Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015 LEGENDA GUNUNG SELOK, CILACAP Supriyatno1, Novi Hidayat2 Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. 2 Email :
[email protected]
1,2
ABSTRAK Gunung Selok merupakan sebuah tempat yang dipercaya baik oleh masyarakat sekitar Karang Benda maupun yang berada diluar desa Karang Benda. Gunung Selok merupakan tempat yang secara turun temurun dipercaya sebagai tempat yang mistik dan dapat mengabulkan keinginan. Kepercayaan tersebut dituangkan dalam bentuk ritual dengan berbagai sesaji. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan yang melatarbelakangi masyarakat percaya terhadap Gunung Selok. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskrptif dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian ini di desa Karang Benda, kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap. Dalam penelitian ini dihasilkan beberapa alasan mengapa orang sering Gunung Selok diantaranya ialah yang pertama, orang yang datang ke Gunung Selok percaya kalau melakukan ritual akan dikabulkan keinginannya seperti ingin kaya, ingin dilancarkan dalam pekerjaan, mendapat ketenangan jiwa serta kemakmuran dan kesehatan. Yang kedua, karena diberi amanah untuk menjaga tempat tersebut secara turun temurun. Kata kunci: Tradisi, Kepercayaan, Ritual PENDAHULUAN Indonesia adalah negara yang memiliki banyak suku dan banyak budaya, baik dari sabang sampai merauke. Budaya merupakan tradisi dan tradisi dapat diterjemahkan dengan pewarisan atau penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Tetapi tradisi tersebutlah bukanlah sesuatu yang tak dapat diubah; tradisi justru diperpadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia dan ciri khas dari masyarakat (Peursen, 1976). Dari ciri khas yang dimiliki masyarakat itu dapat terlihat perbedaanperbedaan budaya yang dimiliki antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dalam masyarakat sangat berguna untuk mencari keseimbangan dalam tatanan kehidupan dan dapat menjadi adat istiadat yang diwujudkan masyarakat dalam bentuk upacara dan kepercayaan. Wujud kebudayaan dan sistem upacara adat merupakan wujud kelakuan dari sistem religi. Ritual dan upacara merupakan pelaksanaan dan pengembangan konsepkonsep, yang terkandung dalam kepercayaan yang akan menentukan tata urutan dan rangkaian acara dalam tradisi yang mampu memberikan inspirasi nilai positif (pesan moral) bagi masyarakat. Setiap daerah kebudayaan yang ada di Indonesia masih terdapat lagi berbagai macam variasi dan perbedaan unsur-unsur kebudayaan yang bersifat lokal yang bisa menimbulkan masalah seperti perbedaan mengenai tehnis, dialek bahasa dan lainnya (Koentjaraningrat, 2004).Masalah-masalah mengenai kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang dipergunakan untuk memahami dan mengintepretasikan lingkungan dan pengalamannya serta menjadi kerangka landasan bagi terwujudnya kelakuan (Suparlan, 1991). Oleh karena itu, kebudayaan ditempatkan sebagai sistem aturan serta pola perilakuan yang bersumber pada sistem kepercayaan sehingga pada hakekatnya sistem kepercayaan sama dengan kebudayaan.Kepercayaan dianggap sebagai
152
