STUDI IDENTIFIKASI INDEKS KEKERINGAN HIDROLOGIS PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) (Studi Kasus pada DAS Brantas Hulu : Sub-DAS Upper Brantas, Sub-DAS Amprong dan Sub-DAS Bangosari) 1
Ima Sholikhati1, Donny Harisuseno2, Ery Suhartanto2 Mahasiswa Program Magister Teknik Pengairan Universitas Brawijaya, Malang Jawa Timur. e-mail:
[email protected]. 2 Dosen Fakultas Teknik Jurusan pengairan Universitas Brawijaya
ABSTRAK Kekeringan merupakan salah satu bencana yang ditunjukkan dengan berkurangnya ketersediaan air terhadap kebutuhan. Penanggulangan bencana kekeringan dengan pendekatan non-struktural melalui monitoring kekeringan berupa informasi kekeringan spatial berbentuk peta indeks kekeringan bulanan dan informasi kekeringan temporal pada masing-masing sub-DAS. Lokasi penelitian ini berada di DAS Brantas Hulu yang terdiri dari 3 sub-DAS dengan 12 pos hujan terpilih yang mampu mengirimkan data hujan harian secara kontinu. Analisa kekeringan menggunakan metode Thornthwaite dan Mather (1957) yang berupa indeks yang menginformasikan tingkat kekeringan suatu daerah dengan menggunakan parameter neraca air. Hasil studi menunjukkan indeks kekeringan terbesar terjadi pada tahun 1991, 1994, 1997, 2002 dan 2008 (terjadinya El-Nino) pada bulan Juli sampai Oktober. Indeks kekeringan sebanding dengan menurunnya debit AWLR Gadang pada tahun-tahun tersebut. Kata kunci:
Indeks kekeringan, Thornthwaite, El-Nino, Neraca Air, Perubahan Iklim
ABSTRACT Drought is a natural hazard which is characterized by the scarcity of water. Drought disaster management with non-structural approach through drought monitoring with drought spatial information in monthly drought index map and temporal information for each region in sub-watershed. The location of research is Upstream Brantas River Basin which is divided into 3 (three) sub catchments supplemented with 12 (twelve) selected rainfall stations capable of sending real-time daily rainfall data. The analysis of this drought uses Thornthwaite and Mather’s (1957) method, which is an index to inform the drought rate of a region by using water balance parameter. Result of study indicates that the biggest drought index is found in years of 1991, 1994, 1997, 2002 and 2008 (during the happening of El-Nino) from July to October. This high drought index seems following the decrease of the discharge at Gadang AWLR in those years. Keywords:
Drought Index, Thornthwaite, El-Nino, Water Balance, Climate Change
1. PENDAHULUAN Kekeringan merupakan salah satu jenis bencana alam yang terjadi secara perlahan, berlangsung lama sampai musim hujan tiba, berdampak sangat luas dan bersifat lintas sektoral (ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan, dll). Kejadian kekeringan ini terjadi hampir
seluruh dunia akibat jarangnya air seperti di Gurun Sahara Afrika dan Asia Barat dan adanya musim kemarau yang berkepanjangan akibat penyimpangan iklim seperti El-Nino terjadi pada tahuntahun tertentu di Australia, Amerika, Meksiko, Filipina dan Indonesia (Anonim, 2003).
Masalah kekeringan tidak boleh dilihat sebagai masalah yang ringan, sebab di Indonesia bencana kekeringan merupakan ancaman yang sering menggangu sistem produksi pertanian, khususnya fenomena El-Nino dimana musim kemarau terjadi lebih panjang daripada musim hujan. Sedangkan LaNina merupakan suatu fenomena alam yang terjadi dimana musim penghujan semakin panjang di Indonesia. Langkah rehabilitasi kerusakan akibat dampak kekeringan dan perubahan iklim (reaktif) akan jauh lebih mahal dibandingkan dengan langkah adaptasi dan antisipasi kekeringan (mitigasi). Hal ini disebabkan dampak yang ditimbulkan dari peristiwa El-Nino yakni mempengaruhi beberapa sektor yang menggunakan ketersediaan air di permukaan tanah (pertanian), disungai (Pertanian, air baku), diwaduk (Pertanian, air baku, PLTA) dan air tanah (air baku, pertanian). Sehingga, dimusim kering sering timbul konflik pengguna air dari berbagai sektor. Kekeringan