VOLUME VIII, DESEMBER 2014
Majalah Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia
Babak Baru Otonomi Singkawang, Bangkitnya Kota Masa Lalu
D A F T A R
I S I
WAWANCARA
11
RIDWAN KAMIL
UU Pemda untuk Menjawab Penyakit Otonomi 5
Babak Baru Otonomi Pelaksanaan otonomi daerah memasuki babak baru setelah DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
10
Wakil pun Boleh TIga Banyak hal baru yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satunya soal wakil kepala daerah. Ada daerah otonom yang boleh memiliki wakil kepala daerah hingga tiga orang. Namun, ada juga kepala daerah yang tak perlu memiliki wakil.
Lahir di Klungkung, Bali, pada 21 Juni 1963, I Made Suwandi merupakan tokoh penting di balik penyusunan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) —hasilnya adalah UU Nomor 23 Tahun 2014.
JEJAK
Singkawang, Bangkitnya Kota Masa Lalu Kota Singkawang, Kalimantan Barat, baru saja merayakan hari jadi yang ke-13.
LAPORAN KHUSUS 19
PROFIL
Potret Tata Kelola Pemerintahan Daerah
16
17
Hasil riset Kemitraan mengungkapkan, potret tata kelola pemerintahan daerah di seluruh Indonesia masih buruk. Memang bukan tanggung jawab pemerintah daerah semata, namun diperlukan banyak terobosan untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan daerah demi terwujudnya pelayanan yang baik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
X
Mendongkrak Daya Saing dengan Ekonomi Kreatif
X
Menyiapkan Kota Tanggap Perubahan Iklim
X
Solusi Penanganan Perubahan Iklim
X
Denpasar Gelar Konferensi Kota Sehat
X
Kerja Sama APEKSI dengan Media Indonesia
X
Forum Pengembangan E-Government di Tiongkok
32 35 36 37 39 41
Menjadikan Tegal Kota Singgah Banyak menghabiskan waktu di berbagai kota besar dunia, Siti Masitha Soeparno punya obsesi tersendiri tentang kotanya: menjadikan Tegal sebagai destinasi wisata dan kota singgah.
Volume VIII DESEMBER 2014
3
D A R I
R E D A K S I
Tahun Baru, Babak Baru
VOLUME VIII, DESEMBER 2014
Majalah Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia
Babak Baru Otonomi Singkawang, Bangkitnya Kota Masa Lalu
Foto Cover : Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berfoto bersama para Gubernur seluruh Indonesia di Istana Bogor, awal Desember 2014 Sumber : ilustrasi skyscrapercity.com
4
Volume VIII DESEMBER 2014
T
AK terasa, ketika Majalah Kota Kita ini terbit, kita sudah memasuki suasana pergantian tahun. Tahun 2014 berakhir, dan kita memulai kembali segalanya bersamaan dengan datangnya tahun baru 2015. Bagi pemangku kepentingan pemerintahan daerah, datangnya tahun baru sekaligus menjadi babak baru penyelenggaraan otonomi. Betapa tidak, menjelang akhir 2014, tepatnya pada bulan Oktober, DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), yang menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2004. Pemberlakuan UU Pemda yang baru ini tentu saja menandai babak baru penyelenggaraan otonomi daerah yang sudah berjalan lebih dari 16 tahun sejak 1999. Disebut babak baru, lantaran banyak ketentuan-ketentuan baru yang diatur dalam UU yang menjadi dasar penyelenggaraan otonomi ini. Ketentuan-ketentuan baru tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan mewarnai penyelenggaraan pemerintahan daerah, baik dalam konteks penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah maupun relasi antara pusat dan daerah. Babak baru otonomi inilah yang diangkat sebagai topik Laporan Utama Majalah Kota Kita edisi akhir tahun 2014 ini. Di dalamnya membahas berbagai isu strategis yang menjadi ketentuan baru UU Pemda ini. Laporan Utama juga dilengkapi wawancara dengan Made Suwandi, mantan Ketua Tim Perumus Penyusun UU Pemda yang baru. Dengan topik ini, diharapkan seluruh pemangku dan penyelengara pemerintahan daerah memiliki referensi yang cukup untuk menyambut pemberlakuan UU Pemda baru ini. Selain itu, pada rubrik-rubrik lain, kami masih memiliki sejumlah laporan penting dan menarik lainnya. Laporan Khusus kali ini, misalnya, mengangkat topik tentang potret penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Kemitraan. Laporan ini mampu menggambarkan potret penyelenggaraan pemerintahan daerah, lengkap dengan plus minusnya. Di luar itu, banyak laporan berita lainnya, yang tak kalah menarik dan penting, yang tersebar di berbagai rubrik, yang berkaitan dengan dinamika pemerintahan kota maupun agenda-agenda kegiatan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI). Semoga sajian edisi akhir tahun memberi banyak informasi dan referensi bermanfaat bagi pembaca. Selamat membaca dan selamat tahun baru!
ISTIMEWA
Babak Baru Otonomi Pelaksanaan otonomi daerah memasuki babak baru setelah DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ada gejala resentralisasi. Relasi pusat dan daerah memang harus diperbaiki.
Volume VIII DESEMBER 2014
5
L A P O R A N
H
U T A M A
IRUK pikuk kontroversi pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sepanjang September-Oktober 2014 menggelamkan isu lain yang tak kalah penting dan strategis: pengesahan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kontroversi itu baru berhenti setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2 Oktober 2014 menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), baik Perppu Pilkada maupun Perppu Pemerintahan Daerah. Seperti diketahui, untuk kedua kalinya, sepanjang masa reformasi dan otonomi daerah, UU Pemerintahan Daerah (Pemda) direvisi. UU Pemda pertama produk reformasi, yaitu UU Nomor 22 Tahun 1999, diperbarui menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004. Selanjutnya, UU Pemda ini dipecah menjadi tiga, yaitu UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada, dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda. Setelah terjadi penolakan masif terhadap klausul pemilihan kepala daerah oleh DPRD seperti yang termuat baik dalam UU Pilkada maupun UU Pemda, akhirnya Presiden menerbitkan Perppu Pilkada maupun Perppu Pemda. Keberadaan dan implikasi pemberlakuan UU Pemda baru ini tak kalah penting dan strategis dibandingkan dengan UU yang mengamanatkan pilkada tak langsung bagi keberlangsungan otonomi daerah. Memang, telah ada Perppu. Namun, Perppu tersebut hanya mengubah ketentuan yang berkaitan dengan pilkada. Yaitu, tentang Tugas dan Wewenang DPRD Provinsi pada Pasal 101 ayat (1) huruf d serta Tugas dan Wewenang DPRD Kabupaten/Kota pada Pasal 154 ayat (1) huruf d. Kedua ketentuan yang memberi wewenang kepada DPRD untuk memilih kepala daerah dihapus, disesuaikan dengan aturan yang sama di dalam Perppu Pilkada. Artinya, jika
6
Volume VIII DESEMBER 2014
kedua Perppu ini nantinya tidak ditolak oleh DPR RI, maka pilkada tetap dilaksanakan secara langsung seperti selama ini. Di luar beleid soal pilkada tersebut tak ada yang berubah. Yang menarik, meskipun merupakan hasil pecahan dari UU Pemda sebelumnya, UU Pemda yang baru ini ternyata jauh lebih tebal. Sebab, selain memuat banyak isu baru, ketentuan pengaturannya dilakukan secara mendetail. Isu-isu yang diatur dalam UU ini memang lebih banyak dan beragam. Dimulai dari klausul tentang Ketentuan Umum, Pembagian Wilayah Negara, Kekuasaan Pemerintahan, Urusan Pemerintahan, Kewenangan Daerah Provinsi di Laut dan Daerah Provinsi yang Berciri Kepulauan, Penataan Daerah, Penyelenggara Pemerintahan Daerah, Perangkat Daerah, Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, Pembangunan Daerah, Keuangan Daerah, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Pelayanan Publik, Partisipasi Masyarakat, Perkotaan, Kawasan Khusus dan Kawasan Perbatasan Negara, Kerja Sama Daerah dan Perselisihan, Desa, Pembinaan dan Pengawasan, Tindakan Hukum terhadap Aparatur Sipil Negara di Instansi Daerah, Inovasi Daerah, Informasi Pemerintahan Daerah, Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, Ketentuan Pidana, Ketentuan Lain-lain, Ketentuan Peralihan, hingga Ketentuan Penutup.
Isu-isu Strategis DARI sekian banyak ketentuan yang diatur dalam UU ini, terdapat isuisu strategis yang akan berimplikasi sangat signifikan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk pemerintahan kota. Dengan demikian, dapat dikatakan otonomi mulai memasuki babak baru setelah reformasi bergulir sejak lebih dari 15 tahun lalu. Ada kalangan yang mencium munculnya gejala resentralisasi. Namun, hal itu segera ditepis oleh
I Made Suwandi
mantan Ketua Tim Perumus Revisi UU Pemda dari pemerintah, I Made Suwandi. Tujuan dari perubahan UU Pemda ini, menurut Suwandi, adalah untuk membangun pemerintahan daerah yang kuat, efektif, transparan, akuntabel, dan partisipatif. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri sejak otonomi digulirkan melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian UU Nomor 32 Tahun 2004, banyak hal yang masih perlu diperbaiki dan disempurnakan, dan hal itu bisa dilakukan dengan mengamandemen UU yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut. Diakui Suwandi, otonomi sebagai buah reformasi, dalam prakteknya selama lebih dari 15 tahun belakangan ini masih mengandung banyak problem. Sekadar untuk menyebut contoh, misalnya, munculnya “raja-raja” kecil di daerah yang menyebabkan garis koordinasi dan komando antar-tingkatan pemerintah tidak berjalan semestinya; banyaknya pemekaran daerah otonom baru yang tak terkontrol; banyak terjadi pemborosan anggaran dan minim stimulus pembangunan; terjadi kebijakan dan arah pembangunan yang tidak saling mendukung antardaerah; masifnya korupsi dengan tingkat pengawasan yang lemah; dan tujuan otonomi untuk mendekatkan pelayanan
Isu-isu Strategis Perubahan UU Pemda
Vicky Lumentut
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat masih jauh dari harapan. “Karena itulah perlu dilakukan penyempurnaan regulasinya, undangundangnya,” tandas Suwandi. Dia pun yakin, UU Pemda yang baru ini akan mampu membawa perubahan, membuat penyelenggaraan pemerintahan daerah ke arah yang lebih baik. “Sebab, ketentuan-ketentuan baru dalam UU ini memang dimaksudkan untuk menutup kelemahan-kelemahan sebelumnya, dan aturannya dibuat demikian terperinci,” jelas Suwandi. Suwandi kemudian menyebutkan sejumlah isu-isu strategis yang diatur dalam UU Pemda yang baru ini, yang diyakini akan berdampak signifikan pada perbaikan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Seperti terlihat pada tabel, dalam berbagai kesempatan kegiatan sosialisasi, Suwandi menyebut setidaknya ada 20 isu strategis dalam diatur UU Pemda ini. Namun, dari sekian banyak isu strategis tersebut, beberapa di antaranya akan langsung mengubah pola relasi pemerintah pusat dengan daerah dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pertama, misalnya, yang berhubungan dengan kekuasaan dan kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan. Suwandi menjelaskan, berdasarkan konstitusi, Indo-
Bima Arya
Urusan kunkuren ini kemudian dibagi lagi menjadi dua kelompok, yaitu urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan bukan pelayanan dasar dan urusan pilihan (optional). nesia merupakan negara demokrasi lengkap dengan teori triaspolitika, di mana kekuasaan negara dibagi habis oleh lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Nah, ketika Indonesia mulai menggulirkan otonomi daerah, menurut Suwandi, hanya kekuasaan eksekutif dalam kewenangannya menyelenggarakan urusan pemerintahan yang bisa diotonomikan atau didelegasikan. Kekuasaan yudikatif dan legislatif tidak mungkin diotonomikan. Lebih lanjut, karena Indonesia menganut pemerintahan presidensial, maka presidenlah pemegang dan
1. Hubungan pusat dan daerah dalam kekuasaan pemerintahan. 2. Urusan pemerintahan absolut, konkuren, wajib, pilihan, standar pelayanan minimal (SPM), dan pemetaan urusan. 3. Urusan pemerintahan umum. 4. Kewenangan daerah di laut dan provinsi berciri kepulauan. 5. Desain besar penataan daerah. 6. Penyelengaraan Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah, dan DPRD. 7. Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat 8. Perangkat Daerah dan Tipologinya, 9. Perda, Perkada, Pengawasan, dan Regustrasi 10. Pembangunan Daerah serta Sinergi Pusat dan Daerah. 11. Keuangan Daerah, Sumber dan Pengelolaan Keuangan, dan BUMD. 12. Pelayanan Publik, Kewajiban Pemda, Akses Masyarakat, dan Sanksi. 13. Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemda. 14. Perkotaan dan Kawasan Perkotaan. 15. Kawasan Khusus serta Hak dan Kewajiban Pemda. 16. Kerja Sama Pemda serta Insentif dan Disinsentif. 17. Pembinaan dan Pengawasan serta Sinergi Pengawasan. 18. Tindakan Hukum terhadap Aparatur Sipil di Daerah. 19. Inovasi Daerah dan Rangsangan Terbobosan. 20. Sistem Informasi Pemda. 21. DPOD dan Peningkatan Efektivitas.
Sumber: Made Suwandi.
Volume VIII DESEMBER 2014
7
L A P O R A N
U T A M A
penanggung jawab terakhir kekuasaan pemerintahan. Karena itu, meskipun konstitusi mengamanatkan adanya otonomi seluas-luasnya dan kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan —kecuali yang oleh UU dinyatakan menjadi kewenangan pusat, tanggung jawab terakhir segala urusan pemerintahan tetap berada di tangan presiden. “Istilah gampangnya, kewenangan presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan ‘dipinjamkan’ kepada kepala daerah. Yang namanya dipinjamkan, sewaktu-waktu pasti bisa ditarik kembali,” jelas Suwandi. “Tentu, semuanya berdasarkan ketentuan UU,” lanjutnya. Karena itulah, penyerahan kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka otonomi daerah diikuti dengan ketentuan pengaturan sanksi atau persyaratanpersyaratan tertentu. Berdasarkan UU Pemda yang baru ini, urusan pemerintahan dibagi menjadi dua, yaitu urusan absolut dan konkuren. Urusan absolut mutlak menjadi kewenangan pemerintah pusat, yaitu pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal, yustisi, politik luar negeri, dan agama. Sementara itu, urusan konkuren menjadi kewenangan bersama antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Urusan kunkuren ini kemudian
“Kalau bupati/ wali kota tidak mau melantik mereka yang lolos, gubernur yang akan melakukannya. Jika gubernur juga tidak melakukannya, kewenangan melantik bisa diambil alih Menteri Dalam Negeri,” Suwandi
dibagi lagi menjadi dua kelompok, yaitu urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan bukan pelayanan dasar dan urusan pilihan (optional). Seperti terlihat dalam bagan, terdapat 6 urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, 21 urusan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar, 8 urusan pilihan. Yang juga baru dalam UU Pemda ini adalah perubahan pembagian kewenangan di bidang urusan kehutaBima Arya di tengah warga Kota Bogor
8
Volume VIII DESEMBER 2014
nan, kelautan, dan pertambangan. Semula, kewenangan kehutanan, kelautan, dan pertambangan diserahkan ke kabupaten/kota. Berdasarkan UU Pemda yang baru ini, kewenangan ketiga urusan tersebut dialihkan ke pemerintah provinsi. Namun begitu, kabupaten/kota tetap memperoleh dana bagi hasil seperti sebelumnya. “Jadi, yang ditarik ke atas hanya kewenangannya. Sistem bagi hasilnya tetap, sehingga kabupaten/kota tidak dirugikan,” ujar Suwandi. Dasar pemikirannya, menurut Suwandi, dalam prakteknya ketiga urusan tersebut, baik langsung maupun tidak langsung, selalu berdimensi antardaerah otonom. Urusan pertambangan, misalnya, kalau bukan batasnya yang bersinggungan, dampaknya pasti dirasakan oleh daerah lain. Begitu juga urusan kelautan dan kehutanan. Karena itu kewenangannya dialihkan ke provinsi. Penyerahan kewenangan urusan pemerintahan dalam kerangka otonomi ini, menurut Suwandi, diikuti dengan pengaturan sanksi. Dengan demikian, jika ada pemerintah daerah yang tidak becus menjalankan urusan pemerintahan, maka pemerintah pusat diberi kewenangan untuk mencabut kembali sebagian kewenangan yang diberikan disertai dengan pemberian sanksi. Bahkan, presiden dimungkinkan untuk memberhentikan kepala daerah yang terbukti tidak dapat menjalankan tugas sesuai amanat UU. Suwandi kemudian memberikan contoh. Jika karena satu dan lain hal seorang bupati/wali kota tidak menerbitkan suatu izin usaha, misalnya, padahal semua persyaratan telah terpenuhi, maka kewenangan pemberian izinnya bisa ditarik oleh gubernur, dan gubernurlah yang akan menerbitkan izinnya. Jika di tingkat gubernur idem ditto, maka Menteri Dalam Negeri yang akan melakukannya. Isu strategis selanjutnya adalah penataan organisasi pemerintahan daerah dan aparatur sipilnya. UU yang lama memang tidak mengatur secara
Vicky Lumentut di tengah warga Kota Manado mendetail dan rigid soal organisasi pemda —meskipun kemudian dicoba diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP). Selama ini, menurut Suwandi, pembentukan organisasi, katakanlah dinas-dinas atau satuan kerja pemerintah daerah (SKPD), terkesan sukasuka kepala daerah. Tidak didasarkan pada potensi dan kebutuhan masyarakat daerah. Suwandi menyebut contoh di DKI Jakarta ada Dinas Pertanian. Padahal, nomenklatur dinas tersebut tidak diperlukan lantaran di DKI Jakarta tidak ada lahan pertanian dan hampir semua warganya bukan petani. “Selain tidak cocok, hal itu pemborosan karena setiap dinas ada anggarannya,” tandas Suwandi. Ke depan, berdasarkan amanat UU Pemda yang baru, akan dilakukan mapping di setiap daerah otonom untuk memetakan potensi dan kebutuhan masyarakat daerah yang bersangkutan. Mapping dilakukan oleh masing-masing daerah otonom bersama kementerian teknis terkait dengan didampingi Kementerian Dalam Negeri. Hasil mapping itulah yang akan dijadikan pedoman untuk membentuk nomenklatur organisasi pemda. Jika di satu daerah otonom dinyatakan tidak memiliki potensi bidang pertanian atau pariwisata atau kelautan, misalnya, maka tidak boleh dibentuk dinas atau SKPD yang berurusan dengan masalah pertanian
atau pariwisata atau kelautan. Jadi, pemda tidak bisa lagi seenaknya membuat dinas atau SKPD. Begitu pula dengan pengisian pejabatnya. Kepala daerah, menurut Suwandi, tidak bisa lagi suka-suka mengangkat atau memberhentikan pejabat daerah. Harus melalui proses dan mekanisme tertentu seperti diatur dalam UU Pemda baru ini. Setiap pengisian jabatan harus diproses tim seleksi independen yang terdiri dari perwakilan pemda, kementerian teknis, profesional, dan diawasi Komite Aparatur Sipil Negara (KASN). Tim akan meloloskan beberapa orang untuk mengisi satu jabatan. Satu di antara yang lolos itulah yang harus diangkat oleh kepala daerah. Tidak boleh mengambil dari luar itu. “Kalau bupati/wali kota tidak mau melantik mereka yang lolos, gubernur yang akan melakukannya. Jika gubernur juga tidak melakukannya, kewenangan melantik bisa diambil alih Menteri Dalam Negeri,” ujar Suwandi. “Prinsipnya, pelayanan kepada masyarakat tidak boleh berhenti. Pemerintahan tidak boleh mandek, apa pun sebabnya,” Suwandi menegaskan.
