LOOK! SEE? Indonesian Contemporary Photography Exhibition, February 9 — 23, 2010
Agung Nugroho Widhi Angki Purbandono Edwin “Dolly” Roseno Kurniawan Jim Allen Abel a.k.a Jimbo Mie Cornoedus Wimo Ambala Bayang Yohanes Paganda Halasan Harahap (Agan Harahap) MES 56 Radio Kabel
This book was published as a supplement to the Indonesian Contemporary Photography Exhibition
Daftar Isi / Contents
‘Look! See?’ at Nadi Gallery, Jakarta February 9 — 23, 2010 Curated by Enin Supriyanto
04
Assistant curator Wimo Ambala Bayang Writer Enin Supriyanto, Nirwan Ahmad Arsuka
Memandang Foto, Melihat Dunia Enin Supriyanto | Kurator Looking at the Photograph, Seeing the World Enin Supriyanto | Kurator
Translated by Rani Elsanti Designed by Biantoro Santoso Photographed by the artists
10
Printed by Mahameru Offset Printing Published by Nadi Gallery
Susan Sontag, et al.: Image – Time Nirwan Ahmad Arsuka
Jl. Kembang Indah III Blok G3 no. 4-5 Puri Indah, Jakarta 11610, Indonesia Phone: + 62 21 5818129 Fax: + 62 21 5805677 Email:
[email protected]
30
The Artists Curriculum Vitae
32
Works
Website: www.nadigallery.com © Nadi Gallery - 063/2010
Susan Sontag, dll.: Citra - Waktu Nirwan Ahmad Arsuka
Memandang Foto, Melihat Dunia Enin Supriyanto | Kurator
Photography both loots and preserves,
Barthes menyita pembahasan dan uraian paling banyak dibanding
Hampir bisa dipastikan bahwa pemikiran mereka luput dari perhatian
denounces and consecrates.
buku-buku lainnya. Pokoknya, tidak berlebihan jika ada anggapan
orang-orang yang ada di lingkungan seni rupa.
Susan Sontag, On Photography.
bahwa nyaris tidak mungkin membahas soal fotografi hari ini tanpa menyinggung pemikiran Sontag dan Barthes tentang fotografi.
I see photographs everywhere, like everyone else, nowadays;
Dengan cara lain bisa dikatakan bahwa berkenaan dengan soal pertukaran pemikiran yang berlangsung di dalam lingkungan seni
they come from the world to me, without my asking; they are only
Itu adalah alasan mengapa saya mengikutsertakan esai tentang
rupa di Indonesia, yang berkembang adalah perilaku incest. Lepas
“images”, their mode of appearance is heterogenous.
Sontag dan fotografi yang ditulis oleh Nirwan Ahmad Arsuka dalam
dari soal moral dan kultural, incest berpotensi melahirkan masalah
Roland Barthes, Camera Lucida.
katalog pameran ini. Ulasan Nirwan tentang pemikiran Sontag
cacat genetik yang berbahaya. Pertalian hubungan sedarah ini tidak
kiranya bisa dimanfaatkan oleh siapa saja untuk lebih memahami
menjamin kelahiran generasi lanjutan yang makin baik secara genetik.
kompleksitas persoalan yang menyertai keberadaan fotografi Pemikiran yang mengawali pameran ini sesungguhnya berhutang
dalam masyarakat modern. Sekaligus, esai ini bisa jadi bahan
Jadi, pemuatan esai Nirwan Arsuka kali ini karena saya percaya
banyak pada Susan Sontag dan Roland Barthes, dua pemikir
bacaan menarik untuk menguji ulang berbagai pemikiran Sontag
bahwa pertukaran pemikiran dari berbagai kalangan jelas-jelas
yang menelaah berbagai sisi fotografi secara demikian rinci melalui
tentang fotografi.
berguna memperkaya pemikiran di lingkungan seni rupa kita. Hal
kelancaran serta kejernihan pikiran yang memukau. Melalui buku On Photography Susan Sontag telah menyumbangkan pemikiran
yang serupa telah terbukti terjadi melalui pemikiran Susan Sontag Ada juga alasan lain mengapa saya memuat esai Nirwan Arsuka ini.
yang memberi sedemikian banyak pemeriaan dan pernyataan
dan Roland Barthes. Dua orang ini jelas bukan fotografer. Tapi pemikiran mereka tentang fotografi menyumbang sedemikian besar
tentang fotografi sehingga hampir setiap paragraf dalam buku itu
Selama ini, sejauh pengalaman saya menjadi kurator di Indonesia,
bisa dipakai untuk mulai memikirkan berbagai soal seputar fotografi.
esai pengantar kuratorial pameran paling mungkin dibaca—kalau
Sementara Barthes, melalui catatannya dalam Camera Lucida
memang dibaca—oleh orang-orang yang aktif di lingkungan kegiatan
Meskipun demikian, kehadiran tulisan Nirwan Arsuka dalam katalog ini
telah menyumbangkan pemikiran yang memungkinkan kita untuk
seni rupa. Ini adalah segelintir orang yang benar-benar berminat pada
bukanlah bahan utama yang menjadi dasar pertimbangan seleksi dan
memeriksa fotografi dari sisi pengalaman subyektif—dan subtil. Tidak
latar belakang pemikiran kurator dibalik setiap pameran. Jadi, esai-
presentasi karya-karya dalam pameran kali ini. Yang saya harapkan
berlebihan untuk menyatakan bahwa dua orang itu, melalui dua buku
esai itu nyaris tidak pernah beredar di luar lingkungan seni rupa.
adalah bahwa karya-karya dalam pameran ini bisa memperjelas dan
tadi, telah memberi kita bahan pemikiran yang paling luas dan dalam
bagi perkembangan fotografi.
memperluas wilayah diskusi yang sudah diajukan Nirwan Arsuka.
untuk memahami berbagai sisi kehadiran dan keberadaan fotografi
Dari sedikit yang berminat itu, mungkin lebih sedikit lagi yang
Dan sebaliknya, pemikiran Nirwan Arsuka bisa membuka sejumlah
dalam masyarakat masa kini.
memerhatikan pemikiran orang dari luar lingkungan seni rupa,
kemungkinan pemahaman baru terhadap persoalan fotografi yang
meskipun pemikiran itu jelas berkaitan erat dengan soal seni rupa.
hadir dalam pameran ini.
Dalam buku susunan Ashley le Grange, Basic Critical Theory for
Kenyataannya, ada saja pemikiran dan esai yang menarik—atau
Photographers (2005)—berisi rangkuman dan ringkasan berbagai
bahkan penting—tentang berbagai aspek seni rupa yang ditulis oleh
pemikiran penting tentang fotografi di abad 20—buku Sontag dan
pemikir/penulis yang tidak langsung terlibat dalam kegiatan seni rupa.
***
Looking at the Photograph, Seeing the World Enin Supriyanto | Kurator
Photography both loots and preserves,
century—Sontag’s and Barthes’s books claim most spaces for
a variety of aspects of art, written by writers/thinkers who are not
denounces and consecrates.
discussions and explanations about them, compared to other
directly involved in art activities. Individuals within the art circle will
Susan Sontag, On Photography.
books. In short, it is not extravagant to say that it is virtually
almost certainly miss these ideas.
impossible to discuss photography today without mentioning I see photographs everywhere, like everyone else, nowadays;
Sontag’s and Barthes’s ideas.
they come from the world to me, without my asking; they are only
In other words, one can say that in relation with the exchange of ideas within the Indonesian art circle, what we have is an incestuous
“images”, their mode of appearance is heterogeneous.
That is the reason why I include in this catalogue an essay about
attitude of sorts. Aside from the moral and cultural issues, incest
Roland Barthes, Camera Lucida.
Sontag and photography, written by Nirwan Ahmad Arsuka. I
might give rise to risky genetic problems. Such incestuous
suppose anyone can use Nirwan’s elucidation about Sontag’s ideas
relationship does not guarantee the emergence of a genetically-
to understand better the complexity of the problems that accompany
better generation.
The idea that started off this exhibition actually owed a lot to
the existence of photography in the modern society. This essay can
Susan Sontag and Roland Barthes, two thinkers who have
also serve as an interesting reading material if one wishes to re-
Therefore, the inclusion of Nirwan Arsuka’s essay is due to the fact
dissected a variety of aspects of photography in such details
examine a range of Sontag’s ideas about photography.
that I believe exchanges of ideas from a range of disciplines will
and with fascinating ease and clarity of mind. With her book,
clearly enrich thoughts within our art circle. The ideas of Susan
On Photography, Susan Sontag provides us with the ideas that
There is also another reason why I decided to incorporate Nirwan
Sontag and Roland Barthes have clearly proven this. Clearly,
underlie so many descriptions and statements about photography,
Arsuka’s essay here.
the two individuals were not photographers. Their thoughts
so much so that we can use almost each paragraph in her book as
on photography, however, have contributed significantly to the
a base to consider various issues of photography. Meanwhile, with
As far as I know, from my experience of being a curator in Indonesia,
Camera Lucida Barthes has contributed thoughts that enable us
curatorial introductory essay to an exhibition is most probably
to analyze photography from the perspective of the subjective—
read—if it is read at all—by people who are actively involved in
But Nirwan Arsuka’s essay was not the most significant material
and subtle—experience. It is not too much to say that the two
the art scene. Here we are talking about a very few people who
that formed the basis for the selection and presentation of the
individuals, with the two books, have given us the most extensive
are truly interested in the underlying curatorial idea behind each
works on display today. It is my hope that the works in this exhibition
and profound materials for thoughts to help us understand
exhibition. These essays, therefore, almost never circulate outside
can clarify and expand the field of discussion that Nirwan Arsuka
a variety of aspects about the existence of photography in the
the art circle.
has proposed in his essay. On the other hand, Nirwan Arsuka’s
contemporary society.
development of photography.
ideas can open up a range of possibilities for new views about From the few interested people, perhaps even fewer who make note
In the book edited by Ashley le Grange, Basic Critical Theory for
of ideas coming from people outside the art circle, although those
Photographers (2005)—containing summaries and excerpts of
ideas are clearly related with issues about art. In reality, there are
a range of significant ideas about photography in the twentieth
always interesting—and even important—ideas and essays about
photography, of which this exhibition today gives us a glimpse.
***
Secara umum, perkembangan praktik fotografi—dan juga penerimaan
optik-digital masa kini. Kita tahu bahwa teknologi digital hari ini telah
being corporate or collaborative efforts); they regard the whole world
pada temaram yang subtil dan dramatis dalam lukisannya, kondisi
publik terhadap karya fotografi di Indonesisa sejauh ini—nampaknya
memungkinkan orang untuk melakukan berbagai pengolahan—atau
as material. The traditional fine arts rely on the distinction between
optis yang dengan mudah ditangkap oleh kamera saat kita mengatur
terhimpun dalam dua wilayah pemahaman yang telah membatasi
manipulasi—citra visual. Fotografi yang dihasilkan melalui cara ini
authentic and fake, between original and copy, between good taste
besar bukaan rana dan kecepatan (waktu ekspose cahaya) ke dalam
berbagai kemungkinan perkembangan praktik fotografi di negeri ini.
memang tidak sesuai dengan prinsip kebenaran kode etik jurnalistik.
and bad taste; the media blur, if they do not abolish outright, these
kamera.
Tapi itu tidak serta-merta harus diterima sebagai titik akhir dari
distinctions.” (On Photography, e-book, 2005, p. 117)
Yang pertama, pemahaman yang menempatkan fotografi (melulu
fotografi secara umum.
hanya) sebagai sejenis bentuk dokumentasi. Dalam pemahaman
Ambisi seni lukis untuk mengejar segala sesuatu yang bersifat Pemahaman kedua adalah pandangan yang menempatkan fotografi
fotografis itu terus berlanjut sampai sekarang terutama pada lukisan-
ini fotografi diterima sebagai bukti bahwa sesuatu (peristiwa) benar-
Terjebak dalam pandangan dokumentasi-jurnalistik, fotografi di
sebagai bentuk pencitraan derivatif dari seni lukis/lukisan. Pandangan
lukisan yang lazim dikenal dengan istilah lukisan “hyper realist”
benar nyata (pernah) terjadi. Pemahaman ini mendapat tempat yang
Indonesia jadi lebih sering hidup melulu sebagai pendamping wajib
semacam ini memperparah salah kaprah dan salah paham akan
atau “photographic realism”. Sebaliknya, jika seseorang memotret
istimewa dan sempurna dalam kegiatan pers/jurnalistik.
kerja jurnalistik. Karena itu, berbagai kemungkinan cara pandang
fotografi. Lebih buruk lagi, tampaknya pandangan ini cukup kuat
lukisan, patung, instalasi, maka yang dihasilkannya tetaplah rekaman
fotografis—meminjam istilah Sontag: photographic way of seeing—
tertanam di kalangan fotografer dan penikmat fotografi di Indonesia.
fotografis mengenai berbagai benda tadi. Kita tidak melihat dan
Laporan jurnalistik hanya bermakna dan bisa diterima sejauh ia absah
jadi terhambat perkembangannya. Akibat lebih lanjut, kita mengalami
Dalam karya-karya fotografi yang lazim dikenal di Indonesia dengan
menerimanya sebagai sebentuk hasil upaya (meniru) untuk menjadi
dan benar dengan bukti dan verifikasi berbagai sumber berita. Maka
pemiskinan eksplorasi praktik fotografi dan sekaligus pemiskinan
istilah “fotografi salon”, misalnya, kita lihat bagaimana fotografi
lukisan atau patung.
fotografi—sebagai hasil kerja lensa dan kamera yang memang punya
pemahaman akan keragaman jenis fotografi.
dipraktikkan mengikuti kaidah “seni lukis” baik dalam hal subjectmatter, estetika visualisasinya bahkan sampai teknik presentasinya.
Singkatnya, ketimbang seorang fotografer memotret lukisan, patung,
Padahal, fotografi sebagai media, sepenuhnya punya peluang yang
Pemahaman ini tampak jelas juga dalam pengelompokan jenis
atau instalasi—agar bisa terlihat sebagai “seni”, kita lebih sering
demikian luas dalam hal kemampuannya merekam dan menyajikan
fotografi yang dikenal selama ini: figuratif, pemandangan, alam benda,
menemui pelukis yang memanfaatkan fotografi untuk jadi rujukan
Pandangan ini berlaku dan benar selama kita hanya menumpukan
kenyataan di sekitar kita. Ini terkait erat dengan kenyataan bahwa
dan lain-lain—yang mengacu pada jenis pengelompokan seni lukis.
lukisannya—entah sekedar jadi panduan atau bahkan patokan agar
perhatian pada salah satu aspek kekuatan fotografi: kemampuan
fotografi adalah sejenis media yang paling terbuka untuk diakses dan
kamera dan foto merekam kenyataan. Namun demikian, pandangan
dimanfaatkan oleh siapa saja, untuk keperluan apa saja. Fotografi
Salah kaprah dan salah paham terhadap fotografi ini rupanya
ini seperti mengabaikan kenyataan bahwa kamera dan foto yang
mengesampingkan peran si amatir dan profesional, subject-matter
melupakan kenyataan bahwa fotografi justeru lebih punya kekuatan
dihasilkannya juga berkaitan dengan subyektivitas si fotografer, yang
yang penting atau remeh-temeh, yang indah atau buruk. Fotografi
dan kemampuan menghadirkan berbagai jenis citra yang melampaui
Lebih jauh lagi, saat kita berhadapan dengan lukisan yang menyerupai
pada akhirnya ikut menentukan kenyataan apa yang ia bidik dan
memajukan watak egalitarian: semua orang bisa jadi fotografer.
seni lukis jenis apapun. Alih-alih fotografi meminjam dari tradisi seni
foto tadi, kita tidak sekedar sedang menyaksikan ambisi seorang
bagaimana kenyataan itu direkam secara fotografis. Persoalan kedua,
Fotografi juga menerabas batas konvensi estetika: semua hal bisa
lukis, sepanjang sejarah seni lukis (dan fotografi), kita bisa punya
pelukis untuk mencapai kualitas visual fotografi. Kita juga sedang
pandangan ini dengan agak serampangan mencampuradukkan
difoto dan bisa jadi sama indahnya (dalam foto).
deretan contoh bagaimana pelukis sibuk meminjam atau bekerja
melihat ambisi untuk menghadirkan kenyataan (dunia) senyata
keras ingin mencapai kemampuan fotografi bagi lukisannya. Konon,
mungkin ke hadapan kita dalam bentuk lukisan.
karakteristik utama merekam kenyataan—dengan mudah menjadi bagian terpadu dari klaim kebenaran jurnalistik.
karakteristik teknis yang ada dalam fotografi—yang memang bisa
lukisan yang dikerjakan nantinya akan tampak sungguh realistis “menyerupai foto.”
merekam apa saja, bukan cuma peristiwa—dengan persoalan
Dalam uraian Sontag: “The media are democratic: they weaken the
Leonardo da Vinci mencari dan menerapkan prinsip pinhole camera
etis yang menjadi dasar klaim kerja jurnalistik. Persoalan ketiga,
role of the specialized producer or auteur (by using procedures based
agar dapat melukiskan pemandangan “seperti aslinya” dalam
Sementara bagi kamera dan fotografi, hal sebaliknyalah yang
berkenaan dengan berbagai aspek teknis perkembangan teknologi
on chance, or mechanical techniques which anyone can learn; and by
lukisan-lukisannya. Caravaggio ingin menangkap cahaya sampai
terjadi. Sejak kamera dan fotografi ditemukan dan kemudian
Generally, the development of photography practices—as well
is related to a range of technical aspects in the progress of the
based on chance, or mechanical techniques which anyone can
to depict landscape “just like the original”. Caravaggio wished to
as public acceptance of photography works in Indonesia so far—
optic-digital technology. We are aware that the digital technology
learn; and by being corporate or collaborative efforts); they regard
capture light to the extent that the subtle and dramatic fading light
seems to form two different realms of understanding that have
today has enabled people to process—or manipulate—visual
the whole world as material. The traditional fine arts rely on the
could be presented in his paintings—the optical conditions that the
restricted the possible branches of development of photography
images. Photography resulting from this method is indeed not in
distinction between authentic and fake, between original and copy,
camera can easily capture as we arrange the aperture and speed (i.e.
practices in this country.
accordance with the principle of journalistic ethical code of truth.
between good taste and bad taste; the media blur, if they do not
the time allowed for the film to be exposed to light) of the camera.
We should not, however, immediately take this as a conclusive end
abolish outright, these distinctions.” (On Photography, e-book,
of photography in general.
2005, p. 117)
as a proof that something (or some event) has truly taken place.
Trapped within the “documentation/journalism” view, photography
The second view is the one that sees photography as being the
or those in the ‘photographic realism’ genre. But when a person
This understanding occupies a significant and absolute place in the
in Indonesia often exists as merely an obligatory accompaniment
derivative of painting. Such a view worsens the confusion and
photographs a painting, sculpture, or work of installation, the result
press/journalistic activities.
of journalistic work. The development of various photographic
misunderstanding about photography. To make things worse, this
stays the same: it is a photographic record of any of the above-
ways of seeing—to borrow Sontag’s term—is thus hampered. As
view seems to have been deeply entrenched among photographers
mentioned objects. We do not view and accept it as an effort to
Journalistic reports are meaningful and acceptable only when
a result, we experience a kind of deprivation in the explorations
and photography audience in Indonesia. In the photography
mimic painting or sculpture.
they are legitimate and accurate, with proofs and verified news
of photography practices as well as an impoverishment in the
works that we in Indonesia commonly call ‘salon photography’,
sources. Therefore, photography—as the result of the work of lens
understanding about the possible varieties of photography.
for example, we see how the practice of photography follows
In short, instead of seeing a photographer taking pictures of
the tenets of painting, whether in terms of the chosen subject-
paintings, sculptures, or works of installation in an effort to have
In truth, photography as a medium has quite extensive possibilities in
matter, the visualization aesthetics, and even the technique of
the resulting work viewed as ‘art’, it is more common for us to come
its ability to record and present the reality around us. This is strongly
presentation. This view is also obvious in the known categories
across painters who take advantage of photography in the process
This view is true if we only focus on one of the aspects of the power
related to the fact that photography is a kind of medium that is most
of photography: figurative, landscape, still life, etc.—which refer to
of painting—whether as a simple guide or even direction to make
of photography: the ability of the camera and the photograph to
accessible to anyone, can be used by anyone for any purposes.
painting categories.
the painting look highly realistic or “photograph-like.”
record reality. However, such view seems to ignore the fact that
Photography ignores the difference between the amateur and the
the camera and the resulting photograph also have to do with the
professional, the important and the banal subject matter, the beautiful
The confusion and misunderstanding about photography seem
When we stand face to face with such “photograph-like” painting,
subjectivity of photographer, which will eventually determine the
and the ugly. Photography promotes an egalitarian character:
to ignore the fact that photography precisely has greater power
we are not only witnessing a painter’s ambition to have within his or
kind of reality that he or she is capturing, and how that reality is
everyone can be a photographer. Photography can also break
and ability to present a range of images compared to any kind of
her grasp the visual quality of photography, but also the ambition to
photographically recorded. The second issue here is that the view
through the boundaries of aesthetic conventions: everything can be
painting. Along the history of art (and photography), we have a range
present the reality (of the world) as real as possible before our eyes,
rather haphazardly mixes the technical characteristics contained
photographed and be as beautiful as anything else (in pictures).
of examples how painters are busily borrowing from photography,
in the form of a painting.
The first one is the understanding that sees photography (merely) as a form of documentation, a record. This view accepts photography
especially in the paintings that we commonly call the ‘hyper-realists’
and camera whose main faculty is indeed to record reality—easily becomes an integrated part of the claim of journalistic truth.
Painting’s ambition to capture anything photographic still remains,
within photography—which can indeed record anything, not only
or striving to acquire the quality of photography for the paintings—
events—with the ethical issues that serve as the argumentative
In Sontag’s words: “The media are democratic: they weaken the
instead of the other way round. It is said that Leonardo da Vinci
Meanwhile, for the camera and photography, the opposite is
basis for any journalistic work. Subsequently, the third issue
role of the specialized producer or auteur (by using procedures
sought and applied the principle of the pinhole camera to be able
true. Since the discovery of camera and photography, and after
meluas penggunaannya dalam berbagai kegiatan—hobby, tamasya,
rinci benda dan dunia yang selama ini luput dari fokus pandangan
sudah biasa memanfaatkan jenis filem diapositif yang memungkinkan
Karya-karya dalam pameran ini hanyalah sedikit contoh tentang
jurnalistik, ilmiah, iklan, dan lain-lain—kita lebih sering memahami
mata kita. Kamera dan fotografi bisa merekam momen yang ajaib
foto tampil besar dan benderang melalui projektor, disajikan sebagai
peluang perkembangan fotografi yang tidak terkira kemungkinannya.
dunia dan kenyataan melalui citra fotografi. Ketimbang yakin dan
dan langka, peristiwa yang berlangsung dalam rentang waktu yang
rentetan gambar. Di masa sekarang, soal ini malah jadi lebih mudah:
Modus produksi dan distribusi citra fotografis tersedia sedemikian
pernah sungguh-sungguh melihat langsung seekor kuda di padang
amat singkat, untuk kemudian tersaji lagi dalam selembar gambar
serangkaian foto—dalam jumlah puluhan atau ratusan—bisa tampil
luas dan beragam di tengah perkembangan teknologi optik-digital
rumput luas, misalnya, kita justeru meyakini kuda itu “ada” dan “benar
yang jadi bukti bahwa hal itu pernah ada, pernah terjadi—dan masih
dalam screensaver komputer; atau berupa rangkaian foto dalam
masa kini. Peluang yang sama kaya dan luasnya juga ada dalam hal
demikian adanya” sesudah melihat fotonya.
terus terjadi, membeku abadi dalam rekaman foto; untuk kemudian
presentasi Power Point, atau tampil lengkap dengan efek animasi
kemungkinan cara untuk melakukan presentasi fotografi.***
hidup lagi dalam kenangan dan tafsiran.
dalam flash movie di halaman web, misalnya.
