MAKALAH SEMINAR “PEMANFAATAN EMBRIOGENESIS SOMATIK DALAM USAHA PENYEDIAAN BIBIT TANAMAN OBAT”
Disusun oleh: Nama
: Rahmat Hanif Abdillah
NIM
: 09/283602/PN/11698
Dosen Pembimbing
: Rani Agustina W., S.P., M.P., Ph.D
Waktu Presentasi
: Kamis, 2 Mei 2013
PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013
MAKALAH SEMINAR SEMESTER II 2012/2013 PEMANFAATAN EMBRIOGENESIS SOMATIK DALAM USAHA PENYEDIAAN BIBIT TANAMAN OBAT Disusun oleh : Nama
: Rahmat Hanif Abdillah
NIM
: 09/283602/PN/11698
Jurusan
: Budidaya Pertanian
Program Studi : Pemuliaan Tanaman Makalah seminar umum ini telah disahkan dan disetujui sebagai kelengkapan mata kuliah pada semester genap tahun ajaran 2012/2013 di Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Tanda Tangan
Tanggal
Rani Agustina W., S.P., M.P., Ph.D.
............................
............................
Mengetahui, Komisi Seminar Umum Jurusan Budidaya Pertanian
Tanda Tangan
Tanggal
Dr. Rudi Hari Murti, S.P., M.P
............................
............................
Mengetahui, Ketua Jurusan Budidaya Pertanian
Tanda Tangan
Tanggal
Dr. Ir. Taryono, M.Sc.
............................
............................
2
DAFTAR ISI Halaman Judul Halaman Pengesahan ....................................................................................................................... ii Daftar Isi .........................................................................................................................................iii Intisari ............................................................................................................................................. iv I. Pendahuluan A. Latar Belakang ...................................................................................................................... 4 B. Tujuan ................................................................................................................................... 5 C. Kegunaan .............................................................................................................................. 5 II. Embriogenesis Somatik .............................................................................................................. 6 III. Pemanfaatan Embrio Somatik pada Tanaman Obat ................................................................ 11 A. Penelitian Embriogenesis Somatik pada Tanaman Obat ................................................... 11 B. Synthetic Seed ................................................................................................................... 16 IV. Kesimpulan.............................................................................................................................. 19 Daftar Pustaka ............................................................................................................................... 20 Lampiran........................................................................................................................................ 23
3
Pemanfaatan Embrio Somatik pada Tanaman Obat
Intisari Di Indonesia banyak tanaman yang berkhasiat obat dan sudah dimanfaatkan dalam tujuan pengobatan, rempah-rempah, dan lain-lain. Namun perbanyakannya mengalami kendala seperti keterbatasan jumlah bibit, tingginya serangan penyakit, dan rendahnya keragaman. Penggunaan teknik kultur jaringan embriogenesis somatik dapat mengatasi masalah tersebut. Embriogenesis somatik adalah proses ketika sel somatik berkembang menjadi embrio somatik tanpa melalui fusi gamet. Sel somatik seperti sel pada jaringan daun ditanam di media kultur yang diberi nutrisi dan zat pengatur tumbuh pada kondisi steril. Sel kemudian akan berkembang menjadi kalus embriogenik yang jika disubkulturkan akan berkembang lagi menjadi planlet utuh yang mirip dengan induknya. Keuntungan embriogenesis somatik yaitu embrio memiliki embrio tunas dan basal, waktu perbanyakan lebih cepat dan dapat dilakukan kapan saja, jumlah bibit tidak terbatas, bibit sehat dan bebas patogen. Embrio somatik dapat dimanfaatkan dalam teknik benih sintetik (seed synthetic), yaitu pelapisan buatan menggunakan aglinat dan kalsium. Embrio dalam benih sintetik dapat disimpan dalam waktu lama dan didistribusikan dalam jarak jauh, dan tetap memiliki kemampuan tumbuh. Benih sintetik dapat diaplikasikan pada tanaman yang tidak memproduksi biji, tanaman hias hibrid, perbanyakan male female sterile, konservasi plasma nutfah, dan lain-lain. Kata kunci: embriogenesis, somatik, benih sintetik, tanaman obat.
I. Pendahuluan A. Latar Belakang Tanaman yang memiliki khasiat obat di Indonesia jumlahnya sangat banyak dan beragam. Mulai dari yang dimanfaatkan bagian buahnya seperti jambu biji (Psidium guajava) dan mahkota dewa (Phaleria macrocarpa), bagian bunganya seperti rosela (Hibiscus sabdariffa), bagian daunnya seperti teh (Camellia sinensis) dan sirsak (Anona muricata), bagian kayu atau kulit kayunya seperti secang (Caesalpinia sappan) dan kina (Cinchona officinalis), hingga yang dimanfaatkan rimpangnya seperti jahe (Zingiber officinale) dan temulawak (Curcuma xanthorriza). Semua bagian tanaman tersebut diperlukan dalam jumlah banyak dan setiap saat, terutama untuk tujuan pengobatan. Namun upaya penyediaannya sering terkendala. Beberapa tanaman hanya bisa diperbanyak dengan bagian tertentu, seperti jahe dan temulawak yang hanya bisa diperbanyak dengan rimpangnya. Beberapa yang lain meski bisa diperbanyak dengan biji membutuhkan waktu yang lama untuk dapat berproduksi, seperti teh dan secang. Pengembangan tanaman obat yang diperbanyak juga terkendala beberapa hal lain, seperti rendahnya variasi, tingginya kontaminasi patogen yang terbawa bibit, serta jumlah dan sumber bibit yang terbatas. Sebagai contoh jahe diperbanyak secara vegetatif menggunakan rimpang, yang kebutuhannya mencapai 1-1,5 ton/ha. Sistem
4
reproduksi demikian dapat menimbulkan terjadinya akumulasi patogen di dalam bibit, terutama virus, yang dapat diwariskan antar generasi. Akumulasi penyakit tersebut dapat mengakibatkan penurunan produktivitas jahe. Oleh karena itu, pembebasan patogen sangat penting dilakukan dalam sistem produksi bibit jahe. (Sastra dan Neliyati, 1939). Salah satu solusi dari masalah tersebut adalah perbanyakan tanaman menggunakan teknik kultur jaringan. Perbanyakan tanaman obat melalui teknik kultur jaringan berpeluang untuk mendukung upaya pengadaan benih sumber bebas patogen dalam jumlah banyak. Hal ini akan menunjang program perbaikan potensi genetik untuk menghasilkan varietas unggul baru selain menunjang penyediaan benih sehat dalam jumlah banyak. Sistem regenerasi tanaman melalui kultur in vitro dapat dilakukan melalui 2 fase yaitu jalur organogenesis dan fase embriogenesis somatik. Untuk produksi bibit melalui kultur jaringan, pembentukan benih somatik dari embrio somatik lebih diminati karena dapat menghasilkan bibit yang lebih banyak, seragam, sehat, cepat, dan daripada melalui organogenesis.
B. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh zat pengatur tumbuh untuk kultur embirogenesis somatik dan pemanfaatannya pada tanaman obat.
C. Kegunaan Memberikan pengetahuan perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan dan pemanfaatan embriogenesis somatik dalam perbanyakan bibit tanaman obat.
5
II.
Embriogenesis Somatik
Kultur jaringan telah terbukti dapat menyediakan bibit berbagai tanaman yang akan dipergunakan secara luas terutama pada tanaman semusim atau berdinding lunak. Melalui kultur in vitro tanaman dapat diperbanyak setiap waktu sesuai kebutuhan, karena faktor perbanyakan yang tinggi. Penggandaan biakan dalam kultur jaringan dapat dilakukan melalui jalur organogenesis dan embriogenesis somatik. Cara embriogenesis somatik banyak mendapat perhatian karena jumlah propagula yang dihasilkan tidak terbatas dan dapat diperoleh dalam waktu yang lebih singkat (Purnamaningsih, 2002). Menurut Taryono (2012), embriogenesis somatik mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan kultur mata tunas dan organogenesis. Embrio yang dihasilkan bersifat bipolar sehingga tahapan pengakaran tidak diperlukan, bibit dari biji apomiksis sangat serupa, kalus embriogenik dapat diperbanyak dan dipercepat dalam media cair, bibit dapat dibuat setiap saat tanpa mengenal musim dan masa istirahat embrio. Konsep embriogenesis somatik merupakan contoh terbaik dari konsep totipotensi sel, pertama kali diusulkan oleh Haberlandt (1902), yang menyatakan bahwa semua sel yang hidup normal memiliki potensi untuk beregenerasi menjadi organisme utuh. Penemuan pertama embriogenesis somatik pada tanaman muncul dari penelitian tentang wortel, Levine (1947) melaporkan regenerasi bibit wortel dari jaringan yang diperlakukan pada NAA tingkat rendah. Namun laporan dari Steward et al (1958) dan Reinert (1959) pada sel suspensi wortel. Stewart et al. melaporkan keberhasilannya menghasilkan tanaman wortel dari sel suspensi langsung tanpa pengaruh zat pengatur tumbuh. Pengamatan lebih dalam terhadap terbentuknya tanaman tersebut dilakukan oleh Reinert dan dilaporkan bahwa terbentuknya tanaman baru tersebut melalui perkembangan sel suspensi membentuk embrio somatik. (Taryono, 2012). Embriogenesis somatik atau embriogenesis aseksual adalah proses ketika sel-sel soma berkembang menjadi embrio melalui tahap-tahap morfologi yang khas tanpa melalui fusi gamet (Toonen dan de Vries, 1996 dalam Utami et al, 2007). Embriogenesis somatik adalah proses suatu embrio tanaman terbentuk dan berkembang dari sel somatik. Sel somatik adalah sel tanaman yang dalam keadaan normal tidak terlibat dalam perkembangan embrio, contohnya jaringan daun tanaman. Umumnya
6
embrio somatik berkembang dari satu sel, yang kemudian membelah dan berkembang menjadi kumpulan sel meristematis. Kumpulan sel meristematis ini lalu terus berkembang hingga menjadi embrio tanaman, yang disebut embrio somatik. Berbagai bagian tanaman telah digunakan untuk menghasilkan embrio somatik. Embrio somatik dapat berasal dari satu sel tunggal maupun sekelompok sel kompeten. Jika eksplan yang digunakan adalah embrio zigotik yang sudah memiliki kemampuan embriogenik, Pre-Embyrogenic Determined Cells atau PEDCs. Sementara eksplan tanaman yang tidak embriogenik harus didorong untuk menjadi embriogenik, disebut Induced Embriogenically Determined Cells atau IEDCs. (Bhojwani, S.S., and WoongYoung Soh, 2001). Sel tunggal dalam jaringan IEDCs sangat sedikit, maka untuk mempermudah identifikasinya, sel tersebut harus dipacu membentuk kalus embriogenik. Sedangkan kelompok sel PEDCs hanya memerlukan kondisi yang sesuai untuk memacu pembelahan dan perkembangan sel membentuk embrio somatik. Sehingga dari kelompok sel PEDCs embrio somatik dapat dihasilkan tanpa melewati proses pembentukan kalus. Kedua kelompok sel ini yang membuat dikenalnya dua cara embriogenesis somatik, yaitu embriogenesis langsung dan embriogenesis tidak langsung. (Taryono, 2012) Keberhasilan embriogenesis somatik terjadi apabila kalus atau sel yang digunakan bersifat embriogenik yang dicirikan oleh sel yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola kecil, dan mengandung butir pati (Pangesti dkk., 2011). Menurut Gaj (2001), embrio somatik dapat dicirikan dari strukturnya yang bipolar, yaitu mempunyai dua calon meristem, yaitu meristem akar dan meristem tunas. Dengan memiliki struktur tersebut maka perbanyakan melalui embrio somatik lebih menguntungkan daripada pembentukan tunas adventif yang unipolar. Tahap-tahap embriogenesis somatik menurut Bhojwani dan Razdan (1989) yaitu: Tahap Perkembangan (Development Phase), embrio somatik berkembang dari kumpulan sel meristematis menjadi bentuk globural, bentuk hati, bentuk torpedo, dan kotiledon; Tahap Konversi (Conversion Phase), setelah mencapai bentuk kotiledon, embrio somatik berkecambah, ini yang disebut tahap konversi; Tahap Maturasi (Maturation Phase), kemudian embrio somatik mengalami perubahan biokimia dan menjadi keras. Pada tahap perkembangan, terdapat perbedaan antara tanaman dikotil dan monokotil. Pada tanaman dikotil, tahapan yang dapat teramati yaitu globural,
7
jantuung/hati, daan torpedo. Sedangkann pada tanaaman monookotil, tahaapan yang dapat teram mati yaitu gllobular, colleoptillar, dan d scutellarr.