Respons Daerah KETUA Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) yang juga Wali Kota Manado, Vicky Lumentut,
mengatakan, pemerintah daerah harus sudah siap mengantisipasi pemberlakuan UU Pemda yang baru ini. Sambil menunggu perangkat UU secara lengkap, menurut Vicky, ada baiknya semua pemda mempersiapkan diri untuk melakukan penyesuaianpenyesuaian. “Secara umum, ketentuan-ketentuan dalam UU Pemda baru ini akan membuat pemda solid, transparan, dan akuntabel. Akan terbangun pemerintahan yang bertanggung jawab dalam melaksanakan programprogram pembangunan,” ujar Vicky. Tentang kewenangan untuk memberikan sanksi oleh pemerintah pusat kepada kepala daerah pun, bagi Vicky itu merupakan langkah perbaikan pengawasan yang terintegrasi dan sinergis. Sepanjang semua sesuai dengan ketentuan, imbuhnya, kepala daerah atau pejabat daerah tidak perlu khawatir akan terkena sanksi. “Kan, semua demi meningkatkan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujar Vicky Lumentut. Hal senada juga diungkapkan Wali Kota Bogor Bima Arya. Bima mengakui bahwa dalam prakteknya, pelaksanaan otonomi memang memunculkan sejumlah anomali. Karena itu, ia pun sepakat jika perlu dilakukan perbaikan-perbaikan atau penataan kembali melalui revisi UU Pemda. Hanya, Bima kurang setuju kalau sampai ada kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini presiden, memberhentikan kepala daerah jika jenis kesalahannya hanya berkaitan dengan kinerja, bukan di ranah pidana. “Sanksinya cukup mekanisme insentif dan disinsentif saja. Toh, rakyat yang akan menjadi hakimnya,” ujar Bima Arya. Jika karena kepala daerah tidak becus kerja kemudian diberhentikan, menurut Bima, akan ada kecenderungan untuk kembali ke resentralisasi. “Jangan sampai ada resentralisasi. Tugas pusatlah memfasilitasi, mendorong, dan memberi asistensi ke daerah agar kapasitas pemda semakin kuat,” pungkas Bima Arya.
Volume VIII DESEMBER 2014
9
L A P O R A N
U T A M A
Wakil pun Boleh Tiga Banyak hal baru yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satunya soal wakil kepala daerah. Ada daerah otonom yang boleh memiliki wakil kepala daerah hingga tiga orang. Namun, ada juga kepala daerah yang tak perlu memiliki wakil. Djohermansyah Djohan
D
ALAM beberapa kesempatan, termasuk ketika sosialisasi UU Pemda baru, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, mengungkapkan, terbuka kemungkinan jumlah wakil kepala daerah lebih dari satu. Dia memberi contoh, untuk provinsi yang memiliki penduduk di atas 6 juta jiwa, UU membolehkan jumlah wakil gubernur dua orang. Bahkan, provinsi dengan populasi di atas 10 juta, dalam satu periode pemerintahan gubernurnya dibolehkan memiliki tiga wakil. Dengan demikian, Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, atau Jawa Timur dapat memiliki wakil gubernur sampai 3 orang. “Tapi sifatnya tidak wajib. Dapat,
10
Volume VIII DESEMBER 2014
disesuaikan dengan kebutuhan sang gubernur,” ujar Djohermansyah Djohan. Sebaliknya, untuk provinsi yang penduduknya kurang dari 1 juta jiwa, tidak diperlukan adanya wakil gubernur. “Istilahnya, dapat dua wagub untuk provinsi yang penduduknya 5-10 juta adalah tidak wajib dua, bisa juga satu wagub. Tergantung gubernurnya berapa yang ia perlukan,” urainya. Ketentuan yang sama juga berlaku untuk kabupaten/kota. Sebagai misal, kabupaten/ kota dengan jumlah penduduk sampai 100 ribu jiwa, keberadaan wakil bupati/wali kota akan dihapuskan. Sementara itu, untuk kabupaten/ kota yang memiliki jumlah penduduk lebih dari 100 ribu hingga 250 ribu jiwa, dapat memiliki lebih dua wakil bupati/wakil wali kota. Berbeda dengan sebelumnya, pe-
milihan wakil gubernur sepenuhnya diserahkan kepada gubernur. Begitula dengan wakil bupati/wakil wali kota, pemilihannya sepenuhnya diserahkan kepada bupati/wali kota, namun penetapannya dilakukan gubernur. Kandidat wakil bisa dipilih dari golongan Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau nonPNS. Dan, proses pemilihannya pun tidak memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) masing-masing. Dengan ketentuan baru ini, menurut mantan Ketua Tim Penyusun Revisi UU Pemda dari Pemerintah Pusat I Made Suwandi, wakil kepala daerah tidak lagi dipilih dalam satu paket dengan kepala daerah melalui pemilihan kepala daerah (pilkada). Pilkada hanya akan memilih kepala daerah. “Dengan demikian, tidak akan terjadi fenomena pecah kongsi seperti selama ini,” ujarnya.
UU Pemda untuk Menjawab Penyakit Otonomi Lahir di Klungkung, Bali, pada 21 Juni 1963, I Made Suwandi merupakan tokoh penting di balik penyusunan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) —hasilnya adalah UU Nomor 23 Tahun 2014. I Made Suwandi
D
ALAM proses revisi tersebut, Suwandi yang jabatan terakhirnya sebelum pensiun adalah Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri ditunjuk sebagai Ketua Tim Penyusun Revisi UU Pemda tersebut. Karena itu, Suwandi adalah orang yang tahu persis latar belakang kenapa UU Pemda harus direvisi, dan apa saja isu-isu strategis yang baru diatur di dalamnya. Untuk mendalami relasi baru pemerintah pusat-daerah berdasarkan
UU Nomor 23 Tahun 2014, Majalah Kota Kita secara khusus melakukan wawancara dengan anggota Komite Aparatur Sipil Negara (KASN) tersebut. Berikut petikannya: Apa latar belakang UU Pemda direvisi lagi? Pertama, setelah lama berjalan, ternyata ada kekaburan dan terjadi tarik menarik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, yang kemudian diatur secara lebih mendetail dengan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007. Contoh, urusan kesehatan misalnya. Ini mana yang kewenangan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota menjadi kabur karena multitafsir. Kalau ada uangnya rebutan, tapi kalau tidak ada uangnya kabur semua. Akhirnya, dalam UU Pemda yang baru ini, pengaturan kewenangan dijadikan lampiran yang menjadi satu kesatuan dengan UU-nya. Dengan demikian, tidak multitafsir lagi. Kedua, adanya pengaturan kelembagaan yang tidak ada korelasinya dengan kebutuhan masyarakat di dae-
Volume VIII DESEMBER 2014
11
W A W A N C A R A
rah masing-masing. Misalnya, di DKI Jakarta ada Dinas Pertanian, ya tidak cocok. Di Jakarta tidak ada lahan pertanian. Maka tidak perlu ada Dinas Pertanian. Itu hanya menghamburkan anggaran. Hampir di setiap daerah ada dinas yang tidak perlu, tidak berkorelasi dengan kebutuhan masyarakatnya. Misalnya, tidak perlu semua kabupaten/kota punya Dinas Pariwisata kalau memang daerah tersebut tidak memiliki potensi wisata. Dalam UU yang baru, harus ada mapping potensi, dan pembentukan kelembagaannya mengikuti peta potensi tersebut. Jadi, latar belakangnya bukan hanya dampak negatif pilkada langsung ya? Dampak pilkada langsung itu hanya salah satunya. Maaf, harus saya katakan, selama ini otonomi dan desentralisasi nyaris identik hanya dengan dual hal: pemekaran dan pilkada. Yang lainnya suka-suka mereka. Praktis, seluruh sumber daya hanya dihabiskan untuk urusan pemekaran dan pilkada. Padahal, tujuan otonomi dan desentralisasi adalah mendekatkan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tujuan utamanya tidak tercapai, sumber daya habis. Di mana titik kelemahannya hingga terjadi kecenderungan seperti itu? Pengawasan lemah dan tidak adanya sanksi yang jelas dan tegas. Misalnya, banyak bupati atau wali kota menolak menghadiri rapat yang diadakan gubernur, tidak ada mekanisme sanksi. Dalam UU yang baru, hal tersebut diatur. Kepala daerah yang membandel dapat diberi sanksi. Bahkan, jika ada kepala daerah yang jadi tersangka kasus pidana dan ditahan, tugas dan kewenangannya langsung di-PLT-kan kepada wakilnya. Tidak seperti selama ini, semua kepala dinas berbondong-bondong ke penjara karena kepala daerahnya ditahan.
12
Volume VIII DESEMBER 2014
Masa, untuk mengelola daerah berpenduduk 30 ribu, pejabat eselonnya sama dengan daerah yang penduduknya 3 juta. Ini hanya menghabiskan uang. Dibandingkan dengan yang lama, UU Pemda baru ini jauh lebih tebal. Sesungguhnya, hal-hal pokok apa saja yang diatur? Semua penyakit yang muncul selama pelaksanaan otonomi dan desentralisasi di pemerintahan sekarang dijawab di UU ini. Mulai dari penataan lembaga hingga pegawai. Untuk lembaga, seperti yang tadi saya jelaskan, pembentukan dan penataannya harus
melalui mapping. Penataan organisasi atau lembaga di daerah selama ini menjadi masalah besar. Organisasinya banyak yang tidak sesuai dengan potensi dan kebutuhan. Dengan mapping, nanti dalam urusan wajib dan urusan pilihan antara satu daerah dengan daerah lainnya berbeda karena telah disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan daerah masing-masing. Selain itu juga akan didasarkan pada pengelompokan daerah. Masa, untuk mengelola daerah berpenduduk 30 ribu, pejabat eselonnya sama dengan daerah yang penduduknya 3 juta. Ini hanya menghabiskan uang. Jadi, nanti ada pengelompokan daerah besar, tipe A, misalnya ada kepala dinas 4 bidang, sedangkan tipe B 3 kepala bidang, dan C hanya 2 kepala bidang. Contohnya seperti itu. Siapa yang melakukan mapping? Pemerintah daerah masing-ma-
sing beserta kementerian-kementerian teknis didampingi Kementerian Dalam Negeri. Hasilnya akan dijadikan patokan membentuk dinas-dinas. Hasil mapping tersebut ditindaklanjuti dengan peraturan daerah untuk pembentukan dinas-dinas, dan dari kabupaten/kota diajukan ke gubernur, dari provinsi diajukan ke Kementerian Dalam Negeri. Jika nomenklatur dan jumlah dinas yang diajukan tidak sesuai dengan hasil mapping, ya akan ditolak. Dengan demikian, misalnya, jika hanya 20 dari 34 provinsi yang memiliki potensi di bidang pertanian, ya hanya 20 provinsi itu yang boleh membuat dinas pertanian. Atau, dari 509 kabupaten/kota hanya 200 yang memiliki potensi di bidang pertanian, ya hanya itu yang boleh membuat dinas pertanian. Di luar itu tidak boleh. Jadi, Kementerian Pertanian hanya memiliki stakeholder 20 dinas pertanian di tingkat provinsi dan 200 dinas pertanian di kabupaten/kota.
Bagaimana dengan penataan pegawai? Hal ini juga yang menjadi penyakit desentralisasi dan jadi masalah besar. Syarat penataan pegawai itu sebenarnya gampang. Jumlahnya tepat dan kompetensinya jelas. Sekarang, kalau ditanya jumlahnya berapa, kompetensinya apa, tidak jelas semua. Soal jumlah itu masalah rasio yang mengacu pada kebutuhan sesuai dengan kondisi dan situasi di masyarakat. Dari situ dapat diketahui jumlah pegawai yang sesuai dengan daerahnya. Kemudian soal kompetensi. Sekarang, di daerah itu suka-suka, dan kalau diserahkan ke kepala daerah bisa rusak semua. Karena itu nanti ada persyaratan-persyaratan khusus, tidak bisa lagi kepala daerah mencopot atau mengangkat pegawai sesuka hati. Bukankah kepala daerah punya kewenangan untuk itu? Ya, tapi nanti tidak bisa dilakukan
dengan suka-suka. Ada syarat dan ketentuannya. Misalnya, untuk menjadi pejabat di dinas pertanian kabupaten/ kota, orang yang memiliki kualifikasi seprovinsi memiliki hak yang sama. Untuk tingkat provinsi, calonnya bisa dari seluruh Indonesia. Mekanismenya melalui tim seleksi independen dan diawasi Komite Aparatur Sipil Negara (KSAN). Yang lolos seleksi itulah yang harus dilantik, tidak boleh di luar itu. Kalau bupati/wali kota tidak berkenan melantik, gubernur yang akan melakukannya. Kalau gubernur juga tidak mau, Menteri Dalam Negeri yang melantik. Pemerintahan tidak boleh berhenti hanya kepala daerahnya tidak suka, misalnya. Penataan organisasi dan pegawai itu saja akan berdampak luar biasa. Selama ini, daerah suka-suka membuat organisasi dan menentukan orang-orang. Paradigma sudah berubah dari sentralisasi ke desentralisasi, tapi cara mengelolanya kok tidak berubah.
Volume VIII DESEMBER 2014
13
J E J A K
Suasana Kota Singkawang yang berciri etnis Tionghoa
Singkawang, Bangkitnya Kota Masa Lalu Kota Singkawang, Kalimantan Barat, baru saja merayakan hari jadi yang ke-13. Di balik sejarahnya yang panjang, kini Kota Singkawang tengah berbenah guna menjemput masa depannya yang lebih baik.
P
ADA 17 Oktober 2014, usia Singkawang sebagai kota otonom genap 13 tahun —dihitung sejak ditetapkan sebagai daerah otonom melalui Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2001. Sebelumnya, kota ini menjadi bagian dari
14
Volume VIII DESEMBER 2014
Kabupaten Sambas dengan status kecamatan, kemudian meningkat menjadi kota administratif. Sebenarnya, jauh sebelumnya, Singkawang pernah diusulkan menjadi Kotamadya, namun pemerintah pusat belum memberikan restu. Baru pada 2001 Singkawang ditetapkan menjadi kota otonom baru. Meskipun begitu, Singkawang memiliki akar sejarah yang panjang. Asal muasal Singkawang pun terbilang unik dengan beragam versi. Ada yang mengatakan, Singkawang diambil dari nama tanaman “Tengkawang” yang tumbuh di hutan tropis. Ada pula versi orang Thiongkok yang mengatakan Singkawang berasal dari kata “Sau Kew Jong”, yang berarti kota yang terletak di antara laut, muara, gunung, dan sungai. Cerita terakhir bisa dikaitkan dengan sejarah terdamparnya pasukan Kubilai Khan di pantai barat Kali-
mantan pada abad ke-13-an. Sebagian pasukan Kubilai Khan yang tidak bisa pulang inilah sebagai cikal bakal penghuni Singkawang hingga penghuni kota ini banyak dari etnis Tionghoa. Kala itu Kubilai Khan mengirimkan pasukan untuk menyerang Kerajaan Majapahit karena sebelumnya dipermalukan Raja Mapahit Raden Wijaya dalam penaklukan Kerajaan Singosari. Saat itu, pasukan Kubilai Khan dibabat habis Pasukan Raden Wijaya. Namun, banyak pasukan Kubilai Khan yang berhasil kabur. Dalam perjalanan pulang, kapal layar mereka diterjang badai, dan akhirnya terpaksa bersandar di pantai barat Kalimantan untuk melakukan perbaikan badan kapal yang rusak. Reparasi kapal pun memakan waktu cukup lama. Begitu rampung, kapal melanjutkan perjalanan ke daratan Tiongkok. Namun, sungguh sial, 7 op-
Mulai Bergeliat
Bangunan berarsitektur Tionghoa di Kota Singkawang sir pasukan Kubilai Khan tertinggal di pantai tersebut. Ketujuh opsir itu akhirnya menetap di Singkawang dan menikahi wanita setempat dan beranak pinak di Singkawang. Melihat orang Tionghoa pandai menggarap penambangan emas, pada tahun 1678 M Sultan Sambas mengundang mereka untuk mengembangkan pertambangan emas di wilayah Kalimantan Barat. Sejak saat itu, Singkawang, Bengkayang, dan Monterado banyak didatangi orang Tionghoa untuk mencari emas. Hilir mudiknya para penambang dan pedagang emas yang kebanyakan berasal dari negeri Tiongkok itu membuat Singkawang mulai dikenal sebagai daerah persinggahan dan transit hasil tambang emas. Dari penambang dan pedagang ini ada pula yang beralih profesi di bidang pertanian padi, kebun karet, dan sayurmayur. Mereka, selain pandai menggarap tambang emas, juga ahli dalam bidang pertanian. Lambat laun, Singkawang menjadi menarik dan dikenal di daratan Tiongkok sebagai kota yang menjanjikan, baik untuk mencari sum-
Mayoritas etnis Tionghoa yang berdiam di Singkawang memberikan warna tersendiri bagi kota ini. Kota ini pun mendapat julukan “Kota Seribu Vihara”, mirip Hong Kong. ber penghasilan maupun tempat tinggal yang menyenangkan. Tak heran, akhirnya banyak etnis Tionghoa yang berdiam di Singkawang —selain etnis Melayu dan Dayak. Mayoritas etnis Tionghoa yang berdiam di Singkawang memberikan warna tersendiri bagi kota ini. Kota ini pun mendapat julukan “Kota Seribu Vihara”, mirip Hong Kong. Berada di kota ini terasa di salah satu sudut Hong Kong.