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015 buah hasil budi manusia yang tidak terlepas dariperadaban masyarakatnya. Secara etnis, mayoritas penduduk di Indonesia adalah suku Jawa. Mereka hidup dan tinggal di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Sardjono, 1995). Orang Jawa itu berbudaya satu, dimana mereka itu berfikir dan berperasaan seperti nenek moyang mereka. Khususnya daerah Jawa Tengah dengan kota Solo dan Yogyakarta sebagai pusat tumbuhnya kebudayaan. Oleh karena itu, Indonesia adalah negara yang dengan mayoritas penduduknya berbudaya jawa, sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi kebudayaan di Indonesia. Dalam beberapa hal, masyarakat Jawa sering menjadi pusat perhatian, misalnya dunia spiritual atau kebatinan yangdimiliki masyarakat Jawa. Didalamnya dipenuhi oleh konsep pemikiran pralogis (tidak logis), sekalipun pada masa modern seperti sekarang ini (Mudler, 1986). Sebagai salah satu contoh di desa Karang Benda, kabupaten Cilacap, daerah tersebut dapat dikatakan sebagai daerah dengan masyarakat yang didominasi masyarakat jawa dan beragama Islam. Banyak yang percaya akan keberadaan Gunung Selok yang dapat memberikan keberkahan, mengabulkan apa yang diinginkan serta dapat memberikan keselamatan bagi orang tersebut. Keyakinan terhadap Gunung Selok sudah turun temurun dalam masyarakat Karang Benda. Hal tersebut tidak terlepas dari adanya keterbatasan dalam kemampuan manusia dalam berfikir. Perilaku seperti itu, merupakan bentuk perilaku masyarakat untuk memuji keagungan dari Gunung Selok. Wujud dari rasa kepercayaan masyarakat terhadap Gunung Selok ada berbagai cara yang mereka gunakan, seperti (memberikan sesajen, membakar kemenyan, dan bunga-bunga) sebagai sarat untuk ritual dan semedi. Banyaknya warga masyarakat yang percaya akan sebuah tempat atau benda yang dianggap mempunyai kekuatan sendiri dimana mampu membantu mereka. Hal ini yang mampu membuat mereka yakin kalau hal tersebut dapat memberikan apa yang diinginkan dan merupakan tempat yang mistik atau keramat karena sangat disakralkan. Keramat merupakan tempat yang suci, karena di dalam keramat itu terdapat roh nenek moyang atau leluhur yang diyakini sebagai nenek moyang yang selalu menjaga kehidupan bermasyarakat.Oleh karena itu, meskipun masyarakat karang benda dan sekitanya telah memiliki atau memeluk agama, namun masyarakat tetap tidak dapat meninggalkan kepercayaantradisionalnya.karena sejak dahulu masyarakat sudah terikat oleh adat istiadat. Ketentuan-ketentuan adat istiadat yang tidak tertulis dalam lingkungan masyarakat Karang Benda tetap dipertahankan, karena masyarakat Karang Benda yang berada dikota Cilacap mengaggap bahwa ketetapan-ketetapan adat istiadat adalah sesuatu yang harus di taati dan dipertahankan untuk warisan ke generasi berikutnya sebagai warisan budaya. Kejawen adalah jati diri jawa, pemakain sumber-sumber ajaran berupa serat wirit merupakan perilaku kejawen yang paling menonjol. Serat wirid menurut ngelmu tuwa adalah suatu yang diasa ditaati oleh masyarakat kejawen. Dalam bukunya suwardi endraswara yang berjudul “mistik kejawen” di jelaskan bahwa,dalam kehidupan kejawen akan mengikuti idialisme tertentu (Endraswara, 2006). Mulfich (1998), mengemukakan tradisi berasal dari bahasa latin traditio yang berarti diteruskan. Dalam pengertian paling sederhana, tradisi diartikan sebagai sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat.Tradisi merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun temurun dari nenek moyang.Tradisi dipengaruhi oleh kecendrungan untuk berbuat sesuatu mengulang sesuatu menjadi kebiasaan. Koentjaraningrat (1984), secara teoritis lebih melihat budaya sebagai tradition; seluruh kepercayaan, anggapan, dan tingkah laku melembaga yang diwariskan dan diteruskan dari generasi ke generasi yang memberikan kepada masyarakatnya sistem norma untuk dipergunakan menjawab tantangan
