi secara perlahan dalam beberapa hari.(CDC, Malaria: Diagnosis-Treatment 2013) (Mishra and Newton 2009). Manifestasi penting dari keterlibatan otak dapat berupa gejala iritabilitas, dan gangguan prilaku psikosis. Riwayat perjalanan dan transfuse darah harus diinvestigasi pada pasien dengan gejala seperti ini(Mishra and Newton 2009). Gejala malaria serebral pada anak, koma terjadi secara cepat dan sering diikuti dengan kejang, dimana 80% malaria serebral pada anak bermanifestasi kejang. Kejang terjadi akibat peningkatan tekanan intracranial(Idro, et al. 2010). Namun pada penderita dewasa, koma terjadi secara perlahan dan tidak selalu diikuti oleh 26
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
kejang, hanya 15-20% penderita malaria serebral dewasa yang mengalami kejang. Kaku leher dan fotofobia dapat juga terjadi, namun jarang. Keterlibatan saraf kranial terlihat pada penderita dewasa, sedangkan pada anak-anak jarang terjadi(Mishra and Newton 2009). Abnormalitas pupil lebih sering terlihat pada anak-anak dibanding dewasa. Okulosefalik abnormal dan reflex oculovestibular terjadi pada anak dengan koma yang dalam(Idro, et al. 2010) (Mishra and Newton 2009). Pasien dengan malaria serebral mengalami perubahan pola diurnal, dimana mengalami kesulitan tidur atau tidur berkepanjangan. Manifestasi gangguan psikiatri seperti halusinasi, psikosis, delusi dan ilusi dapat terjadi pada saat infeksi masih terjadi dan selama pengobatan penyakit malaria(Mishra and Newton 2009).
PATOGENESIS TERJADINYA BERBAGAI GEJALA SISA (SEKUELE) PADA MALARIA SEREBRAL a) Sekuele kognitif Gangguan kognitif jangka panjang terjadi pada 25% anak. Faktor resiko terjadinya gangguan kognitif antara lain hipoglikemia, kejang, dalam dan durasi koma dan hiporefleks. Pada studi tentang imunopatogenesis gangguan kognitif, level serum dari berbagai sitokin dan kemokin tidak berhubungan dengan gangguan kognitif 6 bulan setelah kesembuhan malaria, namun level TNF di cairan serebrospinal berhubungan dengan pusat memori dan 27
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
perhatian, dimana peningkatan level TNF di cairan serebrospinal akan berefek pada gangguan kognitif jangka panjang (Idro, et al. 2010).
b) Gangguan bicara dan berbahasa Malaria serebral merupakan penyebab utama gangguan bicara dan berbahasa di negara tropis. Sebanyak 11,8% anak yang sembuh dari malaria serebral mengalami deficit dalam kosakata, gangguan menerima dan mengekspresikan bahasa, serta gangguan dalam pengucapan kata-kata. Patogenesis masih belum dimengerti, tidak jelas apakah deficit berbahasa akibat dari kerusakan otak secara umum, atau karena malaria serebral mengakibatkan kerusakan pada pusat berbahasa(Idro, et al. 2010).
c) Epilepsi Epilepsi terjadi pada 10% penderita malaria anak, dapat berlangsung hingga bertahun-tahun kesembuhan. Walaupun kejang pada malaria serebral dihubungkan dengan kejadian demam, dengan bentuk kejang yang berbedabeda, namun sebagian besar kejang bersifat tonik klonik. Patogenesis dari epilepsi masih belum jelas, namun hal ini dianggap sebagai konsekuensi kondisi hipoksia atau iskemik pada sirkulasi serebral(Idro, et al. 2010).
28
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
d) Gangguan perilaku dan neurospsikiatri Pada anak, gangguan perilaku termasuk tidak dapat memusatkan perhatian, impulsive, hiperaktivitas, gangguan sosialisasi dengan sekitar, obsesif, dan kecenderungan menyakiti diri sendiri. Gejala ini timbul 1-4 bulan setelah terpapar dengan parasit dan pathogenesis terjadinya gangguan perilaku ini masih belum jelas. Pada dewasa, gejala neurologis terjadi setelah parasite hilang dari tubuh (Idro, et al. 2010).