yang terjadi di daerah studi yakni DAS Brantas bagian Hulu, dampaknya memang tidak langsung terlihat, namun seiring semakin menyusutnya jumlah mata air yang ada mengindikasikan daerah tersebut mulai mengalami kekeringan. Hal ini di buktikan dengan kawasan resapan air Wilayah DAS Brantas Hulu banyak yang hilang akibat alih fungsi lahan yang menyebabkan penyusutan jumlah mata air. Investigasi yang dilakukan di daerah Toyomerto-Gunung Arjuno dan Gunung Kawi menunjukkan secara jelas mengecilnya mata air yang ada dan bahkan hilangnya beberapa sumber mata air (Survei Ecoton bersama Intenational Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) EcosystemGrant Programme (EGP) Belanda). (Budi K, 2010). Tingkat kekeringan suatu daerah dapat diketahui dengan menghitung
indeks kekeringannya. Salah satu metode perhitungan indeks kekeringan telah dikemukakan oleh Thornthwaite (1957) dengan prinsip neraca air menggunakan faktor evapotraspirasi sebagai faktor utama. Tujuan dari studi ini adalah: 1. Untuk pemprediksi besarnya potensi daerah rawan kekeringan yang terjadi pada daerah studi. 2. Untuk menggambarkan kondisi dari dampak terjadinya kekeringan. 3. Menjadi pilot project dari analisa potensi kekeringan hidrologi yang ada pada DAS Brantas. 4. Untuk memanfaatkan teknologi GIS dalam menyelesaikan suatu masalah sumber daya air khususnya potensi daerah rawan kekeringan. 2. BAHAN DAN METODE A. Daerah Penelitian Lokasi Studi yang akan digunakan adalah DAS Brantas Bagian Hulu dengan luas ketiga Sub-DAS sebesar 775,04 km2 terdiri dari : - Sub-DAS Amprong = 353,641 km2, - Sub-DAS Bango-Sari = 238,44 km2 - Sub-DAS Upper Brantas = 182,96 km2. Adapun batas wilayah hidrologi DAS Brantas Hulu adalah sebagai berikut : - Sebelah Barat berbatasan dengan SubDAS Konto di Kabupaten Malang - Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Malang - Sebelah Utara berbatasan dengan sub DAS Brangkal dan Sub DAS Sadar Kabupaten Mojokerto dan Pasuruan - Sebelah Selatan berbatasan dengan Sub DAS Metro Kabupaten Malang Lokasi studi berada pada DAS Brantas Hulu yang berfungsi sebagai daerah penyangga dan memiliki potensi pengembangan pembangunan wilayah yang baik. Lokasi DAS Brantas Hulu ini ditunjukkan oleh Gambar 1
Gambar 1. Peta Lokasi Studi Sumber : Hasil Arcview
B. Data Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data-data sekunder yang terdiri atas : 1. Data Curah Hujan Digunakan data curah hujan selama 22 tahun pengamatan (1990-2011) yang diperoleh dari BBWS Brantas. 2. Data klimatologi, meliputi data temperatur udara tahun 1990 – 2012. Data ini diperoleh dari Stasiun Klimatologi Karangploso. 3. Peta Topografi (Skala 1 : 25.000) diperoleh dari BBWS Brantas. 4. Peta Tata Guna Lahan diperoleh dari BBWS Brantas. 5. Peta Kesesuaian Lahan, Peta Batas DAS diperoleh dari BBWS Brantas. 6. Peta Jenis Tanah dan Tekstur Tanah diperoleh dari BBWS Brantas.
7. Data debit pada outlet wilayah studi yakni Pos AWLR Gadang diperoleh dari BBWS Brantas. 8. Peta Batas Daerah Aliran Sungai diperoleh dari BBWS Brantas. C. Kajian Pustaka Prinsip neraca air menggunakan evapotraspirasi potensial memerlukan data hujan, data suhu dan kelengasan tanah sebagai faktor utama. a) Curah Hujan Data curah hujan yang dibutuhkan adalah data-data dari stasiun yang berada di dalam lokasi(Gambar 2). Pemilihan stasiun yang digunakan dalam analisa hidrologi ini berdasarkan atas lokasi stasiun curah hujan tersebut dan ketersediaan data dalam periode yang cukup (lebih dari 20 tahun) dan juga berdasarkan curah hujan tahunan yang sesuai dengan daerah di DAS setempat.
c) Evapotranspirasi Potensial Evapotranspirasi potensial (PE) adalah laju evapotranspirasi yang terjadi dengan anggapan persediaan air dan kelembaban tanah cukup sepanjang waktu, sedangkan evapotranspirasi aktual (EA) adalah evapotranspirasi yang terjadi sesungguhnya sesuai dengan keadaan persediaan air/kelembaban tanah yang tersedia. Nilai EA=PE apabila persediaan air tidak terbatas (Soewarno, 2000).
