LOYALITAS RAKYAT TERHADAP PEMIMPIN MENURUT AL-MAWARDI DAN HASAN AL-BANNA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi persyaratan Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh: Rifko Handayani (106045201540)
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H
LOYALITAS RAKYAT TERHADAP PEMIMPIN MENURUT AL-MAWARDI DAN HASAN AL-BANNA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi persyaratan Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh: Rifko Handayani (106045201540)
Di Bawah Bimbingan
Dr. Asmawi, M.Ag NIP. 197210101997031008
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M/1432 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul: “Loyalitas Rakyat Terhadap Pemimpin Menurut Al-Mawardi dan Hasan AL-Banna” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Juli 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Ketatanegaraan Islam (Siyasah Syar’iyyah).
Jakarta, 21 Juli 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP 195505051982031012 PANITIA UJIAN MUNAQOSYAH 1. Ketua
: Dr. Asmawi M.Ag NIP 19721010 199703 1008
2. Sekretaris
: Afwan Faizin M.Ag NIP 19721026 200312 1001
3. Pembimbing I : Dr. Asmawi M.Ag NIP 19721010 199703 1008 4. Penguji I
: Iding Rosyidin, S.Ag, M,Si NIP 19701013 200501 1003
5. Penguji II
: Atep Abdurofiq, M.Si NIP 197703172005011010
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan banyak nikmat dan senantiasa memebeikan hidayah-Nya. Sehingga dengan izinnya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dengan judul: “Loyalitas Rakyat Terhadap Pemimpin Menurut Al-Mawardi dan Hasan AlBanna”. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad Saw, yang telah membawa umatnya dari kegelapan menuju cahaya dan kesejahteraan semoga selalu tercurahkan kepada keluarga besar beliau, sahabatsahabatnya, tabi’in, tabi’uttâbî’in, dan kita sebagai umatnya semoga mendapat syafaatnya kelak. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih jauh dari sempurna, baik dalam proses maupun isinya. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing, membantu dan memotivasi penulis, antara lain: 1. Prof. Dr. Drs. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM, selaku dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum, dan beserta staf-stafnya. 2. Dr. Asmawi M.Ag selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan sekaligus sebagai dosen pembimbing, yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya disela-sela kesibukan untuk membantu dan
i
memberikan bimbingan, pengarahan, dan dorongan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dan juga kepada Bapak Afwan Faizin, M.Ag selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah banyak membantu penulis selama masih dalam masa kuliah, serta kepada ibu Sri Hidayati, M.Ag selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah terdahulu yang memberikan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan tugas akhir. 3. Dr. Abdurrahman Dahlan sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang selama ini telah memberikan nasehat serta dukungan kepada penulis selama menjadi mahasiswa. 4. Kepada orang tuaku tercinta, Abi H. Jayadi dan Ummi Hj. Maswanih, yang sangat berperan dalam mendidik, mengasuh, dan membimbing penulis dengan kesabaran dan pengertian serta tiada henti memberikan doa dan dukungan secara moril dan materil, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. 5.
Kepada seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali penulis dengan ilmu yang berharga, nasehat-nasehat penyemangat yang memberikan motivasi kepada penulis, kesabaran dalam mendidik penulis selama penulis melakukan studi.
6. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu memberikan kelancaran kepada penulis dalam proses penyelesaian prosedur kemahasiswaan, serta pimpinan dan segenap karyawan ii
Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya Perpustakaan FSH, terima kasih atas penyediaan buku-buku penunjang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 7. Kepada para sahabat-sahabat dan teman-teman angkatan 2006 Siyasah syar’iyyah, Dian Kemala Sari, Esa Mariyani, Mufti Aulia, Yudha Septian, Ragil Sapto Wibowo, Supardi, dan Asriyah yang telah memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir dan menemani proses menuju kelulusan, dan semua teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih kebersamaannya selama ini. 8. Kepada teman-teman dan adik-adik di Lembaga Dakwah Kampus, terima kasih telah mendoakan dan memberikan dukungan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.
Jakarta, 14 Juni 2011
Rifko Handayani
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................................i DAFTAR ISI .............................................................................................................iv BAB I
PENDAHULUAN .............................................................................1 A. Latar Belakang Masalah ................................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................6 D. Tinjauan Kajian Terdahulu ............................................................7 E. Metode Penelitian ..........................................................................10 F. Sistematika Penelitian ....................................................................12
BAB II
TINJAUAN
UMUM
TENTANG
LOYALITAS
RAKYAT
TERHADAP PEMIMPIN ...............................................................13 A. Pengertian Loyalitas ......................................................................13 B. Kewajiban Rakyat Untuk Loyal Terhadap Pemimpin ...................14 C. Batasan Taat Kepada Pemimpin ....................................................24 D. Ruang Lingkup Ketaatan Kepada Pemimpin dan Penguasa .........32 BAB III
SKETSA BIOGRAFI AL-MAWARDI DAN HASAN AL-BANNA A. Biografi Al-Mawardi .....................................................................36 1. Riwayat Hidup ...........................................................................36 2. Latar Belakang Pendidikan ........................................................37
iv
3. Kiprah Al-Mawardi di Kancah Politik ......................................39 4. Karya-karya Al-Mawardi ..........................................................42 B. Biografi Hasan Al-Banna ..............................................................48 1. Riwayat Hidup ...........................................................................48 2. Latar Belakang Pendidikan ........................................................50 3. Kiprah Hasan Al-Banna di Kancah Politik................................52 4. Karya-karya Hasan Al-Banna ....................................................57 BAB IV
LOYALITAS RAKYAT TERHADAP PEMIMPIN MENURUT AL-MAWARDI DAN HASAN AL-BANNA .................................61 A. Loyalitas Rakyat terhadap Pemimpin menurut Al-Mawardi.........61 B. Loyalitas Rakyat terhadap Pemimpin menurut Hasan Al-Banna ..67 C. Perbedaan Pendapat Antara Al-Mawardi dan Hasan Al-Banna Mengenai Loyalitas Terhadap pemimpin ......................................75 D. Implementasi Penerapan Konsep Loyalitas Rakyat Terhadap Pemimpin Pada Masa Kini ............................................................78
BAB V
PENUTUP .........................................................................................86 A. Kesimpulan ....................................................................................86 B. Saran ..............................................................................................91
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................92
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Allah SWT menggariskan bahwa dalam suatu negara harus ada pemimpin sebagai penerus fungsi kenabian, hal ini untuk menjaga terselenggaranya ajaran agama, mengatur negara, memegang kendali politik, membuat kebijakan yang dilandasi. Syariat agama dan menyatukan umat dalam kepemimpinan yang tunggal. Imamah (kepemimpinan negara) adalah dasar bagi terselenggaranya dengan baik ajaran-ajaran agama dan pangkal bagi terwujudnya kemaslahatan ummat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi aman sejahtera atau kemudian, dari kepemimpinan itu dibuat departemen-departemen dan pemerintahan daerah yang mengurus bidang-bidang dan wilayah tersendiri secara khusus, dengan berpedoman pada tuntunan hukum dan ajaran agama, sehingga departemen dan pemerintahan daerah itu mempunyai keseragaman yang solid dibawah kepemimpinan kepala negara1. Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadits yang sangat terkenal:
كلكم را ع و كلكم مسؤو ل عن ر عيتو
1
Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 14.
1
2
Artinya: “Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya” (HR. Al-Bukhâri dan Muslim). Terdapat pula sebuah hadits yang diriwayaktan dari Abu Daud yang menyatakan:
)وا ذا كنتم ثال ثة فا مروا عليكم رجال ( رواه ا بودود Artinya: “Dan jika kalian bertiga, maka hendaklah salah seorang (di antara kalian) memimpin” (HR. Abu Dawud). Adapun secara „aqli, suatu tatanan tanpa kepemimpinan pasti akan rusak dan porak poranda. Ketaatan manusia (rakyat) kepada penguasa dan pemerintah merupakan suatu keharusan untuk memberi kuasa kepada negara melaksanakan dan mewujudkan tujuan-tujuan yang terdahulu. Sebagai balasan atas ke-iltizamannya kepada syariah, pengikatan dirinya kepada syura, dan penanggung jawabannya terhadap anak-anak rakyat, maka rakyat wajib mentaati pemerintah agar ia dapat mewujudkan hak, menjamin keamanan, menegakkan keadilan, serta membela umat, tanah air dan agama mereka. Hak yang dimilikinya ini dan rakyat wajib melaksanakannya adalah ketaatan kepada perintah-perintah penguasa dalam batas-batas syar‟iah dan kepentingan umum. Ketika seorang muslim memiliki loyalitas yang tinggi kepada agama, maka darinya harus ada ketaatan kepada Allah, Rasul, dan pemimpin yang memiliki komitmen terhadap Islam. Sungguh ironi, jika seseorang yang telah menyatakan dirinya muslim tidak memiliki ketaatan kepada pemimpinnya.
3
Sangat wajar dan manusiawi, jika pemimpin menginginkan orang yang dipimpinnya memiliki loyalitas yang tinggi terhadap dirinya. Posisi yang diterimanya mempunyai konsekuensi bahwa ia mempunyai hak untuk didengar, dipatuhi oleh yang dipimpinnya.
Karena itu, kepatuhan kepada kepala negara terikat oleh suatu keadaan bahwa dia mematuhi perintah Tuhan, yakni penguasa yang melaksanakan kebenaran dan keadilan.2 Taat kepada penguasa muslim yang menerapkan hukum-hukum Islam di dalam pemerintahannya, meskipun zalim dan merampas hak-hak rakyat, selama tidak memerintah untuk melakukan kemaksiatan dan tidak nampak kekufuran yang nyata, hukumnya tetap fardu bagi seluruh kaum muslimin. Al-Zarqani mengutip pendapat Imam Malik dan Jumhur ahli Sunnah mengatakan bahwa bila seorang pemimpin berbuat zalim terhadap yang dipimpinnya, maka ketaatan lebih utama dari pada menentangnya. Tindakan menentang berimplikasi munculnya rasa takut, terjadinya pertumpahan darah, berkobarnya peperangan dan menyebabkan kerusakan, dalam hal ini dituntun kesabaran terhadap ketidakadilan dan kefasikan. Bahkan Rasul dalam hadits lain mewajibkan taat dan patuh kepada pemimpin walaupun ia hanya memikirkan kepentingannya dan tidak menjalankan
2
Qamaruddin Khan, kekuasaan Pengkhianatan dan Otoritas Agama, Telaah Kritis Teori AlMawardi Tentang Negara, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000), h. 7,81.
4
tugasnya terhadap masyarakat dengan baik. Dengan alasan mereka akan menanggung akibat dari pelalaian tanggung jawab. Hak imam yang harus dipenuhi oleh rakyat adalah untuk ditaati dan mendapatkan bantuan serta partisipasi secara sadar dari rakyat, maka kewajiban dari rakyat untuk taat dan membantu serta dalam program-program yang digariskan untuk kemaslahatan bersama. Jadi, loyalitas kepada imam adalah penting dan wajib selagi imam itu mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya serta tidak menyuruh kepada kemaksiatan. Loyalitas yang diberikan kepada orang-orang mukmîn merupakan perwujudan wala` (ketaatan) kepada Allah dan Rasulnya. Islam telah melarang kaum muslimin untuk memberikan wala` (ketaatan) nya kepada orang-orang selain mereka. Sesungguhnya loyalitas adalah sifat dasar yang harus ada dalam setiap manusia, apalagi bila ia adalah seorang muslim. Loyalitas bisa mengarah kepada komitmen dan teguh pendirian. Adapun mengenai komitmen akan berorientasi kepada sikap maka loyalitas cenderung mengarah kepada objek. Apakah itu lembaga (korps), kepercayaan (religion), maupun terhadap seseorang. Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik dan menganggap perlu untuk pengkaji tentang loyalitas terhadap pemimpin menurut pemikiran politik Hasan al-Banna dan al-Mawardi sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul: “LOYALITAS RAKYAT TERHADAP PEMIMPIN MENURUT AL-MAWARDI DAN HASAN AL-BANNA”.
5
B. Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka diantara rumusan masalahnya yaitu: 1. Bagaimanakah konsepsi politik Islam tentang loyalitas rakyat terhadap pemimpin? 2. Bagaimanakah pendapat al-Mawardi mengenai loyalitas rakyat terhadap pemimpin? 3. Bagaimanakah pendapat Hasan al-Banna mengenai loyalitas rakyat terhadap pemimpin? 4. Bagaimanakah perbedaan pendapat antara al-Mawadi dan Hasan al-Banna mengenai loyalitas rakyat terhadap pemimpin? 5. Bagaimanakah penerapan konsep loyalitas rakyat terhadap pemimpin pada masa kini? Pembahasan mengenai loyalitas sering kita dengar, seperti loyalitas kepada Allah, Rasul dan Ulil amri. Maka sudah barang tentu penelitian tentang loyalitas tidak bisa diuraikan dalam penelitian yang sederhana Agar pembahasan ini tidak meluas, maka penulis terfokus pada loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut pemikir Islam al-Mawardi dan Hasan al-Banna. Masalah pokok dalam perbahasan ini adalah bagaimana pandangan al-Mawardi dan Hasan al-Banna tentang loyalitas rakyat terhadap pemimpin.
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini disusun bermaksud untuk menjelaskan loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut al-Mawardi dan Hasan al-Banna. Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk: a) Untuk mengetahui dan menjelaskan konsep dan pengertian dari loyalitas rakyat terhadap pemimpin dalam politik Islam. b) Untuk mengetahui dan menjelaskan pendapat al-Mawardi tentang loyalitas rakyat terhadap pemimpin. c) Untuk mengetahui dan menjelaskan pendapat Hasan al-Banna tentang loyalitas rakyat terhadap pemimpin. d) Untuk mengetahui implementasi penerapan konsep loyalitas rakyat terhadap pemimpin pada masa kini. 2. Manfaat Penelitian Salah satu hal yang penting di dalam kegiatan penelitian ini adalah mengenal manfaat dari penelitian tersebut, baik manfaat akademis maupun manfaat praktisnya. Jadi, manfaat yang hendak dipakai adalah: a) Manfaat Akademis Penelitian
ini
diharapkan
dapat
mengembangkan
ilmu
ketatanegaraan Islam dalam hal loyalitasnya rakyat terhadap pemimpin khusunya pendapat dari al-Mawardi dan Hasan al-Banna dan relevansinya pada masa kini.
7
b) Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi mahasiswa, pelajar serta masyarakat luas yang merupakan bagian daripada pemerintahan, karena loyalitas atau ketaatan kepada pemimpin itu wajib dilakukan kepada pemimpin yang telah menjalankan kewajibannya dengan baik, barulah haknya untuk dipatuhi kita berikan. namun tidak menjadi wajib ketika pemimpin itu menyuruh kepada kemaksiatan. D. Tinjauan Kajian Terdahulu Dalam proses skripsi ini, peneliti melakukan proses pembelajaran serta pemahaman terhadap skripsi sebelumnya yang memiliki keterkaitan dengan judul skripsi ini, hal ini agar memberikan hasil yang lebih baik pada hasil penelitian. Diantaranya beberapa buku dan skripsi sebagai bahan tinjauan pustaka penulis: Pertama, karya al-Mawardi3 yang berjudul Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah. Dalam kitab ini, pemikiran dan gagasan al-Mawardi tentang politik tercurah dengan
begitu
jelas,
yaitu
berisi
pengangkatan
imamah
(kepala
negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, hingga jabatan wali pidana. Kitab Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah juga mengkaji masalah imam shalat, zakat, fa‟i, ghanimah
3
Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah fi al-wilâyat ad-dinîyyah, (Beirut: Dâr el-Kitab alAraby, t.th).
8
(rampasan perang) dan lain lain, justru pembahasan mengenai ketaatan kepada pemimpin sedikt sekali pembahasannya. Kedua, karya Hasan Al-Banna4 yang berjudul Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin. Dalam buku ini menjelaskan tentang karakter dakwah Ikhwânul Muslimîn dan dasar pemikiran yang membuatnya 'berbeda' dengan metode-metode dakwah yang lainnya, masalah-masalah nasional Mesir dan pentingnya memiliki pemimpin yang berpegang pada al-Qur'an dan As-Sunnah, beberapa 'modifikasi' yang harus dilakukan dalam dakwah sesuai tuntutan jaman dll. Ketiga, karya Hadari Nawawi5 yang berjudul Kepemimpinan Menurut Islam. Dalam buku ini menjelaskan tentang kepemimpinan menurut Islam. Ciriciri, persyaratan menjadi pemimpin dalam Islam, pemimpin yang wajib ditaati dengan dalil-dalil Qur‟annya. Keempat, karya Mochtar Effendi,6 judul buku Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam. Di dalam buku ini menjelaskan tentang hukum Islam mengenai kepemimpinan,
tipe-tipe
kepemimpinan,
macam-macam
dan
tingkat
kepemimpinan, sifat-sifat dan kualitas kepemimpinan, fungsi dan serta kewajiban pemimpin, hak dan kewajiban pemimpin dan yang dipimpin,
4
tehnik
Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, (Solo: Era Intermedia, 2008). Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001). 6 Muhctar Efendi, Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam, (Palembang: al-mukhtar, 1997). 5
9
kepemimpinan, pembentukan kepemimpinan, wanita dan kepemimpinan, serta kepemimpinan umat Islam di anatara manusia. Kelima,
karya
Taqiyuddin
al-Nabhani7
yang
berjudul
Sistem
Pemerintahan. Di dalam buku ini menjelaskan tentang bentuk pemerintahan Islam, pilar-pilar pemerintahan Islam, struktur daulah Islam, khalifah, kepempinan Islam, Islam wajib diterapkan secara menyeluruh dan sekaligus, Islam dan pemerintahan militer, taat pada penguasa muslim yang memerintah berdasarkan Islam fardu, melakukan koreksi terhadap penguasa, fadu bagi kaum muslimin, serta mendirikan partai polotik fardu kifayah. Keenam, karya Abdul Muin Salim8 yang berjudul Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an. Buku ini berisi tentang konsep kekuasaan dalam al-Qur‟an yang pada pembahasan mengenai prinsip-prinsip kekuasaan terdapat poin tentang perintah ketaatan kepada pemimpin. Ketujuh, karya Farid Abdul Khaliq9 yang berjudul Fikh Politik Islam. Buku ini berisi tentang prinsip dan cabang musyawarah, ahlul halli wal aqdi yang di poin keenamnya terdapat ketaatan kepada ahlul hilli wal aqdi tergantung pada bersihnya pemilihan mereka dari tipu muslihat.
