Liputan Berita Media Massa: RUU Pemberantasan Kerusakan Hutan Tak Layak Disahkan ! Pengantar JAKARTA (Tim Media DKN, 10/4/13) --- Pada hari Senin, 8 April 2013 DPR RI telah menggelar rapat dengar pendapat dengan “Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan”. RDP ini dimaksudkan untuk menjaring pendapat dan masukan mengenai RUU Pemberantasan Perusakan Hutan. Dalam rapat dengar pendapat ini, Dewan Kehutanan Nasional (DKN) telah secara resmi menyampaikan padangan dan sikapnya yang ditandatangani oleh Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo (Ketua Presidium) dan disampaikan oleh Martua T. Sirait sebagai juru bicara DKN dalam rapat tersebut. Pandangan dan Sikap DKN atas RUU Pemberantasan Perusakan Hutan, pada intinya berujung pada desakan dan dorongan, berikut ini: (1) Mendesak DPR RI untuk segera membatalkan rencana pengesahan RUU tentang Pemberantasan Perusakan Hutan; (2) Mendesak Pemerintah untuk segera menyiapkan draft revisi UU tentang Kehutanan; (3) Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera menyusun rencana strategis dan aksi implementasi Ketetapan MPR RI No IX/2001; (4) Mendorong Pemerintah, khususnya 12 kementerian dan lembaga yang telah menandatangani NKB tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan untuk segera melaksanakan rencana aksinya, dan; (5) Mendorong Mahkamah Konsitusi untuk segera menerbitkan keputusan tentang hasil judicial review yang dilakukan oleh komunitas-komunitas masyarakat adat. Guna memperoleh gambaran lebih kaya mengenai corak pandangan terkait keberadaan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan, sangat penting kita menelusuri opini publik sebagaimana tercermin dalam pemberitaan media massa. Isu kehutanan kembali mencuat sehubungan dengan proses dan hasil rapat dengar pendapat “Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan” (bersama DKN dan Komnas HAM) dengan DPR RI (8/4/13) yang membahas RUU ini. Inilah sekelumit liputan “Tim Media DKN” yang bersumber dari berbagai media massa. 1. Ancaman Bagi Masyarakat Lokal Sebelum rapat dengar pendapat ini digelar, media online Kompas.com (31/3/13) memberitakan bahwa Komisi IV DPR RI dan Kementerian Kehutanan saat ini membahas RUU Tentang Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H), dan menargetkan akan disahkan menjadi Undang-Undang melalui Rapat Paripurna DPR pada April 2013. Tujuan awal RUU Pemberantasan Perusakan Hutan, untuk mencegah dan memberantas perusakan hutan secara efektif dan memberikan penghukuman yang menjerakan, karena perusakan hutan dianggap sebagai kejahatan luar biasa, terorganisir, serta dengan cara-cara yang canggih. Namun RUU ini justru akan mengkriminalkan masyarakat lokal sekitar hutan, yang hidup dari hasil hutan.
1
Koordinator Public Interest Lawyer Network (PIL-Net), Wahyu Wagiman mengatakan, jika RUU Pemberantasan Perusakan Hutan ini disahkan, terjadi kriminalisasi akibat timbulnya ketidakpastian hukum dari pasal-pasal dalam RUU tersebut . Dalam RUU itu, ungkap Wahyu Wagiman, banyak tercantum pasal karet yang menciptakan ketidakpastian hukum, serta cenderung berpotensi disalahgunakan aparat keamanan dalam menertibkan masyarakat lokal sekitar hutan. Dengan kata lain, Pasalpasal tersebut akan menghukum perbuatan pidana yang harusnya tidak perlu di pidana. Hal ini bisa dilihat dari sedikitnya lima pasal dalam RUU P2H yaitu pada Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan Pasal 25 RUU Pemberantasan Perusakan Hutan. Di sisi lain, lanjutnya, sebagaimana Pasal 83 RUU Pemberantasan Perusakan Hutan, negera sebe tulnya memahami adanya masyarakat yang bertempat tinggal di dalam kawasan hutan, namun ternyata tetap diberikan sanksi jika mereka memanfaatkan hasil hutan. Padahal seharusnya, ketika terdapat masyarakat lokal yang mengelola, maka masyarakat tersebut tidak dapat dipidana. Bahkan, jika mengacu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45 Tahun 2012, yang secara implisit menyatakan pengurusan dan penentuan kawasan hutan yang selama ini otoriter, karena tidak mempertimbangkan keberadaan dan eksistensi masyarakat. RUU ini justru mengabaikan putusan MK tersebut, dan mengembalikan keotoriteran pengurusan hutan. Menurut Wahyu Wagiman, dalam RUU ini tidak terlihat rasionalisasi tentang jenis ( strafsoort) dan berat ringannya pidana (strafmaat ) yang menjadi ancaman. Hampir semua tindak pidana, diancam dengan pidana sama berat (Sumber: Kompas.com, 31/3/13). 2. DPR Jangan Mensahkan RUU P2H! Selain itu, Metrotvnews.com (1/4/13), memberitakan bahwa Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan mendesak DPR RI agar tidak mengesahkan RUU P2H. Salah satu anggota Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis Rahma, yang tergabung dalam koalisi mengatakan bahwa RUU P2H itu sangat tidak layak untuk disahkan dan bahkan untuk dibuat. "Kami berkesimpulan kalau RUU itu disahkan, justru akan membuat persoalan baru. Pasalnya regulasi tersebut sangat menyimpang dari asas keterbukaan saat dilakukan proses pembuatan rancangannya," jelas Rahma di Gedung DPR RI. Selain itu permasalahan yang ingin disasar oleh RUU P2H juga dinilai tidak jelas arahannya. "Dalam salah satu ketentuan dalam RUU tersebut, ada larangan untuk menebang pohon dengan diameter 10 cm. Kalau itu dilaksanakan, masyarkat ada akan mati," ujar salah satu anggota koalisi lainnya, Anto dari Aliansi Masyarakat Sejahtera. Koalisi juga beranggapan bahwa RUU akan membuka peluang untuk terjadinya kriminalisasi bagi masyarakat adat dan lokal di sekitar hutan. Bahkan tatanan hukum pidana serta peraturan di bidang sumber daya alam juga bisa rusak. Terkait dengan asas keterbukaan dalam pembuatan RUU tersebut, Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung mengatakan RUU tersebut adalah yang paling lama dibahas dalam tujuh 2