Gambar 2. Peta Sebaran Pos Hujan Sumber : Hasil Arcview
b) Suhu Udara Variasi suhu di Indonesia lebih dipengaruhi oleh ketinggian tempat (altitude). Suhu maksimum di Indonesia menurun sebesar 0,6°C untuk setiap kenaikan elevasi setinggi 100 meter, sedangkan suhu minimum menurun 0,5°C setiap kenaikan elevasi 100 meter. Tmaks
= 31,3 – 0,006x
(1)
Tmin
= 22,8 – 0,005x
(2)
Dimana: Tmaks = suhu maksimum (C) Tmin = suhu minimum (C) X = ketinggian tempat (m) Tidak semua pos stasiun hujan memiliki data suhu udara. Sehingga perlu melakukan pendugaan suhu dari stasiun terdekat dalam lokasi studi yakni pada Stasiun Klimatologi Karangploso Malang dengan cara mempertimbangkan faktor ketinggian tempat. Untuk penyesuaian ini digunakan cara Mock (1973). t
= 0,006 ( z1 – z2 ) C
(3)
Dimana : t = perbedaan suhu antara stasiun pengukuran dengan stasiun pengukuran yang dianalisa (C) z1 = elevasi stasiun pengukuran (m) z2 = elevasi stasiun hujan analisa (m)
Thornthwaite merupakan metode empiris dengan cara menghitung evapotranspirasi potensial dari data suhu udara rata-rata bulanan, standar bulan 30 hari dan lama penyinarannya 12 jam. Adapun persamaan adalah sebagai berikut :
Dimana : Tm = I = i = PEx =
suhu udara rerata bulanan (C) indeks panas tahunan. indeks panan bulanan Evapotraspirasi potensial yang belum disesuaikan dengan faktor f (mm/bulan)
Evapotranspirasi potensial terkoreksi dikalikan faktor koreksi yang bisa dilihat pada persamaan 8. PE = f x PEX
(4)
Dimana : f = Faktor koreksi (tabel Koefesien penyesuaian hubungan antara jumlah jam dan hari terang berdasarkan lokasi) PE = Nilai Evapotraspirasi potensial (mm/bulan)
d) Air Tersedia Dan Kapasitas Penyimpanan Air (Water Holding Capacity) Pendugaan kapasitas menyimpan air (WHC) dilakukan secara tidak langsung. Cara ini memerlukan Peta Tanah (tekstur tanah) dan Peta Liputan Vegetasi (penggunaan lahan) serta tabel konversi Thornthwaite Mather. Adapun cara pendugaan yang dilakukan dengan : - Membuat peta isohyet pada peta jaringan stasiun hujan. - Dilakukan overlay peta sebaran hujan, peta jenis tanah (tekstur tanah diketahui) dan peta tutupan lahan. - Dilakukan perhitungan luas setiap bentuk penggunaan lahan pada setiap potigon dengan mempertimbangkan perbedaan tekstur tanahnya. - Dengan Tabel Pendugaan Kapasitas Air tersedia berdasarkan kombinasi tipe tanah dan vegetasi, diperoleh nilai air tersedia (mm/m) dan panjang perakaran, maka nilai kapasitas menyimpan air (water holding capacity) didapat. Dengan memanfaatkan sistem informasi geografis (SIG) pendugaan kapasitas menyimpan air (WHC atau STO) dapat dilakukan. D. Metode Tahapan-tahapan perhitungan Indeks kekeringan adalah sebagai berikut : a) Menghitung selisih antara P dan PE tiap bulan - (P – PE) > 0, terjadi surplus curah hujan (periode bulan basah) - (P – PE) < 0, terjadi defisit curah hujan (periode bulan kering)
b) Menghitung jumlah komulatif dari defisit curah hujan (Accumulation Potential Water Loss, APWL) Dengan menjumlahkan angka-angka (P–PE) untuk bulan-bulan yang
mempunyai evapotraspirasi potensial lebih daripada curah hujan ( nilai P – PE) negatif.
Apabila P > PE, seri data ini terputus, APWL = 0 c) Kelengasan Tanah - Pada bulan-bulan basah (P >PE), nilai ST = STO (water holding capacity) - Bulan-bulan basah (P >PE) berakhir digantikan bulan-bulan kering (P
(5)
Dimana: ST = Kandungan lengas tanah dalam daerah perakaran (mm) STO = Kandungan lengas tanah dalam kapasitas lapang (mm) APWL = Jumlah kumulatif dari defisit curah hujan (mm) - Selanjutnya apabila bulan kering berakhir digantikan dengan bulan basah kembali, nilai ST tiap bulan dilakukan dengan menjumlahkan selisih P–PE dengan ST bulan sebelumnya, sehingga suatu saat nilai penjumlah tersebut sama dengan nilai STO (apabila nilai ST melebihi nilai STO) maka nilai ST tetap dituliskan sama besarnya dengan nilai STO). STi = STi-1 + (P – PE)
(6)
ST > STO maka ST = STO
(7)
d) Perubahan Kelengasan Tanah Perubahan lengas tanah (ST) tiap bulan dihitung dengan mengurangkan nilai (ST) pada bulan yang bersangkutan dengan (ST) pada bulan sebelumnya (ST=STi-STi-1), tanda nilai negatif menyebabkan tanah menjadi lebih kering.
