MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 21-26
PENGARUH KASEIN HIDROLISAT DAN INTENSITAS CAHAYA TERHADAP PRODUKSI BIOMASSA DAN ALKALOID CANTHINONE DI DALAM KULTUR SUSPENSI SEL PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack) Luthfi Aziz Mahmud Siregar1*), Chan Lai-Keng2, dan Boey Peng-Lim3 1. Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan 20155, Indonesia 2. Pusat Pengajian Sains Kajihayat, Universiti Sains Malaysia, Penang 11800, Malaysia 3. Pusat Pengajian Sains Kimia, Universiti Sains Malaysia, Penang 11800, Malaysia *)
E-mail:
[email protected]
Abstrak Suatu kajian untuk mengetahui pengaruh beberapa konsentrasi kasein hidrolisat dan intensitas cahaya terhadap produksi biomassa dan alkaloid canthinone di dalam kultur suspensi sel Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) telah dilakukan. Penelitian ini bersifat eksperimental dengan menggunakan rancangan acak kelompok non faktorial. Kajian pengaruh kasein hidrolisat terdiri atas 8 (delapan) perlakuan konsentrasi, yaitu 0,00, 0,10, 0,25, 0,50, 0,75, 1,00, 2,00 dan 5,00% (w/v). Sedangkan untuk kajian pengaruh intesitas cahaya terdiri atas 5 (lima) besaran intensitas cahaya, yaitu 0, 190, 290, 585 dan 1525 lux. Hasil kajian menunjukkan bahwa penambahan 0,1–2,0% (w/v) kasein hidrolisat ke dalam medium kultur tidak menunjukkan pengaruh terhadap produksi biomassa sel dibandingkan dengan tanpa penambahan kasein hidrolisat. Total alkaloid yang dihasilkan biomassa sel meningkat dua kali lipat di dalam medium kultur yang mengandung 0,1% kasein hidrolisat. Medium dengan penambahan 5% kasein hidrolisat menyebabkan penurunan secara nyata peningkatan berat basah, berat kering dan total alkaloid dibandingkan dengan medium tanpa atau penambahan kasein hidrolisat pada konsentrasi 0,1-2%. Sedangkan modifikasi terhadap besaran intensitas cahaya (0-1525 lux) tidak mempengaruhi produksi biomassa sel di dalam medium kultur, tetapi menempatkan kultur suspensi sel E. longifolia Jack pada intensitas cahaya 1525 lux dapat merangsang peningkatan total 9-hydroxycanthin-6-one di dalam sel.
Abstract Effects of Casein Hydrolisate and Light Intensity on Production of Biomass and Canthinone Alkaloid in Cell Suspension Cultures of Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack). A study on the effect of several concentrations of casein hydrolysate and light intensity to produce biomass and canthinone alkaloid in cell suspension culture of Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) was conducted. The research was an experimental study with block random design non factorial. For study of casein hydrolysate was used 8 (eight) of concentration treatments, i.e. 0.00, 0.10, 0.25, 0.50, 0.75, 1.00, 2.00 dan 5.00% (w/v). Beside for study of different light intensity effect was used five of light intensity, i.e. 0, 190, 290, 585 and 1525 lux. The results showed that addition 0.1–2.0% (w/v) of casein hydrolysate into culture medium did not show the effect on production of cell biomass compare with without casein hydrolysate. Total of alkaloid produce increased two fold in the culture medium containing 0.1% casein hydrolysate. The medium with addition 5% casein hydrolysate significantly decrease of increased fresh weight, dry weight and total of alkaloid compare with medium without or additions of casein hydrolysate at 0.1–2.0% concentration. Besides, the modifications on light intensity (0–1525 lux) did not effect the production of cell biomass in culture medium, but the place of E. longifolia Jack cell suspension culture at light of 1525 lux was found have to stimulate increased the total of 9methoxycanthin-6-one in cells. Keywords: canthinone, casein hydrolysate, cell suspension, Eurycoma longifolia Jack, light intensity
tumbuh secara meluas di Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Vietnam. Beberapa komponen kimia yang dihasilkan tanaman ini menunjukkan aktivitas biologi sebagai anti-malaria, sitotoksik, afrodisiak dan anti-
1. Pendahuluan Eurycoma longifolia Jack (Pasak Bumi) adalah tanaman obat yang termasuk dalam Famili Simaroubaceae dan
21
22
MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 21-26
