Lembar Fakta: Kejahatan Kehutanan di Kawasan Hutan Masyarakat Adat Mbaham Matta, Fakfak Disusun oleh TIM PUSAKA, 2015
Pendahuluan Pemerintah Daerah Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, merumuskan visi pembangunan daerahnya dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, 2011 - 2015), yaitu: “Terwujudnya masyarakat Fakfak yang maju, mandiri dan berkeadilan, yang dilandasi nilai-nilai religius dan kearifan lokal”. Upaya mencapai visi tersebut diantaranya adalah meningkatkan akses dan pengelolaan sumber daya kehutanan berbasis masyarakat, serta meningkatkan regulasi penataan pengelolaan hutan berdasarkan kepemilikan hak ulayat. Hingga berakhirnya RPJMD tersebut tahun 2015 ini, Pemkab. Fak-fak belum berhasil merealisasikan rencana pembuatan regulasi pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat. Program legislasi daerah minus pengaturan perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat setempat, sebatas komitmen dan himbauan agar investor atau perusahaan yang berinvestasi terlebih dahulu melakukan musyawarah dan mendapat persetujuan masyarakat. Sebaliknya, pemerintah tidak dapat mengendalikan dan masih mengeluarkan izin-izin pemanfaatan hasil hutan dan lahan berbasiskan pada perusahaan swasta, padahal belum berunding dengan masyarakat adat setempat. Saat ini, terdapat 7 (tujuh) perusahaan pembalakan kayu di Kabupaten Fakfak, yakni: PT. Arfak Indra (aktif beroperasi), PT. Hanurata (aktif), PT. Teluk Bintuni Min Agro Karya, PT. Fakfak Anugerah Abadi, PT. Sumber Rimba Abadi, PT. Kukar Commodities Worldwide, PT. Trimurti Madina Mulia. Ada dua izin hutan tanaman industri,
yakni: PT. Kesatuan Mas Abadi dan PT. Kreasi Permata Hijau, serta satu perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Rimbun Sawit Papua. Fasilitasi pengembangan industri hasil hutan dan lahan ini berbasiskan korporasi pemodal besar masih akan mungkin bertambah meluas seiring dengan ditetapkannya daerah Fakfak sebagai kawasan pengembangan agropolitan, bagian dari kawasan andalan dan strategi nasional. Keberadaan perusahaan-perusahaan tanpa kontrol dan persetujuan masyarakat justeru mendatangkan dan meningkatkan konflik permasalahan didaerah ini. Salah satunya adalah keberadaan perusahaan pembalakan kayu PT. Arfak Indra yang beroperasi di kampung-kampung di Distrik Karas dan Mbaham Dandara, Kab. Fakfak. Berdasarkan laporan masyarakat setempat dan peninjauan lapangan, diketahui aktifitas perusahaan PT. Arfak Indra tidak sejalan dengan ketentuan pengelolaan hutan produksi lestari dan terjadi perampasan hak-hak masyarakat adat.
