TEKNIK MEMPERTAHANKAN MUTU LOBAK (Raphanus sativus) DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PENGERING VAKUM Sri Mulia Astuti1
L
obak (Raphanus sativus) merupakan sayuran berumbi, berasal dari Cina dan Jepang. Daunnya agak berbulu dengan, ujung lembaran daun lebih besar daripada pangkalnya. Umbi berbentuk bulat panjang, berwarna putih dan merupakan bagian utama yang dapat dimakan, namun daun dan bunganya dapat pula dikonsumsi. Untuk meningkatkan nilai tambah, pengawetan sayuran dengan mengolahnya menjadi sayuran kering mulai banyak dilakukan di Indonesia. Sebelumnya, sayuran kering seperti bawang daun, seledri, wortel, dan kubis diimpor dari Eropa. Pengeringan dilakukan dengan alat pengering vakum untuk memperoleh sayuran kering dengan warna, aroma, dan tekstur yang baik (Sinaga dan Histifarina 2000). Lobak kering banyak digunakan untuk campuran bumbu pada masakan mi dan sup. Pengeringan merupakan salah satu cara pengawetan bahan agar dapat disimpan lebih lama, ringan, dan volumenya menjadi kecil sehingga biaya produksi akan lebih hemat. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi sebagian air dari bahan sampai kadar air tertentu agar bahan tersebut dapat disimpan lebih lama (Aman et al. 1992; Muchtadi et al. 1995). Pengeringan telah banyak dilakukan dalam pengolahan hasil pertanian dan bahan pangan dengan menggunakan energi matahari, pemanasan, pengangin-anginan, perbedaan tekanan uap, dan pengeringan beku (Aman et al. 1992). Pengeringan dengan tekanan vakum dan suhu rendah akan menghasilkan sayuran kering yang bermutu baik (Eshtiaghi et al. 1994; Histifarina et al. 2004). Pengeringan beku pada beberapa jenis sayuran selain dapat mempertahankan kandungan tokoferol (Manullang dan Mercylia 1995) juga dapat mempertahankan warna hijau klorofil (Sinaga 2001b). Pengeringan dengan alat pengering semprot dan drum menghasilkan aktivitas antitrombotik yang baik pada bawang merah dan bawang putih (Muchtadi et al. 1995). Pengeringan vakum merupakan suatu cara pengeringan bahan dalam ruang yang tekanannya lebih rendah daripada tekanan udara atmosfer. Pengeringan dapat dilakukan dalam
1
Teknisi Litkayasa Penyelia pada Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jalan Tangkuban Perahu No. 517, Lembang 40391, Telp. (022) 2786245, Faks. (022) 2786416
30
waktu yang lebih singkat walaupun pada suhu yang lebih rendah daripada pengeringan atmosfer. Dengan tekanan uap air dalam udara yang lebih rendah, air pada bahan akan menguap pada suhu yang lebih rendah (Aman et al. 1992; Histifarina dan Musaddad 2004; Sinaga 2001a). Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui suhu dan tekanan vakum yang optimum pada pengeringan lobak.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di laboratorium fisiologi hasil Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) di Lembang antara JuliDesember 2002. Bahan baku yang digunakan adalah lobak segar yang diperoleh dari petani di Lembang, Kabupaten Bandung (Gambar 1), bahan kimia untuk analisis serta bahan pembantu. Alat yang digunakan meliputi pisau, ember, timbangan, pengering vakum (Gambar 2), kain wadah bahan yang dikeringkan, dan kantong plastik. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok pola faktorial dengan tiga ulangan. Perlakuan yang dicoba terdiri atas dua faktor; faktor pertama adalah suhu pengeringan yakni 50°C, 60°C, dan 70°C dan faktor kedua adalah tekanan vakum yakni 200, 300, dan 400 mbar. Kapasitas pengering vakum adalah 1-2 kg sampel (skala laboratorium). Rancangan acak kelompok yang digunakan diteruskan pengujiannya dengan uji jarak berganda Duncan 5%. Hasil uji organoleptik selanjutnya dianalisis secara multiple comparison dengan uji panelis agak terlatih dengan jumlah panelis 15 orang. Umbi lobak sampel dibersihkan, kemudian dipotongpotong dengan ketebalan 3 mm. Potongan-potongan lobak yang seragam diletakkan dalam wadah untuk dikeringkan dalam alat pengering vakum yang telah diatur suhu dan tekanannya sesuai perlakuan. Lobak dikeringkan sampai dapat dipatahkan atau rapuh atau sampai kadar air di bawah 14% (Gambar 3). Sampel yang dikeringkan adalah 200 g tiap perlakuan dengan tiga ulangan. Diagram alir proses pembuatan lobak kering disajikan pada Gambar 4. Parameter yang diamati dan diukur adalah nilai organoleptik (warna, aroma, dan penampakan), kadar air, total padatBuletin Teknik Pertanian Vol. 12 No. 1, 2007
Gambar 1. Lobak segar
Gambar 2 . Pengering vakum
Kadar air (%) =
Lobak
(Bobot cawan + sampel) - (Bobot cawan + sampel kering) t
t
Sortasi
Gambar 3. Lobak kering
Diambil yang lurus dan mulus
Bobot sampel
x 100%
t
Pencucian/pengeringan t t
Pengirisan/pemotongan
3 mm
Pengeringan
t
t
Vacuum drier
t
t
Produk lobak kering
Dianalisis mutu
t
Kemasan Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan lobak kering
an terlarut (total soluble solid = TSS), dan vitamin C. Nilai organoleptik didasarkan pada urutan peringkat yakni 1 = sangat disukai, 2 = disukai, 3 = agak disukai, 4 = kurang disukai, dan 5 = tidak disukai. Kadar air diukur dengan metode gravimetri, zat padat terlarut dengan hand refractometer, dan kadar vitamin C menggunakan metode Iodometri. Pengukuran Kadar Air dengan Metode Gravimetri Sampel ditimbang 1-2 g pada sebuah cawan pengering yang sudah diketahui bobot tetapnya. Selanjutnya sampel dikeringkan pada oven dengan suhu 100-105oC selama 3-5 jam lalu didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Pekerjaan tersebut diulangi hingga diperoleh bobot tetap. Kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut: Buletin Teknik Pertanian Vol. 12 No. 1, 2007
Sebagai contoh, jika diketahui bobot cawan 29,400 g dan bobot cawan + sampel 32,447 g maka bobot sampel adalah 3,047 g dan bobot cawan + sampel kering 31,9735 g. Kadar air (%) =
32,447 - 31,9735 3,047
x 100%
= 15,54% Perhitungan Kadar Vitamin C dengan Metode Iodometri Bahan atau sampel yang akan dianalisis dihaluskan dengan menggunakan blender kemudiam ditimbang 2-3 g. Selanjutnya, sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml dan ditambahkan akuades sampai tanda batas. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi dengan menggunakan sentrifuge untuk memisahkan konsentratnya. Supernatan yang diperoleh diambil 20 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml. Ke dalam erlenmeyer tersebut ditambahkan 2 ml larutan amilum 1% kemudian dititrasi dengan larutan iodium 0,01 N sampai titik akhir titrasi yang berwarna biru. Kadar vitamin C dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kadar vitamin C = ( V x N) I2 x BE vitamin C x fp x 100 mg/100 g bahan Bobot sampel Di mana: V = volume fitrat sampel N = normalitas ion iodium (titran) I2 = larutan iodium untuk titrimetri (titran) BE = bobot equivalen dari I 2 fp = faktor pengenceran ion sampel 31