7
Taqiyuddin Al-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, (Bangil Jatim: Al-Izzah, 1996). Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002). 9 Farid Abdul Khalik, Fikh politik Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005). 8
10
Kedelapan, karya Ridwan HR10 yang berjudul Fiqih Politik. Buku ini berisikan tentang siyasah syar‟iyyah, sejarah ketatanegaraan Islam dan pembentukan negara dan penyelenggaraan pemerintahan Islam yang salah satunya membahas tentang tugas, hak dan kewajiban kepala negara. Semua karya ilmiah atau penelitian yang disebutkan di atas, terdapat beberapa kesamaan mengenai pembahasan–pembahasan yang sama dengan loyalitas atau ketaata rakyat terhadap pemimpin, namun sangat sedikit sekali dan terbatas pembahasannya. Dan dalam hal ini, jauh berbeda pada penelitian penulis yang berjudul: Loyalitas Rakyat Terhadap Pemimpin Menurut Al-Mawardi dan Hasan AlBanna, yang membahas konsep loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut alMawardi dan Hasan al-Banna serta implementasinya pada masa kini. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dilihat dari sifat datanya, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, karena memaparkan data kualitatif. Dilihat dari segi tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif karena bertujuan menjelaskan satu variabel penelitian yaitu loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut alMawardi dan Hasan al-Banna. Adapun ditinjau dari segi metodologi penelitian hukum pada umumnya, studi ini merupakan studi hukum Islam dengan menggunakan 10
Ridwan HR, Fiqih Politik, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007).
11
pendekatan normatif doktriner yaitu menurut al-Quran, Sunnah dan pemikiran ulama tentang pandangan al-Mawardi dan Hasan al-Banna. 2. Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan studi dokumenter. Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah bahan-bahan pustaka yaitu mencakup karya Hasan al-Banna dan al-Mawardi. Karya alMawardi yang berjudul al-Ahkâm al-Shulthâniyyah dan karya Hasan al-Banna yang berjudul Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, serta jurnal politik dan makalah-makalah yang berkaitan dengan loyalitas kepada pemimpin. 3. Analisis Data Setelah pengumpulan data selesai, maka proses selanjutnya adalah melakukan analisis data dengan menggunakan tekhnik analisis isi secara kualitatif. Metode data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data tersebut secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan content analysis (analisis isi). Kemudian melakukan bongkar pasang dan menata kembali secara sistematis data-data yang telah terkumpul sebelumnya dengan menggambarkan satu kesatuan yang utuh. Penulis menginterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti.
12
4. Teknik Penulisan Sementara untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.” F. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut: Bab pertama berjudul pendahuluan. Dalam bab ini dikemukakan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua berjudul tinjauan umum tentang loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut konsep politik Islam. Dalam bab ini penulis menguraikan tentang loyalitas rakyat terhadap pemimpin dan mengantarkan pembaca memahami lebih dalam isi bab dua diantaranya: pengertian loyalitas, kewajiban mentaati pemimpin, taat kepadada pemimpin tidak mutlak, dan bidang taat terhadap pemimpin. Bab ketiga ini berjudul sketsa biografi al-Mawardi dan Hasan al-Banna, yang terdiri dari latar belakang pendidikan al-Mawardi dan Hasan al-Banna,
13
kiprah politik al-Mawardi dan Hasan al-Banna, karir intelektual al-Mawardi dan Hasan al-Banna dan karya-karyanya. Bab keempat ini berjudul tentang pemikiran dari kedua tokoh tersebut yaitu al-Mawardi dan Hasan al-Banna mengenai loyalitas rakyat terhadap pemimpin sebagai inti dari hasil peneliti serta relevansi pemikiran politik kedua tokoh tersebut pada masa sekarang. Maka penulis menyajikan tentang loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut al-Mawardi dan Hasan al-Banna. Bab kelima merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LOYALITAS RAKYAT TERHADAP PEMIMPIN
A. Pengertian Loyalitas Loyalitas dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah kesetiaan, ketaatan, kepatuhan1. Istilah dari kata loyalitas sebenarnya lebih dekat dengan ketaatan. Sedangkan istilah loyalitas dalam bahasa Arab secara etimologi disebut juga walâyah yang artinya pertolongan dan al-wala’2 artinya pemuliaan, pembelaan, cinta, dukungan, penghormatan, dan bersama-sama orang yang dicintai lahir dan batin. Beberapa kata yang terkait dengan wala’ adalah al-muwâlah (seseorang yang memberi dukungan kepada satu pihak), maula (memiliki banyak arti, semuanya berasal dari al-nusrah (dukungan) dan al-mahabbah (cinta)), walâyah (dukungan), al-walyu (kedekatan) dan wali (dapat diartikan orang yang mengurus orang lain).3
1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989) cet. 2, h. 533. 2 Sa‟id Hawaa dan Sayyid Qutb, Al-Wala`, (Jakarta: Al-I‟tisom Cahaya Umat, 2001), h. 1. 3 Irwan Prayitno, Al-Haq wal Bâthil, (Bekasi: Pustaka Tarbiatuna, 2002), h. 97.
14
15
B. Kewajiban Rakyat Taat Kepada Pemimpin Para pemimpin harus mampu mengembalikan manusia kepada ketentuanketentuan yang dibawa oleh Rasul, seperti pendapat al-Mawardi bahwa tugas pemimpin adalah salah satunya diproyeksikan untuk mengambil alih peran kenabian dalam menjaga agama.4 Dalam seluruh aspek kehidupan untuk kebaikan yang menyeluruh. Apabila ulil amri telah bermufakat menentukan suatu peraturan, rakyat wajib untuk mentaatinya, dengan syarat mereka itu bisa dipercaya dan tidak menyalahi ketentuan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, yang telah diketahui secara mutawatir. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang terpilih dalam pembahasan suatu masalah dan menentukan kesepakatan diantara mereka.5 Loyalitas adalah satu pilar pemerintahan dalam Islam dan menjadi salah satu landasan sistem politiknya. Tidak terbetik dalam bayangan siapapun jika terdapat suatu sistem yang baik, negara yang kuat, dan tentram tanpa adanya keadilan dari penguasa dan loyalitas dari rakyat kepada umara. Umar bin Khattab menjelaskan tentang pentingnya taat dalam agama ini dengan mengatakan: “Tidak ada arti Islam tanpa jamaah, tidak ada arti jamaah tanpa amîr, dan tidak ada arti amîr tanpa kepatuhan”. Sebab Islam bukanlah agama individu melainkan agama
4 5
93.
Lihat kitab Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, edisi Indonesia, (Jakarta: Darul Falah, 2007), h. 1. Abdul Qadir Jaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), h.
16
komunitas dan Islam tidak dapat diwujudkan secara paripurna kecuali dengan adanya komunitas.6 Dari sini dapat dipahami mengapa redaksi perintah atau larangan agama sering kali dengan mengajak berbicara secara kelompok atau jamaah, bukan individu. Jamaah tidak memiliki arti jika mereka hidup sendiri-sendiri tanpa adanya ikatan sistem dan tidak disatukan oleh amîr yang mengatur urusan mereka. Meskipun amîr memiliki sifat-sifat mulia dan prestasi yang baik, kecerdasan dan penalaran yang hebat dan mental yang kuat, akan tetapi semua itu tidak mempunyai makna bagi jamaah, kecuali jamaah itu memberikan loyalitas, tidak menentang, mematuhi peraturan, dan menjauhi larangan-Nya. Maka tidak mengherankan apabila ditemukan dalam al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah saw yang berbicara mengenai kepatuhan dan ketaatan yang menyangkut pengertian, hukum dan batas-batasan serta sisi negatifnya, apabila nilai kepatuhan dan ketaatan telah menghilang dari kehidupan jamaah. Maka syariat memerintahkan agar mematuhi para umara muslim dan melarang menentang mereka, kecuali dalam kondisi tertentu, yang diizinkan syariat agar umat tidak hidup dalam kekacauan berkelanjutan yang menggangu ketentraman.7 Loyalitas kepada penguasa merupakan salah satu rukun aqidah ulama salaf, yang tertuang hampir disemua kitab mereka. Yang demikian itu sangat penting, karena loyalitas terhadap mereka (para penguasa, dalam konteks ini 6
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1999), h.
7
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 46.
45.
17
adalah penguasa yang adil) berdampak positif terhadap kemaslahatan agama dan dunia, sementara ketidakloyalan terhadap mereka baik secara ucapan maupun perbuatan berujung kepada kehancuran agama dan dunia. Unsur pertama dalam pembentukan negara adalah pemerintahan atau kepemimpinan. Dalam hal “kepemimpinan”, Imam Hasan Basri mengatakan “yang menjadi perwalian kita ada lima perkara, yaitu: jum‟at, jamaah, hari raya, peperangan dan saksi hukum. Demi Allah agama tidak akan tegak tanpa mereka, walaupun mereka bertindak zalim. Demi Allah, Allah akan memberikan kemaslahatan lewat mereka yang lebih daripada kehancuran yang mereka lakukan. Ketaatan kepada mereka adalah sumber kebahagiaan, sementara ketidaktaatan kepada mereka merupakan kufur nikmat.”8 Unsur kedua dari pada unsur-unsur yang membentuk negara adalah rakyat, dimana kekuasaan (pemerintahan) menangani urusan-urusan mereka dan mengatur kepentingan-kepentingan serta memutuskan segala perkara yang timbul diantara anggota-anggotanya. Bahkan dari segi keutamaan dan prioritasnya, rakyat merupakan unsur pertama, di mana para penguasa bisa berdiri tegak. Tidak ada artinya eksistensi seorang penguasa, baik ia raja, kepala negara, imam maupun khalifah, tanpa adanya rakyat atau jama‟ah atau umat. Ketaatan manusia (rakyat) kepada penguasa dan pemerintah merupakan suatu keharusan untuk memberi kuasa kepada negara agar melaksanakan dan mewujudkan tujuantujuan yang terdahulu. Sebagai balasan atas ke-iltizâm-annya kepada syariah, 8
Abdus Salam bin Barjas al-Abd Karîm, Etika Pengkritik Penguasa, (Surabaya: Pustaka Assunnah, 2002), h. 1.
18
pengikatan dirinya kepada syura, dan penanggungjawabannya terhadap anak-anak rakyat, maka rakyat wajib mentaati pemerintah agar ia dapat mewujudkan hak, menjamin keamanan, menegakkan keadilan, serta membela umat, tanah air dan agama mereka, serta ketaatan kepada perintah-perintah penguasa dalam batasbatas syariah dan kepentingan umum. 9 Jika ditelaah dari nash-nash agama, maka dapat diketahui bahwa Islam mewajibkan umat Islam mentaati umara dan melarang menentang mereka. Mengenai hal ini Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taati pulalah Rasul serta pemegang kekuasaan dari kalanganmu. Kalau kamu berbeda pendpat entang sesuatu, kembalilah kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul, jika benar-benar kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS:An-Nisa:59). Sebagaimana yang diketahui bahwa ketetapan yang dijadikan kaidah oleh para fuqaha adalah bahwa bentuk inperatif (amr) memberi konsekuensi hukum wajib, selama tidak ada indikasi yang didukung oleh keterangan yang mengubah status wajib menjadi sunah. Dalam ayat ini terdapat perintah mentaati Allah SWT
9
Muhammad al-Mubarak, Sisem Pemeritahan Dalam Perspektif Islam, (Solo: Pustaka Mantiq, 1995), h. 58.
19
dan Rasulullah saw serta khalîfah, para amîr, komandan pasukan, gubernur, qadi, dan menteri serta orang yang mengemban tanggung jawab mengurusi urusan umat Islam. Kita memahami bahwa taat kepada Rasulullah saw wajib dengan ketetapan al-Qur‟an maka menjadi keharusan, dengan demikian, mentaati amîr juga wajib. Dapat dipahami juga bahwa menentang Rasulullah saw haram hukumnya, begitu pula menentang amîr haram pula hukumnya. Menurut akal sehat tidak masuk akal jika pemimpin melaksanakan kewajiban yang menjadi hak Allah atas dirinya dan hak umat Islam, kemudian ia tidak didengarkan kata-katanya, tidak ditaati perintah dan larangannya oleh rakyat di negri yang membutuhkan pembelaan dan kekuasaannya.10 Telah menjadi hukum keadilan, bahwa disamping ada kewajiban yang dijalankam imam, ada pula hak imam yang harus dipenuhi rakyatnya. Mengenai masalah ini, Sayyid Muhammad Rasyid Rido menulis sebagai berikut: Apabila telah selesai pelantikan dan pembai‟atan terhadap imam, maka wajiblah sekalian umat mentaati imam dan membantunya dalam hal tidak mendurhakai Allah; membunuh orang yang mendurhakai khalîfah.11 Prinsip ketaatan mengandung makna bahwa seluruh rakyat tanpa kecuali berkewajiban mentaati pemerintah, selama penguasa atau pemerintah tidak
10
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 47.
11
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam, (Banda Aceh: Bina Ilmu, 1984), h. 210.
20
bersikap zalim (tiran atau diktator) selama itu pula rakyat wajib taat dan tunduk kepada penguasa atau pemerintah.12 Dalam banyak hadits, Rasul menempatkan kepatuhan kepada pemimpin pada posisi kepatuhan kepada diri Rasul dan kepatuhan terhadap Allah. Imam Bukhâri dan Muslim meriwayatkan hadits dari Abi Salamah bin Abdirrahman, bahwa dia mendengar Abu Hurairah berkata, Bahwa Rasulullah bersabda:
Artinya: “Siapa saja yang mentaati aku, maka dia telah mentaati Allah. Dan barang siapa yang berbuat maksiat kepadaku, maka dia telah berbuat maksiat kepada Allah. Dan siapa saja yang telah mentaati pemimpinku, maka dia telah mentaati aku. Sedangkan siapa saja yang tidak taat kepada pemimpinku, maka dia telah berbuat maksiat kepadaku” (HR. Al-Bukhâri dan Muslim)13.
Taat kepada penguasa muslim yang menerapkan hukum-hukum Islam di dalam pemerintahannya, sekalipun zalim dan merampas hak-hak rakyat, selama tidak memerintah untuk melakukan kemaksiatan dan tidak menampakkan kekufuran yang nyata, hukumnya tetap fardu bagi seluruh kaum muslimin. Ketaatan
tersebut
hukumnya
wajib.
Karena
Allah
SWT
telah
memerintahkan ketaatan kepada penguasa, amîr atau imam. Perintah dengan 12
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, cet. 3, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h.
13
Taqiyudin al-Nabhani , Sistem Pemerintahan Islam, (Bangil Jatim: Al-Izzah, 1996), h. 335-
155.
336.
21
sebuah indikasi (Qarînah) yang menunjukkan adanya suatu keharusan (jazman) yaitu Rasulullah menjadikan ketidaktaatan kepada pemimpin itu seabagai sebuah kemaksiatan kepada Allah dan Rasul. Serta dengan adanya penegasan (ta’kîd) dalam perintah ketaaan tersebut, sekalipun yang menjadi penguasa budak hitam legam. Semuanya itu merupakan indikasi yang menunjukkan bahwa perintah itu menuntut dengan tegas agar dilaksanakan (jazim), maka taat pada pemimpin itu hukumnya fardu. Allah telah mewajibkan kita untuk mentaati ulil amri dan mereka adalah para imam yang menjadi pemerintah kita. Seperti hadits di bawah ini, dari Anas bin Malik ra. Katanya: Rasulullah Saw bersabda:
Artinya: “Hendaklah kamu mendengarkan dan mematuhi perintah, biarpun yang diangkat untuk memerintahi kamu seorang hamba sahaya bangsa Habsyi, rambutnya bagai anggur kering.” (HR. Al-Bukhâri)14
Sekiranya kita diperdaya oleh hawa nafsu untuk mengingkari perintah dan syariat yang mulia ini, tidak lagi taat kepada penguasa, tentu kita akan menuai dosa dan terpuruk dalam ke-mudarat-an, ketetapan Nabi ini merupakan cerminan dari kesempurnaan Islam, umat yang terpukul sekiranya tidak tepat taat, akan
14
Muhammad Ibn Isma‟il Abu Abdullah Al-Bukhâri Al-Ja‟fi, Al-Jami’ Al-Sohih AlMukhtasor, (Beirut: Dâr Ibnu Katsir, 1987), no.6723
22
mengakibatkan terganggunya roda kemaslahatan dunia dan agama, kezaliman akan meluas ke segenap lapisan masyarakat, keadilan akan sirna dari muka bumi dan kita akan terjerumus ke dalam bencana sistematis. Berbeda ketika orang yang teraniaya itu sabar dan tawakal, memohon kepada Allah agar diberikan jalan keluar, tetap loyal dan taat, maka kemaslahatan akan tetap kokoh, haknya tidak hilang dari sisi Allah. Boleh jadi Allah menggantikannya dengan yang lebih baik, setidaknya dijadikan saham kebajikan baginya di akhirat kelak. Inilah wujud sisi kemurnian Islam, loyalitas dan ketaatan tidak dikaitkan dengan keadilan penguasa. Sekiranya tidak demikian, maka hancurlah tatanan keduniaan. Adapun jika keluar dari ketaatan kepada penguasa akan menimbulkan kerusakan yang besar dan hilangnya keamanan, menzalimi masyarakat, terbunuhnya orang-orang yang tidak bersalah, dan lain sebagainya, maka hal ini tidak boleh dilakukan. Dalam kondisi seperti ini wajib bersabar, mendengar dan taat dalam kebaikan serta menasihati para pemimpin dan mendoakan mereka dengan kebaikan.15 Kepatuhan individu kepada negara yang direpresentasikan dengan perintah para pejabatnya, merupakan hak syar‟i negara atas dirinya. Setiap individu wajib melaksanakan perintah-perintah, peraturan-peraturan dan rencanarencana yang telah ditetapkan negara untuk merealisasikan kepentingan umum
15
Abdul Aziz bin Baz, dkk, Fatwa-Fatwa Terlengkap, (Jakarta: Darul Haq, 2006), h. 169.
23
dan tujuan-tujuan negara. Karena pentingnya kepatuhan serta pengaruhnya yang sangat besar pada kejayaan negara, Islam memerintahkan setiap orang untuk patuh kepada negara dalam hal yang dia senangi ataupun tidak. Negara tidak mungkin menjadikan semua warga negara setuju dengan kebijakan-kebijakan, perintah-perintahnya juga tidak mungkin bisa disepakati oleh semua pihak, apa yang dilakukan negara pasti ada yang menyukainya, adapula yang tidak. Oleh sebab itu hawa nafsu tidak boleh menjadi patokan untuk patuh (apa yang disenanginya, secepatnya dipatuhi, sedangkan yang tidak disenanginya lambat dipatuhi atau dilanggarnya) kepatuhan semacam ini tidak cukup untuk mengelakkan tanggung jawab individu atas kewajiban patuh terhadap negara. Tidak ada keistimewaan apapun bagi seorang dengan kepatuhan semacam ini, karena setiap orang biasa melakukannya. Dan juga tidak akan bertahan lama, karena didasarkan atas hawa nafsu dan individu sendiri tidak akan sanggup bertahan dan konsisten, jika seseorang keberatan untuk patuh dalam hal yang tidak dia senangi, tentu akan menyeretnya kepada pelanggaran dan kemudian pengingkaran terbuka. Dalam keadaan seperti itu negara mungkin diam saja dan pemberontak pun merajalela, kekacauan menyebar, sehingga runtuhlah negara. Mungkin juga negara menggunakan kekuatannya untuk memaksa para pembangkang agar patuh. Keadaan ini menimbulkan friksi dan perpecahan dan negarapun siap mengacungkan pedang. Akibatnya sudah sama maklum penguasaan negara sendiri atas warganya sehingga
tidak ada yang tersisa kecuali permusuhan.
