BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepuasan Kerja 2.1.1 Pengertian kepuasan kerja Luthans (2005) dalam bukunya Organizational Behaviour mengutip pendapat Locke bahwa kepuasan kerja merupakan keadaan emosional yang positif dari seseorang yang ditimbulkan dari penghargaan atas sesuatu pekerjaan yang telah dilakukannya. Dikatakan lebih lanjut bahwa kepuasan kerja merupakan hasil dari prestasi seseorang terhadap sampai seberapa baik pekerjaannya menyediakan sesuatu yang berguna baginya. Robbins (2003) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, selisih antara banyaknya ganjaran yang diterima seorang pekerja dan banyaknya yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Pegawai yang menikmati pekerjaan akan merasa puas jika hasil kerja keras dan balas jasa dirasa adil dan layak (Fathoni, 2006). Locke (Luthans, 2005) memberikan definisi komprehensif dari kepuasan kerja yang meliputi reaksi atau kognitif, afektif, dan evaluatif dan menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah ”keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang.” Kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi pegawai mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting. Terdapat tiga dimensi yang diterima secara umum dalam kepuasan kerja. Pertama, kepuasan kerja merupakan respons emosional terhadap situasi kerja. Dengan demikian, kepuasan kerja dapat dilihat dan dapat diduga. Kedua, kepuasan kerja sering ditentukan
menurut seberapa baik hasil yang dicapai memenuhi atau melampaui harapan. Ketiga, kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang berhubungan. Menurut Handoko (2004) menyatakan kepuasan kerja (job satisfaction) sebagai keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para pegawai memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan sikap seseorang terhadap pekerjaannya. Ini nampak dalam sikap positif pegawai terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Departemen personalia atau pihak manajemen harus senantiasa memonitor kepuasan kerja, karena hal ini dapat mempengaruhi tingkat absensi, perputaran tenaga kerja, semangat kerja, keluhan-keluhan dan masalah personalia vital lainnya. Menurut Malthis (2006) kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang positif dari mengevaluasi pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan kerja muncul saat harapan-harapan ini tidak terpenuhi. Kepuasan kerja mempunyai banyak dimensi, secara umum adalah kepuasan dalam pekerjaan itu sendiri, gaji, pengakuan, hubungan antara supervisor dengan tenaga kerja, dan kesempatan untuk maju. Setiap dimensi menghasilkan perasaan puas secara keseluruhan dengan pekerjaan itu sendiri. Tolak ukur tingkat kepuasan yang mutlak tidak ada, karena setiap individu pegawai berbeda standar kepuasannya. Indikator kepuasan kerja ini dapat diukur dengan kedisiplinan, moral kerja, maka secara relatif kepuasan kerja pegawai baik tetapi sebaliknya jika kedisiplinan, moral kerja, maka kepuasan kerja pegawai pada perusahaan dinilai kurang. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa kepuasan kerja
11
pegawai merupakan sikap pegawai terhadap bagaimana mereka memandang pekerjaannya. Kepuasan pegawai
dapat
memberikan beberapa manfaat,
diantaranya adalah menciptakan hubungan yang harmonis antara perusahaan dengan pegawai. Kepuasan atau ketidakpuasan pegawai adalah respon pegawai terhadap evaluasi tingkat kesesuaian antara harapan sebelumnya dan kinerja desain pekerjaan aktual yang dirasakan oleh pegawai. Jadi, tingkat kepuasan pegawai terhadap pekerjaannya dan karirnya merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja desain dan evaluasi pekerjaan dan karir yang dirasakan dengan harapan pegawai. Apabila kinerja desain dan evaluasi pekerjaan dan karirnya tidak sesuai dengan harapan atau harapan melebihi kinerja desain dan evaluasi pekerjaan dan karirnya, maka pegawai akan kecewa. Sedangkan apabila kinerja desain dan evaluasi pekerjaan dan karirnya sesuai dengan harapan atau bahkan melebihi harapannya, pegawai akan merasa sangat puas. Jadi kepuasan kerja adalah keadaan emosional seseorang terhadap pekerjaannya, ketika dia menemukan titik temu antara apa yang dia harapkan dari pekerjaan itu dan apa yang telah diberikan perusahaan terhadap dirinya. 2.1.2 Indikator Kepuasan Kerja As’sad (2008) menjelaskan bahwa variabel yang dapat dijadikan indikasi menurunnya kepuasan kerja adalah tingginya tingkat absensi (absenteeism), tingginya keluar masuknya pegawai (turnover), menurunnya produktivitas kerja atau prestasi kerja pegawai (performance). Apabila indikasi menurunnya kepuasan kerja pegawai tersebut muncul ke permukaan, maka hendaknya segera ditangani supaya tidak merugikan perusahaan.