KOTA dengan luas wilayah 504km² atau setara 50.400 ha, dengan tingkat kepadatan penduduk 379 jiwa per kilometer persegi, ini setelah berstatus otonom mulai menggeliat dengan berbagai program pembangunannya. Tujuannya agar lekas maju sejajar dengan kota-kota lain. Program pembangunannya dimulai dari pinggiran kota menuju pusat kota. Singkawang dikenal sebagai kota perdagangan terbesar kedua di Kalimantan Barat setelah Kota Pontianak. Letaknya yang sangat strategis, berada di antara Kabupaten Sambas dan Bengkayang, sangat menguntungkan sebagai sentra bisnis dan pemasaran produk dari dan ke wilayah di sekitarnya. Termasuk, menampung dan mendistribusikan barang yang tidak diproduksi di Singkawang dan daerah sekitarnya. Seperti, barang sandang, alat pertanian, dan lainnya. Sebagian besar barang yang diperdagangkan merupakan hasil bumi, seperti produk pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan, dan hasil kerajinan atau industri kecil di Singkawang dan kabupaten tetangga. Singkawang sangat cocok untuk pertanian tanaman pangan dan hortikultura yang terdapat di Kecamatan Singkawang Selatan, Singkawang Utara, dan Singkawang Timur. Wilayah itu memiliki potensi yang cukup besar, baik dari segi lahan yang tersedia maupun jenis tanaman yang sesuai untuk dikembangkan. Lahan yang luas dan tanah yang subur serta tenaga kerja tersedia merupakan faktor yang sangat mendukung bagi pengembangan agroindustri di kota ini. Selama ini, komoditi unggulan Kota Singkawang adalah produkproduk sektor perkebunan, pertanian, peternakan, dan jasa. Dari sektor perkebunan ada kelapa sawit, kakao, karet, kopi, kelapa, dan lada. Dari pertanian ada jagung, kedelai, ubi jalar, dan ubi kayu. Dari peternakan ada sapi, babi, kambing, dan kerbau. Adapun dari sektor jasa ada wisata alam.
Volume VIII DESEMBER 2014
15
J E J A K
Wali Kota Singkawang, Awang Ishak
Kota Singkawang juga terkenal dari hasil industri kecil dengan makanan khasnya, yaitu tahu dan mi singkawang, dan makanan ini sering dijadikan oleh-oleh para pelancong. Sebagai penunjang kegiatan perekonomian, di wilayah ini tersedia satu pelabuhan, yaitu Pelabuhan Singkawang. Sementara itu, hasil industri yang menjadi produk andalan adalah keramik. Industri ini telah lama berkembang dan pasarannya pun merambah ke manca negara meskipun masih berskala industri kecil. Kota Singkawang juga terkenal dari hasil industri kecil dengan makanan khasnya, yaitu tahu dan mi singkawang, dan makanan ini sering dijadikan oleholeh para pelancong.
16
Volume VIII DESEMBER 2014
Itulah modal Kota Singkawang untuk menatap masa depannya yang lebih cerah. Berdasarkan potensi tersebut, Pemerintah Kota Singkawang pun memprioritaskan pembangunan di tiga sector, yaitu pendidikan, kesehatan, dan infrastuktur. Anggaran yang disiapkan dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan. Semua untuk mengejar kualitas pelayanan yang optimal agar warga kota mampu menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi di Kota Amoy ini. Kota Singkawang pun direncanakan memiliki bandara sendiri yang berlokasi di Jalan Penkam Kelurahan Pangmilang Kecamatan Singkawang Selatan. Bandara ini untuk meningkatkan akses bagi para investor lokal maupun asing yang akan menanamkan investasinya di Kota Singkawnag atau daerah kabupaten sekitarnya. Ini juga untuk mendorong percepatan pembangunan ekonomi dan dapat membuka lapangan kerja baru dari berbagai aktivitas di bandara. Juga untuk membuka peluang pasar ke negara tetangga seperti Brunei dan Malaysia. Saat ini, Pemerintah Kota Singkawang juga sedang melakukan revitalisasi pasar tradisional. Tujuan utamanya untuk meningkatkan daya saing dan mempersiapkan pedagang di pasar tradisional. Selain itu, juga
Singkawang tempo dulu
membangun pasar tradisional baru yang lebih dekat dengan permukiman warga, terutama di kecamatan yang belum memiliki pasar tradisional dengan fokus lokasi di bagian luar (pinggiran) kota. Pemerintah setempat juga membangun pasar kuliner di Pasar Beringin. Kota Singkawang kini merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Kalimantan Barat, dengan objek wisata yang potensial mulai wisata alam, wisata budaya, dan wisata buatan. Di antaranya Pasir Panjang, Sinka Island Park (Teluk Mak Jantu), Klenteng di Gunung Pasi, Gunung Sari, Bukit Bugenvil, Taman teratai, dan wisata budaya yang dimiliki di antaranya Cap Go Meh, Ngabayotn, dan lainnya.
Menjadikan Tegal Kota Singgah Banyak menghabiskan waktu di berbagai kota besar dunia, Siti Masitha Soeparno punya obsesi tersendiri tentang kotanya: menjadikan Tegal sebagai destinasi wisata dan kota singgah. Tujuannya mengangkat ekonomi warga kota.
S
EBELUM terpilih sebagai Wali Kota Tegal, di Jawa Tengah, periode 2014-2019, Siti Masitha Soeparno lebih dikenal sebagai pengusaha. Perempuan yang lebih akrab dengan sapaan Bunda Sitha ini lahir di Jakarta, 10 Januari 1964. Namun, hampir seluruh jenjang pendidikannya di negeri asing. Hanya setahun Bunda Sitha merasakan pendidikan di dalam negeri, yaitu ketika bersekolah tingkat SMP di Palembang, Sumatera
Selatan. Selebihnya, semuanya di luar negeri. Dari TK sampai SD, misalnya, diselesaikan di Jerman. Setelah sebentar kembali ke Indonesia, pendidikan SMP diselesaikannya di Thailand, SMA di Belanda, dan kembali ke Jerman untuk kuliah. Terakhir, Bunda Sitha menempuh pendidikan di Serikat School of Hotel Administration, Comell University, Amerika Serikat, yang diselesaikannya pada 1986. Kariernya dimulai di bidang perhotelan. Awalnya, Bunda Sitha bekerja
di Hilton Hotel, terus pindah ke Mandarin Hotel sebagai Asistent executive Housekeeper. Ketika bekerja di perhotelan, jika dalam setahun tidak mendapat promosi, dapat dipastikan Sitha akan berpindah ke tempat lain. Pengalaman lain, Bunda Sitha pernah menjadi Director of Promotion & Development John Robert Power School. Setelah itu, berbagai bidang pun kerap digeluti, mulai dari sekolah penerbangan dan konsultasi bidang aviasi, tour and travel, hingga penyelenggaran konferensi dan konggres tingkat intemasional. Dan, terakhir, Bunda Sitha menggeluti bisnis dengan menjadi Sole Agent pendistribusian bijih besi. Ia menjadi President Director PT Reksa Solidus sejak 2011 hingga terpilih menjadi wali kota. Selain itu, Bunda Sitha juga aktif di kegiatan sosial, seperti aktif di gerakan Wanita Indonesia Tanpa Tembakau, Yayasan Penyantun Anak Asma, dan Perempuan untuk Negeri. Sukses tak membuat Bunda Sitha lupa akan tanah leluhurnya. Ia bermimpi kota leluhurnya tersebut bisa maju seperti kota-kota besar di dunia yang pernah ditinggalinya. Karena itulah, ketika ada kesempatan untuk berbuat, Bunda Sitha ikut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Tegal. Berpasangan dengan Nursoleh, calon yang diusung Partai Golkar ini akhirnya memperoleh mandat rakyat dan ditetapkan sebagai Wali Kota Tegal periode 2014-2019. Dengan amanah yang diembannya, Bunda Sitha bertekad mewujudkan impiannya. Seperti diketahui, Kota Tegal berada di jalur Pantai Utara Jawa. Ini merupakan posisi yang strategis, karena merupakan jalur utama penghubung kegiatan ekonomi lintas provinsi. Karena itu, Bunda Sitha melihat, kota dengan luas wilayah 39,68 km² ini memiliki potensi besar untuk berkembang dan maju. Untuk mendukung terlaksananya program tersebut, Bunda Sitha terus melakukan komunikasi yang intens ke pemerintah pusat untuk memper-
Volume VIII DESEMBER 2014
17
P R O F I L
Wali Kota Tegal sedang memeriksa keamanan sipil cepat pembangunan pelabuhan niaga di Kota Tegal. Alasanya, pelabuhan yang berada di Semarang dan Cirebon sudah mengalami kepadatan dalam bongkar muat. Akan lebih efisien kalau beban tersebut juga dialihkan ke pelabuhan Kota Tegal, sekaligus melengkapi distribusi maupun ekspidisi barang keluar masuk Kota Tegal. “Biar nanti terbagi ke Tegal, itu salah satu upaya untuk memajukan Cirebon,” jelasnya. Tidak lupa, Bunda Sitha juga mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Karena itu, pendidikan dan kesehatan menjadi prioritas. Fokusnya pada pendidikan dan kesehatan melalui pembenahan pendidikan dan rumah sakit yang bertarap nasional dan internasional. “Dengan begitu, saya yakin ke depan Tegal akan berubah menjadi lebih baik,” ungkapnya. Jika Tegal menjadi destinasi dan kota singgah, Bunda Sitha yakin perekonomian warga akan terdorong dan kesejahteraan warga kota meningkat. Untuk itu, Bunda Sitha menggulirkan 11 program unggulan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2014 – 2019. Kesebelas program unggulan tersebut antara lain, penera-
18
Volume VIII DESEMBER 2014
Sebagai wali kota para pengusaha warteg), Bunda Sitha akan meningkatkan kualitas makanan mereka. “Ini original. pan reformasi birokrasi, penerapan perencanaan dan penganggaran yang partisipatif, transparan dan akuntabel, peningkatan akses dan kualitas layanan pendidikan, peningkatan akses dan layanan kesehatan, pemberdayaan dan optimalisasi usaha mikro, kecil dan menengah, dan peningkatan ketrampilan dan kemampuan pencari kerja. Selain itu, juga dilakukan pengembangan kepariwisataan, penanganan lingkungan kumuh dan rumah tidak layak huni, peningkatan ketersediaan infrastruktur, pengembangan kemitraan antara pemerintahswasta-masyarakat, dan pemberdayaan lembaga sosial. “RPJMD untuk masa lima tahun mendatang ini merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang penyusunannya berpedoman kepada RPJP Daerah dengan memperhatikan RPJM
Suasana di Kota Tegal Nasional dan RPJM Provinsi,” katanya. “Saya harap bisa optimal. Saya tidak mau andai-andai. Dengan menjadikan Kota Tegal sebagai distinasi, orang yang berkunjung akan ada standing money di sana. Kesejahteraan ada, perputaran uang tidak akan keluar dari Tegal,” ujarnya. Di saat yang sama, Bunda Sitha melihat, orang-orang Tegal di Jakarta yang membuka Warung Tegal (warteg), memiliki solidaritas yang sangat kuat. Komunitas pengusaha warteg itu, menurutnya, juga membawa uang untuk membangun di daerahnya, sehingga ekonomi daerah tumbuh. “Ini juga menjadi potensi,” kata Bunda Sitha. Sebagai wali kota para pengusaha warteg), Bunda Sitha akan meningkatkan kualitas makanan mereka. “Ini original. Warteg tetap dipertahankan, yang penting higienis, kualitas baik agar tetap terjaga dengan baik,” ujarnya. Bunda Sitha berharap semua elemen masyarakat turut berpartisipasi memberikan sumbangan pemikiran, mulai dari proses perencanaan. Dengan demikian, diharapkan program dan sasaran yang akan dihasilkan pembangunan sesuai dengan aspirasi masyarakat.
PotretTataKelola Pemerintahan Daerah
Suasana di Kota Jogya
Hasil riset Kemitraan mengungkapkan, potret tata kelola pemerintahan daerah di seluruh Indonesia masih buruk. Memang bukan tanggung jawab pemerintah daerah semata, namun diperlukan banyak terobosan untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan daerah demi terwujudnya pelayanan yang baik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Volume VIII DESEMBER 2014
19
L A P O R A N
K H U S U S
P
UBLIKASI hasil riset yang dilakukan oleh The Partnership for Governance Reform atau Kemitraan tak ubahnya hanyalah sebuah konfirmasi: benar bahwa tata kelola pemerintahan daerah, hingga lebih dari 15 tahun penerapan otonomi, ternyata masih buruk, jauh di bawah standar idealnya. Skor rata-rata hanya 5,67 dari skala 1-10. Bahkan, daerah yang meraih angka tertinggi pun, nilainya hanya 6,85, tidak sampai 7. Riset Kemitraan bertajuk Indonesia Governance Index (IGI) tersebut dipublikasikan pada medio Oktober 2014 di Grand Ballroom Kempinski Jakarta. Keruan saja, tak lama setelah hasil riset tersebut ramai diberitakan media massa nasional dan daerah, banyak pejabat daerah yang mendatangi kantor Kemitraan di Jakarta, baik untuk menyampaikan protes maupun meminta klarifikasi atau konfirmasi. “Tapi, setelah kami beberkan semua datanya, mereka akhirnya bisa menerima, dan malah meminta saransaran dari kami,” ujar Knowledge & Research Manager Kemitraan Inda Presanti Loekman ketika diwawancari Majalah Kota Kita. Saat wawancara, Inda didampingi Principal Researcher Lenny Hidayat dan Knowledge & Comunication Officer Arif Nurdiansah. Ini sesungguhnya bukan kali pertama Kemitraan memublikasikan hasil risetnya. Sebelumnya, dua kali Kemitraan memublikasikan hasil riset IGI, yaitu pada 2008 dan 2012. Namun, ketika itu, riset pengukuran tata kelola pemerintahan ini baru dilakukan terhadap seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Maka, untuk menghasilkan potret tata kelola pemerintahan yang lebih utuh, pengukuran serupa dilakukan untuk tingkat kabupaten/kota. “Apalagi, sesuai dengan kebijakan otonomi, ujung tombak pemerintahan daerah sesungguhnya ada di tingkat kabupaten/kota,” kata Lenny Hidayat. Riset tingkat kabupaten/kota ini dimulai sejak 2013. Namun, riset IGI ini tak menjangkau seluruh kabupat-
20
Volume VIII DESEMBER 2014
dengan IPM lebih tinggi tata kelola pemerintahannya lebih baik, dan sebaliknya.
Fungsi Empat Arena
Lenny Hidayat
“Apalagi, sesuai dengan kebijakan otonomi, ujung tombak pemerintahan daerah sesungguhnya ada di tingkat kabupaten/kota,” Lenny Hidayat
en/kota. Karena alasan keterbatasan sumber daya, hanya 34 dari total 508 kabupaten/kota yang diambil sebagai sampel. Sampel tersebut terdiri dari 23 kabupaten dan 11 kota. Dalam penentuan sampel ini, tiap provinsi diambil satu daerah kabupeten/kota yang kriterianya didasarkan pada Indeks Pembangunan Manusia/Human Development Index (IPM/ HDI). Yang diambil sebagai sampel adalah daerah dengan IPM tertinggi, sedang, dan rendah. Alasannya, IPM memiliki korelasi sangat signifikan terhadap kualitas tata kelola pemerintahan. Hampir bisa dipastikan, daerah
Lenny mengingatkan bahwa selama ini ada kecenderungan yang salah kaprah, bahwa baik buruknya tata kelola pemerintahan daerah menjadi tanggung jawab dan bergantung pada kinerja pemerintah daerah. Yang sebenarnya, menurutnya, tata kelola pemerintahan daerah menjadi tanggung jawab seluruh stakeholder atau pemangku kepentingan daerah. Karena itulah, dalam riset pengukuran IGI ini, Kemitraan menetapkan ada empat stakeholder atau yang disebut “Arena” yang diriset, yaitu Pejabat Politik (Kepala Daerah dan DPRD), Birokrasi, Masyarakat Ekonomi, dan Masyarakat Sipil. Yang menjadi obyek riset adalah sejauh mana keempat “Arena” tersebut menjalankan fungsi masing-masing dalam menjalankan tata kelola pemerintahan daerah. “Jika salah satu dari keempatnya tidak menjalankan fungsinya dengan baik, hal itu akan menghambat jalannya tata kelola pemerintahan yang baik, yang berarti bisa mengurangi skornya,” ujar Lenny. Dalam riset tata kelola pemerintahan ini, Pejabat Politik memiliki empat fungsi, yaitu Kerangka Kebijakan, Penganggaran, Pengawasan, dan Kepemimpinan. Sementara itu, Birokrasi juga memiliki empat fungsi, yaitu Pelayanan Publik, Pengumpul Pendapatan Daerah, Pengaturan Ekonomi, dan Penegakan Peraturan Daerah. Sedangkan, Masyarakat Sipil memiliki dua fungsi, yaitu Pemberdayaan Masyarakat serta Monitoring dan Advokasi. Adapun, Masyarakat Ekonomi juga memiliki dua fungsi, yaitu Perlindungan Kepentingan Bisnis dan Pemberdayaan Ekonomi. Pengukuran terhadap pelaksanaan fungsi dari masing-masing Arena tersebut dilakukan melalui enam prinsip tata kelola yang baik, yaitu Parti-
sipasi, Transparansi, Keadilan, Akuntabilitas, Efisiensi, dan Efektivitas. Masing-masing Arena diukur tingkat kepatuhannya terhadap enam prinsip tata kelola tersebut. Secara kesuluruhan, pengukuran dilakukan dengan menggunakan 126 indikator melalui penelusuran terhadap 30 macam dokumen publik yang meliputi sedikitnya 89 data keras (hard files) di tiap kabupaten/kota sampel. Selain itu, pengukuran juga dilakukan dengan cara uji akses dari berbagai dokumen publik dan persepsi publik. Namun, jika dikomposisi, bobot nilai penelusuran dan uji akses terhadap dokumen publik mencapai 90 persen dan sisanya baru persepsi publik. “Jadi, ini benar-benar riset pengukuran terhadap data dokumen publik dan bukan survei terhadap persepsi. Ibaratnya, yang kita lihat, kita ukur, adalah ‘dapur’ tata kelola pemerintahannya, bukan apa yang tampak atau tersajikan di arena publik,” Lenny
menjelaskan. Hasilnya adalah seperti yang telah dipublikasikan Kemitraan medio Oktober 2014. Dari skala 1-10, skor ratarata adalah 5,67. Dari 34 Bahkan, daerah yang meraih angka tertinggi pun, nilainya hanya 6,85, tidak sampai 7. Hasil riset ini dengan jelas mengkonfirmasi bahwa tata kelola pemerintahan daerah masih jauh dari standar ideal. “Artinya, semua potretnya buruk,” tandas Lenny. Jika diperingkat, hanya ada empat pemerintah daerah sampel yang memperoleh skor di atas 6 di bawah 7, yaitu Kota Yogyakarta (6,85), Kota Semarang (6,30), Kabupaten Gunung Kidul (6,09), dan Kota Banda Aceh (6,08). Jika batas angka kelulusan adalah 6, maka hanya empat daerah itu yang lulus dan selebihnya, 30 daerah memperoleh rapor merah. Yang menarik, data tersebut menunjukkan bahwa tiga dari empat daerah yang berhasil menembus skor 6 berada di Pulau
Jawa, dan semuanya dengan tingkat IPM relatif lebih tinggi dibandingkan dengan-daerah lain. Seperti terlihat dalam tabel, selanjutnya ada 6 daerah yang memperoleh skor 5, lalu 20 daerah dengan skor 4, dan 3 daerah dengan skor 3. Ada satu daerah sampel yang tidak diberi skor, yaitu Kabupaten Seluma dari Provinsi Bengkulu, karena datanya tidak bisa diakses secara lengkap.
