M. Iwan S., Rokiyah, Eksistensi Bawaslu Dalam Penegakan Pemilu
95
EKSISTENSI BAWASLU DALAM PENEGAKAN PEMILU M. Iwan Satriawan1 e-mail:
[email protected] Rokiyah2 e-mail:
[email protected] Abstrak Keberadaan pemilu telah menjadi salah satu kunci terwujudnya masyarakat yang demokratis. Dalam sejarah pemilu di Indonesia telah dilaksanakan sebanyak 11 (sebelas) kali dimulai dari tahun 1955 hingga terkahir pada tahun 2014. Selain KPU sebagai penyelenggara pemilu juga ada Bawaslu yang bertugas mengawasi jalannya pemilu. Keberadaan Bawaslu sebagai lembaga permanen pengawas pemilu sudah ada semenjak tahun 2009, sedangkan sebelumnya adalah berupa ad hoc. Sebagai lembaga yang bertugas khusus mengawasi jalannya pemilu Bawaslu mempunyai fungsi strategis dalam ikut mengawal tumbuhnya iklim demokrasi di Indonesia. Kata kunci: bawaslu, demokrasi, pemilu,
PENDAHULUAN Adanya suatu pemerintahan yang berkuasa dalam suatu wilayah terhadap seluruh wilayah dan rakyatnya merupakan syarat mutlak bagi adanya sebuah negara. Pemerintah lain, negara lain, tidak berkuasa di wilayah dan terhadap rakyat negara itu. Kekuasaan yang demikian disebut dengan kedaulatan (sovereignty). Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berlaku terhadap seluruh rakyat negara itu3. Pasca amandemen UUD 1945 telah terjadi perubahan yang fundamental terkait makna kedaulatan (sovereignty). Di dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 disebutkan “kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Menurut Affan Gaffar,4 rumusan ini harus diubah karena dua alasan. Pertama, kedaulatan merupakan sesuatu yang tidak dapat didelegasikan atau diserahkan.Kedua, pada prakteknya MPR pernah membuat keputusan yang bertentangan dengan kehendak rakyat.5Berangkat dari realitas ini, maka rumusan mengenai kedaulatan diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Ada 5 teori yang minimal bisa diperdebatkan mengenai soal kedaulatan ini yaitu kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan hukum, kedaulatan rakyat atau kedaulatan negara. Semenjak Indonesia merdeka, para pemimpin bangsa ini telah memilih republik sebagai bentuk 1
2 3 4
5
Fakultas Hukum Universitas Lampung, Jl. Prof. Sumantri Brodjonegoro Nomor 01, Gedong Meneng, Rajabasa, Kota Bandar Lampung MKU Politeknik Negeri Malang, Jl. Soekarno Hatta 19 Malang Soetomo,(1993), Ilmu Negara, Surabaya: Usaha Nasional, hlm 27 Affan Gaffar dalam Kacung Marijan, (2010), Sistem Politik Indonesia (Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru), Jakarta: Prenada Media Grup, hlm.26 Salah satu keputusan MPR yang dianggap bertentangan dengan kehendak rakyat adalah terpilihnya Gus Dur menjadi presiden pada tahun 1999, padahal pemilu 1999 dimenangkan oleh PDIP yang mengusung Megawati sebagai calon presidennya.
