Majalah Civitas|Juli 2011
1
Liputan Utama Era Borju Hingga Unyu | 6 Asal Usul Lema | 11 Badan Bahasa, Ibu KBBI, dan Kata Baku | 14 Pendidikan Bahasa Indonesia | 17 Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, dan Bahasa Asing | 20 Kesehatan Bekam, Apa Dasarnya? | 25 Opini Kerancuan Bahasa | 28 Kampungan, Virus Penghancur Bangsa | 70 Liputan Khusus Gayus Tambunan Versi Kampus | 30 Nama STAN Nggak Perlu Dibersihkan | 35 Wawancara Kampus, Pembunuh & Pencetak Koruptor | 37 Kisah Klasik Rasa Mocca | 42 Ekonomi Harry Potter and The Order of Cineplex | 45 English Corner The Risk of Being Bilingual | 48 Sastra Penyair | 50 Resensi Old Shatterhand, Melawan Arus Kulitputih | 55 Working Girls | 63 Gugun Blues Shelter | 68 Madre, Tak Senikmat Filosofi Kopi | 73 Obrolan Bengkel Jeda dan Udara | 58 Mindset | 78 Politik Krisis Kepemimpinan | 65 Budaya Pecinan Jakarta, Tak Kurang Indonesia | 80 Satire Ciye Mahasiswa | 83
2
Majalah Civitas|Juli 2011
Pemimpin Umum: Medi Kurniawan Sekretaris Umum: Milki Izza Kepala Kesekretariatan: Amalia Dinna Paramita Bendahara Umum: Anggraeni Purfita Sari Pemimpin Redaksi: Arfindo Briyan Santoso Redaktur Pelaksana Majalah: Nugroho Budi Sulistyanto Sekretaris Redaktur Pelaksana Majalah: Izati Chorina Kepala Penelitian dan Pengembangan: Tulad Peni Kharisma Manajer Art Center: Arswendy Danardhito Pemimpin Perusahaan: Ghulam Azzam Robbani Layouter: Dirga Satrio Muhammad Desain Cover: Arswendy Danardhito Ilustrator: Tri Hadi Putra Reporter: Aditya Hendriawan Euis Kurniasih Hanifah Muslimah Siti Armayani Ray Kontributor: Abraham Zakky Zulhazmi Asriana Halifah Radi Ariska Putra Gilang Rahmat Hastanto Nurfita Kusuma Dewi Prama Wiratama Telepon: 021 91274205 Pos-el:
[email protected] Laman: mediacenterstan.com
S
emua orang mengetahui fungsi dasar bahasa sebagai alat komunikasi. Dalam perkembangannya, bahasa memiliki tak hanya satu fungsi dasar ini. Seiring waktu, bahasa pun memiliki berbagai karakteristik yang patut diulik. Begitu pula dengan berbagai keunikan yang menjadi ciri khas tiap era perkembangannya. Setiap masyarakat pun tentu memiliki kekhasan masing-masing. Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga memiliki berbagai fungsi istimewa lain. Salah satunya, bahasa sebagai identitas. Seseorang dapat diketahui identitasnya, asalnya, lewat kata-kata dan ciri khas bahasanya. Lantas, bagaimanakah perkembangan bahasa saat ini? Sudahkah penggunaan bahasa kini berada di arah yang benar? Faktanya, bahasa masih terkontaminasi oleh berbagai hal. Bahasa, sejatinya adalah refleksi kejiwaan masyarakat. Pandangan yang rendah diri, bahwa penggunaan bahasa Inggris lebih intelek dari bahasa Indonesia, masih sulit diubah. Kita terlanjur beranggapan bahwa keilmiahan identik dengan bahasa Inggris. Walhasil, perbincangan ilmiah dan politik senantiasa bertaburan istilah asing.
“Cukup mengejutkan, sebab sikap positif terhadap Bahasa Indonesia masih kalah dibanding bahasa asing dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia berada di urutan ketiga setelah bahasa asing dan daerah,” ungkap Sugiyono, Kepala Bidang Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra. Penggunaan bahasa daerah oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari juga turut punya andil dalam realita bahwa bahasa Indonesia belum menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Hal ini pun tidak bisa dianggap negatif sepenuhnya. Di satu sisi, bahasa daerah yang terus dipelihara sebagai budaya jelas tak akan sia-sia dan justru memperkaya khazanah bahasa Indonesia. Begitupun dengan penggunaan bahasa Inggris. Bukan berarti dilarang berbahasa Inggris. Namun, perlu proporsi tepat dari peran masing-masing bahasa untuk menghasilkan harmoni yang indah. Inilah bahasa, kadang sebuah istilah bisa tenggelam walau tidak hilang. Dan sering pula istilah baru marak bermunculan. Hanya saja, jangan sampai salah satu identitas bangsa yang tengah mendunia ini menjadi hilang dengan pemakaian yang semaunya.
Majalah Civitas|Juli 2011
3
Membahasakan
Bahasa
“Kita punya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Tidak semua negara punya dan menggunakan bahasa nasional. Tapi kalau ditanya apakah bahasa Indonesia telah menjadi tuan rumah di negeri sendiri, jawabannya belum,” (Ivan Lanin)
A
pa yang kini disebut “bahasa Indonesia”, mulanya bukanlah bahasa Indonesia yang fungsi dan kedudukannya seperti sekarang. Ia ‘hanyalah’ bahasa Melayu Riau yang penuturnya terbatas di lingkungan Melayu Riau saja. Jika bahasa lokal ini lalu menjadi bahasa nasional dan berubah nama menjadi bahasa Indonesia, inilah letak prestasi dan wibawanya, bisa menjadi salah satu pemersatu bangsa Indonesia yang terdiri dari 1.128 suku bangsa (Sensus Badan Pusat Statistik, 2010) dan 742 bahasa daerah (Kompas, 2008). Sadar atau tidak, bahasa Indonesia telah mengalami berbagai perubahan sejak pertama kali digunakan dan sudah sangat berbeda dengan bahasa induknya (Melayu Riau). Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi melalui media elektronik, cetak, internet atau media lain, membuat perkembangan teknologi media-media tersebut menjadi salah satu faktor pengubah bahasa. Perubahan ini mencakup penggunaan bahasa baku dan munculnya istilah-istilah baru. Perkembangan teknologi yang cenderung cepat membuat kita dengan mudahnya berpendapat dan dengan mudahnya pula pendapat ataupun gagasan tersebut dibaca oleh banyak orang. Jejaring sosial memegang peran yang menonjol dalam masalah ini. Facebook misalnya. Pada tahun
4
Majalah Civitas|Juli 2011
2008, empat tahun setelah didirikan, situs yang satu ini belum mendapat respon sedahsyat sekarang terutama di Indonesia, termasuk di kampus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara ini. Penggunanya masih segelintir dan menjadi minoritas di antara demam Friendster yang masih melanda. Dengan tingkat kepopuleran yang masih rendah, Facebook belum berperan sebagai penggalang opini civitas STAN. Sebelum era jejaring sosial, sarana menyampaikan pendapat kepada mahasiswa STAN terbatas lewat selebaran, buletin, atau media Kampus saja. Bandingkan dengan saat ini, tahun 2011. Tiga tahun setelah Orde Baru, sarana berpendapat begitu banyak terutama di dunia maya. Booming Twitter yang terjadi belakangan menambah daftar panjang media maya yang efektif dalam penyampaian pendapat atau dalam pola penggiringan opini publik. Tidak perlu susah-susah mencetak tulisan, memperbanyak, kemudian menyebarkannya. Tulis saja status kontroversial di grup Facebook atau di laman profil Facebook sendiri, kemungkinan besar banyak orang akan mereply-nya. Satu syarat untuk menyampaikan opini telah terpenuhi: meraih perhatian publik. Cepatnya perkembangan media di dunia maya inilah yang membuat Andreas
Harsono, jurnalis independen senior, sempat menyarankan untuk menutup saja Tabloid Civitas dan memaksimalkan laman Media Center STAN di internet. Begitu mudahkah? Fungsi media sebagai sarana pembentukan opini publik dan sarana pengawasan kepada badan eksekutif maupun legislatif di kampus STAN ini sayangnya kurang bertaji. Contoh, ada satu berita yang dirasa merugikan oleh seorang oknum. Dengan mudahnya ia akan menyerang balik dengan posting. Kalau beruntung, postingan ini mendapat banyak pemerhati yang akhirnya terseret kepada arus pemikiran oknum tersebut. Apakah oknum tersebut bisa dipercaya? Boleh jadi iya atau juga tidak. Namun, verifikasi setiap berita pada media Kampus menjadi satu poin penting yang membuat media, dalam hal ini pers mahasiswa, layak untuk lebih dipercaya. Ketika penyampaian pendapat masih berkutat pada media-media cetak, masalah penggunaan bahasa mutlak menjadi sorotan yang dominan. Penggunaan kalimat yang tidak ambigu, kebenaran ejaan, atau ketepatan istilah yang digunakan, masih menjadi pertimbangan bagi penyampai pendapat. Sebaliknya, menjamurnya media beropini di dunia maya membuat pertimbangan-pertimbangan di atas cenderung diabaikan atau malah ditinggalkan sama sekali. Konsekuensi mungkin menjadi salah satu pertimbangan. Ketika opini ditulis dalam media cetak dan kemudian menyebar, ia menjadi bukti kuat jika di kemudian hari ada seseorang yang merasa dirugikan oleh pendapatnya tersebut. Sedangkan dalam media maya, orang mudah menghilangkan bukti dengan menghapus tulisan yang telah ia buat, atau mengedit tulisan yang terlalu kontroversial. Tentu sebelum ia ketiban sial jika sudah ada orang yang lebih dulu mem-print screen-nya sebelum diedit atau dihapus.
Inilah media maya. Secara tidak langsung ia membuat tata bahasa Indonesia terabaikan. Dengan seenaknya sendiri pula seseorang bisa membuat istilah yang belum baku dalam bahasa Indonesia, lantas marak digunakan publik. Tentu laman bertajuk The Largest Indonesian Community atau Kaskus ini sudah tak asing di telinga dan mata kita. Banyak sudah bahasa pergaulan seharihari yang dimunculkan laman ini. Sebutlah sapaan Gan, Pertamax, Afgan (sadis), serta istilah baru lagi yaitu Eben yang bermakna penjebak (mengacu pada kasus penjebakan oleh seorang oknum polisi bernama Eben Patar Opsunggu terhadap penjual iPad di Forum Jual Beli Kaskus). Beragam istilah yang muncul dan seringkali tidak baku di situs forum terbesar di Indonesia ini bukan tidak mungkin akan menjadi ejaan baku bahasa Indonesia jika disetujui oleh para pengamat bahasa. Ini artinya, secara de facto, istilah tersebut telah ‘ada’. Kata ini lantas harus melewati diskusi ahli-ahli bahasa sebelum masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pengakuan kebakuan bahasa seperti ini sudah pernah terjadi pada istilah yang dipopulerkan oleh J.K. Rowling dalam novel Harry Potter: muggle. Kata ini pertama digunakan dalam seri kesatu Harry Potter. Istilah muggle dalam novel itu sendiri adalah sebutan bagi seseorang yang tidak mempunyai kemampuan sihir. J.K. Rowling berkata bahwa dia menciptakan kata muggle dari kata mug, yang dalam bahasa Inggris berarti seseorang yang mudah dibodohi. Kata muggle telah ditambahkan ke dalam Kamus Inggris Oxford pada 2003 untuk menyebut seseorang yang tidak menguasai suatu keahlian. Kata tersebut biasa digunakan oleh sekelompok pakar untuk menyebut orang-orang di luar kelompok mereka.
Majalah Civitas|Juli 2011
5
Perkembangan Bahasa di Indonesia:
Era Borju hingga Unyu
“Pepatah yang mengatakan ‘bahasa menunjukkan bangsa’ kali ini bagi saya berarti bahasa Indonesia memang menunjukkan bangsa ini: manusia kepulauan yang merantau, berpindah, berniaga, membentuk kerajaan besar-kecil yang tak pernah panjang umur, mendirikan kota tanpa tembok, menganut agama yang berbeda-beda....” (Goenawan Mohamad)
6
Majalah Civitas|Juli 2011
S
umpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 mengawali penggunaan nama “bahasa Indonesia”. Nama bahasa Indonesia dipilih untuk menghindari kesan imperialisme bahasa yang mungkin terjadi bila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Memang, dasar bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu. Dalam perkembangannya, ia mengalami perubahan semasa digunakan sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial. Berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20 turut punya andil dalam perubahan ini. “Pada zaman itu (Sumpah Pemuda), lingua franca yang dipahami semua orang itu bahasa Melayu. Pertamanya berkembang di perdagangan. Interaksi pertama antarsuku bangsa itu dari perdagangan di pelabuhan,” tutur Ivan Razela Lanin, pemerhati bahasa Indonesia, pakar internet dan editor Google Indonesia. Hampir semua pelabuhan kala itu menggunakan bahasa Melayu. Bahasa Melayu kemudian masuk ke lingkungan sekolah dan komunitas pemuda yang dikenal dengan dengan Jong Java, Jong Celebes, dan lain-lain. Ketika mereka bertemu dalam Sumpah Pemuda, bahasa yang dapat digunakan bersama adalah bahasa Belanda dan bahasa Melayu. Karena itulah, meskipun mayoritas forum berasal dari Jong Java, bahasa Melayu tetap dipilih sebagai dasar bahasa Indonesia. Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 secara konstitusional mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat, baik di kota-kota maupun di daerah pelosok. Bahasa Indonesia terus berkembang seiring dengan laju zaman. Perkembangan ini ditandai dengan bertambahnya kosakata dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) setiap tahunnya. Pada tahun 1988, ‘hanya’ terdapat 62.100 lema. Tiga
tahun kemudian (1991), edisi kedua KUBI memuat 68.000 lema. Sepuluh tahun setelahnya, 2001, edisi ketiga KUBI terbit dengan penambahan lema tidak kurang dari 10.000—sebuah perkembangan yang pesat, signifikan, dan fantastis. Pada tahun 2008, 10.000 lema ditambahkan ke dalam KUBI. Total seluruh lema pada edisi keempat KUBI mencapai angka 90.000. Melihat perkembangan tersebut, edisi-edisi KUBI berikutnya tidak diragukan lagi akan dihiasi penambahan lema-lema baru. Ivan melihat perkembangan ini sebagai sesuatu yang positif. “Jumlah kosakata bahasa berbanding lurus dengan tingkat kebudayaan bangsa tersebut,” ujarnya. Bagi Ivan, bahasa dan tiap kata melambangkan konsep. Bertambahnya jumlah kosakata menandakan peningkatan jumlah konsep yang dimengerti oleh bangsa tersebut. Di sisi lain, ada yang memandang banyaknya serapan kata ini berlebihan. Ikram Putra, editor Yahoo! Indonesia, adalah salah satunya, “Beberapa orang tuh yang seneng bahasa juga sering coba-coba mencari beberapa padanan kata (yang) agak maksa, agak lebay.” Ikram menjelaskan pandangannya tersebut dengan mencontohkan beberapa serapan yang menurutnya tidak tepat, “Misal inbox, ya tinggal in adalah masuk, box itu kotak. Inbox berarti kotak masuk. Di bahasa Indonesia-in jadi aneh banget. Karena seolah-olah menerjemahkan itu gampang. Nggak semudah itu penerjemahan.” Begitu pun dengan timeline yang diterjemahkan sebagai linimasa serta deadline yang menjadi garis mati. Penerjemahan ini pun menurut Ikram terlalu dipaksakan. Menurutnya, Indonesia memiliki beberapa konsep yang berbeda dengan masyarakat Eropa, salah satunya
Majalah Civitas|Juli 2011
7
dalam hal waktu. Indonesia tidak pernah punya konsep deadline dan timeline. “Orang Indonesia kan nyangkul aja, orang agraris kan nyangkul. Misalnya, ‘Lu mau ke rumah gue?’, ‘Jam berapa?’, ‘Habis asar deh.’ Habis asar bisa berarti jam lima, atau bahkan habis magrib kan?” tuturnya. Ikram menerangkan, kebiasaan ini berbeda dengan kebiasaan bangsa pelaut yang lebih tepat waktu karena dalam pekerjaannya, mereka sangat bergantung pada arah angin yang berubah pada jam-jam tertentu setiap harinya. “Masyarakat agraris santai aja enam bulan hujan enam bulan panas. (Mereka) peduli waktu tapi nggak seketat yang sampai bener-bener ketat banget,” lanjut Ikram, “kalau nggak dipanen hari ini, besok masih bisa dipanen, gitu kan. (Sedangkan) pelaut, kalau nggak lu angkat tuh jangkar sekarang, bisa repot ini.” Ikram menyebutkan teh celup sebagai contoh penerjemahan yang menurutnya benar. “Di Inggris nggak ada deep tea kan. Yang ada tea bag. Karena mereka minum teh dari dulu emang caranya gitu: teh dimasukkan dalam kantong terus diseduh. Kita nerjemahinnya teh celup karena dicelup-celup kan,” tuturnya. Ikram sendiri berpendapat bahwa seharusnya kita mengelola dan memelihara apa yang sudah ada, bukan justru terus menambah kata-kata baku dalam bahasa Indonesia, “Kadang yang ini aja kita masih belum kepegang.” Dari Prokem hingga AL4y Berbahasa Indonesia yang baik dan benar mempunyai konsekuensi logis terkait
dengan pemakaian yang sesuai dengan situasi dan kondisi. Pada situasi formal, penggunaan bahasa Indonesia yang benar menjadi prioritas utama. Benar, dalam arti sesuai dengan tata bahasa yang baku. Bahasa dalam karya ilmiah adalah contoh bahasa yang benar, sedangkan bahasa yang baik itu adalah bahasa yang sesuai dengan konteks. Ivan Lanin mencontohkan, “Ngomong di sini kalau saya pakai bahasa Indonesia yang baku pasti aneh kan? Maksudnya saya nggak pakai dialek betawi misalnya, jadi kayak guru ngobrol sama muridnya. Itu bahasa yang baik, bahasa yang sesuai dengan konteksnya.” Bahasa Indonesia dalam bentuk lisan maupun tulisan terkait erat dengan ragam bahasa yang setidaknya berjumlah empat. Ragam pertama adalah ragam beku, yaitu ragam yang biasa digunakan dalam Undang-undang. Kedua, ragam formal yang digunakan dalam karya ilmiah dan acara formal. Kemudian ada ragam percakapan yang digunakan sehari-hari. Terakhir, ada ragam akrab/intim yang biasa dipakai saat bicara dengan orang-orang terdekat atau keluarga. Ivan menjelaskan, dalam ragam beku masing-masing kata memiliki makna sendiri yang tidak dapat ditukar. “Kalau lihat Undang-undang, itu kan kelihatan strukturnya jelas. Menimbang, mempertimbangkan, ini, ini, ini. Itu berbeda dengan ragam formal,” ujar Ivan. Ragam formal lebih fleksibel. Pemilihan kata— yang disebut diksi—bisa sangat beragam. “Sedangkan (dalam) ragam intim benerbener kita bisa pakai bahasa yang bahkan cuma kita berdua aja yang tahu,” jelasnya.
Bahasa Melayu kemudian masuk ke lingkungan sekolah dan komunitas pemuda yang dikenal dengan Jong Java, Jong Celebes, dan lain-lain. Karena itulah, meskipun mayoritas forum berasal dari Jong Java, bahasa Melayu tetap dipilih sebagai dasar bahasa Indonesia.
8
Majalah Civitas|Juli 2011
Selain bermacam ragam, borju sebagai kependekan Huruf vokal pertama dari dari borjuis, dan sebutan kehidupan berbahasa bangsa Indonesia turut kata tersebut ditambah culun untuk orang yang lugu. diwarnai dengan variasi dengan ‘ok’, lalu dirangkai bahasa. Bahasa gaul, Di awal dekade berikutnya, dengan suku kata misalnya. Bahasa yang mulai film Catatan si Boy berikutnya. Suku kata muncul pada akhir tahun masih memengaruhi setelahnya dihilangkan. ‘70-an ini merupakan bagian pergaulan. Namun dari ragam percakapan. mendekati pertengahan Misalnya, kata gila yang Pada saat itu, bahasa tahun, kiblat bahasa gaul diubah menjadi gokil, gaul yang dikenal sebagai beralih ke televisi. Selain bapak menjadi bokap, dan entertainer, sosok yang bahasanya anak jalanan lain-lain. atau bajingan, lebih sering menjadi panutan anak gaul disebut dengan bahasa pada masa ini adalah penyiar prokem (preman). Bahasa prokem sendiri radio. Indra Safera dan Debbie Sahertian, mengalami pergeseran fungsi dari bahasa contohnya. rahasia menjadi bahasa yang sering digunakan dalam pergaulan. Dalam konteks Bahasa gaul lebih dikenal khalayak ramai kekinian, bahasa gaul merupakan dialek setelah Debby Sahertian mengumpulkan bahasa Indonesia nonformal yang terutama kosakata dalam komunitas anak gaul digunakan di suatu daerah atau komunitas tersebut dan menerbitkannya dalam tertentu. Kamus Bahasa Gaul pada tahun 1999. Dalam perkembangannya, kosakata dalam kamus Bahasa prokem mempunyai rumus ini menjadi identik dengan waria. Sebut saja tersendiri dalam pembentukan kosakata. kata aku yang bertransformasi jadi akika, Huruf vokal pertama dari kata tersebut begitu menjadi begindang, enak dibilang ditambah dengan ‘ok’, lalu dirangkai endang, pacaran jadi pecongan, dan kata laki dengan suku kata berikutnya. Suku kata yang disebut lekong. setelahnya dihilangkan. Misalnya, kata gila yang diubah menjadi gokil, bapak menjadi Tahun 2000-an menjadi era pesatnya bokap, dan lain-lain. Dalam praktek, rumus perkembangan bahasa gaul. Hampir setiap ini berlaku fleksibel dan menghasilkan bulan muncul istilah baru. Sumbernya tak kata-kata yang tidak sama persis dengan sebatas dari kalangan entertainer atau rumus. Seperti kata ibu atau nyak menjelma waria, tapi juga kapster salon dan kalangan nyokap, polisi menjadi plokis, dan BF (blue homoseksual. Beberapa kata berasal dari film) disebut bokep. tren tahun sebelumnya dengan perubahan pada pengucapannya. Pada tahun ’80-an, perkembangan bahasa tak luput dari gaya hidup masyarakat “Itu namanya ragam temporal,” jelas perkotaan. Di era ini, diskotik menjamur Ivan, “contohnya kalau sekarang kan di mana-mana. Lupus, novel remaja bahasa alay baru, ada bahasa Blok M, ada karangan Hilman Hariwijaya yang sempat bahasa (Catatan) si Boy. Setiap zaman diangkat ke layar lebar, jadi acuan anak gaul ada bahasa yang dijadikan identitas.” zaman itu. Film Catatan si Boy juga menjadi Modifikasi bahasa seperti ini adalah gejala tontonan wajib. Karya-karya pop itulah lazim dalam dunia linguistik. Pasalnya, yang membikin beken banyak istilah bahasa selain digunakan sebagai alat komunikasi, gaul. Kosakata gaul yang marak saat itu di bahasa juga merupakan identitas. “Misal antaranya adalah bigos dari biang gosip, di sini Mas ketemu orang Jogja, pasti
Majalah Civitas|Juli 2011
9
ngomongnya pakai bahasa Jogja kan? Nah itu menunjukkan identitas,” urainya. Kendala yang harus dihindari dalam pemakaian bahasa baku antara lain gejala interferensi, integrasi, campur kode, alih kode dan bahasa gaul yang tanpa disadari sering turut digunakan dalam komunikasi resmi. Akibatnya, bahasa yang digunakan tidak sesuai dengan definisi baik lagi. Berbahasa yang baik, berarti menempatkan diri sesuai kondisi. Situasi nonformal atau pembicaraan yang santai, misalnya, memang tidak terikat kaidah bahasa. Kebiasaan berbahasa pada kondisi tak resmi seperti itulah yang memungkinkan munculnya gejala interferensi, integrasi, campur kode, alih kode maupun bahasa gaul. Dewasa ini, pemakaian bahasa Indonesia mulai tergantikan oleh pemakaian bahasa remaja/bahasa gaul. Interferensi bahasa gaul kadang muncul dalam situasi resmi. Akibatnya, penggunaan bahasa yang harusnya baku menjadi tidak baik dan tidak benar. Namun, menurut Ivan, penggunaan bahasa alay, bahasa Kaskus, dan semacamnya itu tak bisa disalahkan selama masih dalam tataran ragam percakapan atau suasana akrab. Masalah muncul ketika karya ilmiah dibuat dengan bahasa tak baku itu. Seputar Regulasi “Ada dua aliran,” jawab Ivan ketika ditanya mengenai perlunya peraturan-peraturan terkait penggunaan bahasa Indonesia. Menurutnya, bahasa itu tumbuh dari budaya. Seperti halnya budaya yang tidak bisa diatur, beberapa kalangan juga berpendapat bahwa bahasa itu tidak perlu diregulasi. Ada juga pandangan lain yang berpendapat bahwa bahasa, terutama bahasa formal, perlu diatur. “Kalau saya cenderung milih yang kedua,” kata Ivan.
10
Majalah Civitas|Juli 2011
Ivan berpendapat, masyarakat Indonesia belum mencapai tahap penentuan mana yang benar dan mana yang salah, “Anak kecil baru berjalan, belum tahu listrik itu bahaya, jangan dipegang. Kita masih butuh rambu-rambu. Nggak perlu ketat, setidaknya orang tahu bagaimana seharusnya.” Regulasi bahasa diperlukan sejauh pengaturan penggunaan bahasa formal di ranah publik. “Misal, pejabat yang nggak pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar itu harus dipecat. Tapi ya gimana, yang lebih berat dosanya aja, misal korupsi, dibiarin. Memang penegakan hukum kita menjadi kendala.” Terkait sanksi, Zulkarnain, dosen mata kuliah Bahasa Indonesia di STAN mempunyai pandangan tersendiri. “Sanksinya adalah dari masyarakat. Memang tidak ada sanksi pidananya,” terangnya. Menurut Zulakrnain, tidak mungkin memidanakan setiap warga Indonesia yang tidak menggunakan bahasa Indonesia. “Memang sanksi yang dihimbau adalah sanksi kemasyarakatan,” ujar Zulkarnain. Lantas, bagaimana kita bisa berperan dalam perkembangan bahasa itu sendiri? Ivan berkeyakinan bahwa perkembangan bahasa Indonesia harus dimulai dengan menumbuhkan rasa bangga akan bahasa sendiri. Kebanggaan inilah yang dirasanya belum ada pada masyarakat Indonesia. “Kayak kita bangga akan bangsa Indonesia. Kebanggaan timbul ketika main bola atau ketika batik diakui oleh Malaysia. Rasa nasionalisme itu muncul secara reaktif bukan proaktif. Lakukan hal hal kecil agar kita bangga menjadi bangsa Indonesia,” pungkasnya. [Arfindo B. S./Milki I.]
Asal Usul Lema Bagaimana sebuah kata terpilih masuk kamus? Bagaimana kata itu, dari sekian kombinasi huruf yang mengemukakan sebuah konsep, bisa dipilih untuk dibakukan? Bagaimana ia lalu berkembang menjadi sebuah lema—entri kata atau frasa dalam kamus?
S
emua bermula dari Badan Bahasa. Badan Bahasa, dengan bantuan ahli leksikografi atau ahli penyusunan kamusnya, bertanggung jawab meneliti asal usul sebuah kata sebelum dimasukkan ke dalam kamus. Ketika ditemukan konsep baru dan belum ada kata lain dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang memiliki definisi sesuai konsep tersebut, dilakukanlah penyerapan kata dari bahasa daerah atau bahasa asing.
Majalah Civitas|Juli 2011
11
“Daerah kita dulu kan kaya, lebih dari 746 bahasa daerah di Indonesia yang menurut Summer Institute of Linguistics ada di Indonesia,” tutur Yeyen Maryani, Sekretaris Badan Bahasa, ”tapi oleh Badan Bahasa ke depan, bahasa ini harus lebih diteliti, bisa lebih banyak dari 746.” Dari sekian banyak bahasa daerah yang ada, Yeyen juga menambahkan bahwa ada beberapa bahasa yang telah atau akan punah. Hal tersebut terjadi karena penutur bahasanya semakin sedikit dan tidak ada generasi muda yang mau melanjutkan penuturan bahasa itu. Jika suatu hal menimpa si penutur, misalnya bencana alam atau hal lain yang membuat penuturnya meninggal, bahasa itu sudah dipastikan akan punah. Kelangkaan penutur ini terutama terdapat di wilayah Indonesia Timur. Bahasa akan terus berkembang karena manusia juga berkembang. Hal seperti ini juga berlaku pada bahasa Indonesia. Oleh karena itu, beragam kosakata baru yang bisa menambah khazanah bahasa Indonesia sangat mungkin muncul. “Kosakata itu akan terus berkembang karena manusia berkembang. Nah yang sekarang pesat perkembangannya itu ialah perkembangan kosakata ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi,” tambah Yeyen. Yeyen memberikan contoh penyerapan kata mouse menjadi tetikus. Menurutnya, kata tetikus dimunculkan karena kata tikus sudah ada dalam kosakata bahasa Indonesia yang berarti hewan, padahal jika diterjemahkan langsung dari bahasa Inggris, kata mouse memang berarti tikus. Akhirnya, para ahli berpendapat untuk menggunakan kata tetikus sebagai padanan kata mouse.