Secara umum pathogenesis dari berbagai sekuele yang terjadi akibat sitoadherensi dan sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi di mikrovaskular serebral dapat menginisiasi kerusakan endotel local, apoptosis, inflamasi, disfungsi sawar darah otak, edema otak dan hipertensi kranial. Sekuestrasi mengganggu perfusilocal dan mengakibatkan hipoksia jaringan otak. Hal ini dapat menimbulkan kejang, dan diperparah dengan gangguan metabolit yang berat. Kerusakan otak yang semakin luas bergantung pada derajat koma, obstruksi mikrovaskular dan respon inflamasi yang terjadi, durasi paparan parasite, adanya komplikasi seperti syok dan intervensi pengobatan yang diberikan (Idro, et al. 2010).
DIAGNOSIS BANDING MALARIA SEREBRAL Malaria berat dibedakan dengan penyakit infeksi lain sebagai berikut. a. Infeksi otak 29
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
Penderita panas dengan riwayat nyeri kepala yang progresif, hilangnya kesadaran, kaku kuduk, kejang dan gejala neurologis lainnya. Pada penderita dapat dilakukan analisa cairan otak dan imaging otak(Kemenkes 2013) (Mishra and Newton 2009).
b. Stroke (gangguan serebrovaskuler) Hilangnya atau terjadi gangguan kesadaran, gejala neurologic lateralisasi (hemiparese atau hemiplegia), tanpa panas dan ada penyakit yang mendasari (hipertensi, diabetes mellitus, dan lain-lain)(Kemenkes 2013).
c. Tifoid ensefalopati Gejala demam tifoid ditandai dengan penurunan kesadaran dan tanda tanda demam tifoid lainnya (khas adalah adanya gejala abdominal, seperti nyeri perut dan diare). Didukung pemeriksaan penunjang sesuai demam tifoid(Kemenkes 2013).
d. Hepatitis A Prodromal hepatitis (demam, mual, nyeri pada hepar, muntah, tidak bisa makan diikuti dengan timbulnya ikterus tanpa panas), mata atau kulit kuning, dan urin seperti air teh. Kadar SGOT dan SGPT meningkat >5 kali tanpa gejala klinis atau meningkat > 3 kali dengan gejala klinis(Kemenkes 2013). 30
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
e. Leptospirosis berat/penyakit Weil Demam dengan ikterus, nyeri pada betis, nyeri tulang, riwayat pekerjaan yang menunjang adanya transmisi leptospirosis (pembersih selokan, sampah, dan lain lain), leukositosis, gagal ginjal. Insidens penyakit ini meningkat biasanya setelah banjir(Kemenkes 2013). f. Glomerulonefritis akut Gejala gagal ginjal akut dengan hasil pemeriksaan darah terhadap malaria negatif(Kemenkes 2013).
g. Sepsis Demam dengan fokal infeksi yang jelas, penurunan kesadaran, gangguan sirkulasi, leukositosis dengan granula-toksik yang didukung hasil biakan mikrobiologi(Kemenkes 2013).
h. Demam berdarah dengue atau Dengue shock syndrome Demam tinggi terus menerus selama 2 - 7 hari, disertai syok atau tanpa syok dengan keluhan sakit kepala, nyeri tulang, nyeri ulu hati, manifestasi perdarahan (epistaksis, gusi, petekie, purpura, hematom, hemetemesis dan melena), sering muntah, penurunan jumlah trombosit dan peningkatan hemoglobin dan hematokrit, uji serologi positif (antigen dan antibodi) (Mishra and Newton 2009). 31
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
BIOMARKER
UNTUK
DIAGNOSIS
MALARIA
SEREBRAL Penggunaan klinis Plasmodium falciparum histidine-rich protein-2 (PfHRP-2) sebagai biomarker anti parasite untuk malaria serebral telah teruji. Penggunaan biomarker PfHRP-2 pada cairan serebrospinal penderita malaria bersamaan dengan penggunaan Rapid Test Diagnostic (RDT) terbukti berguna untuk mendeteksi adanya resiko serebral malaria. Konsentrasi PfHRP-2 di cairan serebrospinal akan mencerminkan kadar PfHRP-2 di dalam plasma darah, dimana peningkatan level PfHRP-2 di dalam plasma berhubungan dengan kejadian malaria serebral(Labmedia 2014).