153
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015 pada setiap perkembangan sosial. Ia bersifat dinamis bila tidak dapat menjawab tantangan zaman, akan berubah secara wajar atau lenyap dengan sendirinya. Dalam tradisi atau tindakan Orang Jawa selalu berpegang dalam dua hal yaitu sebagia berikut: (1) kepada pandangan hidupnya atau falsafah hidupnya yang religius dan mistis, (2) pada sikap hidupnya yang etis dan menjunjung tinggi moral atau derajat hidupnya. Pandangan hidupnya yang selalu menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan yang secara rohaniah atau mistis dan magis,dengan menghormati arwah nenek moyang atau leluhurnya serta kekuatan-kekuatan yang tidak tampak oleh indera manusia (Herusatoto, 2008). Salah satu fenomena yang lahir dari kepercayaan terhadap Tuhan,dewa-dewa, rasul,serta hantuhantu adalah pemberian sesaji. Bagi masyarakat Jawa, sesajian dapat dibagi menjadi empat jenis meliputi (Suyono, 2007): 1. Sesajian yang diperuntukan bagi Yang Kuasa, rasul, para wali, dewa-dewa, bidadari-bidadari, kekuatan yang terdapat pada seorang ulama atau yang dihormati, setan-setan, hantu-hantu, roh-roh, dan yang lainya, dengan tujuan menyenangkan mereka. Sesajian ini disebut sebagai Selamatan, 2. Sesajian sebagai sarana untuk menolak pengaruh setan, mahluk-mahkluk mengerikan,hantu-hantu, roh-roh jahat. Sesajian ini disebutpenulakan, 3. Sesajian yang dilakukan secara teratur kepada rasul-rasul, parawali,bidadari,jin-jin,kekuatan seseorang yang sudah meninggal, sertahantu-hantu, binatang,dan tumbuhan. Sesajian ini disebutwadima. 4. Sesajian berupa makanan yang diberikan kepada para wali, malaikatuntuk keselamatan roh-roh orang meninggal dan keselamatanpenyelenggaraan acara, keluarga dan hartanya, Sesajian inidinamakan sedekah. Masyarakat tetap percaya adanya kekuatan gaib yang melebihi kekuatan merekayang kemudian dijadikan sandaran dan pegangan atas hal-hal yang belum bisa dijelaskan secara rasional. Maksudnya adalah masyarakat percaya adanya alam gaib disekitar mereka dan merasa tidak mampu mengalahkannya, sehingga perlu “berdamai” dengan alam tersebut dengan melakukan beberapa ritual yang diyakini mampu mengharmoniskan alam manusia dengan alam gaib. Tidak jarang ritual ini juga merupakan upaya untuk meminta keperluan dan tujuan hidup (mencari berkah). Melalui ritual masyarakat bisa memenuhi kebutuhannya dan mencapai tujuan hidupnya melalui kekuatan-kekuatan yang berperan dalam tindakan gaib (Koentjaraningrat, 2004). Ritual merupakan sebuah kegitan yang tidak akan lepas dengan yang namanya aktifitas. Suryabarata (1991), membagi aktivitas menjadi dua golongan yaitu: 1. Golongan yang aktif Golongan yang aktif yaitu golongan yang karena alasan yang lemah saja telah berbuat (melakukan sesuatu). Sifat golongan ini antara lain: suka bergerak, sibuk, rebut dan praktis. 2. Golongan yang tidak aktif Golongan yang tidak aktif yaitu golongan yang walaupun ada alasan-alasan yang kuat belum juga mau bertindak. Sifat golongan ini antara lain: lekas mengalah, lekas putus asa. Tradisi menurut Harjono (1977), “ suatu pengetahuan atau ajaran yang diturunkan dari masa ke masa yang memuat tentang prinsip universal yang digambarkan menjadi kenyataan dan kebenaran relatif”. Tradisi adalah suatu warisan budaya yang bersifat komunikatif serta menembus semua tingkat pertumbuhan organisasi masyarakat sebagai sistem nilai struktur kepribadian masyarakat yang bersangkutan sebagai sistem nilai. Tradisi dan adat yang menyangkut kepercayaan Jawa pada umumnya dilakukan dan dikembangkan dengan mengambil dasar cerita rakyat. Herusatoto (2008) mengatakan, tradisi dan tindakan orang Jawa selalu berpegangan pada 2 hal yaitu: pertama kepada falsafah hidupnya yang religius dan mistis, sedangkan yang kedua pada etika hidup