96
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
negara dan meninggalkan bentuk monarkhi atau kerajaan yang telah ada sejak puluhan tahun lamanya6. Demikian juga mengenai konsep kedaulatan negara yang bisa dipahami dalam konteks hubungan internasional. Sehingga yang paling penting adalah konsep kedaulatan Tuhan, hukum dan rakyat yang layak menjadi perdebatan dan kunci dalam sistem pemikiran mengenai kekuasaan dalam keseluruhan konsep bernegara bangsa Indonesia. Menurut Jimly konsep kedaulatan Tuhan, hukum dan rakyat berlaku secara simultan dalam pemikiran bangsa Indonesia yaitu tentang kekuasaan bahwa kekuasaan kenegaraan dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia pada pokoknya adalah derivate dari kesadaran kolektif mengenai kemahakuasaan Tuhan YME. Kemudian keyakinan akan kemahakuasaan Tuhan itu diwujudkan dalam paham kedaulatan hukum dan sekaligus dalam kedaulatan rakyat yang kita terima sebagai dasar-dasar berpikir sistemik dalam kontruksi UUD negara kita7. Oleh sebab itu, prinsip kedaulatan rakyat selain diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dihasilkan, juga tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem hukum (law enforcement) dan berfungsinya demokrasi. Dari sisi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat diorganisasikan melalui dua pilihan cara, yaitu pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution atau division of power). Konsep pemisahan kekuasaan bersifat horizontal dalam arti pemisahan kekuasaan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dalam saling mengimbangi (checks and balances). Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat. Yang seiring dengan bergulirnya reformasi, sistem pembagian kekuasaan di Indonesia berubah dari bersifat vertikal menjadi bersifat horizontal yang terwujud dengan banyaknya berdiri komisi-komisi negara atau lembaga-lembaga negara baru. Setelah reformasi 1998, sistem kelembagaan negara Indonesia menampilkan wajah baru. Fase transisi dari orde otoritarian menuju orde demokrasi substansial diawali dengan amandemen UUD RI tahun 1945 sebanyak empat kali secara bertahap yang berakibat lahirnya lembagalembaga dan komisi-komisi baru yang tidak mungkin diabaikan dalam masa transisi ini. Istilah komisi negara di beberapa negara disebutkan dalam berbagai istilah yang berbeda. Misalnya di Amerika istilah komisi negara ini ialah Administratif Agency.8 Dari sekian banyaknya komisi independen yang terlahir akibat amandemen UUD 1945 munculnya KPU (Komisi Pemilihan Umum)9 dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Kedua lembaga ini adalah penyelenggara pemilu di Indonesia sebagai amanaty Pasal 1 ayat (5) Undang-undang no 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu yang berbunyi: Penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi 6
7
8
9
Dalam sejarah Indonesia telah berdiri beberapa kerajaan jauh sebelum republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Sukarno-Hatta berdiri. Kerajaan-kerajaan besar itu antara lain: di Aceh ada Samudera Pasai, di Sumatera selatan ada kerajaan Sriwijaya, di Jawa Tengah ada kerajaan Mataram Hindu dan Mataram Islam, di Jawa timur ada Majapahit dan Singhasari dll Jimly Asshiddiqie, (2005), Format Kelembagaan Negara dan pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press,hlm 10 Denny Indrayana dalam Supriyadi dan Indriaswati, (2007), “Catatan Umum Atas Keberadaan Komisi Negara Di Indonesia” dalam Jurnal Legislasi Indonesia Volume 4 Nomor 3 September 2007 Dalam Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 disebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
M. Iwan S., Rokiyah, Eksistensi Bawaslu Dalam Penegakan Pemilu
97
penyelenggaran pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati dan walikota secara demokratis. Sedangkan untuk Bawaslu sendiri sebagaimana bunyi pasal 1 ayat (16) UU No 15 Tahun 2011 adalah Lembaga penyelenggara pemilu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam menjalankan kewenangannya Bawaslu berpegang pada asas: (a) mandiri; (b) jujur; (c) adil; (d) kepastian hukum; (e) tertib; (f) kepentingan umum; (g) keterbukaan; (h) proporsionalitas; (i) profesionalitas; (j) akuntabilitas; (k) efisiensi dan; (l) efektifitas. Bawaslu bertugas untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran untuk terwujudnya pemilu yang demokratis. Agar penelitian ini bisa terfokus dan sesuai dengan harapan, maka hal-hal yang akan diteliti akan kami batasi pada: (1) bentuk lembaga negara baru pasca reformasi 1998; (2) bentuk eksistensi Bawaslu dalam menegakkan pemilu yang jurdil di Indonesia. TRIAS POLITICA LEMBAGA NEGARA Secara sederhana, istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau biasa disebut Ornop atau Organisasi Nonpemerintah yang dalam bahasa Inggris disebut Non-Government Organization atau NonGovernmental Organizations (NGO’s). Oleh sebab itu, lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara. Lembaga negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran. Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa disebut staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal tersebut identik dengan lembaga negara, badan negara, atau disebut juga dengan organ negara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 1997), kata “lembaga” diartikan sebagai: (i) asal mula atau bakal (yang akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk asli (rupa, wujud); (iii) acuan, ikatan; (iv) badan atau organisasi yang bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan usaha; (v) pola perilaku yang mapan yang terdiri atas interaksi sosial yang berstruktur.10 Dalam kamus hukum bahasa Belanda-Indonesia,11 kata staatsorgaan itu diterjemahkan sebagai alat perlengkapan negara. Dalam kamus hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata dkk., kata organ juga diartikan sebagai perlengkapan12. Oleh karena itu istilah lembaga negara, organ negara, badan negara, dan alat perlengkapan negara seringkali dipertukarkan satu sama lain. Akan tetapi, menurut Natabaya, penyusun UUD 1945 sebelum perubahan, cenderung konsisten menggunakan istilah badan negara, bukan lembaga negara atau organ negara.
