Loyalitas Elizabeth Wahyuni.
Tanpa Batas, Catur Yulia Sri
Tak ada yang paling berharga bagi kehidupan ini selain pengabdian pada kemanusiaan dan kehidupan itu sendiri. Demi kebaikan bersama, membesarkan anak manusia agar dengan selamat menjalani tapakan kehidupan di dunia hingga dipanggil kelak oleh sang pemilik hidup. Itulah yang selama ini dilakukan Elizabeth Catur Yulia Sri Wahyuni selama kurang lebih 28 tahun mengabdi di Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang. Karena itu perempuan yang kini menjadi Kepala Humas ITN Malang tersebut menjalani setiap tugas kesehariannya sebagai ibadah. Ditemui di ruang kerjanya, perempuan kelahiran 2 Juli 1963 itu bercerita banyak tentang perjalanan hidupnya sejak masa kanakkanak, remaja, hingga berlabuh di lembaga pendidikan. Yulia, sapaan akrabnya, dilahirkan di kawasan Celaket, Kota Malang dari keluarga politisi. Bapaknya, BX. Soeherman, ketua DPC partai PDIP Kabupaten Malang. Sementara ibundanya, Patricia Liliek Sunarti, pernah menjadi anggota MPR, dan anggota DPRD Malang. Elizabeth Catur Yulia Sri Wahyuni2Yulia kecil sudah terbiasa ikut sang ayah dan ibu kampanye ke beberapa tempat di Malang. Di masa kekuasaan Suharto, selain partai Golkar belum cukup bebas untuk berkampanye dan harus berizin. Untuk itu Yulia sering ikut mengurus izin kampanye Megawati Sukarno Putri di Kodim Malang. “Biasanya saya duduk di mobil bagian belakang, saat minta izin kampanye ke Kodim,” kenangnya. Dia juga menceritakan bahwa gara-gara sering ikut kampanye itu sering bolos sekolah. Namun demikian, alumni SD Dionysius II (1976) itu tidak pernah terlibat dalam struktur partai meski pernah didorong untuk
masuk. Dirinya lebih suka masuk dalam jajaran kepaniaan saja saat PDIP menyelenggarakan beberapa kegiatan. “Saya tidak suka di struktur, tidak ada kebebasan. Lihat orang tua saya sibuk banget, tak punya me time. Dan cita-cita saya ingin jadi dokter waktu itu,” imbuhnya terseyum.
Elizabeth-Catur-Yulia-Sri-Wahyuni Lingkungan politik ini membuat Yulia sejak kecil terbiasa dengan organisasi, terbiasa dengan budaya diskusi dan berbeda pendapat. Yang khas dari tradisi berdiskusi adalah saat pendapatnya tidak diterima di forum, namun dirinya yakin benar dengan gagasannya. Maka dia berusaha bagaimana mengemas gagasan ini dengan argumentasi dan penyampaian yang baik sehingga dapat diterima. Jadi dia merasa harus menang saat adu pendapat. Memang sejak kanak-kanak, alumni SMPN 3 Malang (1979) itu mengakui, bahwa sukanya ingin menang terus. Saat bermain apapun dengan teman sebaya harus menang apapun caranya. Kadang menggunakan trik-trik tertentu yang “merugikan lawan”. Misalnya, saat bermain Ombal yaitu melempar kertas bergambar ke atas, nanti yang gambarnya di atas saat jatuh ke tanah adalah pemenangnya. Dalam permainan ini Yulia mensiasati
dengan membuat gambar bolak-balik pada kertas sehingga saat jatuh gambarnya selalu di atas. Selain itu, masih banyak permainan lainnya dimana dia harus menang, di antaranya: mencari jejak, kenturan, gobak sodor, dan beberapa mainan tradisional lainnya. Elizabeth Catur Yulia Sri WahyuniSelain kebiasaan bermain game tradisional, Yulia juga menyukai paduan suara. Itulah sebabnya sejak dibangku SMP hingga kini dia tetap menjadi bagian dari paduan suara. Menurutnya, selain memang terbiasa bernyanyi di gereja, pada paduan suara tidak menonjolkan egoisme pribadi. Masing-masing harus menyamakan nada suara sekalipun suaranya sangat bagus. Sehingga dihasilkan harmoni yang bagus. “Tak kalah pentingnya adalah kita harus tunduk pada kondakturnya. Kalau tanda berhenti, ya berhenti. Kalau maksa bernyanyi akan rusak,” kata sekretaris Perhumas Malang itu. Setamat dari SMAN 3 Malang (1982), perempuan penyuka pelajaran Biologi dan Sejarah itu mencoba daftar jurusan Kedokteran di IPB dan UB. Namun sayang Tuhan tidak berkehendak dirinya menjadi mahasiswa kedokteran. Akirnya dia berlabuh di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) yang