154
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015 yang menjunjung tinggi moral dan derajat hidup. Pandangan hidup yang selalu menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan yang serba rohaniah mistis dan magis dengan menghormati nenek moyang leluhur serta kekuatan yang tidak tampak oleh panca indera manusia. Oleh karena itu, orang Jawa memakai simbol-simbol kesatuan, kekuatan dan keluhuran seperti: 1. Yang berhubungan dengan roh leluhur, sesaji, menyediakan bunga dan air putih, membakar kemenyan, ziarah kubur dan selamatan. 2. Yang berhubungan dengan kekuatan nenepi (diam di tempat sepi), memakai keris, tombak dan jimat. 3. Yang berhubungan dengan keluhuran laku utomo (tindakan utama dan terpuji) dalam hasta sila, asta brata, dan panca kreti. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Adapun lokasi dalam penelitian ini di desa Karang Bandeng, Kecamatan Adipala, Kabupaten Banyumas. Pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penduduk desa Karang Benda yang berjumlah 2.682 orang yang terdiri atas 1.338 (49,89 %) orang laki-laki dan 1.344 (50,11 %) orang perempuan, terbagi dalam 648 (24,16 %) kepala keluarga (KK).Kemudian untuk tingkat pendidikan, SD baik yang tamat sebanyak 834 (31,10 %) jiwa atau maupun yang tidak tamat sebanyak 765 ( 28,52 %) jiwa. Dengan tingkat pendidikan penduduk Desa Karang Benda relatif masih rendah, karena sebagian besar 59,62 % memiliki pendidikan hanya sampai SD dan SLTP 12,12 %. Kondisi penduduk seperti buta huruf juga masih cukup banyak sebesar 11,07 %. (www.cilacapkab.bps.go.id). Menurut Bapak Notonegoro (Toto) selaku juru kunci mengemukakan bahwa, di Selok memang sangat kuat hal-hal mistiknya dan tak jarang orang-orang yang datang untuk melakukan pesugihan atau melakukan ritual. Terdapat sebuah Padepokan yang digunakan untuk melaksanakan berbagai macam ritual pada hari-hari tertentu, dan terdapat pula satu sumber mata air yang bernama Sendang Nawang Wulan. Sumber mata air ini pada zaman dahulu digunakan untuk tempat pemandian. Karena pada saat melakukan ritual, kakek Beliau melihat bulan begitu jelas dari kolam air sehingga pemandian tersebut diberi nama Sendang Nawang Wulan yang artinya menerawang bulan. Menurut Pak Toto, di sini merupakan tempat untuk mereka yang ingin menghayati dan mendalami tentang budaya kejawen. Struktur budaya kejawen itu tidak bisa dilebihkan atau dikurangi, karena semua yang terkai didalamnya adalah sebuah adata ka yang harus kita abadikan dan lestarikan. Seperti keluarga Beliau walaupun melakukan aktivitas sembahyang, mereka tetap menjalankan kegiatan adat seperti membakar kemenyan dengan bunga. Selain itu, Beliau masih merawat peralatan seperti gong, kenong, dan calung.Kemudian di hari-hari tertentu (Jum’at Kliwon, Selasa Kliwon) Beliau masih melakukan ritual serta menaruh sesajen sebagai bentuk persembahan kepada sang penguasa alam. Kemudian menurut Takim Dama Tejo selaku Bikhu yang tinggal di Jambe 5 mengatakan, kalau terdapat Padepokan yang bernama Shanghyang Jati yang didirikan untuk melaksanakan sembahyang untuk para Bikhu dan ritual. Selain dijadikan sebagai tempat untuk ritual, Padepokan ini
155