Legalitas untuk Pelaku Kejahatan PT. Arfak Indra merupakan nama perusahaan pembalakan kayu yang beroperasi di wilayah Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, semenjak tahun 1995. PT. Arfak Indra memperoleh izin pengusahaan hasil hutan kayu (IUPHHK – HA) dari Menteri Kehutanan melalui surat keputusan Nomor 553/KPTS-II/1989, tanggal 25 Oktober 1989, dengan luas areal konsesi 153.000 hektar, berlokasi di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua. Pada tahun 2009, mendapatkan perpanjangan izin IUPHHK-HA oleh Menteri Kehutanan melalui surat Nomor SK.333/Menhut-II/2009, tanggal 15 Juni
2009, dengan luas areal 177.900 hektar, berlokasi di Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Riwayat kinerja PT. Arfak Indra terbilang buruk, sebagaimana dilaporkan dalam beberapa studi atas aktivitas perusahaan ini. Menurut laporan studi Hatta (2007) diketahui luas hutan primer sebelum ada perusahaan PT. Arfak Indra seluas 136.000 hektar, setelah aktivitas perusahaan selama 17 tahun, hutan primer berkurang sebesar 52.303 ha atau berkurang rata-rata 3.077 ha/tahun, tanpa ada upaya reboisasi. Berdasarkan Laporan Audit Independen terhadap kinerja PT. Arfak Indra, sejak tahun 2001 – 2006, terkait aspek keuangan, kepastian kawasan, ekologi, produksi dan sosial masyarakat. Dinyatakan kinerja perusahaan PT. Arfak Indra adalah buruk. Perusahaan tidak memperhatikan dan memelihara kepastian kawasan, serta hubungan dengan masyarakat sekitar. Penilaian perkembangan usaha likuiditas (kemampuan dalam menyelesaikan kewajiban jangka pendek), solvabilitas (kemampuan dalam menyelesaikan kewajiban jangka panjang) dan rentabilitas (jumlah laba setelah pajak/penjualan) adalah rendah. Kondisi keuangan PT. Arfak Indra tergolong tidak sehat. Terjadi konflik dengan masyarakat. Departemen Kehutanan beberapa kali memberikan surat peringatan karena buruknya kinerja perusahaan, lalu memberikan sangsi dengan tidak mengesahkan izin tebang tahunan 2003 hingga 2006, dari yang semestinya sangsi pencabutan izin. Dilapangan, diketahui perusahaan tetap beraktifitas tanpa izin dengan cara melakukan illegal logging, melibatkan masyarakat dalam kegiatan kejahatan kehutanan tersebut. Pertengahan tahun 2009, Kementerian Kehutanan kembali memberikan perpanjangan izin (IUPHHK-HA, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam) kepada PT. Arfak Indra, tidak ada informasi latar belakang pertimbangan pemberian izin tersebut. Masyarakat setempat juga tidak mendapatkan informasi dan menganggap pemerintah tidak menakomidasikan aspirasi masyarakat terkait permohonan penutupan izin PT. Arfak Indra, justeru melegalisasikan perusahaan yang melanggar hukum dan belum ada penegakan hukum berarti. Kinerja PT. Arfak Indra tetap bermasalah terkait kewajiban membayar izin usaha yang menunggak hingga milyaran rupiah dan pemerintah mengancam mencabut izin. (hukumonline.com, 18 Agustus 2010. Diketahui pula perusahaan pelaksana penebangan kayu PT. Mega Masindo Papua, dalam pelaksanaan kegiatan penebangan kayu pada tahun 2014 dan 2015, terjadi ketegangan sosial karena perampasan dan penggusuran hak-hak masyarakat. Perusahaan dilaporkan telah melakukan aktifitas tanpa persetujuan masyarakat, membongkar dan menggusur hutan tanaman milik masyarakat. Pengusaha pemilik PT. Mega Masindo Papua, Mr. George Paulus Hung alias Mr. Tingting Hung, pengusaha asal Malaysia dan telah menjadi warga negara Indonesia, diketahui punya masalah hukum dan pernah menjadi target operasi karena diduga terkait illegal logging (2006). Pembongkaran dan Penebangan Hutan Masyarakat Yeremias Temongmere asal Kampung Baham Dandara sedang berjalan ke hutan dusun pala miliknya siang itu (Februari 2015) dan bertemu dengan operator bulldozer perusahaan sedang membongkar dan menggusur pohon -pohon pala di dusun bernama Bogoma. Diketahui sepanjang Januari hingga Juni 2015, perusahaan perusahaan juga menggusur dusun pala milik beberapa warga, yakni: Dominggus Muri, Lukas Muri,