Kinerja Per Arena Dari pengukuran yang dilakukan Kemitraan tersebut, pada akhirnya dapat diketahui “Arena” mana atau siapa yang berkontribusi paling besar terhadap baik buruknya tata kelola pemerintahan daerah, dan dalam bidang apa saja, misalnya, kinerja terbilang buruk. Hasil riset Kemitraan menunjukkan bahwa rata-rata nilai kinerja Pejabat Politik di 34 kabupaten/kota merupakan yang terendah
Volume VIII DESEMBER 2014
21
L A P O R A N
K H U S U S
dibandingkan dengan tiga “Arena” lainnya. Rendahnya kinerja Pejabat Politik, yaitu kepala daerah dan DPRD, disumbang oleh nilai rata-rata di setiap fungsi yang hanya berkisaran 2,484,44 dari skala 1-10. Sementara itu, nilai rata-rata arena ini disumbangkan oleh 6 prinsip tata kelola dengan capaian terendah pada akuntabilitas fungsi pengawasan DPRD (1,82) dan tertinggi pada efisiensi fungsi kepemimpinan kepala daerah (6,94). Sementara itu, untuk “Arena” Birokrasi di 34 kabupaten/kota, ternyata memiliki nilai rata-rata tertinggi dibandingkan dengan tiga “Arena” lainnya. Artinya, ternyata Birokrasi selama ini memiliki kontribusi terbesar terhadap kinerja tata kelola pemerintahan daerah. Dengan kata lain, Birokrasi memang menjadi mesin pemerintahan. Berdasarkan hasil riset Kemitraan, nilai tinggi Birokrasi ini disumbangkan oleh kinerja fungsi birokrasi sebagai pengumpul pendapatan daerah dan pelayanan publik di daerah yang memperoleh nilai di atas 8 untuk prinsip efisiensi (8,73) dan efektivitas (8,68). Sayangnya, ratarata nilai fungsi pelayanan publik hanya mencapai 5,13, sementara nilai fungsi pengumpul pendapatan daerah mencapai 5,40. Akhirnya, fungsifungsi yang memperoleh nilai rendah di “Arena” ini adalah fungsi penegak peraturan daerah (3,41) dan pengatur kegiatan ekonomi (3,97). Bagaimana dengan Masyarakat Sipil dan Masyarakat Ekonomi? Ternyata, rata-rata nilai Masyarakat Sipil relatif masih rendah, yaitu 5,17. Nilai ini disumbangkan oleh nilai fungsi pemberdayaan masyarakat (5,06) dan fungsi monitoring dan advokasi (5,30). Jika dilihat per prinsip, nilai prinsip yang tinggi disumbangkan oleh Prinsip Keadilan (6,37) dan Prinsip Efektivitas (6,03). Sementara itu, transparansi (4,63) dan akuntabilitas (4,87) di kedua fungsi tersebut merupakan prinsip dengan nilai rendah dengan capaian di bawah angka 5. Dengan demikian, kontribusi
22
Volume VIII DESEMBER 2014
Masyarakat Sipil terhadap terbangunnya tata kelola pemerintahan yang baik masih rendah. Begitu pula dengan Masyarakat Ekonomi. Nilai rata-ratanya (5,72). Rendahnya nilai tersebut disumbangkan oleh ketidakefektifan “Arena” ini dalam menjalankan perannya dalam memberi perlindungan terhadap kepentingan bisnis (3,31) dan pemberdayaan ekonomi lokal (4,54).
namun minim dukungan dari Masyarakat Sipil atau Masyarakat Ekonomi, maka tata kelola pemerintahan tidak akan berjalan dengan baik. “Jadi, membangun tata kelola pemerintahan yang baik itu menjadi tanggung jawab semua pemangku kepentingan, bukan hanya dibebankan kepada pemerintah daerah,” ujar Lenny.
Berdasarkan pengukuran per “Arena” tersebut, terungkap bahwa Birokrasi menjadi penyumbang terbesar nilai tata kelola pemerintahan suatu daerah.
Pengukuran IGI yang dilakukan Kemitraan, menurut Lenny, untuk memberikan sumbangsih terhadap perbaikan tata kelola pemerintahan daerah. Tujuannya, agat terbangun tata kelola pemerintahan yang baik dan efektif dalam menjalankan fungsinya untuk melayani dan menyejahterakan masyarakatnya. Karena itu, selain membeberkan potret tata kelola pemerintahan daerah hasil risetnya, Kemitraan juga mengajukan sejumlah rekomendasi guna memperbaiki tata kelola pemerintahan daerah. Sedikitnya ada tujuh rekomendasi, mulai dari perlunya evaluasi kebijakan relasi pusatdaerah, menjaga keseimbangan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan antardaerah, evaluasi daerah otonomi baru secara menyeluruh, perlunya pengawasan DPRD, optimalisasi sistem e-government (DPRD & Birokrasi) di daerah, sinkronisasi anggaran untuk kesejahteraan, hingga memperkuat kerja sama DPRD dengan Masyarakat Sipil. Jika rekomendasi-rekomendasi tersebut diterima dan dijalankan, menurut Lenny, Kemitraan optimistis ke depan akan terjadi perbaikan tata kelola pemerintahan daerah. Sebab, selama ini banyak pejabat daerah yang justru belum mengetahui persis kelemahannya di mana dalam hal pelaksanaan tata kelola pemerintahan tersebut. “Kami memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah secara mendetail dan konkret. Semoga ke depan akan terus ada perbaikan,” ujar Lenny.
Jika dilihat dari nilai per prinsip, nilai terendah terdapat pada Prinsip Transparansi (1,12) dan Prinsip Partisipasi (4,01). Sementara itu, Prinsip Keadilan (5,86) dan Prinsip Akuntabilitas (5,19) memperoleh nilai lebih tinggi. Berdasarkan pengukuran per “Arena” tersebut, terungkap bahwa Birokrasi menjadi penyumbang terbesar nilai tata kelola pemerintahan suatu daerah. Penyumbang berikutnya adalah Masyarakat Sipil dan Masyarakat Ekonomi. Sedangkan, Pejabat Politik yang dalam hal ini adalah kepala daerah dan DPRD menjadi penyumbang terkecil. Menurut Lenny, dalam konteks tata kelola pemerintahan, sesungguhnya semua “Arena” memiliki fungsi dan tanggung jawab yang sama. Dia menjelaskan, jika Kepala Daerah dan/ atau Birokrasi, misalnya, sudah menjalankan fungsinya dengan optimal,
Rekomendasi
Wali Kota Magelang Raih Nugra Jasadarma Pustaloka DINILAI memiliki kepedulian yang tinggi terhadap perpustakaan daerah, Wali Kota Magelang, Jawa Tengah, Sigit Widyonindito, oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dianugerahi penghargaan Nugra Jasadarma Pustaloka dalam Kategori Tokoh Masyarakat tahun 2014. PNRI memiliki tradisi memberikan penghargaan kepada kepala daerah yang berperan aktif terhadap pengembangan perpustakaan dan pembudayaan gemar membaca di kalangan masyarakat. Atas peran aktifnya dalam menggairahkan budaya membaca dan mengembangkan perpustakaan itulah Sigit Widyonindito dianugerahi penghargaan tersebut. Penghargaan diberikan di Jakarta, akhir Oktober 2014. “Penghargaan ini diraih Wali Kota karena komitmen dan dukungannya terhadap pengembangan perpustakaan di Kota Magelang. Dukungannya berupa kebijakan maupun pengadaan sarana dan prasara perpustakaan,” ujar Pelaksana Harian (Plh) Kabag Humas, Protokol, dan Santel Kota Magelang Aris Wicaksono kepada wartawan. Untuk mengembangkan perpustakaan di daerah dan menggairahkan budaya membaca di kalangan masyarakat, Kota Magelang telah menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Perpustakaan. Perda itu kemudian dilengkapi dengan beberapa aturan pendukung lainnya, seperti dan Peraturan Wali Kota Magelang Nomor 30 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Perpustakaan Umum Daerah Kota Magelang. Selain itu, Pemerintah Kota Magelang juga telah membangun gedung perpustakaan seluas 1.160 meter persegi yang dilengkapi dengan fasilitas hot spot. Pengelolaan perpustakaan daerah di Kota Magelang memang terbilang maju. Karena itu, wajar jika Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Magelang beberapa kali telah menerima penghargaan. Seperti, Juara 2 mobil perpustakaan keliling tingkat nasional tahun 2007 dan juara 2 perpustakaan tingkat Jawa Tengah tahun 2012.
Bangun Smart City, Pekanbaru Gandeng BPPT PEMERINTAH Kota (Pemkot) Pekanbaru, Riau, bertekad membangun sistem pelayanan perkotaan yang cerdas atau bisa disebut kota cerdas (smart city). Untuk itu, Pemkot Pekanbaru menjalin kerja sama dengan Badan Pusat Peneliti Teknologi (BPPT) Nasional. Rencana itu telah ditandai dengan kunjungan kerja Wali Kota Pekanbaru Firdaus, ST., MT. ke gedung BPPT di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, medio Oktober 2014.
Wali Kota Firdaus, ST., MT. didampingi Asisten II Dedi Gusriadi, Kepala Bappeda Sofyan, dan Kabag Kerjasama Taufik, Kabag Pembangunan Nasri, melakukan uji coba teknologi peralatan pemungutan suara sistim elektronik, Kamis (16/10) di Gedung BPPT, Serpong.)
Dalam kunjungan kerja ini, Wali Kota didampingi Asisten II Dedi Gusriadi, Kepala Bappeda Soyfan, Kabag Ortal Taufik, dan Kabag Adm. Pembangunan Nasri itu. Di BPPT, rombongan Wali Kota diterima Deputi Kepala BPPT Bidang Pengkajian Kebijakan Tekonologi, DR. Tatang A. Taufik serta seluruh jajaran pimpinan BPPT. Pertemuan tersebut didahului dengan paparan Wali Kota tentang gambaran serta profil Kota Pekanbaru, termasuk rencana-rencana pengembangan konsep smart city. Kemudian, dari paparan tersebut, Deputi Kepala BPPT memberikan tanggapan dengan menjelaskan sejumlah opsi tentang potensi tekonolgi apa saja yang sangat cocok diterapkan di Pekanbaru, mulai dari teknologi penataan taman kota hingga pengelolaan air bersih serta sistim penyusunan program pembangunan. Rombongan Wali Kota juga diberi kesempatan untuk melihat-lihat berbagai perangkat teknologi yang diproduksi oleh BPPT, seperti sistim pengelolaan air limbah yang diolah secara teknologi hingga menjadi air yang baik untuk keperluan sehari-hari. Dipertunjukkan juga teknologi komputer untuk menyusun program dan rencana pembangunan di daerah. Bahkan, Wali Kota Firdaus sempat mencoba perangkat teknologi pemungutan suara untuk pemilihan kepala daerah (pilkada) elektronik. Wali Kota Firdaus mengakui produk-produk teknologi informasi yang diproduksi oleh BPPT tersebut sangat layak untuk dimanfaatkan pemerintah daerah. Hal itu semakin menguatkan niat Firdaus untuk menjalin kerja sama dengan BPPT dalam berbagai bidang. Menurutnya, perangkatperangkat teknologi informasi tersebut sangat memadai dan mudah diaplikasikan serta digunakan oleh masyarakat luas. “Kami akan menjalin kerja sama dengan BPPT, setidaknya ada lima sektor yang sangat membutuhkan jalinan kerja sama ini, seperti PDAM dalam hal pengelolaan air bersih
Volume VIII DESEMBER 2014
23
B E R I T A
K O T A
dan sumber air bersih. Yang kita lihat tadi perangkat yang dimiliki BPPT sangat bagus, sehingga air limbah rumah tangga bisa diolah kembali menjadi air bersih,” ujar Wali Kota. Selain itu, menurut Firdaus, BPPT juga memiliki perencanaan dan perangkat penataan taman dan wajah kota yang sangat bagus dan cocok untuk mewujudkan konsep kota yang hijau berkelanjutan berbasis pengelolaan lingkungan. “Selain PDAM, kami juga akan bekerja sama di bidang kebersihan dan pertamanan, lingkungan hidup, Cipta Karya dan Bina Marga, serta Dinas Kesehatan dan Bappeda. Karena, kita bisa lihat, tekonologi komputerisasi yang dimiliki BPPT sangat cocok untuk digunakan dalam hal penyusunan program kegiatan dan pembangunan, serta memudahkan pula untuk mengawasi pelaksanaan program pembangunan tersebut,” jelas Walikota lagi. Humas Kota Pekanbaru
Raskin Award untuk Balikpapan ATAS dalam mengembangkan program ketahanan pangan, Pemerintah Kota (Pemkot) Balikpapan, Kalimantan Timur, dianugerahi Raskin Award 2014 oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Penghargaan diberikan oleh Menteri Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono dan diterima langsung oleh Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi di kantor Bulog, Jakarta, medio Oktober 2014. Berdasarkan Keputusan Menteri Koordinator Kesahteraan Rakyat Nomor 52 Tahun 2014, Kota Balikpapan mendapatkan penghargaan kategori khusus “Transparansi Program Terbaik”. Bagi Kota Balikpapan, Raskin Award 2014 merupakan penghargaan kali ketiga yang diperoleh atas kinerjanya dalam bidang ketahanan pangan. Pada tahun 2008 dan 2009, misalnya, Kota Balikpapan berturut-turut juga memperoleh Raskin Award. Penganugrahan Raskin Award dinilai dapat menjadi sarana evaluasi program penyaluran beras bagi masyarakat miskin (raskin) di seluruh Tanah Air. Kota Balikpapan memang tergolong kota yang memiliki kepedulian tinggi pada masalah ketahanan pangan bagi warganya. Pada akhir Oktober 2014, misalnya, Pemkot Balikpapan menggulirkan program bantuan sapi untuk kelompok tani peternak. Sedikitnya ada 115 ekor sapi yang diserahkan kepada empat kelompok tani di Kelurahan Kariangau yang merupakan salah satu sentral usaha penggemukan dan peternakan sapi potong di Balikpapan. Di kota ini memang ada beberapa sentra penggemukan sapi, seperti Kelurahan Karang Joang, Manggar, Teritip, dan Lamaru. Dalam acara penyerahan, Wali Kota menyerahkan 28 ekor sapi jantan dan betina untuk Kelompok Tani Sumber Makmur I, 36 ekor sapi jantan dan betina untuk Kelompok Tani Sumber Makmur II, 23 ekor jantan dan betina untuk Kelompok Tani Sumber Maju, dan 28 ekor sapi jantan beti-
24
Volume VIII DESEMBER 2014
Wali Kota Balikpapan, Rizal Effendi na untuk Kelompok Tani Ngudi Makmur. Dalam acara tersebut, Pelaksana Harian (Plh) Kepala Bidang Kehewanan dan Peternakan Dinas Pertanian, Kelautan dan Perikanan (DPKP) Kota Balikpapan Ratna, mengungkapkan, sampai saat ini kebutuhan sapi untuk Kota Balikpapan masih bergantung dari dari daerah lain. “Sekitar 97% suplai sapi berasal dari daerah lain, seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, NTB, dan NTT,” ungkap Ratna. Untuk itu, lanjutnya, pengembangan ternak sapi potong di Kota Balikpapan masih sangat dimungkinkan. Bantuan sapi dari Pemkot Balikpapan ini merupakan realisasi kegiatan pengembangan ternak sapi untuk tahun anggaran 2014. Berdasarkan data yang disampaikan Ratna, total dana yang disediakan untuk kegiatan ini mencapai Rp 958 juta guna pembelian 115 ekor sapi bibit. Pengadaan sapi bibit tersebut melalui proses dan mekanisme lelang. Sedangkan, untuk pemilihan petani dan kelompok tani penerima bantuan telah dilakukan sesuai dengan ketetapan. Penyerahan bantuan berupa sapi bibit ini juga disambut baik oleh petani peternak penerima bantuan tersebut. “Kami ucapkan terima kasih kepada Pemkot Balikpapan atas bantuan yang diserahkan kepada kami. Ke depannya, kami berharap mendapat bantuan mesin pemotong rumput, pengembangan kandang, dan air serta pakan ternak,” ujar Rusdi, salah seorang anggota kelompok tani penerima bantuan sapi. Usai menyerahkan bantuan sapi, Wali Kota Rizal Effendi berpesan agar para petani dan kelompok tani dapat memanfaatkan bantuan ini dengan baik. “Kami senang peternak bisa meningkatkan kesejahteraan melalui peternakan ini. Untuk itu, saya mohon agar sapi-sapi ini dapat dipelihara dengan baik,” ujarnya. Dijelaskan Wali Kota, meskipun Balikpapan ini merupakan wilayah perkotaan, tetapi tetap memungkinkan untuk pengembangan pertanian dan peternakan. Untuk itu, katanya, Pemkot akan terus membantu usaha peternakan, salah satunya dengan pembinaan kepada kelompok tani agar para petani dan peternak dapat meningkatkan kesejahteraan. Humas Pemkot Balikpapan
sakit,” kata Yamin, di sela-sela peluncuran Call Center 112. Menurut Wali Kota Parepare, selain memberikan layanan kesehatan darurat, Program Call Centre 112 juga akan memberikan pelayanan kesehatan umum ke masyarakat. Setiap Jumat, bekerja sama anggota Tim Penggerak PKK Kota Parepare, tim Call Center akan berkeliling melakukan bhakti sosial kesehatan di tengah masyarakat. Mereka akan melakukan pemeriksaan kesehatan, seperti gula, darah, dan kolestrol. Humas Pemkot Parepare
Wali Kota Parepare, H.M. Taufan Pawe
Kota Parepare Luncurkan Call Center Kesehatan UNTUK pelayanan dan memudahkan masyarakat, Pemerintah Kota (Pemkot) Parepare, Sulawesi Selatan, meluncurkan program Call Center 112 pada akhir Oktober 2014. Peluncurannya dilakukan oleh Wali Kota Parepare, H.M. Taufan Pawe di markas Call Centre 112 Parepare di pelataran Masjid Agung. Peluncuran ditandai dengan penekanan tombol sirene oleh Wali Kota Parepare, Ketua Tim Penggerak PKK Kota Parepare, dan anggota Forum Komunikasi Pimpinan Daerah. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kota Parepare, dr. Muhammad Yamin, peluncuran Call Center 112 merupakan hasil kerja sama Pemkot Parepare dengan tiga provider seluler. Program ini, menurutnya, akan memungkinkan warga yang mengalami kondisi darurat dapat menghubungi Call Centre 11 2 melalui handphone mereka. Selain itu, warga juga dapat menghubungi Call Centre 112 melalui telepon rumah. Program layanan Call Centre 112 ini salah satu terobosan penting Wali Kota Parepare Taufan Pawe di bidang pelayanan kesehatan. Program ini didukung 14 tenaga dokter dan 28 tenaga para medis yang telah bersertifikasi. Tenaga medis ini akan bekerja secara shift (bergantian). Program ini juga didukung tiga mobil ambulance yang dilengkapi peralatan medis standar. Dengan demikian, warga yang mengalami keadaan darurat bisa langsung diberikan bantuan medis di rumah mereka masing-masing. “Bila kondisi pasien dinilai membutuhkan penanganan lebih lanjut, oleh tim Call Centre pasien segera dibawa ke layanan kesehatan terdekat, seperti Puskesmas atau rumah
Denpasar Bersiap Sambut MEA 2015 GUNA persaingan yang semakin keras di pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar, Bali, terus melakukan persiapan. Salah satunya dengan memperkuat koperasi. Melalui Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah, misalnya, Pemkot Denpasar menggelar Sosialisasi Perkoperasian yang pada akhir Oktober 2014 diadakan di Denpasar Utara. Acara sosialisasi ini dihadiri Asisten Administrasi Pembangunan Setda Kota Denpasar Wayan Gunawan, Kepala Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah Kota Denpasar Luh Gede Hariasih, Camat Denpasar Utara Nyoman Lodera, serta para pejabat terkait lainya. Wali Kota Denpasar Ida Bagus Rai D Mantra memberikan sambutan tertulis yang dibacakan Asisten Administrasi Pembangunan Setda Kota Denpasar Wayan Gunawan. Dia mengatakan, tahun 2015 merupakan tahun akhir dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2010-2015 Kota Denpasar yang sekaligus merupakan tahun awal menghadapi MEA. Karena itu, menurut dia, perlu ada koordinasi dan sinergitas program antara Pemerintah Kota Denpasar dengan Pemerintah Provinsi Bali maupun Pemerintahan Pusat dalam merancang RPJMD 2015-2020 dengan merujuk Ren-