ulser [1-4]. Kardono et al. melaporkan bahwa tumbuhan Pasak Bumi mengandung alkaloid dari golongan canthinone, yaitu 9-methoxycanthin-6-one dan 9hydroxycanthin-6-one yang digunakan sebagai penanda pokok dan bersifat sitotoksik terhadap beberapa sel kanker [2]. Hal yang sama dilaporkan juga oleh Kuo et al. bahwa 9-methoxycanthin-6-one secara signifikan bersifat sitotoksik terhadap lini sel A-549 (sel kanker paru) dan MCF-7 (sel kanker payudara) [5]. Di samping itu, 9-methoxycanthin-6-one menunjukkan aktifitas sebagai agen antimikroba bakteri Bacillus cereus [6] dan memiliki potensi yang lebih baik dalam melawan isolat strain Plasmodium falciparum yang resisten klorokuin dibandingkan dengan klorokuin difosfat [7]. Teknik kultur sel dan jaringan tanaman dikenal sebagai alternatif untuk produksi metabolit sekunder yang memiliki nilai perobatan. Beberapa keberhasilan yang telah diperoleh melalui teknik ini seperti produksi komersial shikonin dari Lithospermum erythrorhizon [8], berberine dari Coptis japonica [8], dan taxol dari Taxus brevifolia [9]. Metode ini dapat dikembangkan untuk produksi biomassa dan produk-produk metabolisme secara besar-besaran, misalnya dengan menggunakan bioreaktor. Bagaimanapun, produksi yang rendah selalu menjadi faktor pembatas yang tidak menguntungkan dalam proses komersialisasi. Dari segi praktiknya, teknik seperti ini lebih kompleks dan rumit dibandingkan produksi metabolit skunder yang berasal dari mikroorganisme [10]. Inisiasi, proliferasi dan sintesis metabolisme sekunder di dalam kultur suspensi sel dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu genotip atau sumber sel, komposisi medium dan beberapa faktor fisik. Dalam komposisi medium kultur sel tumbuhan, selain dari garam-garam nitrat dan ammonium, nitrogen diperoleh melalui komponen organik seperti urea, asparagina, asam glutamat, tirosina dan kasein hidrolisat. Asam amino terdiri dari asam amino tunggal dan asam amino kompleks. Asam amino kompleks merupakan kumpulan dari sejumlah asam amino yang tidak dapat didefinisikan secara nyata komposisinya, seperti kasein hidrolisat, ekstrak malt, ekstrak yis [11]. Kasein hidrolisat dibuat dari protein susu keledai atau sapi yang terdiri daripada campuran 18 asam amino yang tidak diketahui secara pasti komposisinya [10]. Kultur suspensi sel biasanya mampu mensintesis semua asam amino yang diperlukan, tetapi untuk memperoleh manfaat yang lebih baik perlu ditambah nitrogen organik dalam bentuk asam amino seperti glutamina, kasein hidrolisat, asparagina ataupun nukleotida seperti adenina [12]. Cahaya dapat mempengaruhi perkembangan tumbuhan secara in vivo dan in vitro. Keadaan suatu kultur dipengaruhi oleh fotoperiodisitas, kualitas dan intensitas cahaya. Cahaya mempengaruhi pengaturan produksi
bahan metabolit dalam kultur suspensi sel, termasuk produksi metabolit primer seperti enzim, karbohidrat, lipida dan asam amino dan metabolit sekunder seperti antosianin, karotenoid, polifenol, minyak mudah menguap (volatile oil) dan terpena [13]. Aktivitas enzim dalam biosintesis asam sinamat, kumarin, lignin, flavon, flavonol, chalkon dan antosianin dipengaruhi oleh cahaya secara signifikan [14]. Melalui suatu kajian in vitro yang berkesinambungan telah diperoleh mekanisme organogenesis dan mikropropagasi dari tumbuhan E. longifolia Jack secara in vitro [15]. Suatu kajian awal berkaitan dengan induksi kalus, inisiasi kultur suspensi sel, deteksi kehadiran quasinoid dan alkaloid canthinone dalam biomassa sel hasil kultur in vitro telah dilakukan [1618]. Pemilihan lini sel dan modifikasi konsentrasi makronutrien medium MS dalam kultur suspensi sel E. longifolia Jack telah dilakukan untuk mendapatkan lini sel dengan produksi biomassa yang tinggi [19]. Disamping itu, identifikasi dan seleksi lini sel berdasarkan produksi alkaloid melalui kultur kalus dan suspensi sel telah dilaporkan [20]. Modifikasi konsentrasi makronutrien, mikronutrien dan penambahan 4% sukrosa berdasarkan nilai optimum yang dicapai untuk memperoleh produksi biomassa sel dalam suatu seri-penelitian yang berkelanjutan diperoleh medium MSBs yang mampu meningkatkan produksi biomassa sel dan total 9-hydroxycanthin-6-one [21]. Penambahan zat pengatur tumbuh BA ke dalam medium kultur dapat meningkatkan total 9-hydroxycanthin-6-one, tetapi menurunkan total 9-methoxycanthin-6-one [22]. Kajian mengenai pengaruh penambahan kasein hidrolisat dan intensitas cahaya terhadap produksi biomassa dan alkaloid canthinone di dalam kultur suspensi sel E. longifolia Jack dilaksanakan sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kemampuan sel dalam menghasilkan metabolit sekunder yang tinggi khususnya senyawa 9-hydroxycanthin-6-one dan 9methoxycanthin-6-one yang berasal dari Pasak Bumi.