24
Demikianlah setiap individu harus mengingat akibat pelanggaran, membiasakan diri patuh terhadap negara dengan dasar pilihan yang tumbuh dari lubuk hatinya. Dan seyogyanya dia mengetahui bahwa kepatuhannya kepada Allah harus ditaati selama untuk tujuan baik. Jadi, setiap individu menjalankan kepatuhannya seperti orang patuh terhadap imamnya dalam sholat berjamaah.16 Keabsahan kekuasaan ulil amri mengandung makna bahwa hukum-hukum dan kebijaksanaan politik yang mereka putuskan, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah, mempunyai kekuatan yang mengikat seluruh rakyat. Karena itu seluruh rakyat yang menjadi subyek hukum wajib mentaatinya. Keberadaan hukum ini, disamping hukum Tuhan, sebagai hukum positif memperlihatkan wajah dari tata hukum yang menjadi bagian dari sistem politik dan pemerintahan. Dalam hal ini dikenal dua hukum yang berlaku dalam negara: Hukum Allah (syariah) yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah, dan hukum negara yang bersumber dari keputusan ulil amri.17 Jika pada pemimpin sudah terlihat padanya kemungkaran tetapi pemimpin tersebut masih menjalankan shalat lima waktu maka wajib bagi rakyat mentaatinya seperti hadits berikut ini, dari „Auf bin Malik ra, dia bercerita, Rasulullah Saw bersabda:
16 17
Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Islam, (Jakarta: Al-Amin, 1984), h. 90. Abd.Mu‟in Salim, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 242.
25
Artinya: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan ia mencintai kalian, yang kalian doakan dan mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan ia membenci kalian, yang kalianm kutuk dan mengutuk kalian. “ „Auf berkata:”kami pun bertanya:”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh melawan mereka?‟ Beliau menjawab: ‟Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian.” (HR. Muslim)18
C. Batasan Taat Kepada Pemimpin Meskipun Islam menjadikan taat kepada pemimpin wajib bagi rakyat, akan tetapi ketaatan ini tidak bersifat mutlak dan bebas dari ikatan, sebab ketaatan mutlak menyebabkan lahirnya pemerintahan individu yang otoriter dan diktator. Dari sana, akibatnya, jati diri umat Islam menghilang. Oleh sebab itu, ketaatan rakyat kepada ulil amri di sini dibatasi oleh persyaratan-persyaratan tertentu dan cangkupan-cangkupan tertentu pula, persyaratn-persyaratan dan cangkupan itu antara lain: 1. Pemimpin yang dimaksud mempunyai komitmen pada syariah Islam dengan menerapkannya dalam kehidupan, apabila pemimpin tidak menerapkan syariah maka tidak wajib ditaati sesuai dengan ayat al-Qur‟an dalam surat Annisa ayat 59, tentang ketaatan kepada pemimpin atau dalam sebuah hadits, 18
Salîm bin Ied Al-Hilal Bahjatun Nadirin, Syarah Riyâdus Sâlihin, (t.t. Pustaka Imam Syafi‟i, t.th), h. 377.
26
Abu Ubaidah al-qasim bin Salâm meriwayatkan dalam kitab al-am wâl dari Ali bin Abi Talib ra (”Wajib bagi imam (pemimpin) menghukum (memerintah dengan hukum yang diturunkan oleh Allah dan menyampaikan amanat. Apabila ia melaksanakan yang demikian maka wajib bagi rakyat mentaatinya”).19 Kekuasaan pemimpin itu senantiasa dibatasi dengan ketaatan kepada Zat Yang Maha Kuasa. 2. Ketaatan juga dibatasi dengan pertimbangan keadilan dan kebenaran Apabila pemimpin menegakkan keadilan, maka rakyat wajib mentaati. Akan tetapi apabila berlaku zalim dan menindas serta jahat maka tidak wajib mentaatinya. Dalam hadits dikatakan bahwa:
Artinya: ”tidak ada keharusan untuk mematuhi perbuatan dosa, ingatlah ketaatan hanya wajib bagi prilaku yang benar” (HR. Al-Bukhâri),20
Dan Allah Swt. berfirman,
19
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 48. Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 86. 20
27
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS An-Nisa`: 58) 3. Tidak menyuruh manusia melakukan maksiat Pemimpin ditaati karena ia mentaati Allah dan Rasul-Nya, barangsiapa diantara pemimpin itu menyuruh dengan apa yang sesuai dengan yang diturunkan Allah dan Rasul-Nya, wajiblah umat menaatinya. Tetapi barangsiapa yang menyuruh dengan menyalahi apa yang dibawa Rasul (menyuruh kepada maksiat), perintah itu tidak boleh ditaati dan diikuti.21 Pada prinsipnya penguasa Muslim berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dan menyebarluaskan perbuatan terpuji serta memerangi perbuatan tercela. Jika demikian yang dilakukan maka ia wajib ditaati dan tidak
dibenarkan
ditentang.
Sedangkan
apabila
penguasa
mengajak,
membiarkan kemaksiatan yang nyata seperti riba, zina, minuman keras, dan korupsi maka tidak dibenarkan ditaati. Sebab tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Sang Khalik. Seandainya dibolehkan taat dalam hal kemaksiatan, maka berarti terdapat kontradiksi. Sebab tidak mungkin Allah mengharamkan sesuatu kemudian mewajibkannya.
21
Abdul Qadir Jaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, h.101.
28
Dalam
hadits dari Abdullah bin Umar ra dari Nabi Saw, beliau
bersabda:
Artinya: “Seorang muslim perlu mendengarkan dan mematuhi perintah, yang disukainya dan yang tidak disukainya, selama tidak disuruh mengerjakan maksiat (kejahatan). Tetapi apabila dia disuruh mengerjakan kejahatan, tidak boleh didengar dan tidak boleh dipatuhi.”(HR. Al-Bukhâri dan Muslim).22
Taat, sebagaimana yang sudah diketahui, tidak boleh pada hal-hal kemaksiatan, dan apa yang ditetapkan oleh Ahlul Hilli Wal Aqdi itu harus berdasarkan musyawarah. Ulama Ahlu Sunnah wa al-Jamâ’ah sepakat bahwa ketaatan kepada penguasa dalam perkara yang bukan maksiat merupakan kewajiban. Ini merupakan salah satu yang membedakan mereka dengan ahli bid‟ah dan hawa nafsu. Syeikh Abdurrahman al-Sa‟adi berkata: Allah memerintah umat untuk mentaati ulil amri, yakni para penguasa dari kalangan pemimpin, hakim, ahli fatwa. Urusan agama dan dunia mereka tidak akan terbina dengan sempurna
22
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, h. 86.
29
kecuali dengan ketaatan kepadanya yang berarti juga taat kepada Allah, cinta kepada-Nya. Hadits-hadits yang menunjukkan kewajiban taat kepada pemimpin yang tidak dalam katagori kemaksiatan antara lain: Pertama Hadits Abdullah bin Umar ra,
Artinya: “Seorang muslim perlu mendengarkan dan mematuhi perintah, yang disukainya dan yang tidak disukainya, selama tidak disuruh mengerjakan maksiat (kejahatan). Tetapi apabila dia disuruh mengerjakan kejahatan, tidak boleh didengar dan tidak boleh dipatuhi.”(HR. Al-Bukhâri dan Muslim).23 Perkataan hal yang ia “sukai atau benci” maksudnya yang sesuai dengan kehendaknya atau menyelisih dari kehendaknya. Al-Mubârak Furi dalam bukunya Syarah Tirmidzi mengatakan: sekiranya pemimpin memerintahkan hal yang sunnah dan mubah, maka wajib ditaati. Al-Mutakhir mengomentari hadits ini: ”mendengar ucapan hakim dan mentaatinya hukumnya wajib bagi setiap muslim، apakah perintah itu sesuai dengan kehendaknya atau tidak, dengan syarat tidak
23
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, h. 86.
30
memerintahkan dalam hal kemaksiatan, maka tidak ada ketaatan, namun ia tidak boleh memerangi pemimpin.24 Perkataan “tidak ada ketaatan” dimaksudkan dalam hal-hal kemaksiatan saja, semisal diperintah memakan riba atau membunuh sesama muslim, tanpa hak dan sejenisnya. Maka perintah itu justru wajib dihindari dan diingkari. Bukan dipahami apabila penguasa memerintahkan maksiat, maka seluruh perintahnya tidak wajib ditaati. Yang tidak wajib ditaati hanyalah pada lingkup perintah kemaksiatan saja. Kedua Hadits Abu Hurairah ra tentang loyalitas dan ketaatan bukan pada hal yang kamu senangi saja, bila kamu membencinya kamu tidak taat lagi, akan tetapi loyal dan taat pada semua hal yang kamu senangi maupun yang kamu benci: “orang yang mendengar dan taat tidak ada jalan baginya, sedangkan orang yang mendengar dan maksiat tidak memiliki hujjah baginya”. Imam Nawawi mengatakan: “wajib taat kepada para penguasa saat hati tidak pas dan saat lainnya, selagi bukan dalam masalah kemaksiatan. Apabila dalam lingkup kemaksiatan maka tidak ada ketaatan. Perkataan “atsârâtun”, berarti kerakusan urusan dunia, dan tidak memberikan hak kamu yang ada pada mereka.25 Yang ketiga hadits Imam Muslim dari Wail bin Juhri ra: 24
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, h.87 25
Abdus Salam bin Barjas Al-Abd Karim, Etika Pengkritik Penguasa, hal. 69.
31
Artinya: “Salâmah bin Yazid bertanya kepada Nabi Saw: Wahai Nabi, bagaimana pendapat tuan sekiranya ada penguasa yang menuntut haknya dari kami, namun mereka menghalangi hak kami. Apa perintah tuan kepada kami? Nabi menghindar. Ia bertanya lagi, dan nabi menghindar lagi. Ketika sampai yang kedua atau ketiga kalinya, dan dia ditarik tangannya oleh Al-Asy‟at bin Qais, maka Nabi Saw, bersabda: Taatilah sesungguhnya bagi mereka dosa yang mereka pikul dan bagi kalian kewajiban yang terbeban. Dalam riwayat lain: Taatilah, bagi mereka dosa yang mereka pikul, dan bagi kalian kewajiban yang terbebani.” (HR. Muslim)26
Islam telah menetapkan bahwa taat adalah suatu kewajiban seorang muslim dalam hal yang disukai maupun yang tidak disukai selama tidak diperintahkan untuk melakukan maksiat. Selain hadits diatas, Imam al-Bukhâri meriwayatkan dari Ali bin Abi Talib ra berkata bahwa:
26
Abdus Salam bin Barjas Al-Abd Karim, Etika Pengkritik Penguasa, hal. 70.
32
Artinya: “Rasulullah Saw mengirim pasukan perang dan mengangkat seorang Anshar menjadi komandan. Beliau memerintahkan agar beliau ditaati, komandan ini marah terhadap mereka, dan berkata: ”Tidakkah Rasulullah saw telah memerintahkan agar kalian mentaatiku?” mereka menjawab:”Benar.” Ia berkata lagi: “aku ingin anda sekalian mengumpulkan kayu bakar dan menyalahkan api kemudian anda masuk kedalamnya”. Mereka semua bingung, sebab taat macam apa yang sebenarnya dikehendaki komandan semacam ini. Mereka tidak menuruti apa yang diperintahkan lalu mengadukan masalah ini kepada Nabi saw, kemudian beliau bersabda: “Seandainya mereka benar-benar masuk ke dalam api, mereka tidak akan dapat keluar lagi selamanya. Kepatuhan hanya berlaku pada hal yang ma‟ruf”. (HR. Al-Bukhâri) 27
Maksud kata-kata Nabi saw tersebut adalah bahwa seandainya mereka masuk ke dalam api yang mereka nyalakan dengan anggapan bahwa mereka melakukan demikian karena mentaati amir mereka, maka mereka tidak akan keluar lagi yakni, meninggal dunia dan tidak keluar selamanya. Dengan demikian, Rasulullah Saw mengarahkan agar mereka tidak melakukan perintah seperti ini, sebab taat itu hanya wajib dalam hal yang baik, bukan hal yang buruk. Sebagian ulama memandang bahwa kata-kata Rasulullah Saw tersebut merupakan pengungkapan Zajr (nada menegur dengan keras), tarhib (mendorong agar
27
Muhammad Ibn Isma‟il Abu Abdullah Al-Bukhari Al-Ja‟fi, Al-Jami’ Al-Sohih AlMukhtasor, no. 6729.
33
meninggalkan) dan Takhwif
( menakut-nakuti). Sedangkan Zamhsyari dan
Baidawi berpendapat bahwa batasan taat kepada pemimpin yaitu pemerintah hendaknya berasal dari kalangan mereka, yaitu kaum Muslimin. Bahkan sebagian ahli tafsir berpendapat “diantara kamu” (minkum) maksudnya para pemimpin kebenaran. Adapun ketaatan seorang Muslim yang berdiam di negara non Muslim adalah suatu permasalahan lain yang diputuskan dan ditetapkan pertimbanganpertimbangan lain, seperti menempati janji dan tuntutan politik syariah, atau pertimbangan-pertimbangan selain ini tentang keberadaan seorang individu atau kelompok umat Islam yang berada dalam naungan negara bukan Islam, baik para penguasa maupun mayoritas rakyatnya. Dengan demikian, al-Qur‟an dan Sunah telah memastikan bahwa taat kepada ulil amri menjadi wajib selama berada dalam ketaatan kepada Allah. Siapapun tidak boleh ditaati selama bertentangan dengan kitabullah dan sunah Rasul-Nya.28 4. Ruang Lingkup Ketaatan Kepada Pemimpin dan Penguasa Berdasarkan pada teks-teks agama (nusus) terdahulu dapat dipahami bahwa rakyat berkewajiban mentaati penguasa dan pemimpin mereka hanya apabila syari‟ah Allah diterapkan dan keadilan ditegakkan dalam kehidupan masyarakat, tidak menentang Allah dan tidak pula mengajak rakyat melakukan maksiat terhadap Allah SWT. Dengan demikian jelas bagi kita, bahwa hanya
28
Sa‟id Hawwa, Al-Islam, (Jakarta: Al-I‟tishom Cahaya Umat, 2002), h. 98.
34
boleh bagi penguasa memerintahkan rakyat atau individu, masyarakat hal-hal yang wajib, mustahab (yang disukai menurut syara‟), hal-hal yang mubah (boleh dilakukan menurut syara‟) serta masalah-masalah ijtihadiah ketika tidak diketemukan nashnya dari al-Quran maupun sunnah Nabi saw atau pemahaman nash yang memungkinkan adanya pentakwilan. Seperti kasus mengenai para personil pasukan yang dikemukakan terdahulu yakni mereka mentaati komandan mereka mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan api dan ini adalah urusan yang mubah hukumnya. Akan tetapi perintah mencampakkan diri ke dalam api tidak dapat mereka patuhi sebab yang demikian haram hukumnya jika ditaati. Jika dicermati kata-kata Ibnu Hajar dalam keterangannya mengenai hadits Ubadah bin ash Shâmit, “kecuali apabila kalian melihat kekufuran yang nyata yang terdapat keterangannya dari Allah,” yakni nash ayat al-Quran atau berita sahih yang tidak dimungkinkan dapat di takwil. Maka konsekuensi hukumnya adalah bahwa tidak boleh menentang penguasa selama perbuatannya mengandung kemungkinan dapat di takwil. Dengan demikian maka haram bagi rakyat atau individu masyarakat menentang pemerintah pemimpin Muslim apabila masalah ini bersifat ijtihadiah meskipun bertentangan dengan pendapatnya. Dan tidak sepatutnya memberi peluang bagi godaan setan agar tidak mempengaruhi kebenaran pendapatnya, dan kesalahan pendapat imam serta wajib atau boleh menentang perintahnya, lalu keluar dari jamaah umat Islam dan dengan demikian menempatkan diri pada posisi yang rawan kemurkaan Allah SWT.
35
Rasulullah Saw bersabda:
Artinya: “Barangsiapa menemukan pemimpinnya sesuatu yang ia tidak sukai maka hendaklah ia bersabar sebab barangsiapa yang meninggalkan jama‟ah satu jengkal saja kemudian meninggalkan dunia, maka matinya mati jahiliyah”. (Muttafaq „alaih)29
Apabila setiap orang membiarkan untuk dirinya hak meremehkan komitmen pada pendapat imam dan penentang fanatik pada pendapatnya serta berusaha menghimpun massa disekelilingnya maka yang demikian adalah benihbenih yang menimbulkan keretakan dalam kesatuan umat Islam serta konflik antara individu masyarakat. Dengan demikian kekuatannya menjadi pudar dan wibawanya dihadapan musuh menyusut. Allah SWT berfirman dalam surat AlAnfal ayat 46:
Artinya: “Dan janganlah saling berbantah-bantahan yang menyebabakan kamu gentar dan hilang kekuatan”. (QS. Al-Anfal : 46) Islam dengan sungguh-sungguh melakukan terapi terhadap masalahmasalah penting seperti ini, dimana tindakan keras diambil terhadap siapa pun
29
Salîm bin Ied Al-Hilal Bahjatun Nadirin, Syarah Riyâdus Sâlihin, no. 672
36
yang mencoba mengahancurkan loyalitas pada pemimpin dan memecah belah jama‟ah. Imam Muslim meriwayatkan dari „Arjafah berkata bahwa (“Sungguh akan ada keburukan dan keburukan. Maka barangsiapa hendak memecah belah urusan umat ini dalam keadaan menyatu, maka penggallah dengan pedang siapa pun orangnya”) Secara singkat Islam memandang bahwa loyalitas dari rakyat kepada pemimpin adalah suatu kewajiban dan prinsip pemerintahan dalam Islam yang mana kehidupan politik tidak dapat tegak kecuali dengannya. Akan tetapi kewajiban taat kepada para pemimpin tidak bersifat mutlak melainkan terkait dengan penerapan syariah Islam dan penegakkan keadilan di tengah kehidupan manusia dan tidak mengajak rakyat mereka melakukan kemaksiatan.30
30
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 52.