10
11 12
Kamus Besar Bahasa Indonesia, lihat H.A.S Natabaya, dalam Jimly Asshidiqie dkk.(editor Refly Harun dkk.)., Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, (2004), Jakarta: Konstitusi Press, hlm 60-61. Lihat juga Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara Dan Sengketa Kewenangan Antar-Lembaga Negara, Sekertariat Jenderal MKRI dan Jakarta KRHN, (2005), hlm 29-30. Marjanne Termorshuizen, (2002), Kamus Hukum Belanda Indonesia, cet-2, Jakarta: Djambatan, hlm 390. H.A.S Natabaya, Op.cit., hlm, 61-62.
98
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Untuk maksud yang sama, konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) tahun 1949 tidak menggunakan istilah lain kecuali alat perlengkapan negara. Sedangkan UUD 1945 setelah perubahan keempat (tahun 2002), melanjutkan kebiasaan MPR sebelum reformasi dengan tidak konsisten menggunakan istilah lembaga negara, organ negara, dan badan negara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara. Lembaga negara tersebut dapat berada dalam ranah eksekutif, legislatif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran. Akan tetapi, baik ditingkat nasional atau pusat, maupun ditingkat daerah, bentuk-bentuk organisasi negara dan pemerintahan itu dalam perkembangan dewasa ini berkembang sangat pesat. Doktrin trias politica yang diidealkan oleh Baron de Montesquieu (1689-1785) adalah bahwa ketiga fungsi kekuasaan negara itu harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi, dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian, maka kebebasan akan terancam. Konsepsi trias politica yang diiedealkan oleh Montesquieu ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah saru dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antara cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip check and balances. Disamping lembaga tinggi negara dan lembaga konstitusional lainnya, adapula beberapa lembaga negara lain yang dibentuk berdasarkan amanat undang-undang atau peraturan yang lebih rendah, seperti peraturan pemerintah, Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden. Beberapa diantaranya adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Komisi Banding Paten, Komisi Banding Merek, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Dewan Pertanahan Nasional, BP Migas dan BPH Migas, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), dan sebagainya. Terkadang lembaga-lembaga negara yang dimaksud dibentuk berdasarkan atas peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang atau bahkan hanya didasarkan atas beleid Presiden (Presidential Policy) saja. Lembaga-lembaga tersebut misalnya, Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Nasional Lanjut Usia, Lemhamnas, LPND (Perpres No. 11/2005) dan lain sebagainya. PEMILU DAN PENEGAKKAN DEMOKRASI DI INDONESIA Dalam diskursus ilmu sosial dan politik, pemilu telah dijadikan cara atau metode yang sah untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Pemilu juga dapat diartikan sebagai ujian bagi mereka yang sedang berkuasa (incumbent) terhadap hasil kerja selama 5 (lima) tahun berkuasa, apakah sebagian besar rakyat pemilih masih menginginkan untuk berkuasa atau tidak. Keberhasilan penyelenggaran Pemilu juga telah menjadi paramater baik atau tidaknya praktik demokrasi dalam suatu negara. Hal ini terkait dengan demokrasi sendiri telah dijadikan salah satu parameter kesejahteraan rakyat meskipun disatu sisi beberapa kalangan tetap menganggap bahwa sistem demokrasi merupakan sistem terburuk dalam suatu negara sebagaimana yang dinyatakan oleh Plato beberapa abad yang silam.