2. Metode Penelitian Penyediaan kultur suspensi sel E. longifolia Jack. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Sel dan Jaringan Tanaman, Pusat Pengajian Sains Kajihayat, Universiti Sains Malaysia, Penang, Malaysia. Kultur suspensi sel E. longifolia Jack diinisiasi dari kalus daun yang berasal dari lini sel Eu-9 [20]. Sel-sel sebanyak 1,0 g berat basah dan berumur 12 hari dikultur ke dalam 100 mL gelas Erlenmeyer yang mengandung 25 mL medium cair TAM + 2,69 µM asam αnaftalenasetat (NAA) and 1.13 µM asam 2,4diklorofenoksiasetat (2,4-D) + 3% sukrosa [19]. Medium TAM merupakan medium MS [23] yang mengalami modifikasi dalam komponen makronutriennya. Komposisi makronutrien medium TAM adalah 21,50
MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 21-26
mM NH4NO3, 12,25 mM KNO3, 3,10 mM CaCl2.2H2O, 0,58 mM MgSO4.7H2O, and 1,83 mM KH2PO4. Sel suspensi E. longifolia Jack disubkultur ke dalam medium baru yang sama setiap 12 hari. Medium kultur ditetapkan pada pH 5,7 sebelum autoklaf. Sebelum digunakan, medium disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 oC selama 13 menit. Kultur sel ditempatkan pada penggoncang berputar dengan kelajuan 130 rpm dan suhu ruangan 25 ± 2 °C dengan intensitas cahaya fluoresen putih 1525 lux. Sel suspensi dipanen dengan memisahkan biomassa sel dari medium cair dengan menggunakan kertas saring (Whatman, ∅110 mm) yang diletakkan pada corong pengisap (∅ 90 mm) dan terhubung dengan pompa vakum. Biomassa sel dikeringkan pada suhu 24 ± 2 oC sehingga berat yang konstan diperoleh. Pengaruh kasein hidrolisat dan intensitas cahaya. Satu gram biomassa sel Eu9 yang berasal dari kultur suspensi sel E. longifolia Jack di dalam medium TAM + 2,69 µM NAA + 1,13 µM 2,4-D + 3% sukrosa, dikultur ke dalam 100 mL gelas Erlenmeyer yang mengandung 25 mL medium cair MSBs + 2,69 µM NAA + 1,13 µM 2,4-D. Medium MSBs merupakan medium MS yang mengalami modifikasi dalam konsentrasi dari komponen makronutrien, mikronutrien dan dengan penambahan 4% sukrosa. Medium MSBs memiliki komposisi makronutrien sebagai berikut: 21,50 mM NH4NO3, 12.25 mM KNO3, 3,10 mM CaCl2.2H2O, 0,58 mM MgSO4.7H2O, and 1,83 mM KH2PO4. Untuk mikronutrien, medium MSBs memiliki komposisi dan konsentrasi mikronutrien sama dengan medium MS kecuali konsentrasi FeNa-EDTA dan MnSO4.4H2O ditetapkan pada konsentrasi 0,11 mM dan tanpa mengandung CuSO4.5H2O. Untuk pengaruh kasein hidrolisat, kajian dijalankan dengan menambahkan kasein hidrolisat ke dalam medium MSBs + 2,69 µM NAA + 1,13 µM 2,4-D + 4% sukrosa dengan konsentrasi 0,00, 0,10, 0,25, 0,50, 0,75, 1,00, 2,00 dan 5,00% (w/v). Biomassa sel dipanen pada 14 hari setelah kultur. Untuk kajian pengaruh intensitas cahaya, perbedaan intensitas cahaya diperoleh dengan cara menutup gelasgelas kultur dalam setiap ulangan (blok) dengan plastik transparan yang berwarna, kertas dan alumunium foil. Berdasarkan perbedaan dari warna dan jenis pembungkus maka diperoleh beberapa nilai intensitas cahaya (Tabel 1). Intensitas cahaya ditentukan dengan menggunakan luxmeter. Biomassa sel dipanen pada 14 hari setelah kultur.
