URGENSI TAFSIR DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN DAN POLA PENDEKATAN TEMATIK KOMBINATIF
M. Nur Kholis Setiawan 1 Abstract: For Islam, book Interpretation is dutied which is unknown
stoping. Interpreting (tafsir) is initiative to understand the God massages. Thisi is to place tafsir as sceince disciplinewhich is not known drying and always be life with it’s developing and following. Like knowledge of Islam law, Tasawuf, Kalam, and Falsafah. Realy, tematik tafsir, al-tafsīr al-mawḍū’ī is based on the need which is always develop with the social reality. Then as history, Indonesia Is more articulative is compared with other Melayu area, which is called as centre of Islamic learning for the the area of southeast Asia. The end, Know days, the combinative approach important is to be pay attantioned to ditermine thema which relevant with Indonesian context. The stress letter to affort interprating which is done to explorate tne understanding with to become versers of the book as inspirater.
Key words: Tafsir, Keindonesiaan, Tematik Kombinatif Pendahuluan Tafsir keindonesiaan dalam perspektif tematik kombinatif merupakan corak penulisan keilmuan Islam di Nusantara, seperti bidang sastra, fiqhi, kalam, hadis, tasawuf dan tafsir yang sebenarnya bergerak bersamaan dengan diperkenalkannya Islam kepada penduduk di Nusantara. Tetapi khusus karya tafsir perkembangannya tidak seperti bidang ilmu keislaman lainnya. Hal yang perlu diketahui dalam kajian perkembangan awal tafsir tematik komparatif keindonesiaan ini adalah memahami kontek atmosfir intelektual tertentu yang tengah melingkupi wacana keindonesiaan, dan memberikan pengaruh pada karakteristik kegiatan penafsiran terhadap al-Qur’an di Indonesia. Interpretasi al-Qur'an bagi umat Islam merupakan tugas yang tidak kenal henti. Tafsir adalah ikhtiyar memahami pesan Tuhan. Manusia hanya bisa sampai pada derajat pemahaman yang relatif dan tidak sampai pada posisi absolut. Pesan Tuhanpun tidak dipahami sama dari waktu ke waktu, melainkan ia senantiasa Dosen dan Direktur Dialog Centre Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. di samping itu juga sebagai Reviewer Direktorat Litabmas, Kementerian Pendidikan dan Budaya RI. 1
dipahami selaras dengan realitas serta kondisi sosial yang berjalan seiring dengan berlalunya zaman. Dengan kata lain, wahyu Tuhan dipahami secara sangat variatif sesuai dengan kebutuhan umat sebagai konsumennya. Pemahaman yang varian ini pada gilirannya menempatkan tafsir sebagai disiplin keilmuan yang tidak mengenal kering serta senantiasa hidup bersamaan dengan perkembangan pengetahuan para pengimannya.2 Disamping itu, tafsir sebagai bagian dari kajian al-Qur'an merupakan salah satu wilayah inti dalam pembidangan keilmuan keislaman. Disiplin ini memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan keilmuan keislaman seperti Hukum Islam, Tasawuf, Kalam, serta Falsafah. Dalam khazanah intelektual Islam, baik klasik, pertengahan dan kontemporer, seperti direkam oleh Fuat Sezgin dalam Geschichte des arabischen Schriftums, terdapat banyak karya tafsir baik yang telah dianotasi dan diterbitkan, maupun yang masih berupa manuskrip. 3 Karya-karya tafsir yang telah dilahirkan oleh sarjana Muslim amat beragam dengan pelbagai pendekatan dan titik tekan yang berbeda. Sebagian menekankan aspek kebahasaan, sebagian yang lain lebih tertarik pada dimensi hukum, sementara sebagian lain banyak tertarik pada dimensi filosofis-teologis dan lain sebagainya. Hal ini menandakan bahwa kajian terhadap al-Qur’an memang tidak pernah kering dan selalu berkembang selaras dengan tuntutan kebutuhan yang dihadapi oleh para mufasir. Di era kontemporer, tafsir dirasa kurang memberikan pencerahan, karena materi pengajarannya yang tidak banyak berorientasi pada kebutuhan. Kurikulum pengajaran tafsir, baik di Perguruan Tinggi Agama Islam maupun lembaga pendidikan Islam, semisal Pesantren dan Madrasah, misalnya, belum diawali dengan pijakan filosofis apa, kapan, mengapa, dan bagaimana disiplin ini penting dalam diskursus keislaman secara umum. Di samping itu, desain materinya masih didominasi issu keagamaan semata seperti ayat-ayat hukum, ibadah, serta lainnya, dan belum banyak diarahkan kepada persoalan-persoalan kontemporer, seperti etika Lihat M. Nur Kholis Setiawan, al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta, eLSAQ Press 2005, hlm. 1, Bandingkan, Hasan Hanafi, "Manāhij al-Tafsīr wa-Maṣālih al-Ummah", dalam al-Dīn wa l-Tsawra: al-Yamīn wa l-Yasār fī l-Fikr al-Dīnī, Kairo, 1989. 2
Lihat, Fuat Sezgin, Geschichte des Arabischen Schriftums, Leiden, E.J. Brill 1945, jilid I, 45-46., Bandingkan Helmut Gätje, Grundriß der Arabischen Philologie, Wiesbaden, Ludwig Reichert Verlag 1987, jilid II, 122-127. 3