Contoh perhitungannya adalah jika diketahui bobot sampel 2 g, volume I2 0,775 ml, normalitas I2 0,0098 N, BE vitamin C 88,068, dan fp 10 kali, maka kadar vitamin C = = (0,775 x 0,0098) x 88 x 10 x 100 mg/100 g bahan 2 = 334,180 mg/100 g Perhitungan Kadar TSS dengan Metode Refraktometri Sampel yang akan dianalisis dihaluskan kemudian ditimbang 1-2 g. Selanjutnya sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer 50 ml dan ditambahkan akuades sampai tanda batas. Sampel lalu disaring dan filtratnya diteteskan ke atas kaca refraktrometer dan dibaca skala yang tertera di dalam alat tersebut. Kadar TSS dapat diketahui dengan mengalikan angka pada skala dengan faktor pengenceran. Jika diketahui angka pada skala 0,8 dan faktor pengenceran 50 kali maka kadar TSS = 0,8 x 50 = 40% HASIL DAN PEMBAHASAN Warna Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai warna terbaik (1,47) diperoleh pada perlakuan tekanan 200 mbar dan suhu 50°C, diikuti perlakuan 300 mbar 50°C (1,87). Dari masingmasing perlakuan tekanan vakum, terdapat pengaruh suhu terhadap warna lobak hasil pengeringan. Makin tinggi suhu, makin kurang baik warna lobak kering yang dihasilkan. Pada suhu 50°C untuk semua perlakuan tekanan vakum, nilai warna yang diperoleh lebih baik dibanding pada suhu 60°C dan 70°C. Suhu yang makin tinggi akan mempercepat terjadinya reaksi oksidasi vitamin C maupun enzim fenolase yang terdapat pada cairan di permukaan potongan lobak selama pengeringan. Reaksi oksidasi tersebut menghasilkan melanoidin dan furfural yang berwarna coklat. Secara keseluruhan, tekanan vakum yang makin tinggi, yakni dari 400 mbar ke 200 mbar, menghasilkan nilai warna semakin baik. Pada tekanan 200 mbar, nilai warna yang diperoleh lebih baik dibanding perlakuan 300 mbar, juga perlakuan 300 mbar lebih baik dibanding perlakuan 400 mbar. Pengeringan yang lebih lambat pada perlakuan tekanan 400 mbar diduga memperlama proses reaksi oksidasi sehingga warna coklat pada produk terlihat lebih jelas. Perlakuan tekanan vakum yang tinggi (200 mbar) dikombinasikan dengan suhu rendah (50°C) merupakan perlakuan terbaik. 32
Tabel 1. Pengaruh kombinasi perlakuan tekanan vakum dan suhu terhadap nilai organoleptik lobak kering, laboratorium Balitsa, Lembang, 2002 Tekanan/suhu (mbar/°C) 200/50 200/60 200/70 300/50 300/60 300/70 400/50 400/60 400/70 1
Nilai organoleptik 1 Wa r n a
Aroma
Penampakan
1,47 2,13 2,53 1,87 2,53 2,63 2,07 2,73 3,87
2,40 2,67 2,80 2,47 2,73 2,87 2,53 2,73 2,87
1,47 2,20 2,53 1,80 2,33 2,67 2,13 2,40 4,07
Nilai organoleptik: 1 = sangat disukai, 2 = disukai, 3 = agak disukai, 4 = kurang disukai, 5 = tidak disukai