Dengan cara yang lebih ekstrim bisa diyatakan bahwa di tengah limpahan citra fotografis, terjadi perubahan radikal dalam
cara
Tidak perlu menjadi fotografer profesional untuk memahami semua
Singkatnya, ada demikian banyak cara bagaimana fotografi hadir
manusia mempersepsi kenyataan dunia sekitarnya. Bukan lagi
ini. Setiap orang dengan cepat dan nyaris alamiah akan membidik-
dan tampil. Namun yang paling sering kita lihat di Indonesia adalah
kenyataan dunia yang memberikan afirmasi kepada fotografi; tetapi
bidik dunia sekitar saat memegang kamera. Pada saat seperti itu,
foto yang dicetak di atas kertas khusus. Belakangan, kita lihat juga
kenyataan fotografislah yang mengafirmasi kenyataan dunia kepada
dunia sekitar tampak “lain”. Dalam bidikan lensa kamera segala hal
bagaimana karya foto benar-benar ingin dipaksa secara fisik untuk
kita. Roland Barthes menggambarkan soal ini dengan gamblang:
bisa menjadi rinci, menjadi pokok utama, menjadi fokus—bukan
menjadi lukisan: fotografi baru terasa sah dan benar kalau ia dicetak
“In an initial period, Photography, in order to surprise, photographs
sekedar bagian kecil dan terlupakan di antara sekian jenis hal atau
dalam ukuran besar di atas kanvas untuk kemudian dibingkai dan
the notable; but soon, by a familiar reversal, it decrees notable
peristiwa yang melingkupinya. Dan di atas semua itu, fotografi bisa
digantung menyerupai lukisan.
whatever it photographs.” (Camera Lucida, 200, p. 34.)
menduplikasikan dan memperindah kehadiran segalanya. Ada
Sedemikian lekat hubungan citra fotografi dengan kenyataan sehingga
semacam kualitas estetik tersendiri dalam fotografi, terlepas dari apa
Dua pandangan salah kaprah dan salah paham yang telah saya
dan bagaimana fotografi menghadirkannya ke hadapan kita.
ajukan di atas sungguh membatasi—kalau tidak malah sudah nyaris
Barthes sampai pada pemahaman bahwa: The Photograph belongs to
melumpuhkan—perkembangan fotografi di Indonesia. Berbagai
that class of laminated objects whose two leaves cannot be separated
Kekuatan presentasi fotografi tampaknya memang tidak melulu
without destroying them both… (Camera Lucida, 2000, p. 6).
berada pada bentuk akhirnya. Kekuatannya sudah terhimpun dan
potensi kekuatan fotografi justeru dilucuti dari dirinya sendiri.
bersifat potensial dalam kemampuannya yang hakiki: merekam
Pameran kali ini menghadirkan sejumlah karya fotografi yang
merekam
ruang dan waktu. Bagaimanapun cara fotografi dipresentasikan
punya unsur dan kemampuan untuk mengajukan kembali berbagai
kenyataan, mengabadikan masa lalu, menghadirkan yang silam ke
dan dihadirkan, daya pukaunya tetap bertumpu pada kemampuan
kemungkinan dan kekuatan penghadiran citra fotografis yang ada di
saat sekarang. Fotografi juga dengan mudah menyajikan sisi dunia
hakikinya tadi.
sekeliling kita. Karya-karya dalam pameran ini dapat dijadikan contoh
Fotografi
telah
menunjukkan
kehebatannya
dalam
yang tidak sempat kita lihat atau temui langsung menjadi citra yang
bagaimana sejumlah fotografer dan seniman Indonesia masa kini
hadir nyata di hadapan mata kita—dari sudut jagat raya sampai jasad
Maka, foto-foto dokumentasi keluarga, misalnya, bisa tersaji dalam
dapat memanfaatkan fotografi secara bebas dan tidak terjebak pada
renik dan irisan sel dalam ukuran nanometer. Kamera dan fotografi
buku album foto dan menjadi semacam arsip sejarah keluarga yang
dua wilayah pandangan yang terbatas dan salah kaprah tentang
memberi peluang pada mata kita untuk membidik dan melihat berbagi
menarik. Sebelum era fotografi dan media optik digital, fotografer
fotografi yang ada selama ini.
their use became widely spread in a variety of activities—hobby,
far missed. Camera and photography can record magical and rare
bright through projectors, presenting a chain of pictures. Today, it
possibilities are actually unlimited. The modes of production and
travel, journalism, science, advertisements, etc.—we more often
moments, events that take place in very brief moments, presenting
is even easier to do this: a series of pictures—scores or hundreds
distribution of photographic images are available to us widely and
understand the world and reality through photographic images.
them as pictures that prove such events and moments have existed,
of them—can appear on our computer, in the screensaver, in a
in myriad possibilities, in the midst of the current progress of the
Instead of having truly seen a horse in a meadow, for example, we
have taken place—and are still taking place, frozen eternally in a
sequence of pictures during a PowerPoint presentation, or complete
optical-digital technology. There are also similarly wide and varied
believe that the horse does “exist” and is “real as it is” after seeing
piece of photograph; then ressurrected in memories, reflections
with animation effects in flash movies on a web site, for example.
possibilities in the ways how photography can be presented.***
its picture.
and interpretations.
We can further say, rather extremely, that in the midst of the deluge
One does not need to become a professional photographer in order
and exists. What we most commonly see in Indonesia, however,
of photographic images, human beings undergo a radical change
to understand it all. Everybody can easily and almost naturally try
are pictures printed on special photographic paper. Lately, we have
in how we perceive the reality around us. It is no longer the world
to capture the world around him or her when holding a camera.
also seen how works of photography have been forced physically
that gives affirmation to photography; rather, it is the photographic
In such times, the world around us seems “different”. Captured
to appear as paintings: it feels as if the photograph is only right and
reality that affirms the reality of the world. Roland Barthes candidly
by the lens of the camera, everything can be present in details,
legitimate if it is printed on a large canvas, which is subsequently
explains this: “In an initial period, Photography, in order to surprise,
or assume the most important position, the focus—instead of
framed and installed on the wall just like a painting.
photographs the notable; but soon, by a familiar reversal, it decrees
merely being a small and neglected thing in the midst of all the
notable whatever it photographs.” (Camera Lucida, 200, p. 34.)
objects or events that surround it. On top of that, photography
The two views, confused and misguided as they are, which I have
can duplicate and beautify everything. There is a distinct aesthetic
discussed above truly limit—if not totally paralyze—the development
The link between the photographic image and reality is so tight that
quality in photography, no matter what object it presents, and how
of photography in Indonesia. Photography has been stripped off its
Barthes concludes that “the Photograph belongs to that class of
it presents the object.
myriad potentials.
The strength of photographic presentation is not merely contained
The exhibition today shows a number of works of photography that
in its final form. The power of photography lies within its essential
have the elements and ability to bring to the fore again a variety
Photography has shown its great capability to record reality, to
faculty: to record space and time. No matter how photography
of possibilities and potentials in the presentation of photographic
turn the past eternal, to present the foregone in the here and now.
is presented and brought before us, its charm still relies on that
images. The works in this exhibition can serve as examples of how
Photography also easily presents the aspects of the world that we
essence, that most significant faculty.
a few Indonesian photographers and artists today can still use
In short, there are numerous ways in which photography appears
laminated objects whose two leaves cannot be separated without destroying them both…” (Camera Lucida, 2000, p. 6).
do not have the chance to see or come across directly; it presents
photography in a liberated manner, free from the trappings of the
these images before us—from the corners of the universe to the
Pictures of family records, for example, can thus be presented in a
micro-organisms and fragments of cell in nanometers. The camera
photo-album and form an interesting family archive. Before the era
two misguided and restricted views on photography.
and photography allow our eyes to capture and see a range of
of digital photography and optical media, photographers have made
The works in this exhibition are only a few examples about
details of objects and parts of the world that our sights have so
use of diapositive films that enable the pictures to appear big and
the opportunity for the development of photography whose
Susan Sontag, dll.: Citra - Waktu Nirwan Ahmad Arsuka
Jika seni rupa adalah adalah sastra, dan lukisan adalah puisi, maka fotografi
bisa subyektif, tetapi oleh benda mati yang tak punya pikiran dalam dirinya
adalah bahasa. Antara lain karena kemampuannya yang tanpa preseden
sendiri: kamera. Namun demikian, kamera bisa mengabadikan tilas karena
mencurahkan seluruh energi intelektualnya untuk mendalami black hole.
dalam mengabadikan dan menggandakan semua citra, bukan hanya
ada tangan yang membidikkannya; subyek yang punya pikirannya sendiri.
Sebagian di antara mereka berjuang gigih membayangkan bagaimana
yang bisa langsung dicerap, fotografi memang tak lagi menjadi sekedar
Gabungan antara kamera dan fotografer itu, memungkinkan fotografi menjadi
black hole menjadi persambungan alam semesta kita ke alam semesta lain;
sebuah bentuk seni; ia lebih luas dari seni. “Fotografi adalah medium
rekaman obyektif sekaligus testimoni pribadi; menjadi copy atau transkripsi
sebagian lagi bertungkuslumus menjabarkan black hole sebagai gerbang
yang dengannya seni diciptakan.” Susan Sontag menggaritkan kalimat
sebuah momen aktual realitas, serentak interpretasi atas realitas itu. Paduan
hipotesis topologis yang memungkinkan perjalanan menembus waktu (time
ini di buku On Photography (1977).1 Pendapat yang menandaskan bahwa
dua segi istimewa yang saling langgar ini, menurut Sontag, adalah cita-cita
travel) dan ruang antar semesta. Pada kamera, dunia yang ditangkap oleh
fotografi—dan tentu saja sinema—adalah bahasa, sudah muncul, misalnya,
abadi sastra yang tak dapat sastra wujudkan dalam pengertian literal.
lensanya, yang kemudian diteruskan ke unit perekamnya, dengan jelas dan
pada Andre Bazin.2 Dengan memumpunkan perhatian pada fotografi dan
Krasnikov, misalnya, adalah bagian dari ilmuwan kontemporer yang
tanpa susah payah telah terbukti menghasilkan dunia lain yang bahkan bisa
menangguhkan pertautannya dengan sinema, pendirian itu diperkokoh dan
Banyak penulis, termasuk Sontag, menyebut Jorge Luis Borges sebagai
digarap Sontag lebih lanjut. Di OP, kitab tipis yang menjadi salah satu “karya
pembaca dan penulis terpenting abad ke-20.5 Kalimat Borges yang
terpenting tentang fotografi”,3 Sontag bahkan menyebut fotografi sebagai
kerap dikutip antara lain adalah baris “cermin dan senggama sama
Dengan tahana sebagai black hole, di mana dunia yang menempuh lensanya
sebuah meta-seni: sebuah medium sekaligus cita-cita tertinggi seni. Di
buruknya, karena keduanya memperbanyak jumlah manusia … keduanya
akan muncul menjadi dunia lain—semesta lain—kamera menangani waktu
abad ke-19, Walter Pater menyebut bahwa semua seni bercita-cita menjadi
melipatgandakan dan menyebarluaskan alam semesta.”6 Lebih dahsyat
dengan cara yang menarik. Ada tiga aspek fisis waktu yang tercerap indra
seperti musik yang mampu melebur habis bentuk dan isi. Sontag, di abad
dari cermin dan kopulasi, kamera juga meluapkan jumlah makhluk,
manusia. Pertama: waktu selalu mengalir, tak terbendung. Kedua: waktu
ke-20, mengoreksi pendapat Pater dan menandaskan betapa semua seni
menangkarkan dan menyebarluaskan alam semesta. Cermin memang
hanya bergerak asimetris, selalu mengarah ke depan. Ketiga: aliran waktu
justeru bercita-cita untuk menjadi seperti fotografi. Selain sanggup hidup
memperbanyak jumlah manusia, tetapi cermin tetap tak sanggup
akhirnya menelan dan menghancurkan apa saja yang ditempuhnya.
seperti musik yang mengolah mediumnya sebagai isi itu sendiri, fotografi
mempercantik manusia yang digandakannya; kecuali mungkin di dalam
Aspek waktu yang ketiga ini meninggalkan pengaruh sangat besar dalam
juga berwatak demokratis karena bisa dikerjakan oleh siapapun—serempak
fiksi, dalam salah satu cerpen Anton Chekov, misalnya.7 Hubungan suami
kebudayaan. Jejaknya terlihat pada mitologi Batara Kala sang penimpa
mengeram kekuatan revolusioner mendobrak diskriminasi antara seni buruk
isteri pun tak selalu menghasilkan keturunan yang lebih memikat, dan lebih
bala atau Dewa Kronos yang selalu menelan apa saja yang dilahirkannya.
dan seni indah.
lestari, dari pasangan yang membuahkannya. Kamera merengkuh perhatian
Peninggalan peradaban Mesir Kuno antara lain adalah kompleks mummi
antara lain karena kemampuannya menghasilkan salinan yang lebih jelita,
yang tersimpan di dalam piramida-piramida penuh labirin, yang dibuat untuk
Di buku Regarding the Pain of Others (2004),4 Sontag kembali mengangkat
lebih indah dari warna aslinya. Kamera bahkan bisa menciptakan sejenis
menahan dan menyesatkan intrusi waktu yang tak kenal ampun. Dalam
kekuatan fotografi—khususnya
kenyataan yang belum pernah ada, menghadirkan kenyataan-kenyataan
khazanah fisika, ketiga aspek waktu yang salin jalin ini dikenal sebagai
yang tak terjangkau—atau tak ingin dijangkau?—oleh mata telanjang.
Hukum Thermodinamika II.
antara fotografi dan obyektifitas adalah hubungan antara garam dapur
Kemungkinan-kemungkinan di atas membuat piranti turunan camera
Kekuatan dahsyat kamera yang langsung terlihat adalah kemampuannya
dengan rasa asinnya, antara butir intan dengan kerapian struktur karbonnya.
obscura itu tampil bagaikan black hole dalam spekulasi teoritis sejumlah
menghentikan waktu. Dalam sejumlah komposisi musik dan puisi, arus
Sesuatu bahkan bisa disebut benar-benar terjadi jika ada fotonya: sebuah
pakar kosmologi dan astrofisika. Stephen Hawking, Lee Smolin, Andrei
waktu mungkin terasa tertahan sesaat, untuk kemudian bergerak berpusar
jaminan sekaligus tilas yang diabadikan bukan oleh makhluk hidup yang
Linde, Hugh Everett, Kip Thorne, Mike Morris, Matt Visser atau Serguei
dan membubung menghimpun diri—dan mereka yang menyimak seakan
kekuatan yang membuat meta-seni
pelukisan dengan cahaya itu sanggup mewujudkan cita-cita mustahil sastra.
lebih dahsyat dari sumbernya.
Watak obyektif pada fotografi adalah sesuatu yang niscaya: hubungan
11
10
Susan Sontag, et al.: Image – Time Nirwan Ahmad Arsuka
If fine art were literature, and painting were poetry, then photography
photography is a certainty: the relationship between photography and
The above-mentioned possibilities do make the handy optical device kin
were language. Because of, among others, its unprecedented power
objectivity is that of salt and its salty, of diamond and its well-arranged
to camera obscura (dark chamber) and pinhole appears to be like black
to immortalise and multiply any image, not only the image that can
carbon structure. Something is accepted as truly happens if it has its
hole in the theoretical speculations of some modern cosmologists and
be spontaneously perceived by human naked eyes, photography is
photograph: a guarantee and at once a trace of the thing immortalised
astrophysicists. Many contemporary scientists have been exerting all
definitely not a mere form of art; it extends beyond art. “Photography
not by a living mortal prone to subjectivity, but by a mechanical object
their time and intellectual prowess to probe the properties and features,
is a medium with which art is created.” Susan Sontag elaborates this
with no inherent intelligence at all: the camera. Be that as it may, the
the formation and evolution, of black hole, along with its provisional
idea in her book, On Photography (1977), in an essay titled “Photograph
camera is able to immortalise the thing and capture its traces due to
possibilities. Some of their works inspire speculation about how a black
Evangels.” The assertion that photography—and, of course, cinema—is
the operating hands and gazing eyes behind it: an inherently intelligent
hole might become a doorway from our universe to another — a wormhole
a language has been brought forth previously by, for example, Andre
subject. The combination of the camera and the photographer has been
which, in physics, is a hypothetical topological feature of spacetime that
Bazin. By focusing her attention to photography and suspending its
enabling photography to serve both as objective record and personal
fundamentally is a ‘shortcut’ through space and time, a gate that enables
connection with cinema, Sontag strengthens the assertion and develops
testimony; “both a faithful copy or transcription of an actual moment of
time and space travel between universes. Although the scientists have
it way further.
reality and an interpretation of that reality.” The combination of those two
proven painstakingly that spacetime-containing wormholes are valid
particular facets that encroach one on another, according to Sontag, is
solutions in General Relativity, there is no observational evidence so
In On Photography, considered by the novelist and critic John Berger as
“a feat literature has long aspired to, but could never attain in this literal
far for wormhole existence. Meanwhile, in photography, the world — in
“The most original and important work yet written on the subject,” Sontag
sense.” (Regarding the Pain of Others, 26)
form of image carried by light that the lens catch and pass over to the
even calls photography as a meta-art: a medium to create art and at the
recording unit — will easily and empirically come out as another image,
same time the highest aspiration of art. In the 19 th century Walter Pater
Numerous writers, including Sontag herself, refer Jorge Luis Borges as
dictated that all art constantly aspires towards the condition of music;
the most important reader and writer of the past century. One of Borges’
that is to achieve a match between form and content, to entirely dissolve
oft-cited lines is “mirror and copulation are abominable, for they multiply
With its capability to work like a black hole, or a wormhole to be more
the distinction between the two. Sontag, in the 20 th century, revised
the number of mankind… they multiply and extend… the visible universe.”
precise, where the world that goes through the lens will manifest as
Pater’s dictum and emphasized that all art aspires to the condition of
More powerful than mirror and copulation; camera also multiplies the
another world, another universe, the camera deals with time in fascinating
photography. Besides its capability to live like music that is to make its
number of beings, extends and proliferates the visible universe and all
manner. There are three physical aspects of time that human perceive
medium as its very content, photography is also essentially democratic
within. True, mirror multiplies the number of mankind, yet mirror is unable
spontaneously. First, time always runs and unstoppable. Secondly,
in terms that anyone practically can make it—in the same breath it holds
to beautify mankind it multiplies; except in fiction, in Anton Chekhov’s
time only moves asymmetrically, always flows progressively and linearly
revolutionary power which eradicates the discrimination between ugly
short-story The Crooked Mirror, for example. Parenthood, however, does
forward. Thirdly, the flow of time eventually without mercy will destroy
art and fine one.
not always produce a more attractive and longer-lasting offspring than
whatever order crosses its path. The third aspect of time leaves immense
the progenitors. The camera grabs our attention due to, among others,
impacts in some ancient cultures. Its trace is evident in the Javanese
In Regarding the Pain of Others (2004), again Sontag expounds the
its ability to generate more charming and more beautiful copy than the
tradition influenced by Hindu mythology where god of destruction is
extraordinary power of photography—particularly its power which enables
original — it even posses a capability to invent unprecedented reality by
attributed to Batara Kala (Sanskrit words for “god” and “time”). Among
that meta-art to realize the impossible dream of literature. Objectivity in
bringing forth a reality unperceivable by naked eyes.
the ancient Egypt’s legacies are mummy complexes within pyramids
another world, that could be more amusing than the original.
terangkat sejenak melambung di atas waktu. Dalam citra yang diabadikan
Jika di alam semesta yang tunduk pada Hukum Thermodinamika II, waktu
distribusi sedahsyat sekarang. Revolusi teknologi, khususnya teknologi
datangnya horor termonuklir yang meledakkan inti matahari di Bumi,
oleh kamera, waktu tampak membeku untuk selama-lamanya; dan
adalah kekuatan yang sangat perkasa yang bahkan akan menghancurkan
informasi, kini praktis telah membuat selembar foto bisa direproduksi dalam
menghanguskan segala bentuk kehidupan yang berkembang di atasnya.
terhamparlah kenyataan obyektif yang bisa menyedot, yang sulit—bahkan
alam semesta; maka di jagad fotografi, waktu menjadi tunggangan yang
jumlah yang tak terhingga, dan sanggup disebarkan secara real time ke
Fotografi yang tadinya diharapkan dapat ikut membendung perang dengan
mustahil—terlihat, mustahil disadari, dalam aliran waktu. Penyingkapan
bergerak membuat barang-barang cendala menjadi benda seni. Jagad
hampir setiap titik di planet Bumi, atau di titik manapun di alam semesta
membeberkan citra-citra brutal perang, dengan menyalakan kembali rasa
“ketaksadaran-arus-waktu” ini adalah bagian dari apa yang oleh Walter
seperti ini adalah bagian dari jagad yang lebih besar di mana kenyataan (fisis
yang bisa dijangkau kecerdasan manusia.
kemanusiaan yang dipantik oleh citra-citra yang menyentuh yang dijumput
Benjamin disebut penyingkapan ketaksadaran optis manusia. Aliran waktu
dan kognitif) hadir menampakkan diri mula-mula sangat tak sesuai dengan
yang selalu asimetris juga dapat ditaklukkan oleh kamera, dan waktu pun
indra dan nalar intuitif manusia, tapi yang kemudian merapatkan dirinya kian
Bahwa
dan
bahkan terlihat menumpang hidup dari perang itu. Bagai burung nazar,
tampak bergerak mundur ke masa silam. Ceritra, dalam sastra dan teater,
intim ke tangan manusia yang akan memasukinya.
distribusi teknologi fotografi, ternyata tak berjalan seiring dengan—bahkan
meminjam gaya bahasa Sontag, sejumlah fotografer berkeliaran ke seluruh
menghambat gerak—meluas dan menguatnya demokratisasi; keluhan ini
penjuru buana berputar-putar mengintai momen-momen menentukan
juga mengenal flash-back yang memungkinkan mereka tampak kembali ke
dari reruntuhan pertempuran, kini bukan saja tampak tak berdaya, tapi meningkatnya—melambungnya—kemampuan
reproduksi
masa lalu. Namun dalam ceritra, setidaknya sampai munculnya kamera,
Kendati bekerja dalam skala yang relatif “mungil”, dengan bidang bermatra
sudah disuarakan Sontag sejak di OP dan kian lantang di RPO. Keluhan
tumpahnya darah dan rontoknya nyawa manusia untuk dipatuk berkali-kali
waktu tidaklah benar-benar bergerak mundur: ceritra hanya melangkah
dua, fotografi telah menunjukkan kemampuannya mewujudkan sebagian
yang berpusar pada perangkat teknologi fotografi ini tampaknya adalah
dengan kamera yang kekuatan penetrasinya kian tajam. Dengan kaidah if it
ke urutan kronologis yang lebih belakang, untuk kemudian bergerak maju
cita-cita tertinggi seni, politik dan pengetahuan ilmiah tentang ruang-
gema atavistik dari sebuah pandangan pra-ilmiah berusia ribuan tahun yang
bleeds, it leads,9 jurnalisme foto membanjiri dunia dengan luapan citra-citra
ke depan mematuhi rentetan sebab akibat. Kamera, di sisi lain, benar-
waktu kosmos. Bagi sejumlah orang, kemampuan-kemampuan dahsyat
sangat berpengaruh, yang melihat kelindan yang rapat, bahkan niscaya,
glossy yang menyajikan secara spektakuler tragedi dan bencana manusia.