lingkungan, kemiskinan, kesejahteraan ekonomi, gender, serta persoalan sosial lainnya. Tafsir dan Konteks Keindonesiaan Tafsir sebagai disiplin oleh kalangan pesantren maupun perguruan tinggi agama dianggap sebagai disiplin yang final serta sempurna. Pengkajian terhadapnya dipadati dengan pembacaan yang berulang-ulang dan tidak banyak bergerak menuju pembacaan yang kritis serta menghasilkan sesuatu yang baru dari bacaaan tersebut. Perlakuan yang demikian menyuburkan "ketakutan" untuk meyakini bahwa tafsir sejatinya tidak pernah mengenal henti, mengingat tugas dan fungsinya adalah memberikan penjelasan tambahan akan makna ayat yang didasarkan pada realitas sosial yang senantiasa berkembang. Melalui tafsir ini sejatinya teks keagamaan menjadi luwes dan senantiasa berpihak kepada kemanusiaan. Perkembangan terbaru dalam dunia tafsir kitab suci adalah pola tematik, al-tafsīr al-mawḍū’ī. Model ini didasarkan pada kebutuhan yang senantiasa berkembang, realitas sosial yang dinamis yang menuntut jawaban-jawaban Qur’ani. Tafsir tematik menjadi pilihan banyak pengkaji al-Qur’an, mengingat fungsinya yang terfokus pada pengelaborasian makna dari sebuah tema tertentu yang disinggung oleh al-Qur’an. Beberapa literatur menjelaskan apa dan bagaimana cara kerja dari tafsir tematik, selanjutnya bagaimana perannya di dalam mengisi wacana kajian al-Qur’an. Pilihan tafsir tematik menjadi alat melakukan interpretasi terhadap ayat alQur’an dikarenakan ia memungkinkan untuk sampai pada pemahaman yang holistik atas satu tema tertentu. Ketika tafsir-tafsir yang menganut sistematika mushaf Utsmani dianggap hanya mampu menangkap makna ayat secara
parsial, maka
tematik merupakan salah satu cara untuk menutupi kekurangan tersebut. Tafsir yang banyak dilahirkan oleh para mufasir, baik klasik, pertengahan dan modern, mayoritas menempuh model mushaf, mengurutkan penafsiran ayat per ayat sesuai dengan urutan mushaf Utsmani. Pola ini memiliki kelebihan tidak ada satu ayat dalam alQur’an yang lepas dari perhatian mufasir. Sebaliknya, seperti telah dikemukakan, acapkali penafsirannya tidak lengkap, tidak selalu terkait dengan ayat yang menyinggung persoalan yang sama di surat atau di tempat lain. Oleh karenanya, karya
tafsir model ini lebih banyak dirujuk sebagai karya utuh tafsir, tetapi tidak untuk tema atau topik tertentu yang khusus. Tulisan ini merupakan ikhtiyar penulis untuk mengisi kekurangan kajian al-Qur’an/tafsir al-Qur’an yang tidak saja menganut model tematik, melainkan juga didasari oleh kebutuhan konteks keindonesiaan. Hal ini dilandasi oleh kurangnya produk kajian dalam tafsir al-Qur’an yang berorientasi pada kebutuhan keindonesiaan kontemporer. Rujukan-rujukan kajian tafsir yang banyak digunakan, baik di kalangan perguruan tinggi Islam, pesantren, lembaga pendidikan keislaman, masih didominasi oleh karya tafsir klasik dan pertengahan, yang tidak banyak menyentuh konteks keindonesiaan tersebut. Hal ini menandakan masih perlunya menghadirkan karya dalam ranah kajian al-Qur’an yang khusus berangkat dari konteks keindonesiaan. Konteks keindonesiaan menjadi penting dalam kajian Islam dikarenakan beberapa alasan. Pertama, institusi pendidikan Islam di Indonesia yang bernaung di bawah Kementerian Agama, sangat banyak, baik perguruan tinggi maupun madrasah. Sementara itu, jumlah pesantren sebagai lembaga pendidikan juga mencapai ribuan. Banyaknya jumlah institusi pendidikan Islam meniscayakan model kajian Islam yang berwawasan keindonesiaan sebagai salah satu pilar pembangun peradaban Islam yang sejatinya memiliki ciri khas ke-nusantara-an, jika dibandingkan dengan ”pusat” Islam, yakni wilayah Timur Tengah. Kedua, banyaknya lembaga pendidikan Islam memerlukan perhatian lebih serius, baik dari pemerintah maupun masyarakat untuk dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan institusi tersebut. Ketiga, jamak diketahui bahwa nuansa kajian Islam yang dikembangkan, baik di pesantren, madrasah maupun perguruan tinggi Islam, masih bercorak Arab, sehingga kajian tersebut masih banyak memerlukan optik keindonesiaan agar dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Keempat, persoalan sosial kemasyarakatan di Indonesia juga membutuhkan kontribusi kajian keagamaan, tidak terkecuali kajian tentang Islam. Islam tidak saja menjadi bahan perbincangan dari sudut pandang ritual semata, melainkan sejatinya bisa memberikan perspektif dalam membantu menjawab persoalan sosial kemasyarakatan dan kebangsaan.
Kajian al-Qur’an yang menjadi segmen utama studi keislaman bisa menjadi inspirator bagi pengembangan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat di Indonesia. Islam tidak hanya sebagai ritual, melainkan ia mampu dihadirkan dalam kehidupan sehari-hari, menjadi pedoman serta pijakan langkah dalam merumuskan tatanan masyarakat modern yang beradab. Khazanah keilmuan keislaman merupakan sesuatu yang menyejarah, menjadi bagian dari pertumbuhan dan perkembangan peradaban Islam. Indonesia, sebagai wilayah yang dikategorikan sebagai wilayah ”pinggiran” dalam percaturan peradaban Islam klasik dan pertengahan,4 bisa digerakkan sebagai salah satu pusat dengan membanjirnya karya kesarjanaan keislaman yang dihasilkan di wilayah ini. Tentu, upaya penggeseran tersebut memerlukan produktivitas yang tidak kenal henti sembari menghadirkan perspektif keindonesiaan dalam produk kesarjanaannya. Disamping itu, diskursus keislaman yang dikembangkan pun menuntut adanya ciri khas pembeda dengan yang sudah ada, diantaranya adalah pengkayaan perspektif serta pemuatan budaya nusantara dalam warna keislamannya. Sekilas Kajian al-Qur’an di Nusantara Beberapa peneliti menginformasikan kajian al-Qur’an di Indonesia.