BAB III SKETSA BIOGRAFI AL-MAWARDI DAN HASAN AL-BANNA
A. Biografi Al-Mawardi 1. Al-Mawardi Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib alMawardi al-Basri al-Syafi‟i. Ia lahir di Basra Iraq pada tahun 364 H/975 M dari keluarga Arab yang membuat dan menjual air mawar, sehingga diberi nama „alMawardi‟ berasal dari kata ma’ (air), dan ward (mawar)1, pada saat itu pula kebudayaan Islam mencapai masa-masa keemasannya di tangan para khalîfah daulah Abasiyah. Dia seorang pemikir Islam yang terkenal, tokoh terkenal madzhab Syafi‟i, dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya dalam pemerintahan Abasiyah.2 Al-Mawardi mendapatkan kedudukan tinggi di mata raja-raja, Bani Buwaih menjadikan al-Mawardi sebagai mediator antara mereka dengan orangorang yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka puas dengan perannya sebagai mediator, dan menerima seluruh keputusannya. Al-Mawardi hidup pada
1
Nur Mufid dan Nur Fuad, Bedah Al-Ahkam As-Shulthâniyyah, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2000), h. 21. 2 Munawwir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 58.
37
38
masa pemerintahan dua khalîfah; al-Qâdir Billah (381-422H) dan al-Qâimu Billah (422-467H).3
2. Latar Belakang Pendidikan al-Mawardi Al-Mawardi menerima pendidikan di Basra dan belajar yurisprudensi dari hukum Syafi‟i,
lalu dia melanjutkan ke Bagdad untuk pendidikan tinggi,
terutama mempelajari yurisprudensi, tata bahasa dan sastra, ia memutuskan untuk berguru ilmu hukum, tata bahasa, dan sastra pada Syeikh Abdul Hamid al-Isfraini dan Abdullah al-Bafi,4 di sini pula anak penyuling dan penjual mawar ini belajar hadits dan fiqh pada al-Hasan bin Ali bin Muhammad al-Jabali, seorang pakar hadits dan bahasa di zamannya, dan Abi al-Qasim Abdul Wahid bin Muhammad al- Sumairi, seorang hakim di Basra pada saat itu. Dia segera menjadi ahli studi Islam, termasuk hadits, yurisprudensi, tata bahasa dan sastra, dan wafat di Bagdad pada tahun 450 H/1058 M. Ia dikenal sebagai tokoh terkemuka madzhab Syafi‟i, pada abad ke-10, dan pejabat tinggi pada pemerintahan dinasti Abasiyah. Masa kekhalîfahan Abasiyah adalah masa keemasan peradaban Islam. Kekhalîfahan Abasiyah yang gemilang telah memberikan suasana paling cocok bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Cendekiawan Muslim dari seluruh dunia berkumpul di istana Abasiyah dan menyumbangkan pengetahuan mereka untuk
3
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara Dalam Syari’at Islam, edisi Indonesia, (Jakarta: Darul Falah, 2007), h. xxvi. 4 Hari, Republika online, Al-Mawardi: Pemikir Termasyhur Di Zaman Kekhalifahan, diakses pada hari Jum‟at, 18 Maret 2011 pukul 20.00 WIB.
39
memperkaya dunia ilmu pengetahuan. Saat itu cendekiawan yang memberi sumbangan terbesar bagi ahli politik dan ekonomi adalah al-Mawardi, yang sekarang dianggap sebagai ilmuan besar dalam politik dan ilmu politik. Perkembangan intelektualitas selama era ini sangat luar biasa dan yang termaju selama sejarah Islam. Sebagai salah satu tokoh intelektual besar di masanya, alMawardi terkenal sebagai ahli politik Islam pertama, dan sejajar dengan ahli politik besar abad pertengahan, yakni Nizam al-Mulk, Ibn khaldun dan Machiavelli.5 Imam al-Mawardi diusia dewasa menjadi qadi (hakim agung) pada masa pemerintahan khalîfah Abasiyah (berkuasa pada tahun 381 H/991 H-423 H/1031 M). Ia menjabat qadi di berbagai tempat, kemudian dingkat sebagai hakim agung (qadi al-qudat) di Ustuwa dan penasihat khalîfah.6 Pada 429 H, ia dinaikkan ke jabatan kehakiman yang paling tinggi, Aqb al-qudat (qadi agung) di Bagdad, jabatan yang dipegangnya dengan hormat sampai pada saat wafatnya.7 Guru-guru al-Mawardi, saat al-Mawardi belajar hadits di Bagdad,yaitu: 1. Al-Hasan bin Ali bin Muhammad al-Jabali (sahabat Abu Hanifah alJumahi) 2. Muhammad bin Adi bin Zuhar al-Manqiri 3. Muhammad bin al-Ma‟alli al-Azdi
5
Nur Mufid dan Nur Fuad, Bedah Al-Ahkam As-Shulthâniyyah, h. 22. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 276. 7 Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), h. 163. 6
40
4. Ja‟far bin Muhammad bin al-Fadhl al-Bagdadi 5. Abu al-Qasim al-Qusyairi. Ia belajar Fiqh pada: 1. Abu al-Qasim al-Sumairi di Basra 2. Ali Abu al-Asfarayini (imam madzhab imam Syafi‟i di Bagdad) dan lain sebagainya. Murid-muridnya: 1. Imam besar, al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali Khatib al-Bagdadi. 2. Abu al-Izzi Ahmad bin Kadasy.8
3. Kiprah Politik Al-Mawardi Dari jabatan qadi (hakim), al-Mawardi mendapat promosi sebagai duta besar untuk khalifah dan menyelesaikan banyak masalah politik di negaranya. Setelah menjabat menjadi qadi diberbagai tempat, dia ditunjuk sebagai qadi alqudat (Hakim Agung) Ustuwa, sebuah distrik di Nishapur. Tahun 1049, dia mendapat kenaikan jabatan sebagai qab al-qudat (ketua Mahkamah Agung) di Bagdad, posisi yang dijabatnya sampai kematiannya tahun 1058 M. Selain keputusannya dibanyak kasus menjadi contoh untuk hakim-hakim lain didekade
8
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, edisi Indonesia, h. xxvi.
41
berikutnya, keputusan yang tegas untuk banyak masalah hukum dipakai sebagai petuah selama beberapa abad.9 Situasi politik di dunia Islam pada masa al-Mawardi, yakni sejak menjelang akhir abad X sampai pertengahan abad XI M, tidak lebih baik dari pada zaman Farabi,dan bahkan lebih parah. Semula Bagdad merupakan pusat peradaban Islam dan poros negara Islam. Khalîfah di Baghdad merupakan otak peradaban itu, dan sekaligus jantung negara serta dengan kekuasaan dan wibawa yang menjangkau semua penjuru dunia Islam. 10 Tetapi kemudian lambat laun cahaya yang gemerlap itu pindah dari Bagdad ke kota-kota lain. Kedudukan khalîfah mulai melemah , dan dia harus membagi kekuasaannya dengan panglima-panglimanya yang berkebangsaan Turki atau Persia serta penguasa-penguasa wilayah. Meskipun makin lama kekuasaan para pejabat tunggu dan panglima non Arab itu makin meningkat, waktu itu belum tampak adanya usaha dipihak mereka untuk mengganti khalîfah Arab itu dengan khalîfah yang berkebangsaan Turki atau Persia. Namun demikian mulai terdengar tuntutan dari sementara golongan agar jabatan itu dapat diisi oleh orang bukan Arab dan tidak dari suku Quraisy. Tuntutan itu sebagaimana yang dapat diperkirakan kemudian menimbulkan reaksi dari golongan lain, khusunya dari golongan Arab, yang ingin mempertahankan syarat keturunan Quraisy untuk mengisi jabatan kepala negara, serta syarat 9
M. Atiqul Haque, 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, (Jogjakarta: Diglossia, 2007), h. 143. 10 Munawwir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 58.
42
kebangsaan Arab dan beragama Islam untuk menjabat wazir tafwidh atau penasihat dan pembantu utama khalîfah dalam menyusun kebijaksanaan. Mawardi adalah salah satu tokoh utama dari golongan terakhir ini.11 Al-Mawardi juga penulis yang cakap mengenai beragam topik seperti agama, etika, satra, dan politik. Khalîfah al-Qadirbillah memberinya penghargaan tinggi dan khalîfah Qa‟im bin Amirullah (391-560 H), khalîfah Abasiyah ke-26, menunjukkan sebagai duta besar untuk beberapa misi diplomatik ke negaranegara satelit disekitarnya. Kebijaksanaannya sebagai negarawan berhasil mempertahankan prestise kekhalîfahan Bagdad padahal lebih kecil diantara amîramîr Saljuk dan Buyid yang terlalu kuat dan hampir independen, dan dia sering menerima hadiah berharga dari amir-amir tersebut, sehingga kekayaannya melebihi orang lain di kelas sosialnya. Walaupun dituduh oleh banyak orang menganut kepercayaan theologies Mu‟tazilah, tetapi penulis-penulis selanjutnya menyangkalnya12. Sebenarnya kondisi politik pada saat itu jika kita amati secara sekilas ketika itu dunia Islam terbagi ke dalam tiga negara yang tidak akur dan saling mendendam terhadap yang lain, di Mesir terdapat negara Fatimiyyah. Di Andalusia terdapat negara Bani Umayyah. Di Irak Khurasan, dan daerah-daerah Timur secara umum terdapat negara Bani Abasiyah, hubungan antara khalîfahkhalîfah Bani Abasiyah dengan negara Fatimiyyah di Mesir didasari permusuhan
11 12
Munawwir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, h. 59. Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, h. 164.
43
sengit, sebab masing-masing dari keduanya berambisi untuk menghancurkan yang lain. Hubungan Bani Abasiyah dengan khalîfah-khalfîah Bani Umaiyyah di Andalusia juga dilandasi permusuhan sejak Bani Abasiyah meruntuhkan sendisendi negara Bani Umaiyyah, dan untuk itu darah tercecer di sana sini. Itulah kondisi eksternal negara Bani Abasiyah, adapun kondisi internal khalifah di Bagdad dan sekitarnya, sesungguhnya pemegang kekuasaan yang sebenarnya di Bagdad adalah Bani Buwaih, mereka adalah orang-orang Syiah fanatik dan radikal. Mereka berkuasa dengan menekan ummat, dan khalîfah sendiri tidak mempunyai peran penting yang bisa disebutkan disini, bahkan ia adalah barang mainan di tangan mereka. Mereka melemparkannya seperti bola, jika mereka tidak menyukai khalîfah, mereka langsung memecatnya.13 4.
Karya-karya Al-Mawardi Al-Mawardi adalah termasuk penulis yang produktif. Cukup banyak karya tulisnya dalam berbagai cabang ilmu, dari ilmu bahasa sampai sastra, hadits, tafsir, fikh dan ketatanegaraan.14 Salah satu bukunya yang paling terkenal, termasuk di Indonesia adalah Adab al-Dunyâ wa al-Din (Tata Krama Duniawi dan Agamawi). Secara garis besar, karya-karya al-Mawardi dapat dikelompokkan dalam tiga cabang, yaitu keagamaan, sosio-politik, dan kebahasaan dan kesastraan, berikut diterakan sejumlah karyanya baik yang sudah pernah dicetak maupun
13 14
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, edisi Indonesia, h. xxiv. Munawwir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, h. 59.
44
yang masih dalam bentuk manuskrip yang disimpan disejumlah perpustakaan atau museum.15 a. Bidang Keagamaan 1) Kitab al-Tafsir, juga dikenal dengan nama al-Nukat wa al-‘Uyun fi Tafsir al-Quran al-karim. Buku ini belum pernah diterbitkan, naskah manuskripnya berserakan diberbagai perpustakaan di dunia. Yang lengkap, dengan menambahkan beberapa kopinya dari sejumlah perpustakaan, terdapat di perpustakaan Kubriely Istambul Turki. Naskah manuskrip lainnya yang juga agak lengkap disimpan di perpustakaan Universitas al-Qurawiyin, Fas Maroko, perpustakaan Istambul Turki dan Rambur India. Kitab al-Tafsir ini termasuk kitab induk di bidang tafsir al-Quran. Itulah sebabnya para mufassir sesudah al-Mawardi misalnya al-Qurtubi dalam kitabnya al-Jami’ li Ahkam al-Quran dan Ibnu al-Juzi dalam Zad al-Masir nya mengutip panjang lebar pendapat-pendapat al-Mawardi dalam kitab itu. 2) Adab al-Dîn wa al-Dunya. Nama buku ini semula adalah al-Bughyah al‘Ulya fi Adab al-Dîn wa al-Dunya. Judul yang disebut pertama itu diduga, adalah pemberian oleh penyunting (muhaqqiq)nya pada terbitan edisi pertama, namun tidak diketahui siapa namanya. Nama kedua itulah yabg diberikan al-Mawardi sendiri. Penerbit memberikan nama lain lagi, 15
Nur Mufid dan Nur Fuad, Bedah al-Ahkam As-Shulthâniyyah, h. 24.
45
dengan membaliknya menjadi Adab al-dunyâ wa al-Din. Di Indonesia nama yang terakhir inilah yang kita kenal. Pada buku ini al-Mawardi menggabungkan antara ketajaman analisa para fuqaha dengan ketajaman hati para satrawan.16 Kitab Adab al-Dîn wa al-Dunya ini dirujuk dan dipergunakan di hampir seluruh dunia Islam, termasuk di pesantren-pesantren Indonesia. Di mesir, kitab ini diringkas sedemikian rupa kerena dijadikan buku wajib bagi pelajar-pelajar tingkat pertama. Seperti tersurat dari namanya, buku Adab al-Dunyâ bertopik seputar etika dan moral keagamaan murni, dan tentang etika bermasyarakat. 3) Al-Hawi al-Kabîr. Kitab ini secara khusus membahas persoalan-persoalan fiqh madzhab Syafi‟i. tetapi juga dibicarakan pandangan-pandangan pendiri madzhab lain, terutama Abu Hanifah, pendiri madzhab Fiqh Hanafi, terutama jika dipertentangkan dengan pendapat-pendapat Syafi‟i. menurut Mustafa al-Saqo, Profesor pada Fakultas Sastra Universitas Kairo, al-Hawi al-kabîr, adalah ensiklopedi besar di bidang fiqh Islam. Al-Mawardi sendiri menyatakan, “Aku gelar pembahasan fiqh di sini dalam empat ribu lembar kertas”. Maksudnya al-Hawi al-Kabîr ini adalah buku fiqh yang amat luas. Sebagai bandingan, buku fiqh tulisan alMawardi yang tipis al-Iqna’, digelar hanya di atas 40 lembar kertas. alHawi terdiri dari lebih 20 jilid besar. 16
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, edisi Indonesia, h. xxxi.
46
Sampai pada 1955 al-Hawi al-Kabîr baru pada tahap persiapan percetakan yang diprakarsai oleh Liga Arab. Dan hingga kini, belum pernah mendapatkan informasi tentang sudah atau belum terbitnya kitab ensiklopedi fikih klasik tersebut. 4) Kitab al-Iqna’. Buku ini adalah ringkasan kecil dari kitab al-Hawi alkabîr yang ditulis atas permintaan Khalîfah al-Qadir Billah. Para peneliti kutub al-Turats menduga bahwa nama al-Hawi al-Kabîr adalah bandingan bagi nama lain kitab ringkasannya itu, yakni al-Iqna‟ (Al-Iqba‟ juga disebut al-Hawi al-sagîr). 5) Kitab A’lam al-Nubuwwah. Pada buku ini, al-awardi menjelaskan aqidahnya tentang ketuhanan dan kenabian.17 Sampai kini kitab tentang bukti-bukti kenabian Muhammad saw ini belum pernah diterbitkan, ia masih tersimpan dalam bentuk manuskrip di perpustakaan Dâr al-Kutub al-Misriyyah. Mustafa al-Saqo menyatakan. A’lam al-Nubuwwah adalah buku teologi yang membicarakan ide-ide Ahl al-Sunnah dan Mu‟tazilah. Kabar terakhir menyebutkan bahwa A’lam al-nubuwwah telah diterbitkan di Kairo. 6) Kitab Adab al-qadi. Belum pernah diterbitkan, kini menuskripnya tersimpan di perpustakaan Sulaimaniyah di Istambul Turki. Seperti namanya, buku ini membicarakan tata tertib penanganan perkara dan persidangan pengadilan yang harus dipegang oleh para hakim. Tetapi 17
Imam Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, edisi Indonesia, h. xxxii.
47
kabar terakhir menyatakan buku ini telah terbit bahkan sudah ada yang memiliki satu eksemplar.18 b. Bidang sosial-politik 1) Kitab al-Ahkam al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyat al-Diniyyah (peraturanperaturan kerajaan atau pemerintahan). Ini adalah tulisan al-Mawardi yang paling awal diterbitkan dan paling dikenal di dunia Islam. Buku ini disusun khusus tentang pemikiran politik Islam. 2) Nasîhat al-Mulk (nasihat kepada para raja). Belum pernah diterbitkan. Anskah tulisan tangannya terdapat di perpustakaan Nasional Paris. 3) Tashil al-Nadzâr wa Ta’jil al-Dzafr. Masih dalam bentuk manuskrip, di perpustakaan Gothe Jerman. 4) Kitab Qawânin al-Wizâroh wa Siyasah al-Mulk. Diterbitkan pertama kali oleh penerbit Dar al-„Ushur, Kairo pada tahun 1902 dengan judul adab alWazir (pedoman untuk para mentri). Bagi pengamat dan teoritisi politik dan sosiologi, al-Mawardi dengan empat buku sosial dan politik tersebut memiliki kedudukan tersendiri, bahkan jika dibandingkan dengan kapasitasnya sebagai cendekiawan keagamaan. Empat buku al-Mawardi di bidang politik dan sosial tersebut juga telah diterbitkan dalam edisi bahasa-bahasa Eropa, seperti Prancis, Jerman, Latin. Edisi Inggris al-Ahkam alSulthâniyyah (the Laws of Islamic Governance) baru terbit pada tahun 1996 lalau,
18
Nur Mufid dan Nur Fuad, Bedah al-Ahkam As-Shulthâniyyah, h. 27.