Menurut Kreitner dan Kinicki (Wibowo, 2007), terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kepuasan kerja, sebagai berikut. 1) Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan) Kepuasan yang ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan pada individu untuk memenuhi kebutuhannya. 2) Discrepancies (perbedaan) Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan. 3) Value attainment (pencapaian nilai) Kepuasan merupakan hasil dari persepsi pekerjaan yang memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang penting. 4) Equity (keadilan) Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja. 5) Dispositional / genetic components (komponen genetik) Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. 2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja Menurut Luthans (2005), faktor-faktor utama yang mempengaruhi kepuasan kerja seperti diuraikan berikut ini : 1) Pekerjaan itu sendiri Yang termasuk pekerjaan yang memberikan kepuasan adalah pekerjaan yang
13
menarik dan menantang, pekerjaan yang tidak membosankan, serta pekerjaan yang dapat memberikan status. 2) Upah/gaji Upah dan gaji merupakan hal yang signifikan, namun merupakan faktor yang kompleks dan multidimensi dalam kepuasan kerja. 3) Promosi Kesempatan dipromosikan nampaknya memiliki pengaruh yang beragam terhadap kepuasan kerja, karena promosi bisa dalam bentuk yang berbeda-beda dan bervariasi pula imbalannya. 4) Supervisi Supervisi merupakan sumber kepuasan kerja lainnya yang cukup penting pula. 5) Kelompok kerja Pada dasarnya, kelompok kerja akan berpengaruh pada kepuasan kerja. Rekan kerja yang ramah dan kooperatif merupakan sumber kepuasan kerja bagi pegawai individu. 6) Kondisi kerja/lingkungan kerja Jika kondisi kerja bagus (lingkungan sekitar bersih dan menarik) misalnya, maka pegawai akan lebih bersemangat mengerjakan pekerjaan mereka, namun bila kondisi kerja rapuh (lingkungan sekitar panas dan berisik) misalnya, pegawai akan lebih sulit menyelesaikan pekerjaan mereka. Walaupun uraian tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor kepuasan kerja cukup variatif, namun pendapat berikutnya yang diberikan oleh Gilmer (As’ad, 2008) dengan sepuluh faktor kepuasan kerja nampaknya jauh lebih beragam.
Kesepuluh faktor diuraikan sebagai berikut. 1) Kesempatan untuk maju, dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan peningkatan kemampuan selama kerja. 2) Keamanan kerja, sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi pegawai pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi perasaan pegawai selama kerja. 3) Gaji, lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang diperolehnya. 4) Perusahaan dan manajemen, dimana perusahaan dan manajemen yang baik adalah faktor yang mampu memberikan situasi dan kondisi kerja yang stabil. Faktor ini yang menentukan kepuasan kerja pegawai. 5) Pengawasan (supervisi), bagi pegawai, supervisor dianggap sebagai figure ayah dan sekaligus atasan. Supervisi yang buruk berakibat absensi dan turn over. 6) Faktor intrinsik dari pekerjaan, dimana atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan keterampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggaan akan tugas dapat meningkatkan atau mengurangi kepuasan. 7) Kondisi kerja, termasuk disini adalah kondisi kerja, ventilasi, penyinaran, kantin, dan tempat parkir. 8) Aspek sosial, merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai faktor yang menunjang kepuasan atau ketidakpuasan dalam pekerjaan. 9) Komunikasi, di mana komunikasi yang lancar antara pegawai dengan pihak manajemen banyak dipakai alasan untuk menyukai jabatannya dalam hal ini
15
adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, memahami, dan mengakui pendapat ataupun prestasi pegawai. Keadaan ini akan sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas terhadap pekerjaan. 10) Fasilitas, termasuk didalamnya fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan menurut Lussier oleh penelitian Nasution dan Rodhiah dalam (Jurnal Manajemen, 2008:60) adalah sebagai berikut : 1. The Work It Self. Faktor yang berasal dari pekerjaan itu sendiri, misalnya otonomi kerja/keterbatasan dalam mengerjakan berbagai keterampilan tugas dan kesempatan untuk mengemban suatu tanggung jawab. 2. Pay. Merupakan suatu sumber penting dari kepuasan kerja dimana pembayaran finansial yang diterima seseorang, dirasakan adil oleh karyawan. 3. Growth and Upword Mobility. Pertumbuhan dan penigkatan jabatan lebih tinggi akan mempengaruhi kepuasan kerja banyak orang tapi tidak semuanya. 4. Supervision. Kemampuan supervisi dalam memberikan umpan balik atas kinerja karyawan dengan memberikan bantuan teknis serta mendorong perilaku kerja karyawan. 5. Co-Workes. Merupakan kerja sama dan dukungan dari rekan kerja. 6. Attitude Toward Work. Beberapa orang menilai pekerjaan menyenangkan dan menarik, beberapa orang puas dengan pekerjaan yang berbeda-beda sementara yang lain tidak puas dengan situasi pekerjaan yang beragam.