5
Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa greget kajian al-Qur’an semenjak awal masuknya Islam di Indonesia cukup tinggi dengan beberapa konsentrasi kajian. Howard M. Federspiel, misalnya, mencatat kurang lebih 60 judul buku tentang kajian al-Qur’an, yakni ulumul qur’an, terjemah al-Qur’an, kutipan al-Qur’an, peranan alQur’an, cara membacanya dan indeks al-Qur’an serta periodisasi kajian al-Qur’an di Indonesia.
4 Istilah yang seringkali digunakan untuk mengilustrasikan wilayah Melayu adalah periphery, lihat, misalnya, Martin van Bruinessen, „Global and Local in Indonesian Islam“, Southeast Asian Studies (Kyoto) vol. 37 no. 2, 1999, hlm. 46-63. 5 Lihat misalnya, Howard Federspiel, Popular Indonesian Literature of the Qur’an, Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University 1994; Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, Jakarta: Teraju 2003, Yunan Nasution, „Perkembangan Metode Tafsir Indonesia“, dalam Pesantren, vol 8. nomor 1, 1991; Yunan Nasution, „Karakteristik Tafsir al-Qur’an di Indonesia Abad Kedua Puluh“, Jurnal Ulumul Qur’an, vol. 3, nomor 4, 1992.
Federspiel menyatakan bahwa Islam di Indonesia secara historis lebih artikulatif dibandingkan dengan di kawasan berbahasa Melayu lainnya, seperti Brunei dan Malaysia. Bukti dari statemen dia adalah penterjemahan Abd al-Rauf Singkel atas Tafsīr al-Jalālain dan sejenisnya maupun karya asli seperti al-Nawawi pada abad ke 19. Wilayah Nusantara dalam kajian Islam ia sebut sebagai centre of Islamic learning bagi kawasan Asia Tenggara yang berlangsung sampai abad ke dua puluh.6 Karya-karya tafsir yang ditulis oleh ulama Nusantara sebagian besar memang mengisi kebutuhan literatur tafsir untuk zamannya. Khusus untuk tafsir yang ditulis dalam bahasa Jawa dalam huruf Arab pegon, ataupun aksara Latin memberikan kontribusi bagi para pembaca dari kalangan penutur bahasa Jawa. Sebagai contoh adalah Tafsir al-Huda dalam bahasa Jawa yang ditulis oleh Bakri Syahid (w. 1994), yang penyusunannya dilandasi oleh kebutuhan akan minimnya karya tafsir al-Qur’an berbahasa Jawa dengan huruf Latin yang disertai tuntunan membaca al-Qur’an dalam huruf Latin pula dengan keterangan secukupnya.7 Demikian pula tafsir yang ditulis dalam bahasa Indonesia, dimaksudkan untuk memberikan pengkayaan terhadap kajian al-Qur’an bagi yang memiliki keterbatasan dalam bahasa Arab. Pemenuhan kebutuhan terhadap kekurangan karya tafsir untuk segmen pembacanya acapkali dikemukakan oleh penulisnya sendiri. Misal, Tafsīr al-Munīr yang juga dikenal dengan Marāḥ Labīd Tafsīr al-Nawawī (1882an), demikian pula Tafsir Basa Jawi dalam huruf Arab karya Saleh Darat (1892an) dan Tafsir Jalalen Bahasa Jawi Alus yang disusun oleh Bagus Arafah dalam huruf Arab (1913) dan sebagainya.8 Koleksi karya tafsir yang telah disebutkan berhasil mengisi kekurangan literatur tafsir di Indonesia, sebagaimana dimaksudkan oleh para penulisnya. Pada saat yang bersamaan, koleksi tersebut disamping belum menganut model tematik, juga warna ke-nusantara-annya belum terlihat secara tegas. Mayoritas dari karya yang terlahir bertumpu pada penafsiran ayat per ayat seperti halnya tafsir-tafsir yang ditulis oleh ulama Timur Tengah pada masa klasik dan pertengahan. Karenanya, orientasi tafsir 6 Didin Syafrudin, “Karakter Literatur Indonesia tentang al-Qur’an”, Studia Islamika, volume 2, nomor 2, 1995. hlm. 170 7 Bandingkan, Imam Muhsin, Tafsir al-Qur’an dan Budaya Lokal: Studi Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Tafsir al-Huda Karya Bakri Syahid, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI 2010, hlm. 50
Mohamad Adnan, “Bebuka”, al-Qur’an al-Karim Tafsir Qur’an Suci Basa Jawi, Bandung: alMa’arif 1987, hlm. 7 8