Gam mbar 1. Tahaap Perkembaangan Embrrio Somatikk Regenerassi melalui embriogene e esis somatik k memberi banyak keeuntungan antara a lain waktu perrbanyakan lebih l cepatt, pencapaian hasil dalam menddukung pro ogram perbaaikan tanam man lebih cepat, dann jumlah bibit yang dihasilkann tidak terrbatas jumlahnya. Selaain itu denngan struktuurnya yang g bipolar dan d kondisi fisiologis yang menyyerupai em mbrio zigotikk maka perrbanyakan melalui m pem mbentukan embrio som matik lebihh menguntuungkan dariipada pembbentukan tu unas adventtif yang unnipolar (Maariska, 19977). Dalam em mbriogenesiis somatik, diperlukan n beberapaa syarat unntuk mendu ukung keberhasilan peembuatan embrio e som matik, yaitu u eksplan atau bahann biakan, media m tumbbuh, zat peengatur tum mbuh, lingkkungan mik kro selama pemeramann, dan lain n-lain. Mediia
meruppakan
fakktor
peneentu
dalaam
perbaanyakan
dengan
kultur k
jaringgan. Kompoosisi mediaa yang digunnakan tergan ntung dengan jenis tannaman yang g akan diperrbanyak. Media M yang digunakan d b biasanya teerdiri dari garam g minerral, vitamin n, dan horm mon. Selainn itu, diperluukan juga bahan b tamb bahan sepertti agar, gula, dan lain--lain. Zat pengatur tumbuh t (hoormon) yanng ditambaahkan jugaa bervariasii, baik jen nisnya mauppun jumlahhnya, terganntung denggan tujuan dari kulturr jaringan yyang dilaku ukan. Mediia yang suddah jadi dittempatkan pada p tabung g reaksi ataau botol-bottol kaca. Media M
8
yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf. Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisasi juga dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus steril (Aisyah dan Dedi, 2011). Ukuran botol, volume media dalam botol, pertukaran udara dalam botol juga mempengaruhi pertumbuhan kultur. Ukuran botol dan volume media dalam botol mempengaruhi ketersediaan oksigen dalam botol yang sangat diperlukan dalam pertumbuhan sel. Laju pertukaran udara dan kekenyalan media menentukan kelembaban botol. Apabila pertukaran gas besar dan media padat, kelembaban akan sangat rendah dan dapat menyebabkan media kering. (Purnamaningsih, 2002). Induksi kalus dapat berhasil apabila dalam media ditambahkan zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh (ZPT) merupakan senyawa organik yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan kultur. Zat yang sering digunakan antara lain auksin (2,4-D, picloram, IAA, dan NAA), sitokinin (BA, kinetin, dan adenin sulfat), giberelin (Giberelin acid), dan inhibitor. Konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan tergantung pada tahap perkembangan yang terjadi. Untuk menginduksi kalus embriogenik, sering digunakan auksin khususnya 2,4-D atau kombinasinya. Penggunaan auksin sendiri atau bersamaan dengan sitokinin juga memberikan hasil yang cukup baik pada beberapa jenis tanaman. Zat pengatur tumbuh tanaman berperan penting dalam mengontrol proses biologi dalam jaringan tanaman (Davies, 1995). Perannya antara lain mengatur kecepatan pertumbuhan dari masing-masing jaringan dan mengintegrasikan bagian-bagian tersebut guna menghasilkan bentuk yang kita kenal sebagai tanaman. Aktivitas zat pengatur tumbuh di dalam pertumbuhan tergantung dari jenis, struktur kimia, konsentrasi, genotipe tanaman serta fase fisiologi tanaman. Beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan embrio somatik adalah jenis eksplan, sumber nitrogen dan gula, serta zat pengatur tumbuh. (Purnamaningsih, 2002). Penggunaan eksplan yang bersifat meristematik umumnya memberikan keberhasilan pembentukan embrio somatik yang lebih tinggi. Eksplan yang dapat digunakan dapat berupa embrio zigotik muda, embrio zigotik dewasa, kotiledon, mata tunas, epikotil,
9
maupun hipokotil. Eksplan yang digunakan dapat berbeda, tergantung jenis tanaman dan tahap perkembangan eksplan. Pemilihan nitrogen dalam media mempengaruhi pH media kultur. Penggunaan NO3– meningkatkan pH melalui eksresi HCO3– dari eksplan, sebaliknya pemakaian NH4+ akan menurunkan pH. Menurut Ammirato (1983) bentuk nitrogen reduksi dan beberapa asam amino seperti glutamin dan casein hidrolisat, sangat penting untuk inisiasi dan perkembangan embrio somatik. Penambahan asam amino dapat merangsang terjadinya komunikasi di antara sel dan jaringan pada organ multiselular (Vesco dan Guerra, 2001). Untuk inisiasi dan pendewasaan embrio somatik diperlukan keseimbangan yang tepat antara NH4+ dan NO3- (Bhojwani dan Razdan, 1989). Konsentrasi NO3- yang terlalu tinggi akan meningkatkan pH media sehingga kalus tidak dapat membentuk embrio somatik. Selain itu gula merupaka salah satu komponen organik yang harus diberikan ke dalam media tumbuh. Gula berfungsi di samping sebagai sumber karbon, juga berguna untuk mempertahankan tekanan osmotik media. Aplikasi embrio somatik selain untuk mikropropagasi dan untuk pelestarian plasma dapat juga digunakan untuk mendukung program pemuliaan tanaman. Saat ini embrio somatik mendapat perhatian yang besar di bidang bioteknologi tanaman, yaitu untuk regenerasi tanaman transgenik dan produksi biji sintetik atau artificial seed.