12
Majalah Civitas|Juli 2011
Proses perjalanan sebuah kata, dari mulai ditemukan hingga dibakukan dalam KBBI tidaklah singkat. Ketika sebuah kata baru ditemukan, misalnya melalui media massa, kata tersebut lantas dicatat oleh suatu bagian dalam Badan Bahasa yang khusus bertugas memantau perkembangan kata di media massa. Proses pemantauan media massa ini sendiri berlangsung setiap hari. Setelah itu, dilakukan pendataan kata-kata baru untuk dimasukkan dalam bank data. Kata ini kemudian diamati: berasal dari bahasa mana, menampung konsep yang mana, sudahkah ada kata di KBBI yang bisa menampung konsep tersebut. Misalkan, konsep yang menyatakan “isi atau bagian terpenting dari sesuatu”. Karena ketika itu belum terdapat kata yang memiliki definisi serupa, diseraplah kata dari bahasa Sansekerta “intisari”, yang mempunyai arti sesuai dengan konsep tersebut. Setelah itu, kata ini dibahas oleh para pakar. Tak hanya ahli bahasa, para pakar bidang lain pun dilibatkan. Untuk istilah perekonomian, contohnya. Badan Bahasa turut berdiskusi dengan ahli ekonomi, memastikan bahwa kata baru tersebut memang dipakai di kalangan ekonom dan mengangkat konsep yang belum terdefinisikan oleh kata-kata yang ada dalam KBBI, serta menyusun pengertian yang tepat untuk kata tersebut. Kata baru tersebut lantas disesuaikan dengan teori-teori pembentukan kata. Apakah kata tersebut tergolong kata benda, kata sifat, atau kata yang lain? Bagaimana penggunaan dan pemberian imbuhannya? Kata ini lantas melalui penyesuaian ejaan sesuai ketentuan bahasa Indonesia. Penyerapan dari bahasa Inggris, misalnya. Kata yang memiliki huruf “l” dobel diharuskan menjadi satu “l” saja. Alliance, balloon, dollar menjelma aliansi, balon, dan dolar.
Setelah menjalani semua proses tersebut, barulah si kata baru ini dimasukkan ke dalam kamus, menjadi sebuah lema. Lalu, mungkinkah kata baru seperti unyu menyusul muggle yang telah diakui Oxford Dictionary, bisa segera masuk KBBI? “Itu kan tidak serta merta ya, tentu perlu proses, dari kata apanya, dievaluasi dulu, lalu nanti disesuaikan dengan teori leksikografi, teori pembentukan istilah dan lain sebagainya. Jadi tidak bisa cepat,” jelas Yeyen. “Untuk kamus ini kita perbaiki lima tahun sekali, maksudnya untuk jadi kamusnya. Tapi prosesnya itu sendiri bukan lima tahun. Kan menyusunnya tidak bisa satu masukan (lantas) ganti lagi kamusnya, ganti lagi, nggak bisa gitu ya,” tambahnya lagi. Rentang waktu lima tahun ini sendiri terkait dengan kongres bahasa yang memang diselenggarakan setiap lima tahun. Proses ini pun sifatnya terbuka terhadap hal yang tidak sesuai dengan proses pembentukan kata. Misalnya, berdasar teori, kata tersebut masuk ke dalam kata sifat. Namun ternyata dalam praktek kata tersebut digunakan untuk kata benda. Terhadap kasus seperti ini, tidak tertutup kemungkinan terjadinya revisi terhadap pedoman umum pembentukan kata.
Daerah kita dulu kan kaya, lebih dari 746 bahasa daerah di Indonesia yang menurut Summer Institute of Linguistics ada di Indonesia.
Setelah kata tersebut dibakukan, Badan Bahasa kemudian memasarkan kata tersebut. Tujuannya adalah menginformasikan masyarakat mengenai kemunculan kosakata yang baru ini. Cara pemasarannya bisa dilakukan dengan meminta bantuan akademisi, penulis buku, media massa, dan lain sebagainya. Namun, Yeyen mengakui, pemasaran yang paling efektif adalah melalui media massa. “Yang sangat membantu itu media massa. Kami di sini katakanlah produksi kosakata dalam kamus, kalau tidak dipakai kan orang tidak tahu. Yang sangat membantu ya teman-teman wartawan, jurnalis. Nanti bisa memasarkan produk-produk kosakata baru yang sesuai dengan kaidah bahasa kita,” ungkap Yeyen. [Aditya H./Anggraeni P.]
Majalah Civitas|Juli 2011
13
Badan Bahasa, Ibu KBBI dan Kata Baku
B
Kepala Badan yang saat ini dijabat oleh Prof. Dr. E. Aminudin Aziz, bertanggung jawab langsung kepada Menteri Pendidikan Nasional.
Indonesia (KBBI). Selain itu, bagian ini juga menghasilkan pedoman-pedoman bahasa Indonesia yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti Pedoman Umum Pembentukan Istilah dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Selain itu, Pusat Pengembangan ini turut bertanggung jawab atas istilah-istilah ilmiah untuk kamus khusus bidang keilmuan. Pekerjaan tersebut melibatkan kerjasama dengan berbagai pakar dari lingkup nasional sampai internasional. Contoh kerjasama internasional ini adalah Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (MABBIM). MABBIM rutin mengadakan pertemuan tahunan para pakar bahasa. Pertemuan ini membahas istilah atau kosakata dalam bidang keilmuan yang memang membutuhkan pertimbangan para pakar sebelum dikodifikasikan ke dalam kamus.
Pusat Pengembangan dan Perlindungan, sesuai namanya, berfokus mengembangkan dan melindungi bahasa. Salah satu produknya adalah Kamus Besar Bahasa
Pusat Pembinaan dan Pemasyarakatan berfokus pada usaha peningkatan sikap positif masyarakat terhadap penggunaan bahasa Indonesia. Masyarakat sebagai
Badan Bahasa sejatinya bernama lengkap Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional. Berkat Peraturan Presiden No. 24 Tahun 2010, kedudukan Badan Bahasa yang dulu bernama Pusat Bahasa ini naik dari eselon II menjadi eselon I di lingkungan Kementerian Pendidikan. Badan yang menangani masalah kebahasaan dan kesastraan di Indonesia ini bertugas mengembangkan, membina, serta melindungi bahasa dan sastra Indonesia. Badan Bahasa memiliki 30 Balai Bahasa di seluruh Indonesia, instansi vertikal yang mendukung terlaksananya tugas-tugas tersebut.
14
Majalah Civitas|Juli 2011
pengguna bahasa terdiri atas berbagai lapisan, mulai dari anak-anak, remaja, sampai orang dewasa. Berdasar keterangan Dra. Yeyen Maryani, M.Hum, Sekretaris Badan Bahasa, kalangan remajalah yang penggunaan bahasanya paling bervariasi di antara bermacam lapisan ini. “Di periode tertentu seperti remaja, dia kan ingin membedakan dirinya tuh dari yang lain. Dia ingin memprioritaskan eksistensi dirinya. Jangankan kepada orang tuanya, kepada temannya juga atau kelompok lain dia juga ingin membedakan dirinya. Satu kelompok membuat bahasa sendiri. Bahasa seperti itu, kita tidak menganggap bahasa Indonesia. Itu bahasa gaul atau bahasa alay mungkin,” ungkapnya. Pemasaran Kata Proses pembakuan kata-kata baru dilakukan dalam suatu forum yang diselenggarakan oleh Badan Bahasa. Ketika suatu kata telah mengalami proses seleksi dan telaah oleh para pakar, kata tersebut akan disosialisasikan melalui berbagai media. Caranya? ”Kami menerbitkan buku-buku. Lalu nanti kami minta bantuan para dosen di kampus, sekolah, lalu (kata baru tersebut) dipakai. Jadi pakar-pakar itu tidak hanya mengajar tetapi juga menulis,” papar Yeyen. Untuk kalangan media massa sendiri, sebagai sarana pemasaran kata yang paling efektif, terdapat forum bahasa media massa. “Secara berkala mereka berdiskusi, ‘Nah ini ada kata-kata baru yang sudah kami masukkan dalam kamus dan bisa dipakai,’” tambahnya. Selain bertugas membakukan kata, Badan Bahasa juga bertugas untuk mengevaluasi kalimat dalam Undang-undang, Perpres, maupun peraturan-peraturan resmi lain sebelum diterbitkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Kalimat-kalimat
yang berkekuatan hukum tersebut akan diteliti dahulu oleh Badan Bahasa, terutama agar tidak bertafsir ganda. Pembinaan Bahasa Pembinaan Bahasa meliputi tugas mendorong pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar. Baik berarti digunakan sesuai situasi, sedangkan benar berarti berbahasa sesuai aturan, kaidah, tata bahasa dan ejaan. Tak terkecuali penggunaan bahasa Indonesia dalam media televisi dan lirik lagu. Penyiar berita di televisi memang berbicara dalam bahasa lisan, tetapi ia tetap harus memperhatikan struktur bahasa agar maksud berita yang ia baca dapat tersampaikan. Penggunaan struktur kata dalam lirik lagu pun dianjurkan memakai bahasa yang benar. Pasalnya, jangkauan lagu kini makin tak berbatas, liriknya pun makin variatif. Sepuluh tahun lalu, para orang tua tak perlu khawatir jika anak mereka menyimak lagu Sherina atau Katon Bagaskara. Sekarang, lagu yang didengar (dan sering dihapalkan) anak-anak adalah sejenis milik Melinda atau 7 Icons. Usaha pembinaan penggunaan bahasa Indonesia kini sampai pada tahap perancangan Perpu tentang Pengembangan Pembinaan Perlindungan Bahasa. Perpu tersebut sedang dikaji oleh DPR. Selain Undang-undang yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia, ada Peraturan Presiden yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia khusus untuk kalangan presiden, wakil presiden dan menteri. Usaha pembuatan Perpu ini dimaksudkan agar rakyat Indonesia lebih mencintai bahasanya. Maraknya penggunaan istilah asing di papan nama, iklan, nama toko atau supermarket menjadi ironi tersendiri di tengah bangsa kita. “Waktu itu, saya baru kembali dari perjalanan. Sepanjang jalan
Majalah Civitas|Juli 2011
15
Bahasa seperti itu, kita tidak menganggap bahasa Indonesia. Itu bahasa gaul, atau bahasa alay mungkin... Dra. Yeyen Maryani, M.Hum, pulang dari bandara, saya lihat reklame dan baliho berbahasa Inggris. Ini saya sedang di Indonesia atau di mana?” kisah Yeyen. Badan Bahasa sendiri sebenarnya pernah memberikan teguran kepada pihak-pihak tersebut agar tertib berbahasa. “Di Jepang, Perancis, Malaysia, mereka mencintai bahasanya. Kalaupun mau, bahasa Inggris itu tidak dilarang, kita itu tidak antibahasa inggris atau apapun. Tapi karena kita punya bahasa Indonesia sebagai jati diri, maka pakai bahasa Indonesianya dulu,” tegas Yeyen. Tak hanya dalam budaya sehari-hari, dalam dunia pendidikan pun masalah berbahasa ini menampar telak bangsa Indonesia. Seperti yang pernah disorot Kompas bulan Mei 2011, hasil Ujian Nasional tahun 2011 menunjukkan bahwa nilai rata-rata mata pelajaran bahasa Indonesia lebih rendah daripada nilai bahasa Inggris. Menurut Yeyen, hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa
16
Majalah Civitas|Juli 2011
bahasa Indonesia itu mudah. Ada banyak lembaga yang menawarkan kursus bahasa Inggris, tapi nyaris tak pernah kita temukan lembaga kursus bahasa Indonesia. Padahal, ujian bahasa Indonesia terbukti tak bisa dipandang sebelah mata. Namun, kini para orang tua tetap lebih bangga jika anaknya yang berumur empat tahun sudah fasih berbahasa Inggris, meskipun bahasa Indonesianya, jati dirinya, masih tertatihtatih. Ketika bertemu dengan warga asing, kita akan menebak identitasnya berdasarkan ciri fisik dan bahasa yang ia gunakan. Apakah ia warga negara Jepang atau penduduk Jerman dapat kita lihat dari ciri fisik, ucapan dan intonasinya. Jika warga Indonesia lebih bersemangat berbahasa Inggris, apa yang lantas membedakan kita dari orang Malaysia atau Filipina? Bahasa Inggris itu keperluan, tetapi bahasa Indonesia adalah keharusan. [Aditya H./Anggraeni P.]
“
“
Pendidikan Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia hampir tak pernah absen dari sekolah, mulai pendidikan dasar hingga di (sebagian) perguruan tinggi. Namun, pemahaman tentangnya dirasa masih tak sebanding dengan lama pendidikan yang ditempuh.
Majalah Civitas|Juli 2011
17
“Mau yang ngajar Luna Maya juga... ah nggak menarik deh,” Ikram Putra
“Pelajaran bahasa Indonesia emang ngebosenin, ngisi LKS (Lembar Kerja Siswa) dan ketika kita tahu yang kita pelajari itu nggak ada gunanya,” tutur Ikram Putra, editor Yahoo! Indonesia. Dirinya menyatakan bahwa pendidikan bahasa Indonesia yang dipelajari di sekolah berbeda dengan apa yang dihadapi di kehidupan sehari-hari. “Mau yang ngajar Luna Maya juga...ah nggak menarik deh,” gelaknya. Terlebih lagi, beberapa aturan dalam bahasa Indonesia menurut Ikram tidak konsisten. “Sebut aja objek ya. Bacanya objek bukan obyek, tapi kalau projek bukan projek tapi proyek. Padahal kata aslinya kan –ject. Itu bahasa Inggrisnya,” jelasnya. Ia juga mencontohkan penyerapan kata dari bahasa Inggris yang berakhiran –ty. University diserap menjadi universitas, faculty menjadi fakultas, “Tapi kadang masih ada yang tetep –ti, misalnya celebrity itu kan tetep selebriti, security–sekuriti. Tetep,” paparnya, “(ketidakkonsistenan itu) mungkin, yang bikin orang jadi mikir, ‘Ah cuek ah.’” Ada apa dengan pelajaran bahasa Indonesia? Pertanyaan ini sontak hadir ketika hasil Ujian Nasional (UN) 2011 diumumkan. Pelajaran bahasa Indonesia muncul sebagai batu sandungan. Sekitar 1.786 siswa SMA atau sekitar 38,43% dari siswa yang tak lulus ini gagal akibat nilai Bahasa Indonesia yang berada di bawah ketentuan kelulusan. Bahasa Indonesia telah menjadi momok
18
Majalah Civitas|Juli 2011
menakutkan kedua setelah pelajaran matematika. Menurut Kanta Rio Saputra, mahasiswa STAN Spesialisasi Akuntansi Pemerintah, pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah mengajarkan tentang penerapan kemampuan berbahasa, namun soal ujian yang ada cenderung menguji segi pengetahuan, bukan kemampuan berbahasa. Kanta berpendapat, kemampuan berbahasa Indonesia siswa dapat lebih terukur dengan ujian-ujian yang lebih menekankan kemampuan berbahasa. “Menulis atau berpidato mungkin. Bukan soal-soal pilihan ganda,” contohnya. Ketaksukaan terhadap pelajaran ini bisa jadi bermula sejak siswa berada pada tahun pertama jenjang pendidikan dasar. Hal ini tentu mengherankan mengingat bahasa Indonesia adalah bahasa nasional. Selain digunakan oleh lebih dari 250 juta penduduk negeri ini, bahasa Indonesia juga digunakan oleh penduduk di negara berbahasa Melayu seperti Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam. Sekitar 45 negara asing telah mengajarkan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah mereka seperti Australia, Amerika Serikat, Kanada, Vietnam dan lainlain. Bahkan hingga era 1990-an, bahasa Indonesia adalah bahasa asing yang paling populer di Australia. Lalu mengapa pelajaran bahasa Indonesia menjadi begitu menakutkan bagi generasi muda bangsanya sendiri? Apakah bahasa Indonesia pelajaran yang begitu sulit? Di manakah letak kesulitannya? Beberapa penelitian terkait dengan pendidikan bahasa Indonesia dilakukan oleh dua proyek Bank Dunia yaitu PEQIP dan Proyek Pendidikan Dasar. Penelitian tersebut dilakukan di beberapa Sekolah Dasar di Indonesia untuk mencari gambaran dari hasil pembelajaran bahasa Indonesia. Tes ini dinilai berdasarkan lima unsur: tulisan tangan (menulis rapi), ejaan, tanda baca, panjangnya karangan, dan kualitas bahasa yang digunakan.
Hanya 16% anak sukses menulis tanpa kesalahan ejaan. Sebanyak 52% anak bisa menulis dengan ejaan yang baik (mayoritas kata dieja dengan benar), sementara lebih dari 30% menulis dengan kesalahan ejaan yang parah atau sangat parah. Sejumlah 58 % anak memberi tanda baca pada tulisan mereka dengan baik (dikategorikan bagus atau sempurna) dan lebih dari 35% anak melakukan kesalahan dalam penulisan tanda baca/dikategorikan kurang baik. Sebanyak 58% siswa menulis lebih dari setengah halaman dan 44% siswa dinilai baik isi tulisannya, yaitu yang gagasannya terungkap jelas dengan urutan logis. Pada umumnya anak kurang dapat mengelola gagasannya secara sistematis. Banyak anak yang sulit menulis karangan yang berkualitas dan berkuantitas, serta menggunakan ejaan dan tanda baca yang memadai, karena mereka jarang menulis dengan kata-kata mereka sendiri. Mereka lebih sering menyalin dari papan tulis atau buku pelajaran. Fakta tersebut menggambarkan Kegiatan Belajar Mengajar bahasa Indonesia di SD yang masih belum maksimal, walaupun jam pelajaran bahasa Indonesia sendiri diberi porsi yang cukup banyak. Peran guru bahasa Indonesia sebagai tokoh sentral dalam pengajaran juga tak lepas dari sorotan. Peranan penting ini juga dikemukakan oleh Harras (1994). Hasil penelitian di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia, mengkonfirmasikan peran guru sebagai determinan penyebab rendahnya mutu pendidikan di suatu sekolah. Penelitian oleh International Association for the Evaluation of Education Achievement pun menunjukkan pengaruh yang signifikan antara tingkat penguasaan guru atas bahan ajar dengan prestasi para siswanya. Sarwiji (1996) yang meneliti kesiapan guru bahasa Indonesia menemukan bahwa kemampuan guruguru tersebut masih kurang. Kekurangan itu, antara lain, terletak pada pemahaman tujuan pengajaran, kemampuan
Zulkarnain mengembangkan program pengajaran, dan penyusunan serta penyelenggaraan tes hasil belajar. Guru bahasa Indonesia dituntut memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran yang langsung berhubungan dengan aspek pembelajaran menulis, berbicara, membaca, dan berbahasa. Zulkarnain, dosen mata kuliah bahasa Indonesia di STAN, memandang bahwa dari segi kurikulum, pendidikan bahasa Indonesia sudah sesuai dengan pemikiran para ahli. Masalah terjadi pada pelaksanaan di lapangan. Zulkarnain mencontohkan para guru yang sering salah menyebut kata memesona menjadi mempesona. Minimnya buku-buku pendidikan bahasa Indonesia juga turut disinggung sebagai faktor. Ia mengimbau agar pemerintah mengadakan lebih banyak buku-buku bahasa Indonesia, terutama di daerah-daerah. Sedangkan Ivan menganggap bahwa kurangnya pemahaman pelajar terhadap pendidikan bahasa Indonesia ini lebih disebabkan oleh sikap meremehkan. Parahnya, sikap meremehkan ini tidak hanya timbul di kalangan pelajar, tetapi di semua generasi. Menurut Ivan, masyarakat Indonesia secara ironis mengabaikan tata bahasanya sendiri, tetapi sangat memedulikan tata bahasa asing. “Bukan ke kesulitan, tapi ketidakpedulian,” pungkas Ivan menggarisbawahi. [Arfindo B.S/Milki I.]
Majalah Civitas|Juli 2011
19
Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, dan Bahasa Asing Tahukah Anda bahwa bahasa persatuan Indonesia diidamkan negara tetangga? Seperti dikutip dari laman www. says.my, wadah generasi muda Malaysia bertukar pendapat, “Thailand dan Indonesia: satu negara satu bahasa. Kenapa di Malaysia bahasa kebangsaan sering dipinggirkan?”
20
Majalah Civitas|Juli 2011
U
ndang-undang Dasar 1945 menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu dan media massa, termasuk bahasa pengantar pendidikan di sekolah dan universitas di seluruh negeri. Bahasa Indonesia juga merupakan bahasa yang resmi digunakan oleh Pemerintah Daerah seluruh Indonesia. Hasilnya, mayoritas rakyat dari Sabang sampai Merauke bisa berbahasa Indonesia. Namun, bahasa Indonesia mungkin tak lagi menjadi idola di negeri sendiri. Beberapa tahun terakhir, peran bahasa asing terutama bahasa Inggris makin menguat di kalangan generasi muda. Alasannya klasik: penguasaan bahasa Inggris yang baik menjamin alih teknologi yang lebih cepat. Inilah salah satu landasan munculnya Sekolah Rintisan Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar mata pelajaran matematika dan IPA. Hasil Ujian Nasional SMA tahun 2010 lalu juga menguatkan pandangan ini. Kompas (Juni, 2010) menyatakan, dari Ujian Nasional lalu, nilai rata-rata bahasa Inggris lebih besar dibanding nilai rata-rata bahasa Indonesia. Zulkarnain, salah seorang dosen bahasa Indonesia STAN, memandang pendapat mengenai “penguasaan Bahasa Inggris mempercepat alih teknologi” tersebut terlalu berlebihan. Menurutnya, sebagai sebuah bangsa, masyarakat seharusnya mendahulukan penggunaan bahasa Indonesia sesuai amanat Undang-undang Dasar 1945. Ia juga menyatakan bahwa penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di RSBI/SBI merupakan sebuah masalah. Ia yakin bahasa Indonesia mampu menjadi bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. “Bahasa Indonesia itu kalau sekiranya tidak dipakai, terlebih dalam ilmu teknologi, bahasa Indonesia itu akan kerdil,” terangnya.
Ivan Razela Lanin, seorang pemerhati bahasa Indonesia, pakar internet dan editor Google Indonesia, melihat bahwa penyebab utama rendahnya nilai Ujian Nasional Bahasa Indonesia adalah faktor ketidakpedulian. “Kita kalau nulis bahasa Inggris pasti kita tekun, bener nggak maknanya? Kapan kita pakai in, on? Coba kalau kita nulis (dalam bahasa Indonesia), kita nggak peduli kapan kita pakai di, kapan pakai pada? Kita abai ke tata bahasa kita sendiri, tapi kita sangat peduli ke tata bahasa orang,” papar Ivan. Hywel Coleman, peneliti senior bidang Pendidikan Keguruan di University of Leeds, Inggris, menemukan keterkaitan yang menarik antara tingkat perekonomian suatu negara dengan bahasa pengantar yang digunakan. Penelitian Coleman yang berlangsung tahun 2009—2010 menemukan bahwa hampir semua negara berperekonomian kuat menggunakan bahasa ibu mereka sebagai bahasa pengantar di sekolah. Misalnya Jerman, Inggris, Jepang, dan Korea Selatan. Sebaliknya, negara-negara miskin dan berkembang mulai menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah, seperti Afrika, Pakistan, dan Indonesia. Hasil penelitian yang telah dibukukan dan diterbitkan oleh British Council Asia Tenggara dengan tajuk Teaching Other Subjects through English in Two Asian Nations: Teacher’s Response to Globalisation ini sangat relevan dengan polemik yang mengiringi perjalanan sekolah-sekolah negeri di Indonesia yang berstatus RSBI/SBI. Sah Pakai Bahasa Asing Setiap bidang, baik pariwisata, ekonomi, politik dan teknologi, memiliki istilah bidangnya sendiri. Sayangnya, masyarakat Indonesia seakan terbawa dengan kebiasaan penggunaan bahasa asing tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Majalah Civitas|Juli 2011
21
Masyarakat Indonesia terkesan lebih bangga menggunakan bahasa asing dibandingkan dengan bahasa nasional. Fenomena seperti Ivan Lanin ini, menurut Ivan, terjadi karena pengaruh globalisasi. Namun, seharusnya Indonesia dapat mencontoh Jepang perkara globalisasi. “Orang Jepang itu tetap setia dengan bahasa mereka sendiri. Kalau orang lain butuh, toh mereka akan mempelajari bahasa Jepang,” kisah Ivan. Ia juga mencontohkan masyarakat Perancis yang tetap menggunakan bahasa Perancis, “Ada suatu kebanggan nasional dengan menggunakan bahasa sendiri.” Ivan mengakui pentingnya bahasa Inggris untuk konteks yang memang mengharuskan penggunaan bahasa tersebut, misalkan urusan hubungan luar negeri. Namun, penggunaannya mesti disesuaikan, “Sebagian besar penduduk Indonesia nggak pernah ke luar negeri. Ngapain ngomong bahasa Inggris? Saya tak mengecam, tapi (bahasa) harus dipakai sesuai tempatnya.” Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun kerap menggunakan istilah maupun bahasa asing dalam pidato resminya dan menuai banyak kritik untuk tindakannya ini. Identitas dalam Bahasa Lïlïkïnsï de kara son hap de zini sa zaho ta gwibin zini in hap talusublula. Zëre mo domba zahona hen zëno ola man tame nul gwenan. Zëno mae mo bosem-sena kim gubirida gwenda, dekam zep wet noso gweblanan.
22
Majalah Civitas|Juli 2011
Tulisan tersebut adalah bahasa Orya, bahasa lokal yang digunakan oleh saudara sebangsa dan setanah air di Papua. Penggunanya hanya tersisa sekitar 2.000 orang. Hingga kini, bahasa tersebut masih digunakan dan dilestarikan lewat Injil yang diterjemahkan ke bahasa Orya. Bahasa Orya adalah satu dari 746 bahasa daerah yang eksistensinya makin sulit dideteksi di Indonesia. Bahasa ini terutama terdapat di daerah timur, berasal dari bahasa yang tidak serumpun dengan bahasa Melayu, sehingga jarang ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Menurut kajian Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, diperkirakan 90% dari 746 bahasa daerah di Indonesia terancam punah pada akhir abad ke-21. Artinya, hanya akan tersisa sekitar 75 bahasa saja di Indonesia kelak. Menurut UNESCO, di setiap tahunnya ada 10 bahasa daerah yang punah di seluruh penjuru dunia. Pada akhir abad ke-21, sekitar 50% dari 6.000 bahasa di dunia akan punah, sebab saat ini penuturnya tinggal sekitar 10.000 orang. Padahal salah satu syarat lestarinya bahasa adalah jika penuturnya mencapai kisaran 100.000 orang. “Penyebab kepunahan bahasa tersebut bisa diakibatkan oleh perang, bencana alam, urbanisasi, dan kawin campur,” kata Sugiyono, Kabid Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra Badan Bahasa, saat sosialisasi Peraturan Penggunaan Bahasa Indonesia di Samarinda pada 10 Mei 2011 lalu. Keengganan menggunakan bahasa daerah pun menjadi salah satu pelemahan eksistensi bahasa daerah. Modernisasi kehidupan masyarakat, globalisasi teknologi yang berlangsung cepat, serta kurangnya rasa bangga
dalam menggunakan bahasa daerah ini menyebabkan keberadaan bahasa daerah makin tak terlihat. Padahal, bahasa daerah adalah bagian dari budaya sehingga masyarakat yang berbudaya harus memiliki bahasa untuk dapat mengkomunikasikan budayanya. Bahasa daerah juga menunjukkan identitas. Namun, nyatanya banyak masyarakat asli suatu daerah yang tidak mengerti bahasa daerahnya. Anggapan bahwa penggunaan bahasa ibu kurang prestisius, gengsi, hingga alasan “kampungan” bermunculan dan menggeser keberadaan bahasa ibu ini. Haruskah kita gunakan bahasa Inggris agar terasa lebih prestisius atau berbangga menjadikan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan? Bahasa Daerah Sepi Peminat Sugiyono mengatakan bahwa minat terhadap bahasa Indonesia, di antara bahasa Inggris dan bahasa daerah, berada di urutan ketiga. Bahasa daerah lebih disukai dibandingkan dengan bahasa Indonesia, tetapi tidak lebih diminati jika dibandingkan dengan bahasa Inggris. Paradigma bahwa “penggunaan bahasa Inggris itu lebih intelek” sulit diubah. Bahasa daerah sebagai kekayaan bangsa harus dijaga keberadaannya. Pemerintah sendiri telah melakukan berbagai upaya untuk membantu pelestarian bahasa daerah melalui berbagai pembinaan. “Pemerintah, dalam hal ini Pusat Bahasa, setiap tahun ada anggaran untuk pembinaan, (termasuk) pembinaan bahasa daerah, di samping bahasa Indonesia,” ungkap Zulkarnain, yang juga merupakan salah satu pejabat di Balai Bahasa.