kali rapat. Ia pun mengatakan siap menampung seluruh penolakan dari para anggota koalisi. Bahkan ia bersedia untuk menyampaikannya kepada fraksi-fraksi di Komisi IV yang membahas RUU tersebut. "Koalisi bisa datang ke mereka, sampaikan keberatan karena ada keluhan dari masyarakat, untuk itu dalam rapat paripurna yang akan digelar Selasa (2/4) saya akan usahakan untuk tidak mengesahkan dulu RUU tersebut," kata Pramono (Sumber: Metrotvnews.com, 1/4/13). 3. Sikap LSM: Tolak RUU P2H! Sementara itu, VIVAnews (8/4/13) mengabarkan bahwa Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari 29 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menolak rencana pemerintah yang akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU P2H). RUU yang rencananya akan disahkan pada tanggal 12 April mendatang dinilai berpotensi memidanakan masyarakat lokal yang sudah bermukim di hutan itu lebih dulu. Koalisi menilai, terdapat 13 pasal dalam RUU P2H yang dapat menjerat masyarakat yang berada di dalam atau di sekitar kawasan hutan. Selain itu ancaman pidana di dalam pasal-pasal itu bersifat akumulasi yang berarti jika terbukti maka hakim harus menjatuhkan hukuman pidana penjara dan denda sekaligus. Masyarakat Sipil juga beranggapan RUU P2H itu tidak mendesak untuk segera disahkan dan tidak menjawab persoalan yang terjadi di sektor kehutanan. "Justru yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat kehutanan saat ini adalah melakukan revisi terhadap UU Kehutanan No 41 tahun 1999," ujar Juru Kampanye Hutan, Zenzi Suhadi, yang ditemui pada Minggu 7 April di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan. Zenzi berpendapat UU Kehutanan yang saat ini berlaku masih belum menjelaskan dengan detail status kepemilikan hutan yang ada di Indonesia. "Hutan itu sebenarnya milik siapa? Apakah hutan milik negara atau bukan?" ujar Zenzi mempertanyakan status hukum hutan di Indonesia. Pendapat serupa juga diutarakan anggota Dewan Kehutanan Nasional (DKN), Martua T. Sirait. Ditemui di tempat yang sama, Martua menyebut saat ini asumsi yang berkembang di lapangan seluruh hutan yang ada di Indonesia merupakan milik negara. "Padahal di dalam UU Kehutanan yang saat ini berlaku tidak didefinisikan dengan jelas mana yang statusnya hutan milik negara dan mana yang merupakan hutan adat milik masyarakat lokal," kata Martua. Menurut data DKN, dari sekian banyak hutan yang tersebar di seluruh Indonesia, tercatat baru 14 persen saja kawasan hutan yang sudah selesai dan jelas status pengukuhannya. Sisanya masih terlibat sengketa batas lahan dengan desa yang ada di seluruh Indonesia. "Jumlahnya mencapai 33ribu desa yang masih bermasalah mengenai tapal batas lahan ini," ungkap anggota komisi IV bidang lingkungan dan perubahan iklim DKN itu. Martua khawatir jika UU ini tidak segera direvisi maka akan banyak warga dari masyarakat adat setempat yang telah menempati lahan hutan itu terlebih dahulu dikriminalkan. Mereka dapat ditangkap sewaktu-waktu karena dianggap menduduki lahan hutan milik negara. "Statusnya atau keberadaan mereka itu sudah tanpa izin itu, dianggap 3
oleh pemerintah setempat dijadikan alasan untuk menangkap masyarakat lokal yang sudah lebih dulu ada ketimbang izin kepemilikan hutan negara terbit," kata dia. Salah satu masyarakat lokal yang menjadi imbas dari penerapan UU itu adalah Rosidi, seorang petani asal kabupaten Kendal. Dia ditangkap oleh pihak kepolisian karena membawa pulang sebuah kayu berdiameter 10cm dan panjang tiga meter. "Dia memang menemukan sebuah kayu yang tergeletak ketika pulang bekerja dan itu diakui bertentangan dengan UU No. 41 tahun 1999 pasal 50 ayat 3," ujar Zainal Arifin dari LBH Semarang yang ikut mendampingi Rosidi di kantor ICW. Di dalam UU itu disebut Zainal memang tertulis dilarang memungut atau memanen hasil hutan tanpa izin yang berhak. Alhasil Rosidi dihukum penjara selama lima bulan 15 hari dan baru bebas tanggal 5 Agustus 2012 lalu. "Padahal kami telah berusaha meminta kepada KPH Kendal supaya permasalahan ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Namun hasilnya nihil," kata Zainal. Zainal dan rekan Koalisi Masyarakat Sipil mengancam jika pemerintah tetap ngotot untuk mengesahkan RUU P2H dan bukan meninjau kembali UU Kehutanan, maka mereka akan membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi untuk meminta pengajuan uji materi riil terhadap RUU tersebut. "Karena RUU itu hanya berpijak kepada fungsi ekonomi dan perizinan semata, sehingga jika ditemukan kasus tidak sesuai perizinan maka dapat digunakan sebagai alasan untuk dilakukan penahanan terhadap masyarakat lokal," tutur Zainal (Sumber: VIVAnews, 8/4/13). 