Evapotranspirasi Aktual (EA) Besarnya evapotrasipirasi aktual tiap bulan yaitu : - Pada bulan basah P >PE, nilai EA = PE - Pada bulan kering P < PE, nilai EA = P–ST. f)
Perhitungan Defisit (D)
Kekurangan lengas (moisture deficit,D) yang terjadi pada bulan-bulan kering P
PE, diperoleh dari S = (P – PE) – ST. h) Perhitungan Indeks Kekeringan Dari hasil perhitungan neraca air bila diperoleh nilai D (defisit air), kemudian menjadi variabel masukan untuk menghitung Indeks Kekeringan (%) menurut Thornthwaite dihitung dengan rumus :
3. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisa Data Curah Hujan Pola dan variasi curah hujan rerata, maksimum dan minimum bulanan di daerah studi dapat dilihat pada gambar 3 dimana grafik besarnya curah hujan dari waktu kewaktu menggambarkan suatu pola dan siklus tertentu. Kadang terjadi penyimpangan pada pola itu, tetapi biasanya kembali lagi pada pola yang teratur. Fluktuasi ini menghasilkan variasi musiman, yaitu musim kering (kemarau) pada bulan Agustus dan musim basah (penghujan) pada bulan Januari. Pola Curah Hujan Daerah Studi 450 400 350
T inggi Hujan (m m )
e)
300 250 200 150 100 50
0 Jan Rerata 350.1 Maksimum 415.9 Minimum 307.7
Feb 305.6 369.8 267.7
Mar 283.8 356.2 235.7
Apr 199.8 258.0 158.2
Mei 81.2 121.9 58.2
Jun 38.1 50.1 16.3
Jul 19.8 32.3 12.0
Agust 17.1 26.2 6.8
Sep 26.9 36.6 19.1
Okt 83.6 102.4 75.2
Nop 234.2 306.4 192.9
Des 321.8 408.8 271.1
Gambar 3. Pola Curah Hujan Rata-rata Sumber : Hasil Analisa
B. Analisa Spatial Curah Hujan (8)
Dimana : Ia = Indeks Kekeringan (%) D = Kekurangan/defisit air (mm) Indeks kekeringan (%) diperoleh dari hasil analisa keseimbangan air untuk masing-masing stasiun. Nilai indeks kekeringan metode Thornthwaite tiga tingkat kekeringan, yaitu : ringan, sedang, dan berat. Tabel 1 Nilai Indeks Kekeringan menurut Thorthwaite Indeks Kekeringan (Ia) % 0,00 – 16,7 16,7 – 33,3 > 33,3
Tingkat Kekeringan Ringan Sedang Tinggi
Sumber : Iiaco B.V., 1981 Oleh Lasmana, I, 2008
Dalam analisa pola curah hujan dengan metode Mohr membedakan keadaan hujan bulanan menjadi tiga golongan, yaitu bulan basah, bulan kering dan bulan lembab. Bulan basah adalah bulan yang curah hujannya melebihi 100 mm (P100mm), sedangkan bulan kering adalah bulan yang curah hujannya kurang dari 60 mm (P≤60 mm). Antara bulan basah dan bulan kering disebut bulan lembab (60≤P≤100 mm). Hasil analisa spatial curah hujan menurut Mohr pada lokasi studi dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini. Analisa spatial curah hujan dilakukan untuk melihat daerah mana saja yang memiliki potensi kekeringan dengan dilihat dari besar kecilnya nilai curah hujan itu sendiri. Selain itu, analisa ini dilakukan untuk mengetahui besar kecilnya curah hujan tiap titik pos hujan.