Neleton Muri, Pene Wagap, Mikael Muri, Yudas Muri, Wenan Murisan, Musa Muri, Lukas Muri dan Dominggus Muri. Masyarakat adat Mbaham yang berdiam disekitar Kampung Kinam, Distrik Karas dan Mbaham Dandara, Distrik Mbaham Dandara, mempunyai hidup sangat tergantung pada hutan, sungai dan kekayaan alam lainnya. Hutan merupakan sumber pangan yang utama bagi masyarakat dan sumber pendapatan, utamanya dari hasil hutan tanaman Pala (myrictica argantea warb) yang dikelola berdasarkan pengetahuan setempat. Karenanya kehadiran PT. Arfak Indra yang menggusur dan membongkar hutan tanaman pala dan hutan alam masyarakat tanpa persetujuan telah menciptakan konflik dan kerugian pada masyarakat dan lingkungan. Proses musyawarah untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat sebagaimana dianjurkan oleh Pemerintah Kabupaten Fakfak, maupun diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Pasal 43), tidak dijalankan perusahaan. Perusahaan tidak melakukan peminangan, memberikan sosialisasi informasi dan meminta restu dari masyarakat yang potensial terkena dampak aktifitas pembalakan kayu, Dalam kebiasaan masyarakat adat Mbaham, setiap masyarakat ataupun perusahaan dari luar yang memanfaatkan hasil hutan harus menyampaikan rencananya kepada Marga pemilik lahan dan Marga sekitar areal proyek. Karena hutan tanaman (dusun pala) dan dusun sagu tidak seluruhnya dikelola oleh marga pemilik lahan. Masyarakat adat setempat mempunyai hak kelola atas dusun-dusun hutan tanaman dan sagu didaerah setempat. Karenanya setiap aktifitas proyek pemanfaatan sumber daya alam yang mempengaruhi dan mengancam lingkungan fisik dan keanekaragaman hayati setempat harus mendapatkan izin dari masyarakat luas. Perusahaan menggunakan pendekatan lain untuk menyikapi kebiasaan hukum dan penolakan masyarakat dengan meminta persetujuan dan menggalang dukungan dari marga pemilik lahan tertentu yang cenderung pro pada perusahaan. Berdasarkan kesepakatan terbatas tersebut, perusahaan langsung bongkar, gusur dan tebang kayu dikawasan hutan masyarakat, baik untuk kepentingan pembangunan jalan tarikan kayu, sarana perusahaan dan pembalakan kayu. Akibat penggusuran dan pengrusakan kawasan hutan pala, masyarakat mengalami kerugian dan kehilangan pendapatan, selain itu terjadi ketegangan ‘dingin’ antara masyarakat. Hasil pala merupakan tabungan masyarakat, kata Lukas Muri, “menggusur dusun Pala berarti membakar saya punya tabungan”. Pendapatan masyarakat dari dusun pala bernilai ratusan juta rupiah per musim panen (Rp. 100 sd Rp. 200 juta) yang berlangsung hingga tiga kali setiap tahun. Berikut uraian hasil dari kebun pala, yakni: satu pohon pala menghasilkan rata-rata 1.000 biji pala mentah. Saat ini harga mentah buah pala untuk 1000 biji sebesar Rp. 400.000.- artinya setiap biji pala sebesar Rp. 400, jadi jika ada tiga kali panen dalam setahun maka setiap pohon akan menghasilkan 3.000 biji dikalikan Rp. 400 per biji menghasilkan Rp. 1.200.000 per pohon. Jika setiap kepala keluarga memiliki pohon pala sebanyak 1000 pohon maka hasil setiap tahun sebesar Rp. 1.200.000.000. Beberapa warga pemilik lahan pernah mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pimpinan perusahaan. Berdasarkan Kongres Dewan Adat Mbaham Matta, Fakfak, (2011) disepakati ganti rugi setiap anakan pohon pala Rp. 5 juta per pohon. Namun tuntutan bisa dikendalikan perusahaan yang menggandeng aparat keamanan Brimob sebagai petugas keamanan dilokasi perusahaan. Brimob bersenjata lengkap mengawal pimp-
inan perusahaan dalam berbagai perundingan sehingga membuat masyarakat adat yang sudah trauma dan terintimidasi menjadi ragu-ragu untuk melanjutkan tuntutannya. Sudah ada kasus, Brimob mendatangi warga yang sedang menuntut perusahaan. Brimob bersuara keras dan masyarakat merasa diteror lalu gagal menuntut.
