Fibusi (JoF), Vol. 3 No. 1 April 2015
ANALISIS SPASIAL KETERSEDIAAN AIR TANAH DI WILAYAH BANDUNG DENGAN MENGGUNAKAN METODE NERACA AIR
THORNTHWAITE-MATTER Annisa Tsamrotul Fu'adah1, Mimin Iryanti2*, Muhammad Iid Mujtahiddin2* 1,2Jurusan
Pendidikan Fisika, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan AlamUniversitas Pendidikan Indonesia (UPI), Jl. Dr. Setiabudhi 229, Bandung 40154, Indonesia
3Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika β BMKG Stasiun Geofisika Klas I Jl. Cemara No. 66 - Bandung (40161) Telp. (022) 2031881, Fax. (022) 2036212.
[email protected],
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Air merupakan sumber daya vital dalam menunjang pembangunan ekonomi seperti sektor industri, pertanian, pariwisata dan lain-lain. Laju perkembangan di wilayah Bandung yang pesat pada setiap sektor kehidupan menyebabkan permintaan air bersih terus meningkat dan kebutuhan air bersih tersebut sebagian besar masih menggantungkan kepada sumberdaya air tanah yang diperkirakan sekitar 60%. Salah satu sumber air yang sering digunakan yaitu air tanah. Saat ini Bandung termasuk ke dalam wilayah zona merah air tanah. Dengan fakta tersebut perlu dilakukan tindakan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi seperti kekurangan air. Untuk itu, perlu diketahui kondisi ketersediaan air tanah berdasarkan dinamika neraca air dalam tanah salah satunya dengan metode Thronthwaite-Matter berdasarkan data curah hujan dan temperatur selama 10 tahun (tahun 2000-2009) dari 12 titik stasiun pengamatan yang dapat mewakili wilayah Bandung dan digambarkan dengan analisis spasial menggunakan ArcView 3.2 berupa peta spasial. Analisis spasial curah hujan memperlihatkan bahwa wilayah Bandung mengalami musim kemarau di bulan Juni-September dengan nilai curah hujan <150 mm/bulan. Dan analisis spasial ketersediaan air tanah memperlihatkan bahwa wilayah Bandung mengalami defisit air tanah pada bulan Juni-September. Pada bulan Juni-September ini dapat dikatakan bahwa bandung mengalami musim kemarau sesuai dengan analisis spasial curah hujan yang di dapat dengan bulan September sebagai puncak musim kemarau. Namun di stasiun Cibuni tidak mengalami penurunan ketersediaan air tanah atau tidak mengalami defisit karena nilai curah hujan di Cibuni yang tinggi dan nilai evapotranspirasi potensial (PE) yang hampir sama dengan nilai evapotranspirasi aktual (EA). Kata Kunci: Ketersediaan air tanah, Metode Thronthwaite-Matter, Analisis spasial.
ABSTRACT
Water is a vital resource to supporting economic development such as industry, agriculture, tourism and others. The pace of development in Bandung rapid in all sectors of life it cause to increasing demand for clean of water and the need for clean *Penanggung Jawab
Annisa Tsamrotul Fu'adah, dkk, Analisis Spasial Ketersediaan Air Tanah di Wilayah Bandung dengan Menggunakan Metode NeracaAir Thornthwaite-Matter of water is still largely dependent on groundwater resources are estimated to be around 60%. One source of water that is often used is groundwater. Currently Bandung included in the red zone area groundwater. With these facts should be taken to anticipate the possibility that there will be such a shortage of water. For that, need to condition of the soil water availability is based on the dynamics of the water balance with used Thronthwaite -Matter method based on temperature and rainfall data for 10 years (2000-2009) of the 12 points observation stations that can represent the area of Bandung and illustrated with spatial analysis using ArcView 3.2 in Spatial map form. Spatial analysis of rainfall shows that the area of Bandung have dry season in months from June-September with rainfall <150 mm / month. And spatial analysis showed that soil water availability the area of Bandung groundwater deficit in JuneSeptember. At June-September it can be said that the area of Bandung have dry season according to the spatial analysis of precipitation in September as the peak of dry season. But in Cibuni station does not degrade groundwater availability or not facing a deficit because value of rainfall in Cibuni is high and the value of potential evapotranspiration (PE) which is almost equal to the value of actual evapotranspiration (EA). Keywords: soil water availability, Thronthwaite-Matter method, spatial analysis.