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015 juga dijadikan sebagai tempat perkumpulan atau sejenisnya. KarenaBeliau selalu mengadakan perkumpulan antar sesama Bikhu, baik Bikhu dalam Negeri hingga Bikhu Mancanegara. Walaupun hanya sekedar untuk berkunjung ke Padepokan Shanghyang Jati serta ada pula yang karena ingin melakukan ritual. Menurutnya Selok berasal dari kata sela yang artinya batu. Pemberian nama Jambe Lima dan Jambe Pitu diambil berdasarkan dari jumlah hari dalam satu minggu. Dimana daalam satu minggu ada tujuh hari dan didalam lima hari tersebut ada penyebutan Jawa istilahnya adalah rangkap dari ketujuh hari itu yaitu ada pon, pahing, wage, kliwon,dan legi. Padepokan Jambe 5, pada zaman dahulu merupakan markas-markas pendekar sakti pengawal Bunga Sakti Kembang Wijaya Kusuma yaitu sekuntum bunga lambang kebesaran raja-raja Jawa dimasa lampau. Selain ada padepokan Shanghyang Jati, di Gunung Selok juga terdapat Goa Si Bolong. Goa ini dulunya digunakan untuk mandi para dewi-dewi, oleh karena itu tempat ini sangat kental dengan aura mistiknya. Goa ini memiliki sebuah sumber mata air yang katanya tidak akan pernah ada habis airnya, sehingga sangat disakralkan sekali menurut penuturan Beliau. Beliau sering melakukan semedi di Goa tersebut dengan membawa sesajen, untuk diberikan kepada makhluk gaib yang menunggu ditempat tersebut, sesaji digunakan sebagai syarat agar permintaan dapat terkabulkan dan akhirnya Beliau merasa sangat tenang, damai, menyatu dengan alam dan sang Pencipta Bumi dan Langit. Selok sendiri sangat kental dengan aura mistisnya disamping memiliki aura mistis yang kuat juga karena dekat dengan Pantaia Selatan. Beliau mengatakan, bahwa sangat banyak orang-orang yang melakukan ritual dan semedi di Jambe 5, karena di tempat ini disinyalir sebagai pintu masuk kerajaan menuju pantai Selatan atau kerajaan Bunda Ratu Kidul. Dimanapada kerajaan tersebut banyak sekali tersimpan harta karun yang sangat melimpah dan diyakinitidak akan pernah ada habis. Pintu kerajaan tersebut berada di Jambe 5, maka dari itu orang-orang berkumpul di tempat tersebut untuk melakukan ritual, seperti pesugihan. Kebanyakan orang yang datang kesini dengan tujuan agar mereka diberi kekayaan melimpah,mendapat ketenangan jiwa, kemakmuran dan kesehatan, sertadilancarkan dalam pekerjaannya. Selanjutnya Ibu Yuyun merupakan salah satu pengunjung di Gunung Selok,mengatakan kalau Gunung Selok adalah tempat wisata religi, yang biasanya digunakan untuk beribadah dan melakukan berbagai aktivitas ritual dan mencari pesugihan. Dimana aktivitas ritual merupakah hal yang sudah dilakukan sejak dahulu oleh orang yang memepercayai kalau dapat memeberikan apa yang diinginkan. Khususnya untuk Ibu Yuyun, tidak mempercayai hal tersebut, alasan kenapa bisa berada disini karena ingin menikmati keindahan alam yang ada di Gunung Selok. Masyarakat Karang Benda saat ini sudah memiliki agama baik itu agama Islam, budha dll, sampai saat ini masih mempertahankan salah satu unsur kebudayaan mereka secara turun temurun yaitu tampak pada adanya maslaah juru kunci yang secara turun temurun diwariskan pekerjaan tersebut dan di wariskan juga mengenai peralatan seperti gong, kenong, dan calung. Didukung oleh Mulfich (1998),yang mengemukakan tradisi berasal dari bahasa latin traditio yang berarti diteruskan. Dalam pengertian paling sederhana, tradisi diartikan sebagai sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat.Tradisi merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun temurun dari nenek moyang.Tradisi dipengaruhi oleh kecendrungan untuk berbuat sesuatu mengulang sesuatu menjadi kebiasaan.Sejalan dengan teori menurut Harjono (1977), “ suatu pengetahuan atau ajaran yang diturunkan