Pada umumnya bahan pangan yang dikeringkan berubah warna menjadi kecoklatan. Proses pencoklatan bisa terjadi karena reaksi enzimatis atau nonenzimatis. Pencoklatan karena reaksi enzimatis disebabkan enzim felonase kontak dengan oksigen dan udara sehingga mengubah fenotik menjadi metanin yang berwarna coklat. Pencoklatan akibat faktor nonenzimatis merupakan perubahan warna karena pengolahan akibat panas. Ada dua macam reaksi yang terjadi yaitu reaksi meillard dan reaksi karametisasi (Apandi 1984). Toib (1988) mengemukakan bahwa perpindahan panas pada proses pengeringan terjadi karena suhu bahan pangan lebih rendah daripada suhu udara sekelilingnya. Panas yang diberikan ke dalam bahan pangan akan menaikkan suhu bahan dan menyebabkan tekanan uap dalam bahan lebih tinggi daripada tekanan uap di udara sehingga terjadi perpindahan massa. Pada pengeringan lobak tidak terjadi reaksi oksidasi, tetapi hanya proses perpindahan panas atau massa sehingga tidak terjadi proses pencoklatan karena reaksi enzimatis. Lobak kering yang dihasilkan berwarna putih bersih apalagi proses pengeringannya secara vakum atau kedap udara. Pada pengeringan di mana panas dipindahkan ke produk melalui plat logam, biasanya produk ditempatkan dalam suatu ruangan hampa udara dan uap air dikeluarkan dengan pompa vakum (van Arsdal et al. 1993). Aroma Lobak kering yang dihasilkan memiliki nilai aroma 2,40-2,87 atau tergolong nilai disukai pada skala 1-5 (Tabel 1). Pada irisan lobak segar maupun kering tidak tercium aroma yang Buletin Teknik Pertanian Vol. 12 No. 1, 2007
tajam atau menonjol. Sama halnya dengan wortel yang tidak didapati aroma yang tajam. Aroma atau flavour terdiri atas unsur-unsur kimia sulfur dan ditrisulfat. Kandungan unsur tersebut hanya sedikit sekali dalam lobak. Lobak mengandung protein 0,9% dan lemak 0,1% (Direktorat Gizi 1972). Penampakan Nilai penampakan lobak kering berkisar 1,47-4,07 pada skala 1-5 (Tabel 1). Nilai penampakan terbaik diperoleh pada perlakuan tekanan 200 mbar dan suhu 50°C yakni 1,47 diikuti perlakuan tekanan 300 mbar dan 50°C yakni 1,80. Pada suhu rendah (50°C), perubahan warna pada produk kurang intensif. Walaupun warna produk sedikit berubah, warnanya seragam. Pada pengeringan suhu rendah (suhu 50°C), penguapan terjadi secara perlahan-lahan sehingga hampir tidak terjadi pengeriputan dan produk seragam. Pada perlakuan suhu tinggi untuk masing-masing perlakuan tekanan vakum, nilai penampakan makin menurun. Pengeringan dengan suhu tinggi mengakibatkan penguapan lebih cepat terutama pada bagian permukaan atas atau pengeringan tidak merata sehingga terjadi pengeriputan. Perlakuan suhu 50°C yang dikombinasikan dengan tekanan vakum tinggi (200 mbar) menghasilkan nilai penampakan terbaik. Kadar Air Tabel 2 menunjukkan bahwa makin tinggi suhu makin rendah kadar air. Kadar air pada perlakuan suhu 50°C (13,03%) lebih tinggi dibanding kadar air pada suhu 60°C dan 70°C (11,76% dan 11,44%). Meskipun irisan lobak diperlakukan sama yakni dikeringkan sampai rapuh, diduga pori-pori irisan lobak pada perlakuan suhu 60°C dan 70°C lebih membuka dibanding pada suhu 50°C sehingga air terikat lebih leluasa keluar dari jaringan sel. Untuk diuapkan, ada tiga jenis air dalam jaringan yakni air bebas, air terikat, dan air kimia. Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan tekanan vakum 400 mbar yakni 12,85%. Kadar air bahan yang dikeringkan dengan tekanan vakum yang tinggi akan lebih kecil karena air ditarik lebih kuat dari bahan. Kadar air lobak kering dengan berbagai perlakuan tekanan tersebut masih memenuhi persyaratan standar yakni di bawah 14%. Kadar air lobak kering dari semua perlakuan interaksi suhu dan tekanan vakum hampir sama, yakni berkisar 10,5113,56% atau memenuhi persyaratan bahan kering. Namun perlakuan tekanan vakum 200 mbar dengan 70°C pengeringannya lebih cepat dan tenaga yang digunakan untuk perlakuan 400 mbar/70°C lebih besar. Buletin Teknik Pertanian Vol. 12 No. 1, 2007
Tabel 2. Pengaruh perlakuan suhu, tekanan vakum, dan interaksi suhu dan tekanan vakum terhadap kadar air, kadar padatan terlarut, dan kadar vitamin C lobak kering, laboratorium Balitsa, Lembang, 2002 Kadar air (%)
Padatan terlarut total (Brix)
Vitamin C (mg/100g)
Suhu (°C) 50 60 70
13,03 11,76 11,44
37,81 40,00 41,05
284,58 315,56 314,04
Tekanan (mbar) 200 300 400
11,20 12,17 12,85
39,68 40,52 38,67
317,37 293,33 303,52
Interaksi suhu/tekanan ( o C/mbar) 200/50 200/60 200/70 300/50 300/60 300/70 400/50 400/60 400/70
13,56 12,37 12,64 12,45 12,40 10,67 12,07 10,51 11,01
39,53 40,07 39,43 37,30 40,43 43,81 36,61 39,43 39,91
242,70 318,46 390,94 302,21 307,02 270,75 308,82 321,31 280,43
Tekanan/suhu
Kadar Total Padatan Terlarut Data Tabel 2 memperlihatkan bahwa TSS yang diperoleh dari perlakuan suhu berkisar 37,81-41,05°Brix. Makin tinggi suhu, makin besar kadar TSS. Hal ini diduga pada perlakuan suhu yang lebih tinggi yakni 70°C, laju respirasi berlangsung lebih cepat. Meskipun gula reduksi berubah menjadi gas karbondioksida, air dan energi, ternyata pembentukan gula lebih besar yakni dari hasil perombakan pati. Pada perlakuan tekanan vakum, TSS berkisar 38,6740,52°Brix dan perlakuan interaksi suhu dan tekanan vakum berkisar antara 36,61-43,81°Brix. Berbeda dengan komoditas lain seperti seledri atau bawang daun, pada lobak tidak jelas terlihat pengaruh perlakuan suhu dan tekanan vakum terhadap perubahan TSS. Hal ini mungkin disebabkan dinding sel pada jaringan sel lobak lebih tebal sehingga dapat melindungi nutrisi dari penguapan. Kadar Vitamin C Dilihat dari perlakuan suhu, kadar vitamin C berkisar 284,58315,56 mg/100 g. Ada kecenderungan bahwa makin rendah suhu pengeringan (50°C) maka pengeringan menjadi lebih lama sehingga proses oksidasi pun lebih lama. Akibatnya 33
kadar vitamin C lebih rendah. Pengeringan pada suhu 60°C dan 70°C, lebih cepat dibanding pada suhu 50oC. Vitamin C mudah teroksidasi terutama suhu yang lebih tinggi dibanding suhu kamar. Kadar vitamin C pada perlakuan tekanan 200 mbar, 300 mbar, dan 400 mbar berkisar 293,33-317,37 mg/100 g. Kelihatannya ada sedikit perbedaan, diduga dari pengaruh ketidakstabilan udara (goncangan) serta tidak seragamnya jaringan sel yang terpotong. Vitamin C dari perlakuan interaksi suhu dan tekanan vakum berkisar 242,70-390,94 mg/100 g. Kadar vitamin C lobak segar adalah 32,00 mg/100 g (Direktorat Gizi 1995).