Gambar 4. Spatial curah hujan menurut Mohr tiap bulan
Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa curah hujan minimum secara keseluruhan terjadi pada bulan Juni, Juli, Agustus, September dan Oktober. Pos Jabung berada di sub-DAS Amprong memiliki curah hujan tertinggi 171,2 mm/bulan (Desember), sedangkan Pendem berada pada sub-DAS Upper Brantas dengan curah hujan terendah sebesar 0,9 mm/bulan (Juli dan Austus). C. Analisa Neraca Air Kebutuhan air total di lokasi studi tahun 2013 sampai pada akhir tahun proyeksi (tahun 2030), laju pertumbuhan (r)= 0,25% dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Perbandingan selisih kebutuhan dan ketersediaan air Tahun Outflow Selisih 2013 2015 2020 2025 2030
307,112 315,695 342,847 377,914 414,574
85,202 75,619 49,467 14,400 -22,259
Sumber : hasil Analisa Gambar IV.13 GRAFIK KESEIMBANGAN AIR PADA TAHUN 2013 0
40
10
35
20 30
Debit (m3/dtk)
30 25
40 50
20
60
15
70 10
80 5
90 100
0 I
II
III
I
JAN
II
III
I
FEB
II
III
I
MAR
II
III
I
APR
II
III
I
MEI
II
III
I
JUN
II
III
I
JUL
II
III
I
AGUST
II
III
I
SEP
II
III
I
OKT
II
III
I
NOP
II
III
DES
Periode CH Eff
KETERSEDIAAN AIR
KEBUTUHAN AIR
Gambar 5. Grafik Keseimbangan Air Bulanan Tahun 2013 Gambar IV.21 GRAFIK KESEIMBANGAN AIR PADA TAHUN 2030
a) Analisa Tata Guna Lahan Dalam analisa tata guna lahan diperoleh adanya perubahan tata guna lahan tahun 2001 dan 2008 seperti pada tabel 3 berikut ini. Tabel 3 Perubahan Tata Guna Lahan Luas 2001 No
Penggunaan Lahan
Luas 2008 Perubahan
Km 2
(%)
Km2
(%)
1.19
0.15
1.19
0.15
0.00
2 Hutan
188.82
24.41
103.01
13.32
-11.09
3 Kebun
61.68
7.97
101.57
13.13
5.16
4 Padang Rumput/Tanah Kosong
12.19
1.58
16.04
2.07
0.50
5 Pemukiman
84.00
10.86
88.55
11.45
0.59
6 Sawah Irigasi
117.78
15.23
113.67
14.70
-0.53
1 Air Tawar
7 Sawah Tadah Hujan
2.43
0.31
2.36
0.31
-0.01
8 Semak Belukar
96.80
12.51
87.63
11.33
-1.19
9 Tanah Ladang
208.59
26.97
259.46
33.54
6.58
773.47
100.00
773.47
100.00
Jumlah Sumber : Hasil Analisa Arc-View 3.3
Dari tabel 3 di atas, disimpulkan bahwa DAS Brantas Hulu mengalami perubahan tata guna lahan secara signifikan selama kurun waktu 7 tahun, ditunjukkan berkurangnya prosentase hutan sebesar -11,09% dan beralih dengan bertambahnya prosentase kebun dan tanah ladang. b) Analisa Kapasitas Penyimpanan Air (water holding capacity) Berdasarkan peta penggunaan lahan di atas, maka diperoleh nilai kapasitas air tersedia, panjang zona perakaran dan kelembaban. Rekapitulasi nilai STo tahun 2001 dan tahun 2008 dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini. Tabel 4 Nilai kapasitas penyimpanan air di setiap stasiun hujan NO
STASIUN
NILAI STo Tahun 2001
Tahun 2008
Perubahan
0
40
10
35
1
Jabung
215.364
214.831
-0.533
2
Karangploso
150.723
146.939
-3.784
3
Poncokusumo
264.403
263.463
-0.941
4
Tumpang
194.827
194.826
0.000
5
Ngaglik
275.113
265.778
-9.335
6
Ngujung
194.388
192.159
-2.229
7
Pendem
221.981
206.232
-15.749
8
Temas
193.563
193.450
-0.113
9
Tinjumoyo
257.927
254.081
-3.846
10 Kedung Kandang
131.202
131.202
0.000
11 Lowokwaru
171.592
164.018
-7.574
12 Singosari
155.021
154.119
-0.902
20 30
Debit (m3/dtk)
30 25
40 50
20
60
15
70 10
80 5
90 100
0 I
II JAN
III
I
II FEB
III
I
II MAR
III
I
II
III
I
APR
II MEI
III
I
II
III
JUN
I
II
III
JUL
I
II AGUST
III
I
II SEP
III
I
II OKT
III
I
II NOP
III
I
II
III
DES
Periode CH Eff
KETERSEDIAAN AIR
KEBUTUHAN AIR
Gambar 6. Grafik Keseimbangan Air Bulanan Tahun 2030 Dari grafik didapatkan keseimbangan tahun 2013 sebesar 85,202 juta m3/tahun (surplus). Mengalami penurunan pada proyeksi tahun 2030 sebesar -22,259 juta m3/tahun (defisit).
Sumber : Hasil Analisa
Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa nilai kapasitas penyimpanan air mengalami penurunan selama kurun waktu 7 tahun.
Dari grafik di atas diperoleh nilai debit minimum pada tahun 1991, tahun 1997, tahun 2002 dan tahun 2008.
D. Analisa Data Debit Data debit AWLR Gadang yang digunakan dalam studi ini berada pada outlet DAS Brantas hulu. Berikut ini adalah nilai debit minimum pada tahun 1991 – 2011.
Perubahan besarnya ratio antara debit maksimum dan minimum harian pertahun yang diiringi intensitas curah hujan memperlihatkan adanya perubahan karakteristik aliran yang sangat berarti. Sehingga membutuhkan adanya pengamatan pola aliran harian pada pos AWLR Gadang dan 12 pos hujan yang dianggap mewakili zona hulu DAS Brantas seperti pada gambar 8 sampai dengan gambar 11.