23
Tabel 1. Modifikasi Intensitas Cahaya Akibat Perbedaan Jenis Bahan Pembungkus Gelas Kultur
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Bahan pembungkus Alumunium foil Plastik hitam Kertas putih Plastik biru Tanpa pembungkus
Intensitas cahaya (lux) 0 190 290 585 1525
Analisis data. Tiga replikat digunakan untuk setiap perlakuan dan kajian diulangi tiga kali dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Non Faktorial. Data peningkatan berat basah dan berat kering dianalisis dengan ANOVA dua arah dan perbedaan rataan untuk setiap perlakuan dilakukan dengan Uji HSD Tukey pada p = 0,05. Grafik pengaruh perbedaan konsentrasi perlakuan (kasein hidrolisat dan intensitas cahaya) terhadap parameter peningkatan berat basah, berat kering, konsentrasi 9methoxycanthin-6-one dan 9-hydroxycanthin-6-one, total 9-methoxycanthin-6-one dan 9-hydroxycanthin-6one, dan total dua-alkaloid ditentukan dengan menggunakan program komputer. Analisis alkaloid. Metode ekstraksi dan analisis alkaloid biomassa sel E. longifolia Jack ini disesuaikan dari metode yang telah dilakukan oleh Liu et al. untuk ekstraksi alkaloid dari tumbuhan Brucea javanica (Simaroubaceae) [24]. Biomassa kering (0,50 g) direndam dalam heksana untuk menghilangkan lemak. Selanjutnya, sampel diekstrak dalam 20 mL metanol selama 24 jam pada suhu ruang 25 ± 2 °C sebanyak tiga kali. Setelah penyaringan dengan kertas filter Whatman® No.1, ekstrak metanol dikeringkan dengan alat evaporator pada suhu 45 oC. Untuk analisis HPLC (High Performance Liquid Chromatography), residu kering dilarutkan di dalam 5 mL metanol dan disaring dengan millipor (Ø 0,45 µm, Whatman®). Analisis HPLC dilakukan dengan penyuntikan sampel ke dalam suatu injektor (20 µL, Rheodyne, USA) yang disambung kepada suatu kolom fase berbalik dengan ukuran partikel 5 µm dan panjang 250 x 4,6 mm (Hypersil ODS column). Deteksi dilakukan dengan sinar ultra violet dari suatu alat SPD-10 AVp Shimadzu UV-VIS. Analisis HPLC dijalankan dengan pompa tekanan tinggi LC-10 ADVp Shimadzu Liquid Chromatograph. Semua peralatan dan tatacara analisis dikontrol dengan suatu program komputer Shimadzu Class Vp. Fase gerak mengandungi asetonitril (Fisher Scientific): 0,2% asam asetat (Merck, Germany) (42 : 58) dengan kelajuan aliran 2 mL/menit. Elusi alkaloid dimonitor pada 280 nm dan diidentifikasi berdasarkan kepada masa retensi (tR).
3. Hasil dan Pembahasan
MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 21-26
Total 9-hydroxycanthin-6-one, 9-methoxycanthin-6-one dan kedua alkaloid juga meningkat dengan penambahan 0,1% kasein hidrolisat ke dalam medium MSBs + 2,69 µM NAA + 1.13 µM 2,4-D + 4% sukrosa. Penambahan 0,25-2% kasein hidrolisat ke dalam medium merangsang produksi total alkaloid yang menyerupai dengan sel-sel yang dikulturkan dalam medium tanpa kasein hidrolisat. Total alkaloid semakin rendah di dalam medium dengan penambahan 5% kasein hidrolisat (Gambar 1C).