Volume VIII DESEMBER 2014
25
B E R I T A
K O T A
cana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional. Ia berpesan, dalam merancang pembangunan ekonomi kerakyatan harus diupayakan berbasis budaya unggulan. Sebab, menurutnya, satu kunci untuk menghadapi MEA 2015 ialah dengan pelaksanaan Rapat Anggota Tahunan (RAT) 2014 Koperasi diselenggarakan tepat waktu. Kegiatan sosialisasi seperti itu dipandang sangat perlu untuk digalakkan di tingkat koperasi di masing-masing kecamatan se-Kota Denpasar agar terbangun komunikasi dan koordinasi sesama penggiat koperasi. Saat ini, jumlah koperasi di Kota Denpasar sebanyak 1.025 koperasi. Jumlah itu belum termasuk puluhan ribu Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang tersebar di seluruh pelosok Kota Denpasar. “Maka perlu diadakannya evaluasi terhadap kendala dan hambatan yang dihadapi koperasi,” ujarnya. Tak hanya sosialisasi. Untuk memperkuat koperasi, Pemkot Denpasar juga menggelar semiloka untuk meningkatkan daya saing dunia usaha yang ada di Kota Denpasar. Semiloka yang berlangsung sehari tersebut dihadiri para pelaku usaha, asosiasi usaha, dan penggerak usaha mikro kecil menengah dan satuan kerja perangkat daerah terkait. Dalam semiloka hadir beberapa nara sumber, di antaranya Sekretaris Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Iwan Suyudhi Amri, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana Denpasar Wayan Gede Suparta, Komite Tetap Ekonomi Kreatif Kadin Provinsi Bali Gede Wede Arjawa, dan Kepala Badan BPPTSP dan PM AA Gede Rai Soryawan. Dalam kesempatan ini, Wali Kota Denpasar menegaskan bahwa untuk menghadapi MEA 2015, Pemkot Denpasar telah mempersiapkan dengan membangun ekonomi kreatif sesuai dengan visi dan misi. Pembangunan ekonomi kreatif tetap yang dilakukan akan tetap memperhatikan kearifan lokal serta mempercepat pertumbuhan dan memperkuat ekonomi. Dalam pembangunan ekonomi kreatif, menurut Rai Mantra, senantiasa ditopang enam pilar ekonomi kreatif, yaitu sumber daya insani, industri, teknologi, sumber daya alam, institusi, dan lembaga pemberdayaan. Dia menjelaskan, diberlakukannya MEA 2015 merupakan tantangan dan peluang serta ancaman bagi dunia usaha baik hotel restoran, koperasi, dan dunia usaha lainnya. “Karena itu perlu adanya persiapan matang dalam menghadapi MEA 2015. Semiloka semacam ini merupakan hal yang sangat bagus untuk mempersiapkan diri dan menambah pengetahuan dalam menghadapi persaingan ini,” ujarnya.
Gelaran Festival Kali Bekasi 2014 UNTUK kali kedua, Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi, Jawa Barat, menggelar Festival Kali Bekasi 2014. Festival dibuka pada Sabtu, 25 Oktober 2014, dan kegiatannya dipusatkan di lahan milik Perum Jasa Tirta II, samping Giant Hypermall Bekasi. Baru dua tahun terakhir ini Kota Bekasi menggelar Festival Kali Bekasi. Kegiatan ini menjadi salah satu upaya Pemkot Bekasi menjaga agar daerah aliran sungai Kali Bekasi lebih lestari, rindang, dan sejuk. Kegiatan ini sekaligus untuk melakukan konservasi di kali Bekasi. Ragam kegiatan yang dilakukan di antaranya menyisir kali Bekasi dilanjutkan dengan penanaman pohon di beberapa titik di wilayah kali Bekasi, kemudian lomba daur ulang sampah, dan lomba dayung. Festival diawali dengan penyisiran Kali Bekas yang dilakukan Wali Kota Rahmat Effendi, didampingi Wakil Wali Kota Ahmad Syaikhu, Komandan Kodim 0507/Bks Bram Abilowo, Kapolresta Bekasi Kota Rudi Setiawan, serta unsur Muspida. Mereka menggunakan perahu karet untuk menyisir Kali Bekasi, dimulai dari Cipendawa, Kelurahan Bojong Menteng, hingga Siphon Tarum Barat, Kalimalang. Tak hanya menyisiri sungai, mereka menanam pohon di beberapa titik. Pohon-pohon yang ditanam seperti pohon bambu, pohon jabon, dan pohon kelor. Tiga jenis pohon ini merupakan pohon-pohon untuk mendukung kelestarian dan kegiatan konservasi di Kali Bekasi. Bahkan, menurut penelitian, pohon kelor dan biji yang dihasilkannya mampu menjernihkan air. Menurut Wakil Wali Kota Bekasi Ahmad Syaikhu, Festival kali Bekasi 2014 merupakan program Pemkot Bekasi untuk menyejukkan kota dengan menggerakkan partisipasi masyarakat dan komunitas yang ada untuk menghijaukan Bekasi. “Kegiatan ini juga menjadi stimulus untuk memperbaiki lingkungan. Festival kali Bekasi telah dua kali digelar. Walaupun belum sempurna, ini niatan dan tekad kita agar Bekasi pada masa mendatang lebih baik dan lebih hijau,” Ahmad Syaikhu. Beberapa komunitas yang terlibat dalam fertival ini di antaranya Komunitas Pecinta Lingkungan, Komunitas Sastra Kalimalang, Komunitas Oerang Indonesia (Oi), Komunitas Sepeda Onthel, Komunitas Sepeda Motor, para pecinta lingkungan yang berasal dari himpunan mahasiswa pecinta alam di Bekasi, para peserta lomba dayung, hingga para pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Kota Bekasi. Dalam festival ini, para pelajar dari tingkat SMA dan SMK mengikuti lomba daur ulang sampah rumah tangga atau lomba 3R (Redeuce, Reuse, Recycle) atau kurangi sampah. Ahmad Syaikhu juga berharap program 3R ini mampu mengurangi volume sampah di wilayah Kota Bekasi. Humas Kota Bekasi
26
Volume VIII DESEMBER 2014
Wali Kota Pariaman, Mukhlis Rahman
Roadmap Reformasi Birokrasi Pariaman GUNA membenahi kinerja dan pelayanan birokrasi, Pemerintah Kota (Pemkot) Pariaman, Sumatera Barat, menyelenggarakan Workshop dan Fasilitasi Penyusunan Road Map Reformasi Birokasi di Lingkungan Pemerintah Kota Pariaman. Acara ini digelar di Aula Hotel Nan Tongga Kota Pariaman, akhir Oktober 2014. Workshop dihadiri pejabat dari Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Republik Indonesia, asisten, staf ahli, kepala SKPD, kabag, dan camat se-Kota Pariaman serta para peserta workshop yang diutus dari masing masing SKPD. Saat membuka workshop tersebut, Wali Kota Pariaman Mukhlis Rahman, mengatakan, dalam era reformasi, perubahan lingkungan terjadi begitu cepat. Perubahan segala aspek dalam kehidupan terjadi begitu cepat, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, dituntut juga adanya perubahan ke arah yang lebih baik dalam tata kelola pemerintahan, salah satunya melalui reformasi birokasi. Pembenahan birokasi, menurutnya, merupakan proses yang berkesinambungan dan menyeluruh karena menyangkut perubahan mindset, sikap, dan tingkah laku dari seluruh jajaran pegawai pemerintah, dari tingkat yang paling tinggi hingga tingkat pelaksana. “Contohnya dengan mengubah mindset para aparatur pemerintah, dari yang dilayani menjadi melayani,” ujarnya. Lebih lanjut dijelaskan, reformasai birokrasi merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintah, terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya manusia sebagai aparatur negara. Dalam hal ini, menurutnya, pelaksanaan workshop dan fasilitasi penyusunan Road Map Reformasi Birokasi adalah untuk menyamakan pemahaman dan pola pikir serta memberikan bimbingan dan arahan kepada para peserta birokasi pemerintahan Kota Pariaman serta dapat menerapkan Road Map Reformasi Birokasi di unit kerja masing-masing. Hadir sebagai nara sumber adalah pejabat dari Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi Republik Indonesia, Gatot Sugiharto,
Desmarwita, dan Raka Pamungkas. Pemkot Pariaman memang sedang giat melakukan perbaikan tata kelola pemerintahan. Sebelumnya, pada awal Oktober 2014, digelar Bimbingan Teknis Penatausahaan Aset Daerah bagi Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD). Pelaksanaan Bimtek ini hasil kerja sama Pemkot Pariaman dengan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Propinsi Sumatera Barat dan Direktorat Jenderal (Ditjen) Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Saat membuka Bimtek tersebut, Wali Kota Pariaman Mukhlis Rahman, mengatakan, pemanfaatan dan pengendalian aset tanah dan bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh pemerintah daerah yang mempunyai nilai ekonomis selama ini belum menjadi perhatian serius. Sebab, masih mengacu pada prinsip pendekatan nonekonomis sebagai perwujudan atas pelayanan publik (public service), pemerintahan yang baik (good governance), dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). “Padahal, penatausahaan barang milik daerah, yang meliputi pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan, yang berada di bawah penguasaan Pengguna Barang/ Kuasa Pengguna Barang harus dibukukan melalui proses pencatatan dalam Daftar Barang Kuasa Pengguna oleh Kuasa Pengguna Barang, Daftar Barang Pengguna oleh Pengguna Barang, dan Daftar Barang Milik Daerah oleh Pengelola Barang,” jelasnya. Proses inventarisasi, baik berupa pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan barang milik daerah merupakan bagian dari penatausahaan. Hasil dari proses pembukuan dan inventarisasi ini diperlukan dalam melaksanakan proses pelaporan barang milik daerah yang dilakukan oleh Kuasa Pengguna Barang, Pengguna Barang, dan Pengelola Barang. “Hasil penatausahaan barang milik daerah ini juga digunakan dalam rangka penyusunan Neraca Pemerintah Daerah setiap tahun serta perencanaan kebutuhan pengadaan dan pemeliharaan barang milik daerah setiap tahun, untuk digunakan sebagai bahan penyusunan rencana anggaran serta pengamanan administratif terhadap barang milik daerah,” jelasnya lagi. Wali Kota juga berharap bahwa semua orang harus memahami, bahwa bagaimanapun tertib administrasi, termasuk administrasi penatausahaan aset daerah, harus bisa dijamin. Jangan sampai ada kesalahan-kesalahan bersifat administratif, karena hal itu akan mendatangkan persoalan yang jauh lebih rumit dan lebih berat. “Karena itu, Bimtek ini hendaknya dapat menjadi forum yang mewadahi perumusan upaya penyempurnaan dimaksud. Berikanlah sumbangan pemikiran kita yang terbaik, karena masyarakat dan Pemerintah Kota Pariaman memang mengharapkan demikian,” tandas Mukhlis Rahman. Humas Kota Pariaman
Volume VIII DESEMBER 2014
27
B E R I T A
K O T A
Tangsel Dorong Dunia Usaha Gulirkan CSR Gerakan Kota Cirebon Tanpa Asap Rokok PEMERINTAH Kota (Pemkot) Tangerang Selatan, Banten, mulai mendorong keterlibatan kalangan swasta dalam merealisasikan program-program pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi daerah. Salah satu caranya, Pemkot Tangerang Selatan mendorong dunia usaha meningkatkan perannya memaksimalkan pemanfaatan dana melalui program tanggung jawab sosial kepada masyarakat atau CSR. Untuk itu, Pemkot Tangerang Selatan menggelar pertemuan dengan kalangan dunia usaha dalam acara Temu Investor bertajuk “Mari Menata Tangerang Selatan Melalui CSR” di Mercure Hotel Alam Sutera, Kecamatan Serpong Utara, 17 November 2014. Dalam acara tersebut, Wali Kota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany, mengatakan, peningkatan kegiatan perekonomian tentunya tidak terlepas dari adanya sinergi pemerintah daerah sebagai fasilitator dengan pihak swasta. Mengutip Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Airin menegaskan bahwa setiap perusahaan berkewajiban memberikan dana sosial. “Undang-undang tersebut mengisyaratkan perlunya harmonisasi perusahaan dengan masyarakat. Sehingga, masyarakat bukan hanya jadi penonton dari tumbuhnya suatu kawasan industri atau perdagangan dan jasa,” katanya. Dia menambahkan, masyarakat juga harus dilibatkan langsung dalam kegiatan ekonomi untuk kesejahteraan mereka. Demi mewujudkan harapan tersebut, Airin berniat mendorong semua perusahaan untuk aktif berpartisipasi dalam membangun kota. Di Kota Tangerang Selatan saat ini telah terbentuk Forum CSR Kota Tangerang Selatan dan jajaran pengurusnya telah dilantik. Untuk itu, Airin berharap, Forum CSR Kota Tangerang Selatan dapat menjadi wadah bagi perwujudan program pembangunan kota. “Lembaga tersebut juga mesti terus fokus terhadap program kerja yang telah disusun. Mampu meningkatkan komunikasi antar anggota dan pemerintah daerah serta menjalin kerja sama dengan stakeholder,” ujarnya. Di saat yang sama, Airin meminta kepada perusahaanperusahaan yang belum terlibat dalam Forum CSR untuk segera bergabung dan ikut aktif melaksanakan program CSR. “Jangan takut memberikan satu rupiah, karena bila kita ikhlas, Insya Allah rezeki bapak dan ibu semua akan ditambahkan. Dan bahkan dilipatgandakan,” harap Wali Kota Airin. Humas Kota Tangsel
28
Volume VIII DESEMBER 2014
PEMERINTAH Kota (Pemkot) Cirebon, Jawa Barat, mulai menggulirkan program Cirebon Kota Sehat Tanpa Asap Rokok mulai 2015. Pencanangan program ditandai dengan kegiatan Gebyar Gerakan Masyarakat Angkutan Tanpa Asap Rokok di halaman Balai Kota pada medio November 2014. Dalam kesempatan tersebut, Wali Kota Cirebon Ano Sutrisno, mengatakan, Pemkot Cirebon menyambut baik dan memberikan apresiasi yang tinggi kepada masyarakat yang secara bersama-sama dengan tulus bertekad membangun Kota Cirebon sebagai kota sehat tanpa asap rokok. Ia menilai, kegiatan yang diinisiasi oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) bersama Forum Kota Cirebon Sehat dan Bersih (Forkasih) merupakan gagasan yang sangat tepat. “Sebab, mewujudkan Kota Cirebon sebagai kota sehat merupakan tanggung jawab semua pihak. Diadakannya gerakan semacam ini tidak lain sebagai tindak lanjut dari dampak yang ditimbulkan masalah rokok yang sudah sangat mendesak untuk ditangani,” ujarnya. Dia menambahkan, kebiasaan merokok sudah meluas hampir di semua kelompok masyarakat, baik di kawasan perkotaan maupun di daerah pelosok perdesaan. Kondisi demikian, kata Ano, sudah sangat memprihatinkan. Bahkan, menurutnya, tren tersebut semakin meningkat, terutama di kalangan anak dan remaja sebagai generasi muda atau usia produktif. Menyitir data Badan Kesehatan Dunia (WHO), Ano mengatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga jumlah perokok terbesar dunia setelah China dan India. Sementara itu, berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Dinkes Kota Cirebon di SMA Negeri 2 beberapa waktu lalu, diketahui banyak siswa-siswi yang tidak merokok terjadi peningkatan kadar monoksida (CO) dalam darahnya cukup tinggi. Hal tersebut diduga akibat asap rokok yang terhirup selama menggunakan angkutan kota. Fakta tersebut menunjukkan bahwa lingkungan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya perkotaan pada situasi yang sangat rawan. Menurutnya, apabila kecenderungan tersebut tidak mampu dikendalikan, maka ketahanan daya dukung daerah perkotaan tidak akan dapat menerima beban masalah tersebut dan berdampak kepada menurunnya derajat kesehatan masyarakat. Dikatakannya, upaya dari gerakan bersama masyarakat angkutan kota sehat tanpa asap rokok, Pemkot juga berupaya untuk meraih pencapaian kota sehat pada tahun 2015 mendatang. Dengan itu, melalui program tersebut hendaknya dilaksanakan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. “Saya menegaskan mulai hari ini tidak ada lagi warga Kota Cirebon yang masih merokok di angkutan umum,” tandasnya. Humas Kota Cirebon
Pemkot Palembang Luncurkan Program Simpanan Keluarga Sejahtera PEMERINTAH Kota Palembang secara resmi meluncurkan program simpanan keluarga sejahtera (PSKS) yang diperuntukkan kepada masyarakat tidak mampu di Kota Palembang. Sekretaris Daerah Kota Palembang, H. Ucok Hidayat secara langsung menyerahkan secara simbolis pembayaran program simpanan keluarga sejahtera (PSKS) Tahun 2014, di PT. Pos Indonesia Kota Palembang, Jln. Merdeka (18/11). Ucok Hidayat mengungkapkan, Pemerintah mempercayakan kepada PT. Pos Indonesia untuk mendistribusikan program simpanan keluarga sejahtera (PSKS) tersebut. “penyerahan bantuan PSKS di Kota Palembang merupakan yang pertama kalinya, jumlah rumah tangga sasaran (RTS) di Kota Palembang yang akan menerima PSKS sebanyak 71.738 Kepala Keluarga. Jumlah ini hampir sama dengan masyarakat yang berhak mendapatkan kartu perlindungan sosial (KPS) sebagaimana data PPLS tahun 2011” ungkap Ucok Hidayat. Ucok Hidayat berharap dengan adanya program bantuan tersebut, akan bermanfaat bagi masyarakat, ‘dengan adanya program simpanan keluarga sejahtera ini diharapkan dapat membantu meringankan beban masyarakat tidak mampu yang ada di Kota Palembang, sehingga kita dapat membangun kota yang kita cintai ini bersama-sama sehingga visi Palembang Emas 2018 dapat kita wujudkan” tambah Ucok Hidayat. Sementara itu Kepala kantor Pos Kota Palembang, Rodi Herawan menjelaskan, sistem pemberian bantuan oleh PT Pos Indonesia dapat dilakukan dengan dua cara, “dapat melalui simpanan giro pos atau dapat juga menggunakan uang elektronik (Mandiri e-cash)” jelas Rodi Herawan. Dirinya menambahkan, syarat yang harus dipenuhi untuk mengambil dana PSKS tersebut yaitu “penerima harus membawa dan menunjukkan KPS yang telah diterima, membawa identitas asli, dan yang harus mangambil hanya diperbolehkan Kepala keluarga seperti yang tertera pada KPS” pungkasnya.