yang berbasis kebutuhan kontemporer untuk saat ini, terlebih konteks keindonesiaan masih sangat diperlukan. Pada saat yang sama, tafsir-tafsir lengkap yang telah dihasilkan oleh para ulama dan ahli terdahulu perlu dikembangkan dengan pola tematik. Atas pertimbangan inilah, buku yang di hadapan pembaca ini berusaha memberikan kontribusi. Terkait dengan buku yang penulis susun, karena menggunakan model tematik, maka perlu penulis uraikan terlebih dahulu sekilas mengenai apa dan bagaimana kerja tafsir tematik serta signifikansinya dalam kajian al-Qur’an kontemporer. Hal ini penting untuk dilakukan, mengingat model kerja tematik yang penulis lakukan tidak seratus persen seperti pola tematik yang diperkenalkan oleh banyak pengkaji alQur’an, melainkan melakukan beberapa modifikasi dari langkah yang digariskan para penggelut studi al-Qur’an. Seputar Tafsir Tematik, al-Tafsīr al-Mauḍū’ī Sebagai model dalam seni interpretasi, tafsir tematik, al-tafsīr al-mauḍū’i telah banyak didefinisikan oleh para pakar. Di antaranya adalah yang dikemukakan oleh Abdussatar Said dengan definisi sebagai berikut:
والنظر، عن طريق مجع آياهتا املتفرقة، املتحدة معىن أو غاية، علم يبحث ىف قضايا القران الكرمي . وربطها برباط جامع، واستخراج عناصرها، لبيان معناها، على هيئة خمصوصة، فيها Artinya: "Ilmu yang membahas permasalahan-permasalahan dalam al-Qur'an yang memiliki kesatuan makna atau tujuan melalui pengumpulan ayat-ayat terpisah di berbagai surat, lalu menelitinya berdasarkan kondisi tertentu, dengan syarat-syarat tertentu pula, untuk mampu menjelaskan maknanya, mengistimbatkan elemen-elemennya serta mengikatnya dengan ikatan yang menyeluruh.9 Tafsir tematik secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, tematik berdasar surat al-Qur’an; dan kedua, tematik berdasar subyek. Tematik berdasarkan surat al-Qur’an adalah menafsirkan al-Qur’an dengan cara membahas satu surat tertentu dari al-Qur’an dengan mengambil bahasan pokok dari surat dimaksud. Abdussatar Fathullah Said, al-Madkhal ilā al-Tafsīr al-Mauḍū’ī, Cairo: Dār al-Tauzi’ wa lNasyr al-Islāmiyyah 1991, cetakan kedua, hlm. 20. 9
Sementara tematik subjek adalah menafsirkan al-Qur’an dengan cara menetapkan satu subjek tertentu untuk dibahas. Misalnya ingin mengetahui bagaimana konsep zakat menurut Islam, metode tematik ini dapat digunakan. Dua model tersebut lazim dalam istilah para pengkaji tafsir sebagai al-tafsīr al-mauḍū'ī li al-Qur'ān, untuk model kedua, serta al-tafsīr al- mauḍū'ī li l-ṣūrah untuk yang model pertama.10 Terkait dengan dua model tersebut, tafsir tematik digunakan untuk dua proses; pertama: pengumpulan berbagai segi persamaan dan perbandingan yang terdapat dalam al-Qur'an, sesuai tema kalimat kebahasaan. Seperti yang dilakukan oleh al-Faqīh al-Dāmighānī dalam kitabnya Iṣlāḥ al-Wujūh wa l-Naẓā’ir fī l- Qur'ān alKarīm dan juga oleh Muqātil ibn Sulaimān al-Balkhī dalam al-Asybāh wa l-Naẓā’ir fī lQur’ān al-Karīm. Kedua, menyebutkan suatu topik, kemudian mengumpulkan ayat-ayat yang terpencar-pencar dalam berbagai surat al-Qur'an, diantara ayat yang memiliki hubungan dengan topik tersebut, baik karena berserikat makna kosa katanya atau artinya, atau bahkan memiliki ikatan dengan topik dengan ikatan yang sangat kuat, walaupun hanya dari sebagian sisinya saja.11 Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa tafsir tematik adalah proses pengumpulan ayat-ayat yang berceceran dalam berbagai surat al-Qur'an yang berhubungan dengan suatu topik, baik kalimat maupun hukumnya, lalu mentafsirkannya sesuai maksud-maksud al-Qur'an.12 Al-Farmāwī menyatakan bahwa seluruh ayat al-Qur'an yang ditafsirkan dengan ayat al-Qur'an lainnya dalam kerangka tafsir bi l-ma’tsūr termasuk langkah awal dari tafsir tematik.13 Ia menghadirkan contoh penafsiran kata kalimah dalam QS. alBaqarah (2) ayat 37: fa-talaqqā ādamu min rabbihi kalimātin fa-tāba ’alaih, ”kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun menerima tobatnya” dengan ayat ke 23 surat al-A’rāf; qālā rabbanā ẓalamnā anfusanā wa-in-lam tagfir lanā watarhamnā lanakūnanna min al-khāsirīn, ”keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah
Sāmir Abdurrahman Rasywānī, Manhaj al-Tafsīr al- Maudū'i li l-Qur'ān al-Karīm, Suriyah: Dār al- Multaqā, 2009, hlm. 25-26. 10
11
Abbās Abdullah Abbās, Muhāḍarāt fī al-Tafsīr al-Mauḍū’ī, Damaskus: Dār al-Fikr 2007, hlm.