Fibusi (JoF), Vol. 3 No. 1 April 2015
Air tanah sebagai salah satu sumber air bersih yang banyak digunakan oleh masyarakat termasuk di wilayah Bandung yang dikenal sebagai kota yang subur dengan kondisi alam yang baik. Dengan keadaan demikian seharusnya Bandung tidak kekurangan air tanah, namun karena adanya pertumbuhan penduduk dan semakin majunya masyarakat menyebabkan kebutuhan air semakin banyak sehingga berdampak pada semakin menurunnya kondisi air tanah di wilayah Bandung bahkan sekarang wilayah Bandung termasuk ke dalam zona merah air tanah (Subekti, 2013). Laju perkembangan kota Bandung yang pesat pada setiap sektor kehidupan menyebabkan permintaan air bersih terus meningkat dan kebutuhan air bersih tersebut sebagian besar masih menggantungkan kepada sumber daya air tanah yang diperkirakan sekitar 60%. Pengambilan atau pemanfaatan air tanah baik yang terdaftar ataupun tidak terus berlangsung sehingga menimbulkan dampak terhadap penurunan muka air tanah dari tahun ke tahun yang cenderung terus menurun di beberapa daerah di Bandung, dengan penurunan muka air tanah berkisar antara 0,12 m hingga 14,4 m/tahun (Arief dkk., 2006). Dengan fakta tersebut perlu dilakukan tindakan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi seperti kekurangan air. Kuantitas dan ketersediaan air dalam tanah diketahui berdasarkan dinamika neraca air dalam tanah salah satunya dengan metode Thronthwaite Matter yang ditampilkan dalam bentuk peta spasial dengan menggunakan analisis spasial pada software Arc View 3.2. Hasil dari analisis neraca air tersebut dapat digunakan sebagai informasi tentang awal penggunaan air tanah untuk proses evapotranspirasi, kapan terjadi surplus (kelebihan) air tanah dan waktu terjadi defisit (kekurangan) air tanah. METODE
Data yang digunakan yaitu data historis curah hujan bulanan dan suhu dari 12 titik stasiun pengamatan selama 10 tahun (2000-2009) yang mewakili wilayah Bandung seperti pada Tabel 1.
Gambar 1. Peta stasiun curah hujan wilayah Bandung . Tabel 1. Daftar Stasiun Curah Hujan beserta koordinat dan elevasi (sumber: BMKG Cemara Bandung) Stasiun
Lintang
Bujur
Cemara Cileunyi Telaga bodas Soreang Padalarang Dago Lembang Husein Rajamandala Cibeureum Kertamanah Cibuni
-6.88 -6.93 -6.92 -7.02 -6.85 -6.87 -6.81 -6.90 -6.82 -7.20 -7.20 -7.17
107.58 107.71 107.62 107.52 107.48 107.65 107.62 107.57 107.32 107.66 107.60 107.40
Elevasi (m) 791 686 696 730 685 818 1241 740 350 738 1371 1260
Data-data tersebut diolah sehingga didapat grafik neraca air yang dapat menjelaskan ketersediaan air tanah di wilayah Bandung dengan menggunakan metode Thornthwaite-Matter. Langkahlangkah perhitungan neraca air dengan menggunakan metode ThornthwaiteMatter antara lain: β’ Data Curah Hujan rata-rata bulanan (P) Data curah hujan yang digunakan adalah data historis bulanan selama 10 tahun dari 12 titik stasiun pengamatan yang mewakili wilayah Bandung.