Salah satu cara memperkaya bahasa Indonesia adalah melalui penyerapan kosakata baru dari bahasa daerah. Proses ini mengutamakan kata yang berasal dari bahasa daerah. Jika tak ada, barulah diserap dari bahasa asing. Begitu pula dengan penggalakan pelestarian bahasa daerah di televisi. “Bahasa Inggris juga menjadi salah satu mata pelajaran dalam tatanan kuliah. Itu juga tidak bisa kita abaikan dan bukan alasan untuk menyingkirkan bahasa Indonesia. Bahasa Inggris dipergunakan untuk pergaulan agar kita tidak tersingkirkan oleh mereka (masyarakat asing),” tambahnya lagi. Tanpa penguasaan bahasa Inggris, bangsa kita mungkin akan dikucilkan dalam pergaulan internasional. Tidak akan terjadi komunikasi antar masyarakat dengan latar belakang daerah yang berbeda. Hal tersebut malah melunturkan persatuan dan kesatuan bangsa, sekaligus berpotensi menimbulkan konflik antara orang antar/suku daerah. Lantas, apakah minimnya penggunaan bahasa daerah dan bahasa Indonesia serta makin populernya bahasa Inggris tersebut telah mencerminkan bangsa Indonesia yang maju? Zulkarnain menjawab, “Itu relatif. Tergantung ukuran maju itu dari mana.” Wacana pemerintah lainnya dalam memasyarakatkan penggunaan bahasa daerah ini adalah dengan mewajibkan penggunaan dan pelestarian bahasa daerah ke dalam Peraturan Daerah. Ketentuan tersebut mungkin tak lazim di zaman globalisasi seperti ini. Namun, jika peraturan tersebut membawa banyak dampak positif, kenapa tidak? [Euis K./Medi K.]
Majalah Civitas|Juli 2011
23
Bekam,
Apa Dasarnya?
Bekam atau hijamah adalah teknik pengobatan dengan jalan membuang darah kotor dari dalam tubuh melalui permukaan kulit. Metode dari Cina dan Timur Tengah ini dalam bahasa Inggris disebut dengan cupping dan dalam bahasa Melayu dinamai dengan istilah bekam. Indonesia turut mengenal terapi ini dengan nama kop atau cantuk. Proses bekam diawali dengan menyungkupkan mangkuk, gelas, tabung, atau bambu yg dipanaskan sehingga menimbulkan bendungan lokal di permukaan kulit, menimbulkan efek analgetik, anti bengkak, mengusir patogen angin dingin maupun angin lembab, mengeluarkan racun, serta oksidan dalam tubuh. Pada teknik bekam basah, setelah terjadi bendungan lokal, terapi dilanjutkan dengan penyayatan permukaan kulit memakai pisau bedah atau dengan penusukan jarum bekam agar darah kotor keluar.
24
Majalah Civitas|Juli 2011
Thomas W. Anderson, penulis 100 Diseases Treated by Cupping Methode, menyebutkan bahwa terapi bekam baik untuk penderita penyakit tertentu, misal hipertensi, hiperkolesterolemia, stroke, parkinson, epilepsi, migrain, vertigo, gagal ginjal, varises, wasir, rematik, nyeri pinggang bawah, infeksi hepatitis, dan insomnia. Ada juga pasien yang melakukan bekam untuk kesuburan dan untuk kecantikan seperti menghilangkan jerawat, komedo, vitiligo, dan menurunkan berat badan.
Pelaksanaan bekam turut mempertimbangkan kondisi pasien. Bekam sebaiknya tidak dilakukan pada wanita hamil (pada daerah perut dan punggung bawah), wanita menstruasi dan nifas, orang yang sedang mengkonsumsi obat pengencer darah, sedang cuci darah, baru melakukan donor darah, penderita dengan kondisi yang sangat lemah dan tekanan darah sangat rendah, serta orang yang sedang kelaparan, kenyang, atau gugup. Bekam dapat dilakukan pada pasien berumur minimal empat tahun, selama pasien kooperatif. Pada orang tua, ibu hamil dan anak-anak, pembekaman dilakukan dengan sayatan yang tipis, tekanan kop yang ringan dan titik bekam yang terbatas. Jenis-Jenis bekam Ada tiga jenis bekam yang biasa dipraktekkan. Pertama, bekam kering atau bekam angin, yaitu menghisap permukaan kulit dan memijat tempat sekitarnya tanpa mengeluarkan darah kotor. Bekam kering ini berkhasiat untuk melegakan sakit secara darurat, meringankan nyeri urat punggung akibat rematik, juga penyakitpenyakit penyebab nyeri punggung lainnya. Bekam kering baik bagi orang yang tidak tahan disuntik atau melihat darah. Kulit yang dibekam akan tampak merah kehitam-hitaman selama tiga hari. Prinsip dasar bekam kering adalah teknik sedasi/ pelemahan dan pengeluaran patogen yang berlebih. Jenis kedua, bekam basah, diawali dengan bekam kering. Permukaan kulit kemudian disayat dengan jarum tajam (lancet) lalu di sekitarnya disungkupkan cupping set dan hand pump untuk mengeluarkan darah kotor. Setiap hisapan berlangsung antara tiga sampai maksimal sembilan menit. Penghisapan dilakukan tidak lebih dari tujuh kali. Darah kotor yang keluar berupa darah merah pekat dan berbuih. Selama tiga jam setelahnya, kulit yang lebam bekas bekam
tersebut itu tidak boleh dibasuh air. Bekam ini diulang setiap minimal tiga minggu. Bekam api, sesuai namanya, menggunakan api sebagai media vakum/pembekam. Bekam api memakai gelas khusus dari kaca tebal. Bekam Api terutama berkembang luas di Cina sebagai teknik pengobatan yang banyak digunakan selain akupuntur. Konsep TCM (Tradisional Chinese Medicine) menyatakan bahwa bekam api digunakan untuk mengeluarkan patogen angin dan dingin. Kacamata Ilmiah Dalam artikel ilmiah Muhammad Amin Syaikhu, ilmuwan Damaskus, mekanisme kesembuhan dari praktik bekam terletak pada dibersihkannya tubuh dari darah rusak yang menghambat berjalannya fungsi dan tugas tubuh secara sempurna, sehingga tubuh menjadi mangsa empuk bagi berbagai penyakit. Penelitian terhadap darah yang keluar melalui bekam, menghasilkan beberapa fakta kesehatan:
1. darah bekam mengandung sepersepuluh kadar sel darah putih (leukosit) yang ada di dalam darah biasa. Hal tersebut terlihat dalam seluruh kasus yang diteliti, tanpa pengecualian. Fakta ini menunjukkan bahwa terapi bekam tetap melindungi unsur-unsur sistem kekebalan;
2. semua sel darah merahnya memiliki
bentuk yang tidak normal. Artinya, selsel tersebut tidak mampu melakukan aktivitas dan justru menghambat sel-sel lain yang masih muda dan aktif. Hal ini mengindikasikan bahwa bekam membuang sel-sel darah merah yang rusak dan darah yang tidak dibutuhkan lagi dengan tetap mempertahankan selsel darah putih; dan
Majalah Civitas|Juli 2011
25
darah bekam sangat tinggi (550— 1.100), menunjukkan bahwa bekam mempertahankan zat besi yang ada di dalam tubuh tidak ikut keluar bersama darah yang dikeluarkan dengan bekam.
Penelitian lain tentang bekam dilakukan Dr. Amir Muhammad Sholih, dosen tamu di Universitas Chicago, peraih penghargaan bidang pengobatan natural dan anggota Organisasi Pengobatan Alternatif di Amerika. Menurut Dr. Amir, pengobatan dengan bekam ini tengah dan telah dipelajari dalam kurikulum kedokteran di Amerika. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh fenomena pengobatan bekam yang terbukti bermanfaat. Pasalnya, orang yang melakukan bekam dirangsang pada titik saraf tubuh seperti halnya pengobatan akupuntur. Namun yang membedakan terapi bekam dengan terapi akupunktur ialah pada terapi tusuk jarum, reaksi yang dihasilkan hanyalah sebatas perangsangan, sedangkan pada terapi bekam selain proses perangsangan juga terjadi proses pergerakan aliran darah. Hal senada diungkapkan oleh Dr. Ahmad Abdus Sami, Kepala Divisi Hepatologi Rumah Sakit Angkatan Darat Mesir. Dia menjelaskan, “Riset juga membuktikan, pembuangan sebagian darah seperti dalam terapi bekam terbukti mampu memulihkan reaksi pengobatan menjadi lebih cepat sehingga bekam bisa diterapkan sebagai terapi pendamping pengobatan medis.”
26
Majalah Civitas|Juli 2011
Dr. Amir pernah melakukan percobaan pada pasien yang terinveksi virus hepatitis C dan memiliki kadar besi cukup tinggi dalam darahnya. Setelah pasien diterapi bekam dan diberi obat interferon dan riboviron, reaksi yang muncul positif dan kekebalannya meningkat. Padahal sebelum dibekam tubuh pasien nyaris tidak bereaksi terhadap obat tersebut. Efek Samping (?) Sisi buruk pada bekam terjadi jika terapis kurang menguasai teknik bekam sehingga mengakibatkan malpraktek seperti melakukan bekam di wajah, menusuk syaraf wajah, sayatan/tusukan terlalu dalam sehingga mengenai pembuluh darah besar dan menyebabkan pendarahan. Kesalahan lain yang fatal adalah membekam di sambungan sendi seperti lutut sampai mengeluarkan cairan sendi sehingga pasien untuk beberapa waktu tidak bisa berjalan. Efek samping juga dapat muncul ketika syarat pembekaman kurang terpenuhi. Misalnya mual/muntah saat waktu bekam terlalu dekat dengan waktu makan, lemas akibat pembekaman yang dilakukan di terlalu banyak titik, atau keluarnya gelembung waktu pembekaman dilakukan terlalu lama dan kekuatan pompa terlalu kuat. Efek samping tersebut jarang sekali terjadi jika bekam dilakukan sesuai aturan. [Nugroho B. S./disarikan dari berbagai sumber]
“
terapi bekam terbukti mampu memulihkan reaksi pengobatan menjadi lebih cepat
“
3. kapasitas ikatan zat besi dalam
Kerancuan Berbahasa Nurfita Kusuma Dewi*
Orang sering tidak paham tentang kesaktian yang terkandung dalam bahasa. Bahasa mencerminkan mentalitas, pemikiran, kecenderungan pribadi, kekayaan pengalaman, dan kepekaan sosial penutur. Ketika seorang penutur memiliki pikiran yang kacau, bahasa yang diucapkan pun akan kacau. Sama halnya ketika penutur tidak mampu menghayati makna kata, rasa bahasa yang lahir pun ikut kacau. Menurut catatan sejarah, suatu bangsa unggul dari bangsa lain karena kemampuan berbahasa yang dimilikinya. Republik ini pun bisa merdeka dan diakui dunia internasional bukan hanya perkara bedhil (senapan), melainkan karena pemikiran dan bahasa yang digunakan oleh SoekarnoHatta dalam diplomasi. Andai Sutan Sjahrir yang dikirim untuk membela rakyat Indonesia di depan Dewan Keamanan PBB memiliki pemikiran dan kemampuan berbahasa yang kacau, apakah Republik ini akan tetap terbentuk?
Bahasa memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Itulah mengapa Thomas B. Macaully, Direktur Pendidikan Inggris di India, menjabarkan filosofi penjajahan Inggris dengan mengatakan, ”My duty is to form a class...Indian in blood and colour, but English in tastes, in opinions, in morals, and in intellect.” India, Filipina, dan tak terkecuali Malaysia telah gagal menjadikan bahasa Hindi, Tagalog, dan Melayu sebagai bahasa nasional. Untuk catatan sejarah ini, Indonesia patut bersyukur karena merupakan salah satu negara di Asia Selatan dan Tenggara yang berani berjuang melepaskan diri dari hegemoni linguistik sang penjajah. Gejala Rancu Namun di balik kejayaan berbahasa di masa lalu, bangsa ini tengah menunjukkan gejalagejala pemakaian bahasa Indonesia yang nyeleneh dan rancu. Ada kecenderungan kuat generasi muda saat ini, terutama mahasiswa, kurang berminat melakukan
Majalah Civitas|Juli 2011
27
kajian-kajian bahasa, sastra dan ilmu humaniora. Kajian pada ilmu-ilmu eksak dan pragmatis, seperti ilmu akuntansi, teknik, fisika, tidak diiringi dengan keinginan memperbaiki kemampuan berbahasa, baik lisan maupun tulisan. Soenjono Dardjowidjojo, guru besar linguistik Unika Atma Jaya, membagi kerancuan berbahasa ini dalam empat gejala. Pertama adalah gejala kontradiksi. Dalam kata “sumbangan wajib” kita akan menemukan perilaku yang tidak sejalan antara yang dikatakan dan yang dilakukan. Kata “sumbangan” yang berfitur semantik dengan kata ”sukarela” justru dikolokasikan dengan kata ”wajib”. ”Sumbangan wajib” dinilai lebih sopan dibandingkan kata ”iuran wajib”, meskipun makna kata yang hadir menjadi rancu. Kedua adalah gejala keraguan. Ketika seorang mahasiswa ditanya oleh dosen tentang suatu hal, jawaban yang diberikan bukan ”tidak tahu” melainkan ”kurang tahu”. Dalam bahasa Indonesia memang ada kata-kata yang bergradasi yakni ”kurang manis” dan ”kurang minum”. Namun ada pula yang tidak bergradasi seperti ”kurang mati” dan ”kurang tahu”. Penggunaan kata ”kurang tahu” menempatkan penutur pada area abu-abu, tidak hitam dan tidak putih, alias ragu-ragu. Ketiga adalah gejalah anomali. Ungkapan ”mengejar ketertinggalan” menunjukkan keganjilan dalam pola pikir. Seseorang mengejar sesuatu untuk ditangkap. Jika yang dikejar ayam, tujuannya adalah mendapatkan ayam. Jika yang dikejar ketertinggalan, pada saat tujuannya tercapai, yang ia peroleh adalah ketertinggalan itu sendiri. Gejala keempat adalah sesuka gue. Dalam sebuah diskusi kelas, seorang mahasiswa berpendapat dan berkata, ”Mungkin
28
Majalah Civitas|Juli 2011
ini agak subjektif banget”. ”Banget” dan ”agak” adalah dua adverbia yang digunakan dalam satu kalimat. Dosen yang mendengar penggalan tersebut pun bingung, apa makna perkataan mahasiswa ini sebenarnya: ”cenderung subjektif” atau ”cenderung objektif”? Adverbia dalam percakapan sehari-hari juga kerap dipadankan dengan nomina, seperti ”kopi banget”, ”jeruk banget”, dan sebagainya. Padahal di bahasa mana pun adverbia berfungsi menjelaskan adjektiva atau kata sifat. ‘Kelirumologi’ Dari penjabaran gejala-gejala di atas, tampak bahwa gejala kerancuan, keraguan, dan kesalahkaprahan masih kerap muncul dalam masyarakat tutur kita. Maka jangan heran jika dalam sebuah kampanye, seorang calon pemimpin menjanjikan sebuah ”perubahan” alih-alih ”perbaikan”. ”Perubahan” bisa mengarah pada perubahan yang baik maupun buruk. Sedangkan kata ”perbaikan” memerlukan perjuangan dan usaha yang lebih keras untuk merealisasikannya. Gejala kerancuan dan kesalahkaprahan berbahasa ini kemudian disebut oleh budayawan Jaya Suprana dengan istilah ”kelirumologi”. Kelirumologi adalah sebuah istilah humoristis yang muncul untuk merujuk kepada kekeliruan logika dalam pembentukan frasa dan kata yang sudah terlalu sering dipakai pengguna Bahasa Indonesia sehingga dianggap benar. Salah satu contoh bentuk kelirumologi yang pernah ditulis oleh Jaya Suprana adalah kalimat berikut: “Didalam kalimat ini ada tiga kekeliliruan“. Apakah Anda dapat menemukannya? *) Penulis adalah mahasiswa Diploma IV Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
GAYUS TAMBUNAN
Versi Kampus
Sebelum pertengahan tahun 2010, sosoknya tidak begitu dikenal masyarakat. Namun, sejak publik tahu bahwa seorang Pegawai Negeri Sipil golongan IIIA di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bisa menggelapkan uang hingga milyaran rupiah, tiba-tiba namanya meroket. Begitupun dengan kampusnya yang ikut menjadi sorotan masyarakat.
Majalah Civitas|Juli 2011
29
Masa Kuliah Diploma III
Indekos Gayus ketika masih Diploma IIII
Nama lengkapnya Gayus Holomoan Tampomean Tambunan. Jejak rekam Gayus di Kampus Ali Wardhana dimulai pada 1997. Saat itu, ia resmi tercatat sebagai mahasiswa DIII spesialisasi Perpajakan. Bersama teman-teman satu SMA-nya, Gayus indekos di daerah Sarmili. Gayus menempati kamar paling depan yang berukuran 3x3. Kamar ini tepat berada di samping ruang tamu utama. Uniknya, penghuni kamar tersebut selalu mendapat penempatan di Direktorat Jenderal Pajak. “Sejak saya kontrakin emang khasnya untuk orang pajak,” kata Mundari, pemilik indekos. Selama tahun 1997—2000, rumah kos bercat putih di daerah Sarmili itu dihuni lima orang alumni SMAN 13 Tanjung Priuk. “Dulu disini basecamp-nya,” tutur Martini Astri Dewi, anak pemilik kos. Nini—begitu Martini biasa disapa— menuturkan bahwa Gayus indekos di rumahnya selama dua tahun saja, dari 1997 sampai 1999, ketika Gayus masih tingkat satu dan dua. Gayus mengambil jurusan ilmu pengetahuan alam saat SMA, ia pandai dalam mata pelajaran eksak. Nini yang kala itu duduk di kelas I Aliyah MAN 4 seringkali meminta bantuan Gayus bila mengalami kesulitan dalam pelajaran. “Dia itu anaknya pintar, pintar bahasa Inggris, aku dulu sering belajar sama dia, pintar matematika, fisika juga,” cerita Nini. Muniroh, pemilik indekos, masih ingat ketika Gayus membawa foto Milana Anggraeni ke indekosnya. Foto tersebut terpajang di meja belajar Gayus sejak masa awal kuliah. Rani yang kini menjadi pendamping hidup Gayus merupakan pacarnya sejak SMA. Menurut Nini, Gayus adalah sosok yang kocak. “Sering gangguin, sering ngajak ngobrol, tapi ngobrol becandaan doang,
30
Majalah Civitas|Juli 2011
nggak pernah ngobrol serius,” ungkap Nini. Nini juga mendeskripsikan bahwa semasa kuliah Gayus berperawakan kurus, pendek, botak, berkulit sawo matang, dan mata belok. Perawakan tubuhnya dulu sangat berbeda dengan sekarang yang sudah lebih berisi dan berkulit lebih cerah. Di samping sosoknya yang supel, enak diajak bicara, dan suka bercanda, Gayus termasuk tipe orang yang tertutup. Dia tidak pernah menceritakan masalah pribadinya kepada orang-orang di sekitarnya. “Dia itu bisa menutupi masalah pribadinya ya, jadi orang lain nggak tahu,” jelas Nini. Diterima Diploma IV Setelah dua tahun mengabdi di Kakanwil DJP Kaltim, Gayus kembali melanjutkan pendidikannya di Diploma IV STAN mulai akhir 2003 hingga 2006. Gayus Tambunan mengikuti seleksi Diploma VI (D4) dan lolos. Setelah mengikuti placement test di awal perkuliahan, Gayus masuk dalam kelas bahasa Inggris. Gayus pulang pergi dari rumah ke kampus dengan mengendarai mobil Taruna berwarna biru. Dia selalu nongkrong, makan dan merokok bersama teman-temannya di kantin ketika jam istirahat kuliah. “Gayus
itu nggak pelit, biasalah kalau orang makan kadang-kadang dibayarin, nanti kapankapan dia juga, gantian bayar gitu kan udah biasa,” jelas Budi Waluyo, teman sekelas Gayus ketika DIV. Gayus termasuk golongan mahasiswa biasa selama kuliah. “Nggak bolos-bolos kuliah, dia itu orangnya disiplin juga sih ya,” papar Nini. Tjahjo Winarto, dosen mata kuliah Seminar Perpajakan Gayus semasa DIV berpendapat, “Pintar dia anaknya waktu Seminar Perpajakan. Khusus untuk ilmu pajak ya, tapi kalau pelajaran lain saya nggak tahu, seingat saya dia menguasai sehingga kawan-kawannya banyak yang mengandalkan dia, karena dia pintar untuk ilmu pajak.” Gayus mendapat nilai A untuk mata kuliah Seminar Perpajakan. Menurut Budi, Gayus memang memiliki kemampuan di atas rata-rata dalam bidang perpajakan. Namun, hal tersebut wajar karena latar belakangnya sebagai pegawai DJP. Ketika satu kelompok dengan Gayus, dalam mata kuliah seminar perpajakan, Gayus terlihat menguasai persoalan. Hal ini dibuktikan dengan studi kasus yang didiskusikan biasanya berasal dari kantor tempat Gayus bekerja. Tjahjo sendiri semenjak kasus Gayus mencuat sudah tidak lagi mengajar mata
kuliah seminar pajak. “Setelah saya ngajar seminar pajak melahirkan Gayus, maka saya ngajar seminar pemberantasan korupsi, saya tobat,” aku Tjahjo. Ketika kuliah DIV, sikap pemimpin terpancar dari diri Gayus. Gayus juga dikatakan memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Gayus sering menjadi ketua tim saat presentasi dan pernah memimpin majelis V di Subdirektorat Banding. Rif’an Maulana, rekan sekantor dan satu tim Gayus Tambunan di majelis VII, Subdit Banding dan Gugatan I, menjelaskan bahwa Gayus adalah sosok yang senang bercanda ketika berada di luar sidang. “Dia orangnya pintar bergaul, senang bercanda, dan nyantai,” ungkap Rif’an. Menurut cerita Rif’an, dalam sidang Gayus terkenal sebagai pemain watak. Ketika berada di pihak keberatan, baik di posisi benar ataupun salah, Gayus tetap bisa membela Wajib Pajak yang bersangkutan. Rif’an mengingat, meskipun materi yang dibela itu sangat lemah, Gayus tetap bisa berpenampilan sangat percaya diri dan meyakinkan di depan majelis hakim itu. Gayus merupakan salah satu anggota tim di Subdit Banding dan Gugatan I. Ia diposisikan di majelis yang memiliki perhatian lebih mendalam dan filosofis daripada majelis-majelis lainnya. “Dia itu salah satu andalan di Subdit,” ujar Rif’an. Tersangkut Kasus
Ibu Muniroh dan Pak Mundari, pemilik Indekos Gayus
Ketika kasus mafia pajak merebak, Budi Waluyo sudah merasakan bahwa teman satu kelasnya itu terjerat. Satu bulan sebelum kasus Gayus mencuat di media massa, Budi mengaku sudah mendapat beritanya dari milis alumni, meski baru inisialnya (GT) saja yang diungkap di milis. Saat itu, Budi hanya bisa mereka-reka, apakah GT yang dimaksud adalah teman seangkatan mereka. Saat foto ijazahnya
Majalah Civitas|Juli 2011
31
muncul di televisi nasional, Budi pun yakin bahwa orang tersebut adalah Gayus, teman sekelasnya dulu. Berbeda dengan Budi, rekan satu subdit Gayus, Moh. Rif’an Maulana Rif’an mengaku telah mengendus ketidakwajaran yang terjadi. Pasalnya, Gayus sudah beberapa kali dipanggil kepolisian dan pengadilan. Rif’an juga menangkap perbedaan dalam kehidupan sehari-hari Gayus yang tampak lebih mewah. Sepanjang Maret 2008 sampai Juni 2009, kata Rif’an, Gayus mengendarai tiga mobil yang berbeda, yakni Honda Jazz lama, Innova, dan Jazz baru. “Kalau dari penampilan fisik sih biasa aja, nggak terlalu gimana gitu ya, cuma mobilnya aja yang ganti-ganti,” papar Rif’an yang sampai lebih dari sepuluh kali bolak-balik ke Mabes Polri untuk memberikan kesaksian terkait kasus ini. Mencuatnya kasus korupsi dengan tokoh utama alumni Kampus Ali Wardhana ini cepat atau lambat terbawa sampai perbincangan di kalangan widyaiswara. Sebagai pendidik, Tjahjo mengaku kaget saat mendengar muridnya tersangkut kasus korupsi. “Kaget sekali, apalagi teman saya kena, murid saya kena. Sempat terpikir, kenapa ya dari Kampus ini? Semua widyaswara sempat berpikir kok gini ya, ada yang salah kayaknya. Dulu waktu kuliah di sini kelihatannya baik, tapi kok jadinya begitu,” tutur Tjahjo,”ada yang harus dibenerin di sini.” Terkait sistem pengajaran di STAN, Tjahjo melihat adanya beberapa kelemahan.
32
Majalah Civitas|Juli 2011
Antara lain, belum adanya pendidikan karakter. Menurutnya, pendidikan karakter seharusnya juga diajarkan di STAN. “Misalnya, dia ngajar Pajak. Dia bisa cerita, pajak itu seperti ini tantangannya itu seperti ini, karakter yang harus dipersiapkan seperti ini,” Tjahjo mencontohkan. Masih menurut Tjahjo, mahasiswa STAN biasanya tergolong pintar tetapi kurang dapat menempatkan diri. Selama ini, dalam Kegiatan Belajar Mengajar, aspek yang ditekankan hanya aspek intelektual. Aspek lainnya yakni aspek emosional dan aspek spiritual sering terlupakan. “Seharusnya semua dosen bisa memasukkan itu, ngajarin akuntansi dihubungkan sama spiritual bisa nggak ya kira-kira? Jadi tantangannya di situ,” ungkapnya. Mengenai penyebab Gayus korupsi, Tjahjo mengungkapkan bahwa kerasnya lingkungan kerja memegang peranan kunci. Lingkungan kerja, terutama instansi pemerintah, memiliki tantangan tersendiri. Seseorang tidak dapat mengandalkan diri sendiri saja. Sebab, “Kalau atasannya nggak bersih, kita bisa ikut (terbawa) kalau nggak punya pembekalan. Kalau atasan kita kelompok golongan hitam, kita bisa ikut ketularan,” tandas Tjahjo. Reformasi birokasi, menurut Tjahjo, sudah berjalan dengan baik. “Tapi kan ini masih awalnya saja, masih terjadi proses perubahan budaya. Masih dalam masa transisi. Belum benar-benar menjadi karakter yang resisten terhadap korupsi,” tuturnya. “Setiap orang punya harga diri, nggak mau disuap. Lantas ditambahin, eh ternyata mau. Yaa, itu berarti harganya ada, cuma nggak mau (harga) yang kecil,” pungkas Tjahjo. [Dirga S. M./Hanifah M./Siti A. R]
Dandossi Matram, Ketua IKANAS (Ikatan Alumni STAN):
Nama STAN Nggak Perlu Dibersihkan
L
uar biasa apa yang telah dilakukan oleh seorang Gayus. Usianya masih muda, pangkatnya masih belum tinggi, kelakuannya yang sifatnya skala nasional, serta dampaknya yang luar biasa terhadap citra STAN. Seakan-akan Gayus dan STAN itu adalah sama, padahal kan tidak seperti itu. Alumni STAN itu tersebar di seluruh Indonesia, di instansi pemerintah dan di swasta. Yang masuk ke pajak kan hanya sebagian dari alumni STAN. Kebanyakan (alumni) malah bekerja sebagai auditor. Mayoritas (alumni) STAN kalau kita cek, banyak yang di BPKP, di BPK, bahkan juga sebagian ditugaskan di KPK. Tugas mereka malah menangkap orang-orang yang model Gayus itu. Jadi kalau menggeneralisasi bahwa anak STAN itu seperti Gayus, itu salah banget. Jadi, sebagaimana alumni-alumni dari PT lainnya, akan selalu ada alumni yang masih idealis dan ada sebagian lagi yang pragmatis, yang bisa kompromistis.
M i k r o f o n
Mayoritas Hidup Sederhana Yang saya tahu dari teman angkatan saya, mereka itu ada yang nakal, tapi juga banyak yang masih benar, hidup sesuai dengan gaji yang mereka peroleh. Hidup sederhana, kasarnya, buat bayar iuran keanggotaan saja mungkin nggak mudah. Gaji PNS kan nggak banyak. Banyak teman-teman saya yang hidupnya masih sederhana. Mereka harus punya pekerjaan sampingan, istrinya juga harus kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Itulah wajah sesungguhnya dari alumni STAN. Kalau kemudian ada yang kaya, mungkin karena mereka berhasil di swasta, gajinya lebih besar, karirnya lebih bagus, sehingga mereka bisa tampil lebih baik. Faktanya begitu, mereka masih tetap bekerja dengan idealismenya. Mereka agamanya kuat, mereka tahu kalau kita memakan rezeki yang bukan hak kita itu ongkosnya ada. Orang korupsi itu apa sih bedanya dengan babi ngepet? Kalau Anda
Majalah Civitas|Juli 2011
33
mendapatkan kekayaan yang nggak halal, Anda akan mendapatkan ongkosnya. Buat kita yang sudah makan asam garam kehidupan, kita tahu bahwa itu ada. Misal jika kita makan rezeki yang nggak halal, mungkin keluarga kita berantakan, mungkin anak kita nggak bener, mungkin kita kena penyakit. Udah banyak faktanya. Jadi ketika korupsi, sudah pasti akan merugikan diri sendiri. Reaksi Alumni Banyak (alumni yang mengeluh), saya pun ngeluh. Soalnya, gara-gara Gayus, kita yang kerjanya udah bener jadi diledek melulu oleh lingkungan. Kita ngelawan lingkungan dengan ngeledek juga. Ledekannya dengan cara “Oh anak STAN ya? Temannya Gayus ya?” Lantas saya bilang begini, “Oh, Anda dari lulusan Universitas X ya? Temannya Dewan Gubernur BI yang masuk penjara sama Gayus ya? Oh, sama dong kita.” Jadi udah nggak benar kalau dikait-kaitkan dengan alumni. Semua alumni dari universitas terbaik di Indonesia, semua ada di penjara atau pernah ada di penjara. Saya keberatan kalau saya dikait-kaitkan dengan Gayus. Karena di PT lain juga alumninya ada yang masuk penjara gitu loh. Jadi jangan ngomong alumni karena tempatnya Anda juga ada yang brengsek, jadi Anda nggak beda dengan saya. Orang mau berbuat apapun, kan kita nggak bisa ngelarang. Itu (kasus Gayus) sudah menjadi catatan sejarah. Itu bukan hal yang jelek, itu kan semacam peringatan bagi mahasiswa STAN untuk menjaga dirinya masing-masing. Itu sudah kejadian, jadi mau dibersihkan gimana pun udah nggak bisa. Di Google saja akan ada terus. Gimana cara bersihin Google? Kalau membersihkan ya, itu nggak perlu. Karena kita nggak bisa ngerasa diri kita bersih. Kenyataannya, memang masih ada alumni yang berani ngambil risiko tinggi, yang berbuat untuk kepentingan pribadi, kita nggak boleh menafikan hal itu. Orang yang melakukan (korupsi) begitu ditangkapin terus dihukum sekejam-kejamnya, nantinya mereka akan takut untuk melakukan. Hukuman maksimal itu cara yang paling benar.