4. UU P2H Bukan Solusi! Selanjutnya media online Beritasatu.com (6/4/13) menyimpulkan bahwa pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H) dinilai tidak menjadi solusi kerusakan hutan di Indonesia. "Koalisi Pemulihan Hutan (KPH) Jawa sepakat bahwa segala bentuk tindak perusakan hutan harus dihentikan agar hutan Indonesia tidak semakin rusak. Namun pengesahan RUU P2H bukan merupakan solusi terbaik," kata Emerson Yuntho anggota KPH Jawa dalam surat terbuka kepada Pimpinan Komisi IV DPR. Emerson mengatakan, RUU P2H tidak layak disahkan menjadi Undang-Undang (UU) karena sejumlah alasan. Pertama, Ketentuan Umum Pasal 1 butir 3 RUU tersebut dinyatakan perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah. Namun ketentutan tersebut kata dia, bakal merugikan masyarakat adat maupun lokal di sekitar hutan yang biasanya mempunyai hak/klaim pemilikan/penguasaan atas kawasan hutan yang sudah berlangsung turun temurun. "Namun kemudian secara sepihak telah ditetapkan, ditunjuk, ataupun sedang diproses penetapan oleh Pemerintah," kata Emerson. Kemudian, pada bagian kedua RUU tersebut, yaitu Pasal 11 sampai Pasal 25 berisi berbagai macam larangan bagi setiap orang. Menurut Emerson, ketentuan tersebut seolah4
olah menutup kenyataan bahwa selama ini masyarakat adat atau lokal yang tinggal di dalam dan sekitar hutan telah memanfaatkan sumberdaya hutan dengan beragam kearifan lokal yang telah dipraktekkan secara turun-temurun. "Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam RUU tersebut pada dasarnya sudah diatur dalam UU 41/1999 tentang Kehutanan; misalnya dalam Pasal 50 (larangan) dan Pasal 78 (ketentuan pidana)," kata Emerson. Selanjutnya, dalam pertimbangan RUU ini disebutkan bahwa Undang-Undang yang ada belum memadai untuk menangani pemberantasan secara efektif terhadap perusakan hutan yang terorganisasi. Namun, ketidakmampuan dalam menangani perusakan hutan bukan disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang tidak memadai, tapi lebih disebabkan karena kurangnya kemauan aparat pemerintah dalam penegakan. Tak hanya itu, pihak aparat juga enggan mencokok mafia hutan yang terorganisir yang melakukan perusakan hutan paling parah. Aparat justru cenderung menindak rakyat kecil pelaku perusakan hutan. "Ada jaminan bahwa dengan adanya UU P2H maka penegakan hukum akan dilakukan secara konsisten sehingga bisa mencegah dan mengatasi tindak perusakan hutan yang dilakukan oleh kelompok terorganisir dan terstruktur dan perusahaan-perusahaan pemegang ijin?" kata Emerson. KPH khawatir jika UU P2H disahkannya akan semakin menguatkan tindak kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan lokal yang dalam skala kecil memanfaatkan sumberdaya hutan disekitarnya untuk kehidupan sehari-hari. Menurut Emerson, untuk mengatasi persoalan kerusakan hutan di Indonesia, sebaiknya dilakukan dengan merevisi UU 41/1999 tentang Kehutanan secara komprehensif sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, dengan salah satunya memasukkan klausul-klausul tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan (Sumber: Beritasatu.com, 6/4/13). Sementara itu kalangan LSM di Jawa juga menentang RUU P2H ini. Diberitakan oleh Bisnis.com (6/4/13) bahwa sedikitnya 36 organisasi sipil di Jawa menyurati DPR RI agar membatalkan pengesahan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan terkait dengan ancaman kriminalisasi pada masyarakat kecil, tetapi tidak pada pemegang izin skala besar. Sebanyak 36 organisasi itu bergabung dalam Koalisi Pemulihan Hutan Jawa, yang dideklarasikan di Jogjakarta pada Januari lalu. Menurut koalisi, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan terancam dikriminalisasi namun tidak pada perusahaan atau kelompok yang terorganisir. "Apakah ada jaminan bahwa maka penegakan hukum akan dilakukan secara konsisten sehingga bisa mencegah dan mengatasi tindak perusakan hutan yang dilakukan oleh kelompok terorganisir dan perusahaan-perusahaan pemegang ijin?" demikian tulis koalisi tersebut di Jakarta, Sabtu (06/4/2013). Mereka memaparkan selama ini kebanyakan kasus perusakan hutan yang tidak terjamah hukum umumnya dilakukan oleh mafia yang terorganisir dan melibatkan pihakpihak tertentu. Selain itu, kata koalisi, ketidakmampuan dalam menangani perusakan hutan juga bukan disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang tidak memadai, tapi kurangnya kemauan aparat pemerintah dalam penegakan hukum. Koalisi mencontohkan pada Pasal 11 sampai Pasal 25 berisi berbagai macam larangan bagi setiap orang terkait dengan perusakan hutan. "Ketentuan tersebut 5