12
Ibid, hlm 21
20. Abdul Hayyī al-Farmāwī, al-Bidāyah fī l-Tafsīr al-Mauḍū’ī, Dirāsah Manhajiyah Mauḍū’iyyah (cet. 2, 1977). hal. 33. 13
menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi”. Tafsir tematik mengundang banyak sarjana Muslim berkontribusi di dalam melengkapi dan menyempurnakan proses kerja dan alur metodologisnya. Untuk menyebut salah satu contohnya adalah Amīn al-Khūlī (w. 1976) yang mengedepankan dua prinsip metodologis, yakni studi sekitar al-Qur'an, dirāsah mā hawl al-qur'ān, dan studi tentang teks itu sendiri, dirāsah fi-l-qur’ān nafsih. Kajian pertama diarahkan kepada investigasi latar belakang al-Qur'an dimulai dari proses pewahyuan, perkembangan dan sirkulasinya dalam masyarakat Arab sebagai obyek wahyu beserta kodifikasi dan variasi cara baca, sebuah kajian yang kemudian lebih dikenal dengan disiplin ulumul Qur’an. Kajian ini juga difokuskan pada aspek sosiahistoris al-Qur'an, termasuk di dalamnya situasi intelektual, kultural, dan geografis masyarakat Arab abad ke tujuh tatkala al-Qur'an diturunkan.14 Ringkasnya, kajian ini menitikberatkan pada arti pentingnya aspek-aspek historis, sosial, kultural dan antropologis wahyu bersamaan dengan masyarakat Arab abad ke tujuh sebagai obyek langsung teks wahyu tersebut. Penitikberatan
aspek-aspek
yang
masuk dalam rumpun humaniora
menunjukkan bahwa al-Khulī ingin menunjukkan bahwa memahami wahyu tanpa melibatkan keilmuan humaniora yang senantiasa berkembang, akan menyulitkan sampai kepada makna yang dikehendaki teks. Hal ini tidak berarti bahwa teks alQur'an kehilangan sakralitasnya, karena didekati dengan keilmuan kemanusiaan, sebaliknya, keilmuan tersebut merupakan alat bantu efektif yang bisa menghidupkan semangat teks keagamaan dalam konstalasi realitas sosial yang menjadi konsideran nilai filosofis dari wahyu tersebut. Penekanan ini memiliki kesamaan alur dengan Abduh yang mengedepankan sosiologi, ‛ilm ahwāl al-basyar, 15 meskipun tidak secara langsung demikian, dan dengan pemikiran Fazlur Rahman yang menekankan keniscayaan historisitas dan kontekstualitas al-Qur'an 16 agar bisa mendapatkan pemahaman terhadapnya secara menyeluruh.
14
al-Khūlī, al-Tafsīr Ma‛ālim Hayātihi Manhajuh al-Yawm, Cairo, Dār al-Ma’rifa 1962, hlm.38-41
15
Muhammad ‛Abduh, Muqaddima Tafsīr al-Fātiha, 16
16
Fazlur Rahman, “The impact of modernity on Islam” dalam Islamic Studies, v, 1966, 121.
Sedangkan yang kedua adalah studi tentang teks al-Qur'an dari berbagai segi, dimulai dengan investigasi terhadap kata-kata individual al-Qur'an, mufradat, semenjak pertama diwahyukan, perkembangan serta pemakaiannya dalam al-Qur'an agar katakata tersebut dapat dipahami secara totalitas. Kemudian diikuti dengan perhatian sepenuhnya terhadap kata-kata majemuk, murakkabah, yang tentunya analisis tersebut didasarkan pada pengetahuan tentang gramatik dan balāghah. Akan tetapi, perlu diingat bahwa penggunaan perangkat gramatik dan balāghah ini tidak melewati batasbatas kebutuhan, yakni hanya untuk mengungkapkan keindahan gaya tutur alQur’an.17 Salah satu contoh kerja tematik dengan dua langkah di atas adalah penafsiran tentang kekayaan dan properti. Ayat-ayat tersebut diantaranya : al-Baqarah (2): 143; 252; 254; dan 268; al-Isra (17): 7; al-Syura (42): 19; al-Zukhruf (43): 32; dan al-Hadid (57): 7. Dari ayat-ayat ini al-Khuli mengambil al-qarḍ dan qarḍan ḥasanan sebagai tema utama yang secara leksikal berbeda pengertiannya dengan al-dayn, hutang. Al-Qarḍ dan qarḍan ḥasanan menurut al-Khuli selalu dipakai al-Qur'an dalam ayat-ayat di atas dan juga ayat-ayat lain seperti al-Mujadalah (58): 17 untuk merepresentasikan properti ataupun kekayaan. Dengan menggunakan metode analisis yang ditawarkan, al-Khuli sampai pada penafsiran bahwa qarḍan hasanan memiliki implikasi tanggung jawab sosial bagi mereka yang memilikinya.18 Dari investigasi terhadap ekspresi al-Qur'an tentang kekayaan sebagai tema umum, al-Khuli beralih ke topik lain yang lebih spesifik dan masih terkait, yakni dengan kedudukan umat Islam dalam hubungannya dengan tanggung jawab kekayaan, al-māl al-mas’ūl. Dalam hal ini al-Khūlī merujuk kepada ayat 143 surat alBaqarah; “dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia”. Terhadap ayat ini al-Khūlī memberikan perhatian khusus pada kata wasaṭan dan menyatakan bahwa mayoritas mufasir terdahulu memberi makna khiyār atau "pilihan" terhadap kata wasaṭan tersebut. Dengan makna seperti ini al-Khūlī 17
tidak sependapat, oleh
al-Khūlī, al-Tafsīr Ma‛ālim Hayātihi, 44.