Gagal Mengamankan Hutan Pada Maret 2015, PT. Ayamaru Sertifikasi mengumumkan hasil audit penilikan sertifikasi penilaian kinerja PHPL PT. Afrak Indra dengan predikat akhir kinerja baik turun menjadi sedang. Beberapa isu permasalahan yang membuat kinerja perusahaan menurun, antara lain: terbatasnya sosialisasi visi misi dan rencana perusahaan, implementasi PHPL hanya sebagian yang dilaksanakan, belum ada pesetujuan dari para pihak dan belum tertuang dalam berita acara, pelaksanaan CSR hanya pada sebagian para pihak, ketersediaan jenis dan jumlah sarana prasarana perlindungan dan pengamanan hutan belum memadai. Semestinya hasil audit penilaian kinerja ini sekaligus mengoreksi keberadaan perusahaan dalam pengelolaan hutan produksi lestari, namun hal ini terkesan tidak dipedulikan dan diabaikan perusahaan, sehingga masih muncul masalah sosial, penggusuran dan pembongkaran hutan, serta terkini kasus kebakaran hutan pada areal konsesi, yang menunjukkan kegagalan perusahaan mengamankan kawasan hutan konsesinya. Pada Oktober 2015, terjadi kebakaran diareal konsesi perusahaan di Goras dan Mbaham Dandara, api juga membakar dusun pala masyarakat. Menurut kesaksian masyarakat, perusahaan tidak berupaya mengatasi meluasnya kebakaran hutan dan tidak punya alat untuk menanggulangi kebakaran hutan. Asap dari kebakaran hutan didaerah ini menimbulkan kabut asap yang mengakibatkan bandar udara ditutup selama satu minggu. Dilapangan, ditemukan tidak tampak jelas adanya inventarisasi hutan sebelum penebangan, seperti label kayu yang siap tebang dan belum. Dilengkapi informasi dari masyarakat diketahui perusahaan melakukan penebangan tidak sesuai menyimpang
dari ketentuan dengan melakukan pembalakan kayu belum matang, penebangan disekitar daerah aliran sungai dan daerah penting untuk dilindungi. Pendekatan Keamanan dan Aksi Protes Masyarakat Mekanisme penyelesaian konflik merupakan salah satu syarat dari aspek sosial pengelolaan hutan lestari, ditandai dengan dokemen pemetaan konflik, adanya organisasi penyelesaian konflik, mekanisme yang adil, pendanaan dan catatan penanganan konflik. Perusahaan PT. Arfak Indra tidak melakukan mekanisme tersebut, perusahaan hanya menghadirkan aparat Brimob Polri yang dalam praktik dan pendekatan keamanan bertujuan untuk mengkontrol dan menaklukkan keberadaan masyarakat, untuk kepentingan melindungi dan mengamankan aktifitas perusahaan dalam kegiatan produksi, pengamanan kawasan hingga angkutan hasil kayu. Pola pendekatan keamanan yang dilakukan dengan pola intimidatif dan kekerasan berulang-ulang, pembatasan dan pelarangan hingga pengrusakan aset masyarakat, mendirikan pos-pos Brimob disekitar kampung dan dilokasi penampungan kayu. Pendekatan keamanan ini justeru menimbulkan konflik, membuat situasi sosial menjadi tidak kondusif dan tidak aman. Ketegangan antara perusahaan dan masyarakat semakin meluas, saling curiga dan adanya ketidak percayaan masyarakat terhadap perusahaan maupun pemerintah. Praktik kekerasan yang terjadi terkait dengan aktifitas PT. Arfak Indra, sebagai berikut: (1) intimidasi secara verbal dilakukan oleh manager camp dan aparat Brimob terhadap korban Lukas Muri dan Yeremias Temongmere di Mbaham Dandara pada Februari 2015, yang membuat korban tidak jadi menuntut ganti rugi atas kerusakan tanaman pala; (2) aparat Brimob membongkar palang adat dijalan logging PT. Arfak Indra yang dipasang Marga Wagab, Amos Wagab, Agus Wagab dan Ruben Wagab, karena perusahaan melakukan kegiatan pembalakan kayu tanpa izin dan terjadi pengrusakan kawasan hutan tanaman pala milik marga (Februari 2015); (3) aparat