10
III. Pemanfaatan Embriogenesis Somatik Dalam Usaha Penyediaan Bibit Tanaman Obat
A. Penelitian Embriogenesis Somatik pada Tanaman Obat Tanaman obat yang menghasilkan rimpang seperti jahe di lapangan rentan terserang penyakit seperti busuk akar dan layu bakteri, serta tidak adanya varietas yang tahan. Ketiganya menjadi masalah utama pada produksi jahe. Kemungkinan pengembangan varietas yang tahan, bebas penyakit, dan jumlah banyak dalam waktu yang singkat diperlukan teknik kultur jaringan, (Nirmal Babu, K. et al, 1996). Penelitian kultur jaringan tanaman jahe atau yang sefamili telah cukup banyak dilakukan walaupun tujuannya pada umumnya untuk perbanyakan tanaman melalui induksi tunas samping dari eksplan mata tunas pada medium dasar MS dan modifikasinya, maupun induksi tunas adventif dari eksplan pseudostem dari tunas in vitro pada medium MS padat maupun cair. Jenis-jenis dari keluarga Zingiberaceae yang telah berhasil diperbanyak secara kultur jaringan meliputi jahe hias, Alpinia purpurata dan kencur, Kaempferia galanga. Penelitian regenerasi melalui tahapan pembentukan kalus juga telah dilaporkan untuk tanaman temulawak (Mukhri, Baihaki dan Soedigdo, 1985). Kalus terbentuk pada media dengan 10 mg/l BA dan 15 mg/l NAA dan beregenerasi menjadi tunas, akar, embriod dan kalus jika dipindahkan ke media yang mengandung 10mg/l BA dan 1mg/l 2,4-D. Percobaan Kackar et al (1993), pada induksi kalus jahe dengan media MS+IAA, NAA, 2,4-D, dan Dicamba, menunjukkan hasil setelah 3 minggu. Terdapat dua tipe kalus, yaitu tipe 1 yang keras, putih pucat, dan pertumbuhannya lambat; sementara tipe 2 remah-remah, berair, dan pertumbuhannya cepat. Tipe 2 merupakan kalus embrionik. Kemudian kalus embrionik diseleksi dan disubkulturkan ke media MS+BA. Gambar 2 menunjukkan perkembangan dari induksi kalus embriogenik hingga menjadi tanaman sempurna.
11
Gambar 2. Foto 1-3: embriogenesis somatik pada jahe. (1) Induksi kultur embriogenik di daun muda setelah 4 minggu. (2) Embriogenik (E) dan Non-Embriogenik (NE) di media. (3) Scanning elektron mikrograf dari kalus nodular (G=struktur globular). Foto 4-11: Histologi embriogenesis somatik. (4) Bagian kalus nodular yang menunjukkan sel sangat sitoplasmik dan epidermis pada embrioid. (5) Embrio globular dengan tangkai yang jelas (clear stalk – ST) dan epidermis (EP). (6) Embrio yang menunjukkan diferensiasi scutellar notch. (7) Somatik embrio yang berkembang sempurna (CL = coleoptite; SM = shoot meristem; RM = root meristem). (8) Scanning elektro mikrograf menunjukkan tunas yang muncul dari embrio somatik yang berkecambah. (9) Somatik embrio yang berkecambah dengan tunas (S) dan akar (R). (10) Tanaman yang berhasil diregenerasi. (11) Tanaman yang dibudidayakan di tanah. Rostiana and Syahid (2008) juga melakukan penelitian tentang embriogenesis jahe menggunakan eksplan meristem. Digunakan media MS dengan tambahan 2,4-D dan BA. Kalus embriogenik disubkultur pada media MS 0, dan kemudian diregenerasikan pada media MS dengan tambahan BA dan GA3. Hasilnya menunjukkan bahwa semakin
12
tinggi konsentrasi 2,4-D semakin kompak kalusnya. Embrio dewasa pada subkultur didapatkan 18 hari setelah subkultur. Dan pada minggu keenam mulai membentuk planlet. Media terbaik untuk regenerasi adalah media MS dengan BA 1mg/l. Gambar 3 menunjukkan proses induksi kalus hingga menjadi tanaman dewasa.