34
Majalah Civitas|Juli 2011
Kalau hukumannya nggak kuat, orang akan selalu tergoda untuk melakukan hal yang sama. Ada korupsi karena lingkungan yang memungkinkan. Itu kan bukan korupsi sendirian. Itu berjamaah. Kalau lingkungannya begitu, mau nggak mau akan terjadi terus. Tapi kalau sudah terjadi yang namanya efek jera karena law enforcement-nya yang kuat, hartanya disita semuanya oleh negara, dipermalukan, orang akan berpikir dua kali. Apakah (IKANAS) akan melakukan pembersihan? Enggak. Biarkan itu menjadi contoh, toh kita bukan orang-orang yang bersih amat. Orang akan selalu ingat bahwa kita orang-orang yang nggak bersih, nah makanya kita buktikan ke orang-orang bahwa kita orang yang bersih. Yang ngebuat kita dinilai bersih, bukan IKANAS-nya tapi diri kita sendiri. Mulut Buaya Dunia Kerja Zaman sekarang mungkin udah nggak seganas dulu. Kalau dulu, itu udah jadi budaya, kayak di Pajak, Bea Cukai, lingkungannya memang mengondisikan siapapun yang masuk situ memang harus begitu. Jadi karena lingkungannya. Kita nggak bisa nyalahin orangorangnya juga. Sekarang sejak reformasi birokrasi sudah jauh berkurang. Makanya kita minta reformasi birokrasi tetap dijaga, jangan dicabut. Karena begitu (reformasi birokrasi) itu dicabut, kita akan kembali ke zaman jahiliah dulu. Kita harus berusaha jadi orang yang terhormat, terhormat dalam arti hal yang baik. Jadilah alumni STAN yang terhormat. Jadikan ‘menjadi yang terhormat’ itu hal yang menjadi tujuan hidup kita. Urusan korupsi dan sebagainya itu bukan menjadi urusan kita dengan negara, merugikan negara, masyarakat. Tidak begitu. Yang paling dirugikan adalah kita dan keluarga kita. Kita mengambil apa yang bukan hak kita, itu pasti akan ada ongkos yang harus dibayar. Jadi jauh lebih banyak ongkosnya daripada manfaatnya. [Dirga S.M/Hanifah M./Siti A.R.]
Kampus, Pembunuh dan Pencetak Koruptor “Wah, adiknya Gayus dong, jangan ikutan korupsi ya!” celetuk seorang redaktur Kompas saat Media Center berkunjung ke koran nasional itu. Ucapan senada juga terlontar ketika kami meliput di Badan Bahasa. Mahasiswa STAN pun pasti sering mengalami hal serupa. Ya, mahasiswa STAN memang ‘dekat’ dengan korupsi karena akan berhubungan langsung dengan pajak, kekayaan negara, dan lain-lain. gayus
was h ere
T
erkait kedekatan ini, beberapa waktu lalu Civitas mewawancarai Wuryono Prakoso dan Harismoyo Retnoadi di kantor KPK. Kedua sosok Spesialis Pendidikan dari Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat ini berbagi pandangan mengenai pendidikan antikorupsi di kampus-kampus yang masih belum optimal dan dipandang sebelah mata. Padahal, kampus mutlak memegang dua peran: sebagai pembunuh atau penyemai benih korupsi.
Majalah Civitas|Juli 2011
35
Bisa dijelaskan mengenai pendidikan antikorupsi? Sebelum saya masuk ke apa itu pendidikan antikorupsi, kalau kita bicara tentang upaya pemberantasan itu ada tiga kata kunci. Kata kunci yang pertama adalah upaya-upaya penindakan. Seperti kalau Anda dengar tangkap ini-tangkap itu, itulah upaya penindakan. Jadi ada prosesnya mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, tuntutan, dan lain-lain. Kata kunci yang kedua adalah upaya pencegahan tindak pidana korupsi, di pencegahan inilah terdapat pendidikan antikorupsi sebagai salah satu itemnya. Kata kunci yang ketiga adalah peran serta masyarakat, terkait peran serta masyarakat ini juga sebetulnya bisa terkait dengan pendidikan antikorupsi. Jadi, dalam pendidikan antikorupsi ini ada dua kata kunci yang terkait, pertama terkait dengan upaya pencegahan itu sendiri dan kedua terkait dengan peran serta masyarakat juga bisa fokus ke pendidikan. Bagaimana output yang diharapkan dari pendidikan antikorupsi? Harapan jangka panjangnya sih sebenarnya adanya budaya baru antikorupsi, itu outcomenya, tetapi kalau mau output dalam jangka pendek sih harusnya terkait dengan pendidikan beneran ya. Itu seharusnya sih. Indikator keberhasilannya? Adanya pemahaman nilai-nilai moral yang menghindarkan diri dari tindakan-tindakan perilaku koruptif. Jadi kalau mau diukur dalam sisi outcome, harusnya sih tingkat menyontek di semua jenjang menurun, tingkat bullying di kampus menurun, tingkat jual beli nilai di kampus (joki) menurun, perilaku dosen dalam ‘memeras’ juga menurun. Akan tetapi kalau mau spesifik kampus, jual beli nilai di kampus pasti turun seharusnya— jual beli nilai dalam artian kalau mau ujian mahasiswa datang ke rumah dosennya dan ngasih bingkisan. Itu bagian dari perilaku koruptif. Selain itu, (indikasinya) penilaian dosen yang tidak subjektif, adanya keterbukaan
36
Majalah Civitas|Juli 2011
(penilaian), serta kehadiran yang tepat waktu. Kalau dosen-dosennya bilang, “Mahasiswa harus pakai diktatnya,” itu bagian dari upayaupaya pemerasan sebenarnya kalau menurut saya. Model ujian atau ulangan yang diterapkan itu juga bisa berubah model menjadi e-learning atau aktif online. Dosen juga bisa di-crosscheck sama mahasiswanya, jadi setiap akhir periode bukan cuma dosen saja yang bisa menilai mahasiswa, tetapi sebenarnya mahasiswa juga bisa menilai dosennya. Penilaiannya misalnya dosen ini datang tepat waktu nggak, ngajarnya sesuai silabus nggak, objektif nggak dalam penilaian, responsif nggak, jadi itu juga harus dicrosscheck. Hasilnya itu seharusnya di-publish, supaya jadi ada akuntabilitas dan terbuka masalahnya. Dosen yang nilainya jelek dapat diberi sanksi berupa pemotongan gaji atau jam mengajar di semester depan misalnya. Selain itu, indikator keberhasilan di short run, perubahan pola belajar dan mengajar dosen. Yang tadinya satu arah berubah menjadi lebih interaktif. Adapun dosen model baru cara mengajarnya begini: misalnya minggu depan kita belajar bab segini, lantas begitu datang pas sesi materinya, semuanya presentasi dulu tentang apa saja yang udah dipelajari dari bab ini, setelah itu baru si dosen ngasih tau yang benar itu seperti ini. Nah itu kalau mau lihat indikatornya. Kalau dilihat dari efektif atau nggak, itu harus dibarengin sama sanksi, jadi Anda nggak hanya bertepuk satu tangan saja, Anda harus siap dengan sistem di kampusnya. Bagaimana proses atau cara kerjanya? Kalau misalnya mau yang riil di STAN sendiri, mau ukuran nyatanya, dapat dilihat dari minuman dosen yang sekarang sudah tidak lagi disediain oleh mahasiswa. Itu dari teman-teman SPEAK Anda yang mendobrak bikin kode etik seperti itu. Tadinya dosennya pasti harus dijamu tuh, ada beberapa dosen yang minta adanya standar khusus untuk minuman, begitulah output riilnya. Jadi kalau mau bicara proses, itu melalui penanaman nilai-nilai moral seharusnya.
Definisi korupsi yang diatur dalam UU itu pemerasan, curang, konflik kepentingan, penyalahgunaan kewenganan, penggelapan dalam jabatan, merugikan warga negara, dan gratifikasi, ini semua ada di dunia kampus. Anda nyontek, Anda curang. Anda bilang ke adik kelas, kumpulin ini (barang-barang bekas), untuk apapun alasannya, mau untuk UKM atau kepentingan organisasi, tetapi Anda memaksa adik-adik Anda untuk ngumpulin barang bekas, lalu Anda jual lagi. Walaupun itu untuk kepentingan organisasi, tetapi perilakunya itu cenderung memeras dan tidak benar, kecuali kalau menggali kreativitas. Anda mengadakan pentas seni, penonton memberikan uang seikhlas hati, nah itu beda. Kalau Anda bikin laporan keuangan, Anda mark-up, itu juga sudah sama dengan penyalahgunaan kewenangan. Anda bikin kepanitiaan atau majalah, lalu Anda pilih dari teman-teman Anda sendiri untuk memegang acara dan dokumentasi misalnya, itu sudah termasuk konflik kepentingan.
Jadi nilai-nilai ini yang mau kita transfer di kampus. Anda jangan teriak-teriak KPK, kepolisian dan kejaksaan harus ini. Nilai-nilai itu juga harus mulai ditegakkan di kampus. Itu secara global pendidikan antikorupsi seperti itu. Bagaimana sih cara kerjanya di kampus? Kita usahain mereka (mahasiswa) mulai harus tahu hal-hal ini. Seharusnya kampus merupakan ajang untuk penanaman nilai, pembangunan karakter. Anda harus menyetop kampus sebagai pemasok koruptor hari ini. Kalau sudah mulai mengenal ini, seharusnya supply koruptor ke pasar kerja harus disetop di kampus. Sebetulnya ada dua hal di sini, yakni pendidikan formal atau informal. Kalau yang formal, kampus menerbitkan Surat Keputusan (SK), SK Rektor mengenai tidak boleh adanya pungutan. Kalau yang informal, mungkin lembaga melalui diskusi-diskusi, penanaman nilai moral. Bagaimana kalau pendidikan antikorupsi itu masuk ke kurikulum? Itu formal ya. Range-nya sih kami membebaskan Perguruan Tingginya. Jadi, mungkin ada Perguruan Tinggi yang siapnya baru bikin studium general (kuliah umum) saja, maka dia bikin studium general tiap semester, tetapi kalau Perguruan Tingginya jauh lebih siap, silakan saja. Kurikulum itu juga ada dua, yakni bisa melalui Mendiknas sebagai ajang kurikulum untuk Perguruan Tinggi dan bisa dari kampus itu sendiri melalui program-program pendidikan antikorupsi. Jadi misalnya begini, Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) sedang merumuskan pendidikan antikorupsi sekarang, targetnya itu 88 Perguruan Tinggi. Dikti itu akan membuka pendidikan antikorupsi. Akan tetapi karena STAN nggak di bawah Dikti, STAN kan di bawah Kemenkeu, atau sekolah-sekolah kedinasan lainnya lah ya, maka kami dorong
Wuryono Prakoso
Majalah Civitas|Juli 2011
37
“
Kalau di Universitas Indonesia, kalau tertangkap nyontek, semua mata kuliah yang diambil di semester itu nilainya jadi E, bukan hanya nilai mata kuliah yang dia nyontek itu saja
untuk mengadopsi sendiri formatnya. Kami cuma mendorong untuk bikin sih, tetapi formatnya bagaimana, kami serahin ke kampus masing-masing. Itu lumayan lah, untuk di STAN sendiri minimal awalnya ada SPEAK, meskipun memang sampai saat ini SPEAK masih informal. Akan tetapi setidaknya di tingkat IV itu sudah ada mata kuliah seminar pemberantasan korupsi. Mungkin itu cara STAN mengadopsi di tingkat IV ya. Itu berarti sudah ada langkah, ada progress yang diambil oleh STAN.
Harismoyo Retnoadi
Sebelum Anda melakukan pendidikan antikorupsi, kampusnya harus siap jalan untuk ngelakuin itu dulu, agar ada sanksi setelah itu. Seperti misalnya di Institut Teknologi Bandung, ketika mereka ingin menegakkan pendidikan antikorupsi, maka nggak ada lagi software bajakan di kampus. Jadi hal ini nggak berdiri sendiri, seluruh sistem harus sama-sama bekerja agar bisa berjalan. Indikator perilaku nyontek/nggak nyontek itu kan mungkin tidak mudah dihitung. Adakah tolok ukur yang lebih jelas, misalnya dengan angka-angka? Kalau di Universitas Indonesia, kalau tertangkap nyontek, itu ada berita acaranya. Semua mata kuliah yang diambil di semester itu nilainya jadi E, bukan hanya nilai mata kuliah yang dia nyontek itu saja. Nah, itu terhitung, terukur. Jadi harusnya di STAN bisa mengukur begitu. At least, Anda bisa survei, post-test pas saat UTS, tapi anonim aja surveinya. Itu yang juga dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor setiap habis semesteran. Mahasiswanya disurvei, nyontek nggak. Jadi bisa didapatkan kuantitatifnya, berapa yang nyontek, meskipun nggak ada yang tertangkap di berita acara. Kayak baru-baru ini, kami dapat di Undip ya, 60% di Undip tradisinya masih nyontek.
38
Majalah Civitas|Juli 2011
Kami sih tidak mengharapkan ini (pendidikan antikorupsi) diujikan, karena percuma juga kalau misalnya orang-orang yang mengambil pendidikan antikorupsi lulus semua, (tapi) kalau untuk lulus itu mereka nyontek semua akhirnya. Kayak SPEAK itu kan nggak ada SKS-nya, itu kami pertahankan sejak dulu, tetapi kelakuan yang penting. Ternyata kelakuan teman-teman SPEAK masih bisa dipertanggungjawabkan lah sampai saat ini. Misalnya saja, ketika kami jalan ke daerah-daerah, didapat tuh data-data dari BPK kalau sekarang kelakuan teman-teman itu sama kayak KPK, misalnya nggak mau nyentuh hidangan, nggak mau ditawarin makan siang, nggak mau diantar dan dijemput. Jadi, itu teman-teman SPEAK Anda yang ngelakuin kayak gitu. Bahkan mereka setiap bulan ramai-ramai taruh semua hadiah dari daerah yang mereka dapat. Jadi mereka nggak perlu SKS, nggak perlu ada nilai, tapi mereka jadi langsung kayak begitu. Itulah outcome yang dicapai. Kalau mau dilihat dari tolok ukur sesaat, seharusnya sih ada perubahan perilaku nyata, seperti nggak ada lagi pilih kasih di pemilihan kepanitiaan. Setiap kegiatan di BEM STAN, seharusnya ada keterbukaan, berapa pemasukan dari mahasiswa, berapa pengeluarannya, berapa penggunaan untuk kegiatan, sisanya berapa, serta kegiatannya juga harus rinci dan transparan. Itu yang dinamakan dengan akuntabilitas. Karena selama ini korupsi terjadi karena ketertutupan informasi dan untuk mendapatkan informasi
harus mengeluarkan uang, sehingga yang bisa mendapatkan informasi itu hanyalah orang yang punya uang. Adakah peran kontrol Perguruan Tinggi Kedinasan terhadap alumninya? Saya mau ngasih contoh ITB. Di kode etik ITB itu jelas disebutkan kalau ada alumni ITB yang melakukan korupsi, itu dicoret dari kealumnian. Awalnya ijazahnya itu mau ditarik tapi nggak jadi, karena itu hak asasi, melekat ke individu. Akan tetapi keanggotaan sebagai alumni langsung dicoret sebagai hukuman moral. Seperti Muhammad Iqbal, komisioner KPPU. Tadinya dia juga masih menjabat sebagai pengurus ITB. Tapi gara-gara ditangkap, dicabut keanggotaannya dan jabatannya. Jadi itu menyangkut kode etik perguruan tinggi dalam hal mengontrol alumninya. Selain diperlukan kontrol dari kampus terhadap alumninya, diperlukan juga kontrol dari alumni terhadap kampusnya. Misalnya perlu adanya sharing dari alumni. Alumni juga bisa memberikan kritik kepada kampusnya kalau masih menjalankan praktik korupsi, mungkin ada komentar dari mahasiswa, “Kok sekarang diterapkan pungutan seperti ini dari kampus, ada pungutan tambahan,” nah ikatan alumni bisa menuntut ke almamaternya, kenapa bisa ada hal begitu. Kalau perlu ada keterbukaan, apa aja? Seperti sekarang kan banyak penerimaan mahasiswa baru di PTN. Ada jalur khusus, ada jalur PMDK, ada jalur biasa SNMPTN. Yang jalur khusus terbuka nggak penerimaannya? Terus alokasinya untuk apa? Kan kadang ada yang nilainya pas-pasan tapi bisa masuk, yang nilainya tinggi begitu ikut SNMPTN nggak lulus. Karena ya jalur khusus itu berani bayar mahal. Uangnya itu ke mana? Seperti itulah kalau keterbukaan. Kalau dampak lingkungan kerja terhadap seseorang? Begitu Anda lepas dari STAN, perjuangan baru dimulai. Karena nantinya Anda akan
bertemu hutan belantara di lingkungan kerja Kementerian Keuangan. Itu ada kayak klip namanya. Misalnya kelompok dari alumni UI, UGM, STAN, itu akan terkotak-kotak. Jadi untuk menduduki suatu jabatan, mungkin dari kekuatan kelompok-kelompok itu. Jadi lingkungan kerja juga berpengaruh. Seperti alumni STAN, karena alumni yang dulu jadi seniornya, sekarang kerja jadi atasan-atasannya dan pola kerjanya seperti itu, dia ikut seperti itu juga. Mungkin Gayus itu nggak sendirian, tetapi di atasnya juga udah seperti itu, cuma biar nggak mengorbankan yang lain, maka dilokalisir segini aja. Lingkungan kerja itu berpengaruh banget buat sikap korupsi seseorang. Kalau dia punya sikap antikorupsi, nanti dia akan tersingkir dari situ. Contohnya di dunia nyata itu, Pak Rasul. Dia dari BPKP. Karena sering keras, suka menegur, tidak menyimpang, maka dia disingkirkan. Padahal dia sempat jadi calon kepala BPKP, tetapi akhirnya jadi staf ahli aja. Sekarang dia menjadi bagian dari KPK. Anda akhirnya berhadapan dengan satu tekanan lingkungan itu sendiri, juga gaya hidup. Biasanya kan ketika masih di STAN, baju cuma putih hitam aja. Begitu masuk ke dunia kerja, mulai ngoleksi sepatu. Itu jokesnya anak STAN. Terus masuk tahun kedua ketiga koleksi minyak wanginya nambah, habis itu udah Anda terpengaruh. Jadi godaannya gede lho. Di satu sisi, oke, kami akui kemampuan enterpreneurship-nya oke, keberaniannya menikah muda, setelah lulus langsung nikah, lalu begitu menikah pada punya anak. Anakanak STAN banyak yang bikin usaha, bikin bimbingan tes dan percetakan misalnya. Di satu sisi, hal itu oke. Akan tetapi, kalau pada saat begitu dia jadi auditor atau jadi pegawai di manapun, kelakuannya sama meski ditaruh di BPKP Papua misalnya, dia tetap bisnis di luar, sama aja itu sudah ada konflik kepentingan. [Dirga S. M./Hanifah M./Siti A. R]
Majalah Civitas|Juli 2011
39
k i s a l K h Kisa a c c o M a s a R
Kalau di sini sekarang skala orang terkenal itu harus ada di TV, di media, atau di mana gitu ya
L
ewat Malam Puncak Accounting Carnival, STAN beruntung sempat mengundang Mocca sebelum mereka vakum hingga waktu yang belum ditentukan. Kesibukan para personelnya dan kepindahan Arina, vokalis Mocca, yang mengikuti (calon) suaminya ke Amerika, membuat mereka memutuskan absen dari belantika musik.
Debut dengan album My Diary (2002), Mocca sukses memikat hati Indonesia. Video klip Me and My Boyfriend mendapat penghargaan sebagai Best Video of The Year 2003 versi MTV Indonesia. Di tahun berikutnya, mereka menandatangani kontrak dengan sebuah indie record di Jepang, Excellent Records, untuk mengisi satu lagu (Twist Me Arround) dalam album kompilasi berjudul Pop Renaissance.
40
Majalah Civitas|Juli 2011
Di bawah label Fast Forward Record, Mocca merilis album kedua bertajuk Friends pada tahun 2004. Karir Mocca semakin menanjak. Tak hanya di dalam negeri, mereka mengembangkan sayap ke Asia. Album mereka merambah pasar Singapura, Malaysia, Thailand, dan Jepang. Pada tahun ini pula, Mocca menggelar konser di Singapura. Mocca turut mengisi soundtrack film Catatan Akhir Sekolah dan Untuk Rena. Tahun 2007, Mocca mengeluarkan album ketiga mereka, Colours. Pada tahun 2010, mereka merilis Mini Album. Selain album studio, Mocca juga menelurkan dua live albums dan 11 singles-compilations. Seperti penampilan panggung mereka yang selalu ceria, vokalis Arina Ephipanea Simangunsong, bassist Ahmad Pratama (Toma), drumer Indra Massad (Indra), dan gitaris Riko Prayitno (Riko) menyempatkan diri untuk sesi interview dengan Civitas. Berikut petikan wawancara kami dengan Mocca: Bagaimana pendapatnya manggung perdana di STAN? Arina: Penontonnya seru sekali, jadi mainnya semangat hari ini. Meet and greet-nya juga tadi siang-siang rame. Kemarin kita baru main di luar kota, situasinya bener-bener 180 derajat dari tempat ini. Di sini kayak terbayar gitu. Kapan mengeluarkan album lagi? Indra: Ya mungkin dua atau tiga hari lagi (tertawa) Mocca kan sampai sekarang indie, yang stereotype-nya susah besar, sedangkan Mocca bisa bertahan sampai sekarang, bahkan sampai pasar luar (negeri). Bagaimana bisa sampai seperti itu? Riko: Soal label tidak menjadikan suatu band itu besar atau tidak. Kalau di Fast Forward sih kita semua sama-sama usaha gitu. Ada link, kita kasih. Jika mereka ada link, mereka kasih. Jadi saling mengisi sebenarnya. Yang penting kan sebenarnya sinerginya tepat antara band dan label. Ketika ‘klik’, ya namanya jodoh. Kalau jodoh mah oke gitu, lancar.
Kenapa tetap indie sampai sekarang? Ada tawaran dari major label? Toma: Sudah ada tawaran, tapi kita menikmati kerja dengan label yang ada sekarang. Riko: Sebenarnya lebih ke pilihan-pilihan, yang paling oke saat ini ya Fast Forward Pandangan teman-teman Mocca tentang eksistensi Mocca di dalam negeri dan luar negeri sendiri, bagaimana? Riko: Kita dibilang main di luar negeri dan go international, nggak juga sih kayaknya, ya itu pendapat orang sih. Kalau kita sih sebut jalanjalan ya, kalau untuk go international sih tinggal di negara lain dan membayar pajak. Toma: Menurut kita sih sekarang Mocca secara off air, nggak diekspos di media, sebenarnya kita tetap jalan. Di Indonesia banyak permintaan (pentas). Kalau kita, mau di luar negeri mau di Indonesia sama aja. Arina: Kalau di sini sekarang skala orang terkenal itu harus ada di TV, di media, atau di mana gitu ya, tapi kalau kita sebenernya secara off air memang masih berjalan, cuma karena jarang diekspos jadi orang-orang, “Oh ini tidak terkenal nih,” tapi sebenarnya kita masih eksis lah. Mocca menyebut warna musiknya sebagai story telling pop, bisa dijelaskan? Arina: Story telling pop adalah sebuah musik pop yang bercerita. Bercerita tentang apapun, makanya lagu kita itu misi utamanya ialah menyampaikan sebuah cerita. Ibaratnya musik pop itu kayak membuat sebuah ilusrasi dari sebuah dongeng atau kisah yang pengin kita sampaikan. Tergantung dari tema cerita yang mau kita nyanyikan. Misalnya ini cerita sedih, jadi bagaimana ya biar nuansanya bisa tersampaikan. Mungkin kita bikin agak sedikit blues, atau alunannya akustik. Misal lagunya ceria kita tambahin swing aja biar lucu. Gimana kita bikin nuansa sih sebenernya.
Majalah Civitas|Juli 2011
41
Riko: Kayak bikin film sih, bikin soundtrack film. Prinsipnya kayak gitu. Swing udah, jazz masuk, ada nggak rencananya untuk merangkul musik-musik lain? Riko: Sebenarnya tiap kita bikin lagu, bikin album, kita berusaha mencari sisi yang lain. Tapi mungkin karena kita yang main, jadi ya, output-nya, “Ini Mocca.” Padahal kita udah pernah bikin album rockabilly yang rock banget, tapi kalo orang denger ini nggak rockabilly. Indra: Ada unsur keroncong di lagu You tapi orang juga nggak terlalu ngeh bahwa itu keroncong. Padahal menurut kita udah keroncong nih! (tertawa) Riko: Berarti kita punya karakter. Kalau kita ngeluarin sesuatu, “Oh ini Mocca banget.” Malah kadang-kadang ketika band lain ngeluarin sesuatu (mereka dibilang), “Ini kayak Mocca deh,” kasian dia (tertawa). Sekarang kita ngomongin scene musik lokal nih. Komentar Mocca tentang industri musik Indonesia? Riko: Sebenarnya kalau kita bilang variatif, iya. Variatif. Sayangnya beberapa media itu tidak mengeksposnya. Sebenarnya ada lho band yang instrumental surfrock di Indonesia itu, kayak Southern Beach Terror. Tapi orang sini nggak tahu karena medianya nggak ngangkat. Yang diangkat band yang itu lagi, itu lagi, itu lagi. Akhirnya band yang itu lagi, itu lagi. Yang lagunya itu lagi, itu lagi, yang nggak enak. Tapi karena brainwash, ya udahlah. Apa harapan Mocca untuk industri musik ke depan? Riko: Sebenarnya pembelajaran buat semua juga sih: media, terus musisinya, semuanya berperan gitu. Kan kasian juga ya kalau musisinya udah bikin capek-capek ternyata nggak keekspos, dibajak pula. Kasian banget
42
Majalah Civitas|Juli 2011
kan? Jadi harusnya ya semuanya jalan bareng. Dan yang katanya mau memajukan industri musik Indonesia itu nggak sepihak. Misalnya kita punya band mau memberi warna baru nih, ya (ternyata) sama aja, akhirnya jadi kayak klise. Harapannya apa sih? Supaya musik kita diterima dan membarikan warna baru di belantika musik Indonesia. Ngomong-ngomong tentang pembajakan, ada juga yang berkomentar, bahwa kalau nggak ada piracy, band A atau band B yang lagunya dikenal dari persebaran versi bajakannya, nggak akan seterkenal sekarang. Komentar? Riko: Itu kayak pemikiran itu gelas setengah isi dan setengah kosong. Gimana kita melihatnya, dari sisi positif atau negatif. Indra: Bisa dijadikan sesuatu yang positif, hasil bajakan itu bisa jadi promo gratis. Tapi kalau kita berpikir straight, mestinya nggak boleh. Riko: Kita juga melakukan itu dengan effort yang besar, kita begadang-begadang untuk nge-tape-nya, kita bikinnya juga harus workshop, istilahnya kita udah wasting biaya dan waktu, tenaga. Tapi kalau misalnya dipikir positif, kita ini sekarang menjalani kehidupan yang kita sukai. Ya kita emang suka ngeband, dan dapet penghasilan dari situ, jadi itu bonus banget sih. Jarang-jarang orang punya pekerjaan yang ‘dihidupkan’, istilahnya begitu. Terakhir, pesan buat STAN? Toma: Buatlah perubahan. Riko: Jangan jadi kader Gayus. Seperti dilansir dari situs resminya, semua personel Mocca memang berniat untuk berkumpul kembali, tetapi belum merencanakan waktu tepatnya. Mocca sendiri menandai mulainya masa vakum ini dengan menggelar konser penutup bertajuk Annabelle and The Music Box, Jumat 15 Juli lalu. [Anggraeni P. S./ Tulad P. K.]