HISTOPATOLOGI MALARIA SEREBRAL Gambaran histopatologi malaria serebral didapatkan dari hasil studi post mortem. Pada studi post mortem ditemukan perdarahan dan lesi di otak dengan
32
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi di mikrovaskular(Storm and Craig 2014).
Gambar 10. Gambaran histopatologi malaria serebral, terjadi sumbatan oleh parasite P. falciparum
33
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
Gambar 11. Histologi jaringan otak dari pasien dengan malaria serebtral menunjukkan sekuestrasi parasite, pigmentasi dan sumbatan pembuluh darah (Labmedia 2014)
NEUROIMAGING PADA MALARIA SEREBRAL Pada studi dengan populasi anak dengan retinopati dan dikonfirmasi menderita malaria serebral, neuroimaging yang dilakukan menunjukkan kondisi patologis yang sama pada studi post-mortem (Potchen 2010). Computerised tomography, walaupun memiliki keterbatasan, namun memberikan peranan penting pada pasien malaria serebral anak. Percobaan dengan hewan memberikan informasi yang sangat terbatas mengenai pathogenesis malaria, studi dengan autopsy hanya terbatas pada pasien yang telah meninggal, sedangkan kasus malaria serebral dewasa memberikan respon imunologi dan patologi yang berbeda dengab penderita malaria serebral anak. Pada CT-Scan terlihat infark pembuluh darah besar, edema serebral difus melibatkan batang otak, dan edema serebral yang tidak melibatkan batang otak. Teknik neuroimaging yang lebih canggih, seperti magnetic resonance imaging, dengan studi yang terus berkelanjutan diperlukan untuk mempertajam pengetahuan mengenai efek akut dan kronis dari malaria serebral (Potchen 2010).
34
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
Gambar 12. CT-Scan pada pasien dengan retinopati berat 5 hari setelah koma Ket: terlihat gambaran supratentorial subarachnoid spaces disertai dengan atrofi serebral yang difus yang menunjukkan infeksi akut malaria serebral. Adanya ventrikulmegali, termasuk pada ventrikel ke-4 menunjukkan terjadinya hirosefalus(Potchen 2010).
35
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
Gambar 13. Neuroimaging pada pasien anak dengan malaria serebral dan dalam keadaan koma berkepanjangan Ket: terlihat infark kortikal yang terlihat pada region frontal kiri dengan perdarahan kecil pada daerah frontal kiri. Hidrosefalus terlihat dengan pembesaran ventrikel ke-4 yang menunjukkan tipe communicating hydrocephalus(Potchen 2010).
36
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
PENATALAKSANAAN MALARIA BERAT Malaria berat adalah ditemukannya Plasmodium falciparum stadium aseksual dengan minimal satu dari manifestasi klinis atau didapatkan temuan hasil laboratorium (WHO, 2010): 1. Perubahan kesadaran 2. Kelemahan otot (tak bisa duduk/berjalan) 3. Tidak bisa makan dan minum 4. Kejang berulang-lebih dari dua episode dalam 24 jam 5. Distres pernafasan 6. Gagal sirkulasi atau syok: tekanan sistolik <70 mm Hg Pada anak: <50 mmHg 7. Ikterus disertai disfungsi organ vital 8. Hemoglobinuria 9. Perdarahan spontan abnormal 10. Edema paru (radiologi) Gambaran laboratorium: 1. Hipoglikemi (gula darah <40 mg%) 2. Asidosis metabolik (bikarbonat plasma <15 mmol/L). 3. Anemia berat (Hb <5 gr% atau hematokrit <15%) 4. Hiperparasitemia (parasit >2 % per 100.000/μL di daerah endemis rendah atau> 5% per 100.0000/μl di daerah endemis tinggi) 5. Hiperlaktemia (asam laktat >5 mmol/L) 37
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
6. Hemoglobinuria 7. Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >3 mg%)
Penderita malaria berat sebaiknya ditangani di RS Kabupaten. Bila fasilitas maupun tenaga di RS Kabupaten kurang memadai segera rujuk kepada RS Provinsi. Setiap merujuk penderita harus disertakan surat rujukan yang berisi tentang diagnosis, riwayat penyakit, pemeriksaan dan tindakan/pengobatan yang sudah diberikan. Apabila pemeriksaan sediaan darah malaria telah dilakukan maka harus dibawa ke tempat rujukan. Prognosis malaria berat tergantung kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan(Kemenkes 2013).
