Mahasiswa FST Temukan Selaput Penutup Organ Pencernaan untuk Atasi Kasus Gastroschisis UNAIR NEWS – Lima mahasiswa prodi Teknobiomedik Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga, dalam inovasi penelitiannya berhasil membuat selaput penutup organ pencernaan untuk menangani kasus gastroschisis yaitu kelainan dinding perut yang terbuka. Padahal kasus yang umumnya menimpa pada bayi yang baru lahir itu, di Indonesia masih merupakan kasus dengan resiko cukup tinggi. Mengapa masih berisiko tinggi, berdasarkan hasil penelitian karena di Indonesia masih banyak terdapat kehamilan usia sangat muda akibat pernikahan usia dini. Kemudian karena paritas tinggi, yaitu semakin banyaknya kelahiran pada seorang ibu (atau ibu banyak melahirkan) walau hal ini masih ada kaitannya dengan kehamilan pada usia tua, serta karena kekurangan asupan gizi pada ibu hamil. Sedangkan salah satu solusi untuk menangani kasus gastroschisis tersebut adalah menutupnya dengan selaput penutup organ pencernaan yang bersifat sementara sampai dilakukannya operasi penutupan abdomen pada bayi tersebut. Tindakan ini dikenal dengan menggunakan teknik SILO (silastic springs-loaded silo). Hasil temuan Karina Dwi Saraswati (22), Fadila Nashiri Khoirun Nisak (22), Inas Fatimah (22), Fulky A’yunni (21), dan Claudia Yolanda Savira (21) ini bahkan menarik perhatian Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemenristek Dikti, yang kemudian memberi dana pengembangan penelitian melalui Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian Eksakta (PKM-PE). Di bawah
bimbingan Dr. Prihatini Widiyanti, drg. M.Kes mereka mengemas hasil penelitian ini dalam judul “Studi In Vivo Poly-LactidCo-Glicolic-Acid (PLGA) dengan Coating Kitosan Sebagai Selaput Penutup Organ Pencernaan Untuk Aplikasi Kelainan Dinding Perut Yang Terbuka.” Diterangkan oleh Karina, sebagai ketua kelompok, pada umumnya SILO tersebut terbuat dari bahan dasar silikon yang bersifat toksik, sehingga kelima mahasiswa FST UNAIR tersebut berhasil membuat selaput penutup organ pencernaan yang terbuat dari bahan Poly-Lactid-co-Glicolic-Acid (PLGA) dilapisi Kitosan yang bersifat biokompatibel (dapat diterima oleh tubuh) dan tidak mengandung senyawa toksik. “Pemilihan material PLGA ini dikarenakan sifat PLGA tersebut elastis, biokompatibel, serta tahan degradasi dalam waktu yang cukup lama. Selain itu penambahan coating atau pelapisan kitosan ini dimaksudkan untuk meningkatkan biokompatibilitas, meningkatkan proliferasi dan cell attachment, sehingga yang diharapkan selaput penutup organ pencernaan dapat menutup organ pencernaan sementara sampai pada saatnya dimasukkan kembali ke dalam rongga abdomen,” tambah Karina Dwi Saraswati. Hasil pengujian gugus fungsi menunjukkan bahwa meningkatnya pita serapan pada bilangan gelombang 1747,50 cm yang merupakan gugus amida I menunjukkan keberadaan kitosan yang terbentuk bersama PLGA. Hasil kekuatan tarik untuk setiap variasi adalah 4,78 MPa (PLGA) dan 12,96 MPa (PLGA-kitosan). Hasil Uji Sitotoksisitas PLGA-Kitosan menunjukkan persentase batas minimal sel hidup yaitu lebih dari 60%. Ini menandakan bahwa membran Spring-loaded silo ini tidak bersifat toksik. Selain itu, dari hasil Uji Morfologi tidak terlihat pori pada permukaan silo yang dikarenakan pori membran sangatlah kecil. Ukuran pori ini sesuai untuk diaplikasikan sebagai selaput penutup sementara organ pencernaan yang memiliki ukuran pori 0,1–10 mikro. Pada saat ini diakui masih dalam tahap pengujian