benar mampu membuat waktu bergerak mundur, mengalir dari masa
fotografi seperti disebut tadi jelas menjanjikan banyak pembebasan. Walter
antara kejatuhan manusia dengan perolehan pengetahuan (yang selalu diraih
Sejumlah orang pun menjadi kaya dan terkenal akibat perburuan citra-citra
kini ke masa silam sambil membalik—sekaligus mempertegas—hukum
Benjamin, yang oleh sejumlah kalangan dianggap sebagai kritikus sastra
lewat citra). Dengan jangkauan yang lebih luas dan mendalam, tapi dengan
tersebut yang terus menerus diproduksi dan direproduksi tanpa henti lalu
kausalitas. Kemampuan mengendalikan arah, dan kecepatan gerak
dan pemikir kebudayaan paling otentik yang muncul di ranah berbahasa
arah provokasi yang berbeda, keluhan yang mirip diajukan Albert Einstein
dipompakan jauh hingga ke ruang-ruang pribadi masyarakat.
waktu—mempercepat atau memperlambatnya—adalah penaklukan kedua
Jerman di abad ke-20, adalah intelektual pertama yang memaparkan watak
75 tahun yang silam, ketika Tokoh Terpenting Abad Ke-20 versi majalah
kamera atas waktu.
revolusioner fotografi dan film—kendati, seperti ditunjuk Benjamin, potensi
Time itu menyampaikan pidato wisuda mahasiswa California Institute of
Kemampuan merasakan dan memberi makna pada derita orang lain
kreatif dahsyat fotografi sudah dicerap setengah abad lebih sebelumnya
Technology. Pidato bertanggal 16 Februari 1931 itu berisi gugatan mengapa
memang punya peran penting, selain akar yang sangat panjang, dalam
Penjinakan terakhir kamera atas waktu, yang terkait dengan dua penjinakan
oleh pelukis Belgia, Antoine-Joseph Wiertz. Buat Sontag, Benjamin terang
perkembangan ilmu dan teknologi yang begitu luar biasa, belum juga
peradaban. Peradaban Barat-Kristen, juga peradaban Islam, setidaknya di
sebelumnya, terlihat pada kekuatan kamera dan perangkat rekayasa citra
menduduki singgasana kritikus fotografi yang terpenting dan paling orisinal.
membawa kesejahteraan yang cukup revolusioner pada ummat manusia.
kalangan Syi’ah, menandaskan bahwa kemampuan “menghadirkan” dan
yang tak hanya menghasilkan citra-citra yang tahan waktu, tapi juga citra
Bagi Benjamin, selain menyingkap ketaksadaran optis manusia, fotografi
Gugatan itu memuncak 24 tahun kemudian ketika Albert Einstein, Bertrand
memberi makna pada derita sang tokoh, baik itu Kristus atau Imam Ali dan
yang malah terlihat kian menarik dalam perjalanan waktu. Dalam banyak
sanggup menjawab tuntutan revolusioner politik seni, mendorong lebih jauh
Russell dan serombongan cendekiawan kelas dunia menandatangani
putra-putranya, adalah— dan telah menjadi—sumber energi kultural yang
kasus, waktu yang berlalu bukannya menelan dan melapukkan citra-citra
seluksusup seni dan sains, sembari membebaskan seni dari pengabdiannya
sebuah manifesto yang diumumkan di London, 9 Juli 1955. Manifesto itu—
memberi daya hidup. Telaah mutakhir evolusi Homo Sapiens menunjukkan
yang dihasilkan, tetapi justeru menyunggi foto yang tadinya dianggap buruk
pada ritual yang parasitik. Fotografi terang mampu merontokkan monopoli
lahir di tengah horor Perang Dingin—adalah seruan penghentian penyebaran
betapa dorongan berkorban para individu untuk kepentingan kelompok
jadi tampak bagus. Teknologi citra telah lama menunjukkan kemampuannya
modal kultural pada kelompok-kelompok tertentu yang mengambil manfaat
dan produksi senjata pemunah massal, yang bisa menghancurkan seluruh
yang lebih besar, merupakan tenaga yang membuat kelangsungan hidup
mengubah sekejap citra yang rusak dan buram menjadi citra utuh yang
dari benda-benda seni yang tadinya tak dapat direproduksi luas.8 Benjamin
dunia dan segenap kehidupan yang pernah berkembang di atasnya.
species terjamin lebih baik. Di jaman kita ini, kemampuan merasakan
lebih kaya warna, memulut mata dan pikiran. Kamera memang tak lagi
yang mendukung pandangan seniman-teknokrat Hungaria László Moholy-
sekedar menentang daya rusak waktu, tapi akhirnya menaklukkan waktu,
Nagy tentang pentingnya literasi citra itu, menuliskan harapannya di paruh
Penyebaran dan produksi senjata nuklir memang relatif bisa dibendung kini,
menggerakkan manusia berkorban untuk sesamanya, telah mengalami
menjadikan Batara Kala atau Dewa Kronos itu sebagai hamba setia fotografi.
pertama abad 20 ketika fotografi belum punya teknologi reproduksi dan
namun perang ternyata tetap saja terjadi, dan tak menutup kemungkinan
penumpulan, dan sebagian penyebabnya, seperti dikeluhkan Sontag,
dan memberi makna pada derita orang lain, kemampuan yang bisa
13
12 replete with intricate labyrinths, which were so constructed to deter
The camera’s final taming of time, relates to the two previous
regarded by some as the most authentic literary critic and cultural thinker
It is disheartening indeed to learn the fact that the innovative
and deceive the merciless intrusion of time. In the realm of physics
domestications, is evident in the power of the camera and image-
that the 20 th century German-speaking world ever produced, is the first
development in image reproduction and distribution actually does not
those interwoven aspects of time were known as the Second Law of
making instruments that produce not only everlasting images, but also
intellectual who describes the revolutionary power of photography and
go hand in hand with the strengthening of people rationality, with the
Thermodynamics.
the images that become more appealing as time goes by. In many
cinema—although, as Benjamin points out, the remarkable creative potential
betterment of the world. The exponential advancement of photography
cases, instead of vandalizing and decaying the images produced by
of photography had been discerned more than a half century earlier by the
technology sometimes even hinders, if not runs counter, the sluggish
The tremendous power of the camera that is instantly visible is its capacity
the camera, the passing time on the contrary elevates the previously
Belgian painter Antoine-Joseph Wiertz. For Sontag, Benjamin indisputably
move of human development. Photography that initially was expected
to arrest, to freeze, time. In some poems and music compositions, the
regarded ugly photograph and makes it looks beautiful. Image-making
reigns as the most important and original critic on photography.
to put an end to wars by depicting the brutal images of theatre of
flow of time might seem to be temporarily halted and then it moves
technology has been showing us its power to change almost in no time
progressively on an axis and soars up high in a vortex—and those who
the deteriorated and blurred image into one that is more colourful, more
According to Benjamin, along with the unveiling of the unconscious
picked from the havoc of battlefields, do not merely appears helpless;
gives himself up to be carried away by the works will experience a kind
eye-catching and mind-boggling.
optics, photography also capable of answering the revolutionary demand
indeed photography appears to live off war. Like vultures, in Sontag’s
of art politics, disclosing further the interpenetration of art and science,
language, a number of photographers roam around the globe lurking
of ascendance and get suspended above time. In the printed image of
war, by rekindling compassion sparked by heart-wrenching images
which the camera immortalised, we see that the flow of time is eternally
In fact, the camera does not merely defy time’s destructive power; in
while emancipating the work of art from its parasitical dependence on
for the decisive moments of death and bloodshed to be repeatedly
frozen; and before us is displayed a slice of objective reality that is
effect it has tamed time, turning Batara Kala, the god of time, into a
ritual. It is indubitable that photography is capable of demolishing the
pricked in with the ever-sharpen penetration power of the camera.
difficult—even impossible—to be seen, to be known, within time that
faithful servant of image making. While in the physical universe that
cultural capital monopoly of certain groups who took advantage from the
Faithful to the adage if it bleeds, it leads photojournalism feeds the
is flowing. By unveiling the realities that is “insensible in natural flowing
obeys the Second Law of Thermodynamic, time is an omnipotent force
auratic art works that could not be produced mechanically en masse.
world with overwhelming glossy images splendidly presenting human
time” the camera unveils what Walter Benjamin calls the “unconscious
that will eventually put an end and destroy the well-organized universe
Benjamin, who heightens the stance of the Hungarian artist-technocrat
tragedy and catastrophe. Some people hoarded up more money and
optics” of human.
to the maximum entropy, in photographic universe time becomes an
Lázló Moholy-Nagy on the importance of image literacy, noted down
became famous due to the systematic hunt of those images that were
agent that turns even apotheosizes the frivolous and thrown away stuffs
his expectation in the first half of the 20 th century when photography
incessantly produced and reproduced and then extensively pumped
The asymmetric flow of time is bent by the camera as well, and in certain
into art pieces. Such a negentropic universe is a part of the greater one
have not yet possessed the extraordinary reproduction and distribution
out to saturate our private spaces.
occasion time seems to move backward into the past. Stories, in literary
where the reality (physical and cognitive) initially make itself seems to
technology as we know it today. Technological revolution undoubtedly
piece as well as in theatre, also recognise flash-back that enables them
be distantly unfathomable to human spontaneous senses and intuitive
makes it possible for any photograph to be reproduced at infinitum and
Human faculty to share and give meaning to others’ misery does play
to seem retreating back to the past. Anyhow, time in the stories with
reasoning, and yet eventually throws itself closer into the hands of
distributed in real-time to any corner of the Earth, or any corner of the
a leading role, and has a deep-seated root, in the development of our
flash-back, at least before the invention of the camera, does not really
humanity that is struggling to passionately hug it.
universe that human intelligence may lay hands on.
civilisation. Western-Christian civilisation, as well as Islamic, at least in
previous order only to move progressively forward obeying the law of
Photography maybe operates merely in a relatively “tiny” scale, within
Seemingly keen to match even surpass, at least to correct, Walter
and give meaning to the agony of the holy martyrs, be they Christ or
causality. The camera, on the other hand, is really able to make time
two-dimensional space, but to some extent it has been showing off its
Benjamin’s
refuted
Imam Ali and his sons, is the source of cultural energy providing a vital
move backward, flowing from the present to the past whilst reversing—
ability to accomplish a portion of the ultimate aspiration of modern art and
Benjamin’s revolutionary forecast, and brought forth what we can call
force for large scale community. Recent studies on the evolution of
and at once emphasising— the law of causality. The power to command
radical politics, and the advance speculation of scientific knowledge on
the contra-revolutionary power and the grieving paradox of photography.
Homo sapiens show that the individual will to sacrifice himself for the
the direction and the pace of time—to speed it up or to slow it down—is
cosmic space-time. For some, the aforementioned outstanding capacity
Her refutation appears in some part of On Photography and all over
sake of the greater group provides means to secure better the survival
the second triumph of the camera over the natural time.
of photography undoubtedly offers a set of liberations. Walter Benjamin,
Regarding the Pain of Others.
of species.
move backward: stories merely jumped backward into chronologically
the Shiite community, have been underlining that the faculty to “present” profound
thinking
on
photography,
Sontag
adalah fotografi. Ketimbang mengikis penderitaan korban yang tertangkap
Kontradiksi yang tampak pada pernyataan-pernyataan Sontag tentang
muncul dari dorongan kognitif memberhalakan dan melupakan bahwa citra
itu, kian kuat pula citra fotogafis itu bercahaya menerangi dirinya sendiri.
lensa, fotografi bahkan bisa memantik munculnya penderitaan lain yang
fotografi berakar pada ketakpedulian Sontag membedakan dengan tegas
yang digambar dengan cahaya itu hanyalah irisan tipis dari kenyataan,
Di sisi lain, cahaya epistemik yang muncul dari citra fotografis sebagian
sama sekali tak ada gunanya. Sang korban pun bisa mengalami penindasan
antara fotografi sebagai kemungkinan teknologis, dan fotografi sebagai
bukan kenyataan seluruhnya. Selembar foto mungkin saja menjadi “wakil”
ditentukan oleh kekuatan orang yang memandangnya. Roland Barthes
yang kedua, yang tak hanya menimpa dirinya tapi juga orang-orang yang
ekstensi antropologis “massa masyarakat abad 19 dan 20” yang tak punya
kenyataan, dan dunia pun seakan bisa diringkas dalam sebuah antologi
menegaskan: citra fotografi pada dasarnya adalah analogon sempurna dari
terpaut dengannya, kali ini lewat jepretan kamera berserta berbagai jenis
banyak sumber daya intelektual, atau yang daya intelektualnya belum
citra, namun citra-citra tersebut dan album yang menatanya tetap bukan
kenyataan, a message without a code yang secara literal memustahilkan
reproduksi dan distribusi citra yang mengikutinya.
rekah penuh. Sebagai kemungkinan teknologis, fotografi memang bisa
kenyataan itu sendiri.
deskripsi, tapi yang secara paradoksal menjadi dasar dari pembentukan
revolusioner; tetapi sebagai ekstensi dari masyarakat yang masih diringkus
pesan yang mengandung kode yang pembacaannya sangat tergantung
iliterasi visual, fotografi yang bisa menaklukkan waktu itu, akhirnya takluk
Sebagai rekaman irisan peristiwa, citra fotografis senantiasa terancam oleh
pada sejarah dan pengetahuan orang yang memandangnya.12 Khazanah
pada manusia, pada konservatisme dan ketakberdayaannya. Faktor manusia
keterbatasan jumlah dan mutu informasi, dan inilah akar kedua problem
pengalaman dan pengetahuan yang memadai memungkinkan orang
dan iliterasi visual itulah yang membuat hadirnya—jika dieksplisitkan—dua
epistemologis fotografi. Selembar foto tak dengan sendirinya memberi
mengupas lapis-lapis makna dan menemukan hal-hal penting yang
Seberapa tinggikah derajat kesahihan keluhan, bahkan tuduhan, bahwa tak
problem besar yang terus berulang yang dimunculkan Sontag dan para
informasi yang memadai tentang apa yang terjadi sebelum dan sesudah irisan
sembunyi di balik—sekaligus menyingkapkan diri lewat—obyek-obyek yang
berkembang luasnya nalar kritis dan demokrasi—yang ikut dimungkinkan
pengecam fotografi sejak Charles Baudelaire. Pertama, adalah problem
peristiwa yang terekam. Meski tidak selalu, informasi yang terbatas memang
tertangkap kamera. Sebagaimana tak semua foto mengandung informasi
oleh fotografi—sebagian besar disebabkan justeru oleh kekuatan dahsyat
epistemologis, yang kedua adalah problem etis.
bisa berubah menjadi informasi yang sesat dan menyesatkan.11 Tekanan
dengan jumlah dan koherensi yang memadai, tak semua orang beruntung
jumlah informasi yang terbatas mungkin bisa diringankan dengan membuat
atau tergerak membekali dirinya sumberdaya epistemik menyalakan citracitra fotografis, dan inilah sumber problem epistemologis ketiga.13
***
fotografi itu sendiri? Bagi pemikiran a la Sontag, ketimbang mendorong perluasan demokrasi seperti yang dibayangkan Walter Benjamin, kekuatan
Meski proses kognisi manusia jelas tak persis sama dengan proses kerja
rekaman peristiwa sebanyak mungkin. Namun, dibanding mengunyah
hebat fotografi justeru memalang pertumbuhan kekuatan politik kultural
komputer, namun prinsip dasar komputer yang membuahkan kecerdasan
gunung lembaran citra rekaman yang tetap musykil menangkap seluruh
arus bawah. Kesimpulan Sontag ini bisa ditarik dari beberapa bagian tulisan
buatan, bisa membantu memahami akar-akar problem epistemologis
kenyataan, otak dan mata manusia, kecenderungan artistiknya, akan memilih
Citra fotografis memanglah bundelan kuanta informasi, dan informasi hanya
dia yang kadang memang tampak bisa tidak konsisten, hal yang membuat
fotografi. Citra fotografis pada dasarnya adalah irisan kenyataan; irisan yang
untuk menghadapi sejumlah tertentu saja citra fotografis, yang walau terbatas
bisa diproses oleh manusia jika masukan yang datang adalah masukan yang
W.J.T Mitchell mengusulkan agar buku On Photography sebaiknya diganti
sangat tipis dari tubuh kenyataan yang mungkin sangat besar dan rumit.
jumlah informasinya, namun dapat mengekspresikan hal-hal yang kompleks,
masuk akal, yang compatible dengan sistem pengetahuan dan keyakinan
judulnya menjadi Against Photography. Ada fotografer yang tak lagi
Ketimbang menampung sebuah kenyataan dengan segala kerumitannya,
membuka jalan ke matra majemuk makna yang sekaligus menyajikan
manusia yang menatapnya. Citra-citra fotografis yang mengejutkan,
menyentuh kamera selama tiga tahun setelah membaca OP; dan sejumlah
otak manusia lebih mudah menyimpan sejumlah kecil citra fotografis yang
perspektif atas pengalaman manusia. Hal ini bisa dipenuhi jika citra fotografis,
tidak masuk akal, yang tidak sesuai dengan perangkat lunak manusia
orang bisa meraba sebentuk reproduksi pandangan religius purba dalam
tak jarang dianggap mewakili seluruh kenyataan, dan inilah akar pertama
dengan jumlah informasinya yang mustahil tak terbatas, sanggup menyajikan
bisa membuat otak hang. Setidaknya, citra-citra seperti itu akan ditolak
karya Sontag itu, sebuah prasangka teologis yang menandaskan bahwa
problem epistemologis fotografi. Ini juga yang menyebabkan mengapa
informasi yang koheren. Masalahnya adalah bahwa selain kualitas dari sang
oleh otak untuk diproses. Foto-foto yang menghadirkan ketelengasan
ketimbang memuliakan manusia, pengetahuan dan citra (yang antara
citra statis umumnya lebih dalam menancap di benak ketimbang citra yang
fotografer dan kamera yang disandangnya, unsur-unsur lain seperti nasib
perang dan berbagai kekejian manusia, mula-mula mungkin memang
lain tumbuh lewat teknologi fotografi) yang dahsyat itu, justeru akan
bergerak. Kalaupun ada sejumlah citra bergerak yang menancap sangat
baik dan sekian hal yang tak selamanya bisa diramalkan dan dikendalikan,
bisa dicerna, bahkan dengan sepercik gairah. Tetapi, foto-foto ini, selain
menghempaskan dan menyesatkan mereka. Dalam mitologi Taman Firdaus
dalam, penyebabnya bukan terutama karena citra yang tampak tapi ceritra
berperan besar, dan kadang bisa lebih menentukan, dalam menjerat momen
bisa membeberkan kekejaman yang mampu dilakukan manusia terhadap
tradisi monotheisme Ibrahim—yang sumbernya bisa dilacak ke sehimpun
yang bergerak mengikat citra-citra tersebut. Banyak hal yang diperkarakan
dengan tingkat koherensi informasi yang tinggi.
sesamanya, juga sanggup berpendar-pendar menerangi banyak hal yang
ceritra yang lebih tua di Sumeria lama—leluhur pertama ummat manusia
Sontag dalam OP, khususnya esei In Plato’s Cave dan The Image-World,
diajari nama-nama, lalu kehilangan rahmat dan terlempar ke dunia yang
yang kemudian muncul lagi di RPO, berakar pada keterbatasan daya
Foto-foto yang setara dengan seribu kata memang selalu mengandung
perang. Kian banyak foto perang dihasilkan, kian mereka terpojok dengan
nista seusai mereka mendekati Pohon Pengetahuan.10
tampung memori dan daya olah kognisi manusia. Persoalan memang bisa
informasi yang saling topang. Kian tinggi tingkat koherensi informasi foto
perasaan tak berkutik itu. Ketakberdayaan bukanlah sesuatu yang pantas
merongrong pikiran, termasuk ihwal ketakberdayaan manusia mencegah
15
14 In our time, the capacity to feel and give meaning to the agony of other
an anthropological extension, in this case the extension of “the 19 th
memory capacity and cognitive power. The problems will likely arise out of
in a piece of photograph, the more luminous it becomes to illuminate
that moves mankind to self-sacrifice has been blunted and weakened,
and 20 th centuries masses” whom posses only insufficient bulk of
the cognitive impulse to idolise and then ignoring that the images painted
itself. On the other hand, the epistemic light that shines out from
and part of the culprit, as Sontag complained, is photography. Instead
intellectual resources, immature and quite limited resources. As a
by light were merely slight slices of reality, not a whole reality. A piece
photographic image is partly determined by the cognitive power of the
of diminishing the victim’s suffering that the camera shot, photography
technological possibility, photography can be revolutionary; but as the
of photograph might become a “representation” of reality, and it seems
person who sees it. Roland Barthes emphasised, photographic image
provokes another suffering which sometimes utterly serves no purpose
society’s extension that still suffered from visual illiteracy, photography
possible to sum up the world in an anthology of images, but those images
is basically a perfect analogon of reality: it has very close relationship
for the victim. It is likely that the snapshots with all of the flooding images
is eventually subjected to human being—photography which is capable
and the album containing them are not and never be the reality itself.
with reality, closer than footprints and death mask. As a perfect
makes the victim suffers a second ravaging assault staged by external
of taming the natural time is now conquered by human conservatism
power, which is not merely inflict pain and humiliation to him but also the
and hopelessness. It is human factor and his visual illiteracy that holds
As a record of a mere slice of event, photographic image is permanently
that makes description literally out of question but paradoxically serves
people who relates to him in one way or another.
responsible for the two recurring problems posed by Sontag and other
threatened by the incoherence and insufficient amount of information.
as foundation to establish message containing codes whose reading
persistent critics of photography. The first problem is epistemological,
This is the second root of the epistemic problem. John Berger and
heavily depends on the history as well as the knowledge of those who
and the second is ethical.