48
diterjemahkan oleh Dr. Asadullah Yate, diterbitkan oleh Ta-Ha Publisher Ltd.London.19 Dari empat karyanya tentang politik, buku yang pertama yang paling terkenal. Sudah berkali-kali dicetak di Mesir dan telah disalin ke dalam banyak bahasa. Buku ini sedemikian lengkap dan dapat dikatakan sebagai “konstitusi umum” untuk negara, berisikan pokok-pokok kenegaraan seperti tentang jabatan khalîfah dan syarat-syarat bagi mereka yang dapat diangkat menjadi pemimpin atau kepala negara dan para pembantunya, baik di pemerintahan pusat maupun di daerah, dan tentang perangkat-perangkat pemerintah yang lain. Yang menjadi pusat perhatian kita mengenai karya-karya tulis al-Mawardi adalah bagian-bagian yang mengupas tentang jabatan kepala negara, cara pengangkatan dan persyaratannya, serta hubungan antara negara dan warganya. 20 Namun jarang sekali dilakukan pengkajian yang mendalam tentang kandungan buku itu. Kenapa buku itu ditulis, sumber yang digunakan al-Mawardi dalam menulis buku serta pengaruhnya terhadap masanya dan masa berikutnya, adalah hal yang jarang dimasalahkan. Buku ini hendak memperlihatkan kepada orang Islam bagaimana seharusnya sistem politik itu, dan siapa yang seharusnya memegang kekuasaan efektif dalam sistem itu.21 Al-Mawardi cukup istimewa sebagai ahli politik pertama dalam Islam yang berpengaruh, pengaruhnya bisa dibandingkan dengan Siyâsat Nama oleh 19
Nur Mufid dan Nur Fuad, Bedah Al-Ahkam As-Shulthâniyyah, h. 28. Munawwir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, h. 60. 21 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, h. 277. 20
49
Nizam al-mulk atau Muqaddimah oleh Ibn Khaldun. Sebagai ahli politik utama dalam Islam, tulisan-tulisannya serta pengalamannya praktisnya dalam politik terserap dalam perspektif politik penulis-penulis sesudahnya. c. Bidang bahasa dan Kesasteraan Meskipun para penulis biografi sepakat bahwa al-Mawardi adalah juga pakar bahasa dan sastra terbukti, misalnya, ada seratusan syair yang dimuat dalam al-akam ini dan ratusan dalam Adab al-Bunyâ wa al-Dîn, tetapi hanya dua bukunya yang nyata-nyata bertitel keabsahan dan kesastraan, yakni: 1) Kitab fi al-Nahwu (gramatika bahasa Arab). Buku ini tidak diketahui “nasibnya”. 2) Al-Amtsal wa al-hikam. Dalam kitab ini, al-Mawardi mengumpulkan berbagai pribahsa Arab, kata-kata mutiara dan syair-syair pilihan. Ada 300 motto, 300 bait sajak, dan 300 hadits pilihan. Kini, masih dalam bentuk manuskrip, tersimpan di perpustakaan universitas Leiden Belanda.
B. Biografi Hasan Al-Banna 1) Riwayat Hidup Hasan Al-Banna Hasan al-Banna dianggap banyak ilmuwan dan pemikir Islam sebagai Mujadid abad ke 20. Dia adalah unik, dikaruniai dengan pemahaman Islam yang benar dan mendalam dan kepercayaan yang kuat, dan seseorang yang terus
50
bekerja
tanpa
henti
sampai
tujuannya
tercapai,
satu-satunya
cara
menghentikannya adalah menyingkirkannya, dan itulah yang terjadi. 22 Pada tahun 1906 di kota kecil Mahmudiyah, Mesir, lahirlah seorang bayi yang kelak ditakdirkan Tuhan menjadi pembela agama paling gigih, memperjuangkan Islam sepanjang sejarah dunia Arab, dialah Syekh Hasan alBanna.23 Lingkungan tempat tumbuh berkembang Hasan al-Banna sangat sederhana. Ia tinggal disebuah kota kecil yang berdiri ditepi cabang sungai Rasyid, yag terhubung dengan sungai Nil. Nama kota tersebut adalah „alMahmudiyyah Buhayrah‟. Ia tepat berada di tengah-tengah antara jalan utara menju Iskandaria, dan jalan selatan menuju Kairo. Di kota inilah Syaikh Abdurrahman al-Banna (ayah dari Hasan al-Banna), yang banyak dikenal dengan as-sati‟i (si tukang jam) tinggal besama keluarga. Mereka menjadi pendatang untuk bekerja sebagai pembuat dan tukang memperbaiki jam. Ayahnya selain bekerja sebagai tukang reparasi jam, juga ulama. Seperti lazimnya masyarakat Mesir, Hasan mengikuti jejak ayahnya. Hasan belajar reparasi jam dan mendapatkan pendidikan agama dasar.24
22
M. Atiqul Haque, 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, h. 375. Maryam Jamîlah, Para Mujahid Agung, (Bandung: Mizan, 1989), h. 125. 24 Zed Books Ltd, 7 Chntya Street, Para Perintis Zaman Baru Islam, edisi Indonesia, cet. 3, (Bandung: Mizan, 1998), h. 129. 23
51
Setiap hari ia belajar hadits dan menelusuri musnad-musnadnya. Sejak saat itu dia mulai cendrung mencurahkan perhatiannya kepada musnad Ahmad bin Hanbal, yang dianggapnya sebagai ensiklopedi Sunnah Rasul terbesar. 25 Abdurrahman al-Banna mengisahkan diusia muda Hasan al-Banna ia sudah mempertanyakan soal bumi dan bulan serta penciptaannya. Pertanda kejeniusan akalnya sudah tampak kelihatannya sejak ia masih kecil. Oleh sebab itulah maka sang ayah menyuruh Hasan al-Banna menghafal al-Qur‟an, belajar hadits, juga diajari adab dan sopan santun yang baik. Pada umur 14 tahun Hasan al-Banna berhasil menghafal al-Qur‟an, hal ini berkat kedisiplinannya dalam membagi waktu26.
2) Latar Belakang Pendidikan Hasan al-Banna Ayahnya, Syeikh Abdurrahman al-Banna pernah belajar sebagai mahasiswa di al-Azhar pada waktu Muhammad Abduh mengajar di lembaga itu. Oleh karenanya dari ayahnya Hasan waktu kecil tidak hanya mendapatkan pelajaran murni saja, tetapi juga gagasan-gagasan pembaharuan.27 Pada usia dua belas tahun, Hasan masuk sekolah dasar negri. Pada waktu ini juga, Hasan masuk
25
Anwar Al-Jundi, Biografi Hasan Al-Banna, (Solo: Media Insani Press, 2003), h. 24. Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), h. 201. 27 Munawwir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, h. 147. 26
52
sebuah kelompok Islam, himpunan perilaku bermoral dan masuk himpunan pencegahan kemungkaran.28 Ketika Hasan al-Banna belajar di Madrasah al-Mu‟allimîn al-Awâliyyah, di sana ia menorehkan prestasi yang sangat gemilang. Ia berkembang dengan baik, penuh zuhud dan memperhatikan ibadah. Inilah pertama kali ayahnya melepaskan marhalah pendidikannya. Hasan al-Banna adalah orang yang sangat gemar membaca, hal ini dipengaruhi: pertama adanya perpustakaan sang ayah dan motivasi yang diberikan ayahnya untuk terus belajar dan membaca. Tidak jarang ia diberi hadiah beberapa buku, buku-buku yang memberinya pengaruh yang sangat berarti diantaranya adalah; al-Anwar al-Muhammadiyah karya alNabhani, Mukhtasar al-Mawahib al-Ladunniyah karya al-Qastalani, dan Nur alYaqîn fi Sirât Sayyid al-Mursalin karya Syaikh al-Khudri. Kedua, Madrasah alMu‟alaimîn berhasil mengumpulkan sejumlah ulama terkenal, pada marhalah ini Hasan al-Banna menghapal banyak matan dari ilmu yang bermacam-macam, dan semua itu dilakukan diluar kurikulum pelajarn sekolah.29 Hasan al-Banna lulus sekolah dengan predikat terbaik di sekolahnya dan kelima terbaik di Mesir. Di usia 16 tahun ia telah menjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi Dâr al-„Ulûm, Universitas Kairo. Ia juga memiliki bakat kepemimpinan yang cemerlang. Hasan al-Banna selalu terpilih menjadi ketua organisasi siswa di sekolahnya. Pada usia 21 tahun, Hasan al-Banna menamatkan
h. 130.
28
Zed Books Ltd, 7 Chntya Street, Para Perintis Zaman Baru Islam, edisi Indonesia, cet. 3,
29
Anwar Al-Jundi, Biografi Hasan Al-Banna, h. 42.
53
studinya di Dâr al-Ulûm30 dan mendapatkan reduksi masa belajar selama empat tahun, yaitu masa-masa tajîziyyah (persiapan). Selanjutnya ia berangkat ke Kairo dan ia tinggal di daerah dekat Universitas al-Azhar. Setelah keluar dari Dâr al-‘Ulûm ia menempuh ujian diploma. Mentri pendidikan (Wizârah al-Ma’rif) bermaksud mengutusnya ke Eropa, tapi Hasan alBanna menolak, ia memilih dan memutuskan diri untuk belajar di Madrasah alIslâmiyyah. Di sanalah ia menelorkan benih benih dakwah. Di sana pulalah ia menggagas terbentuknya Ikhwânul Muslimîn.31 3) Kiprah Politik Hasan Al-Banna Selama abad kesembilan belas, nasib baik politik Mesir semakin erat dengan Eropa, selama awal tahun 1800-an hubungannya semakin dekat karena para investor Eropa mendukung berbagai proyek untuk mengembangkan infrastruktur Mesir, proyek terpenting adalah pembangunan Terusan Suez, yang selesai pada tahun 1869, selain memodernisasikan ekonomi Mesir, berbagai proyek ini juga membuat Mesir berhutang kepada kreditor Eropa. Hingga abad dua puluh Inggris masih tetap bertahan dan mendominasi seluruh sektor yang ada di Mesir. Hasan al-Banna yang baru berusia tiga belas tahun, ikut berdemonstrasi menuntut kepergian Inggris, Inggris menghadapi badai protes nasioanalis, dengan
30 31
Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, h. 202. Anwar al-Jundi, Biografi Hasan Al-Banna, h. 23.
54
demikian, iklim politik diseputar tahun-tahun awal kesadaran sosial Hasan alBanna ditandai dominasi asing dan perlawanan terhadap dominasi asing.32 Pada marhalah Dâr al-Ulûm telah terjadi banyak peristiwa denotatis, diantaranya peristiwa runtuhnya dinasti Kamal dan posisi dunia Islam diambang kehancuran, dengan mata kepalanya sendiri Hasan al-Banna menyaksikan pergolakan yang mahadahsyat antara masyarakat tak bersenjata dengan kaum kolonial yang durjana, Hasan al-Banna menilai hal ini bukan hanya sekedar masalah invasi Inggris terhadap Mesir, tetapi lebih dari itu merupakan pencaplokan Barat terhadap dunia Islam.33 Posisi al-Azhar pada saat itu sangat lemah. Kekuatan Islam baru bisa digalang dan disatukan dalam wadah yang diberi nama Asy-Syubban alMuslimîn, atau jamaah-jamaah yang lain. Akan tetapi Hasan al-banna bermaksud menghadapi masalah tersebut dengan serius dan berbeda. Ia memulainya dengan wacana persatuan Islam (al-Jami‟yyat al-Islamiyyah), tetapi untuk tahap pertama ia konsentrasikan pada bidang sejarah gerakan kebangkitan Islam, juga pembangunan pemuda dan penggalangan kekuatan.34 Beberapa bulan setelah kepindahannya ke Ismâiliyyah tempat ia bekerja sebagai guru pada sekolah lanjutan milik pemerintah, pada tahun 1928 ia secara resmi mendirikan himpunan persaudaraan Muslim (Ikhwânul Muslimîn) diantara
h.127.
32
Zed Books Ltd, 7 Chntya Street, Para Perintis Zaman Baru Islam, edisi Indonesia, cet. 3,
33
Anwar al-Jundi, Biografi Hasan Al-Banna, h. 39. Anwar al-Jundi, Biografi Hasan Al-Banna, h. 41.
34
55
berbagai aspek perjuangan di dalam pergerakannya itu, Hasan al-Banna paling mementingkan aspek pendidikan bagi generasi yang sedang tumbuh. Dengan didukung enam orang pengikut dan murid-muridnya yang setia. Pada tahun 1933, Hasan al-Banna memindahkan markas besar Ikhwân dari Ismâiliyyah ke Kairo. Selama tiga tahun berikutnya pergerakan tersebut memusatkan kegiatankegiatannya dalam mendidik masyarakat agar mereka hidup secara Islamis, dan memantapkan rencana kerja masjid-masjid, sekolah-sekolah dan lembagalembaga kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Mesir. Pada tahun 1949 Ikhwânul Muslimîn sudah memiliki lebih dari dua ratus ribu cabang yang tersebar di seluruh pelosok Mesir dengan anggota sekitar lima ratus ribu ditambah simpatisan yang banyaknya diperkirakan sama dengan anggotanya. Lambat laun Ikhwânul Muslimîn berkembang menjadi suatu organisasi keagamaan dan politik yang amat tangguh.35 Akhirnya Ikhwânul Muslimîn terlibat secara langsung dalam pergolakan politik di Mesir lewat kegiatan-kegiatannya menentang kekuasaan pendudukan Inggris dan berdirinya negara Israel di atas bumi Palestina. Aspirasi politiknya juga makin terkristalisasi, yakni secara jelas mendambakan negara Islam.36 Surat kabar, pamflet majalah dan buku-buku yang mereka terbitkan sirkulasinya semakin hari semakin meningkat, kini pengaruh Ikhwân mulai menembus batasbatas negara, karena para remaja di negara-negara tetangga semakin banyak yang
35 36
Munawwir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, h. 145. Munawwir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, h. 146.
56
mengharapkan bimbingan dari Hasan al-Banna. Didirikanlah cabang-cabang di Siria, Libanon, Yordania, Palestina, Maroko dan Sudan. Seperti halnya Jamaluddin al-Afgani, syekh Hasan al-Banna menyadari bahwa tidak mungkin bagi suatu masyarakat Islam untuk mendapatkan kemajuan di bawah kekuasaan asing yang memusuhinya. Karena itu ia menyerukan agar memasang bendera jihad sampai titik darah penghabisan melawan imperealisme Inggris, baik secara politis maupun ekonomis. Ia menuntut kepada kerajaan Inggris Raya agar melepaskan Terusan Zues. Karena popularitasnya dan pengaruhnya semakin lama semakin besar, golongan penguasa yang sedang memerintah mulai menganggap Ikhwân sebagai suatu ancaman subversive yang paling berbahaya. Tahun 1941, Perdana Mentri dan pemerintahan Mesir sangat terpengaruh oleh Inggris. Pemerintah Mesir, di bawah kepemimpinan perdana mentri, bergabung dalam pasukan Inggris di perang dunia II. Hasan al-Banna menentang aliansi ini, tetapi dia tidak didengar, dia kemudian ditangkap dan surat kabarnya ditutup. Akan tetapi rakyat bangkit dalam pemberontakan dan pemerintah terpaksa membebaskannya. Tahun 1942, Nasha Pasha menutup semua kantor Ikhwânul Muslimîn, kecuali kantor pusatnya di Ismâiliyyah, tetapi rakyat memberontak dan Nasha Pasha digulingkan. Di tahun 1945, Perdana Mentri baru disumpah dan diadakan pemilihan umum. Dalam pemilu ini, Hasan al-Banna dan rekanrekannya mengambil bagian, tetapi akibat campur tangan pemerintah, kandidat
57
ikhwan tidak terpilih dan Hasan al-Banna ditangkap lagi, tetapi protes menyebar luas dan dia dibebaskan. PBB pada tahun 1947, dibawah pengaruh Amerika Serikat memutuskan untuk membentuk negara Israel di Palestina. Mengenai hal ini, Hasan al-Banna dan rekan-rekannya mendeklarasikan Jihad melawan agresi dan mulai mengorganisir dari menjadi pasukan mujahidin yang kuat. Mereka berpartisipasi dalam jihad ini dan berjuang menentang pembentukan negara baru Yahudi, tetapi seluruh Barat berada dibelakang mereka. Pilihan Pada bulan Desember 1948, pemerintah melakukan penekanan ala Inggris dan menyatakan bahwa pergerakan tersebut dianggap tidak sah. Beriburibu Ikhwân dijebloskan kepenjara dan harta kekayaan mereka disita negara, juga pada tahun ini Perdana Mentri Mahmud yang melihat popularitas Ikhwânul Muslimîn merasa cemas dan dia menangkap semua pendukung partai ketika mereka berperang melawan Israel. Ribuan pejuang ikhwân di seluruh Mesir dimasukan ke dalam penjara. Karena alasan politik, Syekh Hasan al-Banna tidak ditangkap, tetapi partainya dilarang dan dia mendapat pengawasan ketat. Pada 12 Februari 1949, ketika dia pulang dari sebuah pertemuan Young Muslim Association, dia ditembak mati. Peristiwa pembunuhan itu sangat kejam dan mengejutkan, tak ada yang
mengizinkan
mendekati
tubuhnya
kecuali
ayahnya,
jenazahnya
diperbolehkan pulang dengan kawalan polisi, tidak ada yang boleh menyalatkan
58
Hasan al-Banna kecuali ayahnya.37 Polisi tidak memperbolehkan masyarakat umum mendekati peti matinya. Semua saudaranya berada dipenjara, sedang ibu dan dua saudara perempuan, putri-putrinya dan putranya Ahmed Saif al-Islâm di rumah.38 4) Karya-karya Hasan Al-Banna Di sepanjang hidup al-Banna di tengah gejolak perubahan Mesir pada umumnya dan Ikhwân al-Muslimîn pada khususnya, ia melakukan berbagai ceramah
dan
menulis
banyak
makalah.
Kebanyakan
karya-karyanya
dipublikasikan semasa hidupnya dan dicetak-ulang berkali-kali setelah ia meninggal dunia. Majmu`ah al-Rasail adalah buku yang berisi sebagian besar surat-surat al-Banna, yang masing-masing setara dengan buku catatan kecil. Berikut ini adalah sebagian judul makalah dan risalah yang ditulis Hasan alBanna: 1) Ahâdits al-Jum`ah. 2) Al-Ikhwân al-Muslimûn tahta Râyat al-Quran (bulan Safar 1358H/ April 1839 M). 3) Illâ Ayyi Syai-in Nad`û al-Nas (1936 M). 4) Bâ’in al-Ams wa al-Yaûm (1942 M yang juga dinamakan dengan Risâlat alNabiyyil Amin atau Min Tatawwuril Fikratil Islamiyah).
37
Ahmad Isya „Asyur, Ceramah-Ceramah Hasan Al-Banna, Hadits Tsulatsa’, Cet. V, (Solo: Era Intermedia, 2005), h. 9. 38 M. Atiqul Haque, 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, h. 378.