Harry Potter and The Order Of Cineplex
21 XXI Pada tanggal 10 Januari 2010, terbit Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak No. 3 Tahun 2010. Surat ini memberitahu para importir film agar melunasi bea impor sesuai ketentuan yang berlaku. Pasalnya, hasil audit menunjukkan bahwa selama ini tak ada importir yang memasukkan komponen royalti dalam bea masuk. Impor film macet. Urusan royalti belum tuntas, lalu muncul kasus monopoli oleh pihak yang sama. Apa yang terjadi? Kartel 21? Semua importir film ternyata telah menunggak hak royalti dan bagi hasil sejak tahun 1995. Sepanjang tahun 2009—2010 saja, ada 250 judul film yang masuk melalui sembilan importir. Pajak dan bea masuk yang ditunggak mencapai 30 miliar rupiah, belum termasuk denda atas keterlambatan pembayaran yang bisa mencapai 1.000%. Sampai tenggat waktu (Maret 2011), terdapat tiga perusahaan importir yang belum melunasi tunggakan, yaitu PT Satrya Perkasa Esthetika, PT Amero Mitra dan PT Camila Internusa. PT Amero dinyatakan telah melunasi tagihan pada bulan Mei 2011, menyisakan dua perusahaan bermasalah. Ketiganya merupakan milik grup Cineplex 21.
Ketiga perusahaan importir tadi dilarang mengimpor film sampai mereka menyelesaikan tunggakan pajaknya. Ketiganya merupakan penguasa 60% pangsa film impor di Indonesia, sebagian besar merupakan film-film impor dengan permintaan pasar teringgi. Pasalnya, adalah PT Satrya Perkasa Esthetika dan PT Camila Internusa yang mengimpor filmfilm Motion Picture Association of America (MPAA). MPAA sendiri beranggotakan enam perusahaan film besar Amerika: Paramount, Walt Disney, 20th Century Fox Film, Warner Bros, Sony Pictures dan Universal Studios. Walhasil, pasokan film-film dari mereka ikut mandek untuk sementara waktu.
Majalah Civitas|Juli 2011
43
Yang turut menjadi pertanyaan publik, terutama kalangan sineas Indonesia, adalah sikap MPAA untuk tetap menghentikan pasokan film-film ke Indonesia. Grup 21 Cineplex memang masih bermasalah dan impor film-film MPAA boleh jadi sempat terhambat, tetapi sesungguhnya MPAA bebas menjalin kerjasama dengan importir lain. Inti masalah pada kasus ini berkutat seputar bea masuk importir mereka dan MPAA tidak punya urusan apapun terkait hal tersebut. Ditambah lagi, musim blockbusters seperti ini merupakan masa panen untuk produser dan distributor film, sehingga sikap MPAA untuk masih tidak beredar di Indonesia justru merugikan dirinya sendiri. Padahal, impor yang macet hanyalah impor yang dilakukan oleh ketiga perusahaan tadi. Terhitung sejak Maret lalu, perusahaan importir lain tetap dapat beroperasi. Keanehan ini pula yang menjadi sorotan Agung Kuswando, Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Seperti yang disadur dari detik. com (30 Mei 2011), dirinya mengemukakan, “Menurut saya masalahnya bukan pada aspek fiskal, tetapi lebih kepada distribusi film di dalam negeri yang perlu banyak dibenahi. Itu bukan domain kami. Masalahnya, mau nggak MPAA kerjasama dengan importir lain selain yang tiga itu? Kembali, itu bukan domain bea cukai.” Perang Tarif Mike Ellis, perwakilan President and Managing Director MPAA Asia Pasifik, menyatakan bahwa komponen royalti tidak perlu ditambahkan dalam bea masuk. Menurutnya, royalti tersebut sudah dibayarkan importir dalam hitungan pajak tontonan. Dirinya juga menambahkan, para anggota MPAA belum mengambil keputusan dagang bersama mengenai kasus ini.
44
Majalah Civitas|Juli 2011
Pada akhir bulan Mei 2011, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan akan mengaji ulang bentuk pajak untuk film impor. Pernyataan ini dilanjutkan dengan pengumuman tarif bea masuk film impor baru pada pertengahan Juni 2011. Tarif bea masuk naik dari angka sebelumnya yang berkisar pada Rp13.000,00/menit menjadi Rp21.458,00/menit. Berbeda dengan tarif sebelumnya yang ditentukan oleh persentase royalti film, tarif baru ini berlaku spesifik berdasar menit. Tingkat kenaikan tarif yang mendekati 100% tersebut menuai protes dari pihak importir film. Padahal, angka ini sejatinya masih terbilang kecil. Pemerintah Thailand yang dikenal atas dukungannya pada industri film dalam negeri dan keberhasilannya menghadapi MPAA, mengenakan tarif yang jauh lebih berat pada film-film impor. Satu kopi film impor yang berdurasi 90 menit, di Indonesia dikenakan tarif sekitar 1,9 juta rupiah. Di Thailand, per kopi film berdurasi serupa dibebani 90.000 bath atau sekitar 27 juta rupiah. Besar pajak 1,9 juta rupiah ini makin kontras bila dibandingkan dengan keuntungan yang dinikmati importir film. Seperti yang ditulis Rudy S. Sanyoto, Wakil Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) di filmindonesia.or.id, satu judul film impor dapat meraup hasil edar sebesar 50 milyar rupiah. Jumlah ini pun masih teramat sedikit dibandingkan beratnya beban pajak produksi film dalam negeri yang mencapai 10%. Jika film nasional yang baik ratarata menghabiskan biaya 5 miliar, pajak yang harus ditanggung mencapai 500 juta rupiah. Besaran ini teramat ironis, karena film kelas Hollywood yang produksinya menghabiskan triliunan rupiah hanya membutuhkan sekian juta untuk menembus pasar Indonesia dan mengalahkan film produksi dalam negeri.
Monopoli, Siapa Peduli? Tak hanya tunggakan pajak, grup Cineplex 21 (Subentra) juga menghadapi dugaan monopoli. Seperti yang ditulis oleh reporter Rusdi Mathari, dugaan monopoli atas jaringan, impor dan distribusi bioskop ini pertama dilaporkan LSM Monopoly Watch pada tahun 2002. Saat itu, grup yang didirikan oleh kolega mantan Presiden Soeharto ini memang telah menguasai pasar perfilman. Grup Subentra menguasai lebih dari 58% jaringan bioskop di kota-kota besar. Per Februari 2003, dari 185 layar film bioskop di Indonesia, 109 di antaranya dimiliki Cineplex 21. Kini, di Indonesia terdapat sekitar 600 layar bioskop. Cineplex 21 memiliki sekitar 550 layar. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan bahwa Subentra sebagai pemilik jaringan bioskop Cineplex 21 melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Koran Tempo (3 April 2003) menyebutkan bahwa perusahaan tersebut tak hanya menguasai lebih dari 50% pasar bioskop, tetapi sekaligus menguasai saham sejumlah perusahaan pengelola bioskop. Problematika importir yang tersandung pajak lantas diikuti dengan berdirinya importir-importir film baru. Di antara enam importir baru, ada satu yang telah mengantungi izin, yakni PT Omega Film. Banyak pihak mengkritisi keberadaan PT Omega Film yang ternyata masih berafiliasi dengan jaringan bermasalah, (lagi-lagi) Cineplex 21. Misalnya JB Kristanto, seorang kritikus film, menyoroti kemunculan importir-importir baru ini. Sebelumnya tak pernah ada importir baru karena kondisi pasar yang tak memungkinkan akibat monopoli. Omega Film dikepalai oleh mantan sopir grup Cineplex 21. Omega
dan importir-importir baru lainnya tercatat memiliki alamat yang sama. Pembentukan importir-importir baru ini dituding sebagai usaha untuk melanjutkan monopoli film impor sekaligus menghindari bea masuk. Kementerian Keuangan bertindak cepat dengan memblokir Omega Film dan lima perusahaan baru bentukan Cineplex 21 lainnya. Kebijakan ini bertentangan dengan komentar Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Disadur dari detik.com, Jero Wacik berkata, “Sebetulnya satu grup nggak apa-apa. Kan mereka yang punya satu gedung. Biarkan. Karena rakyat ingin lihat film.” Ia menyatakan bahwa Indonesia sedang kekurangan film dan mengkhawatirkan penurunan penonton yang bakal merugikan bioskop. “Jangan cari pajak di film, meski di satu sisi Menkeu menginginkan pajak,” tambahnya, “keinginan rakyat besar. Saya dapat banyak sms dan Facebook, menanyakan, ‘Pak, kapan film masuk lagi.’” Dari peliknya kasus impor film ini, fokus masyarakat tertuju sebatas pada hadir tidaknya film-film impor kesayangan mereka. Kecenderungan ini pun ditengarai beberapa kali dimanfaatkan Cineplex 21 untuk menyudutkan Kementerian Keuangan di mata masyarakat. Sebagian kalangan awam menganggap Direktorat Jenderal Pajak sengaja mempersulit masuknya film-film yang mereka ingini demi mendapatkan uang semata, tanpa mengetahui perihal tunggakan, proteksi film dalam negeri dan kasus monopoli yang tersingkap di baliknya. Salah seorang kaskuser mewakili tudingan ini,”(Pilih) Harry Potter 7 lah gan. Pajak paling dikorupsi lagi.” [Tulad P.K.]
Majalah Civitas|Juli 2011
45
The Risk of Being Bilingual Asriana Halifah*
Have you ever heard the phrase of bilingual? Some of us would directly refer to a number of people who could speak Indonesian and other foreign languages.
B
ut in fact, every single Indonesian is a bilingual himself, since most Indonesians speak in at least their native-local language and Indonesian, which is considered as a second language after our native language. Language itself is used in both speaking and writing, understood in both listening and reading. Thus, one’s most influential language is his native language. Indonesian
46
Majalah Civitas|Juli 2011
as a language, for example. The language we use nowadays is not the literally proper Indonesian language. We can not blame anyone for not normatively using Indonesian; we even unable to ensure the appropriate implementation of Indonesian language, either in speaking or writing. Noam Chomsky, an MIT linguist, once said that language is a process of free creation. Even if the laws and principles of language are determined beforehand, the reality speaks in the
How Does the Language Vary? The most identifiable substance is intonation. When we talk about intonation, we will never be apart from one’s local accent. The stressing and intonation of a sentence definitely depend on the language used in one’s surrounding. These accents would eventually shift the ‘proper’ intonation of a sentence. We are no longer using the correct intonation while speaking in Indonesian because we are kind of overwhelmed by the way we speak in our native language. So, unconsciously we will only change the language we speak in, but not the way we deliver the sentence out. The next variation is the cultural manner. This cultural manner would affect the way we put words in a sentence. A sentence in our native language and in Indonesian would have a It may be grammatical differences. As we tend to speak in our native language, we are used to arrange words in native language’s words order. We will also come to the process of translating in which we formed the sentence in our native language first and then translate it word by word to Indonesian. Last, the main problem of having different languages as our mother-tongues: vocabulary. Consciously or not, we keep using words and idioms from our native languages as we talk in Indonesian.
“
This would give two different effects in Indonesian language. It might enrich the vocabularies if it’s a common words or if there is no Indonesian words that means just the same. But on the other side, it could create misunderstanding between persons from different cultures. We are simply unable to ensure that a word in one’s native language would not have different meaning in others’ native languages. One commonly used word in a a language could have offensive meaning in the other place. In daily life, we would not notice or question whether we have used proper language or not, since the main point of a language is to put ideas into sentences and understand what people are saying. There are so many native languages developed in Indonesia and every single one of them has its own influence to Indonesian language. Such condition, however, creates a great dilemma which unconsciously urges us to side between Indonesian—our national language, and our native languages. At one point, choosing Indonesian might slowly lessen the use of our native language that might lead to a threat culture preserverance. On the other hand, the use of native language creates such an indistinct condition to our national language as less people care about the use of proper Indonesian language daily. It depends on us, the ones who live and spread out languages. So, which one will you choose? *The writer is a student of Government Accounting
“
other way. Those laws and principles are used in definitely free and infinitely varied manner.
language is a process of free creation.
Majalah Civitas|Juli 2011
47
PENYAIR Oleh A. Zakky Zulhazmi*
“Andai saja aku tahu sebenar puisi itu seperti apa?”
“Aku jatuh hati padamu karena kamu mahir menulis puisi, Jak.” Sa berujar kepadaku pada suatu siang yang terang di bulan Agustus. Kala itu langit amatlah cerahnya. Angin sepoi menggerakkan pucuk-pucuk melati. Dua lembar daun melati kering gugur di hadapan kami. “Kamu suka puisi, Sa?” “Sangat suka. Aku juga suka lelaki penyair.” “Kenapa memang?” “Karena tak semua lelaki bisa membuat puisi. Lelaki penyair adalah lelaki istimewa.” “Tapi, apakah kamu juga menyukai puisipuisiku?”
“Saat ini aku mabuk oleh puisimu. Semoga selamanya.” Begitulah Sa telah mengutarakan kata hatinya padaku. Sa boleh jadi selalu membeli koran Minggu pagi serta acap kali mendapati puisiku di sana. Lantas kata-kata memainkan daya pikatnya sendiri. Meski aku menulis puisi tidak untuk memikat gadis manapun. Sa telah hanyut terseret arus sihir deretderet huruf dalam sebuah puisi. Aku suka perempuan yang memaknai kata tak sebatas kata. Sa perempuan yang melakukan itu. Perempuan yang, bila dipandang beberapa saat, menyatu pesona purnama dan matahari senja di ranum wajahnya. Sampai pada suatu malam yang mendadak
48
Majalah Civitas|Juli 2011
kelam lantaran rembulan disaput mendung, Sa mendatangiku dan berkata, “Bundaku telah membaca beberapa puisimu, Jak.” “Oya? Lantas bagaimana tanggapannya?” “Em…sebenarnya aku tak enak mengatakannya padamu.” “Katakan saja, Sa. Tak usah sungkan. Aku memerlukan cermin bagi puisiku. Komentar bundamu tentu sangat membangun.” “Baiklah. Bunda bilang, yang seperti kau tulis itu bukan puisi.” “Apa?! Bukan puisi? Lantas?” “Kata-kata yang kamu susun sedemikian rupa itu tak lebih dari sekedar mantra. Mantra yang biasa dirapal tukang-tukang tenung di pedalaman-pedalaman gelap.” “Bundamu bilang begitu? Benarkah?!” Aku mulai gusar. Aku menggaruk rambutku yang tak gatal. Lalu memekar senyum yang tak perlu. Seperti dipaksakan. “Benar, Jak. Bunda bilang begitu padaku kemarin sore.” Sa bermuka bimbang saat berkata begitu. Jelas aku menangkap sendu yang menggelayut di pelupuk matanya. Sinar matanya kini tak sesegar fajar subuh lagi. “Tidak hanya itu, Jak. Bunda juga berpesan, aku tak boleh menikah dengan tukang tenung yang gemar merapal mantra.” Aku terduduk lesu. Tubuhku serasa hanya tersisa tulang dan daging. Tanpa jiwa. “Lalu, aku harus bagaimana? Aku merasa telah membuat puisi dengan baik, tapi ternyata masih ada yang menganggapnya
sebagai mantra tukang tenung.” Kata-kataku lebih mirip seperti ceracau. Tak habis pikir. Dari kacamata apa ibunda Sa mengatakan puisiku tak ubahnya mantra tukang tenung? Sa mengambil nafas sedalam mungkin. “Bunda memintamu menulis sebenar puisi. Satu saja, tak perlu banyak-banyak. Namun, sebenar puisi.” “Andai saja aku tahu sebenar puisi itu seperti apa?” “Kau sudah tahu, Jak. Hanya saja kau belum menuliskannya.” Semakin aku bingung dibuatnya. Sebenar puisi? Seperti apakah itu? “Sa, apakah sebenar puisi itu ditulis oleh penyair-penyair ahli ibadah? Yang hafal ayat-ayat kitab suci, yang sembahyang siang dan malam, yang menahan lapar seharian, yang merasa dekat dengan Tuhan. Begitukah? “Belum tentu, Jak.” “Atau mungkin hanya dapat ditulis oleh penyair-penyair yang tak pernah menghardik kedua orang tuanya, yang tak membangkang nasihat kakek nenek, yang hormat pada si tua dan sayangi si muda. Apa begitu?” “Jak, kau tentu lebih tahu. Kau hanya tinggal menuliskannya.” Aku bingung. Bagaimana aku bisa lebih tahu sementara aku masih bertanya padamu. “Mungkinkah dia penyair yang selalu berucap salam kepada sesiapa yang ditemui, yang lebih mementingkan orang lain dari dirinya sendiri?”
Majalah Civitas|Juli 2011
49
“Sudahlah, Jak. Tak perlu kau mendugaduga lagi. Mulai sekarang carilah, temukan sebenar puisi itu. Aku akan menunggumu.” Maka, di tengah kebingungan aku memulai pengembaraan. Menemukan makna sebenar puisi. Pertama kucatat nama sejumlah penyair yang telah mapan, banyak diperbincangkan dan sering memperoleh penghargaan. Tentu aku hanya mendatangi penyair lelaki. Bukan apa-apa, hanya agar terbentuk kesamaan pandangan. Ternyata aku mendapatkan sedikit nama saja. Negeri sebesar ini cuma menyimpan segelintir penyair besar rupanya. Mungkin justru ada ratusan atau ribuan penyair kecil. Hei, apa beda penyair besar dan penyair kecil? Bukankah mereka sama-sama menulis puisi? Ke barat aku terus berjalan. Menemukan rumah penyair yang ada dalam catatanku. Atau taman-taman budaya tempat para penyair biasa membacakan karya-karyanya. Di tengah perjalanan aku bertemu dengan seorang kakek. Ia mengaku peramal. Tanpa kuberitahu ia tahu kalau aku sedang mencari penyair-penyair besar untuk menemukan hakikat puisi. Aku tidak terperangah. Sudah kuduga, dalam pengembaraan aku akan bertemu orangorang aneh macam kakek yang mengaku peramal ini. “Anak muda, aku telah terbiasa membaca arah mata angin. Menurut pembacaanku, tidak tepat jika kau berjalan ke barat. Aku sarankan kau ke selatan. Penyair yang kau cari ada di sana.” Wajah kakek peramal itu serius dan meyakinkan. Susah bagiku untuk tak mempercayainya. Sejak mula aku sendiri ragu jika pengembaraan ini kuawali dengan berjalan ke barat. “Benarkah begitu, Kek?” Belum sempat si kakek menjawab, tatapan mataku beralih pada suara benda jatuh di belakangku. Ternyata buah delima yang telah masak
50
Majalah Civitas|Juli 2011
jatuh dari pohon. Tidak cuma satu, tapi lima delima jatuh hampir bersamaan. Ketika aku memalingkan muka, aku sudah tak mendapati kakek peramal itu lagi. Aku kaget tapi kemudian mendengus kesal. Harusnya aku menyadari dari awal bahwa jatuhnya buah delima itu trik untuk mengalihkan perhatianku. Sehingga kakek itu bisa pergi diam-diam, tanpa kusadari. Dan aku akan menganggap bahwa ia benarbenar kakek peramal sakti. Tak urung aku pergi ke selatan juga. Kuputuskan mengubah arah perjalanan dari barat ke selatan, setelah menyudahi perang batin yang hampir tak berkesudahan. Namun sial, daerah selatan sedang bergolak hebat. Perang saudara berkecamuk. Aku pontang-panting menyelamatkan diri. Pantang bagiku untuk surut. Harus kutemukan penyair itu. Akhirnya sampailah aku pada taman budaya daerah selatan. Kudengar, ada kesepakatan bahwa taman budaya harus steril dari senjata. Bebas pertumpahan darah. Aku sedikit tenang. “Kebetulan nanti malam ada pembacaan puisi di sini. Kabarnya presiden penyair daerah selatan akan datang. Semoga setelah malam baca puisi nanti perang saudara segera berakhir,” kata penjaga taman budaya padaku. Benar saja. Aku duduk di bangku paling depan malam itu. Penasaran sekali aku dengan orang yang dijuluki presiden penyair daerah selatan itu. Akankah aku menemukan hakikat sebenar puisi darinya? Jantungku berdegup kencang manakala presiden penyair daerah selatan naik ke podium. Wajahnya menyeramkan, dua anting bertengger di kupingnya. Rambut gondrong presiden penyair ditutup topi yang hampir melindungi semua rambutnya. Kumis dan jenggot dibiarkan melebat. Jaket
yang dikenakan juga lusuh. Ia tenggak bir dari botol besar. Diam sebentar, ia mulai membacakan puisi pertamanya.
beberapa lalu kubakar. Setelah kenyang aku kembali tertidur hingga embun pagi membangunkanku.
Ada perasaan tak nyaman saat ia membacakan puisi-puisinya. Kemudian aku berpikir, apa bedanya puisinya itu dengan seruan perang. Selesai puisi pertama, penonton bergemuruh, berteriak penuh semangat, menggebrak meja. Kutinggalkan taman budaya sebelum acara baca puisi itu selesai. Sepertinya perang di daerah selatan ini tak akan pernah usai jika para penyairnya seperti itu. Dan aku merasa tertipu oleh kakek peramal itu.
Tak kutemui sedikitpun kesulitan menuju rumah penyair yang gemar menulis puisi cerah ini. Sungai yang kuikuti tak terlalu panjang. Kujumpai rumah penyair itu, kecil tapi rapi. Teduh dan sejuk. Saat aku datang ia sedang menikmati kopi bersama istrinya di beranda rumah. Kuutarakan maksudku pada penyair berambut belah tengah dengan muka sahaja itu. Ia antusias sekali. Dengan bangga ia keluarkan buku besar berisikan koleksi puisi-puisinya. Kubaca habis puisi itu, dari pagi hingga malam. Penyair itu tentu tak keberatan sama sekali. Bahkan ia menyediakan satu kamar khusus di rumahnya untukku. Ketika tiba jam makan, istrinya mengantarkan makanan ke kamar.
Kutinggalkan daerah selatan, kualihkan perjalanan menuju utara. Ketika sampai di hutan jati yang sangat sunyi aku berhenti sejenak. Kutulis sebuah puisi, tentang perjalanan ini, juga tentang pertemuanku dengan presiden penyair daerah selatan. Suara aliran air dari sungai di pinggir hutan, wangi daun-daun jati yang berguguran dan desir angin yang mengelus kulitku membuat mataku tak kuat menahan kantuk. Dalam mimpi kudengar suara yang kumaknai sebagai sebuah isyarat. “Jika kau ikuti arus sungai itu, kau akan sampai pada bukit dengan pepohonan berdaun merah. Ada rumah bambu kecil di kaki bukit itu. Di sana tinggal seorang penyair yang mahir menulis sajak-sajak cerah. Temui dia. Ambil ilmunya.” Tepat saat mimpi itu selesai aku terjaga. Hari sudah gelap rupanya. Dingin mencekat. Kukumpulkan ranting dan daun kering, melawan dingin dengan api unggun. Malam begini hutan serasa sampai pada puncak hening. Tak lama berselang, dari arah sungai kudengar kecipak ikan. Rasa lapar mendorongku menuju sungai. Aha, beruntung sekali aku mendapati ikan-ikan berlompatan. Kutangkap
“Ah, ini puisi semua berisi tentang kebahagian hidup manusia. Tak ada satupun puisi duka. Semua puisi tampaknya bercerita tentang kehidupan tentram penyair. Oh, bukankah hidup manusia tak bahagia semata,” ujarku selesai merampungkan buku koleksi penyair itu. Hampir saja aku putus asa. Namun aku teringat Sa, teringat juga pada restu ibundanya. Di sebuah kedai peristirahatan kutulis beberapa bait puisi. Kemudian kuputuskan berjalan ke barat. Kutemui penyair paling hebat di sana. Namun lagilagi yang kutemui hanya kekecewaan. Penyair hebat daerah barat itu hanya menulis puisi-puisi gelap yang membuat kepalaku pening. Harusnya aku menuju timur, menyinggahi rumah-rumah penyair daerah itu. Namun sejak mula aku tahu, di timur kini tak ada penyair. Sebab barangsiapa ketahuan menjadi penyair akan dipancung di alunalun kota. Pemerintah daerah timur sangat takut penyair. Penyair dianggap tukang
Majalah Civitas|Juli 2011
51
kritik pemerintah yang membahayakan. Konon dulu ada pembantaian penyair besarbesaran di alun-alun kota. Semua penyair dibakar hidup-hidup kala itu. Bau gosong sisa pembakaran tak hilang sampai berhari-hari. Sudahlah. Aku menyerah. Sebagai penyair yang kalah. Kuputuskan untuk pulang. Entah apa yang akan kukatakan pada Sa nanti. Alangkah terkejutnya aku saat wajah Sa tak mengabarkan duka atau kecewa sedikitpun setelah kuutarakan perihal kegagalanku menemukan hakikat puisi. “Jak, aku yakin selama perjalanan pencarianmu kau menulis puisi. Bolehkah aku dan bundaku membaca puisi yang kau tulis sepanjang perjalananmu?” Tercengang, kuserahkan saja coretan puisiku di beberapa kertas kusam itu. Hari berikutnya Sa menghampiriku dengan mata bercahaya. Ia memelukku tiba-tiba. “Kau telah berhasil menulis sebenar puisi, Jak,” bisiknya di telingaku.[]
*) Penulis lahir di Ponorogo, 20 Maret 1990. Aktif di Tongkrongan Sastra Senjakala dan Komunitas Ketik. Saat ini menempuh studi di UIN Jakarta dan BSI Ciputat. Cerpennya antara lain dimuat Republika, Jurnal Nasional, Solopos, Joglosemar dan lain-lain.
52
Majalah Civitas|Juli 2011
Old Shatterhand, Melawan Arus Kulitputih “Orang kulit putih datang dengan memasang senyum manis di wajah, tetapi menyelipkan pisau tajam di pinggang berikut senjata api yang siap ditembakkan di tangan. Mereka menjanjikan cinta kasih dan perdamaian dalam omongan, namun menebar kebencian dan pertumpahan darah dalam kenyataan…” (Winnetou I: Kepala Suku Apache, hal.2)
Judul Buku : Winnetou I: Kepala Suku Apache Penulis
: Karl May
Penerbit
: Pustaka Primata
Cetakan
: Keenam, November 2007
Tebal
: xiv + 470 Halaman
W
innetou I: Kepala Suku Apache adalah buku pertama dari tetralogi Winnetou karya Karl Friederich May. Buku ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Jerman pada 1893 dan dialihbahasakan ke bahasa Indonesia untuk pertama kalinya pada era 1950-an oleh penerbit Noordhoff-Kolff. Dalam kata pengantar buku ini, May menyampaikan paparan yang menyentuh hati tentang keadaan bangsa-bangsa yang ‘tersingkir’ secara alami dari peradaban. Ia menyesalkan nasib ‘bangsa kulitmerah’–bangsa Indian–yang (waktu itu) sedang sekarat. Menurut May, semua yang hidup memiliki hak untuk hidup. Tak terkecuali orang kulitmerah. Adalah hal yang lazim bila kita bersedih ketika ada orang sekarat. Namun, bila yang mati adalah sebuah suku bangsa, kematian menjadi hal yang jauh lebih menyedihkan.
Majalah Civitas|Juli 2011
53
Kisah berawal dari migrasi “aku” ke Amerika akibat situasi di tanah airnya yang tak menguntungkan. “Aku” mendapat julukan hina dalam masyarakat tersebut: greenhorn, pendatang yang dianggap tak bisa apa-apa. Suatu ketika, berkat pertemuannya dengan seorang pembuat senapan, “aku” menjadi seorang penyurvei. Penyurvei bertugas mengukur tanah untuk membuat jalur rel kereta api yang akan dibangun. Tugas ini mengharuskannya pergi ke daerah barat yang masih liar. Nama Old Shatterhand yang melegenda itu sendiri datang ketika greenhorn, lagi-lagi, diremehkan dan dikambinghitamkan atas insiden yang disebabkan oleh kemalasan rekannya. Tak tahan, “aku” meninju pelipis rekannya tadi dan membuat sosok berperawakan tinggi besar tersebut pingsan. Peristiwa inilah yang merubah panggilan greenhorn menjadi Old Shatterhand—tangan penghancur. Petualangan Old Shatterhand dengan suku Indian, yang menjadi inti seri Winnetou, berawal dari pertemuannya dengan Klekih Petra, seorang kulit putih yang dihormati dalam suku Apache. Saat itu, Klekih Petra membela Old Shatterhand saat berkonflik dengan rekannya. Klekih Petra sebenarnya datang untuk mempertahankan hak atas tanah milik suku Apache marga Mescalero. Tanah tersebut tak boleh dijual atau dihadiahkan kepada siapapun, tetapi justru akan digunakan sebagai jalur kereta api. Klekih datang bersama Kepala Suku Apache yang bernama Intschu Tschuna (matahari baik), beserta anaknya, Winnetou. Kepala Suku memerintahkan tim penyurvei untuk meninggalkan wilayah tersebut. Tim penyurvei diberi waktu satu jam untuk memutuskan hal tersebut. Di sela waktu tersebut, Old Shatterhand menjadi dekat dengan Klekih Petra. Klekih Petra bercerita tentang Winnetou, dengan
54
Majalah Civitas|Juli 2011
nada sedih, “Pemuda itu mempunyai bakat yang hebat. Seandainya dia dilahirkan sebagai anak seorang penguasa Eropa, maka niscaya dia akan menjadi panglima yang ulung atau menjadi pemimpin perdamaian yang termahsyur. Namun sebagai pewaris seorang kepala suku Indian, dia akan punah seperti bangsanya.”
“
Seandainya dia dilahirkan sebagai anak seorang penguasa Eropa, maka niscaya dia akan menjadi panglima yang ulung
“
Buku ini mengisahkan perjalanan “aku”– seorang pemuda Jerman yang diidentikkan dengan pengarang. Inilah yang menyebabkan unsur deskripsi terasa kental. Hal ini pula yang membuat pembaca tersihir dan merasa terlibat dalam petualangan Karl May.