Jean Mohr, explain this clearly in their book “Another way of Telling It”
scrutinizes it. An abundant treasure of experience and knowledge would
(1982). The trouble with that of the limited amount of information can
enable people to decipher layers of meaning and find out important
It is true that human cognitive process does not downright identical to
probably be solved by making record of an event as many as possible.
things hidden behind the objects yet at the same time self-revealing
According to Sontag’s line of reasoning, instead of strengthening
the working process of computer, but the basic principle of computer
Yet, instead of spending long time and making huge effort to digest a
through the camera. As not every photograph contains coherence and
the cultural power of the people as Walter Benjamin envisages, the
and especially artificial intelligence is helpful to discern the root of the
mountain of recorded images that anyhow still impossible to cover the
adequate amount of information, so does not everyone is fortunate and
impressive power of photography stalls its growth. This inference
epistemological problems. Photographic image is basically a slice of
whole event or reality, human brain and eyes, his artistic inclination,
passionate enough to equip herself with epistemic resources to light up
of Sontag’s thinking can be deduced from some of her writings that
reality; it might be thin or thick but it is a slice clipped off of a thing that
naturally prefer to deal with a certain quanta of photographic images
photographic images. This is the source of the third epistemic problem.
sometimes seem inconsistent, so much that W. J. T. Mitchell suggests
might be very complex. Instead of painfully containing a reality with all its
which, although they are limited regarding the quantity of information,
In the first pages of Camera Lucida (1980), Barthes acknowledges that
a more suitable title for On Photography, which is Against Photography.
complexities, it is far easier and more comfortable for human brain due
but are considered to be able to express complex signifying structure,
the amazement to photography is a kind of solitude: an amazement
There was a photographer who did not touch any camera for three
to its limited capacity to retain and keep only few photographic images
pave the way to multiple dimensions of meanings that provides a set of
that is not easily to be shared with others, and not easy even to be
years after perusing On Photography, and some might perceive a
frequently considered as to represent the whole reality, and this is the
perspectives on the varieties of mankind experiences. This can be partly
understood by others.
kind of primeval religious viewpoint reproduced in this famous book
first epistemic problem of photography. The cognitive limitation and
attained if photographic images, with their limited amount of information,
of Sontag, a theological prejudice which underscores that instead of
selection also make static images in general entrenched more deeply
successfully provide coherent information. The problem is that besides
Photographic image is indeed a bundle of information quanta, and
illuminating mankind, critical knowledge and image production (partly
in human mind than the moving ones. If some moving images were
the skill of a photographer and the camera in his hands, other elements
information can be processed by human brain only if the incoming input
grows through photography technology) will only misguide them into the
deeply entrenched, it is not primarily because of the appearing images
such as stroke of luck and the like that are not always predictable and
is one that makes sense and compatible with the knowledge and belief
verge if not the hart of darkness.
themselves but of the moving stories that bind the images together.
controllable also play important role, and sometimes can be more
system of the person who stares at it. Photographic images that do not
decisive in capturing the moment with highly coherent information.
make sense, that are incompatible with human cognitive software, will
***
analogon of reality, photographic image is a message without a code
The apparent contradictions in Sontag’s statements on photography
Many things that Sontag questions in On Photography, particularly in the
stems out of her indifference to strictly distinguish photography as a
essays titled In Plato’s Cave and The Image-World, and reissued again
Photographs that equal to thousand words always contain a set of
likely make the brain hang, like a computer excessively forced to process a flooding alien data. At least, the brain will refuse to process such
technological possibility which knows no limit, and photography as
in the book Regarding the Pain of Others, are all rooted in human limited
reciprocally enlightening information. The more coherent the information
images any further. Photographs that present brutality of war and human
dibanggakan, juga bukan sesuatu yang bisa ditanggungkan dalam
yang tak selalu memadai, fotografi kini melumpuhkan daya tindak mereka.
mencengangkan justeru karena sama sekali tak terbayangkan oleh siapa
tertanam secara esensial pada citra fotografi atau kamera itu sendiri seperti
jangka waktu panjang; dan semua itu dapat disembunyikan dengan cara
Yang tampak muncul dari limpahan citra-citra itu akhirnya adalah kebasnya
pun sebelumnya. Orang-orang dari berbagai penjuru bumi, bertindak
yang berkali-kali dikeluhkan oleh Sontag. Akar terdalam problem itu ada
mengabaikan citra-citra tersebut.
manusia terhadap citra-citra yang brutal dan tidak manusiawi. Tetapi, gejala
membantu para korban dan ikut menampung rasa pedih akibat bencana
pada manusia: pada sejarah dan pengetahuannya, bahkan lebih jauh
kebasnya manusia pada citra-citra brutal bukanlah pertanda matinya secara
yang dilontarkan dari dasar samudera. Ribuan orang serentak meninggalkan
lagi, pada konstitusi dan proses kognitif manusia. Otak manusia, dari segi
Karena citra-citra fotografis adalah analogon kenyataan, tusukannya pada
permanen solidaritas manusia. Gejala kebas itu lebih merupakan petunjuk
kerja rutinnya. Di tengah udara yang digantungi maut, mereka mencari dan
pemrosesan informasi, secara umum ternyata adalah prosesor primitif yang
manusia, dan respon manusia terhadapnya, menjadi sangat mendalam.
ketakmampuan bertindak secara tepat dan pantas untuk menyurutkan
menguburkan para korban yang remuk bergelimpangan. Anak-anak di
buruk yang hanya bisa memikirkan satu hal secara baik untuk satu periode
Citra-citra fotografis yang menghadirkan tubuh yang ringsek dan cacat,
penderitaan orang. Sekali manusia bisa memahami situasi dan tahu bahwa
belahan jagad yang lain memecah tabungan dan menggerakkan kegiatan
waktu tertentu. Luapan informasi citra fotografis yang datang dari berbagai
pemukiman yang hangus dan terburai,
tindakannya bisa berarti, maka respon terhadap penderitaan akan menjadi
amal mengumpulkan dana bantuan. Bencana alam dahsyat itu ternyata
penjuru mengepung manusia tidak dalam kuanta dan paket yang langsung
sesuatu yang niscaya.
telah menggerakkan gelombang balik simpati dan solidaritas, dengan
bisa dicerna. Agar bisa dicerna, arus informasi itu harus disederhanakan
kecepatan dan keluasan yang belum ada presedennya. Kamera, internet
dan disesuaikan dengan daya cerna manusia: sejumlah informasi pun
dan berbagai hal yang porak
poranda yang sangat dekat dengan hidup manusia, akan membangkitkan tanggapan yang sangat instingtif, sangat atavistik; tanggapan yang datang dari akar-akar yang juga telah melahirkan solidaritas kemanusiaan dan
Bahkan kata pun mendadak terbang meninggalkan dunia yang terhenyak
dan transmisi satelit tentu ikut berperan membangkitkan gelombang
disingkirkan dari citra-citra itu. Penyingkiran informasi ini bisa bersifat
kebudayaan. Tubuh-tubuh itu mungkin milik orang lain bahkan mungkin
menyaksikan Banda Aceh, Calang, Meulaboh dan sejumlah tempat di
kemanusiaan berskala global itu.
temporer, bisa juga permanen.
musuh yang mengancam, yang oleh ideologi dan iman yang dianut sungguh
garis pantai Asia Tenggara, Asia Selatan dan Afrika Timur diterjang oleh
layak dihancurkan; namun tubuh-tubuh itu begitu mirip dengan tubuh milik
Gelombang Tsunami 26 Desember 2004. Gelombang maut akibat gempa
Bila benar bahwa limpahan citra penderitaan manusia akan membuat
Konstitusi kognitif manusia, evolusi otak Homo sapiens, membuat
sendiri—citra-citra primordial yang telah begitu dikenali dengan sangat
tektonik 9.3 skala richter yang berpusat di dasar laut Andaman, Summatra,
kebas mereka yang menatapnya, maka gelombang bantuan kemanusiaan
kecenderungan melupakan menjadi sesuatu yang alami. Kecenderungan
intim jauh sebelum manusia dapat berbicara, berpikir dan berteori. Citra-
itu menelan korban hampir 250.000 jiwa dan membuat sekitar 1.700.000
pasca-tsunami dan gelombang bantuan untuk korban bencana alam
ini juga membantu mereka mengatasi hal-hal yang sulit dimengerti dan tak
citra yang menghadirkan tubuh dan kota-kota yang luluh lantak, baik karena
orang kehilangan tempat tinggal. Ledakan bom atom di Hiroshima dan
yang lain, tentunya tak akan terjadi. Awalnya, mereka yang menatap foto-
dapat dikendalikan. Jika hal-hal yang tak sepenuhnya dimengerti namun
bencana alam maupun bencana karya manusia, bisa sangat menusuk
Nagasaki yang menghentak dan mengubah sejarah dunia modern, tak
foto dan rentetan video bencana tsunami itu mungkin memang terpaku
menyenangkan dikendalikan antara lain dalam bentuk fiksi, maka hal-hal
bagai jarum, atau menghunjam bagai ruyung yang menyiksa manusia
menelan korban sebesar itu. Banda Aceh dan tempat-tempat lain bagai
beku. Tetapi kemudian mereka bergerak. Dan mereka bergerak karena
yang tak dimengerti dan menyakitkan ditangani dengan cara lupa. Lupa tak
dalam ketercabikan antara bangunan nalar dan tanggapan naluri. Karena
terhempas ke alaf yang purba, diterjang oleh kekuatan gelap yang seakan
mereka tahu, mereka yakin, bahwa gerakan mereka akan ada gunanya.
saja bisa membantu manusia meneruskan kehidupan yang luar biasa getir.
citra-citra itu bisa sangat menikam, maka penampikan terhadap citra-citra
tak berasal dari dunia ini. Untuk beberapa saat, pemandangan yang luar
Simpati pada penderitaan orang memang akan lebih efektif dan bisa
Lupa pun berperan sangat besar, seperti ditunjukkan oleh Ernest Renan,
fotografis menjadi tampak lebih sengit.
biasa mengerikan itu di mana cakrawala tampak habis terbalik, membanting
segera mewujudkan diri jika ditopang oleh kemantapan pengetahuan—
dalam kenangan selektif-kolektif yang membentuk perasaan ikut memiliki
lumpuh akal dan menyihir manusia membatu dalam ketakutan. Tetapi,
keyakinan bahwa serentetan tindakan akan membawa hasil yang bisa
suatu peninggalan yang kaya dan tanah air tempat sekelompok manusia
Problem epistemologis yang berlapis-lapis yang puncaknya menonjolkan
hanya beberapa hari setelah kelumpuhan akal itu, dunia menyaksikan
dipertanggungjawabkan, dan tak akan membuahkan akibat tak terduga
merasa sama-sama meneruskan sebuah warisan agung dan pelbagai sesal
ketakberdayaan, kekejian dan kedunguan manusia ini membawa problem
sebuah gelombang lain yang kemudian saling susul: gelombang solidaritas
yang dapat merugikan diri sendiri. Terlalu banyak contoh yang tandas
yang membekas. Dilebur oleh kobaran hasrat untuk hidup bersama, lupa
etis yang sangat dirisaukan Sontag. Problem etis itu, yang ia tuangkan
lintas benua.
menunjukkan bahwa sesungguhnya niat mulia yang disangga oleh
melahirkan satuan sosial politik terpenting dalam beberapa abad terakhir:
pengetahuan buruk itu adalah separuh dari bencana.
bangsa-bangsa. Kemampuan kognitif untuk melupakan itu juga yang
dalam satu buku tersendiri, RPO, tak lain adalah ketakmampuan manusia bersimpati pada penderitaan orang lain. Ketakpahaman, ketakberdayaan,
Jika gelombang raya tsunami melumpuhkan mereka yang memandang
mengakibatkan ketakpedulian pada nasib buruk sesama manusia. Setelah
tayangannya antara lain karena gambaran kiamat yang banyak disinggung
Telaah ringkas atas problem epistemologis dan etis fotografi menunjukkan
agaknya membuat foto begitu mudah diterima manusia modern. Dengan meringkas dunia dalam lembaran, fotografi memberikan jalan yang tampak
menyesatkan pikiran manusia yang terbatas dengan pemberian informasi
dalam khazanah agama, maka gelombang solidaritas lintas benua itu
setidaknya dua hal. Pertama, bahwa problem epistemologis itu tidaklah
mudah untuk menangani kenyataan dan masa depan yang gampang lepas.
17
16 misery might be discernable at first, even irresistibly captivating in some
that profoundly disturbs Sontag. This ethical problem of which she
If the great waves of tsunami had paralysed those who watched it through
problem is not essentially embedded in photographic image or the
occasion. But these photographs, in addition to their ability to reveal the
narrates at length in Regarding the Pain of Others is no less than human
any media partly because of the powerful doomsday representations
camera itself as Sontag lamented over. The deepest root of the problem
brutality that human can inflict to his fellow species, are able to shed light
disability to sympathise to others’ agonies. Human misunderstanding
as one finds in religious narratives, then the waves of intercontinental
is seated in humanity itself: in human history and knowledge, and
to plenty of things that disturbs human mind, including the incompetence
and powerlessness eventually result in indifference toward their fellow
solidarity had the world amazed since no one had imagined it before.
further still, in human cognitive process and constitution. Human brain,
to prevent war. The more war photographs are produced then the more
human’s misfortune and despair. After having misled human limited
People from all over the planet helped victims and shared the agonies
from informational processing perspective, can be compared to poor
disturbed people will with such a humiliating feeling of powerlessness
thinking by providing information that is not always adequate and
that had been spilled out of the bottom of the sea. Thousands of people
primitive processor that can only think properly about one important
and hopelessness. The powerlessness is not something to be proud
sufficient, now photography paralyses his ability to act. What is obviously
left their daily routines at once. Facing the dark atmosphere of death,
thing in a certain period of time. The abundant photographic images
of, and is not something bearable in the long run; and all these can be
displayed out of the abundant images in the end is human stiffness to
they searched and buried those scattered and shattered bodies. Children
information from all directions swarms people over not in discernible
concealed by ignoring those images, by “being anesthetized.”
the brutal and inhumane images. But the symptoms of human stiffness
in other hemisphere broke their piggy banks and initiated charitable
quanta or package. To be discernable, the torrential information must
to brutal images doest not indicate the permanent death of human
activities to raise fund. The monstrous natural disaster had stimulated
be simplified, categorized and adjusted with human capacity to discern:
Because photographic image is analogon of reality, then its puncture
solidarity. The symptom merely indicates human inability to act properly
feedback wave of sympathy and solidarity with unprecedented speed
thus some information might be removed from those images. The
to human, and human response to it, becomes very deep and strong.
and rightly to mitigate large scale agonies. Once we understand the
and scope. The camera along with the internet and satellite transmission
removal may be temporary, but it can also stay permanent.
Photographic images presenting the obstructed and damaged bodies,
situation and are convinced that our action will make a meaningful
surely played important parts in inciting those global waves.
earth-torched and devastated neighbourhoods, and other ruined things
difference, the response to other’s agony will be of something certain.
so intimately close to human daily live will incite very instinctive, atavistic,
The constitution of human cognition, the evolution of Homo sapiens If it’s true that abundant images of human agony would make those who
brain, makes the inclination to forget becomes something natural. This
responses stems from the same roots that give birth to humane culture
Even words seemed abruptly flew off leaving the stunned world that
watch them eventually go numb, anesthetized, then the humanitarian
inclination also helps human to deal with unfathomable and uncontrollable
and solidarity. Those bodies maybe belong to other people, to the
stood frozen in terror witnessing Banda Aceh and many places along
waves of post-tsunami and those that is raised for other natural disaster
things. If things that are not fully understandable but amusing will be
menacing enemies if perceived according to the embraced an ideology
the coast line in Southeast Asia, South Asia and East Africa were
victims will never see the light of day. At first, people who stared at the
preserved in the form of fiction and art, then the traumatic things would
and inherited dogma, hence rightly deserve to be destroyed; but those
swept away by the great waves of Tsunami in December 26, 2004. The
photographs and the videos of the disaster might get stunned in fear.
be tamed by forgetting. Forgetfulness does not simply help people to
bodies are so similar to one’s own—primordial images that are too
monstrous waves took 250.000 lives and sent 1.700.000 homeless.
But then they made a move. And they moved because they knew and
endure extraordinary miserable life. Forgetting also plays pivotal role, as
intimately well-known to human mind long before a human being knows
Even the atomic bombs exploding Hiroshima and Nagasaki, which had
they’re assured that their move would be useful. Sympathy toward human
Ernest Renan pointed out, in the making of large scale solidarity. Melted
how to speak, and theorise. The photographic images presenting ruined
shocked and changed the course of our modern history did not claim
agony is more effective and quickly self-manifest when it is supported
by the possession in common of a rich legacy of glorious heritage
bodies and cities either because of natural disaster or human-made
casualties that enormous. Banda Aceh and other places were looked
by reliable knowledge—the certainties that a series of actions will bring
and regrets; by the flaming desires to live together to perpetuate the
calamity will puncture as needle or pierce as wedge that torture and
like being ruthlessly kicked back beyond history, crushed by dark force
forth justifiable results, and will never produce a set of unexpected self-
value of the heritage that one has received in an undivided form, by
tear the spectator between systematic reason and instinctive response.
that seemed to be originated not from this very world. For some time,
damaging effects, never backfire. Too many examples plainly show that
the feeling of the sacrifices that one has made in the past and of those
Since those images may hurt so much, the rejection to photographic
the utterly horrendous scene where the horizon was looked like having
noble intention supported by poor knowledge is part of disaster. The
that one is prepared to make in the future, forgetting has brought forth
images may appear to be strong.
been turned upside down, paralysed reason and bewitched the rest of
road to hell is truly paved with noble intentions and crude knowledge.
the most important socio-political entity in the last centuries: nation.
the world in consternation. But in the aftermath of the paralysed reason,
It is this cognitive capability to forget—it is good for all of us to know
This multilayered epistemic problem, which ultimately exposes human
the world witnessed another wave that was closely followed by another:
The brief analysis on the epistemological and ethical problems of
how to forget, says Renan—that also makes people so easily accept
incompetence, cruelty, and stupidity, brings forth the ethical problem
the successive waves of international humanitarian solidarity.
photography leads us to at least two points. Firstly, the epistemological
and consume photographic images. By summing up the world in an
Kesadaran bahwa foto adalah irisan kenyataan membuat masyarakat ilmiah
fundamental. Sontag memang tak begitu hirau menegaskan batas-batas
etis fotografi, Sontag menyajikan tawaran yang selintas terlihat cemerlang
dan solidaritas manusia. Diwadahi oleh kecerdasan bahasa, ceritra tertata
dan industri citra menjadi kelompok yang paling banyak mengambil manfaat
telaah dan penilaiannya. Sejumlah gejala yang mungkin berlangsung luas
kemasannya, tapi cukup menggelikan isinya. Di bagian akhir OP, Sontag
menjadi sastra yang mampu membentangkan bukan hanya satu jenis
dari foto. Kaum ilmuwan menggunakan foto untuk menguji dan memperluas
tapi terjadi dalam waktu yang sebenarnya singkat, atau gejala yang mungkin
mengajukan apa yang ia sebut sebagai Ecology of Image: sebuah upaya
pengetahuan, yang bisa saling menegaskan batas dan kekuatan masing-
pengetahuan mereka. Foto menjadi sarana untuk memperjelas kenyataan-
akan berlangsung lama tetapi terjadi hanya pada kalangan tertentu saja,
untuk menyensor jumlah dan distribusi citra-citra yang membuat kebas
masing. Jika komposit pengetahuan itu terpadu secara sangat koheren,
kenyataan yang rumit. Sementara itu, industri citra menangguk untung
dipulung Sontag dan diangkat sedemikian rupa sehingga tampak menjadi
manusia. Pembatasan jumlah dan pengedaran citra fotografis yang diniatkan
maka hadirlah sebuah dunia, sebuah buana bentukan baru yang lebih tinggi
dengan mereproduksi citra yang menawarkan kenyataan yang tampak dekat
bukti dari semacam hukum universal fotografi. Hal-hal yang temporer, yang
untuk melindungi manusia dari mudarat kamera itu dilakukan Sontag bahkan
tingkatannya dan lebih besar dari penjumlahan seluruh pengetahuan yang
dan disukai namun belum terjangkau oleh banyak manusia. Pertautan antara
merupakan bagian dari rangkaian proses yang panjang, dicopot Sontag dan
sejak dari buku OP sendiri.16
menjadi unsur-unsurnya. Sastra yang berintikan ceritra, pada gilirannya
kapitalisme citra dan “konservatisme” kognisi konsumen menggerakkan
dibekukan menjadi sesuatu yang seolah permanen. Proses belajar manusia,
manusia memanipulir kemampuan kamera untuk menggandakan sekaligus
dan tanggapannya yang tampak mentah-gagap terhadap citra foto, diomeli
Sesungguhnya solusi soal epistemologis dan etis fotografi sudah ada pada
bukan saja menandaskan kekuatan dan pencapaian sastra tersebut;
“mempercantik manusia dan dunia menurut selera (banal) masing-masing”,
Sontag dan kadang ditangani seakan sindrom dari sebuah patologi sosial
Sontag, dan menampakkan diri lebih tegas pada apa yang dikerjakan
citra-citra itu juga akan mempermudah otak menampung sastra itu dan
sehingga “the vast maw of modernity has chewed up reality and spat the
menular yang berbahaya. Sekian peristiwa persinggungan manusia dengan
Sontag, bukan pada apa yang dipikirkannya tentang fotografi. Dengan
memuluskan transmisi kebudayaan dari generasi ke generasi. Di halaman
whole mess out as images”.14 Kamera menjadi black-hole yang menetaskan
kamera dan lembaran foto yang diperkarakan Sontag, sungguh bisa—dan
kalimat lain, solusi itu sebagian telah dibentangkan Sontag bukan pada
akhir RPO, yang ditulis hampir tiga dekade setelah OP, Sontag—yang
kosmos yang lebih buruk, kosmos yang menjadi parasit besar bagi kosmos
telah—menjadi bahan yang baik bagi puisi dan prosa yang menyentuh.15
apa yang dinyatakannya, tetapi pada apa yang dilakukannya. Pemecahan
mencoba memasukkan waktu ke dalam rangkaian citra dengan menggarap
problem epistemologis sekaligus etis fotografi bukanlah menjatah jumlah
novel, cerpen, drama dan film—akhirnya menandaskan betapa ceritra bisa lebih ampuh dari citra.
inang penghasil kamera. Seluruh persoalan yang ditimpakan pada fotografi
dapat diringkas menjadi sejumlah citra. Citra yang dihablurkan dari sastra,
memang berakar pada fakta bahwa fotografi adalah metaseni, adalah
Polymath (serbabisa) Inggris Jonathan Miller pernah menyebut Susan
citra yang dikonsumsi manusia, bukan juga meninting jenis citra yang akan
teknologi, yang terkait langsung dengan manusia, dan manusia adalah
Sontag sebagai “probably the most intelligent woman in America”, namun
beredar. Unsur terpenting untuk membuat terang citra-citra itu tak lain adalah
nama lain dari problem. Manusia, betapapun, adalah “penyimpangan” di
pembacaan atas tulisan-tulisan Sontag, setidaknya tulisannya tentang
waktu, yakni waktu yang sudah dijinakkan. Darmabakti Batara Kala hadir
Tapi kata, dan ceritra, tak dengan sendirinya memecahkan soal etis dan
alam semesta, persambungan dari hidup arkaik yang berawal dari sel-sel
fotografi, menunjukkan bahwa Sontag adalah pandai kata yang piawai
dalam dua bentuk yang saling kait. Pertama, waktu menjadi ruang. Selain
epistemologis.
sederhana yang bertungkus lumus melanjutkan hidup dengan segala cara
menata epigram yang sekilas tampak rancung berkilau, tapi kadang
bisa menjadi semacam ragi yang membuat citra-citra yang tak bermutu
terletak pada ceritra. Sebagaimana citra dapat membawa problem etis-
di tengah lingkungan yang bukan firdaus.
rapuh dari segi isi. Sontag mungkin pengamat yang peka, dengan erudisi
berubah menjadi karya seni, waktu juga dapat menjadi ruang lapang hening
epistemologi, ceritra pun dapat menyesatkan pikiran dan tindakan manusia.
yang memang luas, namun jelas bukan analis yang sungguh tajam. Esei-
yang memungkinkan proses algoritme kognisi manusia bekerja penuh dan
Ditata oleh perangkat kognitif yang belum berkembang optimal, dikepung
Hal kedua, yang masih berkaitan dengan hal pertama adalah bahwa Sontag
eseinya adalah Taman Jalan Setapak Bercecabang yang kadang rapat
tumbuh mengembangkan diri hingga piawai mengolah citra-citra fotografis
oleh lingkungan yang tak sepenuhnya tembus pandang, ceritra-ceritra
sendiri juga secara niscaya terkena oleh hukum universal proses kognitif
dihiasi mekarsari logical fallacy, surga gemilang bagi para pencari spesimen
yang datang tanpa henti dan semula menampik mengisahkan diri.
besar yang dihasilkan oleh perangkat kognitif itu juga dapat menjelma jadi
tahap awal itu. Ia pun bisa berpikir secara fotografis yang menangkap
berona cemerlang psikologi pemikiran, dan labirin bayang-bayang buram
peristiwa secara terpenggal-penggal; kalimat-kalimatnya yang aforistis,
bagi pencari spesimen kukuh epistemologi pemecahan masalah. Psikologi
Ketika waktu menjadi ruang, dan gerak hadir lebih aktif berlapis, waktu
ideologi, adalah kekuatan yang dapat mengipas api dan menggiring manusia
pikiran-pikirannya atas kamera dan citra fotografis,
pemikiran Sontag memang menonjol membuatnya unggul mengindra
sekaligus menitis jadi arus yang akan merangkai dan menghidupkan citra-
saling tumpas. Sebuah bangsa, sekumpulan ummat, tentu saja tak akan
teknik
berbagai matra dari selaur masalah. Kadang psikologi dan kepekaannya
citra. Menghidupkan citra adalah menghembuskan waktu ke dalam citra-
langsung menumpas sesama manusia hanya karena mendengar ceritra. Di
penyusunan kata yang memang brilian. Buku OP yang memenangi National
bekerja “begitu kuat” sehingga ia sanggup membentangkan sederet masalah
citra tersebut, memberi kualitas temporal pada citra-citra itu, yang kemudian
tengah tumpukan problem ekonomi politik yang tak dapat diatasi, sebuah
Book Critics Circle Award for criticism in 1978, banyak didandani oleh
yang sebenarnya bukan masalah—setidaknya bukan masalah besar seperti
menjelma menjadi rangkaian ceritra. Citra-citra yang ditata menjadi ceritra
ceritra besar dapat menjadi angin yang meniup bara di tengah tumpukan
kasus-kasus khusus yang disajikan seakan fenomena umum yang berwatak
yang dimasygulkan Sontag. Menghadapi problem epistemologis dan
akan menghamparkan pengetahuan yang dapat membimbing tindakan
itu dan menstrukturkan kekerasan yang berkobar. Alangkah banyak ceritra-
snapthought
yang
diabadikan
dan
adalah snapshot—
disebarluaskan
dengan
Bahkan bisa dikatakan bahwa sebagian soal manusia
problem besar. Ceritra-ceritra agung manusia, dalam bentuk agama dan
19
18 anthology of image, photography seems to give an easy way to deal with
are snapshots—snapthoughts—that are immortalised and dispersed
seekers of sturdy specimen of problem-solving epistemology. Sontag’s
In fact, the real solution for the epistemological and ethical problems
the world and its complexity.
with brilliant words processing craft.
psychological thinking was so notable it gives her a sensitivity to perceive
of photography interestingly has been residing in Sontag herself, and
various dimensions of problem. At times her sensitivity worked “so
makes itself heard stronger in what she did not in what she said.