Untuk penjelasan lebih detailnya, lihat, Min Hudā al-Qur’ān Mitsāliyyah lā Madzhabiyya, Cairo, Dār al-Hina li-l-Tibā‛a, 1970, 3-7. Penafsiran yang sama juga dapat dilihat dalam topik yang lain, seperti al-Baqarah 177: “wa āta l-māl ‘alā ḥubbihi żawi l-qurbā ….”, 12-13. 18
karenanya ia memberikan ulasan lebih lanjut terhadapnya. Mengingat kata wasaṭan hanya dipakai sekali dalam al-Qur'an, maka al-Khūlī mencari kata yang hampir sama dan ditemukan dalam al-Isra’ (17) ayat 29 dan al-Furqan (25): 67, yang kata tersebut merupakan munāsabah-nya. Simpulan yang dihasilkan adalah bahwa kata wasaṭan adalah "keseimbangan", "keharmonisan", "equilibrium", dalam kehidupan sosial, kultural masyarakat muslim. Lebih jauh, implikasi dari equilibrium adalah penegakan dan pengakuan hak-hak individu dan pernyataan akan tanggung jawab kolektif dalam masyarakat muslim.19 Jika karya mufasir yang menempuh jalur tematik dikelompokkan, maka ada tiga model karya yang dihasilkan dengan pola kerja masing-masing. Pertama adalah karya yang dihasilkan melalui penelurusan kosa kata dan derivasinya serta analisis terhadap kosa kata tersebut sampai menghasilkan satu simpulan mengenai kekayaan makna yang dikandung oleh sebuah kosa kata. Contoh model ini diantaranya adalah al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān buah tangan dari al-Raghīb al-Isfahānī (520 H), dan Ensiklopedia al-Qur’an Kajian Kosa Kata karya sejumlah sarjana Muslim di bawah bimbingan M. Quraish Shihab. 20 Kedua, karya yang dihasilkan melalui penelusuran pokok bahasan dalam sebuah surat al-Qur’an. Model ini sudah disinggung dalam bagian sebelumnya, sebagai tafsir tematik dalam surat al-Qur’an, al-tafsīr al-mauḍū’ī li-lṣūrah. Contoh dari model kedua diantaranya adalah Ahdāf kulli Sūrah wa-Maqāsiduhā fi l-Qur’ān al-Karīm karya Abdullah Syihātah. Ketiga adalah penghimpunan ayat-ayat terkait dengan topik yang dibahas serta analisis terhadapnya sampai diketemukan pandangan atau Weltanschauung al-Qur’an terhadap tema yang dikaji. Model ini merupakan model yang paling banyak dianut oleh para pengkaji al-Qur’an. Pada masa berikutnya, tafsir tematik sebagai cara memahami mendapatkan penyempurnaan-penyempurnaan langkah metodologis terutama yang terkait dengan model ketiga. Salah satunya adalah sebagai berikut: a. Tema yang hendak dibahas ditentukan dan dipilih.
19
al-Khūlī, Min Hudā l-Qur’ān, 59-64; 78-84
Lihat, Muchlis Hanafi, Kata Pengantar, dalam Tafsir al-Qur’an Tematik, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Balitbang Kementerian Agama 2010, hlm. Xxvii. 20
b. Ayat-ayat yang berhubungan dengan topik pembahasan, baik eksplisit maupun implisit, dikumpulkan. c. Ayat-ayat tersebut di atas lalu disusun sesuai dengan urut turunnya, apakah makiyyah atau madaniyah. d. Kitab-kitab tafsir taḥlīlī dijadikan sebagai rujukan utama untuk ulasan. Dalālah kosa kata, penggunaan serta ikatan antara kosa kata-kosa kata itu dalam jumlah, dalam kalimat, serta antara ayat-ayat yang membahas topik yang akan dikaji, mesti diketahui dan diperhatikan sebagai pertimbangan analisis. e. Istimbat atau penarikan substansi dari ayat-ayat pokok bahasan dilakukan untuk mendapatkan pengertian serta pemahaman dari ayat-ayat tersebut. f. Langkah terakhir, tafsir global akan ayat-ayat pokok bahasan dilakukan. Pijakan yang diambil oleh mufasir adalah menjadikan tafsir Nabi dan Sahabat sebagai pedoman utama serta alat bantu lainnya, seperti pendapat tabi’in untuk bisa mendapatkan pemahaman yang proporsional.21 Pola dan mekanisme kerja tafsir tematik seperti ini memang diharapkan mendapatkan pemahaman yang komprehensif akan sesuatu dalam al-Qur’an. Tafsir non tematik, karena berurut ala Mushaf Utsman, seringkali terjebak dalam penafsiran yang parsial tidak menyeluruh, dan mengupas ayat tertentu saja, tidak menggabungkan dengan ayat lain yang masih memiliki kedekatan tema pembicaraan. Sementara itu, sudah jamak diketahui dalam khazanah kajian al-Qur’an bahwa para tokoh menempatkan jargon ayat al-Qur’an saling menafsirkan satu dengan lainnya, alqur’ān yufassiru ba’ḍuhu ba’ḍan. Jargon inilah yang melandasi pemikiran adanya kesatuan tematik dalam al-Qur’an, al-waḥdah al-mauḍū’iyah. Meski demikian, dalam praktek interpretasi, mayoritas tafsir yang menganut sistematika mushaf, kurang menaruh perhatian pada jargon tersebut. Sebaliknya, pola pendekatan tematik-lah yang banyak mengimplementasikannya. Para pengkaji al-Qur’an kontemporer lebih cenderung untuk memilih pola tematik, seperti telah disinggung sebelumnya, mengingat model tersebut dianggap Lihat, Abbās 'Iwadlullah 'Abbās, Muhāḍarāt fī l-Tafsīr al-Mauḍū’ī, hlm. 9-40. Mustafā Muslim, Mabāḥits fī al-Tafsīr al-Mauḍū'ī, hlm 37-38. Sāmir Abdurraḥman Rasywānī, Manhaj al- Tafsīr alMauḍū’ī li l- Qur'ān al-Karīm, hlm. 141- 216. 21