Gambar 3. Perkembangan meristem jahe menjadi tanaman regenerasi baru melalui embriogenesis somatik dengan ukuran rimpang normal a. Struktur globular pada embrio somatik jahe, umur 4 minggu setelah pindah tanam ke media ploriferasi (perbesaran 30x) b. Embrio globular, 2 minggu setelah proliferasi (perbesaran 40x). Protoderm mulai berdiferensiasi (tanda panah). c. Embrio somatik jahe struktur torpedo, 18 hari setelah subkultur ke media maturasi (perbesaran 10x). d. Embrio torpedo, 18 hari setelah subkulutr ke media maturasi (perbesaran 40x). Procambium berdiferensiasi (tanda panah) e. Bibit dari embrio somatik pada media MS BA 1mg/l (kiri) dan embrio somatik yang membentuk akar adventif pada media MS 0 (kanan), 30 hari setelah subkultur. f. Planlet dari embrio somatik, 8 minggu setelah subkultur pada MS 0. g. Rizome berukuran normal dari regenerasi jahe dengan embriogenesis somatik melalui kultur meristem.
13
Tunas adventif pada tanaman daun dewa diperoleh dari kalus yang diinisiasi menggunakan media MS + 2.4-D 0,1 mg/l + BA 0,1 mg/l + kinetin 2 mg/l kemudian dipindah ke media tanpa zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh 2.4-D berperan sebagai inisiasi kalus, dengan adanya BA maka pembentukan tunas adventif menjadi lebih aktif (Flick et al., 1993). Zat pengatur tumbuh BA (benzyl adenin) paling banyak digunakan untuk memacu penggandaan tunas karena mempunyai aktivitas yang kuat dibandingkan dengan kinetin (Zaer dan Mapes, l982). BA mempunyai struktur dasar yang sama dengan kinetin tetapi lebih efektif karena BA mempunyai gugus benzil. Pada tiap tahapan membutuhkan kombinasi auksin dan sitokinin yang berbeda. Pada tanaman cendana menggunakan media MS + 3,44 ìM IBA + 0,44 ìM BA (Alam et al, 1998) pada tanaman pepaya untuk induksi kalus embriogenik adalah media MS + 2.4-D 20 mg/l dan untuk memproduksi embrio somatik dan bibit somatik adalah media MS + BA 0,4 mg/l + kinetin 0,1 mg/l (Hutami et al., 2001). Pada tahap pembentukan embrio fase globular dan hati sering digunakan zat pengatur tumbuh sitokinin seperti benzyl adenin atau yang mempunyai peran fisiologis yang sama, yaitu thidiazuron (Husni et al., l997) atau 2.4-D dan NAA apabila embrio somatik melalui fase kalus. Pada tahap pendewasaan, konsentrasi sitokinin diturunkan dan untuk tahap perkecambahan sering ditambahkan GA3 (Mariska et al. 2001). Pembentukan embriosomatik pada tanaman cendana dari eksplan embrio somatik dewasa menggunakan media MS + BA 1 mg/l, sedangkan dari eksplan embrio somatik muda menggunakan media MS + BA 2 mg/l. Perkecambahan embrio somatik membentuk tunas menggunakan media MS ½ + GA3 5 mg/l (Sukmadjaja, 2005). Penambahan air kelapa yang diautoclave pada konsentrasi 15% sebagai substitusi ZPT sintetik Benzyl Adenin menghasilkan multiplikasi tunas temulawak terbaik in vitro dengan rata-rata 3,4 tunas dalam waktu 2 bulan. Pemberian giberelin (GA3) dan air kelapa pada konsentrasi tertentu berpengaruh positif terhadap perkecambahan biji anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis BL) (Seswita et al, 2010). Tahardi et al (2003) melakukan penelitian embriogenesis somatik dan regenerasi tanaman teh melalui perendaman sesaat. Perbanyakan tanaman teh (Camellia sinensis (L.) O. Kuntze) melalui stek tunas berdaun tunggal hanya dapat menghasilkan klon unggul dalam jumlah terbatas. Oleh sebab itu diperlukan metode alternatif dengan teknik kultur sel dan jaringan untuk perbanyakan klonal secara cepat. Dalam penelitian
14
ini dikembangk d kan metodee yang lebiih efektif untuk u regennerasi tanam man teh melalui embrriogenesis somatik laangsung. Massa M proeembriogenik dari ekksplan kotiledon dihassilkan denggan frekuensi 56,7% daalam mediaa MS padatt setengah kkonsentrasi yang menggandung BA AP 2mg/L. Proliferasi, P perkemban ngan, pendew wasaan dann perkecamb bahan embrrio somatikk diperoleh dengan sisttem perendaaman sesaatt (SPS) yanng menggun nakan mediia MS cairr setengah konsentrasii, yang dip perkaya denngan zat ppengatur tum mbuh denggan berbagaai konsentraasi. Proliferaasi embrio meningkat 4,3 kali daalam media yang diberri BAP 2 mg/L; perkembang p gan dan pendewasaaannya menningkat deengan penaambahan kinnetin dan ABA A masinng-masing pada p konseentrasi 0,1 m mg/L yang 30% dianttaranya berrkecambah dan membbentuk plan nlet tanpa penambahaan zat pen ngatur tumbbuh. Protokkol SPS teersebut meerupakan siistem in vitro v yang berpotensi bagi proliiferasi dan perkembang p gan embrio somatik tan naman teh yang y cepat dan sinkron n dari kultuur kotiledonn, serta regeenerasinya menjadi m plaanlet tanpa melalui fasse kalus. Beerikut gambbar selama embriogene e esis dan regenerasi den ngan perendaaman sesaatt.