59
5) Risâlat Da`watunâ (1936 M). 6) Risâlat Mursyid yang pertama pada bulan Ramadhan 1349 H/ Januari 1931 M. 7) Risâlat al-Ta`lîm (1943 M). 8) Risâlat al-Jihâd. 9) Risâlat al-Mu`tamâr al-Khâmis (1938 M). 10) Risâlat al-Mu`tamâr al-Sâdis (Majlis Syura Am, pada bulan Dzulhijjah 1359 H/ Januari 1941 M) 11) Risâlat Aqîdatuna (1350 H/ 1931 M) 12) Risâlat al-`Aqâid 13) Risâlat al-Mu’tamar al-Awwal (Majlis Syura Aam) yang pertama pada bulan Shafar 1350 H/ 1931 M. 14) Risâlat Mursyid (yang kedua pada bulan Ramadhan 1351 H/ 1932 M) 15) Risâlat al-Mu’tamar al-Tsani’ (Majlis Syura Aam) yang kedua pada bulan Syawal tahun 1350H/ Februari 1932 M. 16) Risâlat al-Mu’tamar al-Tsalits (Majlis Syura Aam) yang ketiga pada bulan Dzulhijjah 1353 H/ Maret 1935 M. 17) Risâlat al-Mu’tamar al-Râbi’ (Majlis Syura Aam) yang keempat pada bulan Dzulhijjah 1354 H/ Maret 1936 M. 18) Risâlat Nahwan Nûr (1936 M) 19) Risâlat Ilasy Syabbab (1357 H/ 1936 M) 20) Dokumen al-Matâlib al-Khamsun (1357 H/ 1936M).
60
21) Risâlat Ila al-Mu’tamar Tullabil Ikhwânil Muslimîn (1938 M). 22) Risâlat al-Manhaj al-Tsaqafi (1359 H/ 1940M). 23) Risâlat Nidamul Usar (1943 M). 24) Risalah kepada para pemimpin cabang, markas jihad dan wilayah pada tahun 1364 H/ 1945 M. 25) Risâlat Musykilatuna fi Dau’in Nidamil Islami (1947 M). 26) Risâlat Hal Nahnu Qaumun ‘Amâliyyun. 27) Risâlat Allah fil ‘Aqidah al-Islamiyah (1367 M). 28) Risâlat al-Munajah 29) Risâlat al-Ma’tsurat. 30) Ila Ikhwânil Kata’ib. 31) Nadârat fi Kitâbillah. 32) Nadârat fi Sirah. 33) Muqaddimah fi al-Tafsir. 34) Majmu’ah Maqalâtul Banna. 35) Ahadits al-Tsulatsa’ 36) Mudzakkirat al-Da’wah Wa al-Da’iyyah. 37) Dusturuna.39
39
Ali Abdul Hamid Mahmud, Rukun Jihad Fiqh Rekonsiliasi dan Reformasi Menurut Hasan Al-Banna, (Jakarta: Al-I‟tisom Cahaya Umat, 2001), h. 187.
61
Semua karya Hasan al-Banna ini belum mencangkup keseluruhan dari apa yang ditulis olehnya, karena masih banyak karyanya yang membutuhkan upaya pencarian.
BAB IV LOYALITAS RAKYAT TERHADAP PEMIMPIN MENURUT AL-MAWARDI DAN HASAN AL-BANNA
1. Loyalitas Rakyat Terhadap Pemimpin Menurut Al-Mawardi Al-Mawardi menegaskan beberapa hal terkait teori politik mengenai imam, yang salah satunya tentang hak imam atau khalîfah. Menurut al-Mawardi, jika imam telah menjalankan kewajibannya dan memenuhi hak rakyat, rakyat wajib mematuhi dan mendukung kebijaksanaannya1. Jika kepala negara telah menjalankan hak-hak umat, lalu ia telah menunaikan hak-hak Allah SWT baik yang berkenaan dengan hak-hak manusia maupun kewajiban yang harus mereka emban. Saat itu kepala negara mempunyai dua hak atas rakyatnya, yaitu: taat kepada pemerintahnya dan membantunya dalam menjalankan roda pemerintahan dengan baik, selama ia tidak berubah keadaannya.2 Perubahan sifat kepala negara yang membuatnya keluar dari kompetensi sebagai kepala negara ada dua hal: 1. Kredibilitas pribadinya rusak 2. Terjadi ketidaklengkapan anggota tubuh.
1
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, h. 278. T.M. HAsbi Ash Shiddiqy, Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 117. 2
62
63
Rusaknya kredibilitas pribadinya dapat terjadi karena ia melakukan perbuatan yang fasik. Hal itu disebabkan dua macam yaitu ia mengikuti syahwatnya dan mengikuti syubhat. Hal yang pertama berkaitan dengan perbuatan tubuh, yaitu dengan melakukan kemungkaran, mengikuti dorongan syahwat, dan menuruti hawa nafsunya. Ini adalah kefasikan yang menghalangi untuk menjabat kepala negara dan meneruskan jabatannya.3 Hal yang kedua adalah berhubungan dengan akidah, yaitu ia melakukan takwil terhadap sesuatu masalah yang subhat sehingga ia menghasilkan takwil yang menyalahi kebenaran. Hak imam yang juga telah disebutkan di atas yaitu: 1.
Haqq al-Tha‟ah, yaitu hak untuk memperoleh kepatuhan dari rakyatnya terhadap pemerintah (penguasa).
2.
Haqq al-Nashrah, yaitu hak untuk mendapatkan bantuan dari rakyat dalam pelaksanaan tugas imam.4
Hak yang pertama menunjukkan bahwa ketika seseorang telah di baiat menjadi seorang imam atau pemimpin, maka dengan sendirinya segala titah yang dikeluarkannya menjadi kewajiban masyarakat untuk ditaati.5 Menurut alMawardi mengenai pengangkatan kepala negara, salah satu tugas terpenting anggota lemabaga pemilih (ahl al-„aqd wa al-halli atau ahl al-ikhtiyar) adalah 3
Al-Mawardi, Hukum Tata-Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 39. 4 5
Rusdji Ali Muhammmad, Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Ar-Raniry Press, 2004), h. 47. Moh. Mufid, Politik Dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), h.40.
64
mengadakan penelitian terlebih dahulu terhadap kandidat kepala negara, apakah ia memenuhi persyaratan. Jika syarat telah dipenuhi, maka diminta kesediaan si calon lalu ia ditetapkan sebagai kepala negara dengan ijtihad atas rida dan pemilihan yang diikuti dengan pembaiatan. Dalam pembaiatan tidak ada paksaan. Rakyat yang telah membaiat harus mentaatinya. Pendapat al-Mawardi menunjukkan bahwa proses pengangkatan kepala negara merupakan persetujuan antara kedua belah pihak, yakni pihak pemilih dan pihak yang dipilih sebagai satu hubungan dua pihak dalam mengadakan perjanjian atas dasar sukarela. Konsekuensinya, kedua belah pihak mempunyai kewajiban dan hak secara timbal balik.6 Oleh karenanya syarat menjadi imam adalah kecerdasan intelektual, pintar, dan peka terhadap kondisi masyarakat. Ketika ada masalah yang mengharuskan seorang pemimpin mengeluarkan undang-undang atau aturan, maka dengan sendirinya rakyat harus patuh terhadap undang-undang tersebut.7 Menurut al-Mawardi, dari segi politik itu terdapat enam sendi utama: agama yang dihayati, penguasa yang berwibawa, keadilan yang menyeluruh yang di dalamnya menjelaskan keadilan terhadap atasannya, seperti rakyat terhadap kepala negaranya, dan pengikut terhadap kepalanya, yang dimanifestasikan melalui ketaatan yang tulus, kesiapan membantu dan membela serta loyalitas
6 7
Ensiklodesi Tematis Dunia Islam, Ajaran, h. 216. Moh Mufid, Politik Dalam Perspektif Islam, h. 40.
65
yang utuh, keamanan yang merata, kesuburan tanah yang berkesinambungan dan harapan kelangsungan hidup.8 Pada bab 4 buku karya al-Mawardi yaitu Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam takaran Islam pada sub bab kewajiban yang harus dipenuhi oleh para Mujahidin dalam berjihad, di sana dijelaskan kewajiban tentara terhadap panglima perang, yaitu: 1.
Selalu taat kepada pemimpin dan tunduk dalam kekuasaannya karena kekuasaaanya atas mereka sah serta mereka harus taat kepadanya sesuai status jabatannya itu, dan taat kepada pemimpin adalah wajib9. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taati pulalah Rasul serta pemegang kekuasaan dari kalanganmu. Kalau kamu berbeda pendpat entang sesuatu, kembalilah kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul, jika benar-benar kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (An-nisaa‟:59) Pengertian ulil amri ini ada dua penakwilan berikut ini.
8
Munawir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 62. Imam Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara Dalam Syari‟at Islam, edisi Indonesia, h. 86. 9
66
a) Mereka adalah para pejabat. Ini adalah pendapat Ibn Abbas r.a. b) Mereka adalah para ulama. Ini adalah pendapat Jabir bin Abdullah, Hasan, dan Ata‟. 2. Menyerahkan wewenang dan mandat itu kepadanya untuk mengatur strategi perang mereka sehingga tidak banyak pendapat yang saling berbenturan, yang mengakibatkan persatuan mereka menjadi hilang dan mereka menjadi terpecah belah. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara meraka tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri), kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (diantaramu).” (An-nisaa‟:83)
Penyerahan masalah itu kepada ulil amri adalah sebab bagi tercapainya ilmu dan kebijakan yang tepat. Jika ada sesuatu kebenaran yang tidak terlihat oleh panglima mereka, mereka hendaknya menjelaskannya kepadanya dan menunjukkannya. Oleh karena itu, dianjurkannya untuk
67
melakukan musyawarah sehingga dapat tercapai suatu keputusan yang tepat. 3. Segera menjalankan instruksinya dan menaati larangannya karena kedua hal itu adalah dimensi utama ketaatan terhadapnya. Jika mereka tidak menjalankan apa yang ia instruksikan dan menjalankan apa yang ia larang, ia dapat menghukum dan memberi pelajaran kepada mereka sesuai kadar pelanggaran itu, namun jangan sampai bertindak kasar. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka ; mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Ali Imran:159)
4. Tidak menentangnya dalam pembagian ghanimah jika ia telah menetapkan pembagiannya dan secara rela menerima pembagian yang dilakukan olehnya. Ini karena Allah telah menyamaratakan ghanimah
68
antara kalangan terhormat dan orang biasa dan antara orang yang kuat dan yang lemah. Al-Mawardi memberikan indikasi tidak bolehnya rakyat taat kepada kepala negara, yaitu tidak berlaku adil dalam pemerintahan dan hilang kemmapuan fisiknya, sikap tidak adil kepala Negara dapat terlihat dari kececndrungannya memperturutkan hawa (nafsu) seperti melakukan hal-hal yang subhat.10
2. Loyalitas Rakyat Terhadap Pemimpin Menurut Hasan Al-Banna Hasan al-Banna berkata, “yang saya maksudkan dengan taat adalah menunaikan perintah dengan serta merta, baik dalam keadaan sulit maupun mudah, saat bersemangat maupun malas.11 Imam Hasan al-Banna menganggap ketaatan dan loyalitas seorang anggota terhadap pimpinannya sebagai salah satu rukun baiat. (Beliau memaknai taat ibarat pelaksanaan semua perintah dengan sesegera mungkin dalam segala kondisi baik senang, susah, sukarela maupun sedikit terpaksa). Beliau melanjutkan bahwa taat pun terbagi pada beberapa klasifikasi yang diukur dari sejauhmana tahapan pengkaderan seorang anggota, adapun tahapan-tahapannya, yakni:
10
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media, 2001), h. 211. 11 Sa‟id Hawwa, Membina Angkatan Mujahid, Studi Analitis Atas Konsep Dakwah Hasan Al-Banna Dalam Risalah Ta‟alim, (Solo: Era Intermedia, 2002), h. 171.
69
1. Takrif Pada tahap ini dakwah dilakukan dengan menyebarkan fikrah islam di tengah masyarakat. Adapun sistem dakwah untuk tahap ini adalah sistem kelembagaan. Urgensinya adalah kerja sosial bagi kepentingan umum. Medianya adalah memberikan nasehat dan bimbingan (sekali waktu) dan membangun berbagai tempat yang berguna (di waktu yang lain), serta berbagai media aktivitas lainnya. Semua syu‟bah (nama satuan kelompok) Ikhwan yang ada sekarang adalah representasi dari tahapan ini dalam kehidupan dakwahnya. Ia terkoordinir dalam “undang-undang pokok” yang telah dijabarkan melalui berbagai risalah dan penerbitan Ikhwan. Dakwah pada tahapan ini bersifat umum. Jamaah menjalin hubungan dengan orang yang ingin memberikan kontribusi bagi aktivitasnya dan ikut menjaga prinsipprinsip ajarannya. Ketaatan yang tanpa reserve pada tahapan ini tidaklah dituntut, bahkan tidak lazim. Tingkatannya seiring dengan kadar penghormatannya kepada sistem dan prinsip-prinsip umum Jamaah. 2. Takwin Dalam tahapan ini dakwah ditegakkan dengan melakukan seleksi terhadap anasir positif untuk memikul beban jihad dan untuk menghimpun berbagai bagian yang ada. Sistem dakwah pada tahapan
70
ini bersifat militer dalam tataran operasional. Slogan untuk kedua aspek ini adalah: “perintah dan taat”, tanpa keraguan. Semua katibah (nama satuan kelompok militer) Ikhwan yang ada kini adalah representasi dari tahapan ini dalam kehidupan dakwahnya. Ia terhimpun dalam risalah manhaj yang telah lalu. Dakwah pada tahapan ini bersifat khusus. Ia tidak dapat dikerjakan oleh seseorang kecuali yang telah memiliki kesiapan secara benar untuk memikul beban jhad yang lama masanya dan berat tantangannya. Slogan utama dalam persiapan ini adalah: “totalitas ketaatan”. 3. Tanfidz Dakwah dalam tahapan ini adalah jihad dengan tanpa kenal sikap plin-plan, kerja terus-menerus untuk menggapai tujuan akhir, dan siap menanggung segala cobaan yang tidak mungkin bersabar atasnya kecuali orang-orang yang tulus. Dakwah ini tidak mungkin meraih keberhasilan kecuali dengan “ketaatan yang total” juga. Untuk itulah shaf pertama Ikhwanul Muslimin berbaiat pada bulan Rabi‟ul Awal 1359 H. Dengan bergabungnya kalian dalam katibah ini, dengan sikap menerima kalian akan risalah ini, dan dengan kesetiaan kalian pada baiat ini berarti kalian telah berada pada tingkatan kedua menuju tingkatan ketiga.
71
Tunaikan tanggung jawab yang telah dipikulkan kepadamu dan siapkan dirimu umtuk setia kepadanya.12 Hasan al-Banna menulis pada bukunya yaitu pada bab pemerintahan mengenai tanggung jawab pemerintahan (kabinet) Perihal tanggung jawab pemerintah menurut Islam, pada dasarnya yang memilikinya adalah presiden (kepala pemerintahan) betapapun keadaanya. Dia punya hak untuk melakukan apa saja untuk kemudian menyerahkan penilaian perilakunya kepada masyarakat. Jika ia baik, rakyat wajib mendukungnya. Namun sebaliknya, jika ia tidak baik, maka rakyat harus meluruskanya. Islam tidak melarang seorang presiden melimpahkan wewenang eksekutifnya kepada yang lain untuk megemban tanggung jawab ini, sebagaimana dalam pemerintahan Islam masa lalu dikenal dengan “wizâratut tafwid” (maksudnya kurang lebih sama dengan sistem kabinet parlementer yang dipimpin oleh seorang perdana mentri sekarang ini dan membolehkannya sepanjang tetap dalam kerangka menegakkan maslahat.13 Hasan al-Banna juga menuliskan “dulu umat bersatu dalam kata dengan berpegang teguh kepada tali agama, yakin akan keutamaan hukum-hukumnya, memelihara perintah Rasulullah saw., dan peringatan beliau untuk menjaga persatuan. Demikian pentingnya arti jamaah dan persatuan di bawah naungannya,
12
Said Hawwa, Membina Angkatan Mujahid, Studi Analitis Atas Konsep Dakwah Hasan AlBanna Dalam Risalah Ta‟alim, h. 171. 13 Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, (Solo: Era Intermedia, 2008), h. 306.
72
sampai-sampai Rasul memerintahkan untuk membunuh siapa saja, yang memisahkan diri dari jamaah dan keluar dari ketaatan. Beliau bersabda:
ص كم اً يفزق مه ا ذا كم ً ا مز كم جميع علَ رجل ًا حد يزيد ا ن يشك ع ا جما عركم فا لرلٌ ه
Artinya: “Siapa yang dating kepadamu, sedang seluruh urusanmu telah sepakat diserahkan kepada seorang laki-laki, untuk memecah kekuasaanmu dan merusak jamaahmu maka bunuhlah dia” (HR. Muslim).
Sebagaimana beliau juga besabda:
مه خز ج مه الطا عح ً فا رق ا لجما عح فما خ ما خ ميرح جا ىليح ً مه لا ذل ذحد ً را يد عميح يغضة لعصثح اً يدعٌ الَ عصثح اً ينصز عصثح فمرل فمرلح جا ىليح ٍ مه خزج علَ ا مرَ يضز ب تز ىا ً فا جز ىا ًال يرحا شَ مه مؤ منيا ًال يفي لذ )ععد عيده فليس مني ًلسد منو ( رًاه ا تٌ ىزيزج Artinya: “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan menentang jamaah, kemudian ia meninggal, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah. Dan barangsiapa yang berperang di bawah bendera ashabiyah, marah karena ashabiyah, menyeru kepada ashabiyah, atau menghidupkan ashabiyah, kemudian ia tebunuh, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah. Barangsiapa keluar dari umatku, mencela yang baik maupun yang buruknya, tidak mau berhati-hati
73
terhadap orang mukmin, dan tidak menepati janji maka dia bukan dari golonganku dan aku pun bukan bagian darinya.” 14 (HR. Abu Hurairah) Hasan al-Banna menerangkan tentang hak-hak dari pemerintahan Islam yang baru terlaksana jika kewajibannya telah ditunaikan. Ini merupakan salah satu bukti pemahaman fiqih Imam Hasan al-Banna yang sangat cermat. Hasan alBanna berkata: “Di antara hak-hak pemerintahan Islam adalah: wala` (loyalitas) serta sokongan baik dengan harta bahkan nyawa”. Al-Qur`an juga telah menjelaskan bahwa hak baru diterima setelah kewajiban ditunaikan. Firman Allah dalam Qur‟an surah An-Nisa 58-59:
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taati pulalah Rasul serta pemegang kekuasaan dari kalanganmu. Kalau kamu berbeda pendpat entang sesuatu, kembalilah kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul, jika benar-benar kamu beriman 14
Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, h. 304.