β’
Data Suhu udara rata-rata bulanan (T) Stasiun yang tidak memiliki data suhu udara dilakukan pendugaan suhu udara dengan menggunakan metode Mock dengan stasiun acuan yaitu Stasiun Geofisika Cemara Bandung, data suhu udara yang diambil adalah data suhu udara bulanan historis selama 10 tahun. Rumus pendugaan suhu udara dengan metode Mock yaitu: π2 = 0.006(π1 β π2 ) + π1 (1) dimana: βT = selisih temperatur udara antara stasiun pengukuran dan stasiun acuan (oC) Z1 = elevasi stasiun acuan (m) Z2 = elevasi stasiun pengukuran (m) T1 = suhu stasiun acuan (oC) T2 = suhu stasiun yang dicari (oC) β’ Evapotranspirasi potensial (PE) Nilai PE (evapotranspirasi potensial bulanan) ini didapat dengan menggunakan metode ThornthwaiteMatter melalui persamaan: π 1.514 π=οΏ½ οΏ½ 5 ππ = π. πππ dengan, πππ = 16 οΏ½
10π π πΌ
οΏ½
(2)
dimana: o Pex= evapotranspirasi potensial belum terkoreksi (mm/bulan) o f = faktor koreksi lintang dan waktu o T = suhu udara (oC) o I = jumlah indeks panas dalam setahun o a = indeks panas dengan, π = (0.675. 10β6 . πΌ 3 )(0.77. 10β4 . πΌ 2 ) + 0.01792. πΌ + 0.49239 β’ Accumulated Potential Water Loss (APWL) atau jumlah kumulatif defisit curah hujan ο Pada bulan-bulan kering atau nilai P < PE dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai selisih P-PE setiap bulannya dengan nilai P-PE
bulan sebelumnya dengan kontinu atau berkelanjutan dari hasil sebelumnya. ο Pada bulan-bulan basah atau nilai P>PE, maka nilai APWL sama dengan nol. β’ Kadar Air Tanah (KAT) Nilai KAT dimana terjadi APWL didapat dengan rumus: πΎπΎπΎ = πππ + οΏ½[1.00041 β (1.07381/π΄π΄)]|π΄π΄π΄π΄| Γ π΄π΄οΏ½ (3) Dimana, TLP = titik layu permanen; KL = kapasitas lapang; AT = air tersedia. Dengan asumsi tekstur tanah di wilayah Bandung yaitu lempung berpasir halus sehingga nilai KL = 250 mm, air tersedia=150mm (dilihat dari tabel WHC) dan TLP = 100 mm. Nilai TLP didapat dari persamaan: πΎπΎ β πππ = π΄π΄ ππππ ππΏπ = πΎπΎ β π΄π΄ β’ Perubahan Kadar Air Tanah (dKAT) Nilai dKAT bulan tersebut adalah KAT bulan tersebut dikurangi KAT bulan sebelumnya. Nilai positif menyatakan perubahan kandungan air tanah yang berlangsung pada P>PE (musim hujan), penambahan berhenti bila dKAT = 0 setelah KL tercapai. Sebaliknya bila P
PE maka EA=PE karena EA mencapai maksimum ο Bila PPE sehingga:
Fibusi (JoF), Vol. 3 No. 1 April 2015
π = π β ππ β ππππ (5) yang berlangsung pada musim hujan. Kemudain dubuat grafik neraca air yang terdiri dari data curah hujan (P), evapotranspirasi potensial (PE), dan evapotranspirasi aktual (EA). Dari informasi curah hujan dan neraca air yang didapat dibuat peta spasial dengan analisis spasial menggunakan ArcView 3.2 untuk mengetahui kondisi sebaran curah hujan dan ketersediaan air di wilayah Bandung. Metode yang digunakan dalam Arc View 3.2 untuk mengetahui kondisi ketersediaan air tanah yaitu dengan metode IDW (Inverse Distance Weighted) yang mengasumsikan bahwa tiap titik input mempunyai pengaruh yang bersifat local yang berkurang terhadap jarak. Data yang digunakan dalam pembuatan peta spasial ini diantaranya adalah peta wilayah Bandung, data informasi koordinat, elevasi (ketinggian), curah hujan (untuk peta spasial curah hujan), dan nilai persentase ketersediaan air tanah (untuk peta spasial ketersediaan air tanah) di setiap bulan pada setiap titik pengamatan dengan rumus: %πΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎ πππ π‘π‘π‘π‘β πΎπΎπΎ β πππ = Γ 100% πΎπΎ β πππ Yang dikategorikan ke dalam 3 bagian yaitu ketersediaan air tanah dikatakan : β’ Kurang, jika nilai persentase <40% (warna merah) β’ Sedang, jika nilai pesentase antara 40%-60% (warna orange) β’ Cukup, jika nilai persentase >60% (warna hijau) Peta wilayah Bandung yang digunakan yaitu peta Jawa Barat dalam bentuk shapefile. Semua hasil pembuatan peta curah hujan dan ketersediaan air setiap bulan diexport ke dalam format JPEG. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Curah Hujan Rata-rata curah hujan dari 12 titik stasiun pengamatan selama 10 tahun di wilayah
Bandung termasuk ke dalam pola hujan monsunal seperti terlihat pada Gambar 2. Terlihat jelas antara waktu musim hujan dan musim kemarau. Curah hujan maksimum terjadi pada bulan Nopember dan curah hujan minimum terjadi pada bulan Agustus.