Gam mbar 4. Som matik embrioogenesis daan regenerassi Camelliaa sinensis, vvar Yabukitta. (a) biiji teh yangg cukup masak. m (b) Embrio E som matik primeer berkembbang di jaringan 15
kotiledon. (c) Sistem pencelupan sementara. (d) Perkembangan sinkron embrio somatik. (e) Embrio yang berkecambah dengan tunas dan akar. (f) Bibit teh dari embrio somatik yang berkembang dari kotiledon.
B. Synthetic Seed Embrio somatik tidak memiliki endosperm dan kulit luar seperti embrio pada umumnya, sehingga embrio somatik membutuhkan nutrisi dan hormon dari luar untuk dapat tumbuh. Umumnya setelah tahap maturasi, embrio ditumbuhkan secara in vitro dengan komposisi media kultur tertentu. Namun hal ini menjadi pembatas dalam hal penyimpanan jangka panjang dan distribusi jarak jauh. Bila penyimpanan dalam waktu lama, distribusi terlalu jauh atau tidak sesuai standar, embrio akan cepat rusak dan tidak dapat tumbuh menjadi tanaman utuh. Salah satu solusinya adalah penggunaan teknik synthetic seed atau benih sintetik. Benih sintetik adalah teknik untuk melapisi embrio dengan lapisan endosperm (matrix) dan kulit biji (seed coat) tiruan, sehingga embrio terlindungi dari kemungkinan kerusakan fisik dan faktor lingkungan. Embrio yang digunakan akan tetap memiliki kemampuan tumbuh menjadi tanaman utuh, sehingga teknik ini sangat efektif dan efisien untuk perbanyakan beberapa tanaman komersial (Capuano et al, 1998).
Gambar 5. Perbandingan biji buatan (kiri) dengan biji alami (kanan) Beberapa tanaman yang dapat diperbanyak dengan teknik benih sintetik adalah tanaman yang memiliki keterbatasan dalam perbanyakan dengan biji, seperti ukuran biji yang sangat kecil, biji yang harus bersimbiosis dengan organisme lain untuk dapat tumbuh seperti anggrek, biji yang endospermnya mereduksi, dan beberapa tanaman produksi yang tidak menghasilkan biji seperti anggur dan semangka. Teknik ini juga
16
dapat diterapkan untuk memperbanyak tanaman hias hibrid, tanaman poliploid, perbanyakan male atau female steril, konservasi plasma nutfah, multiplikasi transgenik, dan lain-lain. Pada embrio somatik yang tidak memiliki endosperm dan kulit biji, teknik benih sintetik ini juga dapat diaplikasikan sehingga embrio somatik dapat disimpan dalam waktu yang lama dan dapat dipindahkan atau didistribusikan lebih aman tanpa kehilangan viabilitas (Saiprasad, 2001). Kelebihan teknik benih sintetik yaitu mudah dalam penyimpanan dan distribusi, memiliki waktu simpan yang lama tanpa kehilangan viabilitas, menjaga sifat klonal embrio, memungkinkan perbanyakan massal tanaman bahkan untuk komoditas komersial yang elit secara ekonomis, dan selalu bebas patogen. Pembuatan benih sintetik menggunakan embrio somatik melalui beberapa tahap. Pertama harus diinisiasi embriogenesis somatik hingga didapatkan embrio somatik yang masak. Embrio yang sudah masak disinkronisasikan, agar saat produksi massal semua embrio memiliki ciri yang sama. Sebaiknya dipilih embrio yang memiliki kualitas baik, kuat, dan dapat menghasilkan tanaman dewasa yang mirip atau sebanding dengan tanaman dewasa dari benih alami. Ketidakmampuan untuk memulihkan embrio dan embrio somatik yang tidak sinkron sering menjadi keterbatasan utama dalam pengembangan untuk komersial. Jika embrio somatik telah dapat disinkronisasikan, kemudian dilakukan produksi massal embrio somatik. Kemudian untuk cara enkapsulasi atau pelapisan juga disinkronisasikan (Fujii et al, 1987). Pada enkapsulasi, embrio dilapisi dengan sodium alginat dan kalsium klorida atau kalsium nitrat. Embrio somatik berukuran 1-3 mm diambil dari agregat, dibilas dengan media MS 0 cair, kemudian dicampur dalam media MS+3% natrium alginat, dengan pH 5,8. Kemudian tiap embrio hidrogel dijatuhkan dengan mikropipet steril ke dalam complexing agent berupa media MS 0 + kalsium klorida (CaCl2) atau kalsium nitrat pada konsentrasi 75-150 mM untuk membentuk kapsul hidrogel. Setelah itu, kapsul hidrogel mengandung embrio somatik didiamkan pada media complexing agent, umumnya selama 30 menit agar mengeras sempurna. Kemudian dibilas menggunakan media MS cair. Untuk menjaga dan mendukung embrio somatik dalam benih sintetik dapat ditambahkan beberapa zat yang berguna, seperti nutrisi, ZPT, fungisida, pestisida, antibiotik, mikrobia, dan lain-lain.
17
Sebagai gelling agent dapat digunakan beberapa campuran, seperti alginat, agar, carboxy methyl cellulose, gelrite, dan lain-lain. Gelling agent yang paling sering digunakan adalah alginat. Hal ini dikarenakan alginat memiliki tingkat kekentalan dan toksisitas yang rendah, dapat melindungi embrio lebih baik, dan kompatibel untuk tanaman. Ketika alginat dan embrio dijatuhkan ke dalam CaCl2, campurannya menjadi membulat dan keras seperti kelereng karena pertukaran ion antara Na+ di alginat dengan Ca2+ di CaCl2.2H2O. Tingkat kekerasan kapsul hidrogel bergantung pada jumlah pertukaran antara ion natrium dengan kalsium. Sehingga konsentrasi natrium alginat, konsentrasi kalsium klodia, dan waktu pencampuran keduanya harus dioptimalisasikan untuk membentuk kapsul hidogel yang keras dan sempurna. Umumnya, 3% natrium alginat, 75 mM CaCl2.2H2O, selama setengah jam memberi hasil benih sintetik dengan viabilitas cukup baik. Jika enkapsulasi sudah sinkron, produksi massal benih sintetik dapat dilakukan. Benin sintetik yang sudah jadi dapat disimpan lebih lama, bahkan hingga 6 bulan pada suhu 40C tanpa kehilangan viabilitas. (Saiprasad, 2001)
Gambar 6. Benih sintetik. A) Kalus embriogenik. B) Embrio somatik dewasa di larutan MS+natrium alginat. C) Embrio dijatuhkan dengan mikropipet. D) Beberapa embrio somatik dalam kapsul hidrogel. E) Benih sintetik. F) Benih sintetik yang mulai berkembang. G) Benih sintetik berkecambah. H) Planlet utuh dari benih sintetik.