Dari faktor-faktor tersebut dapat diperoleh indikator-indikator dari variabel kepuasan kerja menurut Lussier (2005) adalah sebagai berikut : 1. Indikator dari sub variabel the work it self : a.
Keterbatasan dalam mengerjakan tugas
b.
Kesempatan untuk mengemban tanggung jawab
2. Indikator dari sub variabel pay : a.
Gaji yang diterima dosen
3. Indikator dari sub variabel growth and upword mobility : a.
Mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri
b.
Memperoleh kesempatan untuk menerima kenaikan jabatan
4. Indikator dari sub variabel supervision : a.
Kemampuan menyediakan bantuan teknis
b.
Kesempatan dalam memberikan dukungan
5. Indikator dari sub variabel co-workes: a.
Kerjasama dan dukungan dari rekan kerja
6. Indikator dari sub variabel attitude toward work : a.
2.2
Penilaian dosen terhadap pekerjaan
Beban Kerja
2.2.1 Pengertian Beban Kerja
17
Menurut Moekijat (2004) beban kerja adalah volume dari hasil kerja atau catatan tentang hasil pekerjaan yang dapat menunjukan volume yang dihasilkan oleh sejumlah pegawai dalam suatu bagian tertentu. Jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan oleh sekelompok atau seseorang dalam waktu tertentu atau beban kerja dapat dilihat pada sudut pandang obyektif dan subyektif. Secara obyektif adalah keseluruhan waktu yang dipakai atau jumlah aktivitas yang dilakukan. Sedangkan beban kerja secara subyektif adalah ukuran yang dipakai seseorang terhadap pernyataan tentang perasaan kelebihan beban kerja, ukuran dari tekanan pekerjaan dan kepuasan kerja. Beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh seorang perawat selama bertugas di suatu unit pelayanan keperawatan (Marquis dan Huston, 2004). Pengertian beban kerja dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu secara subyektif dan obyektif. Beban kerja secara obyektif adalah keseluruhan waktu yang dipakai atau jumlah aktivitas yang dilakukan. Beban kerja subyektif adalah ukuran yang dipakai seseorang terhadap pertanyaan tentang beban kerja yang diajukan, tentang perasaan kelebihan jam kerja, ukuran dan tekanan pekerjaan dan kepuasan kerja (Marquis dan Huston, 2010). Menurut Caplan & Sadock (2010) beban kerja sebagai sumber ketidakpuasan disebabkan oleh kelebihan beban kerja secara kualitatif dan kuantitatif. Kelebihan beban kerja secara kuantitatif meliputi: 1) Harus melakukan observasi penderita secara ketat selama jam kerja. 2) Terlalu banyak pekerjaan yang harus dilakukan demi kesehatan dan keselamatan penderita.
3) Beragam jenis pekerjaan yang dilakukan demi kesehatan dan keselamatan penderita. 4) Kontak langsung perawat klien secara terus menerus selama 24 jam. 5) Kurangnya tenaga perawat dibanding jumlah penderita. Sedangkan beban kerja secara kualitatif mencakup: 1) Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tidak mampu mengimbangi sulitnya pekerjaan. 2) Tuntutan keluarga untuk kesehatan dan keselamatan penderita. 3) Harapan pimpinan rumah sakit terhadap pelayanan yang berkwalitas. 4) Setiap saat dihadapkan pada pengambilan keputusan yang tepat. 5) Tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan asuhan keperawatan klien di ruangan. 6) Menghadapi pasien yang karakteristik tidak berdaya, koma, kondisi terminal. 7) Setiap saat melaksanakan tugas delegasi dari dokter. Beban kerja adalah jumlah pekerjaan yang
harus diselesaikan oleh
sekelompok atau seseorang dalam waktu tertentu dan sebagai sumber ketidakpuasan disebabkan oleh kelebihan beban kerja secara kualitatif dan kuantitatif (Caplan & Sadock, 2010).
2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi beban kerja
19
Untuk memperkirakan beban kerja keperawatan pada sebuah unit pasien tertentu, manajer harus mengetahui beberapa faktor yang mempengaruhi beban kerja diantaranya (Caplan & Sadock, 2010); 1) Berapa banyak pasien yang dimasukkan ke unit perhari, bulan atau tahun 2) Kondisi pasien di unit tersebut 3) Rata-rata pasien menginap 4) Tindakan perawatan langsung dan tidak langsung yang akan dibutuhkan oleh masing-masing pasien 5) Frekuensi masing-masing tindakan keperawatan yang harus dilakukan 6) Rata-rata waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan masing-masing tindakan perawatan langsung dan tak langsung
2.2.3 Prosedur Penghitungan Beban Kerja Menurut Asri (2006), menyebutkan bahwa secara terperinci prosedur perhitungan beban kerja tenaga dokter dan perawat dapat dibagi seperti langkah-langkah sebagai berikut : 1.