Gambar 2. Grafik curah hujan rata-rata bulanan dari 12 titik stasiun pengamatan selama periode tahun 2000-2009. Hasil analisis spasial curah hujan dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 3. Peta spasial Curah hujan bulan Mei
Gambar 4. Peta spasial Curah hujan bulan Agustus
Gambar 5. Peta spasial Curah hujan bulan September
Gambar 6. Peta spasial Curah hujan bulan Oktober
Dari gambar 3, 4, 5 dan 6 terlihat bahwa wilayah BAndung mulai memasuki musim kemarau pada bulan Mei. Pada bulan Juni-September seluruh wilayah Bandung berwarna merah dan pink yang menandakan bahwa pada bulan ini wilayah Bandung sedang mengalami musim kemarau. Pada bulan Agustus merupakan puncak musim kemarau dan kembali normal ketika memasuki bulan Oktober. Curah hujan rata-rata tertinggi di wilayah Bandung berkisar antara 220-540 mm/ bulan dan terendah yaitu 10-50 mm/bulan. Di bulan selain JuniSeptember dapat dikatakan bahwa pada saat itu wilayah bandung sedang mengalami musim hujan dengan puncaknya yaitu pada bulan Nopember. Curah hujan minimum terjadi pada bulan Agustus. 2. Neraca Air Analisis neraca air menghasilkan informasi waktu surplus dan defisit dari setiap titik stasiun serta pemakaian air tanah.
Gambar 7. Grafik neraca air Cileunyi
Gambar 8. Grafik neraca air Dago
Gambar 9. Grafik neraca air Padalarang
Gambar 10. Grafik neraca air Cibuni Bandung mengalami defisit air pada bulan Juni sampai September. Dari grafik neraca air di atas juga ditemukan bahwa wilayah memiliki defisit paling besar yaitu stasiun Cileunyi, Dago, dan Padalarang (Gambar 7, 8, dan 9) yang disebabkan oleh nila curah hujan yang nilainya jauh lebih kecil dari evapotranspirasi potensial (PE) dan nilai evapotranspirasi aktual (EA) jauh lebih kecil dari evapotranspirasi potensial (PE). Sedangkat defisit paling kecil terjadi di stasiun Cibuni (Gambar 10). Hal ini terjadi karena Cibuni elevasi yang tinggi dan curah hujan yang tinggi. Analisis spasial ketersediaan air tanah dengan membuat peta spasial menggunakan Arc View 3.2 diperoleh hasil bahwa ketika memasuki bulan Juli (Gambar 11 (a)), wilayah Cileunyi, Dago, dan Padalarang mengalami penurunan ketersediaan air tanah ditunjukkan dengan warna orange yang berarti bahwa di wilayah tersebut jumlah ketersediaan air tanah terbilang sedang. Pada bulan Agustus (Gambar 11 (b)) wilayah Cileunyi, Dago, dan Padalarang berbeda dengan bulan sebelumnya, wilayah ini menunjukan jumlah ketersediaan air tanahnya semakin berkurang. Wilayah yang berwarna hijau yaitu Cibuni yang memperlihatkan bahwa wilayah ini masih memiliki nilai ketersediaan air tanah yang cukup, sedangkan wilayah lainnya ditunjukkan dengan warna orange yang berarti bahwa wilayah tersebut memiliki ketersediaan air tanah dari kategori cukup menjadi sedang.