156
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015 dari masa ke masa yang memuat tentang prinsip universal yang digambarkan menjadi kenyataan dan kebenaran relatif”. Kejawen adalah jati diri jawa, pemakain sumber-sumber ajaran berupa serat wirit merupakan perilaku kejawen yang paling menonjol. Serat wirid menurut ngelmu tuwa adalah suatu yang diasa ditaati oleh masyarakat kejawen. Dalam bukunya suwardi endraswara yang berjudul “mistik kejawen” di jelaskan bahwa,dalam kehidupan kejawen akan mengikuti idialisme tertentu (Endraswara, 2006). Dalam hal ini masyarakat Karang Benda masih sangat memegang adat dengan menggunakan sesaji sebagia syaart dalam ritual. Ritual merupakan salah satu komponen religi masyarakat Karang Benda yang berkaitan erat dengan kepercayaan roh nenek moyang dan adanya makhluk gaib lain. Menurut Herusatoto (2008), manusia mempunyai pandangan hidupnya yang selalu menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan yang secara rohaniah atau mistis dan magis,dengan menghormati arwah nenek moyang atau leluhurnya serta kekuatan-kekuatan yang tidak tampak oleh indera manusia. Masyarakat percaya kalau melakukan ritual di Gunung Selok tepatnya di Jambe 5, dapat mengabulkan permitaan mereka baik itu untuk melakukan pesugihan, kekayaan melimpah,mendapat ketenangan jiwa, kemakmuran dan kesehatan, sertadilancarkan dalam pekerjaannya. Koentjaraningrat (2004), Masyarakat tetap percaya adanya kekuatan gaib yang melebihi kekuatan mereka yang kemudian dijadikan sandaran dan pegangan atas hal-hal yang belum bisa dijelaskan secara rasional. Maksudnya adalah masyarakat percaya adanya alam gaib disekitar mereka dan merasa tidak mampu mengalahkannya, sehingga perlu “berdamai” dengan alam tersebut dengan melakukan beberapa ritual yang diyakini mampu mengharmoniskan alam manusia dengan alam gaib. Tidak jarang ritual ini juga merupakan upaya untuk meminta keperluan dan tujuan hidup (mencari berkah). Melalui ritual masyarakat bisa memenuhi kebutuhannya dan mencapai tujuan hidupnya melalui kekuatan-kekuatan yang berperan dalam tindakan gaib. Dalam penelitian ini, pengunjung yang melakukan ritual termasuk golongan yang aktif. Karena pengunjung yang melakukan ritual mereka tanpa sebuah alasan dan dasar yang kuat (keinginannya belum tentu terwujud) tetap datang ke Gunung Selok untuk melakukan ritual. Menurut Sumadi Suryabarata (1991), mengatakan Golongan yang aktif yaitu golongan yang karena alasan yang lemah saja telah berbuat (melakukan sesuatu). Sifat golongan ini antara lain: suka bergerak, sibuk, rebut dan praktis. Koenjroningrat (1984), mengatakan, tradisi dan tindakan orang Jawa selalu berpegangan pada 2 hal yaitu: pertama kepada falsafah hidupnya yang religius dan mistis, sedangkan yang kedua pada etika hidup yang menjunjung tinggi moral dan derajat hidup. Sejalan dengan teori Herusatoto (2008), yang mengatakan Pandangan hidup yang selalu menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan yang serba rohaniah mistis dan magis dengan menghormati nenek moyang leluhur serta kekuatan yang tidak tampak oleh panca indera manusia. Oleh karena itu, orang Jawa memakai simbol-simbol kesatuan, kekuatan dan keluhuran seperti: Yang berhubungan dengan roh leluhur, sesaji, menyediakan bunga dan air putih, membakar kemenyan, ziarah kubur dan selamatan.Maka dalam penelitian ini berarti tradisi aktifitas di Karang Benda termasuk yang berhubungan dengan roh leluhur karena di sini masyarakat melakukan ritual. Dalam melakukan ritual masyarakat harus membawa sesaji dengan kembang hal tersebut merupakan syarat dalam melakukan ritual agar permintaan dapat terkabulkan. Maka sesuai dengan teori Suyono (2007), mengatakan Sesajian yang dilakukan secara teratur kepada rasul-rasul, para wali,