Pengaruh intensitas cahaya. Intensitas pencahayaan yang berbeda tidak menunjukkan pengaruh terhadap produksi biomassa dalam kultur suspensi sel E. 0.6
8 7
a
a
a
a
a
6 5
a
a
a
a
a
a
a
0.5
a
a
0.4 b 0.3
4 3
0.2
b
berat kering (g)
A
2 0.1
1 0
0 0
0.1
0.25
0.5
0.75
1
2
5
peningkatan berat basah berat kering
kasein hidrolisat (%, w/v))
B 0.08
0.01 0.009
0.07
0.008 0.06 0.007 0.05
0.006
0.04
0.005
0.03
0.004 0.003
0.02 0.002 0.01
9-methoxycanthin-6-one (%)
Medium MSBs + 2,69 µM NAA + 1,13 µM 2,4-D + 4% sukrosa dengan penambahan 0,1% kasein hidrolisat meningkatkan kadar produksi 9-hydroxycanthin-6-one (0,067%) dan 9-methoxycanthin-6-one (0,008%) dibandingkan dengan tanpa kasein hidrolisat di dalam medium. Medium tanpa kasein hidrolisat hanya 0,036 % 9-hydroxycanthin-6-one dan 0,005% 9-methoxycanthin6-one dihasilkan. Kandungan kasein hidrolisat dalam medium yang lebih dari 0,25% menurunkan konsentrasi alkaloid 9-hydroxycanthin-6-one dan kadar ini mendekati sama dengan kadar alkaloid di dalam medium tanpa kasein hidrolisat (Gambar 1B).
mg/L IBA + 0,01 mg/L BAP yang mengandung 600 mg/L kasein hidrolisat. Sedangkan lini sel yang tumbuh dalam keadaan cahaya terang menunjukkan produksi forskolin yang optimum di dalam medium cair yang sama tetapi kasein hidrolisat ditukarkan dengan glisina [26]. Penambahan 1000 mg/L kasein hidrolisat ke dalam medium kultur suspensi sel Cistanche deserticola dapat meningkatkan akumulasi phenylethanoid glycosides sebanyak 1,5 kali walaupun penambahan ini menurunkan 1/5 produksi biomassa [27].
peningkatan berat basah (g)
Pengaruh kasein hidrolisat. Penambahan 0,1-2% (w/v) kasein hidrolisat di dalam medium MSBs + 2,69 µM NAA + 1,13 µM 2,4-D + 4% sukrosa tidak mempengaruhi peningkatan berat basah dan berat kering sel-sel E. longifolia Jack dibandingkan dengan medium tanpa penambahan kasein hidrolisat dalam 14 hari masa setelah kultur. Sedangkan medium dengan penambahan 5% kasein hidrolisat menyebabkan penurunan secara nyata peningkatan berat basah dan berat kering dibandingkan dengan medium tanpa atau penambahan kasein hidrolisat pada konsentrasi 0,1-2% (Gambar 1A).
9-hydroxycanthin-6-one (%)
24
0.001
0
0 0
0.1
0.25
0.5
0.75
1
2
kasein hidrolisat (%, w/w)
5
9-hydroxycanthin-6-one 9-methoxyicanthin-6-one
C 0.45 0.4 total alkaloid (mg/25 mL medium)
Kasein hidrolisat sebagai sumber asam amino dan oligopeptida adalah suatu produk yang dibuat dari protein keju. Penambahan 0,10-2% kasein hidrolisat di dalam medium MSBs tidak mempengaruhi produksi biomassa sel. Total alkaloid dapat ditingkatkan dalam sel-sel E. longifolia Jack dengan penambahan 0,1% kasein hidrolisat ke dalam medium cair MSBs. Ketchum et al. melaporkan bahwa medium B5 + 4,52 µM 2,4-D + 1% sukrosa (kontrol) adalah medium terbaik untuk pertumbuhan kalus, tetapi medium ini tidak berbeda secara nyata dengan medium kontrol + 0,2% kasein hidrolisat terhadap pertumbuhan sel untuk tiga lini sel Taxus brevifolia [25]. Sedangkan Mersinger et al. menemukan bahwa produksi biomassa yang terbaik bagi kultur suspensi sel Coleus forskohlii dapat dihasilkan dalam medium cair B5 + 1 mg/L (4.52 µM) 2,4-D + 0,2 mg/L (0,93 µM) kinetin yang mengandung 600 mg/L (0,6% (w/v)) kasein hidrolisat [26]. Lini sel dari kultur suspensi Coleus forskohlii yang tumbuh dalam keadaan gelap dapat menghasilkan kandungan forskolin yang optimum di dalam medium cair B5 + 1
0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 0
0.1
0.25
0.5
0.75
kasein hidrolisat (%, w/v)
1
2
5
total 9-hydroxycanthin-6-one total 9-methoxycanthin-6-one total dua-alkaloid