mampu mengantarkan kepada pemahaman konsep tertentu dalam al-Qur’an secara holistik. Konsekwensinya, tafsir dalam pengertian tematik ini tidak bisa menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan dari ayat al-Qur’an dengan menganut tata urut mushaf. Demikian pula, pengertian kata tafsir dalam pola tematik tereduksi menjadi pengelaborasian makna atas konsep dalam al-Qur’an. Pada saat yang bersamaan, tematik ini memunculkan dua model tafsir, yakni tafsir seluruh ayat, di satu sisi, dan tafsir sebagaian ayat atas satu tema tertentu di sisi yang lain. Pendekatan Kombinatif Tulisan-tulisan yang terkumpul dalam artikel ini tidak sepenuhnya menganut pola kerja tafsir tematik secara kaku. Sebaliknya, lebih banyak menganut gerak ganda, dari teks menuju realitas, dan dari realitas kembali ke teks. Yang dimaksud dengan gerak ganda dalam tulisan yang terkumpul ini adalah pertama, menentukan tema yang dianggap penting dan relevan dengan konteks keindonesian kini. Lalu langkah selanjutnya adalah mencari kosa katanya dalam al-Qur’an secara eksplisit maupun implisit. Titik tekan dari upaya penafsiran yang dilakukan dalam buku ini adalah eksplorasi pemahaman dengan menjadikan ayat al-Qur’an sebagai inspirator. Ayat tidak didekati dengan pola analisis struktur semata, melainkan dibawa dalam proses pemaknaan yang lebih jauh terhadap persoalan yang diangkat sebagai topik kajian. Konsekuensinya, acapkali terkesan bahwa penafsiran terhadap ayat dari sisi analisis kosa kata merupakan bagian minor dalam pembahasan. Namun, hal tersebut bukan berarti mengurangi atau ”melanggar” pakem dalam teori penafsiran. Sebaliknya, teori penafsiran merupakan pijakan awal, lalu pengembangan cakrawala yang lebih banyak melengkapi uraian dalam pembahasan tema-tema dimaksud. Uraian kosa kata yang ada di dalam ayat yang dibahas menjadi pijakan pengembangan uraian. Sebagai contoh adalah penafsiran terhadap ayat ke 6 surat al-Hujurat (49) yang disinyalir sebagai acuan komunikasi sebagai topik pembahasan. Kata al-nabā’ dalam ayat tersebut berarti khabar, bedanya, khabar yang amat penting biasa digunakan kosa katanya oleh al-Qur’an dengan al-nabā’. Penafsiran terhadapnya juga melibatkan informasi mengenai sabab turunnya ayat untuk mendukung pemahaman yang proporsional.
Sabab al-nuzūl dari ayat ke 6 al-Hujurat berkaitan dengan berita bohong yang disampaikan oleh al-Walid ibn Uqbah ketika Rasulullah mengutusnya ke Bani Mustaliq yang dipimpin oleh Harits ibn Dhirar al-Khazai untuk memungut zakat mereka. al-Walid tidak pergi ke Bani Mustaliq tetapi dia menyampaikan laporan kepada Rasulullah bahwa mereka enggan membayar zakat dan berniat membunuhnya padahal al-Walid adalah utusan Rasulullah. Mendengar hal tersebut Rasulullah marah dan memerintahkan al-Walid untuk mengklarifikasi kebenarannya, maka turunlah ayat di atas untuk mengingatkan bahaya berita bohong yang disampaikan oleh orang fasiq seperti al-Walid.22 Mekanisme penggalian makna yang ditempuh, seperti diuraikan di atas, tidaklah jauh berbeda dengan pola tafsir tematik pada umumnya. Yang menjadi tambahan dalam tulisan-tulisan yang dihimpun dalam buku ini adalah pengembangan nuansa dalam tema yang sedang dibahas. Penentuan tema dalam buku ini cukup beragam, dari persoalan keluarga, lingkungan hidup, korupsi, ketenagakerjaan, pernikahan beda agama serta kebinekaan. Sebagian dari naskah merupakan tulisan yang telah diterbitkan dalam Tafsir al-Qur’an Tematik oleh Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama, di mana penulis sebagai salah satu timnya sejak tahun 2008. Antara satu tema dengan tema lain bisa jadi tidak saling berhubungan, akan tetapi semuanya mencerminkan pola pengelaborasian makna al-Qur’an secara tematis. Disamping itu, tema-tema yang ditulis merupakan beberapa persoalan yang ditemukan di Indonesia. Nikah beda agama, misalnya, merupakan salah satu issu penting sekaligus melahirkan kontroversi di tengah masyarakat Muslim antara yang pro dan kontra. Demikian pula tema mengenai jihad melawan korupsi, di mana korupsi merupakan salah satu persoalan yang amat serius di negeri Indonesia, karena banyaknya kasus yang terjadi. Hal yang hampir sama adalah tentang etika lingkungan, mengingat preservasi lingkungan merupakan tanggung jawab semua elemen masyarakat, termasuk di dalamnya adalah agamawan kitab suci. Oleh karena itu, hadirnya buku ini mudah-mudahan merupakan ikhtiyar membumikan al-Qur’an dalam pelbagai persoalan sosial kemasyarakatan di Indonesia.
22
Ibn Kasīr, Tafsīr al-Qur’ān al-῾Azīm, versi Maktabah Syāmilah, hlm. 370.
