432CB – CB: Interpersonal Development
LECTURE NOTES
PERAN KEPEMIMPINAN
432CB – CB: Interpersonal Development
LEARNING OUTCOMES -
Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian kepemimpinan, pemberdayaan dan delegasi, motivasi orang lain.
-
Mahasiswa dapat menjelaskan manfaat pemberdayaan, delegasi dan memotivasi orang lain dalam kaitannya dengan kepemimpinan yang efektif.
-
Mahasiswa dapat mengidentifikasi kepemimpinan yang efektif.
-
Mahasiswa dapat mengenal bermacam-macam gaya kepemimpinan
432CB – CB: Interpersonal Development
ISI
Jika Bisa Memimpin Kuda, Anda Bisa Memimpin Orang http://www.jimmintarja.com/detail.php?id_news=110717161042 Baru-baru ini seorang eksekutif wanita Indonesia (sebut saja namanya ibu Sisca) mengikuti pelatihan kepemimpinan di suatu tempat di Eropa. Pelatihan ini khusus untuk top eksekutif wanita, dan ia satu-satunya dari Indonesia diantara 23 peserta berbagai negara. Pada suatu sesi mereka diajak ke sebuah tempat pelatihan berkuda. Semua peserta tidak bisa berkuda, dan mereka bertanya-tanya apa yang akan dilakukan disini. Instruktur disana berkata, "Sebagai top eksekutif, kalian tentu terbiasa memimpin orang-orang." Kemudian ia bertanya kepada seorang peserta, "Menurut Anda, apa yang penting dalam kepemimpinan?" Peserta menjawab, "Trust!" "Baik, sekarang gunakan ‘trust' Anda untuk mengajak kuda ini berjalan mengelilingi lapangan ini." Peserta itu mendekati kuda yang sudah menantikannya. Ia mencoba mengelus-ngelus kuda itu, dan mengajaknya berjalan, tetapi kuda itu diam saja. Setelah mencoba sekitar 15 menit, kuda itu tetap tidak bergerak sedikit pun.
Instruktur kemudian bertanya kepada peserta berikutnya dengan pertanyaan yang sama. Ia menjawab, "Care!" "Baik, sekarang gunakan ‘care' Anda untuk mengajak kuda ini berjalan mengelilingi lapangan ini." Ia mendekati kuda itu, menyentuhnya dengan lemah lembut, dan mencoba mengajaknya berjalan. Kuda itu tidak bergerak. Ia mencoba dengan pecut, juga tidak berhasil. Dengan berbagai cara ia mencoba, kudanya tetap tidak bisa diajak melangkah. Para peserta mulai bertanya-tanya, jangan-jangan kuda itu memang sudah dilatih supaya tahan tidak bergerak!
Peserta ketiga...ibu Sisca kita. Atas pertanyaan instruktur, ia menjawab,"Communication!". Instruktur mempersilakan ia membuktikannya. Dengan hati sedikit berdebar, sambil berjalan mendekati kuda itu bu Sisca memikirkan apa yang akan dikatakan pada kuda itu. Ia mendekati kuda itu dari arah depan, mengusap kepalanya dan mencoba berbicara pada kuda itu dalam bahasa Inggris (karena itu kuda Eropa). Inilah inti yang dikatakannya (saya terjemahkan ke dalam bahasa manusia Indonesia untuk Anda).
"Kuda yang baik, saya adalah pemimpinmu. Kamu harus mendengarkan kata-kata saya. OK? Saya akan mengajak kamu berjalan mengelilingi lapangan ini. Kamu harus menuruti kata-kata saya. OK? Sekarang langkahkan kakimu dan berjalan bersama saya." Apa yang terjadi...??? Telinga kuda itu terangkat tegak dan bergoyang! Kemudian kakinya mulai melangkah mengikuti ibu Sisca yang menuntunnya. Semua peserta bersorak dan bertepuk tangan! Setengah lapangan, kuda itu berhenti, tidak mau berjalan. Instruktur bertanya kepada ibu Sisca apa yang terjadi. Ibu Sisca mengatakan tidak tahu. Setelah berhenti sejenak, ibu Sisca berbicara dan memberi instruksi lagi kepada kuda itu. Beberapa saat kemudian... kuda itu berjalan lagi, hingga selesai mengelilingi lapangan. Brilian! Seterusnya peserta lain mencoba melakukannya. Hingga selesai, hanya dua peserta yang berhasil mengajak kuda itu berjalan mengelilingi lapangan. Yang satunya lagi adalah eksekutif wanita dari salah satu negara Timur Tengah. Ia berbicara dengan kuda itu dalam bahasa...Arab!