Setelah lewat waktu satu jam, Intschu Tschuna menagih jawaban dari Rancroft, Insinyur Kepala, yang malah mengajak para utusan suku Apache untuk minum brandy. Winnetou masygul; ia tidak ingin minum. Menyaksikan hal ini, Rattler merasa kesal dan melemparkan mangkuk ke muka Winnetou. Bagi Indian, itu adalah penghinaan yang pantas dibalas langsung dengan hukuman di tempat. Maka, Winnetou meninju Rattler hingga roboh ke tanah. Jelas sudah, tidak ada perdamaian antara para penyurvei dan suku Apache. Saat ketiga orang Apache itu kembali ke kuda mereka, Rattler yang mendendam mengambil senapan dan mengarahkannya pada Winnetou. Namun, bersamaan dengan itu, Klekih Petra berdiri di depan pemuda Apache itu untuk melindunginya. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Klekih Petra meminta Old Shatterhand untuk setia dan mendampingi Winnetou selamanya sebagai sahabat. Old Shatterhand yang ingin menepati perkataan terakhirnya pada Klekih, mendapat ludah dan umpatan Winnetou, “Pencuri tanah demi uang! Coyote busuk! Berani-beraninya mau ikut kami, akan saya remukkan kamu!” Inilah awal berbagai peristiwa yang menjadikan Old Shatterhand dan Winnetou saudara sedarah: petualangan tentang kebaikan dan keburukan, tentang arogansi golongan yang sebenarnya mutlak menunjukkan kebodohan, serta bagaimana kesamaan asal dan warna kulit tak pernah menjamin kebenaran. ***
Kekuatan utama buku ini terletak pada penokohan “aku” yang dilakukan May. Sudut pandang “aku” membuat pembaca tersihir dan merasa mengalami petualangan itu sendiri. Bagian yang terdengar sederhana seperti ketika Old Shatterhand menghadapi beruang grizzly, bisa menjadi sangat memukau dengan deskripsinya. Penggambaran latar pun tak kalah cantik. Imajinasi tentang padang prairie yang eksotis mampu dihadirkan May di benak pembaca. Sebagian besar penggambaran geografis didapatnya dari studi literatur, sisanya dikarang sendiri. Hebatnya, Karl May yang dipuji karena detail deskripsinya ini, hingga akhir hayatnya tak pernah sekalipun menginjakkan kaki ke Wild West.
sementara versi terbitan tahun 50-an adalah terjemahan dari bahasa Belanda yang berbeda dengan naskah aslinya. Mengenai penokohan , banyak yang mempertanyakan sosok Old Shatterhand. Ia dirasa terlalu heroik dan terlalu hebat untuk ukuran pemula di padang prairi. Ia mampu menembak dengan sangat baik dengan senapannya yang mampu memuntahkan dua puluh empat peluru berturut-turut. Ia mampu memukul orang dengan sangat kuat hingga dapat melibas musuhnya hanya dengan sekali hantam. Usut punya usut, May ternyata merasa jengkel terhadap vonis penjara yang harus ia jalani akibat dituduh mencuri. Saat dipenjara selama tujuh tahun itulah, ia banyak membaca dan berpikir keras untuk menciptakan tokoh pahlawan yang hebat dan kuat. Saat itulah Winnetou lahir. May sendiri diduga mengidap penyakit dissosiative identity disorder (sejenis kepribadian ganda) dan terkenal mengidentikkan dirinya dengan Old Shatterhand.
Kisah petualangan May didorong oleh keadaannya yang lahir dalam keadaan buta akibat kekurangan gizi. Ia tak bisa melihat sampai menjalani operasi pada usianya yang kelima. Di masa buta itu, neneknya banyak menceritakan dongeng seribu satu malam yang sangat berpengaruh dalam membentuk imajinasi dan kepribadiannya. Petualangan ini juga mengungkapkan pandangan May Hal lain yang menarik, buku yang tergolong tentang manusia. Dalam otobiografinya, kisah klasik dunia ini digemari oleh May melambangkan kekasaran jiwa manusia Herman Hesse sampai dalam bentuk Albert Einstein. Bahkan, perjalanan di Namun sebagai pewaris buku ini pernah dilarang padang rumput atau padang pasir. seorang kepala suku Indian, beredar di Jerman Timur (pada waktu itu) karena Usai perjalanan dia akan punah seperti digemari Adolf Hitler. itulah, sang tokoh Terlepas dari kelebihan dan akan mencapai bangsanya. kekurangannya, karya ini kesempurnaan jiwa. layak dibaca. Sekali baca, seperti halnya tokoh-tokoh Hal lain yang di atas, Anda akan jatuh hati pada Winnetou secara halus diselipkan May dalam karyanya dan mengikuti petualangannya sampai adalah nilai-nilai kemanusiaan: perdamaian, tuntas. Saya telah berbicara. Howgh!* persahabatan, dan toleransi. Misalnya, kedekatan antarras yang terjadi pada Old [Hanifah M.] Shatterhand dan Winnetou. Keduanya bersahabat erat meski berbeda secara mencolok. Kelebihan lain dari buku ini adalah adanya catatan kaki dari penerjemah dan penyunting. Catatan kaki sangat membantu pembaca memahami alur cerita Winnetou. Tambahan lagi, buku ini dialihbahasakan dari naskah aslinya yang berbahasa Jerman,
*) Mengutip kata Old Shatterhand di buku ini, howgh berarti menyatakan persetujuan atau mengamini. Kata yang berasal dari bahasa Indian ini biasa dipakai untuk mengakhiri kalimat.
Majalah Civitas|Juli 2011
55
Jeda dan Udara Oleh: Tulad Peni Kharisma*
“Seindah apapun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak?” (Spasi, Dee) Mulanya adalah mati lampu. Liburan dua minggu di rumah, tanpa aktivitas, dan terputusnya aliran listrik adalah kombinasi yang tepat untuk membikin lebih dari sekadar bosan. Biasanya, orang bosan lebih sering mengeluarkan keluhan daripada mereka yang capek berkegiatan. Pun mahasiswa. Ketika saya berkirim pesan pendek kepada kawan yang samasama mengalami mati lampu, mereka mengabarkan kebosanan yang sama. Kebosanan yang akhirnya diisi dengan sebatas berdiam di kamar, main hape, ada yang tidur. Atau aktivitas yang seringkali dilakukan berjemaah ketika terjadi mati lampu: mengumpat PLN. Heran, PLN dianggap macam anak-anak tetangga yang hobi iseng menyalakan bel kos cuma demi kesenangan. Lentera, memang menerangi karena ia tak melulu nyala, tidak terus-terusan nyalang. Ada kalanya ia butuh diam. Bukan, dia tidak butuh, melainkan diam itu esensinya sendiri. Diam menyalakan. Karena dengan adanya diam yang menyalak jadi bisa benar-benar kencang. Gelap yang pekat memang harus ada, dengan demikian
56
Majalah Civitas|Juli 2011
maka kita mengenal dan menghargai sekali terang. Sungguh, apa orang akan sedemikian bersyukur akan nyala lampu jika sebelumnya tidak di-prolog-i dengan mati lampu? Toh, tetap saja bukan hal yang normal jika orang-orang menyukai gelap, karena PLN akan punya dalih untuk pemadaman. Nah, mati lampu ini sebetulnya membebaskan. Hilangnya elektrik dalam nadi hidup harian memunculkan jeda. Pasalnya, beberapa rutinitas yang—secara tak disadari—menyita waktu, tak bisa lagi dilakoni selama mati lampu. Jadilah, ada sela dan rehat. Pernah suatu kali saya berjalan dari gerbang PJMI sampai Warung Jengkol ketika mati lampu. Menarik, sungguh. Ada kos yang para penghuninya berkumpul di ruang tengah, lantas mengamati lilin bersamasama (jangan tanya saya kenapa). Ada yang berinisiatif mengeluarkan panggangan dan makan sosis panggang di bawah bintang. Membuat kegaduhan dengan cerita-obrolan-diskusi dan entah apalah namanya itu. Ada juga yang bergitar akustik ria: terlepas dari faedah dan kualitas suara,
aktivitas itu rasa-rasanya tidak akan diberi waktu jika lampu nyala. Gitar dan obrolan kalah pamor dengan listrik. Wah. Tak hanya dengan listrik, sentuhan-sentuhan manusiawi juga kalah dengan piranti komunikasi. Ponsel, terutama. Ketika bangun pagi, yang reflek dicari adalah handphone. Setelah keluar kos tanpa membawa ponsel, yang spontan ditanyakan adalah berapa sms yang masuk. Saat lebaran dan berkumpul dengan saudara-saudara yang tak begitu dekat, otomatis kita berpaling pada m.facebook.com. Waktu uang di kantong tinggal selembar sementara perut keroncongan bertepatan dengan habisnya pulsa, perutlah yang sering dipaksa mengalah. Menu sayur yang sehat dicoret, ditukar tempe dan pulsa elektrik. Berapa kali kita harus mengulang perkataan karena lawan bicara kita sedang sms-an dan tak mendengarkan? Alat komunikasi memang memudahkan, tapi ia juga memenjarakan. Teman saya menggambarkan fenomena ini sebagai ironi yang bikin geli, “Apa guna connecting people, kalau gara-gara pegang itu dia malah nggak connect pas diajak ngobrol? Apanya yang life’s good, kalau wifi nggak bisa dan duit gue abis buat pulsa modem?” Atau, “Teknologi yang mengerti Anda itu ngapusi (menipu-Jawa). Anda yang harus ngerti teknologi!” keluhan orang tua saat menghadapi internet, sekaligus heran mengapa saya bisa berjam-jam tak bergeming di depannya. Untuk alasan itu pula, ‘pemadaman’ itu perlu. Bukan sebatas dalam konteks listrik, tapi juga rutinitas. Terlepas dari logis tidaknya opsi tersebut, manusia memang butuh pemicu untuk segala hal bukan? Termasuk untuk berkata tidak dan lantas berhenti. Meski sejenak. Meski tanpa norma sosialita. Berhenti. Jenak. Saat mati lampu di rumah itu, ibu saya dengan datar menceletuk,”Syukurlah mati lampu. Kalau enggak, waktu buat ibu pasti kalah sama hape-mu.” *) Penulis adalah Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan LPM Media Center STAN periode 2010/2011
Majalah Civitas|Juli 2011
57
Solo, S
dari Perut Turun ke Hati
olo, The Spirit of Java. Anda mungkin kenal kota ini lewat lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang. Atau Anda penggemar Didi Kempot yang lagu-lagunya mengambil judul dari beberapa tempat di kota ini. Solo tidak hanya identik dengan lagu, tradisi, keraton, dan pesona kotanya yang njawani. Makanan khas Kasunanan Surakarta ini pun lebih dari sekedar menarik. Tengkleng
N
amanya mungkin tak familiar bagi yang tidak menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Selama ini, olahan daging kambing yang paling banyak ditemukan adalah sate, gulai, dan terkadang sop. Tengkleng menyajikan variasi berupa sajian kuah kaldu dan tulang kambing, mirip sop kambing yang lebih sarat terasa bumbu rempahnya. Tengkleng ini memang mulanya berasal dari kalangan warga miskin yang tak mampu membeli daging. Jadilah rebusan tulang kambing yang gurih dan sedap ini. Para penikmat tengkleng biasanya gemar menyantap daging-daging yang tersisa pada tulang dan juga menyesap sumsum tulang yang disiram kuah dengan aroma khas penggugah selera. Jika Anda penggemar tengkleng atau hendak mencoba tengkleng untuk pertama kalinya, penjual tengkleng di Pasar Klewer, tepat di bawah gapura alun-alun, wajib dikunjungi. Warung yang buka pukul 14.30—16.00 ini tak pernah sepi pengunjung dan seringkali harus tutup awal karena ludesnya tengkleng.
58
Majalah Civitas|Juli 2011
Sego Liwet Sego (nasi) liwet adalah nasi gurih yang disajikan dengan lauk dan sayur khas Solo. Salah satunya sayur labu siam atau yang sering disebut sambel goreng jipang. Pelengkap lainnya adalah telur bumbu kecap, ayam, dan juga santan kental yang dikenal dengan nama kumut. Kebiasaan unik dalam menyajikan sego liwet adalah ‘piring’ daun pisang yang dibentuk kerucut atau yang disebut pincukan. Sego liwet Anda lebih nikmat jika disantap bersama kerupuk kulit (rambak kulit) atau kerupuk karak yang berbahan dasar nasi. Nasi liwet yang terkenal di Solo adalah nasi liwet Wongso Lemu. Kedai ini juga menyajikan iringan musik keroncong secara live. Wongso Lemu biasa buka dari sore hingga dini hari, sekitar pukul 16.00—2.00.
Timlo Hidangan ini dikenal mulai tahun 1960-an. Timlo adalah hidangan sejenis sup, dengan irisan ati ampela, sosis Solo, dadar gulung, telur pindang, sayur, bihun, dan suwiran daging ayam yang cocok dinikmati bersama nasi. RM Timlo di Jl. Jenderal Oerip Soemohardjo 94 merupakan pelopor terkenalnya hidangan ini. Belakangan, Timlo Sastro yang berlokasi di Jl. Pasar Gede Timur 1, Balong, juga turut merenggut perhatian dari masyarakat penikmat Timlo. Di kedai ini, kembali kita diiringi permainan musik keroncong. Serabi Jajanan dari tepung beras, pandan, vanila, gula, santan kelapa dan garam ini memang sudah tersebar keberadaannya, seperti Bandung yang mengenalnya dengan nama surabi. Di Solo, Serabi Notosuman masih tidak tergantikan dengan citarasanya yang tetap bertahan sejak tahun 1923. Nama Notosuman berasal dari nama jalan yang sekarang berubah menjadi jalan M. Yamin. Dari tahun ke tahun, citarasa dari Serabi Notosuman ini tetap unik dan istimewa karena menggunakan bahan khusus berupa beras Cendani. Usaha turun temurun ini kini
telah membuka cabang di Jakarta dan Bogor, memanjakan mereka yang ingin menjajal Serabi Notosuman tanpa harus pergi ke Solo. Selat Solo Jika Anda warga Solo dan sekitarnya, ini adalah salah satu hidangan yang rawan membuat Anda homesick. Kita biasa menemui salad di Jakarta dengan mayones dan sayur mayur mentah segar tercampur di dalamnya. Nah, salad ala Solo ini merupakan sajian berkuah dengan bistik sapi. Nama masakan ini sebenarnya berasal dari kata salad (yang dilafalkan oleh lidah Jawa sebagai “selat”) karena kemiripan bahan dasar keduanya yang terdiri dari bermacam sayuran. Dalam selat Solo terdapat buncis, wortel rebus, irisan acar timun, kentang rebus, kentang kering, irisan tomat segar dan daun selada. Inilah yang membuat rasanya khas: sayuran, bistik (dari kata beefsteak versi lidah Jawa) dan telur, dilengkapi kuah dan sedikit mustard yang membawa rasa segar tiap kali dinikmati. Porsi daging sapi yang dihidangkan dalam sajian ini tak begitu dominan, sangat cocok bagi yang sedang menjalani program diet. Sate Kere Mengapa dinamakan sate kere? Kere, dalam bahasa Jawa berarti miskin. Dahulu kala mereka yang tak mampu menikmati sate daging layaknya orang kaya membuat satenya sendiri dari tempe gembus. Tempe gembus adalah tempe yang dibuat dari kedelai sisa pembuatan tahu. Tekstur lembut tempe gembus inilah yang membuatnya dipilih sebagai bahan pengganti daging. Kini sate kere tidak hanya dinikmati kalangan bawah tetapi juga kalangan atas. Bahan yang disate pun tidak melulu tempe gembus tapi bervariasi dari daging jeroan sampai lemak kambing atau sapi. Hidangan ini tidak cocok untuk pengidap kolesterol tinggi. Satu porsi sate kere gembus hanya Rp7.000,00,
Majalah Civitas|Juli 2011
59
Sate Kere
Bakmi Toprak
Tengkleng Solo Serabi Solo
Selat sedangkan untuk daging jeroan sekitar Rp20.000,00. Di Solo, penjual sate kere yang terkenal adalah Yu Rebi. Warung Yu Rebi terletak di Jalan Kebangkitan Nasional No. 1—2, Solo (belakang Sriwedari) dan buka antara pukul 11.00—20.00. Bakmi Toprak Bakmi ketoprak yang biasa ditemui di Solo dan sekitarnya berbeda dengan ketoprak ala Jakarta. Bakmi ketoprak adalah campuran kuah kaldu sapi dengan mie basah, taoge, kol, seledri, dan kacang goreng. Taburan bawang goreng menambah gurih hidangan ini. Rasa segar setelah menyantap bakmi toprak terbukti membuat ketagihan. Sosis Solo dan Semar Mendem Sosis Solo mirip dengan lumpia dan makanan sejenis dadar gulung lainnya. Hanya saja, sosis ini unik karena isian daging empuknya yang berbumbu manis khas Jawa dan dibalut adonan kulit yang lembut. Semar mendem juga tidak kalah tenar dari sosis Solo. Kudapan satu ini mirip lemper isi daging ayam, hanya saja pembungkusnya bukan daun pisang, melainkan telur dadar. Semar
60
Majalah Civitas|Juli 2011
Timlo mendhem bisa langsung dinikmati atau disajikan dengan kuah santan berbumbu. Sentra Jajanan Solo Untuk oleh-oleh, Toko Orion yang sudah turun temurun terkenal di Solo dapat menjadi sentra kue pilihan. Tersedia berbagai macam kue dan roti, seperti sus kering dan lapis. Jika ingin jajanan yang lebih beragam, Pasar Klewer dan Pasar Jongke menyediakan jajanan pasar seperti intip, sate pisang, ampyang, tak lupa sosis Solo dan semar mendhem yang merupakan jajanan ciri khas kota batik ini. Selain itu, di Tugu Gladag depan Pusat Grosir Solo (PGS) juga terdapat pusat makanan khas Solo. Pada sore hari, area depan PGS tadi akan dibanjiri warung-warung tenda. Inilah yang menjadikan kawasan yang disebut Gladag Langen Bogan tersebut wajib dikunjungi wisatawan kuliner: senja kota Solo, warung-warung dengan suasana akrab dan ramah dompet, ditemani makanan dan minuman khas Solo yang hampir semuanya tersedia di sini. Apalagi yang dicari? [Izati C.]
Working Girls,
Perempuan-Perempuan Hebat Working Girls, seperti tersirat dalam judulnya, bercerita tentang perempuan dan dunia kerjanya. Di beberapa media, Nia Dinata sebagai produser menyatakan bahwa film dokumenter ini bertujuan mengangkat figurfigur perempuan yang bekerja untuk menyiasati kondisi ekonominya. Tujuan inilah yang kemudian menjadi benang merah keseluruhan film yang terdiri dari tiga segmen ini.
A
da tiga cerita yang dipilih dan direkam oleh lima sutradara. Masing-masing punya subjek dan penuturannya sendiri. Cerita pertama berjudul 5 Menit Lagi, Ah.. Ah.. Ah... Segmen ini berkisah tentang Ayu Riana, bintang cilik pemenang kontes dangdut di salah satu televisi nasional. Di awal cerita, subjek dikenalkan lewat potongan-potongan adegan yang menggambarkan kemenangan Ayu dan euforia yang mengikutinya. Terlihat bagaimana Ayu naik daun, mendapat banyak uang, dan menjadi tulang punggung keluarga. Ayahnya turut merasa menjadi selebritis, ikut naik panggung dan membagikan uang pada tetangga-tetangganya, satu hal yang ditentang istrinya dan menjadi konflik tersendiri. Film lalu berlanjut dengan setting dua tahun berikutnya. Di sinilah fokus cerita dibangun, mengenai kehidupan Ayu setelah ketenarannya. Ayu melanjutkan sekolah sembari menyanyi dari panggung ke panggung dengan harapan dapat menghidupi keluarga. Ayu dan keluarganya percaya mereka akan mendapat kepopuleran seperti dua tahun silam. Namun, seperti digambarkan dalam film, keluarga Ayu tidak mengontrol karir dan financial anak perempuan mereka.
Produser: Nia Dinata Produksi: Kalyana Shira Films Durasi: 120 menit Sutradara: Sammaria Simanjuntak, Sally Anom Sari, Anggi C. Noen, Nitta Nazyra C. Noer dan Daud Sumolang.
Kisah getir ini dibumbui kehadiran sosok yang dipanggil Ayu sebagai “Ayah Tito”. Mulanya, Tito hanyalah orang luar yang suatu hari datang dan mengakui ketertarikannya pada Ayu, lantas menjadikan Ayu sebagai anak angkat. Tito yang belum menikah inilah yang membiayai sekolah, belanja bulanan Ayu, serta mengurus produksi dan penjualan album. Perhatian Tito menyulut kecurigaan ayah Ayu, yang terekam jelas dalam satu adegan wawancara. Berikutnya, Asal Tak Ada Angin, mengisahkan perjuangan kelompok Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya yang harus mencari
Majalah Civitas|Juli 2011
61
nafkah di tengah idealisme untuk menjaga nilai budaya yang mereka yakini. Dokumenter besutan Yosep Anggi Noen ini kebanyakan menceritakan kesan-kesan anggota kelompok selama menghidupi ketoprak tersebut. Segmen diisi dengan rutinitas sehari-hari mereka yang memprihatinkan, dari rumah satu ruang yang hanya bersekat dinding anyaman bambu sampai penghasilan sehari yang berjumlah dua ribu rupiah. Meskipun memiliki cerita dan kemasan paling menarik, Asal Tak Ada Angin kehilangan fokus dari tujuan awal film yang ingin mengangkat figur-figur perempuan pekerja yang menghadapi masalah finansial. Segmen ini justru lebih membahas daya hidup kelompok ketoprak. Penonton dihadapkan pada faktafakta penjelasan tentang kehidupan ketoprak tobong sehari-harinya—rata-rata jumlah penonton, cara menyiapkan pertunjukan, hingga penjelasan perihal pengaruh cuaca pada pekerjaan mereka. Satu adegan memperlihatkan markas ketoprak yang banjir akibat hujan deras. Mulai dari adegan itu, pembahasan soal perempuan mulai hilang. Sekadar menampilkan sejumlah perempuan dalam ketoprak tobong, tapi tidak dibahas lebih dalam. Kehilangan fokus juga terjadi dalam Ulfie Pulang Kampung, cerita ketiga dalam Working Girls. Cerita berpusat pada Zulfikar (Ulfie), seorang transgender pengidap HIV yang punya misi mengangkat wacana tentang penyakitnya tersebut kepada sesama transgender. Cerita bermula di Jakarta, ketika film menjelaskan soal pekerjaan Ulfie di salon yang sudah bisa menghidupi keseharian Ulfie. Kemudian, cerita beralih saat Ulfie, transgender modis dengan baju wanita dan sandal berhak, mengunjungi keluarga di kampung halamannya, Aceh. Selama di kampung halaman, Ulfie juga mengunjungi teman-temannya sesama transgender, berusaha membuka keran informasi perihal HIV sembari meyakinkan mereka untuk cek darah. Dalam cerita ini, subjek sudah mengatasi kondisi ekonominya. Oleh karena itu,
62
Majalah Civitas|Juli 2011
pembahasan kemudian konsisten menjelaskan soal aktivitasnya di ranah HIV, diselingi adegan reuni dengan keluarga atau keengganan ibunya melihat sang anak memakai rok. Masalahnya, ketika ditarik kembali ke niat awal Working Girls, segmen ketiga ini jadi terlihat salah konteks. Jika Working Girls ingin mengangkat figur-figur perempuan yang bekerja untuk menyiasati kondisi ekonomi, tujuan ini kurang mencapai sasaran. Subjek toh telah independen secara finansial. Perkara ini pun hanya diceritakan sekilas dalam beberapa adegan. Fokus ceritanya sendiri tidak berhubungan dengan pekerjaan Ulfie. Terlepas dari kelemahan teknis audiovisualnya, film ini tak membuat penonton jenuh. Pilihan Nia untuk membuat film dokumenter bukanlah tanpa alasan. Dengan format dokumenter, tiga cerita yang diangkat benar-benar menonjol rasa realisnya, alami dan tidak dibuat-buat. Film ini dengan berani juga mengangkat keragaman dalam dunia perempuan itu sendiri: ada penyanyi dangdut berusia 15 tahun, wanita yang telah menggeluti ketoprak selama empat dekade, sampai ‘wanita’ transgender. Wawancara dengan sosok-sosok dalam film ini membuat kita masuk lebih jauh menyelami kehidupan mereka tanpa ending yang bisa ditebak. Akhir film dokumenter ini memang menggambarkan bahwa perempuan yang diangkat ke dalam film itu masih terus berjuang mewujudkan mimpimimpinya hingga sekarang. Keluar dari studio yang hanya diisi oleh empat orang, saya mendapati suasana yang kontras. Banyak orang di luar yang sepertinya akan menonton film Catatan Harian Si Boy atau film lain selain dokumenter ini. Kemudian saya mendapat jawaban mengapa film seperti Working Girls hanya diputar di empat kota dan di Jakarta pun hanya ada di dua bioskop. Film yang fokus pada proses, konsisten berpijak kenyataan tanpa sengaja menambahkan drama picisan seperti film pasaran, memang memiliki segmen yang sangat terbatas. [Arfindo B. S.]
Krisis
Kepemimpinan
! K
ondisi Indonesia kini sebenarnya tak jauh berbeda dengan masa tahun 1945-an dan 1950-an. Menurut Anies Baswedan, rektor Universitas Paramadina, tingkat kemiskinan pada tahun 1945-an dan 1950-an sama dengan tingkat kemiskinan di masa kini. Namun di masa lalu, pejabat negara termasuk presiden, mampu menampilkan diri sebagai pemimpin yang berintegritas. Kepemimpinan inilah yang menggugah masyarakat untuk hidup secara mandiri.1
“Masalah kemiskinan di indonesia bukan hal baru. Tahun 1945-an dan 1950-an juga banyak orang miskin. Tetapi yang berbeda adalah adanya pemimpin yang berintegritas. Di masa lalu pemimpin memiliki island of integrity, tapi sekarang tidak ada dan harus dikembalikan,” ujarnya. Inilah perbedaan antara kini dan sejarah yang telah lewat. Pemimpin yang ada tak punya wibawa di mata rakyat, minim integritas, dan gagal meraih kepercayaan rakyat.
Indonesia tengah mengalami krisis kepemimpinan. Pemerintah Indonesia dewasa ini sulit sekali mendapatkan kepercayaan masyarakat. Krisis ini ternyata tak semata terkait dengan kesejahteraan rakyat.
Anies menyatakan bahwa krisis kepemimpinan ini kian menyesatkan. Kemiskinan tidak dihadapi dengan semangat kemandirian. Kepemimpinan tanpa integritas menjerumuskan bangsa dalam korupsi. Krisis ini makin parah dengan merebaknya kasus korupsi. Sistem politik yang dibangun oleh pemimpin tanpa integritas merongrong sistem politik itu sendiri. Sistem politik yang ada, ternyata tidak didesain untuk menaklukkan partai politik (parpol) dan politisi yang ingin memperkaya diri. “Aturan politik dibuat demikian longgar agar mudah dilanggar. Kalau dulu, longgarnya aturan politik tidak untuk dilanggar. Pemimpin memiliki batasan etika kuat dan kedewasaan dalam berpolitik,” jelas Anies. Menilik kondisi demikian, wajar jika rakyat acap kali menyalahkan pemerintah, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat dianggap sebagai muara dari setiap permasalahan negeri.
Majalah Civitas|Juli 2011
63
Kepemimpinan adalah sebuah siklus, terlebih di Indonesia yang berlandaskan demokrasi Pancasila. Pemilihan langsung pemimpin negara oleh rakyat setiap lima tahun sekali memungkinkan terjadinya pergantian kepemimpinan. Lima tahun inilah batas waktu yang disediakan bagi pemimpin untuk menunjukkan kinerjanya. Pemimpin yang tak bertugas sebagaimana mestinya, idealnya memiliki kemungkinan kecil menduduki jabatan yang sama lima tahun berikutnya. Sejak tumbangnya rezim Orde Baru, baru presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menduduki jabatan pemimpin negara selama dua periode berturut-turut. Namun, bukan berarti SBY merupakan presiden Indonesia terbaik karena banyak faktor yang terlibat dalam terpilihnya seorang presiden. SBY sendiri akhir-akhir ini menuai makin banyak kritik. Beberapa menganggap SBY terlalu lambat mengambil kebijakan. Wiranto, ketua umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), adalah salah satu tokoh yang menyuarakan kelambatan presiden ini.2 Faisal Basri, pengamat ekonomi, juga menyatakan hal senada di awal masa pemerintahan SBY periode kedua, terkait permasalahan ekonomi.3 Kritik lain untuk Presiden adalah masalah kepemimpinannya. Pada sebuah diskusi, seorang mahasiswa dari Universitas Padjajaran, dengan lantang mengatakan, “Persoalan besar bangsa ini adalah tidak adanya kepemimpinan. Yang saya tunggu dari Presiden SBY adalah leadership-nya. Presiden tidak punya itu: kepemimpinan!”4 Contoh di atas memperkuat pernyataan awal bahwa Indonesia memang tengah mengalami krisis kepemimpinan. Rakyat yang selalu menyalahkan pemerintah menjadi bukti lain akan memudarnya kepercayaan rakyat. Parahnya, ketidakpercayaan ini menular dan bersifat menggeneralisasi. Sebutlah Kementerian
64
Majalah Civitas|Juli 2011
Keuangan yang dihujat perkara film impor. Publik seakan tak peduli akan kasus monopoli yang melatarbelakangi absennya beberapa film. Stigma pemerintah yang buruk membuat tudingan publik lebih banyak dialamatkan pada Kementerian Keuangan dan bukan pada oknum pelaku monopoli. Kepercayaan rakyat Indonesia yang minim pada pemerintah secara tidak langsung menghambat kemajuan negara. Ketika pada 2014 nanti muncul pemimpin baru yang menggantikan SBY, pandangan rakyat Indonesia tidak bisa lepas begitu saja dari bayang-bayang pemerintahan SBY. Publik akan membandingkannya dengan pemerintahan sebelumnya. Hal ini tak mengapa jika masyarakat bisa berpikir objektif terhadap pemimpin baru nanti. Namun, mungkin yang akan terjadi adalah terhambatnya setiap kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah yang baru karena kepercayaan masyarakat yang masih tipis. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah salah satu contoh lembaga yang telah melakukan reformasi birokrasi tetapi masih sulit mendapat kepercayaan masyarakat. Bayang-bayang birokrasi yang korup membuat DJP seringkali masih mendapat cibiran dari masyarakat terkait masalah pajak, walaupun reformasi birokrasi telah dilakukan. Trauma Persepsi Bayang-bayang kepemimpinan sebelumnya membuat pemimpin baru layaknya mendapat justifikasi prematur. Ia seringkali dikritik terkait rencana kebijakan baru yang padahal belum juga berjalan. Pesimisme akan kinerja dan tanggung jawab pemerintah seperti sudah mendarah daging dalam masyarakat Indonesia. Pemikiran seperti inilah yang mungkin perlu diluruskan agar nantinya tidak menimbulkan ‘trauma persepsi’.