Penutup Pada bagian ini penulis akan menguraikan beberapa point, yang dimaksudkan sebagai kesimpulan dalam tulisan ini, sebagai berikut: 1. Tafsir tematik, al-tafsīr al-mawḍū’ī. Model ini didasarkan pada kebutuhan yang senantiasa berkembang, realitas sosial yang dinamis yang menuntut jawabanjawaban Qur’ani. mengingat fungsinya yang terfokus pada pengelaborasian makna dari sebuah tema tertentu yang disinggung oleh al-Qur’an. 2. secara historis, Indonesia lebih artikulatif dibandingkan dengan di kawasan berbahasa Melayu lainnya, seperti Brunei dan Malaysia. Ini diBuktikan seperti penterjemahan Abd al-Rauf Singkel atas Tafsīr al-Jalālain dan sejenisnya maupun karya asli seperti al-Nawawi pada abad ke 19. ia sebut sebagai centre of Islamic learning bagi kawasan Asia Tenggara yang berlangsung sampai abad ke dua puluh dalam kajian Islam. 3. Secara umum, Tafsir tematik dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, tematik berdasar surat al-Qur’an; dan kedua, tematik berdasar subyek. Tematik berdasarkan surat al-Qur’an adalah menafsirkan al-Qur’an dengan cara membahas satu surat tertentu dari al-Qur’an dengan mengambil bahasan pokok dari surat dimaksud. Kedua model ini lazim disebut sebagai al-tafsīr almauḍū'ī li al-Qur'ān dan al-tafsīr al- mauḍū'ī li l-ṣūrah. 4. Ternyata
yang
penting
diperhatikan
dalam
pendekatan
kombinatif
diantaranya menentukan tema yang dianggap penting dan relevan dengan konteks keindonesian kini. Lalu secara eksplisit maupun implisit, mencari kosa katanya dalam al-Qur’an. Titik tekan dari upaya penafsiran yang dilakukan adalah eksplorasi pemahaman dengan menjadikan ayat al-Qur’an sebagai inspirator.
DAFTAR PUSTAKA Abbās, Abbās 'Iwadlullah. Muhāḍarāt fī l-Tafsīr al-Mauḍū’ī, hlm. 9-40. Mustafā Muslim, Mabāḥits fī al-Tafsīr al-Mauḍū'ī. Abbās, Abbās Abdullah. Muhāḍarāt fī al-Tafsīr al-Mauḍū’ī, Damaskus: Dār al-Fikr 2007. Abduh, Muhammad. Muqaddima Tafsīr al-Fātiha, 16 Adnan, Mohamad. “Berbuka”, al-Qur’an al-Karim Tafsir Qur’an Suci Basa Jawi, Bandung: al-Ma’arif 1987. al-Farmāwī, Abdul Hayyī . al-Bidāyah fī l-Tafsīr al-Mauḍū’ī, Dirāsah Manhajiyah Mauḍū’iyyah, cet. 2, 1977. al-Khūlī, al-Tafsīr Ma‛ālim Hayātihi Manhajuh al-Yawm, Cairo, Dār al-Ma’rifa 1962. al-Khūlī, al-Tafsīr Ma‛ālim Hayātihi, Min Hudā al-Qur’ān Mitsāliyyah lā Madzhabiyya, Cairo, Dār al-Hina li-l-Tibā‛a, 1970. Bruinessen, Martin van. Global and Local in Indonesian Islam“, Southeast Asian Studies (Kyoto) vol. 37 no. 2, 1999. Federspiel, Howard. Popular Indonesian Literature of the Qur’an, Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University, 1994. Gätje, Helmut. Grundriß der Arabischen Philologie, jilid II. Wiesbaden, Ludwig Reichert Verlag, 1987. Hanafi, Muchlis. Kata Pengantar, dalam Tafsir al-Qur’an Tematik, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Balitbang Kementerian Agama 2010. Hanafi, Hasan. "Manāhij al-Tafsīr wa-Maṣālih al-Ummah", dalam al-Dīn wa l-Tsawra: al-Yamīn wa l-Yasār fī l-Fikr al-Dīnī, Kairo, 1989. Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika Hingga Ideologi, Jakarta: Teraju 2003. Kasīr, Ibn. Tafsīr al-Qur’ān al-῾Azīm, versi Maktabah Syāmilah. Muhsin, Imam. Tafsir al-Qur’an dan Budaya Lokal: Studi Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Tafsir al-Huda Karya Bakri Syahid, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI 2010.
Nasution, Yunan. Perkembangan Metode Tafsir Indonesia“, dalam Pesantren, vol 8. nomor 1, 1991. _____________. Karakteristik Tafsir al-Qur’an di Indonesia Abad Kedua Puluh“, Jurnal Ulumul Qur’an, vol. 3, nomor 4, 1992. Rasywānī, Sāmir Abdurrahman. Manhaj al-Tafsīr al- Maudū'i li l-Qur'ān al-Karīm, Suriyah: Dār al- Multaqā, 2009. Rahman, Fazlur. “The impact of modernity on Islam” dalam Islamic Studies, v, 1966. Rasywānī, Sāmir Abdurraḥman. Manhaj al- Tafsīr al-Mauḍū’ī li l- Qur'ān al-Karīm. Said, Abdussatar Fathullah. al-Madkhal ilā al-Tafsīr al-Mauḍū’ī, Cairo: Dār al-Tauzi’ wa l-Nasyr al-Islāmiyyah 1991, cetakan kedua. Syafrudin, Didin. Karakter Literatur Indonesia tentang al-Qur’an”, Studia Islamika, volume 2, nomor 2, 1995. Sezgin, Fuat. Geschichte des Arabischen Schriftums, jilid I. Leiden, E.J. Brill 1945,. Setiawan, M. Nur Kholis. al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta, eLSAQ Press 2005.