pada hewan coba, tetapi berdasarkan hasil uji secara in-vitro, membran Poly-Lactid-co-Glicolic-Acid (PLGA) yang dilapisi kitosan memiliki potensi sebagai kandidat selaput penutup organ pencernaan yang baik. (*) Penulis : Bambang Bes
Mengamalkan Nilai-Nilai Pancasila dalam Bernegara UNAIR NEWS – Dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila, Fakultas Hukum Universitas Airlangga menggelar seminar dengan topik “Seminar Hari Pancasila: Pemantapan Nilai dan Pemupukan Amal Perbuatan Pancasila sebagai Modal Utama Bela Negara”, Rabu (1/6). Seminar ini merupakan kerjasama antara FH UNAIR, Mahkamah Konstitusi (MK), Kementerian Pertahanan, dan Klinik Pancasila. Seminar dihadiri oleh Guru Besar bidang Hukum Tata Negara sekaligus Ketua MK periode 2008 – 2011 Prof. M. Mahfud MD, Kepala Pusat Diklat Kemenhan Beny Tasuryo, dan Direktur Klinik Pancasila Dody Susanto. Nurul Barizah, S.H., LL.M., Ph.D., pelaksana tugas (Plt.) Dekan FH UNAIR mengatakan, pengamalan nilai-nilai Pancasila merupakan bagian dari bela negara. Pancasila memuat nilainilai yang dapat dijadikan panutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Beny dari Kemenhan mengatakan, bela negara tidak harus dilakukan dengan mengangkat senjata. Di zaman ini, tindakan yang paling berpotensi merusak nilai-nilai Pancasila adalah perbuatan korupsi.
Sementara itu Prof. Mahfud MD, Ketua MK RI periode 2008 – 2011 juga menyetujui hal tersebut yang disampaikan Beny Tasuryo. “Musuh kita saat ini adalah koruptor dan penegak hukup yang tidak benar. Tegakkanlah hukum dengan benar, karena negara akan hancur kalau hukum tidak benar,” ujar Guru Besar asal Madura Jawa Timur ini. Dody selaku Direktur Klinik Pancasila mengatakan, ada enam faktor yang menjadi musuh utama generasi bangsa saat ini. Keenam faktor tersebut yaitu food, fantasy, fun, fashion, filosofi, dan film. “Dari serangan “F-6” itu mengakibatkan kita mengalami virus peradaban namanya serangan nonstop. Narkoba, obat terlarang, nikotin, sara, terorisme, onar, dan pornografi,” ujar Dody. Dari berbagai musuh utama yang dihadapi bangsa Indonesia tersebut, solusi yang ditawarkan Dody adalah kembali kepada nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. “Kita tumbuhkan generasi bangga Pancasila. Bersama anak negeri kita amalkan Pancasila. Generasi bangga Pancasila dapat dimulai melalui tiga hal. Edukasi, simulasi, dan aksi. Edukasi dengan pembentukan kembali kurikulum mata kerja dan mata kuliah. Simulasi melalui klinik Pancasila. Sedangkan aksi mengamalkan Pancasila,” tutur Dody. Setelah mengisi acara di FH UNAIR, Beny dan Dody menuju ke Kampus C UNAIR untuk mengisi acara seminar dengan konten materi yang tidak jauh berbeda. Dody mengingatkan agar mahasiswa UNAIR bisa mengemban amanah Pancasila sesuai dengan profesi masing-masing. “Apabila menjadi dokter, jadilah dokter yang Pancasilais. Apabila menjadi akuntan, jadilah akuntan yang Pancasilais,” ujar Dody menambahkan. (*) Penulis : Binti Q. Masruroh Editor: Defrina Sukma S.