seolah-olah menutup kenyataan bahwa selama ini masyarakat adat atau lokal yang tinggal di dalam dan sekitar hutan yang memanfaatkan sumberdaya hutan dengan beragam kearifan lokal yang telah dipraktekkan secara turun-temurun," demikian koalisi (Sumber: Bisnis.com, 6/4/13). 5. RUU P2H Pidanakan Rakyat Kecil! Sedangan media online Sinar Harapan atau shnews.co.id (8/4/13) menyiarkan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU P2H) terus menuai kontroversi. Di antara semangat memberantas perusak hutan, sepertinya terdapat banyak kepentingan pengusaha dan pemodal yang dimenangkan di dalamnya. Sementara rakyat dan masyarakat adat ditinggalkan. Bahkan, mereka terancam dipidana karena berpotensi besar mengakses wilayah hutan. Kecemasan itu sangat beralasan. Ini mengingat di dalam salah satu pasal RUU P2H termaktub pasal tentang pidana untuk orang-orang yang mengakses dan memanfaatkan hutan, seperti pasal-pasal di Undang-Undang Kehutanan (UUK). Keberadaan pasal di UUK itu telah mengakibatkan sekitar 218 anggota masyarakat adat kini harus meringkuk dipenjara. “Dalam enam bulan terakhir UUK telah dipergunakan sebagai dasar hukum untuk menahan 218 masyarakat adat di seluruh Nusantara. Termasuk di dalamnya tuduhan masuk hutan tanpa izin terhadap komunitas adat Datu Pekasa yang akhirnya dipenjara oleh PN Sumbawa, dan tuduhan melawan aparat yang dilakukan masyarakat adat Pandumaan Sipihuta di pinggir Danau Toba karena memasuki wilayah Hutan Kemenyan yang merupakan hutan adat mereka,” kata Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), akhir Maret 2013. Dengan demikian, jika RUU P2H jadi disahkan, diperkirakan ribuan anggota komunitas adat yang biasa mengakses hutan bisa dipidanakan. Alasannya jelas, karena mereka melanggar ketentuan pengelolaan wilayah hutan, dan dianggap sebagai perusak hutan. Padahal, fakta di lapangan menunjukkan perusakan hutan sejatinya tidak dilakukan rakyat biasa. Sistem pengelolaan tradisional yang mengembangkan kearifan lokal terbukti memiliki dampak yang lebih positif, ketimbang pengelolaan hutan yang dilakukan perusahaan modern. Salah satu contohnya adalah penyebab kebakaran hutan. Dampak terbesar justru datang bukan dari masyarakat yang membakar hutan dengan gaya tradisional, tetapi perusahaan-perusahaan yang sebenarnya ingin mengurangi biaya besar. Pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat juga lebih arif dibandingkan oleh perusahaan besar bubur kertas yang membabat segala jenis kayu tanpa pandang bulu. “Kerusakan hutan tidak hanya masalah aktivitas tanpa izin dalam operasional perusahaan di atas hutan, namun juga disebabkan oleh aktivitas ilegal perusahaan dengan izin resmi,” papar Abetnego Tarigan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), pada kesempatan berbeda. Aktivitas ilegal tersebut termasuk land clearing hutan dengan hanya mengantongi izin lokasi. Kasus serupa juga terjadi pada daerah pertambangan, di mana land clearing dilakukan dengan hanya mengantongi izin eksplorasi. “Sehingga tampaknya pengesahan 6
RUU P2H ini dilakukan, karena kental dengan upaya untuk menghilangkan penegakan hukum atas pelanggaran-pelanggaran oleh perusahaan besar,” imbuhnya. Ironisnya, DPR bergeming dengan berbagai masukan masyarakat. Sebaliknya, para anggota dewan itu melakukan rapat diam-diam dan tertutup dalam pembahasan RUU P2H tersebut. Menurut Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch (ICW), aturan itu akan disahkan pada 2 April 2013. Namun, kalangan LSM baru mengetahui keberadaan RUU itu dua pekan sebelum pengesahan dilakukan. “Pembahasan RUU ini terkesan diam-diam sehingga kalangan civil society baru mengetahui keberadaan RUU ini beberapa hari yang lalu,” katanya, akhir pekan minggu ketiga Maret 2013. Padahal, RUU tersebut memiliki banyak kekurangan, mulai dari proses sampai isinya. Beberapa hal yang dipermasalahkan termasuk proses yang tak transparan dan tidak mengikutkan keterlibatan publik (Sumber: shnews.co.id, 8/4/13). 6. Dahulukan Revisi UU Kehutanan Pendapat senada juga diungkapkan beberapa kalangan akademikus. Hariadi Kartodihardjo, guru besar kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menyatakan, saat ini yang lebih dibutuhkan masyarakat merupakan revisi dari UU Kehutanan, bukan RUU P2H. “Banyak pengertian dan pasal-pasal dalam RUU P2H yang harus diperbaiki. Jika tidak diperbaiki maka tujuan regulasi ini tidak akan tercapai dan masyarakat akan menjadi korban dari regulasi ini,” katanya, Kamis (4/4). Shinta Agustina, dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, juga menyebutkan pasal-pasal yang mengatur tindak pidana di dalam RUU P2H ini tidak memperlihatkan sistematika dan pembagian atau pengelompokan yang jelas. “RUU tersebut tidak memperlihatkan pertimbangan yang matang akan pemilihan sanksi pidana, bahkan terdapat pengaturan ganda atas satu perbuatan dalam beberapa pasal, muncul banyak kerancuan aturan tentang penyidik PNS dan kewenangannya serta keberadaan lembaga baru,” paparnya. Secara substansi, RUU P2H tersebut sangat membahayakan masyarakat, terutama komunitas adat dan rakyat yang biasa mengakses hutan. Dengan kedudukan dan definisidefinisi yang lemah dalam RUU P2H, ancaman kriminalisasi terhadap jutaan orang yang hidupnya tergantung pada hutan tidak akan terelakkan. RUU P2H ini dapat mengkriminalisasi anggota komunitas yang mengambil pohon sebesar tongkat atau diameter 10 sentimeter (cm) untuk sekadar membuat pagar rumah misalnya, atau dapat mempidanakan anggota komunitas yang membawa parang atau sejenisnya, masuk ke dalam hutan. Definisi kejahatan terorganisasi dalam yang lemah dalam RUU P2H ini dapat memenjarakan dua orang saja anggota masyarakat yang masuk ke dalam hutan adatnya tanpa izin dari pihak berwenang. Tidak disangsikan, masyarakat akan kehilangan semua aksesnya terhadap hutan, jika RUU ini disahkan sebagai UU (Sumber: shnews.co.id, 8/4/13).