Mempersiapkan peralatan yang dipakai dalam perhitungan beban kerja. Alat utama yang dipakai adalah :
a. Stop watch yaitu alat mengukur waktu b. Alat tulis yang digunakan untuk membuat catatan yang akan berguna dalam pengukuran
2.
Menetapkan metode kerja yang akan digunakan dalam perhitungan beban kerja terutama menetapkan metode standar seperti menyiapkan susunan tempat kerja yang akan diteliti, peralatan dan lain-lain.
3.
Memilih pekerja yang tepat, berpengalaman dan terlatih dalam bidangnya atau disebut sebagai pekerja normal
4.
Menyiapkan perlengkapan peralatan sehingga pengukuran tidak akan berhenti di tengah jalan
5.
Memperhatikan dan mencatat actual time (waktu nyata) setiap pekerjaan
6.
Menghitung waktu normal
7.
Menetapkan waktu cadangan (allowance)
8.
Menetapkan waktu standar
2.2.4 Pendekatan Penghitungan Beban Kerja Seperti kita ketahui perawat merupakan proporsi tenaga yang paling besar di rumah sakit, diperkirakan sekitar 70% personel adalah perawat (Ilyas, 2004). Dengan dominannya jumlah perawat di rumah sakit , sejumlah peneliti, praktisi, dan asosiasi telah melakukan riset untuk dapat menghitung tenaga perawat dengan mengembangkan formula khusus untuk menghitung kebutuhan tenaga perawat. 1.
Pendekatan Penghitungan Beban Kerja Berdasarkan Formula Gillies
Menurut Gilles (2006), membagi tindakan keperawatan menjadi tindakan keperawatan langsung, tidak langsung, dan penyuluhan kesehatan. Arti umum keperawatan langsung adalah perawatan yang diberikan anggota staf keperawatan
21
secara langsung kepada pasien tersebut dan perawatan tersebut dihubungkan secara khusus kepada kebutuhan fisik dan psikologisnya. Perawatan tidak langsung adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan atas nama pasien tetapi di luar kehadiran pasien yang berhubungan kepada lingkungan pasien atau keberadaan finansial dan kesejahteraan sosial si pasien, perawatan tidak langsung termasuk kegiatan seperti perencanaan perawatan, penghimpunan peralatan dan perbekalan, diskusi dengan anggota tim kesehatan lain, penulisan dan pembacaan catatan kesehatan pasien, pelaporan kondisi pasien kepada rekan kerja, dan menyusun sebuah rencana bagi perawatan pasien. Pengajaran kesehatan mencakup semua usaha oleh anggota staf keperawatan untuk memberitahu, dan memotivasi pasien dan keluarganya menyangkut perawatan setelah keluar dari rumah sakit.
2.
Pendekaan Penghitungan Beban Kerja Berdasarkan Formula Illyas
Ilyas (2004) mengkatagorikan tindakan keperawatan sebagai berikut : 1) Kegiatan langsung : semua kegiatan yang mungkin dilaksanakan oleh seorang perawat terhadap pasien, misalnya menerima pasien, anamnesa pasien, mengukur tanda vital, menolong BAB/BAK, merawat luka, mengganti balutan, mengangkat jahitan, kompres, memberi suntikan/obat/imunisasi, penyuluhan kesehatan 2) Kegiatan tidak langsung : setiap kegiatan yang dilakukan oleh perawat yang berkaitan dengan fungsinya, tetapi tidak berkaitan langsung dengan pasien,
seperti : menulis rekam medik, mencari kartu rekam medis pasien, meng update data rekam medis, dokumentasi asuhan keeprawatan. 3) Kegiatan tambahan : kegiatan pribadi yaitu semua kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan perawat yang diamati seperti makan, minum, pergi ke toilet: maupun bagian atau organisasi rumah sakit seperti menginput harga obat, ngamparah obat. Untuk menghitung beban kerja bukan sesuatu yang mudah. Selama ini kecenderungan kita dalam mengukur beban kerja berdasarkan keluhan dari personel bahwa mereka sangat sibuk dan menuntut diberikan waktu lembur (Ilyas, 2004). Sedangkan untuk menghitung beban kerja personel menurut Ilyas (2004) ada tiga cara yang dapat digunakan yaitu : 1) Work Sampling Tehnik ini dikembangkan pada dunia industri untuk melihat beban kerja yang dipangku oleh personil pada suatu unit, bidang ataupun jenis tenaga tertentu. Pada work sampling kita dapat mengamati sebagai berikut : a) Aktifitas yang sedang dikerjakan personil pada jam kerja b) Kaitan antara aktifitas personil dengan fungsi dan tugasnya pada waktu jam kerja c) Proporsi waktu kerja yang digunakan untuk kegiatan produktif atau tidak produktif d) Pola beban kerja personil dikaitkan dengan waktu dan schedule jam kerja. Langkah-langkah yang dilakukan dalam work sampling adalah sebagai berikut :
23
a)
Menentukan jenis personil yang diteliti
b) Melakukan pemilihan sample bila jumlah personil banyak. Dalam tahap ini dilakukan simple random sampling untuk mendapatkan presentasi populasi perawat yang akan diamati. c)
Membuat formulir daftar kegiatan perawat yang dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan produktif dan tidak produktif dapat dan
juga kegiatan
langsung yang berkaitan dengan fungsi keperawatan dan kegiatan tidak langsung. d) Melatih pelaksana peneliti tentang kegiatan penelitian. e)
Mengamati kegiatan perawat dilakukan dengan interval 2-15 menit tergantung kebutuhan peneliti
f)
Pada work sampling yang diamati adalah kegiatan dan penggunaan waktunya, tanpa memperhatikan kualitas kerjanya (Ilyas, 2004).