Gambar 1. Pengaruh Konsentrasi Kasein Hidrolisat (05% (w/v)) dalam 25 mL Medium Cair MSBs+ 2,69 µM NAA + 1,13 µM 2,4-D + 4% Sukrosa terhadap Produksi Biomassa Sel (A), Konsentrasi 9-Hydroxycanthin-6-one dan 9Methoxycanthin-6-one (B), dan Total 9Hydroxycanthin-6-one, Total 9-Methoxycanthin6-one dan Total Dua-Alkaloid (C) di dalam Kultur Suspensi Sel E. longifolia Jack dalam 14 Hari Masa Setelah Kultur
MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 21-26
A 9
0.7
8
a
a a
7
a
0.6
a
0.5
6 a
5
a
a
a
a
4
0.3
3
0.2
2 0.1
1 0
Kualitas cahaya yang dibedakan berdasarkan kepada warna cahaya juga mempengaruhi produksi metabolit sekunder. Kultur kalus Saussurea medusa dalam medium padat MS yang dipajankan dengan cahaya biru menunjukkan produksi jaseosidin yang terbaik dibandingkan dengan cahaya putih, tanpa cahaya (gelap) atau cahaya merah [30]. Adakalanya kultur menghasilkan metabolit sekunder yang lebih banyak dalam kondisi gelap. Kultur suspensi sel Hypericum
0 0
190
290
585
1525 peningkatan berat basah berat kering
intensitas cahaya (lux)
B 0.07
alkaloid (%, w/w)
0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 0 0
190
290
intensitas cahaya (lux)
585
1525
9-hydroxycanthin-6-one 9-methoxycanthin-6-one
C 0.3 0.25 total alkaloid (mg/25 mL medium)
Pengaruh faktor fisik seperti intensitas cahaya terhadap produksi biomassa sel dan alkaloid di dalam kultur suspensi sel E. longifolia Jack menunjukkan bahwa modifikasi pencahayaan pada intensitas 0–1525 lux tidak memberi pengaruh terhadap produksi biomassa sel, tetapi konsentrasi 9-hydroxycanthin-6-one yang paling tinggi dapat diperoleh pada intensitas cahaya 1525 lux tetapi konsentrasi 9-methoxycanthin-6-one adalah berbeda dengan intensitas cahaya yang berbeda. Kajian lain juga telah menunjukkan intensitas cahaya dapat mempengaruhi kultur suspensi sel. Pada kultur suspensi sel Polygonum tinchtorium, antosianin tidak dihasilkan dalam keadaan gelap dan hanya sedikit antosianin dihasilkan bila kultur diletakkan pada pencahayaan 780 lux, dan total antosianin dapat ditingkatkan apabila kultur diletakkan pada pencahayaan 1520 lux [28]. Kondisi yang hampir sama diperoleh dalam kultur kalus Prunus cerasus L., yaitu antosianin dihasilkan rendah apabila ditempatkan pada kondisi gelap, tetapi kandungan antosianin dalam sel meningkat apabila kalus dikulturkan dalam kondisi terang [29].
0.4
berat kering (g)
Total 9-hydroxycanthin-6-one yang paling tinggi (0,217 mg/25 mL medium) diperoleh dari kultur suspensi sel yang diinkubasi pada intensitas cahaya 1525 lux. Dalam keadaan tanpa cahaya atau cahaya berintensitas 290 lux, total 9-methoxycanthin-6-one yang tinggi dihasilkan, yaitu sebanyak 0,096 mg/25 mL medium dan 0,101 mg/25 mL medium masing-masing. Total dua-alkaloid yang paling tinggi dihasilkan dengan intensitas cahaya 1525 lux (0,250 mg/25 mL medium) (Gambar 2C).
perforatum L. (St. John’s wort) menghasilkan produksi biomassa dan hypericin lebih tinggi dalam kondisi gelap dibandingkan kultur ditempatkan pada kondisi terang [31]. Tetapi, adakalanya kultur hanya menghasilkan metabolit sekunder dalam keadaan gelap saja, seperti kultur sel Taxus media cv. Hicksii dalam produksi taksol [32]. Dalam kultur suspensi sel Calendula officinalis, pada awalnya produksi biomassa adalah sama dalam keadaaan terang dan gelap, tetapi pertumbuhan sel menjadi berkurang 30% dalam keadaan terang setelah 7–8 bulan disubkultur, sedangkan kultur yang dipelihara dalam keadaan gelap tidak mengakibatkan perubahan pertumbuhan. Di samping itu, kehadiran asam oleanolik dapat dideteksi di dalam keadaan gelap, sedangkan dalam keadaan terang terjadi agregasi sel di dalam kultur [33].