7
7. AMAN: Hentikan Pengesahan RUU P2H! Secara khusus, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah menyampaikan pandangan dan sikapnya melalui Konferensi Pers pada tanggal 28 Maret 2013. Menurut AMAN, reformasi kehutanan merupakan desakan yang sejak lama disuarakan oleh Masyarakat Adat. Dalam setiap Kongres Masyarakat Adat Nusantara maupun Rapat Kerja Nasional AMAN maupun dalam pertemuan-pertemuan pengurus AMAN pada berbagai tingkatan, kritik terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) merupakan tema yang selalu ada. Kritik dan desakan untuk segera mereformasi peraturan perundang-undangan di sektor kehutanan yang dimulai dari UUK didasarkan pada kenyataan bahwa selama 14 tahun UUK diberlakukan, praktis hanya menghasilkan trauma mendalam bagi Masyarakat Adat. UU itu telah menjadi basis legal bagi perampasan wilayah-wilayah adat oleh negara yang sebagian besar diantaranya diikuti dengan kriminalisasi dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat. Umumnya, wilayah-wilayah adat yang diambil itu diserahkan oleh negara kepada sektor-sektor logging dan perkebunan dan juga pertambangan, yang hingga hari ini, terus meminggirkan hak Masyarakat Adat untuk sejahtera serta berdaulat di atas wilayahnya sendiri. Selama 6 bulan terakhir saja UUK telah dipergunakan sebagai dasar hukum untuk menahan tidak kurang dari 218 anggota Masyarakat Adat di berbagai wilayah di nusantara. Mulai dari tuduhan masuk kawasan hutan tanpa ijin (kasus Datu Pekasa yang akhirnya dipenjara oleh PN Sumbawa) sampai pada tuduhan melawan aparat karena Masyarakat Adat mencoba melindungi Hutan Kemenyan (hutan adat) dari penggusuran oleh perusahaan (kasus Pandumaan Sipituhuta) dan tuduhan lainnya. Menyadari bahwa reformasi hukum di bidang kehutanan sangat penting maka pada tahun 2012, AMAN telah mengajukkan Judicial Review atas UUK No. 41/1999, yang saat ini belum diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Selain itu, masyarakat sipil juga telah mendorong revisi UUK yang saat ini telah masuk dalam Prolegnas 2013. AMAN juga tengah mendorong agar RUU Masyarakat Adat disahkan tahun ini. Adanya UU yang melindungi hak-hak Masyarakat Adat, menjadi sangat penting untuk memandu berbagai UU lainnya yang berkaitan dengan Masyarakat Adat, termasuk sektor kehutanan. Namun demikian, di tengah carut-marut persoalan kehutanan yang belum terselesaikan ini, dan di tengah upaya Masyarakat Adat dan masyarakat sipil untuk mendorong perubahan kebijakan yang lebih berkeadilan, tiba-tiba Pemerintah bersama dengan Komisi IV DPR-RI justeru diam-diam tengah mempercepat lahirnya UU tentang Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P2H). Secara proses, terdapat indikasi bahwa pembahasan RUU P2H ini dilakukan secara tertutup dan diam-diam. Masyarakat Adat yang sangat tergantung pada hutan dan merupakan pihak yang paling akan terkena dampak dari UU ini jika disahkan, tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan RUU P2H ini. Demikian pula, konsultasi publik kepada organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnya, tidak pernah dilakukan. Organisasi masyarakat sipil termasuk AMAN terkejut ketika mengetahui bahwa DPR-RI dan Pemerintah berkeinginan untuk segera mensahkan RUU P2H ini pada tanggal 2 April 2013
8
yang akan datang, tanpa disertai proses-proses konsultasi publik yang seharusnya dilakukan. Secara substansi, RUU ini sangat membahayakan Masyarakat Adat. Pertama, secara umum RUU ini dibangun di atas ketidakjelasan hukum mengenai sistem tenurial. Hingga hari ini Mahkamah Konstitusi masih belum mengeluarkan putusannya terkait dengan Permohonan Uji Materiil atas UUK No. 41/1999 yang telah diajukan oleh AMAN pada tahun 2012 yang lalu. Artinya pengaturan mengenai hutan adat hingga hari ini masih harus mengikuti ketentuan UUK saat ini di mana hutan adat dikonstruksikan sebagai hutan negara yang berada di wilayah Masyarakat Adat. Kedua, dengan kedudukan yang demikian, ditambah dengan definisi-definisi yang lemah dalam RUU P2H, maka ancaman kriminalisasi terhadap jutaan anggota Masyarakat Adat yang hidupnya tergantung pada hutan, tidak akan terelakkan. RUU P2H ini dapat mengkriminalisasi anggota komunitas yang mengambil pohon sebesar tongkat (diameter 10cm) untuk sekedar membuat pagar rumah misalnya, atau dapat mempidanakan anggota komunitas yang membawa parang atau sejenisnya, masuk ke dalam hutan. Definisi kejahatan terorganisir dalam yang lemah dalam RUU P2H ini, dapat memenjarakan 2 orang saja anggota Masyarakat Adat yang masuk ke dalam hutan adatnya tanpa ijin dari pihak berwenang. Tidak disangsikan, bahwa Masyarakat Adat akan kehilangan semua aksesnya terhadap hutan, jika RUU ini disahkan sebagai UU. Rencana pengesahan RUU P2H pada tanggal 2 April 2013, menunjukkan, bahwa reformasi hukum di sektor kehutanan dan pengelolaan sumber daya alam masih jauh dari harapan. Gelagat ini terlihat dengan tidak adanya upaya yang berarti dari pemerintah dalam menyikapi putusan MK No. 45 tahun 2012 (terkait Uji Materiil yang diajukan oleh beberapa bupati dari Kalimantan Tengah). Pembahasan RUU P2H ini juga tidak punya sense pada kemungkinan perubahan UUK melalui Uji Materiil atas UUK yang diajukan AMAN tahun 2012 lalu, yang saat ini sedang menunggu putusan MK (perkara No. 35/2012). Pembahasan hingga rencana pengesahan RUU P2H ini juga menunjukkan ketidakperdulian pemerintah atas upaya serius masyarakat sipil untuk mendorong revisi UUK yang telah diagendakan di DPR, serta pembahasan RUU Masyarakat adat di Badan Legislasi. Pembahasan dan pengesahan RUU P2H seharusnya menunggu hasil Revisi UUK selesai dilakukan dan RUU Masyarakat Adat disahkan. Dengan demikian, UU yang dihasilkan, tidak berbenturan. Oleh sebab itu, AMAN mendesak DPR-RI dan Pemerintah untuk : (1) Segera menghentikan pembahasan RUU P2H ini karena mengancam kehidupan dan penghidupan jutaan Masyarakat Adat di nusantara. Selain itu, RUU P2H berpotensi besar untuk untuk mengkriminalisasi sekian banyak anggota komunitas Masyarakat Adat yang hidupnya tergantung pada hutan; (2) Mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU tentang Masyarakat Adat dengan catatan bahwa substansinya harus dikonsultasikan secara terbuka kepada Masyarakat Adat dan organisasi Masyarakat Adat serta masyarakat sipil lainnya. RUU P2H hanya dapat dibahas setelah ada payung hukum yang kuat untuk melindungi keberadaan Masyarakat Adat berikut hak-haknya. Dengan demikian, UU yang dihasilkan oleh DPR-RI dan Pemerintah tidak bertentangan satu dengan lainnya; (3) Segera melakukan revisi atas UUK No. 41/1999. Revisi UUK harus dilandaskan pada semangat untuk melakukan koreksi atas akar persoalan kehutanan, sekaligus merancang UUK yang 9