2) Study Time and Motion Tehnik ini dilaksanakan dengan mengamati secara cermat kegiatan yang dilakukan oleh personil yang sedang diamati. Pada time and motion study, kita juga dapat mengamati sebagai berikut : a) Aktifitas yang sedang dikerjakan personil pada jam kerja b) Kaitan antara petugas personil dengan fungsi dan tugasnya pada waktu jam kerja. c)
Proporsi waktu kerja yang digunakan untuk kegiatan produktif atau tidak produktif.
d) Pola beban kerja personil dikaitkan dengan waktu dan schedule jam kerja.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam time and motion study adalah sebagai berikut : a) Menentukan jenis personil yang diteliti. b) Menentukan sampel dari perawat yang akan diteliti dengan cara purposive sampling c) Membuat formulir daftar kegiatan perawat yang dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan produktif atau tidak produktif dapat juga kegiatan langsung yang berkaiatan dengan fungsi keperawatan dan kegiatan tidak langsung. d) Melatih pelaksana peneliti tentang kegiatan penelitian. e) Pengamatan dapat dilakukan selama 24 jam (3 shift) secara terus menerus, bagaiman perawat
melakukan aktivitasnya dan bagaimana kualitasnya
menjadi faktor penting dalam time and motion study. Kualitas kerja dapat dilihat dari kesesuian antara kegiatan yang dilakukan dengan standar profesi (Ilyas, 2004). 3) Daily Log Daily log merupakan bentuk sederhana dari work sampling, dimana orang-orang yang diteliti menuliskan sendiri kegiatan dan waktu yang digunakan untuk kegiatan tersebut. Penggunaan tehnik ini sangat tergantung pada kerjasama dan kejujuran dari personel yang diteliti. Dengan meggunakan formulir kegiatan dapat dicatat jenis kegiatan, waktu, dan lamanya kegiatan dilakukan. 3.
Pendekatan Penghitungan Beban Kerja Menurut Douglas
Menurut Douglas (dalam Potter dan Perry, 2005) tentang jumlah tenaga perawat di rumah sakit didapatkan jumlah perawat yang dibutuhkan pada pagi, sore, dan
25
malam tergantung pada tingkat ketergantungan pasien. Tingkat ketergantungan pasien diklasifikasikan berdasarkan teori Dorothea Orem. Menurut Orem asuhan keperawatan dilakukan dengan keyakinan bahwa setiap orang mempelajari kemampuan untuk merawat diri sendiri sehingga membantu individu memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan dan kesejahteraan. Teori ini dikenal dengan teori self care (perawatan diri) (Potter dan Perry, 2005). Klasifikasi tingkat ketergantungan pasien berdasarkan teori D. Orem (Nursalam, 2008) yaitu: 1) Minimal Care : a) Mampu naik turun tempat tidur b) Mampu ambulasi dan berjalan sendiri c) Mampu makan dan minum sendiri d) Mampu mandi sendiri/mandi sebagian dengan bantuan e) Mampu membersihkan mulut (sikat gigi sendiri) f) Mampu berpakaian dan berdandan dengan sedikit bantuan g) Mampu BAK dan BAB dengan sedikit bantuan h) Status psikologi stabil i) Pasien dirawat untuk prosedur diagnostik j) Operasi ringan 2) Partial Care a) Membutuhkan bantuan satu orang untuk naik turun tempat tidur b) Membutuhkan bantuan untuk ambulasi atau berjalan c) Membutuhkan bantuan dalam menyiapkan makanan d) Membutuhkan bantuan untuk makan atau disuap
e) Membutuhkan bantuan untuk kebersihan mulut f) Membutuhkan bantuan untuk berpakaian dan berdandan g) Membutuhkan bantuan untuk BAB dan BAK (tempat tidur/kamar mandi) h) Pasca operasi minor (24 jam) i) Melewati fase akut dari pasca operasi mayor j) Fase awal dari penyembuhan k) Observasi tanda-tanda vital setiap 4 jam l) Gangguan emosional ringan 3) Total Care a) Membutuhkan dua orang atau lebih untuk mobilisasi dari tempat tidur b) Membutuhkan latihan pasif c) Kebutuhan nutrisi dan cairan dipenuhi melalui terapi intravena atau NGT d) Membutuhkan bantuan untuk kebersihan mulut e) Membutuhkan bantuan penuh untuk berpakaian dan berdandan f) Dimandikan perawat g) Dalam keadaan inkontinensia, menggunakan kateter h) Keadaan pasien tidak stabil i) Perawatan kolostomi j) Menggunakan WSD k) Menggunakan alat traksi l) Irigasi kandung kemih secara terus menerus m) Menggunakan alat bantu respirator n) Pasien tidak sadar