Program Kali Bersih Kota Padang PEMERINTAH Kota Padang, Sumatera Barat, tengah menggiatkan program kota bersih. Pada awal November 2014, misalnya, Wakil Wali Kota Padang Emzalmi meresmikan pelaksanaan kegiatan Program Kali Bersih yang dilaksanakan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Balai Wilayah Sungai Sumatera V, Kementerian Pekerjaan Umum, bertempat di SDN 30 Simpang Haru. Sebelumnya, pada akhir Oktober 2014, Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah telah mencanangkan program Padang Bersih.
Wakil Wali Kota Padang, Emzalmi Adapun, program Kali Bersih ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas air sungai sehingga memenuhi fungsi dan peruntukkannya. Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa sungai merupakan salah satu sumber air yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat. “Maka, sudah selayaknya dilakukan berbagai upaya untuk menjaga kelestarian dan kealamiannya,” ujar Wakil Wali Kota Emzalmi ketika meresmikan program Kali Bersih tersebut. Selanjutnya ia meminta kepada masyarakat agar tidak membuang sampah ke kali dan tidak menebang pepohonan di hulu sungai. “Jika terjadi erosi, otomatis akan mambawa tanah, pasir, dan sebagainya ke aliran sungai dari hulu ke hilir, sehingga menyebabkan pendangkalan pada badan sungai. Akibatnya lagi, jika terjadi hujan lebat maka badan sungai tidak mampu menampungnya, pada akhirnya jadi meluap, terjadi banjir. Banjir melanda yang menderita juga kita bersama,” imbuhnya. Sebelumnya, Wali Kota Mahyeldi Ansharullah telah mencanangkan program Padang Bersih bersamaan dengan perayaan tahun baru 1436 Hijriyah. Pencanangan ditandai dengan penabuhan beduk. Program Padang Bersih merupakan upaya Pemerintah Kota Padang menggerakkan masyarakat untuk semakin peduli pada kebersihan lingkungan kota. Pada kesempatan ini, Wali Kota Padang juga melakukan penyerahan kontainer pengangkut sampah serta satu unit truk pengangkut sampah kepada Lembaga Pemberdayaan Masyarakat. Kontainer dan truk tersebut nantinya akan ditambah pengadaannya sehingga memadai untuk penanggulangan sampah di setiap kelurahan. “Sarana ini akan terus kita tingkatkan agar penanggulangan sampah di Kota Padang tidak terkendala,” ujar Mahyeldi Ansharullah. Ia sekaligus berharap ada peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kebersihan lingkungan sehingga tumbuh budaya membuang sampah pada tempatnya serta melakukan pemilahan sampah organik dan unorganik. Humas Kota Padang
Volume VIII DESEMBER 2014
29
B E R I T A
K O T A
Kota Metro Bina Kelompok Informasi UNTUK meningkatkan jalinan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat, Pemerintah Kota Metro, Lampung, menggelar kegiatan Pembinaan Kelompok Informasi Masyarakat. Acara yang dilaksanakan oleh Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika Kota Metro pada ini medio November 2014 ini menghadirkan nara sumber Haris Setiadi dari Kementerian Komunikasi dan Informasi. Acara yang berlangsung tiga hari ini diikuti oleh Kelompok Informasi Masyarakat dari lima kecamatan yang ada di Kota Metro. Dalam uraiannya, Haris Setiadi menyampaikan soal peran penting Kelompok Informasi Masyarakat yang di zaman Orde Baru pernah dikenal sebagai Klompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa). Menurutnya, di era reformasi saat ini, di mana keterbukaan akses informasi sedemikian luasnya sementara di sisi lain kondisi sebagian masyarakat masih belum memiliki kemampuan memadai untuk menelaah muatan informasi, peran tersebut menjadi semakin penting. “Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) berperan sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat dalam penyebaran dan penyerapan informasi serta penyerapan aspirasi. Jadi, masyarakatlah yang membentuk kelompok untuk mengatasi persoalan bersama melalui akses dan pemberdayaan informasi. Nantinya, KIM inilah yang menjadi mitra dialog dengan pemerintah dalam merumuskan kebijakan publik,” papar Haris. Untuk itu, lanjut Haris, dalam melakukan aktivitas pengelolaan informasi, pengurus KIM harus mempunyai kemampuan “4M”, yakni melek huruf, melek teknologi, melek informasi, dan melek peradaban. Dengan kemampuan tersebut, seorang pengurus KIM akan lebih
30
Volume VIII DESEMBER 2014
mudah mengakses berbagai media atau literatur. Hal senada disampaikan Michael Suyono, Kepala Bidang Komunikasi Kota Metro yang turut mendampingi sebagai nara sumber. Menurutnya, informasi pemerintah semisal mengenai pentingnya program Keluarga Berencana (KB) akan lebih mudah disampaikan melalui pertunjukan rakyat (Jukra) yang ada di masyarakat. Saat ini, ia memberi contoh, pagelaran wayang dapat dianggap sebagai sarana cukup ampuh untuk menyelipkan informasi program pemerintah kepada masyarakat. Selain itu, imbuhnya, dengan melihat kondisi geografis Kota Metro yang sebagaian besar berupa tanah pertanian, maka peran kelompok tani dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bentuk KIM. “Potensi sumber daya informasi dalam masyarakat seperti halnya dalam kelompok tani harus dapat terolah dan termanfaatkan secara optimal, sehingga kesenjangan informasi dapat semakin terminimalisasi,” jelas Michael Suyono. Humas Kota Metro
Gebyar Ekonomi Kreatif Kota Binjai UNTUK mendorong perkembangan ekonomi kreatif, Pemerintah Kota (Pemkot) Binjai, Sumatera Utara, menggelar Gebyar Budaya dan Ekonomi Kreatif di Merdeka Walk, Jalan Balaikota Medan, 8-9 Nopember 2014. Pada kegiatan yang dibuka Wali Kota Binjai H.M. Idaham ini ditampilkan ragam acara, antara lain pameran produk ekonomi kreatif, hiburan tari dan lagu dari berbagai etnis, musikalisasi puisi oleh pelajar SMA, peragaan busana tenun, dan smock oleh Tim Penggerak (TP) PKK dan Dharma Wanita Kota Binjai. Menurut Kepala Dinas Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kota Binjai Eka Edi Syahputra, selaku Ketua Panitia Pelaksana, kegiatan yang baru pertama kali dilakukan ini bertujuan untuk mempromosikan Kota Binjai melalui produk- produk ekonomi kreatif dan seni budaya untuk membuka peluang pasar. “Kita berharap dengan kegiatan ini produk ekonomi kreatif Kota Binjai semakin dikenal di luar daerah, sehingga akan mampu menumbuhkembangkan ekonomi masyarakat dan mendatangkan wisatawan,” katanya. Dijelaskan, beberapa produk ekonomi kreatif yang ditampilkan merupakan produk unggulan yang banyak diminati masyarakat, seperti kerajinan bambu, akrilik,
Wali Kota Binjai, H.M. Idaham
makanan ringan, sepatu, dan lain-lain. Ada pula bibit tanaman jambu air dan bibit rambutan. Tentang dipilihnya Kota Medan sebagai lokasi kegiatan, menurut Eka, karena ibu kota Provinsi Sumatera Utara ini merupakan miniaturnya Indonesia yang jaraknya dekat dengan Kota Binjai. “Dengan demikian, hubungan kerja sama antara produsen dan pembeli menjadi lebih mudah dan peluang untuk terjadinya transaksi menjadi lebih terbuka,” tandas Eka. Kegiatan ini dihadiri konsul jenderal negara sahabat yang ada di Medan, pelaku industri pariwisata, dan sejumlah bupati/wali kota. Pemkot Binjai memang tengah mendorong pengembangan perekonomian rakyat melalui berbagai program unggulan. Sebagai contoh, pada 24 November 2014, Pemkot Binjai memberikan pelatihan pembuatan tusuk sate bagi kader Posyandu. Pelatihan ini dilaksanakan oleh Kantor Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PMK) dan Dinas Koperasi UKM dan Perindustrian Perdagangan Kota Binjai. Pelatihan pembuatan tusuk sate bagi kader Posyandu se-Kecamatan Binjai Timur bertempat di Ovani Convention Jalan T Amir Hamzah Kecamatan Binjai Utara. Saat membuka kegiatan tersebut, Wali Kota Binjai H.M. Idaham, mengatakan, pelatihan ini bertujuan untuk
meningkatkan pendapatan keluarga, khususnya bagi para ibu kader Posyandu. Dengan pelatihan, diharapkan kader Posyandu mampu membantu pendapatan keluarga tanpa harus bekerja meninggalkan rumah. Para kader Posyandu juga diharapkan bisa menyisihkan pendapatan mereka untuk kegiatan Posyandu sehingga Posyandu bisa mandiri. “Ke depan, Posyandu di Kecamatan Binjai Timur bisa menjadi salah satu Posyandu yang mandiri di Indonesia,” harap Idaham. Idaham meminta kepada seluruh kader Posyandu yang mendapatkan bantuan alat tusuk sate tidak khawatir karena semua bahan baku akan disediakan oleh Idaman Binjai Institute (IBI) serta hasilnya dapat dijual ke IBI. Permintaan pasar terhadap tusuk sate sangat tinggi. Sayangnya, peluang ini belum bisa dimanfaatkan dengan baik akibat terbatasnya produksi. Untuk menjawab peluang tersebut, lanjutnya, Pemkot Binjai telah melatih 300 ibu rumah tangga untuk mengikuti pelatihan pembuatan tusuk sate. “Dengan terlaksananya kegiatan ini, saya berharap ibu-ibu memiliki tambahan penghasilan, sebahagian pendapatan bisa ditabung. Jika kader Posyandu semakin semangat, maka seluruh masyarakat Binjai semakin sehat, agar tercipta Binjai sejahtera,” ucap Idaham. Humas Kota Binjai
Volume VIII DESEMBER 2014
31
A G E N D A
Mendongkrak Daya Saing dengan Ekonomi Kreatif
Para pemangku kota harus mencari berbagai terobosan guna memajukan ekonomi kreatif. Sebab, ekonomi kreatif akan mendongkrak daya saing kota dalam menghadapi pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.
P
ERTENGAHAN Oktober 2014, Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) menyelenggarakan Rapat Kerja Teknis (Rakernis) di Kota Bandung, Jawa Barat. Rakernis ini diikuti beberapa wali kota dan para pejabat yang merupakan utusan dari pemerintah kota seluruh Indonesia. Dalam Rakernis ini juga digelar diskusi panel yang mengusung tema “Peluang
32
Volume VIII DESEMBER 2014
dan Tantangan Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dan Ekonomi Kreatif Menghadapi Pasar Bebas ASEAN 2015”. Tampil sebagai nara sumber diskusi panel adalah I Wayan Dipta, Deputi Bidang Produksi Kementerian Koperasi dan UKM; Wisnu Bawa Tarunajaya, Kepala Pusat Kompetensi pada Badan Pengembangan Sumber Daya Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif —dalam Kabinet Kerja yang baru terbentuk, bidang ekonomi kreatif dipisahkan dari Kementerian Pariwisata dan akan dikelola oleh badan tersendiri; dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Wayan Dipta membawakan makalah berjudul “Kebijakan dan Tantangan Pengembangan Koperasi dan UKM Menghadapi Pasar Bebas ASEAN. Sementara itu, Wisnu Bawa menyampaikan presentasi dengan topik
Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil “Kebijakan dan Tantangan Pengembangan Ekonomi Kreatif Menghadapi Pasar Bebas ASEAN. Adapun, sebagai tuan rumah, Wali Kota Ridwan Kamil menceritakan pengalamannya mengembangkan ekonomi kreatif di Kota Bandung. Rakernis dibuka oleh Direktur Eksekutif APEKSI Sarimun Hadisaputra. Dalam sambutan pembukaan, Sarimun menegaskan bahwa salah satu kunci untuk memenangi persaingan dalam pasar bebas adalah inovasi. Karena itu, Sarimun mengingatkan, para pemangku kota, terutama wali kota dan jajarannya, harus mencari banyak terobosan, membuat berbagai inovasi, sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh setiap kota.