M. Iwan S., Rokiyah, Eksistensi Bawaslu Dalam Penegakan Pemilu
99
Selama pemerintahan orde baru telah dilaksanakan pemilu yaitu dari tahun 1971-1997 . Namun pemilu yang telah dilaksanakan selama 6(enam) kali tersebut bukanlah pemilu dalam arti yang sesungguhnya yaitu sesuai dengan asasnya langsung umum bebas rahasia (luber) dan jujur dan adil (jurdil) melainkan hanya berupa pseudeo pemilu (pemilu semu). Hal ini disebabkan pemilu tersebut penuh dengan intimidasi dan manipulasi, sehingga berakibat jauh sebelum pemilu dilaksanakan, pemenangnya sudah dapat dipastikan. Berdasarkan semangat pembaharuan sistem pemilu yang ada di indonesia, maka dibutuhkan pengawasan pada kinerja penyelenggara pemilu (KPU beserta jajaran dibawahnya). Kelembagaan Pengawas Pemilu baru muncul pada pelaksanaan Pemilu 1982, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu). Pada saat itu sudah mulai muncul ketidak percayaan (distrust) terhadap pelaksanaan Pemilu yang mulai dikooptasi oleh kekuatan rezim penguasa. Pembentukan Panwaslak Pemilu pada Pemilu 1982 dilatar belakangi oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu 1971. Selanjutnya pada tahun 1997 juga telah diusahakan untuk mendirikan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) yang diinisiasi tokoh-tokoh nasional diantaranya Nurcholis Madjid, Arbi Sanit, Goenawan Muhammad dan Mulyana W Kusumah, namun semua lembaga ini tidak berjalan maksimal akibat tindakan pemerintah orde baru yang sangat represif. Seiring dengan bergulirnya reformasi pada tahun 1998, telah membawa perubahan yang sangat signifikan bagi sistem ketatanegaraan di Indonesia khususnya mengenai perubahan sistem pemilihan umum (baca pemilu). Salah satunya adalah keberadaan Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) yang pada pelaksanaan pemilu tahun 2004 masih bersifat ad hoc, namun sejak tahun 2009 bersifat permanen di tingkat pusat, sementara di tingkat daerah masih sama dengan pemilu tahun 2004. Keberadaan Bawaslu sendiri berakar dari dibutuhkannya mekanisme check and balances antar penyelenggara negara khususnya dalam pelaksanaan pemilu. Sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton “the power tend to corrupt, absolutely power corrupt absolutely”. Hal ini terkait dengan KPU sebagai satu-satunya lembaga penyelenggara pemilu yang keberadaannya dilindungi dan diamanatkan oleh UUD 1945 khususnya pasal 22E ayat (5). Maka dari itu kinerjanya harus diawasi agar penyelenggaran pemilu tetap pada jalurnya (baca:luber dan jurdil) Berangkat dari prespektif tersebut, maka menempatkan pengawasan pemilu sebagai “kebutuhan dasar” (basic an objektive needs) dari setiap pemilu yang digelar, baik secara nasional maupun lokal (baca:pemilukada). Keberadaan BAWASLU akan tetap sangat penting jika selama indeks demokrasi di Indonesia (IDI) masih rendah. Hal ini mengacu rilis indikator demokrasi oleh badan internasional bekerja sama dengan BPS yang menyatakan bahwa indikator tinggi atau rendahnya indeks demokrasi dalam suatu negara rendah dapat dilihat dari 5 (lima ) komponen yaitu pluralisme dan pelaksanaan pemilu, fungsi pemerintahan, kebebasan sipil, partisipasi politik masyarakat serta budaya politik. Harapannya kedepan, dengan semakin tingginya tingkat melek huruf rakyat Indonesia, maka tingkat kedewasaan dan pemahaman dalam berdemokrasi menjadi lebih baik. Tidak adalagi tipu muslihat dalam hal penggelembungan suara, money politik, manipulasi data dan intimidasi antar kelompok-kelompok pendukung sehingga berujung pada sengketa pemilu.