UNAIR Bedah Warung Sekitar Kampus UNAIR
NEWS
–
Universitas
Airlangga
adalah
Warga bagian
dari
masyarakat. Sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat sekitar, Direktorat Kemahasiswaan UNAIR dan Kementerian Pengabdian Masyarakat, Badan Eksekutif Mahasiswa UNAIR membedah warung warga. Sebanyak 12 pemilik warung menerima bantuan secara simbolis dari Direktur Kemahasiswaan UNAIR, Senin (30/5), di Aula Student Center. Pemilik warung itu berasal dari berbagai kelurahan sekitar kampus, seperti Mulyorejo, Airlangga, Gubeng, Jojoran, dan Mulyosari. Untuk mensukseskan program itu, UNAIR membentuk tim Airlangga Peduli. Rosyid Akbar selaku Ketua Tim Airlangga Peduli menjelaskan, ia dan 28 rekannya telah mempersiapkan program tersebut selama satu setengah bulan, mulai dari survei lokasi hingga eksekusi di lapangan. Mahasiswa Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UNAIR juga menjelaskan, donasi yang diberikan kepada penerima tidak dalam bentuk uang melainkan pemugaran warung dan produk barang untuk dijual kembali. “Donasi yang kami berikan tidak dalam bentuk uang, melainkan untuk memperbaiki warung dan barang-barang yang siap untuk dijual di toko. Jadi, dengan ini hal yang kita berikan bisa berkelanjutan,” jelas Rosyid. Dr. M. Hadi Shubhan., S.H., M.H., CN., menjelaskan bahwa bentuk kegiatan sosial dari pengamalan Tri Dharma Perguruan menegaskan kepada para penerima bantuan canggung dengan UNAIR.
pada sambutannya ini adalah bagian Tinggi. Ia juga agar tidak merasa
“Bapak ibu sekalian saya harap tidak canggung dengan UNAIR. Kita semua ini sama, kami kebanyakan juga dari desa, di UNAIR ini hanya diamanahi negara,” jelas Hadi. Dra. Trijas Sarwendah selaku Kepala Bagian Kesejahteraan Mahasiswa Dirmawa UNAIR mengatakan, warung yang direnovasi harus milik pribadi. Salah satu penerima bantuan, Tami mengaku sangat bersyukur, dengan sedikit terbata-bata pihaknya berterima kasih kepada UNAIR yang telah memperbaiki warungnya. “Saya tidak bisa banyak ngomong, terima kasih dan saya sangat bersyukur,” ungkapnya. (*) Penulis : Nuri Hermawan Editor : Defrina Sukma S.
Harmoni Angklung Jagir, Dari Jalanan Ke Panggung Pentas UNAIR NEWS – Besar di tengah lingkungan yang marginal bukanlah pilihan, keadaanlah yang terkadang mengharuskan sebagian dari generasi bangsa ini harus hidup dalam kondisi yang tidak diinginkan. Namun tidak ada suatu hal tanpa hikmah, kondisi masyarakat terutama anak-anak yang tinggal di daerah marginal tersebut sering mengundang rasa kemanusiaan, tak terkecuali bagi Wachidatu Qomariah, mahasiswa S1 Sastra Inggris FIB UNAIR tersebut merasa terpanggil untuk memberikan sebagian ilmunya kepada anak-anak yang tinggal di daerah Jagir Surabaya. Bermula pada tahun 2015, Icha sapaan mahasiswa angkatan 2013 tersebut berangkat bersama rekan-rekan Urban Care Community untuk melakukan pengabdian masyarakat. Baginya, pengabdian tidak sekedar memberikan materi pelajaran, Icha yang memiliki
kemampuan seni akhirnya membentuk sebuah grup musik angklung yang bernama Harmoni Angklung Jagir. “Untuk pengembangan anak-anak tidak sekedar pelajaran, salah satunya angklung ini, kebanyakan mereka kan anak jalanan yang pada umumnya bisa bermain gitar, jadi sengaja kami kenalkan musik tradisional,” jelasnya. Bagi Icha, memberikan edukasi seni angklung tidaklah mudah, mulanya ia harus memberikan pengenalan kepada adik binaan mengenai alat musik angklung. Perlahan tapi pasti, selama hampir 3 bulan latihan rutin dalam dua kali tiap pekan akhirnya membuahkan hasil. Meski kerap merusak alat musik dan kerap bandel saat latihan, akhirnya anak-anak binaan yang tergabung dalam Harmoni Angklung Jagir pun siap berlaga di panggung. “Untuk latihan kami memilih waktu sehabis magrib, selain saya sudah selesai kuliah dan adik-adik pun lebih fokus kalau malam, karena pagi sampai sore buat sekolah, ngaji, dan membantu orang tua,” jelasnya. Selain mengisi acara di berbagai kegiatan di Surabaya, anakanak binaan yang rata-rata masih seusia Sekolah Dasar (SD) tersebut juga sering mengisi panggung acara yang diadakan oleh sivitas akademika UNAIR. Setidaknya ada tiga lagu yang dipersembahkan saat pentas tengah berlangsung, mulai lagu-lagu nasional hingga lagu permintaan dari institusi mengundang, salah satunya Himne Airlangga.