PENATALAKSANAAN MALARIA SEREBRAL Prinsip penatalaksanaan: Penatalaksanaan malaria serebral sama seperti pada malaria berat umumnya. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan adalah: Perawatan
pasien
dengan
gangguan
kesadaran;deteksi
dini
dan
pengobatan komplikasi berat lainnya; waspadaakan terjadinya infeksi bakteri, terutama pada pasiendengan pemasangan iv-line, intubasi endotrakeal atau katetersaluran kemih dan terhadap kemungkinan terjadinya aspirasipneumonia. Perawatan pasien tidak sadar meliputi: Hal-hal yang perlu dimonitor : 38
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
(1) Tensi, nadi, suhu, dan pernafasan setiap 30 menit (2) Pemeriksaan derajat kesadaran setiap 8 jam (3) Hitung parasit tiap 24 jam (4) Hitung parasit tiap 24 jam (5) Ht dan atau Hb setiap hari, bilirubin dan kreatinin pada hari ke I dan III (6) Gula darah tiap 8 jam (7) Pemeriksaan lain sesuai indikasi (missal ureum, kreatinin dankalium darah pada komplikasi gagal ginjal) Pasang IVFD. Untuk mencegah terjadinya trombophlebitis daninfeksi yang sering terjadi melalui iv-line maka iv-line sebaiknyadiganti setiap 2-3 hari.
PENGOBATAN MALARIA SEREBRAL Pengobatan malaria berat di tingkat Puskesmas dilakukan dengan memberikan artemeter ataupun kina hidroklorida intramuscular sebagai dosis awal sebelum merujuk ke RS rujukan. Apabila rujukan tidak memungkinkan, pengobatan dilanjutkan dengan pemberian dosis lengkap artemeter intra muscular. Pengobatan malaria berat untuk ibu hamil di Puskesmas dilakukan dengan memberikan kina HCl pada trimester 1 secara intra muscular dan artemeter injeksi untuk trimester 2 dan 3. Pengobatan malaria di RS dianjurkan untuk menggunakan artesunat intravena. Pengobatan malaria berat untuk ibu hamil pada trimester 2 dan 3 menggunakan artesunate intravena, sedangkan untuk ibu hamil trimester 1 menggunakan kina parenteral. 39
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
1) Kemasan dan cara pemberian artesunat Artesunate parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik dan pelarut dalam ampul yang berisi 0,6 ml natrium bikarbonat 5%. Untuk membuat larutan artesunat dengan mencampur 60 mg serbuk kering artesunik dengan larutan 0,6 ml natrium bikarbonat 5%. Kemudian ditambah larutan Dextrose 5% sebanyak 3-5 cc. Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgBB per-iv, sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgbb per-iv setiap 24 jam sampai penderita mampu minum obat. Larutan artesunat ini juga bisa diberikan secara intramuskular (i.m) dengan dosis yang sama. Apabila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin atau ACT lainnya selama 3 hari + primakuin. (Kemenkes 2013)
2) Kemasan dan cara pemberian artemeter Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter dalam larutan minyak. Artemeter diberikan dengan dosis 3,2mg/kgBB intramuskular. Selanjutnya artemeter diberikan 1,6 mg/kgBB intramuskular satu kali sehari sampai penderita mampu minum obat. Apabila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisininpiperakuin atau ACT lainnya selama 3 hari + primakuin(Kemenkes 2013).
40
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
3) Obat alternatif malaria berat Kina hidroklorida parenteral
4) Kemasan dan cara pemberian kina parenteral Kina per-infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat pada daerah yang tidak tersedia derivat artemisinin parenteral dan pada ibu hamil trimester pertama. Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina hidroklorida 25%. Satu ampul berisi 500 mg/2 ml(Kemenkes 2013).