18
IV.
Kesimpulan
1. Embriogenesis Somatik dapat digunakan sebagai solusi untuk mengatasi keterbatasan bibit tanaman, terutama tanaman obat seperti jahe, temulawak, teh, dan lain-lain. 2. Keberhasilan embriogenesis somatik tergantung pada jenis eksplan, ukuran botol, volume media dalam botol dan kandungan nutrisinya, zat pengatur tumbuh, dan lingkungan mikro selama inkubasi. 3. Embrio somatik dapat digunakan pada teknik benih sintetik, untuk memperpanjang masa simpan, mempermudah distribusi, menghemat biaya dan tempat, meningkatkan kualitas embrio dan planlet, serta melindungi embrio.
19
Daftar Pustaka
Aisyah, Siti., dan Dedi Surachman. 2011. Teknik sterilisasi rimpang jahe sebagai bahan perbanyakan tanaman jahe sehat secara in vitro. Buletin Teknik Pertanian Vol.16 (1): 34-36. Alam, M., F. Datta, E. Abrigo, A. Vasques, D. Senadhira, and S.K. Datta. 1998. Production of transgenic deep water Indica rice plants expressing a syntetic Bt Cry (B) gene with enhance resistance to YSB. In Endang G. Lestari. 2011. Peranan zat pengatur tumbuh dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan. Jurnal AgroBiogen 7(1): 63-68. Ammirato, P.V. 1983. Embryogenesis. Dalam Purnamaningsih, Ragapadmi. 2002. Regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik dan beberapa gen yang mengendalikannya. Buletin AgroBio 5 (2): 51-58. Bhojwani, S.S. and M.K. Razdan. 1989. Plant tissue culture. Theory and Practise. Elsevier, New York Capuano, G., E. Piccioni, and A. Standardi, 1998. Effect of different treatments on the conversion of M.26 apple rootstock synthetic seeds obtained from encapsulated apical and axillary micropropagated buds. J. Hortic. Sci. Biotechnol 73: 299-305. Davies, P.J. 1995. The plant hormone their nature, occurrence, and function. Dalam Lestari, Endang G. 2011. Peranan zat pengatur tumbuh dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan. Jurnal AgroBiogen 7 (1): 63-68. Flick, C.E., D.A. Evans., and W.R. Sharp. 1993. Organogenesis. In Endang G. Lestari. 2011. Peranan zat pengatur tumbuh dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan. Jurnal AgroBiogen 7(1): 63-68. Fujii, J.A., D.T. Slade, K. Redenbaugh, and K.A. Walker. Artificial seeds for plant propagation. In Saiprasad, G.V.S. 2001. Artificial seed and their application. Resonance Article. IIHR, India. Gaj, M. D. 2001. Direct somatic embryogenesis as a rapid and efficient system for in vitro regeneration of Arabidopsis thaliana. Plant Cell and Organ Culture 64: 39-46.
20
Hutami, S., I. Mariska, R. Purnamaningsih, M. Herman, D. Damayanti, and I.R. Utami. 2001. Regeneration of papaya (Carica papaya L.) through somatic embryogenesis. In Endang G. Lestari. 2011. Peranan zat pengatur tumbuh dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan. Jurnal AgroBiogen 7(1): 63-68. Husni, A., I. Mariska, dan M. Kosmiatin. 1997. Embriogenesis somatik tanaman lada liar. In Endang G Lestari. 2011. Peranan zat pengatur tumbuh dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan. Jurnal AgroBiogen 7(1): 6368. Kackar, A., S.R. Bhat, K,P.S. Chandel, and S.K. Malik. 1993. Plant regeneration via somatic embryogenesis in ginger. Plant Cell Tissue Organ Culture 32 (3): 289-292. Mariska, LS.S. 1997. Teknik perbanyakan benih jahe melalui kultur jaringan. Makalah. Pelatihan Kultur Jaringan Benih Hortikultura, Jakarta. Mariska, I., E.G. Lestari, dan D. Sukmadjaja. 1987. Multiplikasi tunas tanaman mentha melalui kultur in vitro. Dalam Endang G Lestari. 2011. Peranan zat pengatur tumbuh dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan. Jurnal AgroBiogen 7(1): 63-68. Murashige, T., and F. Skoog. 1962. A revised medium for rapid growth and bio assays with tobacco tissue cultures. Physiol. Plant., 15: 473-497. Murkhi, Z., Baihaki A., dan Soedigdo P. 1985. Kultur jaringan temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb., Zingiberaceae) dan studi awal kemungkinan penggunaan mutagen untuk meningkatkan kadar kurkumin. Prosiding Simposium Nasional Temulawak, Universitas Padjadjaran: 167-172. Nirmal Babu, K., Samsudeen, K., Rathnambal, M.J., Ravindran, P.N. 1996. Embryogenesis and plant regeneration from ovary derived callus cultures of ginger (Z. officinale Rosc.). Journal of Spice and Aromatic Crops 5: 134138. Pangesti, Nugrahani., Sukendah, dan Makziah. 2011. Regenerasi eksplan melalui organogenesis dan embriogenesis somatik. Modul Dasar Bioteknologi Tanaman, Universitas Pembangunan Negara “Veteran” Jawa Timur. Purnamaningsih, Ragapadmi. 2002. Regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik dan beberapa gen yang mengendalikannya. Buletin AgroBio 5 (2): 51-58.