‘Trauma persepsi’ adalah sebuah pemikiran yang selalu menengok ke belakang, menjadikan keadaan dan cerita-cerita sebelumnya sebagai cermin perwujudan dari kejadian yang akan terjadi. Dalam kepemimpinan, trauma persepsi dapat diartikan sebagai sebuah pemikiran bahwa pemimpin yang baru tak jauh berbeda dengan pemimpin sebelumnya. Dengan kata lain, lebih suka untuk menghakiminya lebih awal tanpa melihat dulu kualitas pemimpin baru tersebut. 5 Masyarakat Indonesia perlu menghilangkan ‘trauma persepsi’ dari mindset, yang membuatnya cenderung menengok ke belakang. Pembersihan memang perlu dilakukan. Pembersihan yang dimaksud adalah pembersihan pikiran masyarakat yang diakibatkan oleh penindasan, kekangan, penderitaan dan himpitan yang panjang dalam aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya, sehingga menyebabkan timbulnya trauma persepsi. Lebih jauh, ‘trauma persepsi’ akan mendorong terjadinya trauma jiwa dan pemikiran. Sulit memang menghilangkan trauma yang telah turun-temurun menggerogoti sendisendi pemerintahan Indonesia. Namun, tentu masih ada harapan agar perubahan tidak sekadar wacana. Kecerdasan memilah informasi bisa jadi alternatif solusi agar berita yang sampai ke telinga tidak langsung masuk ke dalam otak. Pilihlah media yang berimbang dalam pemberitaan, yang benar-benar independen tanpa ditunggangi kepentingan tertentu, agar tidak terjebak dalam arus opini publik yang tidak sepenuhnya dapat dipercaya. Pemerintah tak selamanya sebusuk apa yang ditampakkan media.
Kecerdasan memilih pada Pemilihan Umum 2014 nanti mungkin dapat menjadi salah satu opsi yang bisa kita lakukan, agar pemimpin yang terpilih memang benarbenar sesuai dengan harapan rakyat. Kecerdasan memilih dimaksudkan agar rakyat tahu benar siapa yang mereka pilih. Tak sekadar (lagi-lagi) ikut arus, tetapi memang telah mempelajari dan mengenal calon pemimpin yang akan mereka pilih. Kalangan mahasiswa dan akademisi yang kerap dianggap sebagai kalangan terpelajar, dapat menjadi pelopor untuk lebih kritis dan jernih menilai masalah, tidak termakan ‘opini’ publik hingga latah menganggap pemerintah sebagai muara masalah. Selain (tentu saja) perlu untuk memunculkan pemimpin yang cakap dan bertanggung jawab, pengikisan ‘trauma persepsi’ dari pikiran masyarakat tampaknya tidak bisa dianggap remeh untuk memperbaiki kerusakan yang telah dan tengah terjadi di negara ini. [Nugroho B. S.]
1) http://www.mediaindonesia.com/
read/2011/01/01/199810/3/1/Krisis- Kepemimpinan-Mendera-Indonesia 2) http://www.rakyatmerdeka.co.id/
news/2009/06/22/76732/Tiga-Kali- Wiranto-Sebut-SBY-Lamban 3) http://www.kabarbisnis.com/read/289132 4) http://hukumpolitik.com/berita-dan-politik/frontpembela-sby-gan-denny-indrayana-menjawab-kritikuntuk-sby.html 5) Disarikan dari buku “Menghilangkan Trauma Persepsi”, karya Hilmi Aminuddin (politikus)
Majalah Civitas|Juli 2011
65
Gugun Blues Shelter Dari Indonesia Ukir Legenda Nama Gugun Blues Shelter mungkin mengingatkan Anda akan sesuatu. Bukan, yang saya maksud bukanlah shelter busway, melainkan band yang mulanya bernama Gugun and The Bluesbug ini. Memang, Gugun Blues Shelter adalah nama baru dari band yang dimotori oleh Muhammad Gunawan atau Gugun (gitaris, vokalis), John Armstrong atau Jono (bassist) dan Aditya Wibowo atau Bowie (drumer). Album yang diangkat di sini adalah album self titled yang merupakan album pertama Gugun cs di bawah bendera Gugun Blues Shelter.
Album ini memuat musik yang bervariasi, dari texas blues, blues rock, hingga bluesfunky. Jika selama ini Anda menganggap blues sebagai musik yang muram, dengarkan album ini. Lagu-lagu dalam album ini adalah contoh blues yang dimainkan dengan riang dan sanggup membuat minimal jempol kaki Anda bergoyang. Album dibuka oleh Fight For Freedom, yang diawali dengan permainan akustik repetitif, lalu dilanjutkan dengan musik blues yang seksi. Bagi Anda yang tahu tentang blues, lagu pertama ini mungkin akan sedikit mengingatkan Anda pada permainan Stevie Ray Vaughan, gitaris blues andal era ’70-an yang dianggap sebagai titisan Jimi Hendrix. Sesuai judulnya, lagu ini adalah tentang seorang anak desa yang berharap kemerdekaan akan menghampiri bangsanya. Sedikit nasionalis? Silakan dengar sendiri. Track selanjutnya adalah Good Thing Bad Thing. Lagu ini sukses membuat saya membayangkan duduk di pojok sebuah bar, menyaksikan lagu tentang kehidupan ini dinyanyikan dalam sorot panggung yang
66
Majalah Civitas|Juli 2011
temaram. Coba dengarkan melodinya yang berpanjang-panjang tetapi sangat indah. Lagu ketiga, Old Friend, adalah lagu manis tentang persahabatan yang hancur karena suatu hal (wanita?) dan tentang konflik dalam hidup manusia. Walau topiknya memang agak umum, tetapi Gugun cs mengemas musiknya dengan amat baik. Dengarkan saja melodi sepanjang lagu ini. Di akhir lagu, Gugun menyanyikan bahwa pada saat tua, mereka akan mengenang ini semua dan ia tak akan lupa bahwa mereka adalah teman lama. Sangat manis. On The Run, di urutan berikutnya, berhasil menampilkan kontras yang menarik. Siapa sangka dibalik musik yang terkesan riang gembira, lagu ini mengangkat kisah yang menyeramkan. On The Run menceritakan pengalaman pribadi Jono yang lolos dari serangan teroris di Kedutaan Besar Australia tahun 2004 lalu. Ketika tragedi itu terjadi, Jono, personel yang berkewarganegaraan Inggris ini sedang menuju kantornya. Beruntung, ia terlambat 10 menit dan selamat.
Emptyness, lagu kelima, sedikit lebih funky dan mengingatkan kita pada musik era ‘70‘80an. Liriknya sedikit abstrak dan membuat saya bertanya-tanya apa maksud lagu ini. Namun, seperti komentar Gugun atas lagu ini, “Who said lyrics need to make sense anyway?” Mungkin tafsir lagu ini diserahkan sepenuhnya pada setiap pendengar dengan persepsinya yang berbeda-beda. Berikutnya, When I See You Again. Dari judulnya saja sudah bisa ditebak, bukan? Lagu ini berkisah tentang seorang yang terpisah jauh dari orang tersayang dan menunggu waktu untuk berjumpa kembali. Jelas sekali, ini adalah lagu tentang kerinduan. Anda yang mahasiswa perantau mungkin akan menyukai lagu manis ini lantas menyanyikannya pada orang yang Anda sayang. Siapa tahu. Lagu selanjutnya adalah favorit saya di album ini, Whiskey Woman. Dengan musik yang maut dan seksi, track ini mengingatkan kita pada musik blues lawas. Dalam nomor ini pula Gugun menyisipkan permainan slide gitar yang sangat keren. Lagu ini hanya berdurasi dua menit lebih sedikit, pilihan tepat karena jika diperpanjang mungkin Whiskey Woman tak akan sebagus ini dan bisa jadi membosankan. Lagu ini berkisah tentang seorang pria yang pergi meninggalkan kekasihnya yang berselingkuh. Tak lantas bersedih, ia malah memacu mobilnya menuju kota dan pergi mencari whiskey woman. Lagu kedelapan, You’re The Man, terdengar sarat nuansa Texas Blues. Topik yang diangkat adalah favorit mahasiswa STAN yang sering berkoar-koar menentang korupsi. Seperti penggalan lirik, “See your face all over the town, you’re the man who calls the shots, your wage is low but you drive a silver Mercedes”.
Terakhir, White Dog, memuat suara macam anjing melengking yang saya curigai dibuat dengan gitar. Sebagai penutup, lagu ini benar-benar menunjukkan kelas Gugun sebagai band kelas internasional. Dalam nuansa blues rock ala ‘70an, lagu ini menyindir orang-orang yang hanya bisa bertingkah, banyak bicara tanpa tindak nyata. Bagus untuk menyindir manusia kebanyakan sekarang ini, yang rata-rata hanyalah poser dan sebatas ikut-ikutan. Mendengarkan album ini akan membuka mata Anda terhadap blues. Terbukti, anggapan bahwa blues adalah musiknya orang tua, salah. Blues bisa dibawakan dengan semangat muda yang atraktif dan mampu terdengar seksi walau dianggap kurang komersial. Namun, kalau musik bisa terdengar sekeren ini dan Anda suka, siapa peduli dia menjual atau tidak? Lirik-lirik lagu dalam album ini pun memotret kehidupan dari berbagai sisi, tak terjebak topik yang sama sepanjang album sehingga tidak terasa monoton. Bagi Anda pecinta musik yang selalu mendukung scene lokal, saya berani katakan bahwa album ini layak dibeli, bahkan dikoleksi. Bukan semata nasionalis, tetapi musikalitasnya yang bagus dan nama Gugun sendiri yang merupakan jaminan mutu. Sebagus apa? Sekadar informasi, Mei lalu Gugun Blues Shelter menjuarai kompetisi internasional Battle of the Bands 2011. Mereka mendapat kesempatan tampil sebagai band pembuka Band Jovi di Hard Rock Calling Fest, di Hyde Park, London. Tak sekedar pentas, mereka bahkan mendapat spot utama di festival musik prestisius yang ditonton 200 ribu orang ini, sepanggung dengan musisi legendaris selevel Rod Stewart dan Stevie Nicks. Jadi, silakan dengar musiknya dan dapatkan albumnya. Jangan lupa, beli yang asli, bukan bajakan. Tenang, saya sendiri telah melakukan hal ini sebelum menyarankannya. [Gilang R. H.]
Majalah Civitas|Juli 2011
67
KAMPUNGAN Virus Penghancur Bangsa Prama Wiratama*
S
ebelum Anda melanjutkan membaca tulisan ini, ada baiknya saya tegaskan bahwa “kampungan” di sini adalah suatu sikap, bukan daerah asal seseorang. Kampungan berbeda dengan orang kampung. Saya orang kampung, karena saya berasal dari daerah Purwokerto. Walau saya orang kampung, saya berusaha untuk tidak menjadi manusia kampungan.
Bisa dibayangkan, seseorang yang memiliki karakter pembantu, orang miskin, tiba-tiba mendapat kesempatan menjadi penguasa atau orang kaya. Ia mungkin akan menjadi seorang raja yang kampungan: harta banyak, tapi pikirannya seperti orang yang tak punya harta. Raja yang memiliki tanggung jawab besar, tapi merasa memilki tanggung jawab sederhana layaknya pembantu. Sikapsikap kampungan itu paling mudah kita temui justru di daerah perkotaan, bukan di perkampungan. Jakarta, contohnya. Sebagai ibukota, perputaran uangnya begitu cepat dan besar, sangat menarik bagi orangorang kampung kismin (baca: miskin) yang mencari penghidupan yang lebih layak. Akhirnya Jakarta dipenuhi orang-orang kismin pendatang yang selalu bertambah tiap tahunnya.
Petruk Dadi Ratu
Dengan asumsi bahwa orang kismin tersebut mampu meningkatkan grade-nya menjadi golongan orang mampu (atau seperti istilah Ligwina Hananto dalam bukunya Untuk Indonesia yang Kuat: masyarakat “golongan menengah”), tak masalah jika orang kismin itu mengubah sikap sesuai grade barunya tersebut. Namun, akan menjadi masalah besar jika sikap kismin-nya itu tidak berubah dan justru menjadi karakter dirinya, seberapa pun besarnya penghasilan dan seberapa pun tingginya grade.
Kalau boleh menggunakan istilah Jawa, orang kampungan ibarat Petruk Dadi Ratu1 (Petruk Jadi Raja). Istilah ini menyiratkan orang kaya/penguasa yang bersikap seperti Petruk, seorang punakawan/pembantu.
Sikap kampungan inilah yang menyebabkan biaya subsidi BBM membengkak. Sebenarnya banyak orang mampu membeli BBM nonsusbsidi, tetapi karena sikap kismin yang masih terpatri kuat dalam diri, ia enggan
Apa saja kriteria sikap yang kampungan? Sebetulnya mencari sikap yang kampungan itu mudah. Jika kita hanya bisa tersenyum dan mengelus dada ketika melihat suatu sikap, itulah sikap yang kampungan. Agar lebih konkret, mari kita lanjutkan pembahasannya.
68
Majalah Civitas|Juli 2011
menggunakan BBM nonsubsidi. Ia bersikap layaknya masih dalam keadaan kismin. Sikap kampungan pula yang menyebabkan sektor pariwisata Indonesia lesu. Tak masalah jika banyak orang mampu hobi berwisata ke luar negeri. Namun, akan menjadi masalah jika hobinya berwisata ini tak didahului dengan mengkhatamkan berwisata di dalam negeri. Negeri ini luas, terdiri dari ribuan pulau, memiliki landscape tropis yang sempurna. Aneh rasanya, jika selalu menggembor-gemborkan cinta Indonesia tapi tak diimbangi dengan pakai dan kunjungi Indonesia. Cinta itu perlu bukti kan? Sikap kampunganlah yang menyebabkan Indonesia menjadi pasar terbesar untuk produk smartphone dan handphone. Pasarlah yang menggiurkan, bukan produsen. Terlalu banyak orang yang menggunakan gadget terbaru hanya untuk gengsi. Mereka memilih gadget bukan berdasar tingkat kebutuhan dan fitur. Seorang ahli TI atau pebisnis memang memerlukan gadget canggih dan up-to-date. Itu adalah kebutuhan. Namun, bagaimana dengan pelajar yang hanya berkutat antara fungsi sms, mms, kamera, telepon, online, dan games? Perlukah selalu mengganti gadget dengan yang terbaru? Lebih memilukan lagi orang yang membeli gadget dengan alasan investasi. Tujuan investasi adalah agar aset tersebut meningkat nilainya. Bagaimana bisa produk teknologi dijadikan investasi? Tak ada produk teknologi yang nilainya bertambah, bahkan yang nilainya tetap saja jarang. Tahu, tapi Tak Mau Tahu Ada segelintir orang yang berpedoman bahwa peraturan dibuat untuk dilanggar. Ketika harus berhadapan dengan orang tersebut, apa yang bisa dilakukan agar ia mengikuti aturan yang berlaku? Kita bebaskan dari aturan, atau tetap kita terapkan? Hasilnya sama saja, kan? Dia tak akan mau diatur. Oleh karena itu, kita paling hanya bisa tersenyum sambil mengelus dada.
Orang yang menolak sebuah aturan karena tak mengerti tujuan aturan tersebut, bisa kita maklumi. Berarti dia belum tahu dan perlu diberi tahu tentang tujuan aturan tersebut. Namun jika seseorang tahu tujuan dari sebuah aturan, sadar bahwa tujuan tersebut baik, tetapi tetap saja melanggar, dialah yang dimaksud dengan orang kampungan. Dalam berlalu lintas, banyak kita temui orang yang tak menggunakan helm. Dia bukan tidak tahu bahwa helm itu melindungi kepalanya dari benturan. Dia hanya kampungan dan aturan tersebut tetap dia langgar. Lampu sepeda motor wajib dinyalakan pada siang dan malam hari, baik lampu depan maupun belakang. Orang kampungan bukan tidak tahu bahwa menyalakan lampu tersebut berguna untuk keselamatannya. Namun memang karakter kismin-nya belum berubah, akhirnya dia memilih membahayakan nyawanya demi mengirit BBM. Padahal, berapa nilai nyawa dibanding harga BBM untuk menyalakan lampu? Kagetan lan Gumunan Kagetan berarti mudah kaget atau heboh. Gumunan artinya mudah terheran-heran. Kampungan juga dicirikan dengan sikap mudah heboh dan mudah terheran-heran. Ingin lihat seberapa parahnya kita dalam hal ini? Lihat ketenaran Briptu Norman. Mari kita analogikan Briptu Norman dengan anggota DPR: Norman sedang menjaga pos yang sepi, DPR sedang rapat paripurna tapi yang dibahas bukan bidang yang ditanganinya. Keduanya lalu sama-sama membuat video lipsync dengan alasan menghibur temannya yang sedang bermasalah. Kirakira, bagaimana tanggapan Anda terhadap Briptu Norman dan anggota DPR tersebut? Atas perbedaan subjek, kita bisa memberikan tanggapan yang berbeda. Padahal yang dilakukan nyaris sama. Satu-satunya alasan yang paling bisa diterima atas ketenaran
Majalah Civitas|Juli 2011
69
Briptu Norman adalah karena kekampungan kita yang mudah heboh dan terheran-heran atas sesuatu yang baru. Dampaknya? Kode etik Polri menjadi aturan yang boleh dilupakan atas dasar tuntutan publik. Pada akhirnya, seorang Briptu Norman jatuh sakit karena memang pada dasarnya dia bukan dicetak untuk menjadi selebriti penghibur masyarakat, melainkan untuk menjadi pelindung dan pengayom masyarakat. Menghindari sikap kagetan dan gumunan bukan berarti menjadi manusia yang apatis dan sulit mengapresiasi prestasi. Apresiasi prestasi itu perlu, dengan catatan bahwa yang diberi jempol itu benar sebuah prestasi. Lain halnya jika ‘prestasi’ tersebut sejatinya adalah sebuah pelanggaran, terlepas dari betapa menyenangkan dan menghiburnya pelanggaran tersebut. Berikanlah apresiasi untuk prestasi dan berikanlah sanksi untuk wanprestasi. Proporsional. Mahasiswa Kampungan (?) Masih banyak pelanggaran yang dilakukan bukan atas ketidaktahuan, tapi karena sengaja. Sebut saja KTM yang dibuat memang untuk dipakai, tapi masih ada beberapa dari kita yang malas menggunakannya dengan berbagai alasan. Contoh lainnya adalah penggunaan rok yang terlalu tinggi dari lutut serta kemeja yang terlalu ketat dan tipis. Perlu diingat, kita adalah pegawai negeri yang dituntut profesional. Kedisiplinan adalah poin penting dalam profesionalisme PNS. Percuma pandai tapi tak disiplin, karena kepandaian yang tak dibarengi dengan kedisiplinan membuahkan kelicikan yang merasionalisasi pelanggaran. Rakyat membayar kita bukan untuk menjadi pegawai yang kampungan, pelanggar aturan yang tahu tujuan dan sanksinya. Dengan paradigma “sekolahnya orang miskin”, siswa STAN menjadi sangat rentan
70
Majalah Civitas|Juli 2011
dengan virus ini. Terlihat ketika mereka sudah bekerja di instansinya masing-masing. Ada yang gaya hidupnya berubah drastis tanpa mempertimbangkan rencana keuangan jangka panjang, ada yang langsung menikah tanpa peduli urusan orang tua dan saudarasaudaranya. Atau yang lebih jelas, perhatikan saja teman-teman yang baru mendapatkan rapelan 20% gaji. Lihatlah, siapa yang membelanjakannya sesuai kebutuhan dan siapa yang membelanjakannya demi “balas dendam” karena dulu saat masih kismin, dia tak mampu membelinya. Petruk dadi ratu. Sebagai calon pegawai Kementerian Keuangan, dengan penghasilan yang tak bisa dibilang kecil, kita bisa digolongkan sebagai rakyat golongan menengah. Golongan yang jika kuat, akan mampu menguatkan negeri. Maka perlu disadari bahwa kita bukan hanya buruh rakyat, tetapi juga penguat ekonomi rakyat. Kita perlu tengok kiri-kanan agar tak ada rakyat di sekitar kita yang menganggap Kementerian Keuangan sebagai kumpulan Petruk yang jadi raja: pegawai kaya yang berambisi balas dendam atas keprihatinan masa lalu. Sudah terlanjur lekat memori masyarakat tentang Petruk yang satu itu, Gayus, dan tak perlu kita tambah lagi Petruk-Petruk berikutnya. Apalagi ditambah kasus pembangunan gedung baru para Petruk yang tak peduli dengan kebutuhan “ratu”-nya itu. Sudahlah, tak perlu kita ungkit-ungkit lagi. Mari memulai dari diri sendiri, koreksi kembali sikap-sikap kita yang terinfeksi “virus kampungan”. Karena sudah sangat nyata dan jelas, bahwa jika virus ini masih terus menjangkiti, tak lama lagi negeri ini akan hancur. Semoga kita semua bisa terbebas dari virus tersebut, atau bahkan menjadi vaksinnya. *) Penulis adalah mahasiswa tingkat III Spesialisasi Akuntansi Pemerintah 1 Petruk Dadi Ratu adalah lakon pewayangan yang menceritakan Petruk sebagai tokoh revolusioner atas kebusukan para raja. Istilah petruk dadi ratu sendiri memiliki makna yang berbeda dalam percakapan sehari-hari.
Madre, Tak Senikmat Filosofi Kopi
J
uni 2011 lalu, Dee (Dewi Lestari) merilis buku ketujuhnya: Madre. Seperti Filosofi Kopi, Madre merupakan kumpulan cerita pendek yang ditulis Dee sepanjang 2006—2011. Meski sama-sama mengangkat soal pengisi perut—satu seputar kopi, satunya lagi tentang roti—pilihan menu Madre tak tersaji selezat Filosofi Kopi. Kata Madre, yang dalam bahasa Spanyol berarti ibu, diambil dari judul cerpen yang membuka buku ini. Kisahnya klasik Dee: karakter-karakter manis yang melalui perenungan dan peristiwa-peristiwa yang kadang tak sepenuhnya realis, disertai kebetulan-kebetulan yang secara ajaib membawa mereka pada penyelesaian cerita. Seperti biasa pula, tokoh-tokohnya adalah orang baik-baik, berkepribadian wajar, tanpa ciri kuat yang menonjol
seperti sosok-sosok dalam novel Djenar Maesa Ayu atau Ayu Utami. Kisah cinta yang lahir pun naif, simpel, tanpa pengkhianatan tragis yang mengharu-biru atau kejadian-kejadian monumental. Cerpen Madre sendiri berkisah tentang Tansen, lelaki pantai yang bebas, yang suatu ketika dihadapkan pada identitas baru yang mengikat dan paling tak terpikirkan: keturunan pembuat roti yang ditunggu sebagai juru selamat adonan biang legendaris, Madre. Tak perlu merasa aneh dengan sinopsis tersebut, karena Dee bahkan dapat menstilir kisah ‘sederhana’ semacam pencarian kopi tubruk menjadi sebuah cerita di Filosofi Kopi. Dee biasa ‘memaksa’ pembacanya fokus pada proses dalam cerita dan membawa mereka sedemikian rupa sehingga tak sadar/terganggu dengan
Majalah Civitas|Juli 2011
71
aspek sederhananya plot, tokoh-tokoh klasik, serta akhir cerita yang tertebak. Potongan lain yang cukup berkesan dari buku ini adalah Menunggu LayangLayang. Kisahnya menyimpulkan bahwa sejauh apapun seseorang atau layangan terbawa bermacam angin yang datang silih berganti, rumah berlabuhnya tak lepas dari pemegang pangkal benang. Itu versi bahasa Dee. Jika dikonversi dalam bahasa teenlit, ini cerita playgirl yang ternyata berakhir dengan teman dekatnya sendiri. Itu saja. Namun seperti biasa, betapapun awamnya inti kisah tersebut, Dee menghidangkannya dalam perjalanan yang puitis. Begitu pun dengan Guruji. Cerita ini menampilkan perpisahan dua orang yang dekat dan pertemuan kembali, tetapi sebagai dua orang asing. Penyebabnya, seseorang yang dulu dekat, berubah menjadi sosok baru yang tak dikenali lagi dan menggariskan sebuah cerita patah hati yang tipikal—yang pecahan sedihnya tak pernah terbagi dua sama rata. Have You Ever? dan Semangkok Acar untuk Cinta dan Tuhan membawa tokoh-tokohnya dalam suatu pencarian yang ternyata tak melulu berujung pada jawaban gamblang. Pertanyaan ternyata terhenti bukan oleh jawaban, tapi penerimaan. Keyakinan. Semangkok Acar untuk Cinta dan Tuhan, contohnya. Tokoh-tokohnya ‘menjawab’ pertanyaan “Apa itu Tuhan? Apa itu cinta?” dengan cara mengupas bawang. Inilah penyelesaiannya: Tuhan dan cinta, seperti rasa perih di mata akibat bawang, ada dan nyata meski tak terlihat, “Itulah cinta. Itulah Tuhan. Pengalaman, bukan penjelasan. Perjalanan, bukan tujuan.”
72
Majalah Civitas|Juli 2011
Berbeda dengan Filosofi Kopi yang punya garis merah konstan berupa kisah pencarian jati diri, Madre campur aduk dari cerpen petualangan, percintaan, curahan hati personal pengarang yang mengandung pesan reinkarnasi, karangan hadiah ulang tahun untuk suaminya, sampai puisi untuk para pahlawan kemerdekaan. Karya-karya pengisi buku kompilasi memang tak harus padu satu sama lain, tetapi keragaman ini sayangnya seperti tanpa arti, tak membawa nilai lebih. Madre masih kerap diwarnai celetukancetukan khas Dee atas kondisi sosial di sekitar dan diksi cerdas yang efektif mengungkapkan proses yang sedang dijalani tokoh-tokohnya. Seperti kata Tansen,”Saya rindu pantai. Tapi pantai tidak perlu jadi rumah saya.” Namun, eksekusi ide yang terkandung dalam tiap cerita tidak sebernas Filosofi Kopi. Membaca Madre, seperti berkendara di jalan tol—mulus, tapi tak membekas. Tak seperti Supernova, pembaca tak perlu melambatkan pembacaannya atau bahkan mengulang kata per kata agar paham makna kisahnya. Proses berpikir berat tidak terlibat banyak dalam mencerna buku ini. Madre adalah roti yang telah dipotong-potong, siap disantap, bukan fla tiramisu yang penikmatnya memang gemar menguak rasa per lapisan. Karya-karya Dee, terutama Supernova, membikin pembaca menafsirkan cerita dan kiasan. Semisal Filosofi Kopi yang menggunakan simbol sederhana seperti sikat gigi. Dalam Madre, proses serupa pun terjadi, tapi kalah intens dari para pendahulunya. Madre membuat kita tertawa, tapi tak selama Petir.