27
Menurut Douglas (dalam Ilyas, 2004) mengklasifikasikan ketergantungan pasien berdasarkan standar waktu pelayanan pasien rawat inap sebagai berikut : a)
Keperawatan Mandiri (Self care) : 1-2 jam/hari dimana pasien masih mampu melakukan pergerakan atau berjalan, makan, mandi maupun eleminasi tanpa bantuan. Bantuan hanya diberikan terhadap tindakan khusus.
b) Keperawatan Sebagian (Partial Care) : 3-4 jam/hari dimana pasien masih punya kemampuan sebagian tetapi untuk melakukan pergerakan secara penuh seperti berjalan, bangun, makan, mandi dan eleminasi perlu dibantu oleh seorang perawat. c)
Keperawatan Total (Total Care) : 5-7 jam/hari dimana pasien memerlukan bantuan secara penuh, atau tingkat ketergantungan pasien terhadap perawat sangat tinggi, seperti pasien yang tidak sadar, atau yang sangat lemah dan tidak mampu melakukan pergerakan, mandi dan eleminasi perlu dibantu dan pada umumnya memerlukan dua perawat.
Tabel 2.1 Jumlah tenaga keperawatan berdasarkan klasifikasi ketergantungan pasien Waktu Klasifikasi
Kebutuhan Pagi
Perawat
Perawat Siang
Minimal
0,17
0,14
0,07
Intermediate
0,27
0,15
0,10
Maksimal
0,36
0,30
0,20
Douglas (dalam PPE, 2004)
4.
Sore
(Subjective Workload Assessment Technique ( SWAT )
Metode Subjective Workload Assesment Technique (SWAT) pertama kali dikembangkan oleh Gary Reid dari Divisi Human Engineering pada Armstrong Laboratory, Ohio USA digunakan analisis beban kerja yang dihadapi oleh seseorang yang harus melakukan aktivitas baik yang merupakan beban kerja fisik maupun mental yang bermacam-macam dan muncul akibat meningkatnya kebutuhan akan pengukuran subjektif yang dapat digunakan dalam lingkungan yang sebenarnya (real world environment). Dalam penerapannya SWAT akan memberikan penskalaan subjektif yang sederhana dan mudah dilakukan untuk mengkuantitatifkan beban kerja dari aktivitas yang harus dilakukan oleh pekerja. SWAT akan menggambarkan sistem kerja sebagai model multi dimensional dari beban kerja, yang terdiri atas tiga dimensi atau faktor yaitu beban waktu (time load), beban mental (mental effort load), dan beban psikologis (psychological stress load). Masing-masing terdiri dari 3 tingkatan yaitu rendah, sedang dan tinggi (Sritomo,2007). Yang dimaksud dengan dimensi secara definisi adalah sebagai berikut : 1) Time Load : adalah yang menunjukkan jumlah waktu yang tersedia dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring tugas. Beban waktu rendah, beban waktu sedang, beban waktu tinggi) 2) Mental Effort Load : adalah menduga atau memperkirakan seberapa banyak usaha mental dalam perencanaan yang diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas (beban usaha mental rendah, beban usaha mental sedang, beban usaha mental tinggi)
29
3) Psychological Stress Load : adalah mengukur jumlah resiko, kebingungan, frustasi yang dihubungkan dengan performansi atau penampilan tugas (Beban tekanan psikologis rendah, beban tekanan psikologis sedang, beban tekanan psikologis tinggi). Prosedur penerapan metode SWAT terdiri dari 2 tahapan, yaitu tahap penskalaan (scale development) dan tahap penilaian (event scoring). Pada langkah pertama 27 kombinasi tingkatan tingkatan beban kerja mental diurutkan dengan dari 27 kartu kombinasi dari urutan beban kerja terendah sampai dengan beban kerja tertinggi, menurut persepsi masing-masing pekerja. Dalam pengurutan kartu tersebut tidak ada suatu aturan mana yang benar atau yang salah. Dalam hal ini