Peta Potensi DALAM diskusi panel, I Wayan Dipta menggambarkan betapa potensi ekonomi kawasan ASEAN, termasuk ekonomi kreatif, sangatlah besar. Mengutip data dari Sekretariat ASEAN 2012, Dipta menyebut total Gross Domestic Product (GDP) ASEAN mencapai sekitar 2.327 miliar dollar AS dengan pasar sebesar 600 juta jiwa. Artinya, dengan potensi demikian besar, ASEAN memiliki daya tarik yang tinggi. Saat ini, ASEAN telah memiliki lima Free Trade Agreement (FTA), yaitu dengan RRT (ACFTA), Jepang (AJCEPA), Korea Selatan (AKFTA), India (AIFTA, serta Australia-Selandia Baru
(AANZFTA). Hasil survey Japan ASEAN Integration Fund (JAIF) pada 2012 mencatat, 73% para pelaku bisnis di ASEAN yang menjadi responden berpandangan bahwa integrasi ASEAN akan memberikan manfaat peningkatan ekonomi, dan 64 % kalangan publik meyakini bahwa integrasi ASEAN akan meningkatkan kondisi ekonomi secara keseluruhan. Dalam konteks pasar bebas ASEAN, menurut Dipta, sesungguhnya Indonesia memiliki potensi yang sangat menguntungkan. Dalam beberapa tahun terakhir, misalnya, arus investasi mengalir deras ke Asia, terutama ke Asia Tenggara, sebagai dampak dari pelemahan ekonomi Amerika Serikat dan Uni Eropa. Inilah yang mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi yang cukup baik bagi Indonesia. Total PDB Indonesia pada 2013 sebesar 869,7 miliar dollar AS. Selain itu, peta usia penduduk Indonesia tergolong cukup muda, dengan sumber daya alam dan pasar yang besar, yang diyakini mampu mendukung produktivitas nasional sebagai pulling factor atau faktor pendorong pertumbuhan. Penyatuan pasar ASEAN dipastikan akan menyuguhkan peluang yang sangat besar. Kawasan ini menjadi pasar bersama dengan potensi sangat besar karena populasinya mencapai 600 juta jiwa. Di saat yang sama, meskipun porsinya masih relatif kecil (25%), terjadi tren perdagangan intra-ASEAN yang terus meningkat. Besarnya peluang tersebut dipastikan akan mendorong pengembangan industri nasional dan menjadikan Indonesia sebagai production base di kawasan dengan ditopang pasar domestik yang besar, penduduk usia muda/produktif, investasi yang meningkat, dan sumber daya alam yang besar. Salah satu potensi yang sangat layak dikembangkan oleh Indonesia, menurut Dipta, adalah sektor UMKM. Sebab, sektor ini dapat menjadi tulangpunggung perekonomian nasional dan telah terbukti berkontribusi secara signifikan bagi PDB. Selama ini, sek-
I Wayan Dipta tor UMKM menyerap sebanyak 97,2% dari seluruh tenaga kerja di Indonesia. “Dengan jumlah UKM lebih dari 56,5 juta atau terbesar di ASEAN, Indonesia harus menjadi penggerak utama pengembangan UMKM di ASEAN agar akses UMKM terhadap permodalan, teknologi, dan pasar semakin meningkat,” ujar Dipta. Hanya, Dipta memberi catatan, banyak tantangan yang dihadapi Indonesia untuk bisa membangun daya saing yang tinggi. Yang pertama adalah mengubah atau memperbarui mindset masyarakat Indonesia. Menurutnya, masyarakat Indonesia, khususnya pelaku usaha, belum seluruhnya mampu melihat MEA 2015 sebagai peluang. Kesadaran akan pentingnya merebut peluang tersebut masih sangat terbatas. Selain itu, masih perlu dilakukan sinkronisasi program dan kebijakan pemerintah antara pusat dengan daerah dalam menghadapi MEA 2015. Juga diperlukan kesamaan pandang di antara pejabat pusat dan daerah. Di sisi lain, Dipta juga melihat kondisi dan kesiapan infrastruktur juga masih lemah, khususnya bidang transportasi dan energi yang menyebabkan biaya ekonomi tinggi, utamanya sektor produksi dan bagi kegiatan pasar. Masalah lain adalah masih banyak pelaku usaha yang inward-looking atau masih memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pasar domestik, jumlah sumber daya manusia kompeten terbatas, dan
Volume VIII DESEMBER 2014
33
A G E N D A
birokrasi yang belum efisien dan belum sepenuhnya berpihak pada pebisnis. Sementara itu, dalam paparannya, Wisnu Bawa Taruna Jaya menjelaskan keterkaitan antara industri pariwisata dengan ekonomi kreatif. Menurutnya, produk dan jasa ekonomi kreatif dapat menjadi daya tarik utama bagi suatu daerah yang menjadi destinasi pariwisata. Selain itu, produk dan jasa ekonomi kreatif juga dapat menjadi media promosi yang efektif bagi daerah destinasi wisata. Lebih jauh Wisnu menjelaskan, saat ini dunia memang telah memasuki era ekonomi kreatif —setelah melewati era ekonomi pertanian, ekonomi industri, dan ekonomi informasi. Apa
Di Indonesia, menurut Wisnu, hingga 2013 sedikitnya terdapat 15 bidang usaha yang masuk kategori ekonomi kreatif, yaitu periklanan; arsitektur; pasar barang seni; kerajinan; desain; fesyen (fashion), film, video, dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan peranti lunak; radio dan televisi; riset dan pengembangan; dan kuliner. Yang termasuk lima besar adalah kuliner, fashion, penerbitan dan percetakan, desain, dan kerajinan. Ke15 bidang usaha kreatif ini 11,7 juta orang penggiat. Di daerah, menurut Wisnu, potensi ekonomi kreatif yang belum digarap secara maksimal masih sangat besar.
Produktivitas per Unit UMKM di Industri Pengolahan Tahun 2011 (Rp. Juta) Produktivitas UMKM di sektor unggulannya (populasi dan tenaga kerja UMKM terbesar) masih rendah
16
yang disebut sebagai ekonomi kreatif, menurutnya, pada dasarnya adalah ekonomi baru yang mengintegrasikan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonomi. Dengan demikian, ruang lingkup ekonomi kreatif sangat luas karena basisnya meliputi ilmu pengetahuan dan teknologi, desain, seni dan budaya, dan media. “Ekonomi kreatif juga memiliki fungsi strategis dalam pengembangan perekonomian,” ujar Wisnu.
34
Volume VIII DESEMBER 2014
Untuk itu, Wisnu menegaskan bahwa untuk terus mengembangkan ekonomi kreatif dengan baik lagi, diperlukan adanya komitmen yang tinggi dari pemerintah daerah. “Peluangnya besar, tapi tantangannya juga besar,” tandasnya.
Karakter dan Keunikan SEMENTARA itu, tampil sebagai nara sumber terakhir dalam diskusi panel tersebut, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil memulai paparannya dengan
memberikan banyak contoh kota-kota, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain, yang sukses mengembangkan ekonomi kreatif sehingga mampu meningkatkan daya saing dan menjadikan kota tersebut sebagai destinasi utama masyarakat dunia. Dari pengalamannya mengunjungi berbagai kota yang sukses mengembangkan ekonomi kreatif, Ridwan Kamil mengambil kesimpulan bahwa kota-kota tersebut berhasil menggali dan mengembangkan potensi masing-masing yang memiliki karakter dan keunikan tersendiri. “Kreativitas mereka benar-benar orisinal, tidak sekadar peniruan,” ujarnya. Karena itu, menurutnya, setiap kota perlu mendorong tumbuh-kembangnya komunitas-komunitas warga kota yang bisa berfungsi sebagai tempat persemaian lahirnya ide-ide kreatif. Namun, ide kreatif saja tidak cukup untuk mengembangkan ekonomi kreatif. Masih harus didukung dengan proses produksi dan marketing yang baik. Dia menambahkan, pengembangan ekonomi kreatif menganut satu konsep yang dia sebut “Kuadrohelix” di mana maju tidaknya ekonomi kreatif ditentukan oleh empat pelaku, yaitu akademisi, pebisnis, komunitas, dan pemerintah. Dengan demikian, menurutnya, tugas pemerintah daerah atau pemerintah kota adalah menyatukan empat komponen sebagai pelaku ekonomi kreatif dalam satu kesatuan seperti tergambar dalam rumus “Kuadrihelix” tersebut. Hal tersebut, menurut Ridwan Kamil, juga sudah dilakukan di Kota Bandung. Ia telah menghidupkan banyak komunitas warga kota dan mensinergikan dengan pelaku usaha serta akademisi. Bahkan, di Kota Bandung juga telah dibentuk Dewan Penasihat Ekonomi Kreatif. “Akan banyak kemajuan ekonomi kreatif di Bandung. Tapi jangan lupa, marketing juga sangat penting dan menjadi salah satu kunci. Misalnya, jangan segan berinvestasi di media massa agar lebih dikenal,” tandasnya.
Menyiapkan Kota Tanggap Perubahan Iklim Untuk menyiapkan pemerintah kota yang tanggap terhadap risiko perubahan iklim, Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) menyelenggarakan Training Climate Risk Assessment di Jakarta, 7-9 Oktober 2014. Pelatihan dibuka Direktur Pengembangan Program dan Advokasi APEKSI Sri Indah Wibi Nastiti. Pesertanya dari Kota Manado, Pontianak, Banjarmasin, dan Banda Aceh.
T
RAINING terlaksana atas bekerja sama APEKSI dengan Mercy Corps Indonesia. Training ini diadakan untuk membekali pegawai pemerintah kota agar tanggap terhadap dampak dan ancaman perubahan iklim. Karena itu, peserta training dibekali materi soal bagaimana menyusun kajian kerentanan dan strategi ketahanan kota dalam mendukung kota Indonesia untuk membangun ketahanan perubahan iklim di kota masing-masing. Perubahan iklim atau climate change, sebagaimana diketahui, semakin hari semakin mengancam kehidupan umat manusia dan keanekaragaman hayati yang ada di muka Bumi. Indonesia, sebagai negara kepulauan, terbukti sangat rentan terhadap perubahan iklim yang berujung pada bencana. Seperti, banjir, longsor, kemarau panjang, angin kencang, dan gelombang air laut pasang. Ancaman itu sangat dirasakan masyarakat petani, nelayan, serta wilayah perdesaan maupun perkotaan. Wilayah di Indonesia menghadapi ancaman yang serius seperti krisis pangan akibat kekeringan, rusaknya infrastruktur karena banjir, pulau-
pulau yang tenggelam, dan rusaknya daerah pesisir karena peningkatan permukaan laut, yang semuanya merupakan dampak akibat perubahan iklim. Munculnya penyakit tropis dan punahnya beberapa spesies flora maupun fauna juga karena tak mampu beradaptasi. Direktur Pengembangan Program dan Advokasi APEKSI Sri Indah Wibi Nastiti, mengatakan, dampak perubahan iklim telah nyata dirasakan oleh hampir seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia, khususnya di wilayah perkotaan. Namun, lanjutnya, masih banyak masyarakat perkotaan yang belum memahami. Untuk itu dibutuhkan upaya peningkatan pemahaman tentang dampak perubahan iklim serta upaya untuk antisipasi maupun adaptasinya. Perubahan iklim telah memberikan dampak semakin tingginya intensitas bencana yang timbul, seperti banjir, rob, kekeringan, angin putting beliung, hingga ketidakpastian musim, penurunan produktivitas pertanian, serta wabah penyakit. “Langkah antisipatif perlu dilakukan sejak dini sehingga kota mampu meminimalisasi kerugian yang diakibatkan bencana. Di sinilah diperlukan adanya perencanaan ketahanan iklim yang dapat dilakukan
melalui penyusunan Kajian Kerentanan dan Strategi Ketahanan Iklim,” terangnya. Karena itu, tarining ini dilakukan untuk membekali aparat pemerintah kota mampu meningkatkan pemahaman dan kompetensi terkait perubahan iklim beserta dampaknya bagi perkotaan. Selain itu, melalui training ini pemerintah kota dapat menerapkan konsep dan metodologi kajian kerentanan dan mengukur dampak dari level kerentanan berdasarkan indikator-indikator kerentanan, serta membuat scenario perubahan iklim, menyusun dokumen kajian risiko iklim serta mentransfer pengetahuan dan kompetensi pihak terkait di lingkungan perkotaan. Training ini ini didampingi oleh trainer Teguh Ardhiwiratno (APEKSI), Devy Munir (APEKSI), Ahmad Wahyudi (BLH Pemerintah Kota Bandar Lampung), dan Jawoto Setyono (Dosen UNDIP Semarang). Pelatihan ini dihadiri pihak Mercy Corps, di antaranya Shinta Michiko, Hartati Sinaga, dan Nyoman Prayoga.
Kerja Sama BNPB SELAIN dengan Mercy Corps, APEKSI juga menjalin kerja sama dengan Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Badan Nasional Penanggulangan Bencana guna mempersiapkan pemerintah kota yang memiliki pemahaman cukup tentang pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim. Dengan kerja sama itu, pada 1-3 Desember 2004 digelar Pelatihan Pengurangan Risiko Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim untuk Kelompok Kerja Perubahan Iklim APEKSI di Pusdiklat BNPB Bogor, Jawa Barat. Pelatihan ini diikuti peserta dari Kota Bandar Lampung, Cirebon, Sukabumi, Pekalongan, Probolinggo, dan Makassar. Pelatihan dibuka oleh Kepala Pusdiklat BNBP Bagus Tjahyono. Pelatihan ini menghadirkan sejumlah trainer dari BNPB dan Mercy Corps Indonesia.
Volume VIII DESEMBER 2014
35
A G E N D A
Solusi Penanganan Perubahan Iklim Jika tidak dicarikan solusi yang tepat untuk penangannya, perubahan iklim yang ektrem akan berdampak luas pada kehidupan masyarakat. Ancaman bencana pun semakin nyata. Karena itu diperlukan sinergi antarpemerintah daerah untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim yang sulit diprediksi.
G
UNA memperkuat kesiapan pemerintah daerah dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, bekerja sama dengan Mercy Corps Indonesia dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), menyelenggarakan Forum Nasional Adaptasi Perubahan Iklim. Forum ini dimaksudkan untuk mencari solusi dan tindak lanjutnya atas kesenjangan penanganan perubahan iklim antara satu daerah dengan daerah lainnya. Forum ini pun dijadikan ajang saling tukar informasi dan pengalaman di antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan perwakilan komunitas perubahan iklim. Forum Nasional Adaptasi Perubahan Iklim Tahun 2014 ini mengambil tema “Peran Multi-pihak dalam
36
Volume VIII DESEMBER 2014
Upaya Adaptasi Perubahan Iklim”, dan berlangsung selama dua hari, 4-5 Desember 2014 di Gedung Manggala Wanabakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta. Seminar dan dialog nasional ini dihadiri 34 perwakilan dari provinsi di Indonesia. Pelaksanaan Forum Nasional Adaptasi Perubahan Iklim dibagi dalam lima sesi. Sesi pertama membahas aksi adaptasi yang telah dilakukan aktor lokal dengan pemaparan Kegiatan API-PRB Best Practice untuk NGO, seperti SMS Gateway untuk petani dan nelayan di Kupang,Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Peringatan Dini Banjir di DAS Beringin, Semarang-Bintari. Selain itu, ada pemaparan Best Practice Komunitas meliputi Penguatan Ketahanan Masyarakat untuk APIPRB Dukuh Serut; Infus Tanaman untuk Mengatasi Kekeringan di Banain, NTT; Sekolah Hijau yang Responsif terhadap Perubahan Iklim di SMP 7 Bandar Lampung. Selanjutnya, pada sesi kedua dibahas masalah bentuk kolaborasi yang telah dilakukan oleh pihak swasta dan pemerintah daerah dalam implementasi upaya adaptasi perubahan iklim. Seperti, Inovasi dan Aksi Kolaborasi dalam Implementasi API; Studi Kasus tentang Kerja Sama Swasta untuk Aksi Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana; Skema Asuransi Kebencanaan: Tantangan dan Peluang untuk Pengembangan sebagai SkemaAdaptasi–ACCA Insurance. Ada juga Studi Kasus Kolaborasi Swasta dan Masyarakat untuk Aksi Adaptasi Perubahan Iklim yang disampaikan pengusaha nasional FransKawilarang. Terakhir, ada Studi Kasus kerja sama pemerintah kota dan aktor swasta dalam kerangka API dan
PRB dari KotaTarakan dan Kota Pekalongan. Pada sesi ketiga, pemaparan diisi perwakilan dari pemerintah pusat yang menjabarkan kerangka kebijakan adaptasi perubahan iklim di tingkat nasional. Seperti, Kerangka Kebijakan Adaptasi Perubahan Iklim di dalam Sistem Pembangunan Nasional Kementerian Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Pengarusutamaan Upaya Adaptasi Perubahan Iklim di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Implikasi Kerangka Kerja Global Adaptasi Perubahan Iklim terhadap Kerangka Kerja Nasional serta Kesesuaiannya (DNPI). Lalu, sesi keempat membahas kebijakan sektoral terkait adaptasi perubahan iklim. Pada hari kedua diadakan workshop mengenai Kebijakan Sektor dalam Mengimplementasikan Adaptasi Perubahan Iklim PDPT, Modul MBAPI (KKP), serta Pertanian dan Ketahanan Pangan (Kementerian Pertanian). Topik lain adalah Keterkaitan Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana, RENAS PB, dan Metodologi Kajian Risiko berdasarkan PERKA BNPB Nomor 02/2012 (BNPB), Kerangka Kerja dan Metodologi Konvergensi API-PRB (UNDP), serta Program SPARC (UNDP). Sesi terakhir adalah forum dialog antara pemerintah pusat dan APEKSI yang diwakili oleh Ketua Pokja Perubahan Iklim dengan menyampaikan sejumlah permasalahan dan rekomendasi terkait upaya konvergensi Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana. Sesi ini lebih spesifik membahas mengenai tantangan-tantangan, peluang, dan kendala yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam melakukan upaya terkait API-PRB.
Denpasar Gelar
Konferensi Kota Sehat Pemerintah Kota Denpasar, Bali, menggelar Indonesia Healthy City Conference & Expo pada 21-22 Oktober 2014 di Denpasar, Bali. Konferensi ini terselengara atas kerja sama Pemerintah Kota Denpasar dengan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI).