DEBIT MINIMUM TAHUNAN (M3/DT) 30 Debit Minimum Bulanan
25
Debit (m3/d t)
20 15 10
7,01 6,00
7,54
7,44
5 0
Gambar 7. Debit minimum AWLR Gadang Sumber : Hasil Analisa
TAHUN 1991 - 1995 200
0
190 180
10
170
Debit Harian (m3/dt)
160
20
150 140
30
130 120
40
110
Curah Hujan Harian
100
Debit Harian
50
90 80
60
70 60
70
50 40
80
30 20
90
10 0
100
1991
1992
1993
1994
1995
Gambar 8. Perbandingan Debit Harian AWLR Gadang dan Intensitas Hujan 12 Pos Hujan pada Tahun 1991-1995 Tahun 1996 - 2000 200
0
190 180
10
170
Debit Harian (m3/dt)
160
20
150 140
30
130 120
40
110
Curah Hujan Harian
100
50
Debit Harian
90 80
60
70 60
70
50 40
80
30 20
90
10 0
100
1996
1997
1998
1999
2000
Gambar 9. Perbandingan Debit Harian AWLR Gadang dan Intensitas Hujan 12 Pos Hujan pada Tahun 1996-2000
TAHUN 2001 - 2005 200
0
190 180
10
170 160
20
150
Debit Harian (m3/dt)
140
30
130
Curah Hujan Harian
120
40
Debit Harian
110 100
50
90 80
60
70 60
70
50 40
80
30 20
90
10 0
100
2001
2002
2004
2003
2005
Gambar 10. Perbandingan Debit Harian AWLR Gadang dan Intensitas Hujan 12 Pos Hujan pada Tahun 2001-2005 TAHUN 2006 - 2011 200
0
190 180
10
170
Debit Harian (m3/dt)
160
20
150 140
30
130 120
Curah Hujan Harian
110
Debit Harian
100
40
50
90 80
60
70 60
70
50 40
80
30 20
90
10 0
100
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 11. Perbandingan Debit Harian AWLR Gadang dan Intensitas Hujan 12 Pos Hujan pada Tahun 2006-2011
Perubahan karakteristik aliran yang terindikasi dari debit maksimum pada saat musim hujan dan debit minimum pada musim kemarau merupakan salah satu indikator yang menunjukkan kekritisan kondisi DAS. Perubahan tersebut dapat dilihat dari data perubahan pola debit rata-rata harian pada pos AWLR yang diiringi dengan fluktuasi hujan yang deras menunjukkan bahwa DAS tersebut mengalami kerusakan akibat perubahan tata guna lahan.
menyimpan air seperti pada tahun sebelumnya, sehingga air langsung mengalir masuk ke sungai.
Pada awal tahun 1991 fluktuasi hidrograf dan intensitas hujan terlihat masih menunjukan bahwa DAS masih dapat menahan atau menyimpan air, sedangkan mulai tahun 2006 intensitas hujan pada DAS sudah tidak dapat
E. Analisa Spatial Indeks Kekeringan Analisa spatial indeks kekeringan tahunan ini bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai kekeringan tahun 1990 – 2011, ditunjukkan seperti gambar 12.
Dari analisa tata guna lahan sebelumnya terlihat perubahan fungsi hutan menjadi tanah ladang dan kebun sebesar 11,09% telah berakibat pada peningkatan intensitas debit maksimum pada tahun 2006 karena hujan pada DAS tersebut dominan tidak tertahan pada hulu DAS yang berupa hutan.
Gambar IV.30 Grafik Indeks Kekeringan Tahunan 55
50
45
TINGGI
Nilai Indeks Kekeringan / Ia (%)
40
Jabung Karangploso
35 Poncokusumo 30
Tumpang Ngaglik
25
SEDANG
Ngunjung Pendem
20
Temas 15
Tinjumoyo Kd. Kandang
10
RINGAN
Lowok Waru
5
Singosari Ia 2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
0
TAHUN
Gambar 12. Grafik Indeks Kekeringan Tahunan a) Analisa Spatial Indeks Kekeringan Tahun 1991 Pada tahun ini terjadi penurunan debit sungai pada bulan Oktober sebesar 7,01 m3/dt. Selain itu pada tahun ini juga mengalami kejadian kekeringan terjadi pada bulan Maret - November mulai dari
tingkat ringan sampai tinggi dan mencapai puncaknya pada bulan Oktober dimana kekeringan maksimum terjadi hampir merata diseluruh wilayah dengan skala indeks kekeringan skala tinggi mencapai 87,7%.
Gambar 12. Spatial Indeks Kekeringan Tahun 1991
b) Analisa Spatial Indeks Kekeringan Tahun 1994 Pada tahun ini terjadi debit minimum sungai pada bulan Oktober sebesar 7,97 m3/dt. Selain itu pada tahun ini juga mengalami kejadian kekeringan terjadi pada bulan April - Desember
mulai dari tingkat ringan sampai tinggi dan mencapai puncaknya pada bulan Oktober dimana kekeringan maksimum terjadi hampir merata diseluruh wilayah dengan skala indeks kekeringan skala tinggi mencapai 90,47 %.