pengurutan kartu yang benar adalah yang dilakukan menurut intuisi dan preferensi yang dipahami oleh responden. Dari hasil pengurutan kemudian ditransformasikan ke dalam sebuah skala interval dari beban kerja dengan range 0-100 (dapat dilihat pada tabel 2.1). Pada kedua tahap penilaian sebuah aktivitas atau kejadian akan dinilai dengan menggunakan rating 1 sampai 3 (rendah, sedang dan tinggi) untuk setiap tiga dimensi atau faktor yang ada. Nilai skala yang berkaitan dengan kombinasi tersebut yang dapat dari tahap penskalaan kemudian dipakai sebagai beban kerja untuk aktivitas yang bersangkutan. Hasil dari konversi ini maka dapat diketahui beban kerja masing-masing pekerja, adapun kategori beban kerja dari masing-masing pekerja adalah sebagai berikut ; 1) Beban kerja rendah ratingnya berada di nilai 40 ke bawah 2) Beban kerja sedang jika ratingnya berada pada nilai 41 sampai 60 3) Beban kerja tinggi jika nilai SWAT ratingnya berada di nilai 61 sampai 100
Tabel 2.2. Skala Akhir SWAT
Menurut Zadry (2007), pengukuran beban kerja dengan metode SWAT dapat digunakan pada dunia penerbangan, sektor industri, seperti pada pabrik tekstil, pabrik (perakitan) kendaraan bermotor, perusahaan penyedia jasa, pabrik (perusahaan) yang memerlukan tingkat kecermatan yang tinggi, sektor perhubungan, misalnya untuk meneliti tingkat beban kerja bagi para pengemudi bus jarak jauh atau para masinis kereta api. Selain itu Zadry (2007), juga mengungkapkan tentang cara pelaksanaan SWAT sebagai berikut :
31
1) Memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan pengukuran kepada subjek (orang) yang akan diteliti. 2) Memberikan kartu SWAT sebanyak 27 kartu yang harus diurutkan oleh subjek menurut urutan kartu yang menyatakan kombinasi workload yang terendah hingga tertinggi menurut persepsi ataupun intuisi dari tiap subjek. 3) Melakukan pencatatan urutan kartu yang dibuat oleh subjek, kemudian di‘download’ di computer-program SWAT sehingga didapatkan nilai dari SWAT score untuk tiap subjek. 4) Berdasarkan
nilai-nilai
SWAT
tersebut,
komputer
mengkonversikan
performansi kerja dari subjek tersebut dengan nilai kombinasi dari beban kerjanya (workload), yang terdiri dari : a) Time Load (T) : rendah (1), menengah (2), dan tinggi (3). b) Mental Effort Load (E) : rendah (1), menengah (2), dan tinggi (3). c) Psychological Stress Load (S) : rendah (1), menengah (2), dan tinggi (3). Bila nilai konversi dari SWAT scale terhadap SWAT rating berada < 40, maka performansi kerja subjek tersebut berada pada level optimal. Bila SWAT ratingnya berada antara 40-100, maka beban kerjanya (workload) tinggi, artinya subjek pada saat itu tidak bisa diberikan jenis pekerjaan tambahan lain. 5) Mengkaji pekerjaan kepada subjek, kemudian ditanyakan apakah pekerjaan yang sedang dilakukan pada saat tersebut beban kerjanya (kombinasi dari Time Load, Mental Effort, dan Stress Load) dikategorikan sebagai pekerjaan dengan beban kerja rendah (1), menengah (2), atau tinggi (3) menurut yang bersangkutan.
6) Ulangi kembali langkah 4 untuk melihat apakah pekerjaan tersebut termasuk ke dalam kategori beban kerja rendah atau beban kerja tinggi, sehingga dapat diantisipasi langkah selanjutnya. 2.2.5
Dampak Beban Kerja
Beban kerja yang terlalu berlebihan akan mengakibatkan stres kerja baik fisik maupun psikis dan reaksi-reaksi emosional, seperti sakit kepala, gangguan pencernaan dan mudah marah. Sedangkan pada beban kerja yang terlalu sedikit dimana pekerjaan yang dilakukan karena pengulangan gerak yang menimbulkan kebosanan. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari karena tugas atau pekerjaan yang terlalu sedikit mengakibatkan kurangnya perhatian pada pekerjaan. sehingga secara potensial membahayakan pekerja (Manuaba, 2010).