K
ONFERENSI ini sejatinya diinisiasi Kementerian Kesehatan yang dimaksudkan sebagai ajang konferensi dan pameran dengan tujuan untuk melahirkan gagasan-gagasan baru tentang upaya membangun kota sehat di Indonesia. Selain itu, juga untuk mensosialisasikan program dan keberhasilan pemerintah daerah dalam membangun kota sehat serta memamerkan produk,
teknologi, dan jasa yang diperlukan dalam mewujudkan kota sehat. Konferensi diinisiasi karena jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2010, misalnya, penduduk yang tinggal di daerah perkotaan mencapai 118,3 juta jiwa atau 49,79%, dan diprediksi pada 2020 angkanya akan mencapai 56,7 %. Pertumbuhan penduduk inilah yang menimbulkan berbagai masalah
lingkungan, sosial, dan pada akhirnya bermuara kepada masalah kesehatan. Masalah lain yang muncul adalah kepadatan lalu lintas, pencemaran udara, pemenuhan penyediaan air minum, perumahan kumuh, kriminalitas, kekerasan, penggunaan obat terlarang, dan pelayanan kesehatan yang kurang memadai. Dua kali berturut-turut, Konferensi ini diselenggarakan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, pada 2012 dan 2013. Pada 2014, Indonesia Healthy City Conference & Expo 2014 kembali diselenggarakan. Kali ini di Denpasar. Tema yang diusung Indonesia Healthy City Conference & Expo 2014 ini adalah “Developing Healthy Cities for Better Life”—Konferensi dan Pameran Pembangunan Kota Sehat di Indonesia. Kegiatan ini berlangsung di Hotel Sanur Paradise, dan dihadiri lebih 250 peserta dari perwakilan pemerintah provinsi, pemerintah kota, pemerintah kabupaten, rumah sakit, BUMN, BUMD, akademisi, swasta, dan umum. Konferensi ini bertujuan untuk melahirkan gagasan-gagasan baru tentang upaya membangun kota sehat di Indonesia. Diharapkan, semua kota dan kabupaten menjadi kota sehat, bukan sekadar predikat, tetapi dapat menerapkan di sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Adapun sejumlah materi yang dibahas di antaranya, grand design pembangunan kota sehat dunia, langkah-langkah strategis terwujudnya lingkungan dan masyarakat sehat, dan kota sehat dalam kerangka pembangunan daerah. Indonesia Healthy City Conference and Expo 2014.Conference dibuka Direktur Jenderal Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan M Subuh, didampingi Wali Kota Denpasar Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra, Sekda Kota Denpasar AAN Rai Iswara, dan beberapa pejabat dilingkungan Kementerian Kesehatan serta pejabat dari Pemerintah Provinsi Bali. Dalam sambutannya, M Subuh mengatakan, tantangan ke depan
Volume VIII DESEMBER 2014
37
I N F O
A P E K S I
dalam mewujudkan kota sehat dengan permasalahan yang banyak di luar kesehatan. Yakni, masalah permukiman, infrastruktur, drainase, dan permasalahan lainnya. Dengan demikian, diperlukan peran lintas sektoral yang dikemas dalam satu kebijakan yang bisa mengubah perilaku maupun peran serta yang lebih aktif dari masyarakat. “Dalam mewujudkan kota sehat, dibutuhkan peran serta yang baik antara pemerintah, masyarakat, dan LSM, serta para pelaku bisnis, sehingga pemerintah dapat lebih membuka diri dan memberi peran lebih besar kepada masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat serta lebih memahami aspirasi kebutuhan masyarakat secara langsung. Penegakan hukum yang sifatnya top down dan instusional harus dikurangi, dan kebutuhan masyarakat dapat diutamakan,” ujarnya. Sementara itu, Wali Kota Denpasar Rai Dharmawijaya Mantra, mengatakan, perwujudan kota sehat tidak bisa hanya dilaksanakan Dinas Kesehatan, namun harus melibatkan lintas satuan kerja dengan program
38
Volume VIII DESEMBER 2014
holistik. “Adanya pertemuan ini menjadi wahana tukar pikiran antarmasingmasing daerah di Indonesia, sehingga pelaksanaan program kota sehat tidak saja dapat dilakukan oleh pemerintah, namun juga dapat meningkatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat,” terangnya. Acara hari pertama menampilkan diskusi panel dengan pembicara Wali Kota Denpasar Rai Dharmawijaya Mantra dengan tema Denpasar Menuju Kota Sehat Dunia; Kepala Representatif WHO Indonesia Kanchit Limpakarnjanarat (Grand Design Pembangunan Kota Sehat Dunia); Ketua Kolegium Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI) Hening Darpito (Langkah-langkah Strategis Terwujudnya Lingkungan dan Masyarakat Sehat); Kepala Subdit Konservasi dan Rehabilitasi Ditjen Bina Bangda Kementerian Dalam Negeri (Kota Sehat dalam Kerangka Pembangunan Daerah);serta Ketua Umum APEKSI GS Vicky Lumentut (Tantangan Daerah dalam Membangun Kota Sehat Mandiri). Acara ini diakhiri dengan
City Tour & Dinner Party. Hari kedua dilanjutkan diskusi panel yang menghadirkan pembicara Kepala Seksi Pelayanan UP Jamkesda Provinsi DKI Jakarta Evi Marni Nasril dengan judul Jakarta, Model Pelaksanaan Jaminan Sosial Kesehatan Masyarakat; Direktur Kepesertaan dan Hubungan Antarlembaga – BPJS Kesehatan Sri Endang Tidarwati W (Implementasi Kebijakan Jaminan Sosial Kesehatan Masyarakat); Ketua Kompartemen Manajemen Risiko dan BPJS Himpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Daniel Budi Wibowo (Tantangan Bagi Rumah Sakit dalam Implementasi Jaminan Sosial Kesehatan); Deputi Bidang Pengelolaan B3, Limbah B3, dan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup M Ilham Malik (Manajemen Sanitasi Lingkungan dan Pengelolaan Limbah yang Berkelanjutan); Dina Hartadi dari Green Building Council Indonesia (Green Product dan Pembangunan Ramah Lingkungan); Koentjoro Wahyoe Poetro dari Wika Realty (The Best Investment at Sunset Road – Kuta Bali); dan Lita Sri Andayani dari Universitas Sumatera Utara, (Analisis Peran Stakeholders dalam Mewujudkan Kota Sehat di Medan). Kegiatan Indonesia Healthy City Conference & Expo 2014 di Bali ini menghasilkan beberapa rekomendasi yang ditujukan ke Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri. Rekomendasi tersebut antara lain, pertama, pertemuan Indonesia Healthy City Conference & Expo dijadikan agenda rutin dua tahunan. Kedua, terkait pembinaan, pendanaan, dan penyenggaraan kota sehat perlu dibuatkan regulasi dari pemerintah yang mewajibkan SKPD dan peran serta pihak swasta secara aktif. Ketiga, perlu adanya regulasi dari Kementerian Dalam Negeri yang mengatur tentang pembiayaan Forum Kota/ Kabupaten Sehat, Forum Kelurahan/ Desa Sehat di kecamatan dan Pokja Kelurahan/Desa Sehat. Keempat, merekomendasikan kota Padang sebagai penyelenggara 4th Indonesia Healthy City Conference & Expo 2016.
Kerja Sama APEKSI dengan Media Indonesia
Sebagai sebuah lembaga, pemerintah kota perlu membangun jaringan komunikasi yang efektif dan citra yang positif kepada masyarakat luas. Hal itu akan mendorong terbangunnya pemerintahan yang partisipatif dan pelaksanaan pembangunan yang efektif demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, pejabat Hubungan Masyarakat (Humas) Pemerintah Kota memiliki tugas dan peran penting.
Volume VIII DESEMBER 2014
39
I N F O
A P E K S I
M
ENYADARI betapa penting peran Humas Pemerintah Kota, Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) menyelenggarakan pelatihan jurnalistik bagi pejabat Humas Pemerintah Kota. Pelatihan yang dilaksanakan pada 1920 November 2014 di Jakarta ini hasil kerja sama APEKSI dengan Harian Media Indonesia. Pelatihan diikuti 25 perwakilan dari pemerintah kota dan swasta di Indonesia. Direkstur Eksekuti APEKSI Sarimun Hadisaputra, dalam sambutannya mengatakan, humas sebagai corong pemerintah kota harus mampu beradaptasi lebih baik dengan media pemberitaan yang ada. Ini penting agar apa yang dikerjakan pemerintah kota terinformasikan dengan baik di tengah masyarakat. “Pelatihan seperti ini dapat menjadi penghubung media dengan humas,“ paparnya. Sarimun juga mengingatkan, pelatihan yang berlangsung selama dua hari ini memang tergolong singkat. Namun, ia berharap kegiatan ini dapat meningkatkan pengetahuan humas di lingkungan pemerintah kota akan dunia jurnalistik, “Apalagi, informasi dan jurnalistik saat ini terus berkembang seiring dengan kemajuan zaman,” terangnya. Sementara itu, Direktur Pemberitaan Media Indonesia Usman Kansong, yang menjadi pembicara dalam pelatihan jurnalistik tersebut, mengatakan, peserta pelatihan jurnalistik dari pemerintah kota ini diharapkan mampu memutus jarak yang selama ini kerap terjadi antara humas dan media yang ada. Melihat kondisi saat ini, Usman menilai upaya revitalisasi peranan kehumasan sangat penting dan menjadi tuntutan yang mendesak dan wajib dilaksanakan di semua instansi pemerintah. Ia menyebut saat ini sebagai momentum strategis untuk melakukan perubahan tatanan peranan kehumasan yang dapat
40
Volume VIII DESEMBER 2014
Direktur Eksekutif APEKSI dan Direktur Pengembangan Bisnis Media Indonesia menunjukkan MoU bersinergi secara efektif. Sebab, humas pemerintah selalu dituntut kemampuannya dalam menghadapi tantangan dan perubahan lingkungan yang sangat cepat. Dia menilai, selama ini peran dan fungsi humas di lingkungan pemerintahan daerah masih sangat terbatas dan belum optimal. Alasannya, karena keterbatasan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dari para pejabat humas itu sendiri dalam penguasaan substansi tugas dan peran. Di samping itu, biasanya orang yang ditempatkan di humas tidak memiliki kualifikasi kehumasan, dan pemahaman tentang arti dan fungsi dari humas itu sendiri masih kurang. Lebih lanjut dijelaskan, dalam sebuah organisasi, khususnya di lingkup pemerintahan daerah, humas memegang peranan yang sangat penting dan strategis. Selain itu, dalam kegiatan komunikasi, humas juga berfungsi sebagai jembatan untuk membangun suasana yang kondusif dalam kerangka win-win solutions’ antarberbagai stakeholders organisasi, baik internal maupun eksternal dalam rangka membangun image atau citra dari organisa-
si pemerintah itu sendiri. Menurut Usman, peran dan fungsi humas pemerintah selama ini masih kalah kelas bila dibandingkan dengan public relations organisasi bisnis atau kalangan dunia usaha lainnya. Karena itulah, Usman menegaskan bahwa sudah saatnya kompetensi dan profesionalitas kehumasan di lingkungan pemerintah daerah ditingkatkan. Di sela pelatihan jurnalistik tersebut, dilakukan pembaruan kerja sama antara APEKSI dengan Media Indonesia. Kerja sama ini sudah berlangsung sejak 2013, namun diperbarui tiap akhir tahun. Pada 9 Desember 2014, APEKSI dan Media Indonesia kembali meneken naskah kerja sama untuk tahun ketiga, yaitu periode 2015. Ruang lingkup kerja sama, selain menyelenggarakan pendidikan jurnalistis bagi humas di lingkungan pemerintah kota, juga mencakup peliputan yang dilakukan Media Indonesia terkait kegiatan APEKSI yang berskala nasional. Penandatanganan naskah kerja sama dilakukan oleh Direktur Pengembangan Bisnis Media Indonesia Shanty Nurpatria dan Direktur Eksekutif APEKSI Sarimun Hadisaputra.
Forum Pengembangan E-Government
Organisasi penguatan e-government pemerintah daerah seluruh dunia atau World e-Government Organization) of Cities and Local Governments (WeGO), pada 4-5 Nopember 201 menyelenggarakan 3rd WeGO General Assembly 2014 di Chengdu, Tiongkok. Volume VIII DESEMBER 2014
41
I N F O
A P E K S I
K
EGIATAN WeGO ke-3 ini meliputi konsultansi, pelatihan, pertukaran pengalaman, pemberian penghargaan e-governance, dan toolkit untuk menganalisis kesiapan e-government. Acara WeGo dibuka Sekretaris Jenderal WeGO, yang juga Kepala Departmen Infokom Kota Seoul, Korea Selatab, Gunso Kim. Sebagai kegiatan internasional, WeGO menampilkan nara sumber dari berbagai negara. Salah satu nara sumber adalah Direktur Pengembangan Program dan Advokasi Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) Sri Indah Wibinastiti. Dalam forum itu, Sri Indah Wibinastiti memaparkan materi soal perkembangan pelaksanaan egovernment di lingkungan Pemerintah Kota di Indonesia. Acara ini diikuti 250 peserta yang terdiri dari 38 negara dan 80 kota di seluruh dunia. Mereka adalah para wali kota dan jajaran pejabat kotakota anggota, pakar, peneliti, lembaga donor, lembaga riset, dan swasta yang bekerja dalam pengembangan e-government dari seluruh dunia. Dari Indonesia, yang menjadi peserta adalah Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Riau, Kota Bandung, dan Kota Baubau. DKI Jakarta merupakan salah satu Vice President dari WeGO bersama 5 kota lainnya, seperti Barcelona, Chengdu, Hebron, Khartoum State, dan Sennar State. Sedangkan, President WeGO adalah Seoul dan Executive Vice President adalah Ulyanovsk (Rusia). Perwakilan pemerintah daerah ini menjadi anggota aktif WeGO. Keberadaan WeGO mendapat dukungan keuangan dari Pemerintah Republik Korea Selatan dan pendanaan dari Bank Dunia. Secara teknis, WeGO mendapat dukungan dari National Information Society Agency. Agenda hari pertama WeGO, 4 November, diawali dengan internal WeGo, yaitu Executive Committee Meeting pada pagi hari. Sedangkan,
42
Volume VIII DESEMBER 2014
Kedua, 1,6 miliar pengguna jejaring sosial di seluruh dunia dan jumlah perangkat elektronik, hanya kurang sedikit dari jumlah penduduk dunia dan diperkirakan akan mencapai 26 miliar pada tahun 2020. acara yang mengikutsertakan peserta umum mulai berlangsung di siang hari. Diawali dengan Workshop Session I dengan tema Open Government for Collaborative Governance. Kemudian, sesi berikut adalah sesi paralel, yaitu Master Class I, terdiri dari tema WeGO e-Gov Frame: Building Efficient and Citizen-centric e-Government Systems with the WeGO eGov Frame dan CeDS Toolkit: Assessing Your City’s e-Government Maturity Level with CeDS Toolkit. Agenda hari kedua merupakan acara General Assembly ke-3 dari WeGO. Agenda hari kedua ini diawali pembukaan General Assembly pada pagi hari, dan siang hari berlangsung Mayor’s Roundtable Meeting. Pada kesempatan tersebut juga diserahkan WeGO Awards pada sejumlah kota anggota WeGO pemenang dengan katergori: Services, Efficiency, Open City, Urban Management, Digital Divide di mana dari masing-masing kategori dipilih Best e-Government Prize, Outstanding e-Government Prize, dan Most Promising e-Government Prize. Sore harinya, kembali dilaksanakan sesi paralel dengan tema Transformatic Technology Solutions to Enhance Citizen Engagement dan Partnering for Smart and Sharing Cities. Sedangkan, di hari ketiga merupakan ke-
giatan city tours dengan mengunjungi pusat konservasi panda (Giant Panda Centre) dan sistem irigasi untuk mengatasi banjir yang dulu sering terjadi di Kota Dujiangyan, sekitar 2 jam dari Chengdu. Dari serangkaian acara tersebut, WeGO menyimpulkan beberapa poin penting yang harus menjadi perhatian semua anggota dalam membangun kota. Pertama, sekitar 40% warga dunia memiliki akses internet. Kedua, 1,6 miliar pengguna jejaring sosial di seluruh dunia dan jumlah perangkat elektronik, hanya kurang sedikit dari jumlah penduduk dunia dan diperkirakan akan mencapai 26 miliar pada tahun 2020. Ketiga, permintaan masyarakat bisa lebih tinggi karena teknologi memungkinkan lebih banyak masuknya bagian dari masyarakat yang tidak berpartisipasi dalam proses tertentu sebelumnya. Keempat, implikasi e-government di pasar kerja cukup tinggi. Keenam, kecenderungan untuk menggunakan data profil masyarakat, mencontek dari yang sudah dilakukan pelaku bisnis (360 derajat Program Burberry) yang menyediakan layanan individu, seperti kartu identitas NY. Adanya kecenderungan peningkatan penggunaan data lokal dari ponsel. Data operator telekomunikasi untuk administrasi warga. Ketujuh, contoh Tel Aviv memulai program smart city (bakat, teknologi, toleransi). Klub tinggal Tel Aviv, wifi di seluruh kota. Internet menginformasikan jasa, informasi untuk dan tentang warga negara, peristiwa, bahkan sepeda. Anda tinggal mendaftar dan memberikan informasi yang anda inginkan. Terhubung dengan peristiwa di mana 1.000 orang akan hadir. Terdapat koin sukarela warga. Kedelapan, Bank Dunia telah menyiapkan konsultan database di bidang e-government yang mengembangakan Mind Lab, DK, Design School Stanford, Future Gov Inggris. Hubungan antara pemerintah kota dan swasta menjadi sangat penting (web sipil, lab inovasi, misalnya Helsinki, Boston).
Rakernas APEKSI di Ambon, 5-7 Mei 2015 Bersama ini diberitahukan, Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) telah menetapkan bahwa Rapat Kerja Nasional (Rakernas) APEKSI dilaksanakan pada: Tanggal Tempat Tema
: 5-7 Mei 2015 : Kota Ambon, Maluku : Optimalisasi Kemaritiman Nasional dalam rangka Mendorong Pembangunan Infrastruktur Kota dan Kota Pantai
Masih dalam rangkaian Rakernas tersebut, APEKSI juga menyelenggarakan acara “Indonesia City Expo” yang akan dilaksanakan pada: Tanggal Tempat Peserta
: 5-10 Mei 2015 : Lapangan Merdeka Kota Ambon : Pemerintah Kota seluruh Indonesia, BUMN/BUMD, Perusahaan Swasta.
Demikian pemberitahuan ini disampaikan dengan harapan para peserta Rakernas dan “Indonesia City Expo” dapat mempersiapkan segala sesuatunya. Jakarta, 22 Desember 2014 ttd Direktur Eksekutif APEKSI
Volume VIII DESEMBER 2014
43
2nd INDONESIA INTERNATIONAL CLEANING & LAUNDRY EXHIBITION
2015
2015
26 - 28 MARCH 2015 Jakarta International Expo www.expo-clean.com
GET BUSY IN 2015
t Wet Cleaning Innovation t Principal National Meeting t Competency Test t Live & Mobile Demo t Associations Conferences & Seminars and more
Principal Partner :
Organised by : PT. MEDIA ARTHA SENTOSA T : +62 21 5835 4654 / 7060 8638 F : +62 21 5830 1097 E :
[email protected]
Platinum Partners :
Supporting Organisations :
International Supporters :