Due to their treatment to photograph as merely a piece of reality,
On Photography which won National Book Critics’ Circle Award for
strong” that she was capable of unfolding a train of problems that are
scientific community and image industry have been turning themselves
criticism in 1977 and was selected among the top 20 books of 1977 by
actually not problems at all—at least not as a big problem as Sontag was
The most important element to illuminate the image painted by light is
into the group that benefits the most from photography. Scientists
the editors of the New Times Book Review is richly decorated with unique
worrying about. Dealing with the epistemological and ethical problems
time, the domesticated time. The obedient service of the god of time
use photograph to test and develop their knowledge. Photography
cases presented as if they are common phenomenon fundamental in
of photography, Sontag offered a kind of prescription that might seem
manifests in two interconnected forms. The first form is when time
becomes vehicle to make our scientific understanding on complicated
nature. Apparently Sontag did not really care to emphasize the area and
radiant in its form, but rather dull in its content. In the last part of On
becomes space. Besides serving as a kind of yeast that turns ordinary
realities more reliable. Meanwhile, image industry takes advantage
the limits of her judgement. Some ubiquitous symptoms but appeared
Photography, Sontag proposed what she called Ecology of Image: an
images into art pieces, time can also be relaxed and becomes a calm
by reproducing images that offers pseudo-reality, a desired one, that
only in short time, or symptoms that probably will last longer but occur
effort to censor the production and distribution of photographic images
roomy space enabling human cognitive algorithm to work optimally and
seemingly close yet unreachable by common people. The interaction
only in certain circles, were picked by Sontag and treated as if they are
that make people go numb.
develops itself to a point where it can skilfully process the deluging and
between image capitalism and consumer conservatism leads many
the representation of some universal law of photography and humanity.
people to manipulate the power of the camera to multiply and “beautify
Temporary things, which are part of a long process, were cut out by
Sontag has consistently limited the number and distribution of
people and the world according to one’s taste,” so much that “the vast
Sontag and were frozen as if they are permanent in nature and will never
photographic image ever since the publication of On Photography itself.
When time becomes space-like, and human cognitive work becomes
maw of modernity has chewed up reality and spat the whole mess out
change. Human learning process, and his immature response toward
For the Penguin Book edition, a photographed image of human family that
more active in many levels, then time also becomes a stream animating
as images” (Regarding the Pain of Others, p. 109). The camera has been
photographed images, were denounced by Sontag and occasionally
was produced around 1850 by an unnamed American photographer still
those images. To enliven an image is to blow time and giving a temporal
becoming black hole that out of it spawns uglier world which turns itself
treated as if it is a syndrome of dangerously contagious social pathology.
decorates the front cover of On Photography. It is the only photograph in
quality into it and to other images, which then all set to be composed
into huge parasite taking prey on the parent world that produces the
Meanwhile, there are many events of human contiguity with camera that
a book that talks at length about photography. In the Picador edition, the
into a story. Images that are animated and composed into stories will
camera. Any grieving problem ascribed to photography has its root in the
Sontag questioned, really can be—and has been becoming—good
photograph of human is completely removed, replaced by a photograph
unfold a kind of knowledge that can guide human action and solidarity.
fact that photography is a meta-art, a technology, which directly related
materials for touching poem and prose.
of a fallen dead trunk (design by Helfand/Drenttel Studio), and a tiny
Nurtured by language intelligence, the stories composed out of animated
portrait of Sontag herself taken by Annie Leibovitz on the back cover.
images will become a literature to enliven not just one but a couple of
to human, and human is the other name for problem, its personification.
numbing photographic images.
Mankind, however, is an “error” in the universe, a continuation of archaic
British polymath Jonathan Miller once called Susan Sontag “probably the
Regarding the Pain of Others does not contain any photographic image
knowledge able to mutually emphasising their respective strength and
life-form which began from simple cells struggling against great odds to
most intelligent woman in America,” but the readings of Sontag’s writing,
at all; its front cover only bears a reproduction of Plate 36 of War Disaster
limit. If this knowledge composite is so coherently integrated, then a
survive by all means amidst the infernal environment that sure was not
at least her pieces on photography, reveals that Sontag was a skilful
by Francisco de Goya.
make up universe may exist, a more celebrated cosmos greater than the
a paradise.
wordsmith arranging epigrams that might be brightly shine at a glance,
sum of all knowledge within.
but sometimes fragile in substance. Sontag might be a sensitive observer,
Brought forth by a writer who was famous for, among others, defending
It is totally understandable then if Susan Sontag herself is inevitably
with undoubtedly wide erudition, but obviously was not a razor-sharp
the freedom of expression, Ecology of Image is certainly a kind of
A great literary work, with story in its core, in turn can be crystallized into
subjected to the law of the early stage of cognitive process. She too has
analyst. Her essays are a garden of forking path sporadically stuffed with
treason. The solution for the epistemological and ethical problems
some images, or imageries. Imageries that had been crystallised out of
committed a photographic thinking that seizes event in fragments; her
potpourris of logical fallacies, a shining heaven for the collector of colourful
of photography is surely neither to allot the number of images that
a literature do not only emphasise the power of the text; those imageries
aphoristic sentences, her thoughts on camera and photographic images
specimens of psychological reasoning, and a deceptive labyrinth for the
people can consume, nor to select what images are to be distributed.
also assist human brain to grasp the complex literature and smoothen
ceritra besar yang dulunya mungkin cukup ampuh untuk menjadi kerangka
ganjil yang tak dapat diprosesnya. Menghadapi kepungan perangkat
spektrum emosi yang bergelimang warna, dan condong bertahan di ranah
mengangkang dengan hukum besi yang tak tertawar. Cellular otomata
rujukan yang membimbing manusia memahami kenyataan dan menyalakan
lunak besar tertutup seperti ini, orang bisa dengan gampang menampik
di mana warna-warna yang paling kelam berkibar merajalela. Jika kekuatan
itu mematuhi hukum besi dunia, hanya untuk kemudian mengubah dan
tindakan mereka, kini sudah tak lagi memadai. Upaya untuk terus bertahan
kehadiran grand narratives dan ngotot memperjuangkan perlawanan
utama ranah karya yang pertama adalah inteligensi, maka tenaga istimewa
melampauinya. Karena sifat dasar inilah, bentuk, yang selalu dicerap sebagai
menggunakan ceritra-ceritra besar itu, selain tak banyak membantu, juga
terhadap tafsir, lalu dengan sikap fundamentalistik bersikukuh bahwa karya
gugus karya yang kedua adalah solidaritas. Karya yang mengunggulkan
citra, tampak dapat menembus batas ruang dan waktu manusia, menyebar
bisa merusak.
adalah bentuknya. Tak lebih dan tak kurang.
inteligensi memang cenderung bergerak sentrifugal sementara yang
melintasi jurang-jurang geografis dan linguistik, meneruskan diri dari jaman
mengutamakan solidaritas akan bergerak sentripetal. Jika yang pertama
ke jaman. Bentuk-bentuk itu sesungguhnya tak menembus batas, mereka
Sejak awal karier intelektualnya, Sontag sudah mengangkat problem yang
Tentu saja ada karya yang sepintas tak mengandung “isi”. Karya yang
tampak sangat asyik dalam pergulatan dengan bentuk yang terus menjauh
hanya mengunjungi diri mereka sendiri, yakni hidup bertarung melampaui
diakibatkan oleh ceritra-ceritra besar itu. Problem itu disajikan Sontag
tak bertumpu pada analogon kenyataan di dunia ini, karya yang tumbuh
dari kenyataan manusia, yang kedua tampak sangat resah dalam pergulatan
dunia dan dirinya sendiri, yang mendekam di ruang dan waktu yang lain.
dalam esei yang ikut melambungkan namanya: Against Interpretation.
hanya dari murni pemikiran, seperti seni rupa abstrak, musik atonal dan
merekatkan ikatan antarmanusia yang terburai dengan jalan mengubah
Bentuk memang tak mengenal pusat dan pinggiran, mereka hanya tahu
Bagi Sontag, interpretasi harus dilawan, karena interpretasi adalah balas
terutama matematika murni yang luar biasa kaya karena selalu terpentang
nasib manusia, setidaknya membongkar dominasi warna dunia.
yang tunas dan yang rimbun. Tunas adalah potensi yang mendekam, dan
dendam nalar pada seni, bahkan balas dendam nalar pada dunia. Di bagian
untuk dihantam dan dilampaui itu, adalah jenis karya yang tak mengandung
lain esei itu, Sontag mengakui bahwa interpretasi yang dia maksud tidaklah
isi yang dapat dipisahkan dari bentuknya. Karya-karya seperti ini memang
Pembagian dua kutub karya ini tentu saja adalah penyederhanaan. Sebuah
Diolah oleh nalar yang gemilang, bentuk dapat tumbuh menjadi visi. Dunia
sebombastis yang dirumuskannya. Interpretasi yang hendak dilawannya itu
harus didekati melulu pada permukaannya saja dan upaya untuk menggali
karya bisa sekaligus punya bentuk dan isi, sekaligus bergulat dengan
mungkin terlalu besar dan terlalu rumit untuk ditampung oleh ingatan seorang
tak lain hanyalah pemaksaan ceritra-ceritra tua, dalam hal ini teori seni yang
isi di baliknya akan mirip dengan kerja keras menggali senja. Karya-karya ini
inteligensi dan solidaritas. Meski dibangun murni dari inteligensi, karya-
manusia, namun dengan visi yang benar-benar hebat, dunia bisa menyusut
didasarkan pada Psikoanalisa dan Marxisme, untuk menilai kenyataan-
tentu punya tempat mulianya sendiri; selain memberi ruang bagi permainan
karya yang tak bertumpu dan tak tertarik pada kenyataan dunia, akhirnya
menjadi terlalu kecil dan terlalu sederhana buat imajinasinya.
kenyataan baru yang menampakkan diri pada karya-karya artistik mutakhir.
kognitif yang sangat intelektual, karya-karya semacam ini, setidaknya karya
akan berjumpa (saling betot dan saling uji) dengan kenyataan dunia yang
Tentu saja bukan tindak interpretasi itu sendiri yang jadi soal; tindak tafsir
spekulasi matematis, juga menyimpan kunci pemahaman atas alam semesta
tak dipedulikannya; dan hanya karya yang benar-benar teruji yang sanggup
Sastra terbentang luas di sepanjang spektrum tadi karena unsur dasar
adalah hal yang sangat alami bagi manusia. Yang jadi soal adalah tak
seisinya. Makin banyak hal yang menunjukkan bahwa bentuk-bentuk khayal
bertahan hidup. Meski berharga karena solidaritas yang diajukannya,
sastra adalah kata, yang sekaligus mengandung bunyi dan makna. Unsur
memadainya ceritra-ceritra tua yang dikenal manusia untuk dipakai menafsir
apa pun yang logis secara matematis akan mungkin juga terjadi secara fisis.
karya yang bertumpu pada kenyataan dunia juga mengharuskan hadirnya
bunyi yang juga menjadi bahan dasar musik, membuat (suku) kata seperti
citra—kadaluwarsanya perangkat lunak besar yang bernama agama dan
Yang paling merangsang dari pergulatan atas bentuk-bentuk matematis
topangan inteligensi; dan bentuk yang tepat sungguh sanggup menduniakan
bata dalam membangun kota: bahan dasar menyusun struktur dan menata
ideologi untuk mengolah informasi baru.
ini adalah kemungkinan penyingkapan struktur alam semesta kendati
isi: membuatnya jadi sebuah dunia sendiri, sekaligus membantu menembus
bentuk yang kompleks. Bunyi, dan kemudian juga aksara, adalah unsur
pembuktian fisis belum juga memungkinkan, dan itu bagaikan mengalami
batas menyebar ke seluruh dunia.
indrawi dari kata, namun ketika sepatah kata dilahirkan, maknanyalah yang
Perangkat lunak besar atau grand narratives selalu mencari, menggali, isi
rekahan fajar ketika seluruh daratan dan cakrawala masih terkubur dalam
informasi yang sesuai dengan dirinya sambil terus mengabaikan informasi
palung malam.
yang tak dapat diprosesnya. Semakin banyak informasi yang tak dapat ia
menjadi rimbun karena unsur-unsur sosio-historis dan terobosan para jenius.
secara intuitif mula-mula menggerakkan manusia. Makna yang berkembang Bentuk-bentuk kreatif selalu berasal dari bentuk-bentuk dasar yang universal,
secara gemilang niscaya akan merangsang rentetan tindakan manusia yang
bentuk primordial yang agaknya berkerabat dekat dengan apa yang dikenal
juga cemerlang, dan dunia pun dengan bergairah bergerak meniru sastra.
olah, semakin tidak stabil sebuah sistem. Sistem yang terbuka memiliki
Jika karya yang tak bertumpu pada analogon kenyataan cenderung
sebagai cellular otomata dalam Teori Komputabilitas, Matematika dan Biologi
Makna yang tertata dalam waktu adalah perangkat paling bagus untuk
kemampuan untuk belajar mencerna informasi-informasi baru sambil berubah
membubung dan mendorong batas langit tertinggi imajinasi, serta tampak
Teoretis.17 Bentuk-bentuk ini adalah perlawanan yang berhingga atas yang
“menggerakkan” hal-hal dalam waktu. Menyebut suatu benda atau suatu
mengembangkan diri. Sistem yang tertutup, yang tak ingin mengubah diri
seakan melepaskan diri dari segala warna yang dikenal manusia; maka
tercerap sebagai tak berhingga, pergulatan menghimpun keanekaragaman
kerja berarti menghadirkannya dari masa yang bukan hanya sekarang.
namun ngotot mempertahankan kelangsungan hidupnya, hanya punya satu
karya yang bertumpu pada analogon kenyataan cenderung terpancang di
dan kekayaan informasi sebesar mungkin dengan ruang dan materi yang
Selain ikut dalam permainan bentuk, makna selalu membuat kata menunjuk
pilihan: menyingkirkan dan bahkan menghancurkan informasi-informasi
dunia menyuruki ngarai terdalam pengalaman manusia, menapaki seluruh
seringkas mungkin; pertarungan forsa hidup menghadapi dunia yang tegak
pada kenyataan yang ada di dunia, baik kenyataan yang sudah ada sebelum
21
20 the knowledge transformation and transmission from one generation to
“interpretation is the revenge of intellect upon art; in fact it is the revenge
music and, particularly, pure mathematics that is so abundantly rich
The aforementioned category of creative works into two poles is obviously
the next, from one continent to another. In the last page of Regarding
of intellect upon the world.” On the other part of Against Interpretation,
because it’s always opens itself to contention — they are works without
a simplification. A work may have form and content at the same time,
the Pain of Others, written almost three decades after On Photography,
she admits that the interpretation she meant is not as bombastic as
any content separable from its form. Such works must be approached
dealing simultaneously with intelligence and solidarity. Although some
Sontag—who have tried to blow time into a series of imageries by
she formulates. Interpretation she wants to fight is the imposition of old
solely on their surfaces, and any effort to dig out any content behind the
works are constructed purely out of intellect preoccupation with itself,
working on novel, short-story, drama, and film—eventually emphasises
narratives, in this case the art theories based on Psychoanalysis and
surface will resemble an obtuse occupation to dig out twilight. Those
the works that do not care nor show any interest in the world reality will
that words, a narrative, can be more powerful than image.
Marxism, to judge new realities that manifest in recent artistic works. It
work pieces surely have their own honourable places; besides of giving
finally encounter (through a mutual pull and test) with the world they
is undoubtedly not the interpretative action itself that creates the very
space for cognitive game that is extremely intellectual, such works, at
ignore; and only the strong and examined works will survive. Although
But narrative alone can not solve the ethical and epistemological
problem; interpretative action is natural for human being. The problem
least the mathematical speculation, also forge the key to understand
they are valuable due to the solidarity they’re proposing, any works that
problems. In fact, it is safe to say that most of human problems in history
lies in the defectiveness and deficiency of old stories known to most
universe and everything within. There is an increasing number of
rely on world reality are in great need of intelligence support; and the
are stemming out of narrative. Just as images can produce ethico-
people to be used as a super instrument for interpreting images — the
proofs showing that any imaginary structure exist mathematically can
thoughtful forms they employ are capable of embodying the content,
epistemological problems, story too may mislead human thinking and
obsoleteness of old grand software so-called religion and ideology to
be materialised physically. Max Tegmark of MIT goes even further: all
making it a distinct world, a world of its own, and at the same time giving
action. Invented by cognitive device that was not optimally developed
process new sensibility.
structures that exist mathematically exist also physically, meaning that
power to trespass boundaries to spread over the world.
yet, surrounded by environment that was not fully transparent yet, those
we might decipher the structure of the physical universe by working out
grand stories can turn themselves into great problems. Human grand
Every grand software or grand narratives always search for, and dig
narratives, in the form of religion and ideology, are forces that can set up
out, information content that suitable to it and at the same time rule
fire and lead mankind to annihilate one another. A nation, a community, of
out and omit any information it cannot process. The more accumulating
The works that do not rely on analogon of reality are likely to soar up and
otomata in computability theory, mathematics and theoretical biology.
course will not annihilate its fellow simply because it consumes stories.
information it cannot process, the more unstable a system will be. An
push further the highest limit of sky imagination, detaching themselves
These forms are the responses of “the limited” to what is perceived
Amidst the bulk of insurmountable material problems, a grand narrative
open system has the capability to learn to make out new information
from all colours of humanly emotion and sentiment. Meanwhile, the
as “the unlimited,” the struggle to collect diverse and rich information
may become a blowing wind for the heated ember hidden under the
while performing a change to develop itself. A closed system that
works that are based on analogon of reality, on human and world affair,
as maximum as possible within space using matter as minimum
material bulk which could develop in time into a raging violence. There
heroically fights not to change itself while desperately tries to prolong
tend to take root on earth and creep on the deepest basin of human
as possible; the battle of life force against the physical universe that
were a pile of grand narratives that to some extent in the past had
its live has one option only in its store: to ignore and even destroy any
experience, exploring all colours within the spectrum of human emotion,
stands with its unmerciful iron law. This cellular otomata obey the
effectively served as references for mankind to understand realities and
alien information it cannot understand. Facing the omnipresent of the
and incline to withhold in the realm where the darkest colour is reigning
universe iron law, only to surpass and take advantage from it. Given
animate their action. But now, such narratives are insufficient. Any effort
obsolete-closed software as such, one can easily dissent the presence
over. If the primary strength of the first group of works is intelligence, the
this basic nature, forms, which always perceived as image or imagery,
to uncritically defend and revive those grand narratives un-upgraded
of grand narratives and adamantly launch a war against interpretation,
special power of the second is solidarity. Works that champion intelligent
are capable of breaking through any human-made boundaries in space
tends to be useless, even dangerous.
and subsequently with a sort of fundamentalist stance insist that an art
tend to move centrifugally while those that venerate solidarity will move
and time, spread out across geographic and linguistic barrier, and keep
work is nothing but its form. No more, no less.
centripetally. While the former seems preoccupy with forms that steadily
themselves disseminating from one epoch to another.
Ever since the onset of her intellectual career Sontag has dealt with
a mathematical structure.