Gambar 13. Spatial Indeks Kekeringan Tahun 1994
c)
Analisa Spatial Indeks Kekeringan Tahun 1997 Pada tahun ini merupakan tahun ElNino dimana debit sungai mengalami penurunan pada bulan Oktober sebesar 6,00 m3/dt. Selain itu pada tahun ini juga mengalami kejadian kekeringan terjadi
pada bulan Maret - Desember mulai dari tingkat ringan sampai tinggi dan mencapai puncaknya pada bulan September dimana kekeringan maksimum terjadi hampir merata diseluruh wilayah dengan skala indeks kekeringan skala tinggi mencapai 83,52%
Gambar 14. Spatial Indeks Kekeringan Tahun 1997
d) Analisa Spatial Indeks Kekeringan Tahun 2002 Pada tahun ini terjadi penurunan debit sungai pada Mei sebesar 7,44 m3/dt. Selain itu pada tahun ini juga mengalami kejadian kekeringan terjadi pada bulan Maret - November mulai dari tingkat ringan sampai tinggi dan mencapai 15. Spatial Indeks Keker
puncaknya pada bulan Oktober dimana kekeringan maksimum terjadi hampir merata diseluruh wilayah dengan skala indeks kekeringan skala tinggi mencapai 89,585% Gambar .
e)
Analisa Spatial Indeks Kekeringan Tahun 2008
Pada tahun ini terjadi penurunan debit sungai pada bulan September sebesar 7,54 m3/dt. Selain itu pada tahun ini juga mengalami kejadian kekeringan terjadi pada bulan Januari - November
mulai dari tingkat ringan sampai tinggi dan mencapai puncaknya pada bulan September dimana kekeringan maksimum terjadi hampir merata diseluruh wilayah dengan skala indeks kekeringan skala tinggi mencapai 76,223% . .
Gambar 16. Spatial Indeks Kekeringan Tahun 2008
F. Analisa Variabilitas Iklim Analisa perubahan iklim yang terjadi pada wilayah studi dapat ditunjukkan pada hal-hal sebagai berikut.
Tren indeks kekeringan yang terjadi dilokasi studi seperti pada gambar 19 berikut ini. Nilai Indeks Kekeringan Tahun 1990 - 2011 100
a) Tren Perubahan Suhu
90
y = -0,315x + 701,4 80
SUHU (C)
SUHU RERATA BULANAN TAHUN 1990-2012
70 60
25,0
50
24,5
40 30
24,0
y = 0,023x - 22,68
23,5
y = 0,000x5 - 8,942x 4 + 35789x3 - 7E+07x2 + 7E+10x - 3E+13
y = -0,228x + 479,8
20
y = 9E-05x6 - 1,051x5 + 5257,x4 - 1E+07x3 + 2E+10x 2 - 2E+13x + 6E+15
10 0
23,0 22,5
Nilai Ia Maks
TAHUN
Nilai Ia Rerata
Gambar 18 Tren Indeks Kekeringan
Gambar 17. Tren perubahan suhu
Sumber : Hasil Analisa
Sumber : Hasil Analisa
Dari kedua garis polinomial diketahui : - puncak kejadian kekeringan terjadi pada tahun 1994 dan 2005 dengan rentan waktu selama 11 tahun, sehingga kejadian puncak kekeringan akan terjadi lagi pada tahun 2016. - Tahun basah terjadi pada tahun 1998 dan 2010 dengan rentan waktu selama 12 tahun, sehingga tahun basah akan terjadi lagi pada tahun 2022.
Dari analisa suhu selama 23 tahun pada grafik diatas, terlihat bahwa suhu mulai dari tahun 1990 – 2012 mengalami kenaikan sebesar 0,023 per tahun. Hal ini menunjukkan adanya pemanasan global pada wilayah studi. b) Analisa Tren Kekeringan Tren kekeringan merupakan suatu analisa yang menunjukkan variasi kejadian kekeringan yang terjadi selama kurung waktu tertentu dan bisa digunakan sebagai prediksi kejadian kekeringan selama 5 tahun kedepan.
G. Sistem Pengelolaan Kekeringan Sistem pengelolaan kekeringan merupakan suatu pendekatan dengan
konsep keseimbangan antara suplai sumber daya air dan kebutuhan air serta antisipasi atau menghindari ancaman dari dampak kekeringan. Pengelolaan masalah kekeringan harus menetapkan taraf resiko kegagalan dari suplai air berupa resiko kekurangan air dan keamanan suplai air seperti pada gambar 19.