lebih adil dan mengutamakan kepentingan rakyat banyak. Artinya Revisi UUK harus dapat memastikan bahwa persoalan pengukuhan kawasan hutan, persoalan hak-hak Masyarakat Adat atas wilayah adat dan persoalan lain yang selama ini menjadi kritik publik, mendapatkan tempatnya dalam revisi UUK tersebut (Sumber: AMAN, 28/3/13). 8. DPR Janji Perhatikan Masukan Koalisi Media Mongabay.co.id (9/4/13) melaporkan liputannya dari rapat dengar pendapat di DPR RI. Membuka liputannya, Mongabay.co.id memuat kutipan berikut: “Kami untuk bikin rumah, kayu dari hutan. Kalo kedapatan bikin rumah, apa kami kena hukum ini? Masyarakat di sana tak bisa bikin rumah karena tak ada kemampuan beli batu.” Demikian ungkapan Haposan Sinambela, mewakili warga Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara (Sumut), saat ikut rapat di Komisi IV. Lahan dan hutan kemenyan warga di dua desa ini masuk wilayah konsesi PT Toba Pulp Lestari (PT TPL), milik Sukanto Tanoto. Pemerintah memberi izin kepada perusahaan, tanpa memperhatikan tanah-tanah masyarakat adat. Dia mengutarakan, hutan kemenyan tempat mereka hidup sejak turun menurun ditebangi perusahaan ‘berizin’ untuk diganti kayu putih. Warga protes. Penangkapan oleh polisi kerap dialami warga. Satu konflik belum selesai, akan muncul UU PPH, yang berpotensi menjerat mereka dengan kasus lain. Dia makin khawatir. Senin pagi itu, Sinambela, bersama koalisi masyarakat penyelamat hutan rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR RI membahas RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU PPH). Berbagai lembaga, seperti Walhi, HuMa, AMAN, KPA, Komnas HAM sampai DKN memaparkan pandangan dan kritikan pada RUU ini. Mereka meminta DPR membatalkan RUU ini dan menilai lebih urgen revisi UU Kehutanan. Komisi IV berjanji membahas masukan pada rapat panja, tetapi tak akan menunda pengesahan RUU pada rapat paripurna, April ini. Suara Masyarakat Sipil Rahma Mary, dari HuMa menyampaikan, poin-poin pandangan koalisi. Menurut dia, koalisi menyadari, pemberantasan perusak hutan penting. Namun, dia mempertanyakan, mengapa harus membuat UU baru, padahal cukup merevisi UU Kehutanan. “Kenapa revisi UU Kehutanan no 41 tak jadi prioritas? Mengapa harus bahas UU baru?” katanya. Dia khawatir. Selama pengakuan hutan adat belum ada, maka segala tafsir bisa berlaku bagi masyarakat. Rahma mencontohkan, defenisi terorganisir, dua orang atau lebih, dan diameter kayu 10 cm, dengan tinggi 1,5 meter dalam tafsiran rentan terkena masyarakat adat. “Sudah ada contoh, masyarakat memungut kayu di hutan terkena hukuman.” Sebaliknya, bagi perusahaan atau pengusaha, bukan melarang, justru membolehkan asalkan ada izin dari menteri. RUU ini juga hadir tanpa naskah akademik. “RUU ini tak penuhi syarat formil dan materil, usul revisi UU Kehutanan. Jika disahkan kami akanjudicial review,” kata Rahma.
10
Tak jauh beda dengan Nur Hidayati, Kepala Departemen Kampanye dan Advokasi Eksekutif Nasional Walhi. Dia mengatakan, logika dasar RUU PPH sudah salah. “Seolah-olah dengan ada izin serta merta pengelolaan hutan baik. Padahal izin-izin diberikan dengan proses bermasalah.” UU ini juga berada di tengah situasi ketidakjelasan pengukuhan kawasan hutan, dan pemberian izin tak benar, yang menimbulkan konflik. “Banyak konflik karena banyak izin tak benar dan berujung kriminalisisi pada masyarakat. Keadaan ini juga terjadi karena ada kesenjangan. Izin-izin lebih banyak kepada korporasi daripada kelompok masyarakat yang ingin memanfaatkan hutan. “Hingga banyak ketimpangan dalam pemanfaatan hutan bagi masyarakat Indonesia.” Menurut dia, jangan sampai RUU PPH ini hanya menjadi ajang kebijakan kejar target kerja DPR. “Kalau ini nanti disahkan, DPR harus sadar ikut berdarah-darah dengan konflik yang akan terjadi di masa mendatang.” Erasmus Cahyadi, Direktur Advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengungkapkan, hukum apapun harus mempertegas status kuasa atas kawasan hutan. Jadi, dalam membuat UU baru, harus mengoreksi UU Kehutahan yang selama ini tak pro dan tak memberikan keadilan masyarakat. Jika memang ingin menyasar penegakan hukum bagi perusak hutan, mestinya dengan merevisi UU Kehutanan tahun 2009. Saat ini, katanya, kuasa kawasan hutan belum jelas, hingga berpotensi melanggar hak-hak masyarakat. “Dalam UU Kehutanan, hutan adat masih diletakkan sebagai bagian hutan negara. Kami perkarakan di Mahkamah Konstitusi dan keputusan belum keluar. RUU apapun yang berkaitan dengan sektor kehutanan mesti dibuat jika tata kuasa atas kehutanan itu sudah jelas. Dede Shineba, dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pun angkat bicara. Menurut dia, koalisi prihatin dengan kerusakan dan berbagai permasalahan hutan di Indonesia. “Tetapi apakah UU bisa mengatasi hal itu?” UU ini, hanya mengatur dua hal, pembakalan liar dan soal penggunaan izin tak sah. Jika masalah perusakan hutan, sudah ada UU Kehutanan yang mengatur. Dede menyarankan, guna memperkaya RUU ini harus ada harmonisasi dengan UU lain. Mengenai penunjukan kawasan hutan, masyarakat adat sedang uji materil di MK. Jika dikabulkan dan UU sudah disahkan tentu akan revisi lagi. “Kerusakan hutan memang harus jadi perhatian dan harus diatasi, tetapi RUU ini harus diperbaiki lagi.” Suara DKN dan Komnas HAM Dari Dewan Kehutanan Nasional (DKN) pun menyerahkan pandangan resmi kepada Komisi IV. Martua Sirait, Anggota Komisi Lingkungan dan Perubahan Iklim DKN mengingatkan kembali di kawasan hutan ada sekitar 30 ribu desa. “Hingga defenisidefenisi yang digunakan dalam RUU ini akan sangat berbahaya.” Belum lagi, dari 120 juta hektar kawasan hutan yang ditunjuk, baru 16 persen selesai pengukuhan. Padahal, izin-izin legal masih bertumpang tindih pada desa-desa itu.