Creative forms always come from universal basic forms, the primordial forms that might have something to do with the so-called cellular
move away from humane-mundane reality, the second seems so
a set of problems the grand narratives produce. She presented those
Of course there are works that do not have any “content” at first glance.
concerned in its struggle to cement the broken human relations and to
In fact, these forms do not break through any boundary; they only visit
problems in two essays that launched her name: Against Interpretation
Work pieces that do not rely completely on analogon of reality and
change human destiny, at least to dismantle the domination of the dark
themselves, that is to say, the great life force that assumes other faces,
and Notes on Camp. For Sontag, interpretation must be opposed since
purely grow out of mental preoccupation like abstract painting, atonal
colour over the world.
takes other forms, and resides in other space and other time. Forms,
bahasa—world is ancient, word is recent—tapi yang kehadirannya kian
tulang punggung pikiran-pikiran Sontag. Bahkan esei-esei awal dia yang
nanodetik, pada sel kosmis yang mengandung segenap informasi semesta
benar ikut memperbaiki dunia, dengan terus-menerus mengingatkan
disadari dalam bahasa, maupun kenyataan yang kemunculannya hanya
sontak melambungkan nama Sontag, esei-esei yang suntuk menggugat
yang tersemat dalam serpihan peristiwa. Kaum ini mungkin terlibat oleh
kemampuan manusia bertindak brutal, sambil tanpa henti mempererat
dimungkinkan oleh perkembangan bahasa. Bahasa dan kebudayaan
interpretasi sembari memuliakan style, adalah teks yang ditenun oleh
bentuk-bentuk geometris di luka yang menganga atau lengkung kurva
jalinan solidaritas. Solidaritas memang akan menjadi kokoh jika ditopang
manusia memang gejala yang sangat baru, walau benar-benar revolusioner,
solidaritas: pembelaan terhadap sensibilitas yang terabaikan. Solidaritas
pada tubuh cacat ringsek yang mengerut menahan lindasan kanker dan
oleh pengetahuan, dan pengetahuan yang andal menuntut tafsir yang
dalam evolusi makhluk hidup di Bumi.
itu pula yang berpengaruh kuat dalam penyusunan naskah-naskah terbaik
kekejian politik; terbantun oleh jejak yang transenden pada tubuh-tubuh
tepat. Dan tafsir yang tepat, pengolahan informasi yang unggul, selain
dia yang memang sungguh memikat, hangat dan berpendar, yakni esei-
yang pasrah dikerat keroyokan belati. Kegilaan jenis ini bisa jadi datang dari
membutuhkan prosesor yang baik, juga memerlukan perangkat lunak yang
Karena jelas mengandung analogon kenyataan, fotografi, khususnya yang
esei yang ditata untuk mengenang dan menimbang para penulis pemberi
para pembunuh berantai; dari psike kanak-kanak apkir yang bersarang di
selalu terbuka untuk memutakhirkan diri.
merekam penderitaan ummat manusia, menjadi yang paling kuat tertarik
ilham—Walter Benjamin, Elias Canetti, Albert Camus, Roland Barthes.
tubuh dewasa yang tak cukup dengan hanya dirangket. Tapi kegilaan jenis
oleh gravitasi dunia manusia. Bagi sensibilitas penyembah bentuk, isi dunia
Solidaritas pada Sontag begitu besar, sehingga ia bisa menangguhkan
ini juga menjadi fajar dari seni seperti yang dikiaskan oleh legenda Wang
Kecepatan rerata kerja otak manusia mungkin memang belum bisa
dalam fotografi bisa membawa soal. Isi tentang penderitaan dan kebuasan
tuntutan inteligensi, yakni inteligensi pembangun sistem yang serentak
Fo, pelukis lemah yang konon sanggup menciptakan kenyataan baru di
dilontarkan; benak manusia belum perlu dibuka lalu diperindah dengan
manusia, bisa sangat mengganggu kenikmatan mencerna bentuk-bentuk
mencintai bentuk dan menghormati struktur logika yang kokoh. Preferensi
kanvasnya.20 Inteligensi semacam ini pun meretas jalan ilmu seperti yang
berbagai mikroprosesor tambahan, sel tubuhnya belum harus dipercantik
imajinatif dengan berbagai mutasi dan transformasinya. Sensibilitas timpang
atas solidaritas yang mendahului inteligensi ini condong terjadi dalam situasi
disajikan oleh Andreas Vesalius, yang dengan sabar dan cermat membedah
dengan untaian gen penambah jumlah sel—sekaligus penghasil molekul
yang hanya mentok memuja bentuk-bentuk yang tampak di permukaan,
yang sangat menekan, dan merupakan akibat dari hukum dasar kehidupan.
serinci mungkin mayat manusia, lalu dengan khidmat menggambar apa
pemicu kerja—neuron. Tapi setidaknya prosesor biologis itu bisa dibantu
akan cenderung mengosongkan isi, dan mereka punya tendensi kuat
Solidaritas memang berkait rapat dengan dorongan untuk mempertahankan
yang tertangkap retina matanya. Hasilnya adalah kitab penting yang
dengan khazanah memori yang lebih baik, termasuk memori visual yang
terjerat menakhlikkan karya yang apolitis, disenganged. Pengosongan
hidup bersama hari ini, dan inteligensi tak lain dari temuan mutakhir
menegakkan ilmu anatomi modern: De Humani Corporis Fabrica (Tentang
berhutang banyak pada fotografi. Sembari memperlebar basis pengambilan
isi pada sastra memungkinkan sastra lepas dari timbangan kekuatan
kehidupan yang diperoleh dengan susah payah untuk membantu pergulatan
Tata Kerja Tubuh Manusia).
keputusan, penalaran moral dan pengarahan etis solidaritas manusia
isi, dari takaran struktur dan morfologi gagasan—pengosongan yang
mengawal kelangsungan hidup di masa depan. Takkan ada masa depan
sekaligus juga membebaskan sastrawan dengan naif memulung rongsokan
tanpa kelangsungan hidup hari ini memang, kendati kelangsungan hidup
Selain kepiawaian menata kata yang menyesap perhatian, yang
kemungkinan luas membebaskan dunia dari iliterasi citra, membebaskan
epistemik.18 Pengosongan isi pada fotografi dapat membebaskan si
hari ini akan semakin lebih baik jika ada wawasan kokoh yang cendekia atas
mengesankan dari Sontag adalah bahwa ia bisa mencalang pendapatnya
sejarah dari watak buruknya untuk selalu mengulang dirinya sendiri—
penatap dari runjaman etis sembari memanjakan diri dengan bentuk-bentuk
masa depan.
yang lama, bertengkar dengan pendapat-pendapat itu dan tak gentar
mengulang
mengakui sekian kesalahan yang dibuatnya. Meski kelak dikenang
Akumulasi khazanah memori—dan abstraksi—visual dalam lumbung citra
yang mungkin saja sangat membius. Tapi justeru rasa nikmat atas bentuk
yang lebih cendekia, penambahan memori itu ikut membentangkan
kesalahan lama sambil giat membiakkan kesalahan baru.
yang disesap dari citra yang merekam penderitaan manusia inilah yang
Ada memang orang yang punya kegilaan tertentu yang menyeret mereka
bukan karena kekokohan dan koherensi argumennya, tapi kelihaian dan
ummat manusia, berjalan bareng dengan pengembangan perangkat lunak
diperkarakan Sontag panjang lebar. Sontag jelaslah bagian dari mereka
melupakan diri lebur di tengah massa, mengorganisir kaum terinjak dan
keberanian Sontag dalam menggelorakan sejumlah pendapat memang
yang lebih bagus, yang tuntas “mengoreksi” metanaratif tua yang telah
para penjunjung karya yang selain menghormati intelek yang gemar bentuk,
menyuarakan gema yang tersangkut di tenggorokan rakyat. Mereka ini
menawan; begitu menawan sehingga pendapat-pendapatnya masih
mengalami pengapuran dan terpecah belah oleh gempuran kenyataan-
juga mengukuhkan solidaritas yang menuntut tindakan etis-politis untuk ikut
mungkin melihat jelas betapa perang dan penindasan sungguh merobohkan
didekap kukuh oleh sejumlah pemeluk teguh bahkan ketika Sontag
kenyataan baru. Makhluk-makhluk kognitif lawas ini bertanggungjawab
menata ulang mayapada. Meski tak selalu bisa ia wujudkan, karya seperti
kode normal perilaku beradab manusia,19 dan dari sana berupaya
sendiri sudah meninggalkannya. Di esei terakhir yang ditulis menjelang
melanggengkan “paradoks epistemologi dunia” berupa kandasnya
inilah yang diidam-idamkan Sontag.
membangun solidaritas dan menyalakan api yang membangkitkan harga
kematiannya, esei yang menyorot foto-foto di penjara Abu Ghraib dan
pertumbuhan kemampuan manusia meretas berbagai masalah yang
diri kaum jelata. Tapi ada juga kalangan dengan kegilaan yang lain: kegilaan
penyiksaan telengas yang ditimpakan ke sesama manusia, Sontag akhirnya
terus melimpah di saat ilmu pengetahuan justeru melambung tumbuh
Dalam hal Sontag, aspek solidaritas ini memang bisa, bahkan kerap
inteligensi yang lebih terpukau pada citra kenyataan ketimbang kenyataan
menyambut, dengan nada yang melambung, produksi dan distribusi citra
secara eksponensial. Ceritra-ceritra yang diturunkan mentah-mentah dari
lebih kuat, dari aspek intelektualnya. Solidaritas itulah sesungguhnya
itu sendiri; kegilaan yang mabuk pada tilas kekekalan dalam lintasan
yang mengalir tanpa henti.21 Ia pun akhirnya percaya fotografi bisa benar-
metanaratif renta, yang kemudian dipakai untuk merangkai luapan citra
23
22 however, know neither centre nor periphery; they only know which one
ancient, word is recent—yet whose existence is increasingly perceived
launched her name, the pieces that passionately unleash a confrontation
torsos shrinking to endure cancer or political brutality; deprived by
is still in seed and which one is already densely leafed. We all know that
more real within language. Words surely also able to, even mainly, refer
against interpretation while glorifying the style, are the texts weaved by
the transcendent traces on human bodies that lay helpless under the
seed is a lay still potency, and it will grow robust and thick because of
a reality whose emergence depends solely on language development
solidarity: an advocacy for the ill-treated and overlooked sensibility. This
endless dagger cuts. However, it is fair to say that this kind of insanity
socio-historical soil and geniuses’ breakthrough. Carved out by brilliant
because it is produced by language. Language and human culture are
solidarity factor clearly played a leading role in the making of her best
could also be the dawn of arts as allegorised in the legend of Wang Fo,
intellect, image and form may develop into and become an imagination,
entirely new phenomenon, though revolutionary indeed, in the long
pieces: the essays that were composed to commemorate and valuate
the old and feeble painter who preferred the images of thing, not the
a vision. Maybe this universe is too complicated and too big to be
evolution of intelligent being.
the inspiring writers—Walter Benjamin, Elias Canetti, Albert Camus,
thing itself—a preference that made him able to create a new world on his
Roland Barthes. In Sontag’s work, solidarity seems so prominent that
canvas. Intelligence of this kind also paves the way for science progress
contained by mankind memory, but with extremely excellent vision this universe may be crystallized into some basic imageries and forms, and
Due to its nature as an analogon of reality, photographic image that
she could postpone the intelligence’s demand which simultaneously
as exhibited by Andreas Vesalius, who patiently and carefully performed
hence the universe might become too simple and too small for that
records human agony becomes the most subjected object to the
fond of form and honour the sturdy logic structure. The preference for
anatomical surgery on corpses, and then solemnly painted as detailed
mankind imagination.
gravitational force of human affair. For the sensibility that exclusively
solidarity over intelligence tends to occur in a pressing situation, and
as possible what his retinas caught in. The result is an important book
worships forms, the content in photography might breed objections. The
it is a natural outcome of the fundamental law of life. Solidarity is in
that underpins modern anatomy science: De humani corporis fabrica libri
Literature occupies the whole range of the spectrum of intelligence and
content that relates to human agonies and brutalities will likely spoil the
fact closely related to the impulse to safeguard the present common
septem (On the fabric of the human body in seven books).
solidarity because of its basic element is word, which contains sound
pleasure of discerning the intellectually imaginative forms. A sensibility
survival, and intelligence itself is no other than biological life’s most
and meaning. Sound, which also serves as basic material for music,
that worships only the forms on the surface tends to remove the content
recent invention laboriously acquired to support the struggle of ensuring
In addition to her striking wordsmith craft, the impressive thing about
makes words and syllables resemble the bricks in city construction:
and then apotheosize the apolitical and disengaged creative works. The
the survivability in the future. Surely there will be no future without the
Sontag is her ability to re-examine her old positions, to quarrel with them
the basic material for building and arranging complicated forms and
content removal from an artistic work also enables the work to evade the
survivability of our present live, although this survivability will be much
and fearlessly admitting many of her mistakes. Although she might be
structure. Sound and, subsequently, character letter are sensuous
content merit judgement, escaping the assessment of the idea structure
better assured if there be some intelligent vision into the future.
commemorated not for the depth and coherency of her arguments, yet
elements of a word, but when a word is born out it is its meaning that at
and morphology. Content removal in photography can free a viewer
first intuitively makes human being react and make a move. A meaning
from ethical thrust while contently savouring the forms that might be
There are indeed personalities with certain insanity that let themselves
so much that her positions are still strongly held by some of her ardent
that inspires deeply will surely incite a chain of human actions that
very intoxicating. It is the enjoyment of forms consumed from the image
committing self-forgetting and inserting themselves amidst the miserable
adherents even when Sontag herself had deserted those positions.
could be no less inspiring, and so the world would passionately dance
of human miseries that Sontag incessantly fretting upon. Sontag clearly
mass, organising the oppressed and expressing the echoes suffocated
following the beat of literature. To some extent the world is indeed
favoured the creative works that show respect to the intelligence that
for long in people’s throats. They clearly can see how war and oppression
In her last essay she published prior to her death, a piece that highlights
capable of imitating literature.
fond of forms, and simultaneously corroborate solidarity that demands
have demolished what the war photographer James Nachtwey calls “the
the photographs from Abu Ghraib and the morbid tortures human being
ethico-political actions to take part in the eradication of human misery.
normal code of civilised behaviour,” and from that position they try to build
can inflict on their fellow human, Sontag eventually celebrates, with
A meaning that is well arranged within time is the best device to move
Although Sontag herself was not always able to achieve this quality in
solidarity and set on light that enlightens the commoners. However, there
soaring tone, the unceasing flow of image production and reproduction
and animate things reside within time. To mention a thing or a work is to
her work all the time, it is exactly this quality that she aspired for.
are also those with another kind of insanity: the intelligence insanity that
(Regarding the Torture of Others, New York Times, May 23, 2004.)
is more fascinated by the image of reality rather than the reality itself, the
Finally, she believes that photography really plays its part to make
present it from the time that might be rest in the past, the present, or the
her skill and courage in rising up some positions are undeniably inspiring;
future. Other than engaging in a play of form, the meaning always makes
As to Sontag’s works, the solidarity element could be, in fact often, more
insanity that is intoxicated by the trace of eternity in a nanosecond flash,
the world better by untiringly forewarning against human capacity to
a word refers to something, some reality, in the world, including that of
dominant than the intellectual one. It is the solidarity that stands as the
by the fragment of events containing a universe. These people are likely
act brutally, while uninterruptedly strengthening human solidarity
the thing that had already existed prior to the birth of language—world is
backbone of Sontag’s thoughts and actions. Even her first essays that
imbibed by geometrical forms in open wounds, or curves on deformed
across the world. Mankind solidarity will be solid if it is supported by
itulah yang ikut memasung gerak emansipasi dan mempersempit kerangka
apapun perangkat optik manusia dikembangkan, akan mungkin ada wilayah
Borges yang beranjak buta memang layak dikaji karena terobosannya
pengetahuan ilmiah yang bekerja seperti kibernetika yang meletakkan
etis solidaritas manusia.
kenyataan yang kehadirannya belum dapat dicerap. Bukan karena instrumen
melambungkan sastra ke arasy yang lebih tinggi serempak menghamparkan
di titik simpul manusia yang bertindak. Kendati pengetahuan ilmiah telah
observasi manusia tak cukup canggih, tapi karena gelombang cahaya, tilas
sebentang cakrawala baru. Terobosan itu berkelindan dengan ketajamannya
diremehkan Heidegger (dianggap tak lain dari sekedar turunan pucat
kenyataan tersebut, setelah mengembara ke segala penjuru selama sekian
melihat tembus masa depan, mendahului banyak peristiwa dan temuan
filsafat—sumber yang sudah pungkas habis), namun pengetahuan ilmiah
milyar tahun, tetap belum juga tiba di dunia. Karena galaksi-galaksi di alam
penting di simpang alaf. Tlön, Uqbar, Orbis Tertius yang terbit di Jurnal
telah bekerja secara spektakuler menyingkap sebagian rahasia autopoesis
semesta terus bergerak saling menjauh dengan kecepatan yang kian pesat,
Sur edisi Mei 1940 itu bisa dilihat sebagai ramalan penuh ejekan atas
alam semesta seisinya.22 Proses kerja ilmu yang berkembang semakin
Di bagian awal OP, Sontag menandaskan bahwa kamera punya kekuatan
maka cahaya dari wilayah tertentu semesta mungkin tak akan pernah
kebangkitan dan kekonyolan totalitarianisme, tak hanya Imperium Ketiga
istimewa itu, merombak banyak ceritra agung tua, sambil membangun
agresi, seperti pistol: keduanya bisa menembak. Kamera juga punya kekuatan
mencapai Bimasakti—dan tak akan mungkin bisa menyusul sampai, sampai
Hitler. Ceritra itu juga bisa dicerap sebagai pelukisan kecerdasan manusia
mahaceritra baru: mahaceritra alam semesta menurut alam semesta sendiri
penetrasi, seperti lingga, sehingga mereka yang dipotret bisa merasa seperti
inteligensi sanggup mengatasi dan memainkan ruang jagat raya.
dan perubahan dahsyat yang diakibatkannya pada dunia masa depan.
sebagaimana yang ia singkapkan secara bertahap pada pengetahuan
Namun magnitude kedahsyatan akal dan masa depan yang ditangkap
rasional. Penyingkapan total itu banyak dibantu oleh fotografi. Foto bukan
***
diperkosa. Kini kita bisa berkata, ketimbang sebagai lingga yang punya daya penetrasi, kamera malah lebih mirip organ reproduksi perempuan, sejenis
Di salah satu fiksi Borges terpenting dan yang telah disebut di bagian depan,
Borges, adalah magnitude yang kini tampak culun prasaja. Tapi kembang
lagi sekedar menjadi arsip yang pasif dari kenyataan yang akan hilang
black hole, dengan daya tangkar yang sanggup melumpuhkan pikiran waras
Tlon, Uqbar, Orbius Tertius, si narator yang tak menyebut namanya itu antara
juga bermula dari kuncup, dan imajinasi pasca-borgesian diam-diam
seperti yang ditandaskan Susan: foto telah berubah aktif menjadi semacam
di satu sisi, tapi juga mampu di sisi lain merangsang lahirnya pikiran-pikiran
lain berceritra, dengan nada tawar hampir masygul, tentang penyusupan
merekahkan diri: imajinasi yang menarik sejauh mungkin dialektika antara
panggilan buat penyingkapan lebih jauh kenyataan-kenyataan baru yang
segar yang cemerlang. Dengan trimurti rantai genesis citra-ceritra-sastra,
dunia fantasi ke dalam dunia nyata, tentang tergesernya pengetahuan-
pengetahuan yang fiktif dan kenyataan yang fiksius, kenyataan yang jauh
lebih menakjubkan.
dengan black hole yang disangga oleh kedua tungkai jenjang inteligensi dan
pengetahuan tradisional dan masuknya pengetahuan-pengetahuan baru di
lebih ajaib dari apa yang dibayangkan manusia tapi yang selalu membuka
solidaritas yang pangkalnya saling tangkup, citra-citra yang direproduksi itu
sekolah-sekolah yang disusun oleh kaum yang hendak menciptakan ulang
jalan bagi inteligensi untuk masuk memahami. Yang sedang kita hadapi
Hadiah Nobel adalah salah satu pranata bikinan dunia yang sejak
pada akhirnya merekahkan munculnya citra-citra baru: dunia dan manusia
kehidupan di bumi. Borges, yang oleh Sontag dibayangkan satu-satunya
adalah sesuatu yang jauh lebih dahsyat sekaligus lebih alami dari fiksi
kelahirannya di fajar abad ke-20 jelas menandaskan peran vital fotografi
“melahirkan kembali” dirinya, melampaui batas-batas yang disungkupkan
manusia—makhluk fana—yang layak menjadi khalik: menjadi tuhan dengan
Borges: sejarah yang terentang milyaran tahun yang silam mulai menyerap
dalam kerja penyingkapan mahaceritra semesta dan segala hal yang
bukan saja oleh sejarah dan kebudayaan tetapi juga oleh evolusi biologis,
kekekalan literer, itu menghayalkan betapa karya terbesar ummat manusia itu
dan mengubah sejarah yang pernah dituturkan di masa silam dan telah
berkembang di dalamnya. Alfred Nobel mewasiatkan agar hartanya dikelola
evolusi kognitif manusia.
adalah penyusunan ensiklopedia raksasa yang dengannya akan disebarkan
memecah belah dunia; suatu masa silam universal yang membongkar dan
untuk pengembangan ilmu yang memberi sumbangan terpenting bagi
kenyataan dan kehidupan baru. Ezra Bukley merendahkan dan menertawai
mengatasi masa silam etno-religius.
ummat manusia, untuk penciptaan sastra yang paling menonjol menggapai
Pelahiran
sekaligus
perluasan-rasa-diri
itu
akan
berselirat
dengan
keluguan rencana agung untuk hanya menciptakan sebuah negeri niskala,
penyingkapan yang lebih jauh atas ketaksadaran optik manusia yang
lalu menantang untuk menyusun satu set ensiklopedia mengenai sebuah
Mereka yang membaca naskah Martin Heidegger, filosof cemerlang nan sial
cita-cita tertinggi kemanusiaan, serta untuk pengikisan angkatan perang dan pengukuhan perdamaian antar bangsa. Ilmu yang memenuhi syarat
ranahnya sungguh lebih luas dari yang mungkin dibayangkan Walter
planet baru yang akan mengambil-alih kehidupan planet Bumi. Kini, mirip
yang khusyuk merenungi Ada dan Waktu itu, mungkin dengan takjub akan
Nobel adalah ilmu yang obyektif, bebas nilai, dapat diuji bersama dan
Benjamin. Selain menghimpun dan menghidupkan sebanyak mungkin citra,
Ezra Bukley, kita bisa tersenyum manis-maklum melihat keluguan fantasi
menyebut proses yang dikabarkan tapi keliru dimengerti oleh Borges tadi
punya kemampuan prediksi yang bisa membantu manusia menghadapi
bukan hanya citra yang diproduksi oleh ibu kota sebuah abad—seperti
ajaib Borges yang baru sampai pada gagasan tentang penciptaan ulang
sebagai, meminjam Heidegger, pelapangan (lichtung) dan penyingkapan
masa depan. Dengan segenap keterbatasannya, fotografi berperan di dua
yang diupayakan Benjamin di sumbangan kemilau The Arcades Project—
kehidupan sebuah planet, dan belum melihat kemungkinan penciptaan
total Sang Ada pada dirinya sendiri, pada kecerdasan manusia yang adalah
ranah: verifikasi dan observasi. Sebuah teori mungkin saja membentangkan
penyingkapan itu mempertegas kemungkinan jenis ketaksadaran yang
ulang sebuah semesta raya; fantasi yang dengan tegas menyakini bahwa
puisi dari Sang Ada. Di esei pentingnya yang terakhir yang bertajuk The
kecanggihan formal inteligensi manusia namun belum tentu menunjukkan
lain: “ketaksadaran cahaya” yang juga menghimbau untuk dijelang dengan
alam semesta, kuasa hukum langit, adalah tatanan serentak labirin yang
End of Philosophy and the Task of Thinking, Heidegger sudah menandaskan
dengan jitu hakekat pelik kenyataan dunia yang hendak dijelaskannya.
solidaritas, dengan “pathos kuriositas dan keterpautan”. Tak peduli setajam
secara mutlak tak akan pernah cukup manusia pahami.
beralihnya tugas penyingkapan Ada, dari filsafat yang sudah tamat, ke
Adalah fotografi yang kadang jadi penentu akhir kesesuaian antara prediksi
25
24 knowledge, and reliable knowledge requires proper interpretation. And
the flooding of photographic images have hindered the emancipation
our optical devices are not good enough, but merely because of the light
Borges, who gradually developed blindness since age thirteen and
proper interpretation, excellent information processing, requires good
while narrowing the ethical framework of human solidarity.
that carry the trace of that reality are still not arrive in our world even after
completely lost his sight in his late fifties, is very important because of his
processor and a set of software that is always open to upgrade and
wandering across the universe for billion of years. Because the galaxies
breakthrough to elevate literature to a higher plane and simultaneously
aware of its life span.
in the universe are moving away from each other with increasing speed,
spread wide a new horizon. Roberto Bolaño is right when he said
then light radiated from other part of the universe will never reach our
one must investigate every fringe, every path Borges has left behind.