2.3 Stress Kerja 2.3.1
Pengertian Stres
Stres adalah segala situasi dimana tuntutan non spesifik mengharuskan seseorang individu untuk berespon atau melakukan tindakan (Selye, 1976 dalam Potter & Perry, 2005). Stres adalah ketegangan psikologisatau fisik yang diakibatkan oleh keadaan fisik, emosi, sosial, ekonomi,atau pekerjaan, kejadian atau pengalaman yang sulit untuk diatur Colman, 2001 dalam (Eysenck, 2009). Berdasarkan referensi tersebut peneliti menyimpulkan bahwa stres adalah respon dari individu 2.3.2
Pengertian Stress Kerja
Lingkungan kerja merupakan salah satu stimulus yang dapat memicu terjadinya stres. Stres kerja merupakan respon psikologis individu terhadap tuntutan di tepat
33
kerja yang menuntut seseorang untuk beradaptasi dalam mengatasinya. Spears (2008) mendefinisikan stres kerja sebagai reaksi seseorang terhadap tekanan yang berlebihan atau tuntutan di tempat kerja yang bersifat merugikan. Stres kerja juga dijelaskan sebagai proses psikologis yang terjadi sebagai konsekuensi dari perilaku atau kejadian-kejadian pada lingkungan kerja dan menimbulkan akibatakibat khusus secara psikologis, fisiologis, dan perilaku individu . Peneliti menyimpulkan bahwa stres kerja merupakan respon seseorang terhadap tuntutan dari pekerjaannya. Menurut Ubaidilah (2007) stres kerja dapat dipahami sebagai suatu keadaan dimana seseorang menghadapi tugas atau pekerjaan yang tidak bisa atau belum bisa dijangkau oleh kemampuannya.
2.3.3
Faktor-faktor Penyebab Stres Kerja
Faktor-faktor yang menyebabkan stres kerja menurut Greenberg (2008) dapat di jelaskan sebagai berikut : 1. Faktor stres kerja yang bersumber pada pekerjaan antara lain: a. Sumber intrinsik pada pekerjaan, yaitu meliputi kondisi kerja ang sanat sedikit menggunakan aktifitas fisik, beban kerja yang berlebihan, waktu kerja yang menekan, resiko/bahaya secara fisik. b. Peran di dalam organisasi, yaitu antara lain peran yang ambigu, konflik peran, tanggung jawab kepada orang lain, konflik batasan-batasan reorganisasi (conflicts reorganizational boundaries) baik secara internal maupun eksternal.
c. Perkembangan karier, dapat terdiri dari promosi ke jenjang yang lebih tinggi atau penurunan tingkat, tingkat keamanan kerja ang kurang, ambisi perkembangan karir yang mengalami hambatan. d. Hubungan relasi di tempat kerja, meliputi antara lain kurangnya hubungan relasi dengan pimpinan, rekan sekerja, atau denan bawahan, serta kesulitan dalam mendelegasikan tanggung jawab. e. Struktur organisasi dan iklim kerja, yaitu antara lain karena terlalu sedikit atau bahkan tidak ada partisipasi dalam pembuatan keputusan/kebijakan, hambatan dalam prilaku (misalnya karena angaran), politik di tempat kerja, kurang efekifnya konsultasi yang terjadi. 2. Faktor stres kerja yan bersumber pda karakteristik individu anara lain: a. Tingkat kecemasan b. Tingkat neurotisme individu c. Toleransi terhadap hal yang ambiguitas/ketidakjelasan d. Pola tingkah laku tipe A 3. Faktor stres kerja yang bersumber di luar organisasi, yaitu meliputi: a. Masalah-masalah dalam keluarga, b. Peristiwa kritisdalam kehidupan, c. Kesulitan secara finansial Faktor-faktor yang mengakibatkan perawat
mengalami stres kerja di unit
perawatan kritis menurut Hudak (2006) adalah : 1. Hubungan yang kurang baik denan penyelia, dokter, rekan perwat, pasien dan keluarga pasien.
35
2. Perawat menciptakan harapan yang tinggi atas diri mereka sendiri sebagai cara untuk mempertahankan keseimbangan emosional. 3. Kejenuhan, sebab kejenuhan ini antara lain karena: a. Pekerjaan rutin yang diulang-ulang. b. Setiap langkah harus ditulis. c. Perpindahan perawat dari tempat lain. d. Situasi akut yang sering terjadi e. Bahaya fisik, antara lain karena ancaman tertusuk jarum suntik dan terpapar sinar radiasi f. Mengangkat beban yang terlalu berat. g. Pasien yang tidak sadar. h. Teman sejawat yang bingung. i. Bunyi maupun suara yang trus menerus dari alat monitor maupun dari pasien yang menjerit, menangis, atau merintih. j. Terlalu sering melihat dan mencium bau tubuh pasien yang mengeluarkan darah muntahan, urin, juga feses yang mengotori tubuh dan ranjang pasien.