yang
Aksi Harmoni Angklung Jagir Di Panggung ACC UNAIR Kampus C. (Foto: UNAIR NEWS) “Kalau tampil di UNAIR sudah sering, mulai acara sekolah kebangsaaan MKWU, acara PPKK, di FH acara debat, dan acara rektorat lainnya,” tandasnya. Ditemui setelah memandu pentas pada sebuah acara di Airlangga Convention Center (ACC) UNAIR beberapa pekan lalu, Icha berharap ke depannya kegiatan pengmas yang dilakukan oleh mahasiswa UNAIR bisa semakin berkembang dan luas. Ia juga menuturkan kesulitan dalam mencari kader penerus dirinya, begitupun sesudah dirinya lulus kuliah. Padahal, pengabdian tersebut selain mendidik juga bisa mengubah nasib hidup adikadik binaan. “Dengan adanya komunitas ini, adik-adik penghidupannya tidak lagi bergantung pada ngamen tapi juga melalui pentas angklung ini,”tegasnya. Ia juga mengungkapkan, bahwa dana yang terkumpul sama sekali
tidak ada yang masuk di kantong mahasiswa semester enam tersebut. Dana ataupun donasi yang didapat selalu digunakan untuk kepentingan tim Harmoni Angklung Jagir. “Jadi saat dapat uang dari pentas, kami gunakan untuk beli seragam, memperbaiki alat-alat, dan keperluan lainnya,” imbuhnya. Diakhir wawancara, Icha merasa bangga bisa bertemu dan mendidik mereka, selain itu ia juga menekankan bahwa penting bagi pemuda khususnya mahasiswa untuk mengikuti kegiatan sosial apapun untuk membawa perubahan bagi masyarakat. Kepuasan Icha tidak berhenti disitu, respon positif dari keluarga anak-anak binaannya kerap didapat dan hal itulah yang menjadi pemacu baginya untuk terus berkarya. “Banyak keluarga adik-adik yang sudah saya anggap sebagai keluarga sendiri memberikan tanggapan yang baik, mereka tidak menyangka bahwa pungkasnya. (*) Penulis Editor
anak-anaknya
bisa
seperti
sekarang,”
: Nuri Hermawan : Dilan Salsabila
Peran Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan UNAIR NEWS – Laut Cina Selatan (LCS) merupakan wilayah strategis, bila ada konflik dari negara yang bersengketa tentu dampaknya akan merugikan negara-negara ASEAN. Pandangan tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Makarim Wibisono dalam
diskusi reboan yang bertajuk “Posisi Indonesia dan Peran ASEAN dalam Konflik Laut Cina Selatan” di Aula Adi Sukadana FISIP UNAIR, Rabu (1/6). “Wilayah konflik bisa dimanfaatkan kekayaan lautnya, berupa perikanan maupun kandungan tambangnya oleh pihak-pihak yang mengklaim. Negara Asia Tenggara umumnya menginginkan LCS tetap menjadi wilayah perdamaian,” ujar Guru Besar Hubungan Internasional (HI) UNAIR tersebut. Prof Makarim juga menyayangkan ketiadaannya kejelasan mengenai koordinat lokasi yang akurat dari nine dash line (Sembilan titik lokasi yang menunjukkan klaim China atas wilayah Laut Cina Selatan). Padahal, menurut hukum internasional setiap klaim atas suatu wilayah harus ada kejelasan lokasinya. “Tidak ada kepastian berapa lintang utaranya, berapa bujur timurnya,”serunya. Dalam diskusi tersebut, orang Indonesia pertama yang menjabat sebagai Ketua Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tersebut mengingatkan konsekuensi konflik LCS bagi ASEAN. Selain menurunkan minat FDI (Foreign Direct Invesment) untuk menanamkan modal di kawasan ASEAN, konflik LCS juga berkonsekuensi menimbulkan persaingan kekuatan militer, sehingga mengalihkan daya ekonomi serta mengundang masuknya negara besar untuk saling mencari pengaruh. “Hal ini akan menjadikan negara-negara yang kurang daya dalam militer untuk melakukan aliansi dengan negara-negara kuat,” ujar Duta Besar RI untuk PBB periode 2004-2007 tersebut. Dalam sengketa LCS, Prof. Makarim mengungkapkan bahwa masingmasing pihak bersengketa menginginkan agar negara-negara ASEAN berada dipihak negara bersengketa. Prof Makarim mencontohkan dalam KTT ASEAN, Menteri Luar Negeri (Menlu) Tiongkok, Wang Yi, bertemu dengan Menlu Laos, Kamboja, dan Myanmar untuk membicarakan sengketa tersebut, sedangkan Amerika Serikat melobi ke negara Filipina.