Milky Way—and will never be able to reach us until our intelligence is able
Borges’ breakthrough is intertwined with the acumen to see through the
to manipulate the space-time.
future and preceded many important event and invention at the cross
*** Some might think that the time is not yet coming for human brain to be beautified with additional microprocessors and auxiliary memory
In the earlier part of On Photography, Sontag asserts that the camera
storage, and that there is no oppressing need for human cells to be
has aggressive power, like pistol: both can shoot. Camera also posses
adorned with genetic chain engineered to produce more neuron cells
a power to penetrate, like male genital making those whose pictures are
In one of Borges’ most important fictions which is also mentioned in the
Argentine journal Sur, May 1940, can be seen as an intelligent mockery
and more molecules that boost the cognitive activity. But, at least,
taken would feel like being raped. Now we are safe to say that is spite of
beginning of this piece, Tlon, Uqbar, Orbius Tertius, the unnamed narrator
to and a forecast of the rise and the foolishness of totalitarianism, in
our biological processor we attain from the time-consuming natural
resembling male genital with its penetrating power, the camera can also
narrates, among others, with impassive tone, about the infiltration of the
particular Hitler’s Third Reich. The story can also be perceived as an
evolution will accept a great help from the ever developing library of
resemble female genital, a kind of black hole with reproductive power
imaginary world into the real one, about the obstruction of traditional
illustration of human intelligence and the revolutionary change it can
memory, including visual memory that depends much on photography.
that for a moment might paralyze lucid mind, which also capable of
knowledge and the dissemination of new knowledge constructed by
make in the future. But, the magnitude of the terrifying mind and the
While extending the basis for decision making, moral reasoning, and
giving birth to fresh brilliant new world. With the genetic trinity of image-
a scattered dynasty of recluses who work to change the face of the
future that Borges perceives seems to be laughable. But even a flower
ethical direction for more intelligent solidarity, the improvement of our
story-literature along with the black-hole-like feature supported by the
Earth. Borges, whom Sontag regards as the only mortal destined to
starts a bud, and a post-Borgesian imagination is about to blossom, an
world memory would help to activate the potentials for liberating the
bipod of intelligence and solidarity, the reproduced images would in turn
be a god with literary immortality, imagined that Mankind’s Greatest
imagination that pushes to the limit of the dialectic between the fictive-
whole world from image illiteracy, for saving history from its bad habit to
regenerate new images participating to enable the world and mankind
Masterpiece is a composition of imaginary colossal encyclopedia with
tentative knowledge and fictious-fantastic reality, a reality that initially
always repeat itself—repeating old mistakes while actively creating and
to give birth to it self, surpassing the limits imposed not only by history
which would be brought forth a new form of reality that is no other than
might be stranger than human can imagine yet always open itself to the
proliferating the new ones.
and culture but also by natural evolution.
a new nation founded at a certain spot on a continent. The eccentric
intelligence to come in and understand it. What we are facing now in
millionaire Ezra Buckley, according to the narrator, contempt and then
fact is something that is far more tremendous and fascinating yet more
of the millennium. Tlon, Uqbar, Orbius Tertius, first published in the
The accumulation of world visual memory—and visual abstraction—
Human self rebirth and the expanding of the sense of selfness will
laughed at the modesty of the plan to invent merely a new country, and
natural than Borges’ fiction: a history that has been taking its course
in mankind’s image storehouse, would go hand in hand with the
simultaneously intertwine with the further unveiling of human unconscious
then threw a challenge to compose a new set of encyclopedia about
for billion of years is now incorporating and reassessing the fictive
development of better “software” that “corrects” all classic meta-
optics whose realm is surely much larger than what Walter Benjamin
a new planet which in time will take over the life and reality of the real
histories told by human ancestors: a universal past which might begin
narratives suffering from aging and calcification, and shattered by
might have ever imagined. Besides collecting and animating images not
world. Now, similar to Ezra Buckley, we can forgivingly smile at Borges’
at or before the Big Bang that is embracing and surpassing all human
relentless shaking from new blooming realities. These old softwares, the
only the ones that were produced by a capital of a century—like what
simple minded fantasy that reaches only at the stage of recreating of a
ethno-religious past. We are facing the natural universe dictating itself,
old-fashioned cognitive creations are responsible for the preservation
Benjamin himself did in his extraordinary work, The Arcades Project—the
new planet and do not yet vision the possibility to recreate a universe.
its narrative in time, to human intelligence, in the language of image.
of the world’s “epistemology paradox” which is the decreasing human
unveiling will shed light to another realm of which human are unconscious:
Borges’ fantasy is still bound to an unsophisticated fantasy which
capacity to solve many increasing problems exactly at the moment when
the unconscious by light. No matter how sensitive the optical instrument
strongly believes that the universe, the divine law, is an order and
If there is something worthy to be called 'Mankind’s Greatest
scientific knowledge is growing exponentially. Many stories derived
mankind can develop, the chance is that there are many regions of cosmic
labyrinth which human can never manage to penetrate: the universe is
Masterpiece' than it must be the ever increasing scientific knowledge
uncritically from old meta-narratives employed to interpret and arrange
reality whose existences would still unperceivable yet, not because of
destined not to be deciphered by man.
that has been spectacularly working to unconceal the universe and
teoretis dengan kenyataan alam dan perilaku manusia. Jika kamera dan
diberikan kepada John C. Mather dan George F. Smoot untuk temuan
“antisipasi” random evolusi menghadapi keadaan yang benar-benar ganjil
melahirkan alam semesta mungkin memang terdengar sebagai ihwal
peranti observasi lainnya yang berkembang kian halus menangkap fakta-
yang berpaut dengan kurun awal pertumbuhan jagad raya. Cabang
dan tak terduga. Dalam keadaan yang sungguh tak tercerna nalar, dalam
yang belum terpikirkan. Namun salah satu hal yang revolusioner dari ilmu
fakta baru yang belum sanggup dijelaskan oleh pengetahuan ilmiah, selain
khusus fotografi yakni spektrofotometri, dipakai untuk menangkap radiasi
keadaan yang berubah secara radikal, error evolusi inilah yang mungkin
dan teknologi, dan yang terang ditunjukkan bukan hanya oleh fotografi,
menggiring ilmu memasuki kawasan anyar, mereka juga memaksa ilmu
latar gelombang kosmik, buat mengukur rona pucat di langit yang tersisa
bisa meneruskan hidup. Jika antisipasi evolusi itu berhasil meneruskan
ialah lepasnya manusia dari ringkusan skala dan akal intuitif. Pelepasan
mengoreksi dan merevolusi diri. Bukan kebetulan bahwa Hadiah Nobel
dari Big Bang, ledakan mahabesar yang dianggap menjadi awal alam
hidup, maka error itu disebut sebagai mutasi. Keanekaragaman dan
itu kian nyata seiring derasnya upaya membangun berbagai jenis kamera
pertama (1901) untuk bidang Fisika diberikan kepada Wilhelm Conrad
semesta sekitar 14 milyar tahun yang silam. Citra –citra spektrofotometri itu
perkembangan organisme ke tatar yang kian kompleks muncul antara
yang sanggup menangkap beraneka panjang gelombang. Dipancangkan
Röntgen. Penemuan Röntgen tak saja membuat ilmu dapat melihat tembus
memperjelas pengetahuan manusia atas rincian ceritra masa kanak-kanak
lain karena mutasi yang terus menumpuk. Segala bentuk kehidupan di
sejak dari pucuk langit hingga ke pembuluh darah manusia, kamera itu
obyek-obyek dunia, menyingkap sebagian ketaksadaran optis manusia.
alam semesta.23
Bumi, termasuk manusia, adalah persambungan sel-sel banal primitif
menjadi mata, sekaligus telinga—telinga Sang Ganesha yang terseret
yang mula-mula digodok di samudera purba dan terus bertarung
deras arus ceritra, tersudut cacat mematahkan sendiri gadingnya yang
Penemuan itu juga memberi kekuatan baru pada jagad kedokteran untuk memahami sekaligus menawar beraneka penyakit yang telah merundung
Mungkin akan ada yang melihat betapa penyingkapan diri semesta raya
melanjutkan hidup dengan segala cara di dunia yang mirip neraka: bola
amat berharga—untuk menyimak dan menuliskan kisah semesta seisinya
ummat manusia.
seisinya, yang disampaikan lewat sejumlah citra itu, bergerak seiring dengan
api yang permukaannya mendingin yang terkadang saja dihinggapi oleh
yang disampaikan sebagian besar lewat citra. Piranti ilmiah dan teknologi
dua hal. Pertama adalah pembentangan pengetahuan yang memperluas
remah surga. Dalam proses berat dan ruwet untuk meneruskan hidup
yang kian halus itu adalah perpanjangan tubuh dan benak manusia
Agar tubuh manusia dapat menggunakan informasi yang tersimpan dalam
kemungkinan manusia mengangkat dirinya dari “jurang keterlemparan”,
itu, konflik menjadi permanen karena manusia dan segenap makhluk
untuk mencerap lebih jernih degup di jantung semesta dan gema di
gen, satu salinan harus dibuat dulu (transkripsi) lalu ditransfer ke bagian
melepaskan diri dari keterlanjuran sejarah dan keharusan evolusi.
mengeram dalam dirinya kekuatan tak terkendalikan untuk mengekalkan
akar kerakap, untuk membuat transparan kosmos raya—lebih tepatnya:
luar sel. Di sana, salinan itu dibaca sebagai titah untuk membuat protein—
Yang kedua, penyingkapan diri semesta itu sekaligus mengarah pada
dan menggandakan diri: lelatu eksplosif forsa mahapurba yang dulu telah
untuk mengindahkan hasrat-agung-kekal semesta raya polos-membuka-
yang pada gilirannya menyusun organisme dan fungsi-fungsinya. Roger D.
“pengukuhan kembali kesadaran dan kecerdasan di pusat,” bagai kemuning-
melahirkan alam semesta. Karena keterbatasan pengetahuan, dan kerja
menghamparkan diri.
Kornberg, peraih Hadiah Nobel 2006 untuk bidang kimia, adalah ilmuwan
penuntas-hujan atau seroja-pemangku-langit yang menyingkapkan diri
kognitif yang masih mentah, kekerasan yang gampang marak—di tengah
pertama yang membentuk satu gambar aktual tata kerja transkripsi di
memekarkan kelopak-kelopak mahkotanya serentak menonjolkan kepala
keterbatasan sumber-sumber dan desakan pengekalan diri orang/makhluk
Dalam sejarah ummat manusia, pandangan tentang tatanan alam
tingkat molekuler pada kelompok besar organisme eukariot (organisme
putik solidaritas yang dikitari benang sari inteligensi. Meski visi penyerbukan
lain yang juga tak terbendung—mungkin memang bagian tak terelakkan di
semesta dan watak-watak dasarnya mempengaruhi pandangan tentang
yang selnya jelas punya inti). Manusia masuk ke dalam kelompok besar
kosmik mungkin masih sulit menghuni benak manusia abad ke-21, namun
masa silam.
tatanan kebudayaan dan peradaban, tentang yang luhur dan yang nista,
ini, seperti halnya bunga rangda-bermata-hitam dan ragi-penghimpun-
penyerbukan dunia yang memberi jalan pada manusia melepaskan diri
sukma. Jika transkripsi macet, informasi genetik tak lagi dapat ditransfer
dari keterlanjuran sejarah dan keharusan evolusi itu telah menjadi gerakan
Penandasan
manusia—
dan persaudaraan, tentang keutamaan merasakan derita nestapa orang
dan organisme akan mati, atau tergilas sejumlah penyakit. Kornberg
yang terus membesar. Penyerbukan dunia itu dipercepat oleh turunan
dorongan kekal universal untuk melanjutkan hidup yang lebih baik—dan
lain, tentang hal-hal penting yang menyusun arti menjadi manusia.
memanfaatkan teknik kristalografi yang dimungkinkan oleh penemuan
pertamanya sendiri; angin dan kupu-kupu kompassi yang terbang dari
pembentangan rahasia-rahasia alam yang perlahan-lahan membuka diri
Penyingkapan diri semesta lewat citra-citra visual, memberi banyak cahaya
Röntgen untuk menghasilkan foto freeze-frame dengan citraan pembacaan
benak para cendekiawan seperti Sontag, yang meletakkan manusia dan
pada kendali manusia, membuat kekerasan kini tampak sebagai sarana
untuk mengelola dan menghidupi dunia dengan cara yang jauh lebih
perintah yang begitu rinci dan halus sehingga atom-atom individual bisa
sejarahnya di pusat pergulatan intelektual mereka.
yang benar-benar biadab dan mubasir. Penyingkapan itu juga memberi
beradab di mana kekerasan akan tampak bukan hanya tak lagi perlu, tapi
kekuatan baru pada manusia untuk merawat dan menggembalakan
juga benar-benar memalukan. Dalam semesta yang tengah menyingkapkan
terlihat. Citra-citra Kornberg adalah bagian dari khazanah citra yang
tentang penyeleseian dan penajaan konflik, tentang nilai kebersamaan komonalitas,
kesamaan
asasi,
ummat
bergabung membangun ceritra tentang kehidupan hayat. Jika Hadiah
Manusia, dengan berbagai kelainannya, adalah sejenis “error” evolusi,
forsa besar yang menetaskan semesta raya; forsa yang setelah milyaran
diri ini, segala pengertian manusia tentang “Sang Lain” yang telah ikut jadi
Nobel Fisika 2005 diberikan kepada tiga ilmuwan yang mengembangkan
“penyimpangan” di alam semesta. “Error” yang adalah bagian dari
tahun berhasil dengan amat berat membentuk kehidupan hayati dan
fondasi seluruh narasi akbar, akan tampak sebagai noda primitif—pigmen
optika kuantum dan spektroskopi berbasis laser, Hadiah Nobel Fisika 2006
percobaan dari evolusi yang harus mereproduksi diri itu, agaknya adalah
membentangkan inteligensi yang sadar diri. Merawat sumber yang
imajinasi yang diringkus oleh ketakutan dan kebuntuan—yang benar-benar
27
26 all within which is human faithful transcription of the Universe Grand
at the centre, like the blooming of a lotus simultaneously displayed
This English version is an abridged translation version of the original essay in
• Photography realism creates a confusion about a real which is (in the
Narrative. The total revealing, the transcription of the grand narrative of
its solidarity-ovary surrounded by intelligence-stamens. Although
Bahasa Indonesia.
long run) analgesic morally as well as (both in the long run and in the
the universe according to the universe itself as it gradually revealed to
the vision of the universe fertilization still seems to be alien for most
scientific knowledge, is partly helped by photography. Photography is
of people in the 21st Century, but the world fertilization, the world re-
• To photograph is to appropriate the thing photographed. It
not merely a passive archive of a bygone reality as Sontag emphasized
creation, which paves the way for humanity to liberate itself from history
means putting oneself in a certain relation to the world that feels like
once: photograph has been making itself more active in the new role
and evolution, has been developing as a global movement. The world
knowledge—and, therefore, like power.
as a pathfinder and a judge as well in the ongoing revealing of a new
re-creation is accelerated by its own offspring: the wind and the butterfly
breathtaking reality.
of compassion flying out of the mind of the enlightened intellectuals, like Sontag herself, who place humanity and its predicament at the very
With all of its limitation photography plays important role in two realms:
short run) sensationally stimulating. (OP, p. 110) • By disclosing the thingness of human being, the humanness of (OP, p. 3)
things, photography transforms reality into a tautology. (OP, p. 111)
• To photograph people is to violate them. (OP, p. 14)
center of their intellectual struggle.
observation and verification. A scientific hypothesis might exhibits human
• And photograph of the victims of war are themselves a species of rhetoric. They reiterate. They simplify. They agitate. They create the
sophisticated formal intelligence yet not automatically displays aptly the
In a world where most of its citizens are still suffer from image and media
• The act of taking picture is a semblance of appropriation, a semblance
elusive nature of reality it wants to explain. It is photography that often
illiteracy, a scattered dynasty of camera-lover carry on wandering to
of rape.
has the last say in deciding the correspondence between a theoretical
report and record violent conflicts, bloodsheds and all open wounds
prediction and natural reality or human behavior. If the camera and
of humanity. Besides of facing the possibility of sudden death hit by
other observational instruments become more sensitive and capture a
strayed bullets, they also fight against censorship, either from media
• Some photographers set up as scientists, others as moralists. The
own side, the standard response is that the pictures are fabrication,
new fact that lies beyond the explanation range of the existing science,
editor and state apparatus, or from hostile group claiming to represent
scientists make an inventory of the world; the moralists concentrate on
that no such atrocity ever took place, those were bodies the other
the finding will attract science to enter into a new territory while forcing
society. It is their work that Sontag reverently praises in the closing
hard cases.
side had brought in trucks from the city morgue and placed about the
science to adjust and revolutionize itself. It’s surely more than just a nice
paragraph of “Regarding the Torture of Others”: The unstoppable work
coincident that the first Nobel Prize for physics was awarded to Wilhelm
to produce and distribute images recording the other side of power
Conrad Röntgen. Röntgen’s invention gives the world a power to see-
struggle and humanity that run against solidarity and intelligence in
• The photographer both loots and preserves, denounces and
through world objects, to unconceal some of human unconscious
their widest mean. The photographer revered by Sontag who often
consecrates.
optics. It also gives power to understand and remedy various illnesses
stakes their own life to honor and guard the normal code of civilized
menacing human being for long. While revealing further many realm
behavior surely will not change and eradicate the inhuman face of the
of the universe previously unknown, other observational instruments
world overnight. But at least they are doing something more than just
• The proliferation of photographs is eventually an affirmation of kitsch.
including spectrophotometry assist humanity to develop the robust
paying their share in the development of image treasury of our planet’s
(OP, p. 81)
understanding on the detail of birth and the childhood of the universe.
memory—an ample memory growing to be a visual memory of a galaxy,
The progressive unconcealing of the universe through images, takes its course in tandem with the affirmation of the place of consciousness
illusion of consensus. (RPO, p. 5)
(OP, p. 24) • To photographic corroboration of the atrocities committed by one’s
(OP, p. 59)
street, or that, yes, it happened and it was the other side who did it, to themselves.
(OP, p. 64)
(RPO, p. 10) • The ultra-familiar, ultra-celebrated image—of agony, of ruin—is an avoidable feature of our camera-mediated knowledge of war. (RPO, p. 21) • To photograph was to compose (with living subjects, to pose), and
a universe, compiling not only the trace and the record of its birth billions
• The presence and proliferation of all photographs contributes to the
the desire to arrange elements in the picture did not vanish because the
of years ago.***
erosion of the very notion of meaning.
subject was immobilized, or immobile. (OP, p. 106)
(RPO, p. 48)
tak punya dasar epistemologis. Noda imajinasi ini agaknya mirip dengan bug dalam kepustakaan perangkat lunak. Penyisiran dan penguraian nodanoda itu (debugging) membuat pengetahuan ilmiah—cerminan sekaligus juga transkrip mahaceritra semesta—yang terus tumbuh itu, mendapatkan jalan untuk mengoreksi dan menghablurkan narasi-narasi kadaluwarsa yang tak tanggap pada kenyataan kurun baru. Antara lain dengan cara itulah transkripsi mahaceritra semesta akan merangkum sekaligus menyelamatkan seluruh tradisi, segenap narasi besar, gubahan sejarah. Di tengah dunia yang sebagian penghuninya kini masih diringkus oleh illiterasi citra dan media,
di tengah jagad yang masih terpenjara oleh
keharusan evolusi dan keterlanjuran sejarah, penyerbukan mayapada ikut dibentuk oleh suatu dinasti cerai berai yang terdiri dari manusia-manusia penyendiri, yang sebagian di antara mereka menenteng kamera, dan terus berkeliaran mengembara meliput ledakan mesiu, pertumpahan darah dan berbagai parut luka sejarah. Selain bertarung dengan peluru, mereka juga bergulat melawan sensor, baik sensor dari para editor media dan petugas negara maupun dari kaum yang mengaku mewakili masyarakat. Mereka inilah yang kerjanya ikut disanjung hormat oleh Sontag pada paragraf penutup esei RTO: kerja yang meneruskan produksi dan distribusi citra yang merekam sisi kelam kekuasaan yang menampik solidaritas dan inteligensi dalam maknanya yang paling luas. Kaum penjinjing kamera yang tak jarang mengadu hidup untuk ikut mengukuhkan kode normal perilaku beradab ini mungkin memang tak akan bisa langsung mengubah wajah kelam bumi. Tapi setidaknya mereka telah melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar unjuk andil menyusun lumbung citra memori visual sebuah planet—memori besar yang kini melambung tumbuh menjadi memori visual sebuah galaksi, setitik alam semesta.***
Catatan: Esei ini adalah versi yang disempurnakan dari esei sebelumnya: Sontag, Citra, Waktu, Jurnal Kebudayaan Kalam, 2007. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Susan Sontag, On Photography (New York: Penguin, 1977). Selanjutnya disingkat OP. Pernyataan Sontag ini tertuang dalam esei “Photographic Evangels”, OP, hlm. 115-149. Andre Bazin, “The Ontology of the Photographic Image”, The Philosophy of the Visual Arts, ed. Philip Alperson (New York: Oxford University Press, 1992). Hlm 277-280. Esei Bazin ini adalah bagian dari buku What is Cinema? (1967). Di sampul belakang OP, tercantum antara lain kalimat novelis dan kritikus John Berger, “The most original and important work yet written on the subject.” Susan Sontag, Regarding the Pain of Others (New York: Penguin, 2003). Selanjutnya disingkat RPO. “A Letter to Borges,” dalam Where the Stress Falls (New York: Picador / Farrar, Straus and Giroux, 2001). Di surat yang dibuat 10 tahun setelah Borges wafat, Sontag menulis ke penulis besar itu, “If ever a contemporary seemed destined for literary immortality, it was you.” Jorge Luis Borges, Labirin Impian, terj. Hasif Amini (Yogyakarta: LkiS, 1999). Hlm 19 dan 20. Sekian bulan setelah benih esei ini didiskusikan di Teater Utan Kayu, 22 April 2005, saya temukan resensi William H. Gass yang murah hati atas On Photography. Resensi bertajuk A Different Kind of Art itu terbit di New York Times edisi 18 Desember 1977, dengan paragraf awal yang juga menautkan kamera dengan cermin yang disinggung fiksi Borges. Anton Chekov, “Cermin Perot: Cerita Natal”, Pengakuan: Sekumpulan Cerita Pendek, terj. Koesalah Soebagyo Toer (Jakarta: KPG, 2004). Hlm 20-25 Walter Benjamin, “Little History of Photography”, Selected Writings Volume 2: 1927-1934 (Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press, 1999), hlm 507-530; “The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility: Third Version”, Selected Writings Volume 4: 1938-1940 (Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press, 2003), hlm 251-283. Lihat juga The Arcades Project (Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press, 1999), khususnya convolute Y: Photography, hlm 671-692. RPO, hlm 18. Yang luput dari indra jaman yang riuh bertikai saling tumpas adalah bahwa yang menjuntai di tangkai Pohon Larangan itu tak lain dari “Buah Citra”—mereka yang mencicip daging dan menghirup ruap getahnya, akan melihat citra-citra di taman Ilahi itu secara lain. Mereka bahkan bisa menciptakan citra-citra, imaji-imaji, baru yang sama sekali tak terbayangkan, dan karena itu belum punya nama. Citra-citra baru itu tak sesuai dengan nama-nama yang diajarkan. Kemampuan tertata menciptakan citra-citra baru mendesakkan juga keterampilan sistematis menciptakan nama-nama yang sungguh tak dikenal di taman eden yang tentram penuh rahmat. Karena kemampuan menciptakan citra-citra baru itu, penghuni Taman Firdaus didorong untuk meninggalkan taman yang tak lagi memadai bagi imajinasi mereka. Dilihat dari sekian
11. 12. 13. 14. 15. 16.