11
“Prihatin, tumpang tindih ini belum selesai. Saat yang sama RUU atur itu tanpa selesaikan akar masalah. Kami dorong percepatan penetakan kawasan hutan. Pandangan kami sama, bukan buat UU ini tapi amandemen UU Kehutanan. Masalah ada di sana.” Sandra Moniaga dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun mengemukakan pandangan resmi lembaga ini. Komnas HAM, meminta DPR RI menunda pembahasan Rancangan Undang-undang Pemberantasan Perusahan Hutan (RUU PPH) sampai ada jaminan pemenuhan hak-hak masyarakat adat maupun lokal yang hidup bergantung dari hutan. Koalisi menyinggung pula, pembahasan RUU PPH terkesan tertutup. Di dalam website DPR pun tak ada progres pembahasan RUU ini. Bahkan, masih tercantum di sana judul lama: RUU Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar. Respon DPR DPR menyakinkan betapa penting UU ini. Meskipun begitu, mereka akan menerima masukan koalisi dan membahas dalam rapat. Sidang komisi ini dipimpin Firman Soebagyo dan Herman Khaeron. Hadir pula beberapa anggota panja Komisi IV. Berulang kali para kru Komisi IV ini mengatakan, RUU PPH sudah mengalami proses panjang, memasuki sidang keenam bahkan dibahas pada dua periode DPR, hingga sulit ditunda. Anggaran pun sudah banyak terpakai. Firman Soebagyo, Wakil Ketua Komisi IV coba menjelaskan berbagai ungkapan dari koalisi. Kata dia, DPR sudah ada naskah akademik tahun 2010, saat membahas RUU Pemberantasan Pembalakan Liar (PPL). Dalam proses itu berkembang, ternyata kerusakan hutan tak hanya karena ditebang, juga pembakaran dan perkebunan yang ditanam tanpa izin. Lalu, fokus masalah penegakan hukum. RUU pun berganti nama. Dia juga menyebut Hariadi Kartodihardjo, sebagai salah satu sumber yang memberikan masukan kepada Komisi IV. Hariadi sudah memberikan pandangan, tetapi tampaknya tak masuk perbaikan RUU. Firman keberatan pembahasan RUU ini dibilang desas-desus dan tertutup. “Tidak enak.” “Kami studi banding ke Brazil. Justru punya konsep seperti ini karena ada lembaga yang terintegrasi dan tak mengambil fungsi peran lembaga lain.” Namun, dia menyambut positif masukan dari koalisi. “Ini hal positif untuk komunikasi terus kepada kita. Ini paripurna. Masyarakat harus proaktif.” Ungkapan senada dari Herman Khaeron, Wakil Ketua Komisi IV. Dia mengatakan, UU tak bisa terwujud tanpa naskah akademik begitu juga RUU PPH. RUU ini menggunakan naskah akademik RUU PPL pada 2010. “Ini sudah dikonsultasikan dengan tiga perguruan tinggi. Itu konsultasi publik kepada masyarakat luas. Bukan hanya unsur civitas akademika. Termasuk Dinas Kehutanan dan para lembaga swadaya masyarakat. Itu prosedur standar.” Pengakuan Herman, setelah ada naskah akademik lalu berkoordinsi dan disingkronkan dengan UU lain. “Kami diuji seluruh anggota Badan Legislatif. Tidak serta merta RUU ini jadi insiatif.” Dia menjelaskan, bahasan RUU ini tak hanya Komisi IV juga Kementerian Kehutanan, Kementerian Hukum dan HAM. “Ini juga dikonsultasikan dengan sekretariat jendreal per UU-an agar tak menyimpang.” 12
Menurut dia, pembahasan RUU ini sudah enam kali masa sidang dan dua kali sidang pendek. “Dua kali masa periode juga. Jadi sudah (proses) panjang.” Herman menyakinkan, hak-hak rakyat sudah dikedepankan. Salah satu lewat, pengecualian kepada masyarakat peladangan tradisional yang menebang hutan tak terkena UU ini. “Jika ada kekurangan, silakan kasih masukan, masih ada waktu. Hingga tak serta merta seolah-olah kami lupakan masyarakat, mengabaikan hak rakyat, lupakan HAM. Seolah-olah kami tak ada kerja. Kita masih ada idealisme itu.” Hardisoesilo, Anggota Komisi IV juga menanggapi koalisi. Menurut dia, hal-hal terkait hukum adat, tidak diatur dalam RUU ini karena sudah ada dalam UU Kehutanan. Namun, dia tak menjelaskan pasal-pasal yang menjadi kekhawatiran koalisi rentan mengkriminalisasi masyarakat di kawasan maupun sekitar hutan. RUU ini, katanya, melalui perjalanan panjang, sudah enam masa kali masa persidangan hingga sulit dihentikan. Hardi mengakui ada beberapa hal dalam RUU ini harus diperbaiki. “Kita ada tahapan bahasan tingkat I dengan para menteri dan pembahasan paripurna. Saya usulkan pada panja, dan jangan berhenti bahas. Justru kita bahas kembali dengan coba pertimbangan dan mengacu yang disampaikan koalisi.” Hanya anggota komisi, Ian Siagian, dari Fraksi PDIP setuju penundaan pengesahan RUU PPH, sampai ada perbaikan seperti masukan koalisi. Kata dia, masukan koalisi perlu dipertimbangkan. “Karenatohkalau kita paksakan minggu ini disahkan, mereka akanjudicial