100
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Maka pengawasan pemilu dapat dikembalikan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tidak lagi diwakilkan kepada lembaga negara baik itu bersifat ad hoc maupun permanen. Untuk menuju kepada kedewasaan pemilu setidaknya dibutuhkan pembenahan dalam 3 (tiga) hal sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence M.Friedman dalam teorinya efektifitas hukum yang terdiri dari (1) substansi hukumnya (legal substance). Yaitu bagaimana produk hukum yang sudah dibuat dalam praktiknya tidak multi tafsir dan benar-benar sesuai dengan keinginan rakyat (2) aparatur hukumnya (legal structure). Dalam artian aparat sebagai penegak dari aturan tidak pandang bulu dalam menegakkan aturan dan yang ke (3) adalah budaya hukumnya (legal culture). Dimana masyarakat menyadari pentingnya pemilu yang baik sehingga dapat menghasilkan pemimpin yang baik bagi mereka. Dengan begitu pengawasan pemilu cukup dilakukan oleh rakyat, tidak lagi melalui pengawas pemilu ditingkat desa hingga kecamatan cukup di tingkat kota dan provinsi saja. EKSISTENSI BAWASLU DALAM PENEGAKKAN PEMILU DI INDONESIA Lembaga pengawas pemilu semacam Bawaslu yang berdiri sendiri, terpisah dari pemerintah dan ditunjang fasilitas dan staf memadai hanya terdapat di Indonesia. Kehadirannya merupakan jawaban atas anggapan yang mengatakan bahwa lembaga pengawas pemilu kurang bergigi dalam melakukan kerja-kerja pengawasan13. Salah satu bentuk penegakkan hukum adalah pada perbaikan legal struktur yang dalam hal ini dibentuknya Bawaslu sebagai lembaga negara independen yang mempunyai tugas khusus mengawasi pemilu baik ditingkat nasional maupun daerah. Bawaslu ditingkat pusat terdiri dari 5 (lima) orang komisioner,sedangkan untuk di tingkat provinsi terdiri dari 3 (tiga) komisioner. Antara Bawaslu pusat dan Provinsi bersifat tetap, sedangkan untuk ditingkat kabupaten atau kota bersifat ad hoc yang juga terdiri dari 3 (tiga) komisioner. Berdasarkan komposisi dan tugas juga kewenangan14 Bawaslu dalam mengawasi pelaksanaan pemilu terjadi perbedaan dengan KPU baik untuk tingkat pusat maupun daerah. Hal ini berpengaruh juga pada keberhasilan kedua lembaga tersebut dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Berdasarkan pengalaman pileg 2014 tersaji data sebagai berikut: penanganan pelanggaran pileg 2014, tercatat bahwa ada 74% pelanggaran ditindaklanjuti sedangkan 26% tidak ditindaklanjuti15. Sedangkan untuk jenis pelanggaran pidana pada pileg 2014 terjadi 660, dan pelanggaran administrasi sebanyak 772016. Dengan banyaknya pelanggaran-pelanggaran tersebut, menunjukkan bahwa diperlukan penguatan secara kelembagaan kepada Bawaslu untuk dapat menekan tingkat pelanggaran yang selalu terjadi dalam setiap pemilu baik dipusat maupun di daerah. Baik itu pemilu presiden maupun legislatif. Bentuk penguatan kelembagaan dapat dilakukan dengan cara menambah personil Bawaslu khususnya ditingkat provinsi jumlahnya disamakan dengan dipusat yaitu 5 (lima) orang, mempermanenkan panwaslu ditingkat kabupaten atau kota tida lagi ad hoc, dan yang ketiga adalah pada perubahan model pemilihan anggota Bawaslu baik dipusat maupun di daerah.