74
kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS:An-Nisa ayat 58-59)
Ayat pertama menjelaskan kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan seorang pemimpin terhadap dirinya, yaitu supaya ia berlaku adil dalam penyerahan wewenang dan jabatan tertentu pada orang yang tepat dan memang ahli di bidang tersebut serta kewajiban menegakkan keadilan antara dua pihak yang mengadukan permasalahan mereka kepadanya untuk diselesaikan secara hukum dengan adil. Sedangkan ayat kedua mengindikasikan tentang hak-hak yang bakal diterima seorang pemimpin dari rakyatnya yaitu berupa loyalitas serta kewajiban rakyat untuk selalu menjalankan instruksinya selama instruksi tersebut sejalan dan tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.15 Hasan Al-Banna menjelaskan karakter pemerintahan Islam sebagai berikut: “Pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang para anggotanya orangorang muslim, melaksanakan kewajiban, tidak bermaksiat secara terangterangan, dan melaksanakan hukum-hukum Islam. Tidak mengapa menggunakan orang-orang non muslim sepanjang hanya menduduki jabatan umum. Bentuk dan jenis pemerintahannya tidak menjadi persoalan sepanjang sesuai dengan kaidahkaidah umum dalam pemerintahan Islam. Di antara sifat-sifatnya adalah rasa tanggung jawab, kasih sayang kepada rakyat, bersikap adil sesama manusia, menahan diri dari harta rakyat dan menghemat penggunaanya. Sedangkan
15
Usepsaefurohman.wordpress.com mengutip dari Era Muslim, Agenda Politik dan Pemerintahan Islam, diakses pada hari Rabu, 02 Maret 2011 pukul 16.00 WIB.
75
kewajiban-kewajibannya antara lain, memelihara keamanan, melaksanakan undang-undang, menyebarkan pengajaran, mempersiapkan kekuatan, menjaga kesehatan masyarakat, memelihara kepentingan umum, mengembangkan kekayaan negara, menjaga keselematan harta benda, meninggikan akhlak, dan menyampaikan dakwah”. Baiat ibarat kontrak politik antara pemimpin dan yang dipimpin berupa sumpah setia untuk loyal terhadap pimpinan dalam segala kondisi senang, susah, sukarela maupun sedikit terpaksa serta menyerahkan seutuhnya urusan kepemimpinan jamaah terhadapnya. Adapun hak-haknya setelah menjalankan semua kewajiban antara lain: kesetiaan, ketaatan, dan dukungan jiwa raga yang diberikan oleh rakyat. Apabila pemerintah lalai melaksanakan kewajibannya, maka berilah nasehat dan bimbingan. Jika itu pun tidak berarti, maka dicabutlah ketaatan dan kesetiaan kita lalu disingkirkan, karena tiada kewajiban untuk taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq (Allah).”16 Tiada seorang Rasul pun yang tidak mengharuskan kaumnya agar melaksanakan dua hal: taqwa dan taat. Allah SWT berfirman:
16
Said Hawwa, Membina Angkatan Mujahid , Studi Analitis Atas Konsep Dakwah Hasan AlBanna Dalam Risalah Ta‟alim, h. 63.
76
Artinya: ”Dan (aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk menghalalkan bagimu sebagian yang telah diharamkan untukmu, dan aku datang kepadamu dengan membawa satu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu. Karena itu bertaqwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.” (al-Imran:50)
Tanpa ketaatan, maka tidak ada jamaah, tidak ada gerakan, tidak ada sistem, tidak ada keridaan Allah, tidak ada jihad, dan tidak ada tujuan yang dapat tercapai. Akan tetapi ketaatan tanpa yang sempurna tidak dapat terwujud tanpa ilmu dan tsiqoh. Oleh karena itu Hasan al-Banna tidak menuntut ketaatan secara penuh kepada anggota yang masih berada pada tingkatan takrif. Keharusan taat secara penuh pada peringkat itu tidaklah realistis, bahwa pada tingkatan takrif kita dituntut untuk memperkenalkan anggota kepada jamaah agar ia mengenal dan percaya penuh. Jika ia telah mengenal dan percaya penuh, maka ia telah siap memasuki peringkat takwin untuk dibina dan diambil perannya nanti diperingkat tanfidz. Ketaatan di peringkat ini mutlak adanya.17
3. Perbedaan Pendapat Antara Al-Mawardi dan Hasan Al-Banna Mengenai Loyalitas Rakyat Terhadap Pemimpin. Perbedaan pendapat al-Mawardi dan Hasan al-Banna tentang loyalitas rakyat terhadap pemimpin adalah:
17
Said Hawwa, Membina Angkatan Mujahid, Studi Analitis Atas Konsep Dakwah Hasan AlBanna Dalam Risalah Ta‟alim, h. 172.
77
a) Menurut al-Mawardi, jika imam telah menjalankan kewajibannya dan memenuhi hak rakyat, rakyat wajib mematuhi dan mendukung kebijaksanaannya. Jika kepala negara telah menjalankan hak-hak umat, lalu ia telah menunaikan hak-hak Allah SWT baik yang berkenaan dengan hak-hak manusia maupun kewajiban yang harus mereka emban. Saat itu kepala negara itu mempunyai dua hak atas rakyatnya, yaitu: taat kepada pemerintahnya dan membantunya dalam menjalankan roda pemerintahan dengan baik, selama ia tidak berubah keadaannya. Perubahan sifat kepala negara yang membuatnya keluar dari kompetensi sebagai kepala negara ada dua hal yaitu: Kredibilitas pribadinya rusak dan terjadi ketidaklengkapan anggota tubuh. Rusaknya kredibilitas pribadinya dapat terjadi karena ia melakukan perbuatan yang fasik. Hal itu disebabkan dua macam yaitu ia mengikuti syahwatnya dan mengikuti syubhat. Hal yang pertama berkaitan dengan perbuatan tubuh, yaitu dengan melakukan kemungkaran, mengikuti dorongan syahwat, dan menuruti hawa nafsunya. Ini adalah kefasikan yang menghalangi untuk menjabat kepala negara dan meneruskan jabatannya. Hal yang kedua adalah berhubungan dengan akidah, yaitu ia melakukan takwil terhadap sesuatu masalah yang subhat sehingga ia menghasilkan takwil yang menyalahi kebenaran. Terjadi ketidaklengkapan tubuh terbagi dalam tiga bagian, yaitu: cacat indera, cacat organ tubuh, dan cacat tindakan. b) Menurut Hasan al-Banna: taat adalah menunaikan perintah dengan serta merta, baik dalam keadaan sulit. Taat pun terbagi pada beberapa klasifikasi yang
78
diukur dari sejauhmana tahapan pengkaderan seorang anggota, adapun tahapantahapannya, yakni: Takrif Pada tahap ini dakwah dilakukan dengan menyebarkan fikrah islam di tengah masyarakat. Dakwah pada tahapan ini bersifat umum. Ketaatan yang tanpa reserve pada tahapan ini tidaklah dituntut, bahkan tidak lazim. Tingkatannya seiring dengan kadar penghormatannya kepada sistem dan prinsip-prinsip umum Jamaah.
Takwin Dalam tahapan ini dakwah ditegakkan dengan melakukan seleksi terhadap anasir positif untuk memikul beban jihad dan untuk menghimpun berbagai bagian yang ada. Slogan untuk kedua aspek ini adalah: “perintah dan taat”, tanpa keraguan. Dakwah pada tahapan ini bersifat khusus. Ia tidak dapat dikerjakan oleh seseorang kecuali yang telah memiliki kesiapan secara benar untuk memikul beban jhad yang lama masanya dan berat tantangannya. Slogan utama dalam persiapan ini adalah: “totalitas ketaatan”. Tanfidz Dakwah dalam tahapan ini adalah jihad dengan tanpa kenal sikap plin-plan, kerja terus-menerus untuk menggapai tujuan akhir, dan siap menanggung segala cobaan yang tidak mungkin bersabar atasnya kecuali
79
orang-orang yang tulus. Dakwah ini tidak mungkin meraih keberhasilan kecuali dengan “ketaatan yang total” juga. Hasan al-Banna mengatakan bahwa kewajiban rakyat untuk selalu menjalankan instruksi pemimpin selama instruksi tersebut sejalan dan tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, Apabila pemerintah lalai melaksanakan kewajibannya, maka berilah nasehat dan bimbingan. Jika itu pun tidak berarti, maka dicabutlah ketaatan dan kesetiaan kita lalu disingkirkan, karena tiada kewajiban untuk taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq (Allah). Jadi, perbedaan pendapat al-Mawardi dan Hasan al-Banna mengenai konsep loyalitas atau ketaatan rakyat terhadap pemimpin adalah pertama, ada pada konsep Hasan al-Banna mengenai klasifikasi ketaatan, sedangkan al-Mawardi tidak menggunakannya; yang kedua al-Mawardi mengatakan bahwa taat pada pemimpin selama tidak berubah keadaanya (kredibilitas pribadinya rusak dan terjadi ketidaklengkapan anggota tubuh), sedangkan Hasan al-Banna memberi batasan taat pada pemimpin jika selama instruksi tersebut sejalan dan tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
4. Implementasi Penerapan Konsep Loyalitas Rakyat Terhadap Pemimpin Pada Masa Kini. Kewajiban taat kepada pemerintah merupakan salah satu prinsip Islam yang agung. Namun di tengah carut-marutnya kehidupan politik di negeri-negeri
80
muslim, prinsip ini menjadi bias dan sering dituding sebagai bagian dari gerakan pro status quo. Padahal, agama yang sempurna ini telah mengatur bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap pemerintahnya, baik yang adil maupun yang zalim.18 Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu membutuhkan adanya pemimpin sedangkan di dalam kehidupan rumah tangga diperlukan adanya pemimpin atau kepala keluarga, begitu pula halnya di masjid sehingga shalat berjamaah hanya bisa dilaksanakan dengan adanya orang yang bertindak sebagai imam, bahkan perjalanan yang dilakukan oleh tiga orang muslim, harus mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin perjalanan. Ini semua menunjukkan betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu masyarakat, baik dalam skala yang kecil apalagi skala yang besar. Untuk tujuan memperbaiki kehidupan yang lebih baik, seorang muslim tidak boleh mengelak dari tugas kepemimpinan. Dalam kehidupan keseharian, ada dua hal yang akan membawa masyarakat pada keteraturan. Pertama adalah adanya seperangkat sistem, tata tertib, atau ketentuan yang mengatur kehidupan manusia. Kedua adanya sikap ketaatan manusia atau sistem atau ketentuan tersebut. Dua hal
18
Muhammad Umar as-Sewed , “Taat Kepada Pemerintah”, artikel diakses pada 06 Mai 2011 pukul 16.48, dari http://www.asysyariah.com/kajian-utama/24-kajian-utama-edisi-5/678-kewajibantaat-kepada-pemerintah-kajian-utama-edisi-6.html.
81
tersebut sesungguhnya merupakan persyaratan umum agar tercipta keteraturan dalam berkehidupan.19 Sebuah sistem sekuat dan sebagus apapun tidak pernah memberikan pengaruh apabila tidak ada kedisiplinan untuk mentaatinya. Rambu-rambu lalu lintas baru akan membawa maslahat apabila ditaati oleh pengguna jalan. Peraturan sekolah baru akan bermanfaat bila ditaati oleh seluruh masyarakat sekolah. Aturan perekonomian di pasar atau dalam dunia usaha pada umumnya baru akan bermanfaat apabila dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Akan tetapi sebuah aturan baru layak dipatuhi, apabila aturan tersebut membawa kemaslahatan bagi kehidupan secara umum. Jika aturan tersebut cenderung menguntungkan satu kelompok yang sempit, dengan memberikan kemudaratan atau bahkan memunculkan kezaliman bagi sebagian besar masyarakat, aturan tersebut tidak layak ditaati. Itulah sebabnya beberapa aturan pemerintah orde baru banyak mendapat tantangan dari masyarakat luas karena dianggap merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan sekelompok kecil konglomerat. KKN, represivitas penguasa, kedekatan pemerintah dengan Barat (kaum kafir), seringkali menjadi isu yang diangkat sekaligus dijadikan pembenaran untuk melawan pemerintah. Dari yang „sekadar‟ demonstrasi, hingga yang
19
http://saga-islamicnet.blogspot.com/2011/02/telaah-hadits-pemimpin-yang-egois.htmls, diakses pada Selasa, 8 Maret 2011, pukul 15.00 WIB.
82
berwujud pemberontakan fisik. Meski terkadang isu-isu itu benar, namun sesungguhnya syari‟at yang mulia ini telah mengatur bagaimana seharusnya seorang Muslim bersikap kepada pemerintahnya, sehingga diharapkan tidak timbul kerusakan yang jauh lebih besar. Yang paling menyedihkan, Islam atau jihad justru yang paling laris dijadaikan tameng untuk melegalkan gerakangerakan perlawanan ini. 20 Ketaatan kepada Rasulullah merupakan konsekuensi dari keimanan dan ikrar syahadat “saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.” Dengan demikian setiap muslim dituntut untuk mentaati ajaran-ajaran kenabian, dalam berbagai macam aspek kehidupan. Kewajiban mentaati pemerintah adalah selama pemerintah tersebut berada dalam keadaan mentaati Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada kewajiban bagi kaum muslimin untuk mentaati pemerintah yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Hal ini disebabkan oleh karena pemerintah telah kehilangan legitimasi dan sebab untuk diberikan kepercayaan kepada mereka. Representasi dari pemerintahan Islam di zaman kenabian adalah sebuah sistem kekuasaan yang dipimpin oleh Nabi saw, sedangkan sepeninggal Nabi pemerintahan Islam diwujudkan dalam bentuk kekhilafahan yang dipimpin oleh seorang khalîfah atau Amîrul Mu‟minîn. Di zaman sekarang, pemerintah yang
20
Muhammad Umar as-Sewed , “Taat Kepada Pemerintah”, artikel diakses pada 06 Mai 2011 pukul 16.48 WIB, dari http://www.asysyariah.com/kajian-utama/24-kajian-utama-edisi-5/678kewajiban-taat-kepada-pemerintah-kajian-utama-edisi-6.html.
83
mengurusi kepentingan kaum muslimin wajib ditaati selama pemimpin tersebut taat kepada Allah dan rasul-Nya. Ibn Umar ra menceritakan bahwa Rasulullah saw telah bersabda:
Artinya: “Setiap muslim wajib mendengar dan taat pada pemimpinnya dalam hal yang disenangi maupun tidak disenangi, kecuali jika diperintah untuk maksiat. Apabila diperintah melakukan maksiat maka tidak ada mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhâri dan Muslim)
Dalam aplikasi di zaman sekarang, kepemimpinan tersebut bisa dalam bentuk kepemimpinan organisasi Islam, atau partai Islam, atau harakah Islamiyah yang melandaskan diri pada aturan Allah dan Rasul-Nya. Pemimpin sektoral seperti ini wajib ditaati, selama berada dalam kebenaran sesuai petunjuk al Qur‟an dan sunnah Rasul-Nya. Hakekat kepemimpinan adalah amanat yang harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah ta‟ala. Allah ta‟ala telah memerintahkan siapa saja yang dipasrahi amanah (termasuk kepemimpinan) agar menunaikannya serta tidak menyia-nyiakannya, sebagaimana firman-Nya :
84
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanatamanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS: alAnfal:27)
Jika kita menemui pemimpin yang zalim lagi menyia-nyiakan amanat Allah kepada rakyatnya sudah barang tentu harus kita kembalikan kepada alQur‟an, as-Sunnah ash-Shahîhah, serta pengamalan para shahabat dan para ulama setelahnya. Fenomena tentang munculnya para pemimpin zalim ini sebenarnya telah ditegaskan oleh Rasulullah Saw, semenjak empat belas abad silam. Hal ini bukan baru terjadi di abad 19 atau 20 saja, melainkan telah ada dalam sejarah perjalanan daulah Islam. Sikap pertama yang diperintahkan oleh Rasulullah saw, ketika menghadapi penguasa-penguasa seperti itu adalah bersabar dengan tetap mendengar dan taat. Beliau shallallaahu „alaihi wa sallam bersabda :
ِإِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى تَلْقَوْنًِْ عَلَى الْحَوْض Artinya: “Sesungguhnya kalian nanti akan menemui atsarah (yaitu : pemerintah yang tidak memenuhi hak rakyat‟). Maka bersabarlah hingga kalian menemuiku di haudl” (HR. Al-Bukhâri no.7075 dan Muslim no.1845)
Bersabar dan tidak keluar dari ketaatan bukan berarti kita meninggalkan amar ma‟ruf nahi munkar. Kita tetap diwajibkan untuk beramar ma‟ruf nahi
85
munkar kepada siapapun, termasuk kepada penguasa atau pemimpin sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Namun, tidak boleh bagi kita dengan mengatasnamakan amar ma‟ruf nahi munkar untuk menjelek-jelekkan penguasa di muka umum, seperti mengatakan kalimat-kalimat provokatif : “Penguasa kita ini adalah penguasa yang korup; Penguasa kita dan kabinetnya telah terpengaruh pada ide-ide kafir; Kebijakan penguasa kita telah membuat rakyat sengsara; Para pemimpin kita telah menyia-nyiakan amanat; dan yang semisalnya.21 Pernyataan-pernyataan seperti itu (walau dengan alasan nasihat dan amar ma‟ruf nahi munkar) akan menimbulkan fitnah yang besar. Antara pemimpin dan rakyat semakin terbuka jurang pemisah. Tuntutan syari‟at untuk mendengar dan taat pada perkara yang mubah dan ma‟ruf pun akhirnya ditinggalkan karena kebencian mereka terhadap para pemimpin. Apabila ini berlanjut, api fitnah semakin menyala-nyala, diangkatlah senjata, dan akhirnya tumpahlah darah, imbasnya pula, muncullah kelompok-kelompok sempalan yang mengkafirkan negeri-negeri Islam, para penguasa muslim, dan bahkan kaum muslimin secara umum. Bahkan Rasulullah Saw mengukuhkan, walaupun kemudian yang memimpin itu boleh jadi mungkin dari status sosialnya lebih rendah, tetap bahwa dia adalah pemimpin kita, sesuai dengan kewenangannya, sesuai dengan wilayahnya yang menjadi tanggung jawabnya kita harus taat kepadanya. Ini yang 21
http://saga-islamicnet.blogspot.com/2011/02/telaah-hadits-pemimpin-yang-egois.htmls. diakses pada Senin, 7 Maret 2011 pukul 08.00 WIB.
86
harus dipahami oleh kita bersama bahwa apabila menjadi anggota sebuah organisasi, sebuah kelompok, rakyat sebuah negara, menjadi bagian dari sebuah masyarakat, maka kita harus taat kepada pemimpin. Meskipun tentu saja ada pemimpin yang tidak layak untuk didengar dan ditaati. Ketaatan itu memang wajib, namun ada batasannya sebagaimana Rasulullah Saw mengatakan,
ِالَ طَاعَتَ لِمَخْلُوْقٍ فًِْ مَعْصِيَتِ الْخَالِقِ إِنَمَا الّطَاعَتَ فًِ الْمَعْرُوْف Artinya: “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.” (HR. Al-Bukhâri dan Muslim dari shahabat „Ali bin Abi Thalib ra). Maka jika ada pemimpin yang menyuruh berbuat maksiat atau berbuat zalim, berbuat salah, maka tidak ditaati. Jika kita cermati wasiat Rasulullah ini, ternyata memang dimasa sekarang banyak kelompok atau partai yang mengaku Islam, atau yang mayoritas Islam, namun bertengkar satu sama lain, saling menjatuhkan, dan saling melecehkan dan ini menjadi bermasalah dalam kaitannya sebagai contoh teladan yang baik bagi masyarakat. Sehingga akhirnya banyak orang yang menjadi tidak suka kepada Islam, karena ulah beberapa kelompok Islam, partai Islam, ormas Islam yang tidak mencerminkan adanya persatuan, kesatuan, ketaatan, kepatuhan yang seharusnya dilakukan oleh para pengikutnya kepada pemimpin, padahal bagi kita umat Islam sangat jelas bahwa mendengar dan mentaati pemimpin adalah kewajiban yang diwasiatkan Rasulullah saw kepada kita semua.