peningkatan berat basah (g)
longifolia Jack di dalam medium cair MSBS + 2,69 µM NAA + 1,13 µM 2,4-D + 4% sukrosa dalam 14 hari masa setelah kultur (Gambar 2A), tetapi mempengaruhi konsentrasi 9-hydroxycanthin-6-one dan 9methoxycanthin-6-one di dalam sel. Kultur suspensi sel yang diletakkan pada shaker dengan intensitas cahaya 1525 lux menyebabkan produksi 9-hydroxycanthin-6one yang tertinggi (0,059%) dibandingkan dengan lainnya. Konsentrasi 9-hydroxycanthin-6-one menjadi semakin rendah apabila intensitas cahaya semakin rendah. Tetapi konsentrasi 9-methoxycanthin-6-one meningkat pada keadaan tanpa pencahayaan atau dengan intensiti 290 lux. Pencahayaan 1525 lux menyebabkan kadar 9-methoxycanthin-6-one menjadi rendah (0,009%) (Gambar 2B).
25
0.2 0.15 0.1 0.05 0 0
190 290 intensitas cahaya (lux)
585
1525
total 9-hydroxycanthin-6-one total 9-methoxycanthin-6-one total dua alkaloid
Gambar 2. Produksi Biomassa Sel (A), Konsentrasi 9Hydroxycanthin-6-one dan 9-Methoxycanthin6-one (B), dan Total 9-Hydroxycanthin-6-one, Total 9-Methoxycanthin-6-one dan Total DuaAlkaloid (C) yang Dipengaruhi oleh Perbedaan Intensitas Cahaya di dalam 25 mL Medium Cair MSBs + 2,69 µM NAA + 1,13 µM 2,4-D + 4% Sukrosa dalam 14 Hari Masa Setelah Kultur
26
MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 21-26
4. Simpulan Penambahan 0,1–2,0% (w/v) kasein hidrolisat ke dalam medium kultur tidak menunjukkan pengaruh terhadap produksi biomassa sel dibandingkan dengan tanpa penambahan kasein hidrolisat. Total alkaloid yang dihasilkan meningkat dua kali lipat di dalam medium kultur yang mengandung 0,1% kasein hidrolisat. Sedangkan modifikasi terhadap besaran intensitas cahaya (0–1525 lux) tidak mempengaruhi produksi biomassa sel di dalam medium kultur, tetapi menempatkan kultur suspensi sel Eurycoma longifolia Jack pada intensitas cahaya 1525 lux ditemukan dapat merangsang peningkatan jumlah 9-hydroxycanthin-6one di dalam sel.
Ucapan Terima Kasih Terima kasih diucapkan kepada Dr. Tripetch Kanchanaphoom dari Khon Kaen University, Thailand, untuk standard alkaloid yang diberikan, Sobri bin Aziz untuk bantuan dalam analisis HPLC, dan Yee ChinLeng untuk bantuannya dalam analisis Spektrometri Massa dari Pusat Pengajian Sains Kimia, Universiti Sains Malaysia.
Daftar Acuan [1] K.L Chan, M.J. O’Neill, J.D. Phillipson, D.C. Warhurst, Planta Med. 52(20) (1986) 105-107. [2] L.B.S. Kardono, C.K. Angehofer, S. Tsauri, K. Padmawinata, J.M. Pezzuto, D. Kinghorn, J. Nat. Prod. 54 (1991) 1360-1367. [3] H.H. Ang, K.L. Chan, E.K. Gan, K.H. Yuen, Journ. Pharmacog. 35(2) (1997) 144-146. [4] H. Tada, F. Yasuda, K. Otani, M. Doteuchi, Y. Ishihara, M Shiro, Europ. J. Medic. Chem. 26 (1991) 345-349. [5] P.C. Kuo, L.S. Shi, A.G. Damu, C.R. Su, C.H. Huang, C.H. Ke, J.B. Wu, A.J. Lin, K.F. Bastow, K.H. Lee, T.S. Wu. J. Nat. Prod. 66 (2003) 13241327. [6] C.Y. Choo, B.K. Nah, P. Ibrahim, K.L. Chan, Proceedings of the 16th National Seminar on Natural Products Department of Chemistry, Universiti Putra Malaysia, Serdang, Malaysia. 2000, pp. 219-221. [7] K.L. Chan, C.Y. Choo, N.R. Abdullah, Z. Ismail, Z. J. Ethnopharm. 92 (2-3) (2004) 223-227. [8] K. Saito, H. Mizukami, in: K.M. OksmanCaldentey, W.H. Barz (Eds.), Plant Biotechnology and Transgenic Plants, Marcel Dekker, New York, 2002, p.223. [9] S.S. Bhojwani, M.K. Razdan, Plant Tissue Culture: Theory and Practise, a Revised Edition, Elsevier Science, Amsterdam, 1996, p.561.