review. Ini perlu masukan tertulis dari koalisi. Dia menyatakan, komisi tak pernah tertutup dalam membahas UU ini. “Saya juga melihat kekurangan tim kami. Kami ini seiya sekata dengan koalisi: bagaimana bisa perbaiki hutan.” “Saya rasa koalisi dan kita ingin buat UU yang sempurna.” Ian tak ingin UU ini gugur di MK. “Jangan sampai kita ketok, lalu gugur lagi.Mendingankita tunda dulu, demi kebaikan, kita pertimbangkan agar lebih sempurna UU ini.” Dia meminta, koalisi, termasuk DKN, Komnas HAM, memberikan masukan tertulis. “RUU akan masih ke panja dan tiap fraksi akan berikan pendapat. Fraksi kami masih liat poin-poin yang perlu disempurnakan. Tapi apakah kami hanya satu fraksi? Kami tak tahu. Mohon pertimbangkan.” Suara Kemenhut Dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyatakan, penting kehadiran UU PPH dalam mengisi kekosongan hukum yang tak ada dalam UU Kehutanan No 41 tahun 2009. Namun, mereka juga meminta Komisi IV mempertimbangkan masukan-masukan koalisi demi perbaikan isi RUU PPH ini. Bambang Soepijanto, Dirjen Planologi, Kemenhut, mendukung perbaikan RUU PPH dari masukan koalisi. Salah satu, pada analisis subtansi koalisi tentang harmonisasi UU perlu mendapatkan perhatian dalam pembahasan pada RUU PPH. “Jangan sampai ada kontra dan tidak ada kejelasan defenisi.” Begitu juga komitmen Komisi IV dan pemerintah terhadap kekhawatiran ‘mengkriminalisasi masyarakat.’ “Ini perlu koreksi. Adakah pasal seperti itu? Barangkali perlu disisir hal semacam itu.” Kajian koalisi yang menyebutkan, RUU PPH tak menghentikan degradasi hutan, kata Bambang, sebenarnya tak termasuk hal-hal dalam penyusunan kebijakan publik. Poin 13
itu, masuk dalam efektif tidaknya kebijakan itu. “Ini terkait evaluasi terhadap kebijakan. Tapi secara substansi apa yang diminta koalisi perlu dipertimbangkan. Prinsipnya, kami menyambut baik karena dalam penentuan sebuah kebijakan memang ini bagian koreksi pada kita semua.” Made Subagya dari Kemenhut menyakinkan, dalam RUU ini tak akan menyasar rakyat kecil. “RUU P2H memang untuk pemberantasan perusakan hutan. Jadi jelas memberantas. Saya sangat apresiatif, dalam diskusi-diskusi selalu diungkapkan rakyat kecil jangan kena. Jadi kita batasi, yang disasar kejahatan terorganisasi. Jika kerusakan dampak besar, kena.” Dia membenarkan, sudah ada UU Kehutanan no 41 tahun 2009. Namun UU itu belum bisa menjerat cukong atau pemberi modal. “Gimanacukong bisa ditindak, selama ini disitu kekurangan kita,” ucap Made. Darori, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kemenhut, yang sekaligus mengumumkan mundur dari kementerian mengatakan, RUU ini bertujuan baik. Sebab, selama ini Kemenhut mengalami kesulitan dalam penegakan hukum kasus-kasus kehutanan. Dia mencontohkan, dari 870 kasus sektor perkebunan dengan 85 juta hektar, tambang 1.707 kasus, 8 juta hektar lebih dan kerugian negara Rp362 triliun, banyak bebas. “Apa yang terjadi? Setelah kita lakukan penyelidikan. Kami tangkap pengusaha, ternyata UU sangat lemah. Memang UU Kehutanan pidana maksimal tujuh tahun, kenyataan banyak bebas. Itulah mengapa kami dorong UU ini.” San Afri Awang, Staf Ahli Menteri Kehutanan menyatakan, secara subtansi sebetulnya masyarakat adat ingin ditempatkan pada posisinya tetapi belum terumuskan secara nyata. “Karena itu, padastepke depan perlu diperiksa ulang.” RUU ini, memang bukan RUU sapu jagat. “Kita fokus betul pada hal-hal substansial yang merusak. Ketika berbicara mengenai perladangan tradisional, kata Awang, ada problem tersendiri. “Yang kita maksudkan jangan sampai masyarakat desa yang biasa buka lahan dengan konsep tebas dan bakar terkena kasus ini. Jadi kita tak beri perlindungan. Katanya kita lindungi. Ini yang perlu diperjelas di dalam rumusan yang akan kita rumuskan ke depan.” Dalam RUU ini dianggap merusak itu menebang pohon. “Saya kira perlu duduk lagi untuk paskan.” (Sumber: Mongabay.co.id, 9/4/13) Penutup Demikian sekilas suara publik seputar RUU Pemberantasan Perusakan Hutan. Kalau mau jujur, nada suara yang muncul dalam sejumlah berita di atas sangatlah jelas: RUU P2H ini tak layak untuk disahkan! Hendaknya DPR RI bersama pemerintah segera kembali ke meja perundingan untuk merespon tuntutan keras dari publik ini. Penataan kehutanan secara utuh dan menyeluruh hendaknya menjadi arah utama kebijakan ke depan. Semoga Istana dan Senayan dapat menyerap aspirasi publik ini sebelum terlanjur mengambil keputusan politik yang kelak malah akan menuai perlawanan publik secara lebih sengit dan membaha. ***
14