KESIMPULAN DAN SARAN Nilai warna lobak kering pada pengeringan dengan suhu 50°C lebih baik dibanding suhu 60°C dan 70°C, karena pada suhu 60°C dan 70°C terjadi reaksi pencoklatan. Perlakuan tekanan vakum yang tinggi (200 mbar) yang dikombinasikan dengan suhu rendah (50°C) merupakan perlakuan terbaik. Lobak segar maupun kering tidak menunjukkan adanya aroma yang menonjol. Pengeriputan pada potongan lobak kering tidak nyata terutama pada perlakuan 50°C. Makin tinggi suhu pengeringan makin kecil kadar air lobak kering. Suhu udara dan suhu jaringan sel yang lebih tinggi mengakibatkan air yang terikat pada jaringan sel lebih mudah menguap. Perlakuan terbaik adalah 200 mbar/50°C yang menghasilkan lobak kering dengan warna dan penampakan yang lebih baik, kadar air memenuhi standar (13,56%), total padatan terlarut lebih tinggi (39,53°Brix), begitu pula kadar vitamin C masih cukup tinggi yakni 242,70 mg/100 g. Perlu adanya penelitian lanjutan tentang pengaruh waktu pengeringan terhadap karakteristik lobak kering sehingga diperoleh lobak kering yang lebih baik lagi. Untuk memperoleh lobak kering yang lebih berpori perlu ditambahkan bahan kimia seperti natrium tiofosfat (HaHPO4), dan agar lobak kering mengandung vitamin C yang tinggi perlu penambahan vitamin C.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ir. R.M. Sinaga, MS APU atas bimbingannya dalam penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA Aman, W., Subarna, M. Arpah, D. Syah, dan S.I. Budiwati. 1992. Peralatan dan unit proses industri pangan. PAU IPB Bogor. hlm. 172-194. Apandi, M. 1984. Teknologi Buah dan Sayur. Cetakan kesatu, Penerbit Swadaya, Jakarta. Direktorat Gizi. 1972. Daftar Komposisi Makanan. Bhratara, Jakarta. hlm. 58. Direktorat Gizi. 1996. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhratara, Jakarta. hlm. 32. Eshtiaghi, M.N., S. Stute, and D. Knoor. 1994. High pressure and freezing pretreatment effect on drying, rehydration texture and colour of green beans, carrots and potatoes. J. Food. Sci. 59(6): 1168-1170. Histifarina. D., D. Musaddad, dan E. Murtiningsih. 2004. Teknik pengeringan dalam oven untuk irisan wortel kering bermutu. Jurnal Hortikultura 14(2): 107-112. Histifarina, D. dan D. Musaddad. 2004. Penggunaan sulfit dan kemasan vakum untuk mempertahankan mutu tepung bawang merah selama penyimpanan. Jurnal Hortikultura 14(1): 67-73. Manullang, M. dan I.M. Mercylia. 1995. Pengaruh pengeringan beku beberapa jenis sayuran terhadap kandungan tokoferol. Buletin Teknik dan Industri Pangan 6(3): 33-37. Muchtadi, D., C. Hanny W., K. Sutrisno, dan R. Afrina. 1995. Pengaruh pengeringan dengan alat pengering semprot dan drum terhadap aktivitas antitrombotik bawang putih dan bawang merah. Buletin Teknik dan Industri Pangan 6(3): 28-32. Sinaga, R.M. dan D. Histifarina. 2000. Peningkatan mutu bawang putih instan kering dengan prosedur perendaman dalam larutan natrium bisulfit. Jurnal Hortikultura 9(4): 307-313. Sinaga. R.M. 2001a. Pengaruh suhu dan tekanan vakum terhadap karakteristik seledri kering. Jurnal Hortikultura 11(3): 215-222. Sinaga. R.M. 2001b. Pengaruh suhu dan waktu pengeringan beku terhadap karakteristik bawang daun kering. Jurnal Hortikultura 11(4): 260-268. Toib, G. 1988. Operasi Pengeringan pada Pengolahan Hasil Pertanian. PT Mediatama Sarana Perkasa, Jakarta. van Arsdal W.B., Compley, and Morgan. 1993. Food dehydration. The AVI Publishing Company, Inc. We port, Conecticut. p. 193.
34
Buletin Teknik Pertanian Vol. 12 No. 1, 2007