sisi, buah citra itu memang pilihan yang lebih menarik sekaligus lebih penting dari “Buah Tanwaktu” yang menawarkan hidup baka tapi buta membedakan antara yang ada (dan batas-batasnya) dengan yang mungkin (dan ketakterbatasannya). Dengan buah citra, manusia yang memupuk cinta dan melahirkan turunan untuk menanggap dendam rindu waktu, kelak mungkin menumbuhkan sendiri pohon hidup nirkala. Tafsir: NAA. Tentang problem jumlah dan koherensi informasi citra fotografis, lihat misalnya John Berger dan Jean Mohr, Another Way of Telling (Cambridge: Granta books, 1982). Bahasa fotografi adalah bahasa bisu yang mungkin membuat selembar foto tak berdusta. Namun, seperti halnya Hermes dalam mitologi Mediteranian, sekalipun tak berdusta, foto sungguh tak mungkin menyatakan seluruh hal sekaligus. Kini, dengan Photoshop dan berbagai piranti manipulasi citra, lembaran foto bukan saja tak dapat menyatakan segala hal, foto pun sudah bisa berpuisi dan berdusta; dan pengamat pintar yang bermata rabun akan memperkarakan kamera yang tampak menggiring orang memproduksi sekaligus memeriahkan karnaval dusta fotografi. Roland Barthes, “The Photographic Message,” Image Music Text (New York: Hill and Wang, 1977). Terj. Stephen Heath. Hlm 8-9. Walau bukan kenyataan itu sendiri, analogon adalah turunan-salinan sempurna dari kenyataan. Kodrat analogon ditentukan oleh hubungannya yang sangat rapat dengan kenyataan, melebihi tilas kaki atau topeng kemangkatan (death mask). Tak semua manusia memang adalah Walter Benjamin, atau Roland Barthes, yang punya cukup sumberdaya epistemik menghidupkan citra-citra bisu yang dilukis dengan cahaya. Di halaman awal Camera Lucida (1980), Barthes—mungkin qari citra visual yang paling khusuk di paruh terakhir abad 20, pemikir yang sudah menganjurkan tilawah fotografi dengan mata tertutup—mengakui bahwa ketakjuban pada fotografi adalah sejenis kesendirian: ketakjuban itu tak mudah dibagi bersama dengan orang lain, bahkan tak gampang untuk sekedar dipahami oleh orang lain. RPO, hlm 109. Puisi yang menggarap secarik potret dengan bagus terlihat misalnya pada sajak Goenawan Mohamad, Buat HJ dan PG. Baca juga ulasan Seno Gumira Ajidarma atas sajak ini, dalam esei “Kalacitra”, Lembar Bentara, Kompas, Jum’at, 7 Juli 2000 — terbit kembali dalam J.B. Kristanto, dan Nirwan Ahmad Arsuka, ed., Esei-Esei Bentara 2002 (Jakarta: Penerbit Kompas, 2003). Margaret Atwood menulis sajak yang menyedot bertajuk This Is a Photograph of Me; sajak ini dengan cerdas memain-mainkan tatapan fotografis. Selain roman Bayangan Memudar: Kehidupan Sebuah Keluarga Indo karya E Breton de Nijs, yang juga diulas Ajidarma di “Kalacitra”, prosa yang menjadikan fotografi bagian yang integral dirinya misalnya adalah novel Andre Breton, Nadja; dan keempat novel WG Sebald: Austerlitz, The Rings of Saturn, The Emigrants, dan Vertigo. Pada edisi Penguin Books, foto dengan citra manusia yang dibuat kira-kira 1850 oleh seorang fotografer Amerika yang tak diketahui namanya, masih terpampang di sampul OP, dan itulah satu-satunya foto di buku yang menelaah fotografi itu. Pada edisi Picador, foto keluarga manusia itu telah sama sekali hilang, diganti oleh foto tampang lintang batang kayu yang sudah lama mati (disain oleh Helfand / Drenttel Studio), dan satu foto Sontag sendiri berukuran mungil di sampul belakang yang dibuat oleh Annie Leibovitz. Buku RPO sama sekali tak mengandung citra fotografis; sampul depan buku
17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
itu hanya mereproduksi Lempeng 36 Bencana Perang Francisco Goya. Lihat misalnya, Stephen Wolfram, A New Kind of Science (Canada: Wolfram Media, 2002). Lihat juga esei saya yang antara lain diilhami buku Wolfram, “Ontologi Baru, Algoritme dan Api” di Lembar Bentara, Kompas, Jumat, 5 Juli 2002, hlm: 33—dimuat kembali dalam J.B. Kristanto, Bre Redana dan Nirwan Ahmad Arsuka, ed., Esei-Esei Bentara 2003 (Jakarta: Penerbit Kompas, 2003) Bandingkan dengan Nirwan Dewanto, “Pembacaan Dekat atau Jauh?: Melintasi Sastra dan Seni Rupa,” Kalam 22, 2005. Dewanto yang menyatakan bahwa “bentuk meradikalkan isi”, menyerang antara lain pembacaan saya yang menimbang mutu epistemik sang karya, menakar struktur dan morfologi gagasannya; pembacaan yang disebutnya sebagai “mengais-ngais isi di balik bentuk.” “The normal codes of civilized behaviour” adalah frase yang diucapkan James Nachtwey dalam film War Photographer (2001) arahan Christian Frei. Narasi jelita ini dikutip juga oleh Walter Benjamin antara lain dalam esei yang terkenal itu, The Work of Art in the Age of Its Technological Reproducibility: Third Version. Marguerite Yourcenar meriwayatkannya kembali dalam Cerita-cerita Timur (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999) terjemahan Winarsih P. Arifin. Alkisah, Wang Fo, seorang pelukis tua, dan Ling, muridnya, mengembara menjelajahi kerajaan Han. Tak banyak yang mereka bawa—Wang Fo lebih suka citra benda, bukan benda itu sendiri. Ketika pada suatu hari istri Ling yang cantik tewas menggantung diri, Wang tua larut habis melukis perempuan malang itu untuk terakhir kali, karena ia suka rona hijau yang menyalut raut wajah orang mati. Tatkala maharaja yang kecewa menimpakan hukuman yang lebih keji dari maut, Wang gembel meloloskan diri lewat bentangan cakrawala yang ia lukis. Dengan tatar kemampuan seperti itu, Wang Fo niscaya sanggup menghidupkan kembali isteri terkasih Ling dan semua makhluk yang ia cinta, lewat sentuhan warna terakhir pada kedua mata yang dilukisnya. “Regarding the Torture of Others,” New York Times, May 23, 2004. Selanjutnya disingkat RTO. Pandangan Heidegger tentang pengetahuan ilmiah ini memang agak ganjil—mundur! Bagi Heidegger, karena pengetahuan ilmiah tak lain dari turunan filsafat, maka ia tak mungkin melampaui filsafat; dan karena filsafat sendiri sudah purna, maka pengetahuan ilmiah juga sudah tuntas. Karena itu, Heidegger mencoba membangun corak pemikiran lain di luar pemikiran filosofis dan ilmiah, pemikiran yang dianggapnya cocok bagi clearing dan presencing buat alaetheia. Yang menarik, di eseinya yang ditulis beberapa tahun sebelumnya, The Question Concerning Technology, Heidegger menyajikan pandangan visioner tentang teknologi. Lihat Basic Writings: Martin Heidegger (London: Routledge, 1993) ed. David Farrell Krell. Bahkan ketika The Question mulai ditulis, hubungan antara pengetahuan ilmiah dan teknologi telah diketahui begitu rapat, dan semakin tersingkap bahwa sains dan teknologi adalah dua sisi dari keping mikro yang sama, ekspresi tertinggi kecerdasan di bumi. Ilmu dan teknologi memanglah persambungan dari “penyimpangan” yang telah melahirkan alam semesta; “penyimpangan” yang membuat benda mati menjadi makhluk hidup, dan makhluk hidup menjadi makhluk cerdas yang sadar diri. Diolah dari siaran pers yang tersaji di situs nobelprize.org.
29
28 • To catch a death actually happening and embalm it for all time is
enthusiastically, self-righteously. Don’t forget.
something only cameras can do, and pictures taken by photographers
(RPO, p. 102)
out in the field of the moment of (or just before) death are among the most celebrated and often reproduced of war photography.
• A narrative seems likely to be more effective than an image.
(RPO, p. 53)
(RPO, p. 110)
• The ubiquity of those photographs, and those horrors, cannot help
• The Bush administration and its defenders have chiefly sought to
but nourish belief in the inevitability of tragedy in the benighted or
limit a public-relations disaster—the dissemination of the photographs—
backward—that is, poor—parts of the world.
rather than deal with the complex crimes of leadership and of policy (RPO, p. 64)
revealed by the pictures. There was, first of all, the displacement of the reality onto the photographs themselves. The administration’s initial
• The dual powers of photography—to generate documents and
response was to say that the president was shocked and disgusted by
to create works of visual arts—have produced some remarkable
the photographs—as if the fault or horror lay in the images, not in what
exaggeration about what photographers ought or ought not to do.
they depict.
Lately, the most common exaggeration is one that regards the powers
(RTO, New York Times; May 23, 2004)
as opposites. Photographs that depict suffering shouldn’t be beautiful, as caption shouldn’t moralize. In this view, a beautiful photograph drains
• In our digital hall of mirrors, the pictures aren’t going to go away.
attention from the sobering subject and turns it toward the medium
Yes, it seems that one picture is worth a thousand words. And even if
itself, thereby compromising the picture’s status as a document. The
our leaders choose not to look at them, there will be thousands more
photograph gives mixed signals. Stop this, it urges. But it also exclaims,
snapshots and videos. Unstoppable.
What a spectacle!
(RTO, New York Times; May 23, 2004) (RPO, h. 68)
• No one after a certain age has the right to this kind of innocence, of superficiality, to this degree of ignorance or amnesia. There now exists a vast repository of images that make it harder to maintain this kind of moral defectiveness. Let the atrocious images haunt us. Even if they are only tokens, and cannot possibly encompass most of the reality to which they refer, they still perform a vital function. The image says: This is what human beings are capable of doing—may volunteer to do,
The Artists
Agung Nugroho Widhi
// Open Sources”, Ruang Mes 56, Yogyakarta (2003); “College Art Fair”, Jakarta
Selected Group Exhibitions: “Urbantopia”, Contemporary Photo Exhibition, North
Born in Yogyakarta, 1981. Studied at Photography Department, Indonesian
National Museum, Jakarta (2003); “Little Bagage” Visual Art Exhibition Indonesia-
Art Space, Jakarta (2009); “Cut 09 Figure”, New Photography From Southeast
Institute of Fine Arts, Yogyakarta (1999 – 2006).
Spain, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta (2003).
Asia, Valentine Willie Fine Art, Kuala Lumpur; Singapore; Manila (2009); “APPAF International Photo Festival”, Estremoz, Portugal (2008); “Indonesia Art Award".
Solo Exhibition: “Nowhere Man Nowhere Land”, Ruang Mes 56, Yogyakarta (2006). Selected Group Exhibitions: “Oslo Screen Festival”, Filmens Huis, Oslo (2010);
Jim Allen Abel a.k.a Jimbo
The National Gallery of Indonesia, Jakarta (2008); “In-Ter-Mis-Sion : A Pause or
“City One Minutes", Video, Venice Biennale, Arsenale Novissimo, Venice (2009);
Born in Luwu, 1975. Studied at Interior Design in Modern School of Design,
Break", PVJ, Bandung (2008); “PG Fashion Photography", Space Gallery, San
“Caszuidas Urban Screen Festival”, Amsterdam, The Netherlands (2009); “Asia
Yogyakarta (1996 – 1997), and then he continues at Photography Department,
Francisco (2007); “It’s All About ... ”, STDI, Bandung (2004); “Miceun Runtah Dina
–Europe Emerging Photographers Forum”, National Gallery and Annexe Gallery,
Indonesian Institute of Arts, Yogyakarta (1997 - 2005).
Otak", Dago Street, Bandung (2004); “Selera Kita Rasa Idaman”, YPK building,
Kuala Lumpur, Malaysia (2009); ”Here Come The Lomoheads”, Ruang Mes 56,
Selected Exhibitions: “City One Minute”, Venice Biennale, Arsenale Novissimo,
Bandung, (2003); “Manusia Di Atas Kertas”, STDI, Bandung (2001).
Yogyakarta (2008); ”Festival Tanda Kota”, Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki,
Venice (2009);
Jakarta (2007); ”Overload”, Mois de la Photo (with Ruang Mes 56), France Cultural
Melbourne (2009); “Revert to Read of Driyarkara”, Sanata Dharma University,
Ruang Mes 56
Center, Yogyakarta (2007); “Alter Orgasm”, Kedai Kebun Forum, Yogyakarta
Yogyakarta (2008); “Retrospective”, Jogja Gallery, Yogyakarta (2006); “Here &
Ruang Mes 56 is a non-profit institution established on February 28th, 2002, which
(2006); “Vidiot”, Indonesia-The Netherlands Video Art Festival, Rumah Seni Yaitu,
Now”, 8th Yogyakarta Biennale, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta (2005);
is active in the field of photography that emphasizes in the exploratory approach
Semarang (2006); “Terrorizer”, Photography Project & Exhibition, Ruang Mes 56,
“Urban Culture” CP Open Biennale, Bank Indonesia Museum (2005); “Holiday
of contemporary photography, both in theory and practice, conceptually and
Yogyakarta (2005); “Di Sini & Kini”, 8th Yogyakarta Biennale (with Ruang Mes 56),
in Jakarta” Passage de Reitz Gallery, Paris (2004); “Undiscovered Territory”,
contextually; having the purpose to develop the discourse of contemporary
Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta (2005)
International Designer Event 2004 Vektor Junkie, Oktagon Gallery, Jakarta (2004).
photography sphere in Indonesia. Ruang Mes 56 does several programs, which
Angki Purbandono
Mie Cornoedus
are carried out by self-financing and with the support from several donors, either
Born in Cepiring, 1971. Studied at Modern School of Design, Yogyakarta (1993-
Based in Yogyakarta, Indonesia, for over 14 years; through successfully managing
from non-profit institution or from commercial company. All of the programs aim
1994) and then at Indonesian Institute of Fine Art, Yogyakarta (1994-1999).
a staff of local people in a project on community-based tourism, she has obtained
to empower the pop-culture society in Indonesia.
Solo Exhibitions: “2 Folders From Fukuoka”, Vivi Yip Art Room II, Jakarta (2010);
an extensive knowledge of the culture and language. She get a bachelor degree in
Selected Exhibitions: “A Survey of Contemporary Indonesia Art”, BUS Projects,
“Kissing The Methods”, Richard Koh Fine Art, Kuala Lumpur (2009); “Happy Scan”,
social and cultural science, SHH Heverlee, Leuven, Belgium (1979–1983).
Melbourne (2009); “Blueprint Jogja”, Tembi Contemporary, Yogyakarta (2009);
Biasa Art Space, Seminyak, Bali (2008); “Industrial Fiesta”, Cemeti Art House,
Selected Exhibitions: “Outside-In”, Mes 56, Yogyakarta (2009); “Portrait of Papua”,
“Festival Kesenian Indonesia”, Galeri Cipta, Jakarta (2009); “Retrospective”,
Yogyakarta (2007); “Industrial Fiesta”, Changdong Art Studio, Seoul (2006); “My
Bella Vita Gallery, Yogyakarta (2008); “World Refugee Day” IDP camps, ViaVia
Jogja Gallery, Yogyakarta (2006); “Here & Now” 8th Yogyakarta Biennale, Taman
Brain Packages”, French Cultural Center, Jakarta (2000); “Kolasmaniac”, French
Alternative Gallery, Yogyakarta (2007); “World Aids Day”, Packed Bodies, Benteng
Budaya Yogyakarta, Yogyakarta (2005); “Urban Culture” CP Open Biennale,
Cultural Center, Yogyakarta (1999).
Vredeburg, Yogyakarta (2005); A Join exhibition in Dutch Embassy, Jakarta
Bank Indonesia Museum, Jakarta (2005); “Plesiran ke Jogja”, France Cultural
Selected Group Exhibitions: “Live and Let Live: Creators of Tomorrow: The 4th
(2004); “Orchids”, Jewelry of RC on Unusual Models, Dharmawangsa Hotel,
Centre, Jakarta (2004); “Holiday in Jakarta”, Passage de Reitz Gallery, Paris
Fukuoka Asian Triennial 2009”, Fukuoka (2009); “Kocon 2009 Spring International
Jakarta (2003); “Portraits of Kalimantan and Sumba”, ViaVia Alternative Gallery,
(2004); “Undiscovered Territory”, International Designer Event 2004 Vektor
Digital Design Invitation Exhibition”, Silla University, Busan, South Korea (2009);
Yogyakarta (1996).
Junkie, Oktagon Gallery, Jakarta (2004); “MediaBaru@egroups", New Media Art
"A Survey of Contemporary Indonesian Art", BUS Projects,
are Exhibition, Creative Exchange, Workshop, and Archiving. All of these programs
Exhibition", Lontar Gallery, Jakarta (2004)
“City One Minutes", Video, Venice Biennale, Arsenale Novissimo, Venice (2009);
30
“International Digital Design Invitation Exhibition”, Zhejiang University of Technology,
Wimo Ambala Bayang
China (2009); “Refresh: New Strategies in Indonesian Contemporary Art”,
Born in Magelang, 1976. Studied at Interior Design in Modern School of Design,
Radio Kabel
Valentine Willie Fine Art, Singapore (2008); “PhotoARTAsia Expo”, Zen Exhibition
Yogyakarta (1995-1996) and then he continues at Photography Department at
Abdi Setiawan, born in Sicincin, 1971. Studied at Indonesian Institute of Fine
Lounge, Central Zen, World Trade Center, Bangkok (2008); “Slice Contemporary
Indonesian Institute of Fine Arts, Yogyakarta (1996-2006).
Arts, Yogyakarta (1993-2003).
of Asia”, Soka Gallery Beijing (2008); “Kuota : Inbox 2007”, The National Gallery
Selected Exhibitions: “Wimo Film and Video Festival”, Kedai Kebun Forum,
Solo Exhibitions: “The Flâneur”, Nadi Gallery, Jakarta (2007); “Gairah Malam”,
of Indonesia, Jakarta (2007); “International Digital Design Invitation Exhibition”, Pai
Yogyakarta (2009); “Landing Soon #7”, Heden Kunst van Nu, the Hague, the
French Cultural Center, Yogyakarta (2004).
Chai University, South Korea (2007); “3 Young Contemporary Artists”, Valentine
Netherlands (2009); “A Survey of Contemporary Indonesia Art”, BUS Projects,
Selected Group Exhibitions: “Jogja Biennalle X, Jogja Jamming”, Yogyakarta
Willie Fine Art, Kuala Lumpur, Malaysia (2007); “Goyang International Art”, Goyang,
Melbourne (2009); “The Past, The Forgotten Time”, Six Indonesian Artists Interpret
(2009); “Higher Ground”, Metis Gallery, Amsterdam (2009); “From 2D to 3D”,
Seoul (2006); “Open Studio-Document Changdong”, Changdong Art Studio,
Indonesian History, Singapore Fringe Festival 08, National Museum of Singapore,
Summer Exhibition, Sin Sin Gallery, Hongkong (2009); “Grip”, Young Contemporary
Seoul (2006); “Bitmap International Digital Photo Project”, Loop Alternative Space,
Singapore (2008); “DVF. I/A” (Defenders of Video Front Indonesia/Australia), Next
Artists from Indonesia and China, Vanessa Art Link, Art District 798, Beijing
Seoul (2006); “Road/Route 1ST Pocheon Asian Art Festival”, Pocheon City (2005);
2008-Art Chicago, Chicago (2008); “InterAction XXI-2008”, Video Festival, Arka
(2009); “Bentuk-Bentuk: Contemporary Indonesian Art in 3D”, Melbourne Art
“Space and Shadows - Contemporary Art from Southeast Asia”, Haus der Kultur
Space Intermedial Cultural Association, Sardinia (2008); “Cut 2”, New Photography
Fair, Melbourne (2008); “Self Portrait – Famous Living Artists of Indonesia”, Jogja
der Welt, Berlin (2005); “Best Quality : [Ruang Mes 56]”; “Urban Culture”, CP Open
from Southeast Asia, Valentine Willie Fine Art, Singapore (2008); “Het Masker Als
Gallery, Yogyakarta (2008); “KITA”, Japanese Artists Meet Indonesia, organized
Biennale 2005, Bank Indonesia Museum, Jakarta (2005); “Where Troubles Melt
Intermediair/ The Mask as an Intermediary”, Heden Kunst van Nu, the Netherlands
by The Japan Foundation, LIP, Yogyakarta (2008); “China International Gallery
Like Lemon Drops”, Koninklijke Academie voor Schone Kunsten Hogeschool
(2008); “Taiwan International Video Art”, Hong Gah Museum, Taipei (2008); “The
Exposition”, Beijing (2008); "Strategies Towards the Real: S.Soedjojono and
Antwerpen, Belgium (2005); “Trans Indonesia”, Govett-Browster Art Gallery, New
Past, The Forgotten Time - (Verleden Tijd, –Vergeten Tijd)”, Six Indonesian Artists
Contemporary Indonesian Art”, NUS Museum, Singapore (2008); “Anti Aging”,
Playmouth, New Zealand (2005).
Interpret Indonesian History, 1930-1960 #1, Artoteek (2007); “The Past, The
Gaya Fusion Art Space, Bali (2007); “Boeng Ajo Boeng 100 th Affandi”, Taman
Forgotten Time - (Verleden Tijd, -Vergeten Tijd)”, Six Indonesian Artists Interpret
Budaya Yogyakarta, Yogyakarta (2007); “Beyond the Limits and Its Challenges”,
Edwin "Dolly" Roseno Kurniawan
Indonesian History, 1930-1960, Bizart, Shanghai (2007); “Punkasila”, music
Jakarta Biennale, Jakarta (2006); “8 Young Contemporaries”, Art Forum, Singapore
Born in Banyuwangi, 1979. Studied at Department of Photography, Indonesian
performance, 5th Asia-Pasific Triennial of Contemporary Art closing party, Gallery
(2006); “People of Asia”, Art Forum, Singapore (2006); “Urban Culture”, CP Open
Institute of Fine Art, Yogyakarta (2001-2008).
of Modern Art, Brisbane (2007); “Bitmap International Digital Photo Project”, Loop,
Biennale, Bank Indonesia Museum, Jakarta (2005); “Di Sini & Kini”, 8th Yogyakarta
Solo Exhibitions: “Frozen City”, Kedai Kebun Forum, Yogyakarta (2009); “Beyond
Seoul (2006); “Oversteek”, Indonesia and The Netherlands Festival, Going Digital :
Biennale, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta (2005).
Coca-Cola”, Ruang Mes 56, Yogyakarta (2006).
Six Indonesian Video Artists Presentation, Kikker Utrecht Theater, the Netherlands
Tri Adhi Widiatmanto, born in Kendal, Central Java, 30 May 1983. Studied at
Art
(2006); “Ayis”, video screening, Konan Women’s College, Japan (2005); “Where
Indonesian Art Institute, Yogyakarta.
Compilation”, Bus Projects, Melbourne, (2009); “2nd Pose”, Indonesian Portrait
Troubles Melt Like Lemon Drops”, Koninklijke Academie voor Schone Kunsten
Exhibitions: "Biennale Jogja X, Jogja Jamming", Yogyakarta (2009), "Isiotheraphy
Artist Series, Jogja Gallery, Yogyakarta (2009); “2nd Pose”, Indonesian Portrait
Hogeschool, Antwerpen, Belgium (2005); “Video Works Screening” Yunnan Art
#2: Retrospeksi", Benteng Vredeburg, Yogyakarta (2009); "Highlight: From
Artist Series, Jogja Gallery, Yogyakarta (2008); “Cut2”, New Contemporary
Academy, Kunming, China (2005); “Jianghu IX”, ALAB, Kunming, China (2005);
Medium to Transmedia", Jogja Nasional Museum, Yogyakarta (2008), "Surprise
Photography from Southeast Asia, Vallentine Willie Fine Art, Singapore (2008);
“Urban Culture”, CP Open Biennale, Bank Indonesia Museum, Jakarta (2005); “I’m
#2: Front Space”, Benteng Vredeburg, Yogyakarta (2008), "Surprise #1: Tarian
“City 2 City”, France Cultural Center, Yogyakarta (2007); ”Militia”, OK Video,
Not a Good Interpreter!”, A Video and Photography Exhibition, ALAB, Kunming,
Jiwa/Soul Dance”, Galeri Biasa, Yogyakarta (2007), "Art for Jogja", Taman Budaya
Workshop Presentation, The National Gallery of Indonesia, Jakarta (2007); “Beauty
China (2005).
Yogyakarta (2006), “Bar Molor”, Lotus, Magelang (2006), “Operasional IQ”, Taman
Selected Group Exhibitions: “A Survey
of
Contemporary Indonesian
Budaya Surakarta, Surakarta (2005), "Message From Indonesia", Kobe Design
Contest”, Insomnium Malang, Malang (2006); "Alter Orgasm”, Kedai Kebun Forum, Yogyakarta (2006); “Terrorizer” Photography Project & Exhibition, Ruang Mes 56
Yohanes Paganda Halasan Harahap (Agan Harahap)
(2005); ”Urban Culture”, Cp Open Bienalle, Bank Indonesia Museum, Jakarta
Born in Jakarta, 1980. He began his career as an illustrator and digital imaging
(2005); “Di Sini & Kini“, 8th Jogja Biennale, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta
artist when he was a graphic design student at STDI Design and Art College in
(2005); “Holiday in Jakarta”, Passage de Reitz Gallery, France (2004); “Mediabaru@
Bandung, Indonesia.
egroups”, New Media Art Exhibition, Lontar Gallery, Jakarta (2004); “Hidden Files
Solo Exhibition: “Safari”, Ruang Mes 56, Yogyakarta (2009).
School, Tokyo, Japan (2004).
31