Dampak Konflik dan Peran Indonesia Prof Makarim menjelaskan, walaupun konflik tersebut masih dikategorikan sebagai konflik Ide, Indonesia diharapkan tetap mengusahakan agar konflik tersebut dapat diselesaikan secara damai oleh pihak terkait. Hal tersebut untuk menciptakan iklim kondusif dalam mencapai kesepakatan. Jika hal tersebut gagal, maka akan berakibat fatal. Pertama akan berdampak pada lalu lintas perdagangan dan ekonomi Indonesia dengan negara partner, seperti tujuan ekspor maupun negara asal dari penanaman modal. Kedua, Asia Tenggara, termasuk Indonesia, akan menjadi wilayah yang tidak stabil. Ketiga, Jika LCS sudah berkembang menjadi konflik secara fisik, maka akan ada campur tangan dari negara-negara besar. “Karena diwilayah konflik, negara besar itu ingin memiliki jaminan untuk bebas melewati LCS. Misalnya saja kapal tangker atau kapal ekspor dari AS gak boleh lewat situ kan berarti dia harus lewat Afrika, secara ongkos memang lebih mahal, itu akan membuat mereka untuk mengusahakan agar jangan sampai terjadi situasi yang menghalangi lalulintas mereka,”tandasnya. Menurut Prof. Makarim, Indonesia bisa menjadi pemimpin Ideal bagi ASEAN yang masih berpotensi untuk mendorong terjadinya penyelesaian sengketa secara damai. Ada tiga alasan yang mendasarinya, pertama, Indonesia yang masih memiliki posisi kondisif bukan merupakan negara Claimant State layaknya negara Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam. Kedua, Indonesia merupakan negara terbesar se-ASEAN. “Indonesia itu terbesar di ASEAN, baik penduduknya, wilayahnya bahkan Gross Domestic Product (GDP) Indonesia saja terbesar di ASEAN,” ujar Profesor kelahiran 8 Mei 1947 tersebut. Sedangkan Alasan yang ketiga, dalam sejarah di masa lampau, Indonesia bukan merupakan negara yang dikelompokkan bipolar sistem zaman dahulu. Menurut Prof. Makarim, Negara Indonesia hendaknya menghimbau kepada negara yang ikut mengklaim supaya
ikut aktif dalam penyelesaian perumusan Code of Conduct. “Kalau sudah ada Code of Conduct, maka sudah ada rujukan untuk mendamaikan, karena code of conduct itu berisi apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sehingga kita ada pegangan secara hukum untuk menciptakan perdamaian di wilayah laut cina selatan,”serunya. (*) Penulis : Dilan Salsabila Editor : Nuri Hermawan
83 Persen Remaja Tidak Bisa Lepas dari Media Sosial Barang Sehari Pun UNAIR NEWS – Lima “Srikandi” Fakultas Keperawatan (FKp) Universitas Airlangga merasa prihatin terhadap perkembangan teknologi komunikasi yang sedang berkembang dengan munculnya beragam media sosial (medsos). Sebab pada hakikatnya medsos itu mampu “mendekatkan yang jauh” namun akhir-akhir ini juga “menjauhkan yang dekat”. Karena itulah kelima mahasiswa ini mengkaji tentang psikologi perkembangan manusia dan merasa terpanggil untuk mencari tahu sejauh mana fenomena medsos ini mempengaruhi proses berfikir dan bersosialisasi kaum muda. Lima mahasiswa Fak. Keperawatan UNAIR tersebut adalah Siska Kusuma Ningsih, Dinda Salmahella, Evi Nur Laili Rahma Kusuma, Fenny Eka Juniarty, dan Fitria Kusnawati. Hasil kajiannya mereka jadikan proposal Program Kreativitas Mahasiswa – Penelitian Sosial Humaniora (PKMP Soshum) berjudul “Pengenyampingan Interaksi Sosial secara Langsung oleh Masyarakat sebagai Dampak Munculnya Jejaring Sosial (Medsos)”.