Gambar 21 Contoh Teras Bangku Sumber : Petunjuk Teknis Konservasi Tanah
c)
Gambar 19 Kaitan Pengelolaan Kekeringan dengan Aspek Lainnya (R.J.Kodoatie et.all, 2010)
H. Arahan Tata Ruang Wilayah a) Konservasi Vegetatif Salah satu konservasi vegetatif yang sesuai di lokasi studi adalah Jenis Agroforestry. Agroforestry dikenal dengan istilah wanatani atau Agroforestry adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Agroforestry dapat terbagi menjadi dua sistem, yaitu sistem Agroforestry sederhana dan sistem Agroforestry kompleks.
Konservasi Air Teknologi konservasi air adalah upaya untuk mengatur penyediaan air khususnya pada saat musim kemarau (kekurangan air), meningkatkan volume air tanah juga memperbesar daya simpan air. Beberapa bangunan konservasi air yang murah dan mudah untuk mengatur ketersedian air sepanjang tahun adalah Embung/Dam ataupun Danau buatan. Dari analisa indeks kekeringan nilai terbesar terjadi pada stasiun hujan Karangploso (10 kali), Kedung Kandang (8 kali) dan Singosari (5 kali) selama kurun waktu 22 tahun. Sehingga perlu adanya bangunan embung pada wilayah ketiga stasiun hujan tersebut. Dengan mempertimbangkan adanya alur sungai dan jauh dari pemukiman penduduk. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 20 Sistem Agroforestry yang banyak dikembangkan b) Konservasi Mekanik Bentuk konservasi mekanik yang bisa diterapkan pada lahan kemiringan 10%-60% adalah Sistem teras bangku seperti pada gambar 21.
Penempatan Embung/ Danau Buatan
Gambar 22 Peta Arahan Penempatan Titik Embung dan Danau Buatan
Dari peta di atas, dapat diketahui rencana penempatan embung dan danau buatan sebagai berikut : - 1 Embung di Karangploso - 3 Embung di Singosari - 1 Danau Buatan di Kedung Kandang 4. PENUTUP Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: a) Besaran Indeks kekeringan Besaran indeks kekeringan rata-rata (Ia) dihitung dengan menggunakan metode Thornthwaite menunjukkan periode bulan basah pada bulan November – April (Ia = 0,043–6,492). Nilai indeks kekeringan mulai meningkat pada bulan Mei (Ia=10,715). Pada periode bulan Juni – Oktober defisit air mulai meningkat dari klasifikasi ringan sampai tinggi. Puncak kekeringan terjadi pada bulan September dengan nilai indeks kekeringan mencapai (Ia=66,876). Trend Indeks kekeringan Kejadian El-Nino (Tahun kering) terjadi tahun 1991, 1997, 2002 dan 2008 dengan rata-rata kejadian kekeringan tingkat tinggi selama 5 bulan dalam setahun. Trend kekeringan terjadi pada lokasi studi dengan rentan waktu 6 – 5 – 6 tahun. Sehingga tahun kering diprediksi akan terjadi lagi pada tahun 2014. Tahun basah (La Nina) terjadi pada tahun 1998 dan 2010 dengan rentan waktu selama 12 tahun, sehingga tahun basah diprediksi akan terjadi lagi pada tahun 2022. b) Selisih Kebutuhan dan Ketersediaan Air Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa ketersediaan air total tahun 2013 sebesar 392,314 juta m3/tahun nilai ini dianggap tetap selama proyeksi, sedangkan kebutuhan air total tahun 2013 sebesar 307,11 juta m3/tahun dan meningkat menjadi 414,57 juta m3/tahun (tahun 2030) dengan laju pertumbuhan (r) mencapai 0,25%.
c) Hubungan kondisi tata guna lahan, Indeks Kekeringan dan ketersediaan debit Berdasarkan analisa tata guna lahan tahun 2001 dan 2008 terdapat perubahan kondisi hutan sebesar -11,09% berubah menjadi kebun dan tanah ladang. Sehingga mengalami penurunan nilai STo, terutama pada stasiun hujan Pendem sebesar -15,7491 yang berakibat meningkatnya nilai Indeks Kekeringan dan ditandai dengan penurunan jumlah debit yang ada. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Permasalahan Kekeringan dan Cara Mengatasinya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air. Bandung. Budi K. 2010. Mata Air Brantas Menyusut Drastis. http://entertainment.kompas.com/read/2010/03/22/2118 4259/Mata.Air.Brantas.Menyusut.Dras tis Tanggal akses 02 Maret 2013 jam 15.15 WIB Calvo, J.C. 1986. An Evalution of Thornthwaite’s water balance technique in predecting stream ruoff in Costa Rica. J. Hydrological Sci. 31:51-60. Kodoatie, R.J dan Sjarief R. 2010. Tata Ruang Air. Andi. Yogyakarta Lasmana, I. 2008. Analisis Kekeringan di Kabupaten Kupang dengan Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Tesis. Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Malang. Soewarno. 2000. Hidrologi : Aplikasi Metode Statistik Untuk Analisa Data Jilid 2. Bandung: Nova. Soemarto, CD. 1987. Hidrologi Teknik. Usaha Nasional. Surabaya.