Fibusi (JoF), Vol. 3 No. 1 April 2015
Pada bulan September (Gambar 11 (c)) menunjukkan bahwa lebih dari setengah wilayah Bandung memiliki nilai persentase ketersediaan air tanah yang kurang yang ditunjukkan oleh warna merah dan wilayah ini didominasi oleh wilayah yang memiliki nilai elevasi yang rendah dan memiliki nilai curah hujan yang rendah pula. Hanya wilayah Cibuni yang masih memiliki nilai persentase ketersediaan air tanah yang cukup. Pada bulan Oktober (Gambar 11 (d)) terjadi peningkatan yang signifikan kembali. Pada bulan ini kondisi ketersediaan air tanah mulai kembali normal kecuali wilayah Dago dan Padalarang serta wilayah sekitarnya masih berwarna merah dan orange.
(a)
(b)
(c)
(d) Gambar 11. Peta spasial ketersediaan air tanah Bandung (a) bulan Juli, (b) bulan Agustus, (c) bulan September, dan (d) bulan Oktober . Berdasarkan grafik neraca air dan hasil dari analisis spasial yang digambarkan melalui peta sebaran ketersediaan air tanah pada semua stasiun nilai evapotranspirasi aktual (EA) ratarata kurang dari nilai evapotranspirasi potensial (PE) dengan nilai defisit tertinggi rata-rata terjadi di bulan September, namun di stasiun Cibuni nilai PE hampir sama dengan nilai EA sehingga didapat nilai defisit yang sangat kecil bahkan hampir tidak terjadi defisit. Nilai elevasi Cibuni ke dua terendah setelah Kertamanah diantara wilayah lain tetapi nilai curah hujannya lebih tinggi dari Kertamanah memberikan indikasi penyebab dari nilai defisit yang sangat kecil. Hal ini juga diperlihatkan oleh peta sebaran ketersediaan air tanah yang memperlihatkan bahwa wilayah Cibuni tiap bulannya tetap berwarna hijau yang menunjukkan bahwa wilayah ini tidak mengalami penurunan ketersediaan air tanah dengan nilai ketersediaan air tanah 76 % pada bulan September. Sedangkan bulan sisanya yaitu pada bulan Januari-Mei dan NopemberDesember seluruh wilayah berwarna hijau yang menjelaskan bahwa ketersediaan air tanah di wilayah Bandung pada saat bulan tersebut cukup atau mengalami surplus. Nilai elevasi yang sangat tinggi memperlihatkan nilai temperatur yang rendah dan tekanan semakin kecil. Jika suatu wilayah
memiliki nilai elevasi yang tinggi dengan nilai curah hujan yang tinggi maka dapat dipastikan bahwa wilayah tersebut memiliki nilai ketersediaan air tanah yang cukup dan nilai defisitnya sangat kecil. Sedangkan wilayah yang memiliki nilai elevasi yang rendah dengan curah hujan yang kecil mengalami defisit yang besar sehingga persentase ketersediaan air tanahnya juga kecil. Hasil yang diperoleh sesuai dengan analisis curah hujan di atas yang menjelaskan bahwa pada bulan Juniβ September wilayah Bandung sedang mengalami musim kemarau yang berdampak pada ketersediaan air di wilayah Bandung yang mengalami defisit air tanah dengan puncaknya di bulan September. Dari grafik neraca air juga bisa diketahui berapa banyak pemakaian air tanah di wilayah Bandung. Adanya pemakaian air tanah terjadi ketika nilai evapotranspirasi potensial (PE) lebih besar dari nilai evapotranspirasi aktual (EA). Pada 12 titik stasiun pengamatan di wilayah Bandung nilai EA lebih kecil dari pada nilai PE maka dapat disimpulkan bahwa ada pemakaian air tanah di wilayah Bandung selama musim kemarau. Adanya defisit air di wilayah Bandung disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah kurangnya daerah resapan air karena semakin berkurangnya tumbuhan dan semakin banyaknya jalan yang diaspal ditambah dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah sehingga kebutuhan akan air pun bertambah. KESIMPULAN Secara umum wilayah Bandung memiliki pola hujan monsunal. Setelah dilakukan analisis spasial curah hujan dengan menggunakan Arc View 3.2 terlihat bahwa wilayah Bandung mengalami musim kemarau di bulan Juni-September dengan nilai curah hujan <150 mm/bulan dan bulan Januari-April
memiliki curah hujan yang sangat tinggi dengan nilai curah hujan ekstrim >400 mm/bulan di wilayah Cibuni dan sekitarnya. Berdasarkan grafik neraca air dan analisis spasial ketersediaan air tanah diketahui bahwa wilayah Bandung mengalami defisit air tanah pada bulan Juni-September. Pada bulan JuniSeptember ini dapat dikatakan bahwa Bandung mengalami musim kemarau sesuai dengan analisis spasial curah hujan yang diperoleh dengan bulan September sebagai puncak musim kemarau. Namun di stasiun Cibuni terlihat bahwa tiap bulannya tidak mengalami penurunan ketersediaan air tanah atau tidak mengalami defisit. Hal ini didukung dengan hasil grafik neraca air yang memperlihatkan nilai curah hujan di Cibuni yang tinggi dan nilai evapotranspirasi potensial (PE) yang hampir sama dengan nilai evapotranspirasi aktual (EA). Wilayah yang memiliki nilai elevasi yang tinggi memiliki temperatur yang rendah, namun nilai ketersediaan air tanahnya akan tinggi jika nilai curah hujannya tinggi. DAFTAR PUSTAKA Anggraeni, V. H. (2008). Proyeksi Neraca Air sebagai Implikasi Perubahan Iklim Global.(Tugas Akhir). Program Studi Meteorologi, FITB, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Herdian, A. (2012). Analisis Spasial Indeks Kekeringan ThronthwaiteMatter di Wilayah Garut Jawa Barat. (Tugas Akhir). Program Studi Meteorologi, FITB, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Hermawan, E. (2010). Pengelompokan Pola Curah Hujan yang Terjadi di Beberapa Kawasan P. Sumatra Berbasis Hasil Analisis Teknik Spektral. Jurnal Meteorologi dan
Fibusi (JoF), Vol. 3 No. 1 April 2015
Geofisika Volume 11 Nomor 2 Tahun 2010: 75-84 Manik, T. K dkk. (2012).Evaluasi Metode Penman-Monteith dalam Menduga Laju Evapotranspirasi Standar (ET 0 ) di Dataran Rendah Provinsi Lampung, Indonesia. Jurnal Keteknikan Pertanian : Vol. 26, No. 2. Nasution, Ch., dan Syaifullah, D. (2005). Analisis Spasial Indeks Kekeringan Daerah Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat. JAI Vol 1 No. 2 2005, UPTHB-BPPT. Purwantoro, A. (1990). Studi Water Balance (Neraca Air) Sub DAS ikapundung Bagian Hulu Periode 1980-1983. (Tugas Akhir). Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Riyazi, D. A. (2004). Analisis Neraca Air uuntuk Antisipasi Kekurangan Air pada Lahan Perkebunan Teh. (Tugas Akhir). Program Studi Meteorologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Subekti, E. (2013). Bandung Masuk Zona Merah Air Tanah [Online]. Diakses dari www.fitb.itb.ac,id/berita/institusi/ 09110431/29/11/2013/955/Bandung-Masuk-Zona-Merah-Air βTanah [20 Juni 2014] Sumawijaya, N. (2012). Imbuhan Buatan : Solusi untuk Mengatasi Masalah Kekurangan Air Tanah di Cekungan Bandung. Riset Geologi dan Pertambangan Vol. 21 No. 2 (2012), 63-74. Tjasyono, B. (1992). Klimatologi Terapan. Bandung: CV. Pionir Jaya.