87
Bila kita mendapatkan penguasa melakukan kemaksiatan, baik yang berhubungan dengan pribadi maupun urusan rakyatnya, maka kita diperintahkan untuk bersabar, mendengar dan taat (dalam hal yang ma‟ruf), serta dilarang mencela mereka (baik dilakukan di mimbar-mimbar, buku-buku, buletin, majalah, radio, atau media-media lainnya). Rasulullah saw, telah melarang mencela penguasa atau pemimpin secara khusus dalam haditsnya yang shahih. Hal itu hanyalah akan menimbulkan fitnah. Kebenaran harus kita tegakkan tanpa merendahkan kedudukan pemimpin atau penguasa di mata umat. Mendengar dan taat kepada penguasa yang zalim atau jahat bukan berarti rida dengan kemaksiatan yang ia lakukan. Apabila seseorang ingin menasihati seorang pemimpin atau penguasa terkait dengan kemaslahatan kaum muslimin, maka hendaknya ia lakukan secara pribadi (empat mata). Itulah petunjuk Rasulullah saw, yang banyak ditinggalkan oleh sebagian kaum muslimin. Hendaknya kita senantiasa berdo‟a kepada Allah agar Dia memberikan petunjuk kepada para pemimpin kita untuk selalu kembali pada kebenaran dan istiqamah di atasnya. Namun amat sangat berbahaya jika loyalitas hanya diartikan secara parsial, apa yang akan diberikan kontituen lambat laun akan timbul sifat fanatisme terhadap wadah yang menaungi mereka. Harus ditegaskan bahwa loyalitas yang kita berikan untuk organisasi bukanlah untuk menjauhkan kita dari amanah yang lain. Itulah loyalitas sempit yang mana menimbulkan fanatisme berlebih.
88
Banyak kasus yang sudah terjadi, ambilah contoh seorang kritikus negara. Berbicara terus menerus ketika kebijakan pemerintah menodai rakyat, namun begitu ia masuk dalam jajaran pemerintahan suara yang keluar pun berbeda. Itu dikarenakan loyalitasnya pada negara atau wadah yang menaunginya. Amanah yang diberikan rakyat ia tinggalkan demi membela jabatan yang diberikan oleh pemimpinnya. Itulah yang banyak terjadi saat ini, memang loyalitas sangat diperlukan dalam suatu organisasi, namun terkadang banyak yang salah mengartikannya. Loyalitas yang dibutuhkan adalah loyalitas natural yang memang timbul karena adanya sense organisasi yang mana adanya rasa ingin bersama-sama mencapai cita-cita dengan bantuan semua aspek, artinya tidak mengesampingkan amanah lain, apalagi sampai terbentuknya fanatisme.22 Rasa ini dapat timbul dengan salah satunya adalah ikatan emosional yang terjadi antara sesama kontituen dan antara kontituen dan pemimpinnya. Pemimpin pun sangat berperan ketika memang loyalitas yang diberikan adalah loyalitas sempit, maka disinilah peran terbesarnya dalam mengawasi, mengarahkan dan mengayomi mereka. Ketika loyalitas yang ada bukanlah loyalitas sempit, bukan tidak mungkin totalitas pun akan mereka berikan sampai terwujudnya cita-cita bersama.
22
Eko Wardhaya, kaderisasikammibgr.multiply.com, diakses pada tanggal 08 Maret 2011 pukul 19.00 WIB.
89
Penguasa pada hakekatnya merupakan perwujudan kondisi umat. Bila umat masih bergelimang dalam kesyirikan, bid‟ah, dan maksiatan maka, terangkatlah seorang pemimpin yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan mereka. Sangat sulit membayangkan terwujudnya kepemimpinan ala Abu Bakar Ash-Siddiq jika umat masih dalam keadaan seperti ini. Ini merupakan bagian dari ujian Allah kepada kita. Siapa yang mengikuti petunjuk Nabi, maka ia akan selamat dan siapa yang menyimpang darinya, maka ia akan binasa.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pembahasan dan uraian di bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut konsep Islam adalah kesetiaan, ketaatan, kepatuhan rakyat terhadap pemerintahan dalam Islam. Ketaatan manusia (rakyat) kepada penguasa dan pemerintah merupakan suatu keharusan untuk memberi kuasa kepada negara melaksanakan dan mewujudkan
tujuan-tujuan
yang
terdahulu.
Sebagai
balasan
atas
keiltizamannya kepada syariah, pengikatan dirinya kepada syura, dan penanggung jawabannya terhadap anak-anak rakyat, maka rakyat wajib mentaati pemerintah agar ia dapat mewujudkan hak, menjamin keamanan, menegakkan keadilan, serta membela umat, tanah air dan agama mereka. Rakyat wajib melaksanakan ketaatan kepada perintah-perintah penguasa dalam batas-batas syariah dan kepentingan umum. Taat kepada penguasa muslim yang menerapkan hukum-hukum Islam di dalam pemerintahannya, sekalipun zalim dan merampas hak-hak rakyat, selama
tidak
memerintah
untuk
90
melakukan
kemaksiat
dan
tidak
91
menampakkan kekufuran yang nyata, hukumnya tetap fardu bagi seluruh kaum muslimin. Secara singkat Islam memandang bahwa loyalitas dari rakyat kepada pemimpin adalah suatu kewajiban dan prinsip pemerintahan dalam Islam yang mana kehidupan politik tidak akan tegak kecuali dengannya. Akan tetapi kewajiban taat kepada pemimpin tidak bersifat mutlak melainkan terikat dengan penerapan syariah Islam dan penegakkan keadlan di tengah kehidupan manusia dan tidak mengajak rakyat kepada kemaksiatan. 2. Loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut al-Mawardi adalah rakyat wajib mematuhi dan mendukung kebijaksanaan pemimpin jika ia telah menjalankan kewajibannya dan memenuhi hak rakyat. Jika pemimpin telah menjalankan hak-hak umat, lalu ia telah menunaikan hak-hak Allah SWT baik yang berkenaan dengan hak-hak manusia maupun kewajiban yang harus mereka emban. Saat itu pemimpin mempunyai dua hak atas rakyatnya, yaitu: taat kepada
pemerintahnya
dan
membantunya
dalam
menjalankan
roda
pemerintahan dengan baik, selama ia tidak berubah sifatnya. Dalam buku al-Mawardi kewajiban yang harus dipenuhi oleh para Mujahidin dalam berjihad dijelaskan kewajiban tentara terhadap panglima perang, yaitu: a.
Selalu taat kepada pemimpin dan tunduk dalam kekuasaannya karena kekuasaaanya atas mereka sah serta mereka harus taat kepadanya sesuai status jabatannya itu, dan taat kepada pemimpin adalah wajib.
92
b.
Menyerahkan wewenang dan mandat itu kepadanya untuk mengatur strategi perang mereka sehingga tidak banyak pendapat yang saling berbenturan, yang mengakibatkan persatuan mereka menjadi hilang dan mereka menjadi terpecah belah.
c.
Segera menjalankan instruksinya dan menaati larangannya karena kedua hal itu adalah dimensi utama ketaatan terhadapnya.
d.
Tidak menentangnya dalam pembagian ghanimah jika ia telah menetapkan pembagiannya dan secara rela menerima pembagian yang dilakukan olehnya
3. Menurut Hasan al-Banna, loyalitas adalah ketaatan. Yaitu, menunaikan perintah dengan serta merta, baik dalam keadaan sulit maupun mudah, saat bersemangat maupun malas. Hal demikian itu karena tahapan dakwah ini ada tiga, yakni : a.
Takrif, dakwah dalam tahapan ini dilakukan dengan menyebarkan fikrah islam di tengah masyarakat. Adapun sistem dakwah untuk tahap ini adalah sistem kelembagaan. Urgensinya adalah kerja social bagi kepentingan umum.
Medianya
adalah memberikan nasehat
dan
bimbingan (sekali waktu) dan membangun berbagai tempat yang berguna (di waktu yang lain), serta berbagai media aktivitas lainnya. b.
Takwin, dakwah dalam tahapan ini ditegakkan dengan melakukan seleksi terhadap anasir positif untuk memikul beban jihad dan untuk menghimpun berbagai bagian yang ada. Sistem dakwah pada tahapan ini
93
bersifat militer dalam tataran operasional. Slogan untuk kedua aspek ini adalah: “perintah dan taat”, tanpa keraguan. c.
Tanfidz, dakwah dalam tahapan ini adalah jihad dengan tanpa kenal sikap plin-plan, kerja terus-menerus untuk menggapai tujuan akhir, dan siap menanggung segala cobaan yang tidak mungkin bersabar atasnya kecuali orang-orang yang tulus. Dakwah ini tidak mungkin meraih keberhasilan kecuali dengan “ketaatan yang total” juga. Hasan al-Banna menulis pada bukunya mengenai tanggung jawab
pemerintahan (kabinet) Perihal tanggung jawab pemerintah menurut Islam, pada dasarnya yang memilikinya adalah presiden (kepala pemerintahan) betapapun keadaanya. Dia punya hak untuk melakukan apa saja untuk kemudian menyerahkan penilaian perilakunya kepada masyarakat. Jika ia baik, rakyat wajib mendukungnya. Namun sebaliknya, jika ia tidak baik, maka rakyat harus meluruskanya. Islam tidak melarang seorang presiden melimpahkan wewenang eksekutifnya kepada yang lain untuk megemban tanggung jawab ini, sebagaimana dalam pemerintahan Islam masa lalu dikenal dengan “wizâratut tafwid” (maksudnya kurang lebih sama dengan sistem kabinet parlementer yang dipimpin oleh seorang perdana mentri sekarang ini dan membolehkannya sepanjang tetap dalam kerangka menegakkan maslahat). 4. Perbedaan pendapat antara al-Mawardi dan Hasan al-Banna mengenai loyalitas rakyat terhadap pemimpin:
94
perbedaan pendapat al-Mawardi dan Hasan al-Banna mengenai konsep loyalitas atau ketaatan rakyat terhadap pemimpin adalah pertama, ada pada konsep Hasan al-Banna mengenai klasifikasi ketaatan, sedangkan al-Mawardi tidak menggunakannya; yang kedua al-Mawardi mengatakan bahwa taat pada pemimpin selama tidak berubah keadaanya (kredibilitas pribadinya rusak dan terjadi ketidaklengkapan anggota tubuh), sedangkan Hasan al-Banna memberi batasan taat pada pemimpin jika selama instruksi tersebut sejalan dan tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. 5. Implementasi penerapan konsep loyalitas rakyat terhadap pemimpin pada masa kini. Kewajiban taat kepada pemerintah merupakan salah satu prinsip Islam yang agung. Namun di tengah carut-marutnya kehidupan politik di negerinegeri muslim, prinsip ini menjadi bias dan sering dituding sebagai bagian dari gerakan pro status quo. Padahal, agama yang sempurna ini telah mengatur
bagaimana
seharusnya
sikap
seorang
muslim
terhadap
pemerintahnya, baik yang adil maupun yang zalim Bila kita mendapatkan penguasa melakukan kemaksiatan-baik yang berhubungan dengan pribadi maupun urusan rakyatnya, maka kita diperintahkan untuk bersabar, mendengar dan taat (dalam hal yang ma’ruf), serta dilarang mencela mereka (baik dilakukan di mimbar-mimbar, bukubuku, buletin, majalah, radio, atau media-media lainnya). Rasulullah saw, telah melarang mencela penguasa atau pemimpin secara khusus dalam
95
haditsnya yang shahih. Hal itu hanyalah akan menimbulkan fitnah. Kebenaran harus kita tegakkan tanpa merendahkan kedudukan pemimpin atau penguasa di mata umat. Mendengar dan taat kepada penguasa yang zalim atau jahat bukan berarti rida dengan kemaksiatan yang ia lakukan.
B. Saran 1. Bahwa loyalitas rakyat terhadap pemimpin hukumnya wajib bagi rakyat, namun demikian bukan berarti mutlak, tetapi ada batasannya juga. Ketika pemimpin menyuruh kita kepada kemaksiatan, maka jangan diikuti, maka dari itu jika kita menemui pemimpin yang mengajak kemaksiatan, perintah Allah dan Rasul-Nya dilanggar. 2. Tetap sabar terhadap pemimpin yang dzalim, tetap menasihatinya dsn mendoakannya.
karena
kalau
tidak,
akan
timbul
berbagai
macam
pemberontakan tehadap pemerintahan akibatnya sangat merugikan sekali. 3. Dari pendapat dua tokoh Islam ini yaitu al-Mawardi dan Hasan al-Banna yang berbeda zaman tetapi pemikirannya mengenai loyalitas ini tidak jauh berbeda, kita dapat mengambil dan mengikuti pendapat keduanya karena menurut penulis pendapat keduanya sesuai dengan Syariah Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hamid Mahmud, Ali, Rukun Jihad Fiqh Rekonsiliasi dan Reformasi Menurut Hasan Al-Banna, Jakarta: Al-I‟tisom Cahaya Umat, 2001.
Abdul Khaliq, Farid, Fikh Politik Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Abdul Qadir Abu Faris, Muhammad, Sistem Politik Islam, Jakarta: Robbani Press, 1999. Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992. Ali Muhammmad, Rusdji, Hak Asasi Manusia, Jakarta: Ar-Raniry Press, 2004. Al-Banna, Hasan, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Solo: Era Intermedia, 2008. Al-Jundi, Anwar, Biografi Hasan Al-Banna, Solo: Media Insani Press, 2003.
Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah Fi Al-Wilâyat Ad-Dinîyyah, Beirut: Dâr elKitab al-Araby, t.th. Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, edisi Indonesia, Jakarta: Darul Falah, 2007 Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000. Al-Mubarak, Muhammad, Sistem Pemeritahan Dalam Perspektif Islam, Solo: Pustaka Mantiq, 1995. Al-Nabhani, Taqiyudin, Sistem Pemerintahan Islam, Bangil Jatim: Al-Izzah, 1996. Al-Salam bin Barjas al-Abd Karîm, Abdu, Etika Pengkritik Penguasa, Surabaya: Pustaka Assunnah, 2002.
96
97
Atiqul Haque, M., 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, Jogjakarta: Diglossia, 2007.
Aziz bin Baz, Abdul, dkk, Fatwa-Fatwa Terlengkap, Jakarta: Darul Haq, 2006. Departemen Agama RI, Al-Quran Al-Kariem, Bandung: J-ART, 2004. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Dzajuli, H.A., Fiqh Siyasah, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2003. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. Hasbi Ash Shiddiqy, T.M., Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqh Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Hasjmy, A., Di Mana Letaknya Negara Islam, Banda Aceh: Bina Ilmu, 1984. Hawwâ, Sa‟id, dan Sayyid Qutb, Al-Wala`, Jakarta: Al-I‟tisom Cahaya Umat, 2001. Hawwâ, Sa‟id, Al-Islam, Jakarta: Al-I‟tishom Cahaya Umat, 2002. ----- . Membina Angkatan Mujahid, Studi Analitis Atas Konsep Dakwah Hasan Al-Banna Dalam Risalah Ta’alim, Solo: Era Intermedia, 2002.
HR, Ridwan, Fiqih Politik, Yogyakarta, FH UII Pres, 2007. Ibrahim Jindan, Khalid, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1995. Ibn Isma‟il Abu Abdullah Al-Bukhâri Al-Ja‟fi, Muhammad, Al-Jami’ Al-Sohih AlMukhtasor, Beirut: Dâr Ibnu Katsir, 1987.
98
Ied Al-Hilal Bahjatun Nadirin, Salîm bin, Syarah Riyâdus Sâlihin, t.t.: Pustaka Imam Syafi‟i, t.th. Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media, 2001. Isya „Asyur, Ahmad, Ceramah-Ceramah Hasan Al-Banna, Hadits Tsulatsa’, Cet. 5, Solo: Era Intermedia, 2005. Jamilah, Maryam, Para Mujahid Agung, Bandung: Mizan, 1989.
Karim Zaidan, Abdul, Masalah Kenegaraan dalam Islam, Jakarta: Al-Amin, 1984. Kencana Syafi‟i, Inu, Ilmu Pemerintahan dan al-Qur’an, Jakarta: Bumi Aksara, 2005. Khan, Qamaruddin, Kekuasaan Pengkhianatan dan Otoritas Agama Telaah kritis Teori Al-Mawardi Tentang Negara, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000. Mohammad, Herry, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani Press, 2006. Mufid, Moh., Politik Dalam Perspektif Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004.
Mufid, Nur, dan Nur Fuad, Bedah Al-Ahkam As-Shulthâniyyah, Surabaya: Pustaka Progressif, 2000. Mu‟in Salim, Abdul, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an , Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. ------ . Fiqh Siyasah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Nawawi, Hadari, Kepemimpinan menurut Islam, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001.
99
Prayitno, Irwan, Al-Haq wal Bâthil, Bekasi: Pustaka Tarbiatuna, 2002. Qadir Jaelani, Abdul, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1995. Rahman, Fazlur, Konsep Negara Islam, Yogyakarta: UII press, 2006. Sjazdali, Munawwir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993. Tahir Azhary, Muhammad, Negara Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2007. Taimiyah, Ibn, Siyasah Syar’iyyah (Etika Poloik Islam), Risalah Gusti, Surabaya, 2005. Zed Books Ltd, 7 Chntya Street,
Para Perintis Zaman Baru Islam, edisi Indonesia,
Bandung: Mizan, 1998.
Referensi dari Internet: http://saga-islamicnet.blogspot.com/2011/02/telaah-hadits-pemimpin-yangegois.htmls, Harian Republika online, Al-Mawardi: Pemikir Termasyhur Di Zaman Kekhalifahan. Wardhaya, Eko, kaderisasikammibgr.multiply.com. Usepsaefurohman.wordpress.com, mengutip dari Era Muslim, Agenda Politik dan Pemerintahan Islam. Umar
as-Sewed,
Muhammad,
“Taat
Kepada
Pemerintah”,
http://www.asysyariah.com/kajian-utama/24-kajian-utama-edisi-5/678kewajiban-taat-kepada-pemerintah-kajian-utama-edisi-6.html.
dari