Melankolisnya tak sedalam Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, kedekatan ceritanya dengan keseharian pembaca masih tak menyaingi Perahu Kertas, dan barisbaris dari Madre yang kita kutip tidak sebanyak dari Filosofi Kopi. Seperti yang terjadi ketika Dee melahirkan Perahu Kertas, gaya bahasa yang digunakan lagsung menjadi sorotan. Pasalnya, gaya yang digunakan dalam Perahu Kertas kontras dengan Supernova. Tak sedikit yang heran dengan Perahu Kertas yang jadi mirip novel remaja kebanyakan, hanya saja dengan citarasa bahasa Dee. Baik Perahu Kertas dan Madre, berbeda dengan kakak-kakaknya, tak bisa memaksa pembaca berhenti membaca lantas meresapi jalinan kata-kata. Puisi dalam Madre pun tak selantang dan menyentuh sebagaimana puisi/lagu-lagu dalam Rectoverso. Namun, bicara soal kekompleksan bahasa, mungkin Dee memang sedang ingin membumi. Lewat kata-kata keseharian yang sederhana dan mudah dicerna, Dee bisa jadi ingin menyindir orang-orang secara cepat dan langsung, tanpa kata-kata sulit. Atau, bahasa yang sengaja dipoloskan inilah yang membuat pembaca lebih cepat merasa dekat: kisah-kisah di dalamnya merupakan
cerminan dari masalah hati yang sangat umum dijumpai di sekitar kita. Debut Dee dimulai dengan Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh, seri pertama Supernova yang terkenal berplot rumit dengan bahasa canggih dan footnotes yang panjangnya bahkan mencapai setengah halaman. Sekuelnya pun menggambarkan perjalanan semirealis dengan metafora dan kosakata yang menuntut proses berpikir. Meskipun terkenal lewat karyanya yang kompleks, toh Petir dan Perahu Kertas yang berbeda dari pola bahasa rumit ini juga punya penggemar sendiri. Mungkin Madre ini memang roti tawar, jenis yang terhidang saat sarapan, yang bisa langsung dimakan begitu saja, dan bukan makanan elit ala Masterchef yang pola saus di piring saja sampai diselisik. Roti tawar ini bisa dianggap sebagai varian, baik buruk maupun baik, setelah koki sebelumnya menyajikan crème brûlée.
Bagi penggemar karya Dee yang mensyaratkan jeda untuk mencerna, silakan menanti Partikel, sekuel Supernova yang rencananya akan diterbitkan tahun ini juga. [Tulad P. K.]
Judul : Madre, Kumpulan Cerita Penulis : Dee Cetakan : Pertama, Juni 2011 Penerbit : Bentang Tebal : xiv + 162 halaman
Majalah Civitas|Juli 2011
73
Mengapa Marah? “When angry count to ten before you speak. If very angry, count to one hundred.” (Thomas Jefferson)
S
emua orang bisa dan pernah marah. Kemarahan sendiri dapet berujung pada sakit, rusaknya hubungan interpersonal, atau tugas-tugas yang berantakan. Namun, kemarahan ternyata bisa dikenali dan dikelola secara positif. Menurut Charles Spielberger, PhD., psikolog yang mengkhususkan diri dalam studi kemarahan, marah adalah “keadaan emosional yang bervariasi dalam intensitas dari iritasi ringan sampai marah intens dan marah.” Seperti emosi lain, kemarahan meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah. Begitu pula dengan tingkat hormon energi, adrenalin, dan noradrenalin. Pemicu kemarahan sendiri beragam. Mulai dari rasa tertekan, terhina, terhambat, dibatasi, dicegah, frustrasi, diperlakukan berbeda, sampai adanya penyimpangan norma. Anda mungkin marah jika dihina, dimaki dan disepelekan. Anda bisa marah karena misalnya teman sebelah Anda yang selalu ribut saat kuliah atau karena dipercepatnya kompre yang menghanguskan tiket pulang. Kemarahan juga bisa disebabkan oleh kekhawatirkan atau renungan tentang masalah pribadi. Kenangan atas peristiwa traumatik juga dapat memicu perasaan marah. Manfaat Marah Kemarahan tidak diciptakan tanpa guna. Pertama, marah meningkatkan energi atau intensitas dalam mencapai
74
Majalah Civitas|Juli 2011
tujuan. Bangkitnya kemarahan membuat seseorang lebih bertenaga dan fokus, plus lebih semangat mengejar tujuan. Marah karena dipandang rendah dalam akademik, misalnya, dapat membuat Anda lebih bersemangat dan lebih keras belajar. Kedua, ekspresi marah berguna dalam menyampaikan sesuatu. Marah menegaskan apa yang sedang dirasakan, menunjukkan kesungguhan dalam pernyataan dan indikasi niat untuk menyerang atau berbuat destruktif. Ekspresi marah tersebut akan menjadi pertimbangan lawan bicara untuk bertindak. Artinya, marah yang kita alami akan memengaruhi orang lain. Ketiga, ekspresi marah bisa digunakan untuk mengintimidasi orang lain, menghadirkan kesan kuat, dan menunjukkan ancaman. Jangan heran jika sebagian penagih utang memasang ekspresi marah, terlepas dari keadaan emosi mereka yang sebenarnya. Ekspresi marah dapat menumbuhkan rasa tidak nyaman dan takut pada yang berutang. Keempat, marah mengurangi kecemasan dilukai atau disakiti. Pada saat seseorang marah, perasaan tidak aman akan menghilang. Marah juga menghambat dan menghilangkan perasaan tidak memiliki harapan dari kesadaran kita. Artinya, dengan munculnya marah, rasa tidak memiliki harapan tersebut tetap akan tersimpan sebagai ketidaksadaran.
Mengingat tanda-tanda marah dalam diri orang lain dapat memacu seseorang untuk menggunakan strategi pemecahan masalah/konflik yang efektif. Idetifikasi marahnya seseorang, apa ciri dan penyebab marahnya, bisa jadi berguna. Kesadaran bahwa kawan kita sedang marah meskipun ia tampak diam dan bahwa ia marah karena disepelekan, dapat mempermudah penyelesaiannya. Terapi Amarah Salah satu cara ampuh untuk mengendalikan amarah adalah dengan beristirahat. Misalnya dengan menghindar sejenak dari tempat atau orang yang membuat marah, pergi jalan-jalan atau mengemudi dengan santai. Terkadang aktivitas fisik seperti lari, futsal atau bulu tangkis membantu melepaskan energi yang berlebih. Energi berlebih itu kemudian akan menghilang bersamaan dengan kemarahan. Selain itu, banyak terapi yang disuguhkan oleh para ahli psikologi berkenaan dengan kemarahan. Seperti tiga langkah pencegah kemarahan yang disarankan oleh ahli psikosibernetika Maxwell Maltz (1980). Pertama, pandang cermin dan lihat wajah sendiri yang sedang marah. Ekspresikan apa yang tampak. Lalu, hilangkan energi yang meledak itu dalam suatu aktivitas atau dengan menuliskan kata-kata keras seperti yang akan kita ucapkan ketika marahmarah.
Namun, jangan lupa bahwa marah memiliki sisi buruk bagi kesehatan. Berhati-hatilah, marah bisa menyebabkan serangan jantung atau stroke. Hasil penelitian Harvard Medical School menunjukkan bahwa orang yang mudah marah berpeluang tiga kali lipat untuk memiliki penyakit jantung. Marah-marah pada usia muda merupakan prediktor yang baik terhadap terjadinya serangan jantung di hari tua. Semakin tinggi emosi maka semakin tinggi resiko yang dihadapi. [Arfindo B. S., dari berbagai sumber]
Majalah Civitas|Juli 2011
75
Mindset Oleh : Dirga Satrio Muhammad*
Bisakah Anda menebak apa gambar di atas? Jika saya bilang, gambar tersebut adalah gambar seekor gajah di dalam perut ular, apakah Anda percaya? Menggelikan, kan? Ya, itulah sepintas gambaran betapa pikiran kita bisa begitu membatasi penglihatan kita. We see what we want to see, bunyi sebuah pepatah lama. Apa kiranya yang dapat membuat pikiran kita begitu terbatasi? Ya, 100 bagi Anda yang menjawab pola pikir. Kita coba sekali lagi, coba Anda jangan bayangkan kuda poni berwarna putih yang sedang berlari menuruni undakan sebuah bukit kecil. Sekalipun perintahnya adalah untuk tidak membayangkan, tetapi respon pertama yang akan diterima oleh otak kita adalah membayangkan terlebih dahulu objek yang pertama ditangkap untuk kemudian diolah menjadi bayangan lainnya. Pernah melihat desain logo Carrefour atau BNI 46? Pada logo Carrefour sekilas kita akan melihat perpaduan warna merah dengan biru. Hasil kombinasi warna ini sebenarnya menyamarkan sebuah huruf C. Coba perhatikan bahwa huruf C tersebut tidak memiliki warna, hanya berupa bentukan dua objek. Untuk logo BNI 46, pada kali pertama Anda akan melihat sebuah kotak dengan bentuk tak jelas di tengah. Setelah terbiasa mata kita akan mempersepsi bentuk tersebut membentuk angka 46. Hal-hal ini biasanya tersamarkan oleh warna latar yang ada. Inilah yang dalam dunia desain grafis disebut dengan gestalt. Teori penggunaan negative space yang dikembangkan oleh Kurt Koffka, Max Wertheimer, and Wolfgang Köhler. Gestalt
76
Majalah Civitas|Juli 2011
sendiri adalah persepsi terhadap sebuah lingkungan/bentuk yang tak utuh menjadi sebuah gambar utuh hasil rekonstruksi otak kita sendiri. Ibarat potongan-potongan puzzle setengah jadi, otak kita yang akan menyempurnakan puzzle tersebut menjadi suatu gambaran utuh menurut proyeksi kita, tanpa harus menunggu sempurnanya gambar itu. Persepsi inilah yang ditentukan oleh pola pikir kita. Buku Mind Set! karangan John Naisbitt, seorang futuris terkemuka, mengungkapkan bahwa pola pikir kita ibarat tanah. Di atas tanah ini hujan (informasi) turun dan tanaman akan tumbuh berbeda-beda sesuai pola pikir kita. Pola pikir seseorang akan memengaruhi pemrosesan informasinya. Pola pikir sendiri menyerupai tanah yang harus disemai dan dipupuk agar gembur dan bisa ditanami. Sebaliknya, tanah yang keras dan tandus hanya dapat ditanami oleh tanaman-tanaman khas padang pasir seperti kaktus berduri. Setiap informasi yang diterima akan memunculkan kesimpulan yang berbeda pula. Tergantung bagaimana kita menyerap informasi. Menerima itu input, mengolah itu berproses, dan persepsi itu output. Itulah kuncinya. Proses input informasi, atau dalam istilah Naisbitt disebut penyerapan informasi, digunakan untuk menstimulasi otak dan memiliki beberapa kondisi tertentu. Di antaranya adalah memadainya suatu informasi yang diterima. Informasi yang terpotong akan menghasilkan proyeksi yang juga terpotong. Oleh karena itu, sebelum memproses suatu informasi hendaknya kita melengkapi informasi tersebut dengan data yang akurat guna menghindari misintepretasi.
Layaknya sebuah Computer Processing Unit yang dapat mengolah ribuan data, otak kita pun dapat mengolah miliaran data kehidupan. Dalam menjalankan proses tersebut, aplikasiaplikasi yang mendukung harus terprogram. Dan yang terpenting, haruslah terhindar dari virus. Karena virus inilah yang akan meracuni otak bila tidak kita bendung dahulu. ** Dalam kolom Obrolan Bengkel Majalah Civitas edisi sebelumnya, rekan saya, Anggraeni Purfita Sari, mempertanyakan apakah nasionalisme yang sesungguhnya itu? Bukan sekadar nasionalisme sementara yang tak lekang waktu atau yang rekan saya menyebutnya, nasionalisme musiman. Sama halnya seperti mencari nasionalisme, pola pikir pun haruslah dicari atau dibentuk. Pembentukan pola pikir harus diawali dengan meruntuhkan pola pikir awal terlebih dahulu. Inilah kesulitan terbesar. Pola pikir negatif adalah suatu hal yang teramat lekat dengan manusia. Bayangkan hal pertama yang terlintas di pikiran Anda, begitu ada seseorang yang melempari Anda dengan batu. Marahkah Anda? Mereka yang berpola pikir negatif akan menganggap lemparan batu itu sebagai sebuah celaan. Namun, mereka yang berpola pikir positif akan menganggap lemparan batu tersebut sebagai hal kecil yang tidak perlu dihiraukan. Satu kejadian, beraneka ragam tanggapan. Orang dengan pola pikir positif akan terus menatap ke depan, hanya mempertahankan hal-hal yang bermanfaat dan meninggalkan hal-hal yang menghambat. Pola pikir setiap orang terhadap masalah pun berbeda. Ketika Anda dihadapkan dengan pilihan, mengangkat kerikil 100 gram selama setengah hari atau memegang kursi 5 kg selama 30 menit? Pola pikir yang terprogram dalam pikiran kita akan membayangkan sesuatu hal dengan kuantitasnya, padahal apabila dilihat lebih komprehensif (ditambah satuan waktu), hal yang tadinya terlihat sulit justru menjadi hal yang paling mungkin untuk
dilakukan. Saya contohkan sebuah kisah seorang pemuda yang hendak melamar anak gadis jelita, “Saya akan melamar anak Ibu dengan hasil jerih payah saya selama satu tahun bekerja, dengan mas kawin sebesar seperempat juta, dibayar tunai.” Bandingkan dengan pengucapan seperti ini, “Saya akan melamar anak Ibu dengan sisa-sisa gaji bekerja saya selama kurang lebih satu tahun, dengan mas kawin sebesar 250 ribu.” Perhatikan kata sisa dan juta, bagaimana nominal yang sama akan terasa berbeda tergantung penempatan kata kita. *** Thomas Alfa Edison mungkin tak akan menemukan bola lampu bila dia tidak berpikir akan berhasil pada percobaan ke-1000. Wright bersaudara mungkin tak akan pernah lepas landas jika selalu yakin bahwa manusia tidak bisa terbang dan bahwa pesawat adalah benda yang tak mungkin ada. Christopher Columbus tidak akan menemukan benua Amerika bila menganggap bumi itu kotak, bukan bulat seperti yang kita ketahui sekarang. Nabi Nuh a.s. tak akan berani membuat kapal jika ia tidak yakin akan datangnya hujan. Sherlock Holmes pernah berkata, “When you have eliminated the impossible, whatever remains, however improbable, must be the truth.” Setelah segala ketidakmungkinan hilang, apapun yang tersisa adalah kebenaran. Dari segala kebaikan pola pikir, letak kesempurnaan terletak pada langkah yang melanjutkan pemikiran tersebut. Karena pengalaman mengajarkan dan memahamkan. Sherlock Holmes menyimpulkan hal tersebut dalam kutipannya yang terkenal, “It was easier to know it than to explain why I know it.” Temukan pola pikir yang sesuai agar ia menjadi navigator kebaikan dalam setiap kesempatan. * Penulis adalah staf Bidang Penelitian dan Pengembangan LPM Media Center STAN periode 2010/2011
Majalah Civitas|Juli 2011
77
Pecinan Jakarta, Tak Kurang Indonesia
Bicara tentang Tionghoa seringkali tak bisa lepas dari stigma yang melekat, mulai dari ciri fisik sampai tentang keahlian berdagang. Stigma ini, sayangnya, menjadi bukti mutlak atas pemahaman masyarakat tentang Tionghoa yang seringkali cuma di permukaan. Sekolah-sekolah diajarkan sejarah Belanda. Namun sejarah Tionghoa, bagian signifikan dari Indonesia, luput dari buku pelajaran. Seperti peristiwa di Batavia 1740. Hasil skenario?
78
Majalah Civitas|Juli 2011
E
tnis Tionghoa seringkali dianggap sebagai bangsa pendatang di Indonesia. Pandangan ini cukup lucu, mengingat Indonesia memang negara para pendatang. Budaya dan masyarakat Indonesia dibentuk dan merupakan turunan dari para pendatang tersebut. Bangsa Cina sendiri pertama tiba di nusantara pada abad ke-4, jauh sebelum para saudagar Gujarat dan Arab tiba pada abad ke-13 atau Belanda yang baru hadir pada abad ke16. Di antara bangsa-bangsa ‘pendatang’, ditilik dari sejarah lamanya menjejak dan persebarannya di bumi Indonesia, etnis Tionghoa termasuk yang paling menusantara. Dalam perkembangannya, etnis Tionghoa turut tumbuh seiring perkembangan Indonesia. Sampai sekarang, populasi mereka dapat ditemukan di seluruh Indonesia, terutama di area perdagangan atau pusat kota. Jakarta, misalnya, adalah salah satu contoh kota yang turut dilahirkan oleh para pendatang, termasuk imigran Cina. Hal ini tercermin lewat kondisi sosial Jakarta di era 1600-an. Susan Blackburn (1989) menggambarkan, tidak seperti orang Eropa yang kala itu secara teoritis dilarang berdagang secara mandiri, orang Cina diizinkan dan bahkan didorong untuk berdagang karena Batavia sangat bergantung pada komoditas yang mereka bawa. Dari segi politik, orang Cina pun sudah jauh lebih maju daripada golongan lain. Kedekatannya dengan Belanda (pihak pemerintah) sukses mengangkat Souw Bing Kong sebagai Kapitan (perwakilan suatu suku/golongan) pertama Batavia. Sosok ini dekat dengan J. P. Coen dan biasa berjalan kaki sore-sore bersama, diiringi 36 orang prajurit bersenjata dan pembawa payung. Coen pernah berkata, “...tidak ada bangsa yang lebih berguna bagi VOC dan mudah didapatkan daripada orang Cina.” Ketika Batavia belum berjaya, Coen sempat mengirimkan kapal-kapal ke Cina untuk
menculik orang-orang di pesisir. Berkat banyaknya imigran Cina dan peran Souw Bing Kong, pada 1625 jumlah armada cina yang berdagang di Batavia mempunyai total tonase yang sama dengan seluruh armada VOC yang kembali ke Eropa. J. P. Coen masuk buku sejarah sekolah, Souw Bing Kong tidak. Hubungan Batavia dengan Cina mencapai taraf ketergantungan, sampai-sampai sejarawan Valentijn (1720) menggambarkan Batavia sebagai, “pada dasarnya merupakan kota kolonial Cina di bawah perlindungan Belanda.” Orang Cina sendiri mendapat derajat khusus, mereka tinggal di lokasi terbaik di Batavia, tidak perlu ditempatkan secara khusus—tidak ada Pecinan, dan bisa mengambilalih sebuah rumah milik anggota Dewan Hindia untuk dijadikan kuil Buddha (kini Klenteng Sention, Pasar Baru). Orang Cina pula yang pertama membuka wilayah di luar Batavia, mendirikan perkebunan-perkebunan pertama dan sukses menghasilkan gula yang menjadi satu-satunya komoditas ekspor asli Batavia. Habis Manis Tulang Dibuang Orang Cina sukses mengangkat Batavia sebagai kota perekonomian yang berkembang. Kini, para pendatang tak perlu diculik lagi demi mengisi kota pesisir ini. Jumlah populasi orang Cina meningkat dua kali lipat. Perkembangan ini ternyata mengkhawatirkan bagi Belanda yang tak mampu mengawasi persebaran orang-orang Cina yang makin meluas ini. Pemerintah lalu mulai menetapkann berbagai peraturan untuk membatasi populasi orang Cina di Batavia—diciptakan kuota pembatasan jumlah imigran yang boleh masuk kota. Kondisi mulai memanas ketika pemerintah Belanda membatasi jumlah produksi gula dan membuat orang-orang Cina kehilangan pekerjaan. Para pengangguran
Majalah Civitas|Juli 2011
79
ini lalu membentuk gerombolan pencuri. Pemerintah lantas merencanakan pemindahan paksa orang-orang Cina ke Ceylon (kini Sri Lanka). Yang terjadi kemudian merupakan pembuktian bahwa sejarah memang terulang. Seperti banyak kerusuhan yang terjadi di masa kini, kerusuhan 1740 berawal dari isu. Isu ini mengabarkan bahwa pemindahan tadi hanyalah kedok untuk membuang orang-orang Cina di laut. Hasilnya, para petani Cina yang tinggal di luar Batavia ini memberontak dan menyerang Batavia kota. Sebagaimana suatu kerusuhan masa kini, kejadian berikutnya adalah penjarahan. Tak hanya menjarah, orang Eropa dan Indonesia membakar 6.000—7.000 rumah Cina yang tinggal di dalam kota dan membantai penghuninya. Sebanyak 500 tahanan Cina dikeluarkan dari penjara Balai Kota (kini museum Fatahillah) satu per satu dan dibunuh. Pemerintah Belanda nyaris tidak melakukan apapun untuk menghentikan hal ini. Seperti yang tergambar dalam buku Jakarta: A History, selama seminggu, Batavia terbakar hebat. Kanal-kanal berwarna merah karena darah dan menjadi makam orang-orang Cina yang terbunuh. Jumlah orang Cina yang tewas sendiri mencapai 10.000 jiwa. Peristiwa
8080
CIVITAS Juli 2011 Majalah Civitas |Juli 2011
ini pula yang dikatakan sebagai awal mula nama kawasan Muara Angke, sebagai tempat bangke, bangkai-bangkai manusia yang dihanyutkan di kanal tadi terdampar. Sampai kini, kanal besar di depan Toko Merah, Kota Tua dan depan area Glodok, masih menyimpan tulang-tulang korban pembantaian. Peristiwa ini seakan menjadi pola yang terus berulang dalam sejarah Jakarta. Kecemburuan sosial serta kebijakan yang salah ternyata seharga dengan ribuan nyawa. Orang Cina acapkali menjadi kambing hitam atas ketidakmampuan pemerintah, bahkan sampai masa kini. Pembantaian Tionghoa masa perang Jawa 1825—1930, pembunuhan massal etnis Tionghoa di Jawa 1946—1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963 dan 5 Agustus 1973, Malari 1974, serta yang selalu diingat: kerusuhan Mei 1998, menyusun daftar panjang pembuktian pola berdarah ini. Sejarah Tionghoa, entah kenapa tergolong sebagai sejarah yang banyak ditemukan lewat penutur, bukan literatur. Bertanyalah kepada seorang kawan Tionghoa, tentang ayah dan kakeknya yang didiskriminasi, karena kisah itu mungkin tak sampai di buku-buku sekolah. [Tulad P. K.]
Ciye Mahasiswa! Ciye yang udah jadi mahasiswa. Udah keren gaul di Sevel. Apa beda dengan gaulnya ababil Jakarta? Bertambah usia, tetap jalan di tempat, enggak ada perbaikan. Mereka tiap hari makan di KFC (Kentucky Fried Chicken), kita sehari-hari tergantung Kalimongso Food Court. Enggak apa-apa sih, tapi enggak bisa dibanggakan juga meski lebih sehat. Bangga itu perlu, gaya itu wajib. Larilah kita ke KFC versi BP. Toh sebentar lagi awal bulan. Eh jangan lupa itu utang pulsa sama tetangga kos. Ciye, mahasiswa. Merasa jadi mahasiswa padahal kemampuan anak SMA. Ribut organisasi biar eksis sebagai aktivis. Padahal debatnya masih cara OSIS, (putih) abu-abu. Tak jelas cari solusi atau papar emosi. Berisiknya di grup jejaring sosial, open group pula. Lagi-lagi adu pantun. Sebalnya sama satu-dua oknum, emosinya dibaca penghuni satu grup. Cerdas. Cadas. Ah, enggak masalah. Ketika jadi pejabat nanti ada kemajuan lah. Sekarang ribut di Facebook, nanti ganti di...Google+. Apa? Dilarang protes! Ini sudah terhitung kemajuan. Oh, atau macam fashion, back to 2000s: tentengan iPad 3, postingan di Friendster. Fusi dua masa. Ajib. Mungkin saling tukar nomor ponsel supaya bisa bertatap muka dan menyelesaikan semuanya di dunia nyata itu terlalu sukar. Enggak apa-apa. Memberi edukasi tentang perpolitikan Kampus STAN (dan investasi lele) pada adik-adik SMA. Sekalian pajang itu isu intern di forum terbesar se-Indonesia Raya. Siapa tahu ada yang terkesima. Ihik! ...eh, tapi belum tentu juga putih abu-abu lebih cupu. Banyak danus anak SMA sukses dapat uang sponsor yang digitnya berlipat dari...ah, sudahlah. Sudah usaha. Hidup mahasiswa. Berdiri gagah pakai emblem Kampus. Berbaur dengan lautan warna jas almamater di jalan. Ikut perserikatan seluruh
nusantara. Bersama-sama membicarakan masalah rakyat sebagai kaum terdidik yang mulia. Namun pas pulang kampung, ditanya tetangga kenapa harga cabe naik, kenapa film impor telat datang, akuisisi TPI oleh MNC TV, bisu. Dalihnya,”Kampus Akuntansi sih, jadi enggak ngerti ekonomi.” Gagal nalar. Sering sih, berkoar pakai kata inflasi-monopoli-sosialisantek-kapitalis. Itu kata-kata yang diteriakkan dari siang sampai petang, mana mungkin tidak paham artinya? Enggak apa-apa, definisi itu tinggal tanya kamus Google. Yang penting Harry Potter masuk bioskop. Bea 30 miliar? Apa itu? Ciye, mahasiswa. Katanya penjaga demokrasi bangsa. Agen penggerak perubahan. Pemimpin masa depan bangsa. Garda termuka akademisi. Serta segala gelar cantik lainnya. Namun tak beda dengan remaja kencur. Tulisannya sekadar posting Twitter, yang dibaca seharian cuma status Facebook, yang didebatkan sebatas argumen-argumen dari satu sumber: Kaskus. Enggan baca berita, malas buka buku. Bangga kelar KTTA/laporan PKL, gembargembor kualitas setara PTN unggulan. Yakin nih, berani menyandingkan hasil begadang tiga hari dengan skripsi yang prosesnya menyita tiga bulan? Ciye, mahasiswa. Ketika reuni SMA, dagu tegak menjulang bangga. STAN gitu lho. Ingat kata-kata pelambung kebanggaan yang selalu dirapal tiap Dinamika: STAN masuknya susah, kalian orang-orang terpilih, lulus langsung kerja dan digaji. Memandang rekan-rekan SMA,
Majalah Civitas|Juli 2011
81
sungguh kasihan mereka yang kelak harus melamar kerja ke mana-mana. Kita sih pasti ber-nametag Kementerian Keuangan. Tak apa-apalah meski harus mati gaya ketika mereka lincah berkisah tentang pengalaman, ikut seminar ini-itu, event organizer handal, relasi luas dan punya kenalan di mana-mana. Ciye, mahasiswa. Tak apa-apa kok. Tidak perlu menundukkan muka di depan rekam jejak kawan-kawan yang memesona itu. Jangan lupa, kita juga punya sederet pengalaman yang bisa dipamerkan: nonton konser di ibukota. Mencicip sky dining Semanggi. Beraksi di ice skating ring Taman Anggrek. Berinvestasi via ikut Empat Mata, Opera van Java, atau Hitam Putih. Cukup datang-duduk-dibayar. Tak kalah keren, bukan? Atau nongol di televisi lewat Kick Andy. Mantap. Ciye, mahasiswa. Jumawa sudah mau wisuda. Merasa sudah berjuang tiga tahun. Setelah sekian waktu makan hati korban cita-cita, wisuda STAN itu prestasi. Puas. Inilah titik pencapaian tertinggi selama jadi mahasiswa. Psst, omong-omong itu kawannya dari universitas sebelah sudah sukses punya usaha. Sudah menyiapkan masa depan sejak semester pertama. Si A sering jadi delegasi fakultas, si B rajin diundang jadi pembicara, si C sudah bikin buku, si D dapat akomodasi seminar di luar negeri. Ah, santai saja kita. Tak perlu seaktif itu pun akhirnya kita jadi pegawai juga. Cukuplah itu saja. Ciye, mahasiswa. Bangga eksis di Kampus kecil ini. Ada yang terkenal gara-gara cerdas berwiraswasta, ada yang ahli pemrograman, lihai desain, IP menuju puncak gemilang di hati dosen, vokalis tenar, atau aktivis pelobi yang handal. Eh, pas penempatan kayak orang main dadu: untung-untungan dapat yang pas. Yang tidak? Ya sudah. Pasrah saja di meja sekretaris kantor di ujung Tahuna sana. Tenang saja, koleksi kemampuanmu itu, yang sudah khatam Delphi, Auto Cad,
82
Majalah Civitas|Juli 2011
Photoshop, 3Ds Max, hosting sampai coding itu, akan berguna. Mungkin. Bisa saja sih. Sepertinya. Apa? Penempatan sesuai minat dan bakat? Eh, kamu nggak percaya institusi? Lembaga itu tahu apa yang terbaik buatmu! Sudah, diam sajalah. Semua itu sudah diperhitungkan. Mereka itu peduli ketika ada webmaster berpengalaman ditempatkan di Kolaka yang tiap hari mati lampu sementara kantor di Jakarta butuh mengembangkan situs pajak. Mereka itu mempertimbangkan mahasiswa berbakat yang punya jam terbang tinggi dalam debat publik dan humas yang ditempatkan di Saumelaki saat divisi pusat memerlukan tenaga HRD. Ciye, mahasiswa. Menempuh tiga tahun yang tak akan terulang lagi. Sudah benarbenar menjadi mahasiswakah? Apakah telah betul-betul memberi makna maha pada siswa? Oh, puas dengan rekam jejak sebatas peserta diklat pun boleh kok. Tak dilarang. Selamat ya! *** “A man found an eagle’s egg and put it in a nest of a barnyard hen. The eaglet hatched with the brood of chicks and grew up with them. All his life, the eagle did what the barnyard chicks did. He scratched the earth for worms and insects. He clucked and cackled. Years passed and the eagle grew very old. One day he saw a magnificent bird glided in graceful majesty with scarcely a beat on his strong golden wings. The old eagle looked up in awe. “Who’s that?” he asked. “That’s the eagle, the king of the birds” said his neighbour. “He belongs to the sky. We belong to the earth - we’re chickens.” So the eagle lived and died a chicken, for that’s what he thought he was.” Disadur dari The Song of the Bird, Anthony de Mello
BUTUH SUDUT PANDANG BARU?
www.mediacenterstan.com
Majalah Civitas|Juli 2011
83
84
Majalah Civitas|Juli 2011