157
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015 bidadari, jin-jin, kekuatan seseorang yang sudah meninggal, serta hantu-hantu, binatang, dan tumbuhan, sesajian ini disebut wadima. KESIMPULAN Pengaruh kepercayaan terhadap tempat yang bernama Jambe 5 ternyata begitu besar. Kehadiran cerita atau mitos kalau tempat tersebut dapat memberikan apa yang kita inginkan, mampu mempengaruhi pendangan serta perilaku masyarakat terhadap Gunung Selok khususnya kepada tempat-tempat yang dianggap mistik seperti Jambe 5 dan Sendang Dewi Nawang wulan dll. Adanya kepercayaan kalau tempat tersenut dapat mengabulkan keinginnan kita, membuat masyarakat melakukan ritual yang dipercayai dan diyakini mampu memberikan harapan dan mengabulkan doa-doa dalam mencapai tujuan. Kebanyakan masyarakat yang datang ketempat tersebut memiliki tujuan atau kecenderungan akan kebutuhan seperti meminta kekayaan yang melimpah (tidak jarang melakukan pesugihan), ingin mendapat ketenangan jiwa, kemakmuran dan kesehatan, serta dilancarkan semua urusan pekerjaan.Hal ini menunjukkan bahwa tempat tersebut mempengaruhi perilaku masyarakat terhadap tempat tersebut. Ternyata kepercayaan tidak hanya dapat mempengaruhi tindakan atau perlakuan manusia secara ruang, ritual tetapi juga mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat. Mereka menggunakan kepercayaan sebagai cara untuk meneruskan adat serta aturan. Kepercayaan terhadap Gunung Selok yang dimengerti oleh masyarakat sebagai tempat dalam arti yang sebenarnya, membuat seolah-olah tempat tersebut memiliki jiwa dapat mengabulkan keinginan kita. DAFTAR PUSTAKA Endraswara, Si. (2006). Mistik Kejawen. Yogyakarta : Narasi Harjono. (1977). Pengantar Anthopologi. Bandung: Putra Bardin Herusatoto, B. (2008). Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak Koentjaraningrat. (2004). Manusia & Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan . (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka Moleong, L. J. (2005). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosdakarya Muflich, N. (1998). Teori Sosiologi Klasik. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press Mulder, N. (1986). Kepribadian Jawa Dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Nawawi, H. (1994). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Notosusanto, N. (1978). Masalah Penelitian Kontemporer. Jakarta : Balai Pustaka Peursen, V. (1976). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius Sardjono, M, A. (1995). Paham Jawa: Menguak Falsafah Hidup Manusia Jawa Lewat Karya Mutakhir Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
158
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
Suparlan. (1991). Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan. Jakarta : Rajawali Suryabarata, S. (1991). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sutopo. (2002). Pengantar Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar Teoritis dan Praktis. Surakarta : Universitas Sebelas Maret Press. Suyono. (2007). Dunia Mistik Orang Jawa.Yogyakarta : Lkis www.cilacapkab.bps.go.id (diunduh pada tanggal 18 Maret 2015)
159
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
160