[10] A.J. Nair, Introduction to Biotechnology and Genetic Engineering, Infinity Science Press LLC, Hingham, Massachusetts, 2008, p.685-697. [11] E.F. George, G.J. de Klerk, in: E.F. George, M.A. Hall, G.J. de Klerk, Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition, vol. 1 Background, Springer, Dordrecht, 2008, p.81. [12] H.S. Chawla, Introduction to Plant Biotechnology. Science Publishers, New Hampshire, USA, 2000. [13] M. Seibert, P.G. Kadkade, In: E.J. Staba (Ed.), Plant Tissue Culture as a Source of Biochemicals, CRC Press, Boca Raton, Florida, U.S.A. 1980. [14] K. Hahlbrock, J. Schroder, J. Vieregge, Adv. Biochem. Eng. 18 (1980) 39-60. [15] L.A.M. Siregar, L.K. Chan, The Planter. 78 (915) (2002) 289-300. [16] L.K. Chan, L.A.M. Siregar, K.H. Chris Teo, Proceeding of Medicinal Plants Quality Herbal Products for Healthy, Forest Research Institute of Malaysia, CFFPR series (1999) 101-107. [17] L.A.M. Siregar, L.K. Chan, K.H. Chris Teo, Proceedings of the Second IMT-GT UNINET Conference, Hatyai, Thailand, 1998. pp. 121-123. [18] B.T. Ong, Tesis Sarjana Muda, Pusat Pengajian Sains Kimia, Universiti Sains Malaysia, Penang, Malaysia, 1999. [19] L.A.M. Siregar, L.K. Chan, P.L. Boey, J. Plant Biotech. 5(2) (2003) 131-135. [20] L.A.M. Siregar, L.K. Chan, P.L. Boey, J. Plant Biotech. 6(2) (2004) 125-130. [21] L.A.M. Siregar, L.K. Chan, P.L. Boey, Hayati J. Biosci. 16(2) (2009) 69-77. [22] L.A.M. Siregar, L.K. Chan, P.L. Boey, Jurnal Natur Indonesia. 12(2) (2010) 143-151. [23] T. Murashige, F. Skoog, Physiol. Plant 15 (1962) 473-497. [24] K.C.S. Liu, S.L. Yang, M.F. Roberts, J.D. Phillipson, Phytochemistry 29(1) (1990) 141-143. [25] R.E.B. Ketchum, D.M. Gibson, L. Greespan-Galo, Plant Cell Tissue Org. Cult. 42 (1995) 185-193. [26] R. Mersinger, H. Dornauer, E. Reinhard, Planta Medica 54 (1988) 200-204. [27] X.Y. Cheng, T. Wei, B. Guo, W. Ni, C.Z. Liu, Process Biochemistry 40 (2005) 3119-3124. [28] A. Ernawati, M. Kyo, S. Mayama, Ind. J. Trop. Agric. 2(2) (1991) 73-79. [29] F. Blando, A.P. Scardino, L. De Bellis, I. Nicoletti, G. Giovinazzo. Food Research International 38 (2005) 937-942. [30] D. Zhao, J. Xing, M. Li, D. Lu, Q. Zhao, Plant Cell Tissue Org. Cult. 67 (2001) 227-234. [31] T. S. Walker, H. P. Bais, J. M. Vivanco, Phytochemistry 60 (2002) 289-293. [32] E.R. Wickremesinhe, R.N. Arteca, J. Plant Physiol. 144 (1994) 183-188. [33] A. Grzelak, W. Janiszowska, Plant Cell Tissue Org. Cult. 71 (2002) 29-40.