13 14 15 16
Gunawan Suswantoro, (2015), Pengawasan Pemilu Partisipatif, Jakarta: Erlangga, hlm.67-77 Lihat Pasal 73 UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu “Memelihara Ruang Curang dalam Pemilu”, Buletin Bawaslu, Edisi 2, Februari 2015 Ibid.,
M. Iwan S., Rokiyah, Eksistensi Bawaslu Dalam Penegakan Pemilu
101
Hal ini disebabkan perbaiakan kelembagaan tanpa diiringi dengan peningkatan kapasiatas personil yang didapatkan dari proses rekrutmen yang tepat akan sia-sia. Model prekrutan selama ini yang terjadi adalah selalu melibatkan lembaga politik yaitu pada tingkatan fit and proper test bagi Bawaslu pusat oleh DPR RI. Seharusnya proses rekrutmen anggota Bawaslu cukup hanya sampai pada tim seleksi, tidak lagi melibatkan lembaga politik yang notebene dalam pelaksanaan pemilu akan selalu diawasi oleh Bawaslu. Demikian juga dengan model pemilihan tim seleksinya, harus terbuka dan transparan. Karena selama ini yang terjadi pemilihan tim seleksi terkesan tertutup dan menjadi domain eksekutif untuk ditingkat pusat, dan menjadi domain Bawaslu pusat untuk memilih timsel yang bertugas di provinsi dan menjadi kewenangan bawaslu provinsi untuk memilih timsel panwaslu kota atau kabupaten. PENUTUP Keberadaan Bawaslu sebagai salah satu lembaga penyelenggara pemilu mempunyai peran yang sangat unik dan berbeda dengan lembaga-lembaga independen lainnya. Tugas Bawaslu adalah mengawasi jalannya pemilu, memproses jika terjadi pelanggaran dan ikut serta mensosialisasikan pemilu. Penguatan kelembagaan Bawaslu dapat diwujudkan dengan penambahan kewenangan dan jumlah personil khususnya ditingkat provinsi, kota atau kabupaten. Hal ini tidak terlepas dari beban berat pengawasan khususnya jika sudah berhubungan dengan bentuk medan yang berat dan kompleksitas pelanggaran yang harus ditangani atau juga dilakukan pencegahan. DAFTAR PUSTAKA Arifin, Firmansyah dkk., (2005), Lembaga Negara Dan Sengketa Kewenangan Antar-Lembaga Negara, Sekertariat Jenderal MKRI dan Jakarta KRHN. Asshiddiqie, Jimly, (2005), Format Kelembagaan Negara dan pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press. _____________., (2004), editor Refly Harun dkk., Menjaga Denyut Nadi Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press. Marijan, Kacung, (2010), Sistem Politik Indonesia (Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru), Jakarta: Prenada Media Grup. Mochtar, Zainal Arifin, (2016), Lembaga Negara Independen, Jakarta: Rajawali Press. Soetomo, (1993), Ilmu Negara, Surabaya: Usaha Nasional. Supriyadi dan Indriaswati, (2007), “Catatan Umum Atas Keberadaan Komisi Negara Di Indonesia” dalam Jurnal Legislasi Indonesia Volume 4 Nomor 3 September 2007. Soetomo, (1993), Ilmu Negara, Surabaya: Usaha Nasional. Termorshuizen, Marjanne, (2002), Kamus Hukum Belanda Indonesia, cet-2, Jakarta: Djambatan. Suswantoro, Gunawan, (2015), Pengawasan Pemilu Partisipatif, Jakarta: Erlangga.
102
LAW ENFORCEMENT, Volume 4, No.1, Oktober 2016 – Maret 2017, Halaman 1 – 102
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Buletin Bawaslu, Edisi 2, Februari 2015 “Memelihara Ruang Curang dalam Pemilu”.