Bahkan hasil kajian tersebut lolos dan meraih dana hibah dari Dirjen Dikti Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) tahun 2016. Mereka tak bisa memungkiri bahwa hadirnya medsos punya pengaruh luar biasa terhadap proses sosialisasi masyarakat di era global sekarang ini. “Mendekatkan yang jauh” merupakan kalimat yang mencerminkan betapa medsos ini mampu menjadi wadah yang menghubungkan orang-orang dari berbagai belahan dunia menjadi sangat mudah untuk berkomunikasi. ”Namun bagaimana dengan quote “Menjauhkan yang dekat.” Apakah Anda pernah berpikir lebih lanjut tentang ini? Tentu, ini muncul sebagai momok yang sangat menyakitkan bagi sekelompok yang peduli terhadap sosialnya,” kata Siska Kusuma Ningsih, ketua kelompok tim ini.
KELIMA mahasiswa Fakultas Keperawatan yang meneliti tentang gadget dan lingkungan sosialnya. (Foto: Istimewa) TAK BISA LEPAS DARI SOSMED Yang menarik, jawaban atas kuesioner terhadap remaja usia 13-25 di kawasan Kelurahan Mulyorejo Kota Surabaya, dalam
intensitas penggunaan medsos selama 24 jam, sebanyak 83% responden menyatakan tidak bisa lepas dari media sosial miliknya, walau hanya sehari saja. Kemudian 57% responden menyatakan sangat setuju dan pernah mengalami “dicuekin” (tidak diperhatikan) oleh teman terdekatnya gara-gara asyik bermain media sosial di gadget-nya. “Fenomena yang sering terjadi pada saat berkumpul, kebayakan hanya terfokus pada gadget–nya masing-masing tanpa memperhatikan apa yang terjadi dan yang sedang diperbincangkan orang-orang di sekelilingnya. Sungguh memiriskan, namun jelas ini banyak terjadi di lingkungan terdekat kita. Artinya, tanpa kita sadari sedikit demi sedikit medsos telah mampu menumbuhkan dampak negatif dan berkembang cepat akhir-akhir ini,” tambah Siska. Pada orang seperti ini, komunikasi secara langsung tak lagi memiliki esensi yang bermakna. Mereka beranggapan bahwa mengekspresikan sesuatu yang sedang dirasakannya saat ini melalui sosmed, akan jauh lebih nyaman dan menyenangkan jika dibandingkan harus menyatakan secara verbal kepada orang-orang di sekitarnya. Bahkan parahnya, hanya demi melihat sesuatu yang sedang terjadi dan apa yang sedang nge–hit saat ini, mereka rela untuk tidak bersatu dalam lingkungan sosialnya. Dalam
konteks
lebih
lanjut,
peneliti
tidak
menyalahkan
penggunaan media sosial bagaimaapun bentuknya. Namun yang menjadi perhatian peneliti adalah bagaimana orang-orang bijak mampu menggunakan sosmed secara bijak pula. Berkomunikasi sesuai yang perlu dikomunikasikan melalui sosmed, namun percayalah bahwa berkomunikasi secara langsung dalam lingkup sosial akan jauh memberikan keterkaitan hubungan yang harmonis. “Update jejaring sosial boleh sih, tapi tetap ingatlah bahwa Anda hidup dalam suatu lingkungan social,” ujar Evi Nur Laili Rahma Kusuma, menambahkan.
Kelima mahasiswa Fak Keperawatan itu berharap adanya penelitian ini dapat tercapainya keseimbangan sosial dari penggunaan sosmed di era yang sedang berkembang saat ini. Seperti contoh akan lebih memahami arti interaksi sosial yang berintelegensi baik dan dapat mengembangkan kualitas kehidupan, baik untuk dirinya maupun untuk lingkup sosialnya. Selain itu juga dapat menilai pola penggunaan sosmed yang sedang berkembang, sehingga dapat membentuk pola-pola pemikiran yang kreatif dan berpendidikan dalam mengatasi problematika yang muncul. (*) Penulis : Tim PKM Sosial Humaniora Editor : Bambang Bes