saat itu masih berlokasi di Kota Lama. Sebetulnya, orang tuanya juga meminta untuk masuk teknik sipil di ITN Malang, namun Yulia ingin lebih longgar saat kuliah. Masa-masa kuliah ini ada dua hal yang berkesan di benak Yulia dan dikenangnya hingga kini. Yaitu saat mendapat nilai A untuk mata kuliah Hukum Islam. Hal ini istimewa karena selain dirinya yang non-Islam juga cukup sulit dan penuh dengan hitungan-hitungan khususnya saat masuk hukum waris. Tetapi dia berhasil melewati, bahkan mengalahkan mahasiswa muslim lainnya. “Kalau pelajaran hukum Islam, saya berusaha fokus dan mendengarkan penjelasan dosen,” tuturnya. Kenangan yang kedua adalah saat dia diumumkan hilang di Kampus. Saat itu dia diajak oleh temannya ber-enam dengan tiga motor jalan-jalan ke pantai di Malang selatan. Ternyata saat
perjalanan pulang salah satu motor temannya rusak dan hari sudah malam. Akhirnya memilih menginap di tempat KKN sang teman. Yulia sudah izin sama orang tuanya, namun orang tua salah satu teman gelisah dan mencari ke rumah Yulia, lalu menemui teman kampusnya. Alhasil isu kalau Yulia hilang bersama lima temannya sampai ke kampus, maka dibuatlah pengumuman. “Saat balik ke kampus malu sedikit, tetapi kami tidak nakal hanya suka ngalapras (jalan-jalan),” kata dia. Setelah wisuda di UB tahun 1989, Yulia mencoba daftar jaksa. Namun sayang dia terkendala tinggi badan yang tidak mencukupi satandar yang ditetapkan. Namun sempat memaksa untuk ikut test. Baginya aturan itu sangat diskriminatif, tidak melihat kemampuan melainkan fisik. Setelah mencoba ikut test di Malang ternyata skornya lulus. Tapi karena aturan tinggi badan yang tak bisa ditawar itu akhirnya dia menerima keadaan itu. Sejak itulah, Yulia berlabuh ke ITN Malang di BAAK. Awal-awal bekerja di bagian recording yang memasukkan nilai mahasiswa dari dosen, dan tugas pengetikan lainnya. Di sini kejujurannya diuji karena harus mencatat nilai yang sebenarnya walaupun bisa jadi ditulis tidak sesuai jika ada deal-deal tertentu. Tetapi dia berhasil menjaga kredibilitasnya hingga kini. Kemudian pada tahun 2004, dia menjadi kepala BAAK selama dua periode hingga 2012. Menurut Yulia, menjadi kepala di bagian ini membuka peluang untuk bertemu dengan banyak orang yang berbeda karakter, dan bertukar gagasan. Lebih-lebih yang mengesankan adalah saat rapat bersama, dimana dia harus mempertahankan gagasan. Hal ini membuatnya ingat masa kecil yang selalu ingin menang. Namun saat itu argumentasinya harus betul-betul masuk akal dan dapat diterima. Pengalaman lainnya, pernah suatu hari memarahi mahasiswa saat menemuinya atas kepentingan tertentu. Setelah pulang, Yulia merenungkan kembali apakah kemarahan itu sudah benar. Rupanya dia menyadari bahwa kemarahan saat itu karena ada tekanan keadaan banyak tugas. Tak lama setelah itu setelah mahasiswa
itu datang lagi Yulia minta maaf. Setelah 8 tahun mengabdi di BAAK, kini dia pindah ke bagian humas. Alasan pemindahan ini karena pertimbangan kemampuan Yulia dalam berkomunikasi. Dia dianggap vokal berbicara, dan sangat cocok dengan pengembangan humas ITN Malang ke depannya . Ternyata tidak sia-sia, kini ITN Malang menjadi familiar di publik melalui media massa, baik cetak maupun online. Dia juga membuka komunikasi dengan berbagai institusi lainnya hal itu dibuktikan saat Yulia dipercaya menjadi sekretaris Perhumas Malang. “Enaknya di humas itu dapat masuk ke semua lini. Tapi yang berat hingga kini saat menulis untuk rilis di media,” paparnya. Namun demikian, dia tetap semangat untuk belajar nulis yang baik. Selain mengabdi pada lembaga pendidikan, saat ini dia juga mengabdi pada sang bapak yang maih hidup. Setiap pagi dia harus membacakan koran untuk sang ayah dan menyetelkan firmanfirman renungan (fresh jus). Kemudian di malam hari juga membacakan firman-firman Tuhan. “Kalau koran biasanya bermacam-macam, mulai isu lokal, nasional, hingga internasional,” tutur perempuan ramah itu. (her)