Brimob melakukan patroli dan mendatangi warga yang melakukan penebangan dan pengambilan pohon kayu di kawasan hutan disekitar kampung. Petugas Brimob mempersoalkan aktifitas warga tanpa izin dan bekerja diareal PT. Arfak Indra, serta melarang masyarakat untuk mengambil kayu. Petugas Brimob sering mengancam dengan nada keras bahwa mereka tidak bertanggung jawab, jika terjadi sesuatu terhadap diri warga yang mengambil kayu diwilayah PT. Arfak Indra. Petugas Brimob juga pernah menyita kayu olahan milik Amir Temong Mere, warga Kampung Goras, Distrik Mbaham Dandara. Padahal Amir hanya memanfaatkan kayu buangan di logpond perusahaan, “Saya gesek kayu dapat 4,5 kubit waktu mau muat bos Malaysia dan anggota Brimob datang dan menyita kayu-kayu tersebut. Lalu, kata anggota brimob itu, tidak usah kerja di HPHnya Arfak Indra dan saya dianggap mencuri kayu milk perusahaan”, kesaksian Amir. Kecenderungan pendekatan keamanan menggunakan pola intimidasi, terror dan pemaksaan terhadap rakyat disatu pihak, serta perlindungan terhadap kepentingan korporasi dipihak lainnya dapat berpotensi menimbulkan kekerasan pelanggaran HAM yang lebih luas. Pemerintah belum ada tanda-tanda untuk mengevaluasi dan mematuhi kebijakan perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat Papua sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, Pasal 43 dan 45.
Dewan Adat Mbaham Matta dan ratusan masyarakat korban melakukan demonstrasi protes di Kantor DPRD Kab. Fakfak pada April 2015. Sebelumnya, warga korban telah dua kali melakukan aksi serupa, mereka menuntut agar pemerintah dan DPRD menyelesaikan permasalahan kasus perampasan dan pengrusakan hutan adat, serta kekerasan yang dihadapi masyarakat di Distrik Karas dan Mbaham Dandara. Masyarakat juga menuntut aktifitas perusahaan PT.Arfak Indra ditutup. Tidak puas dengan sikap DPRD dan pemerintah daerah untuk membuat tim investigasi, Dewan Adat Mbaham Matta melanjutkan aksi ritual adat “Sasi” dilokasi jalan aktifitas perusahaan. Saksi adat merupakan sangsi dan larangan aktiftas perusahaan, ditandai dengan tiang palang, tanaman adat tertentu, serta prosesi ritual adat. Namun belakangan diketahui sasi palang adat ini tanpa diketahui pelakunya. Masyarakat menuding pelaku pengrusakan adalah perusahaan karena tidak mengakui dan menghormati hukum dan kebiaasaan masyarakat adat setempat. Pihak lembaga penegak hukum juga tidak menelusuri pelaku pembongkaran sasi adat, tidak juga menyelesaikan kasus-kasus yang dikeluhkan masyarakat dan dugaan kejahatan kehutanan yang dilakukan perusahaan PT. Arfak Indra. Masyarakat berpandangan bahwa sulitnya penegakan hukum menjangkau pihak perusahaan PT. Arfak Indra maupun operator PT. Mega Masindo Papua dikarenakan relasi dengan elite penguasa dan aparat penegak hukum. Jika benar demikian yang terjadi dan ditunjang dengan fakta-fakta kejahatan diatas maka dapat disimpulkan reformasi sistem dan penegakan hukum yang dicita-citakan Pemerintahan Joko Widodo nampaknya masih jauh dari kenyataan.
Bahan Bacaan: 1. hukumonline.com, (2010), “28 HPH Keberatan Peringatan Menhut”, 18 Agustus 2010, diakses pada 16 Desember 2015. http://www.hukumonline.com/berita/baca/ lt4c6beeea4f47f/28-hph-keberatan-peringatan-menhut. 2. Mohammad Hatta, (2007), “Dampak Penyelenggaraan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Dalam Perspektif Pembangunan Wilayah: Studi Kasus di HPH PT. Arfak Indra, Papua Barat”, IPB, Bogor. 3. Resume Hasil Penilikan Kinerja PHPL Pada IUPHHK-HA PT. Arfak Indra, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat, Maret 2015, PT. Ayamaru Sertifikat.