UPAYA UNTUK MENINGKATKAN PERBAIKAN NEUROKOGNITIF PADA PENDERITA MALARIA SEREBRAL Neuro-protective dan terapi adjuvan Kerusakan jaringan otak dengan kadar oksigen yang semakin berkurang dapat berevolusi dalam hitungan jam atau hari. Penanganan yang cepat dan tepat dapat mencegah
kerusakan
otak
akibat
malaria
serebral.
Namun
intervensi
neuroprotektif masih belum menunjukkan hasil yang menggembiarakan. Mekanisme patofisiologi yang belum jelas, pilihan terapi oleh pasien, dan pemilihan terapi yang sesuai membuat studi tentang neuroprotektif dan berbagai adjuvant menjadi gagal. Percobaan dengan steroid, immunoglobulin, asam asetil salisilat, heparin, anti TNF, manitol, agen kelasi besi, mikronutrien, dan anti
41
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
kejang profilaksis, namun belum mendapatkan hasil yang memuaskan(Idro, et al. 2010). B5 complex pro-vitamin pantethine Pencegahan kerusakan endotel atau mengembalikan kondisi eriytrosit yang terinfeksi dan meningkatkan laju aliran darah dilakukan dengan pemberian molekul kecil thiol, suatu B5 complex pro-vitamin pantethinedapat mencegah timbulnya malaria serebral. Pantethine akan melindungi jaringan otak dengan melepaskan mikro partikel dari endotel yang akan menjaga sawar darah otak tetap utuh(Idro, et al. 2010)(Mishra and Newton 2009). Glatiramer acetate Glatiramer asetat merupakan an agen imunomodulator yang pada studi di hewan coba menurunkan resiko terjadinya malaria serebral(Idro, et al. 2010). Cytokine erythropoietin Sitokin eritropoetin memiliki efek anti apoptotic, anti inflamasi, vasodilatasi dan proteksi neurotropic. Pada kondisi hipoksia jaringan, sitokin eritropoetin ini akan disintesis secara local dan kemudian melewati sawar darah otak dan akan melindungi endotel dari kerusakan(Idro, et al. 2010). Heparan sulfat Heparan sulfat di sel endotel akan menganggu pengikatan eritrosit ke DBL1 domain alfa dari PfEMP1, hal ini akan mengurangi sekuestrasi parasite(Idro, et al. 2010).
42
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
KESIMPULAN Malaria serebral merupakan komplikasi terberat dari penyakit malaria. Spesies yang dapat menyebabkan malaria serebral adalah P. falciparum. Mekanisme imunopatogenesis dari malaria serebral belum diketahui dengan pasti namun terdapat beberapa teori yang kemungkinan dapat menjelaskan kejadian malaria serebral. Pathogenesis yang umum digunakan adalah terjadinya sekuestrasi atau penyebaran eritrosit yang telah terinfeksi sehingga dapat menyumbat pembuluh darah di otak, hal ini yang menimbulkan gejala klinis berupa penurunan kesadaran, gangguang perilaku, kejang, dan kematian. Diagnosis pasti malaria serebral adalah dengan gejala klinis dan ditemukannya parasite P. falsiparum secara mikroskopis. Pengobatan lini pertama yang diberikan pada malaria serebral adalah artesunate intravena. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah CT scan kepala yang menunjukkan terjadinya infark dan hidrosefalus. Magnetic Resonance Imaging (MRI) yang non invasive dapat digunakan untuk mempelajari struktur, metabolism, biokimia, dan fungsi serebral pada malaria serebral. Kombinasi angiografi dan imaging dapat mendeteksi kejadian obstruksi pembuluh darah oleh sekuestrasi parasite P. falciparum ini. Sirkulasi serebral dapat diukur dengan arterial spin labelingdan MRI fungsional dapat melihat aktivitas neurologis pada saat koma. Malaria serebral dapat menimbulkan sekuele jangka panjang seperti gangguan kognitif, gangguan berbahasa dan berbicara, serta epilepsy.