21
Rostiana, Otih., and Sitti Fatimah Syahid. 2008. Somatic embryogenesis from meristem explants of ginger. Biotropia (15): 12-24. Saiprasad, G.V.S. 2001. Artificial seed and their application. Resonance Article. IIHR, India. Sastra, Dodo Rusnanda, dan Neliyati. 1939. Pengaruh BAP terhadap pertumbuhan jahe emprit (Zingiber officinale Rosc. Var. amarum) dalam kultur In vitro. Jurnal Agronomi 8 (2): 81-85. Sukmadjaja, D. 2005. Embriogenesis somatik langsung pada tanaman cendana. Jurnal Bioteknologi Pertanian 10 (1): 1-6. Tahardi, J.S., Imron Riyadi, and W.A. Dodd. 2003. Enhancement of somatic embryo development and planlet recovery in Camellia sinensis by temporary liquid immersion. Jurnal Bioteknologi Pertanian vol 8 (1): 1-7. Taryono. 2012. Pengantar Bioteknologi Tanaman. Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada. Toonen, M.A.J. dan S.C. de Vries, 1996. Initiation of somatic embryos from single cells. Dalam: Utami, Edy S.W., Issirep Sumardi, Taryono, dan Endang Semiarti. Pengaruh a-Naphtaleneacetic acid (NAA) terhadap embriogenesis somatik anggrek bulan Phalaepnosis amabilis L. BI. Jurnal Biodiversitas 8 (4): 295-299. Wiendi, N.M.A., G.A. Wattimena, dan L.V. Gunawan. 1991. Perbanyakan tanaman. Bioteknologi Tanaman I. PAU IPB. . Vesco, L.L.D. and M.P. Gurerra. 2001. The effectiveness of nitrogen sources in Feijoa somatic embryogenesis. Plant Cell and Organ Culture 64: 19-35. Zaer and Mapes. 1982. Action of growth regeneration. In Endang G Lestari. 2011. Peranan zat pengatur tumbuh dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan. Jurnal AgroBiogen 7(1): 63-68.
22
Lampiran Diskusi 1. Eni Kaeni (09/281403/PN/11573) Tanya: Tingkat keberhasilan dalam embriogenesis somatik seberapa besar? Kenapa perbanyakan konvensional dapat menurunkan produktivitas tanaman jahe? Jawab: Tingkat keberhasilan dalam embriogenesis somatik tergantung pada syarat tumbuh dari suatu kultur. Jenis ekpslan yang digunakan, komposisi media kultur, sterilitas peneliti dan lingkungan mikro, jenis dan banyak zat pengatur tumbuh yang digunakan, keberhasilan subkultur dan regenerasi, serta proses aklimatisasi. Sebagian hasil panen tanaman jahe akan digunakan untuk bibit kembali, sehingga akan menurunkan produksi jahe. Penyakit busuk rimpang dan layu bakteri juga menjadi penghambat dalam peningkatan produksi jahe. Tidak adanya biji atau embrio generatif yang dihasilkan jahe membuat pemuliaan konvensional untuk mengatasi masalah tersebut sulit dilakukan. 2. Fathin Nabihaty (09/289339/PN/11891) Tanya: Kenapa memilih embriogenesis somatik untuk tanaman obat? Jawab: Dipilih embriogenesis somatik untuk tanaman obat karena dengan embriogenesis somatik akan didapatkan embrio somatik yang memiliki sifat sama dengan embrio normal. Meskipun embriogenesis somatik berasal dari sel vegetatif, tapi mampu membentuk embrio yang memiliki sifat dan dapat tumbuh seperti embrio yang berasal dari generatif. Pada perbanyakan konvensional tanaman jahe misalnya, dari satu mata rimpang hanya didapatkan satu embrio yang berkembang menjadi satu individu dewasa utuh. Sedangkan dengan menggunakan embriogenesis somatik, dari satu mata tunas didapatkan banyak embrio yang berkembang menjadi banyak individu. 3. Ardo Simaremare (09/288916/PN/11882) Tanya: Apa bedanya embriogenesis somatik langsung dan tidak langsung? Jawab: Embriogenesis somatik langsung adalah proses perubahan dari eksplan menjadi embrio somatik langsung tanpa melalui fase kalus. Untuk embriogenesis somatik langsung digunakan eksplan IEDCs atau eksplan yang sudah memiliki kemampuan embriogenik. Sedangkan embriogenesis somatik tidak langsung adalah proses perubahan dari ekplan menjadi embrio somatik melalui fase kalus. Untuk embriogenesis somatik tidak langsung digunakan eksplan PEDCs atau eksplan yang belum memiliki kemampuan embriogenik, atau eksplan yang sudah terdiferensiasi. 4. Happy Dian Lestari (09/281771/PN/11593) Tanya: Embriogenesis somatik pada eksplan jahe, kenapa? Potensinya apa? Jawab: Dengan embriogenesis somatik, jahe dapat diperbanyak dengan cepat, bebas patogen, dalam jumlah banyak, memiliki kemampuan tumbuh menjadi bibit dan tanaman utuh, serta hemat. Tersedianya bibit baru dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat akan meningkatkan produksi tanaman jahe tersebut.
23