43
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
RUJUKAN Ade´ la Nacer, Alexandru Movila, Fabien Sohet, Natasha M. Girgis, Uma Mahesh Gundra,. "Experimental Cerebral Malaria Pathogenesis—Hemodynamics at the Blood Brain Barrier." PLOS Pathogens | www.plospathogens.org 10, no. 12 (2014): e1004528e1004528. CDC. "Malaria." Centers of Disease Control and Prevention. 2010. http://www.cdc.gov/dpdx/ (accessed May 8, 2015). CDC. "Malaria: Biology." Centers for Disease Control and Prevention. November 9, 2012. http://www.cdc.gov/malaria/about/biology/ (accessed May 2, 2015). CDC. "Malaria: Diagnosis-Treatment." Centers for Disease Control and Prevention. July 15, 2013. http://www.cdc.gov/malaria/diagnosis_treatment/clinicians1.html (accessed May 2, 2015). CDC. "Malaria: Disease." Centers for Disease Control and Prevention. Feb 8, 2010. http://www.cdc.gov/malaria/about/disease.html (accessed May 2, 2015). Frevert, Uta and Nacer, Adela. "Fatal cerebral malaria: a venous efflux problem." Frontiers in CELLULAR AND INFECTION MICROBIOLOGY, 2014: doi: 10.3389/fcimb.2014.00155. Idro, Richard, Marsh Kevin, C John Chandy, and RJ Newton Charles. "Cerebral Malaria; Mechanisms Of Brain Injury And Strategies For Improved Neuro-Cognitive Outcome." Pediatr Res. 68, no. 4 (2010): 267–274. Kemenkes. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN TATA LAKSANA MALARIA. JAKARTA: KEMENTERIAN KESEHATAN INDONESIA, 2013. Labmedia, International Staff Writers. "Cerebral Malaria Biomarker Quantified." IntBiotechnologies. July 17, 2014. http://www.intbiotechnologies.com/1/post/2014/07/cerebral-malaria-biomarkerquantified.html (accessed May 2, 2015). Lou, Jinning, Ralf Lucas, and Georges E. Grau. "Pathogenesis of Cerebral Malaria: Recent Experimental Data and Possible Applications for Humans." CLINICAL MICROBIOLOGY REVIEWS, 2001: p. 810–820. Mishra, Saroj K, and Charles R. J Newton. "Diagnosis and management of the neurological complications of." Nat Rev Neurol, 2009: 5(4): 189–198. doi:10.1038/nrneurol.2009.23. Moxon, Christoper A et al. "Persistent Endothelial Activation and Inflammation After Plasmodium falciparum Infection in Malawian Children." The Journal of Infectious Diseases, 2014: 610-615. NIAID. "Parasite, Life Cycle of the Malaria Parasite Description: Life Cycle of the Malaria." National Institute of Allergy and Infectious Diseases . 2007. http://www.niaid.nih.gov/topics/malaria/pages/lifecycle.aspx (accessed May 2, 2015).
44
Soraya Rezeki Imunopatogenesis Malaria Serebral
Olupot-Olupot P, Maitland K. "Management of severe malaria: Results from recent trials." Advances in Experimental Medicine and Biology. Advances in Experimental Medicine and Biology 764, no. doi:10.1007/978-1-4614-4726-9_20. ISBN 978-1-4614-4725-2. PMID 23654072. (2013): p.241-50. Potchen, Michael. "Neuroimaging Findings in Children with Retinopathy-Confirmed Cerebral Malaria." Eur J Radiol, 2010: 74(1): 262–268. doi:10.1016/j.ejrad.2009.02.010. Storm, Janet and Craig, G. Alister. "Pathogenesis of cerebralmalaria—inflammation and cytoadherence." CELLULAR AND INFECTION MICROBIOLOGY 4 (2014): 1-8. Vercelotti. "American Society of Hematology." ASH. November 1, 2013. http://www.hematology.org/Thehematologist/Diffusion/1020.aspx (accessed May 2, 2015). Yuri C Martins, MD/PhD and Claudio Tadeu Daniel-Ribeiro, MD, DSc. "A new hypothesis on the manifestation of cerebral malaria: the secret is in the liver." Med Hypotheses, 2014 : p.1-14.
45