432CB – CB: Interpersonal Development
Menarik? Belum selesai...ada satu lagi yang menarik, dan...yang satu ini lebih sulit!
Jika Situasi Bertambah Sulit Ke 23 peserta kemudian dibagi dalam enam kelompok, masing-masing empat orang, kecuali kelompok ibu Sisca yang hanya tiga orang. Kebetulan sekali, eksekutif wanita Arab tersebut satu kelompok dengan ibu Sisca. Tugas sekarang adalah menyuruh kuda tersebut berjalan dan melewati empat rintangan palang kayu. Untuk menambah tingkat kesulitan, letak rintangan mengharuskan kuda berjalan zig-zag dari rintangan yang satu ke lainnya. Sebagai permulaan mereka diberi kesempatan untuk berdiskusi dengan teman satu kelompok tentang strategi dan cara yang akan dilakukan agar kuda itu mau berjalan dan melewati ke empat rintangan itu.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, mayoritas kelompok menggunakan metode ‘komunikasi' untuk menggerakkan sang kuda. Masing-masing anggota kelompok berdiri pada setiap rintangan untuk memberikan instruksi atau semangat kepada kuda untuk melewatinya. Ketika permainan dimulai, peserta yang berjaga di rintangan pertama membujuk sang kuda untuk melangkah. Ketika belum berhasil, anggota lain ikut datang membantu. Semua kata-kata rayuan digunakan, mulai dari yang halus hingga yang rada keras. Tapi kudanya tetap diam, bahkan seperti kebingungan, karena yang memberikan instruksi lebih dari satu orang. Kelompok satu hingga lima tidak ada yang berhasil mengajak kuda itu untuk melewati rintangan, satu rintangan pun tidak!
Kelompok ibu Sisca menggunakan strategi yang berbeda. Mereka bertiga memberikan contoh kepada kuda itu, dengan bertingkah seperti kuda, berjalan dan melewati rintangan. Alhasil...? Kuda itu bergerak... dan mengikuti contoh yang mereka tunjukkan. Setelah berhasil melewati rintangan pertama, mereka mencontohkan melewati rintangan kedua dan seterusnya. Kuda itu mengikuti mereka. Bravo! Pelajaran yang bisa kita petik Untuk sukses memimpin, kita perlu cermat membaca situasi dan kreatif menggunakan kiat kepemimpinan yang tepat. Kiat yang berhasil di waktu lalu, belum tentu cocok di waktu sekarang. Menghadapi situasi dan orang yang berbeda, diperlukan strategi pendekatan yang berbeda pula.
Kemampuan berkomunikasi itu penting. Instruksi harus disampaikan dengan jelas, dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami, hingga pelaksana di tingkat bawah pun mengerti dan tahu cara melaksanakannya. Jika ada hambatan dalam pelaksanaan, instruksi perlu diulang, diperjelas, dan tambahkan kata-kata motivasi sebagai penyemangat.
Untuk mewujudkan misi yang penting dan sulit, sering kata-kata saja tidak cukup. Pemimpin harus berdiri di depan dan memberi contoh tentang bagaimana melakukannya dengan benar.
432CB – CB: Interpersonal Development
A.
Pendahuluan
Kepemimpinan merupakan suatu tema yang telah menarik perhatian begitu banyak orang. Hal ini disebabkan karena gejala kepemimpinan itu selalu hadir dalam setiap ruang sosial kehidupan manusia baik dalam ruang privat seperti keluarga maupun dalam ruang publik seperti negara dan berbagai organisasi sosial lainnya, seperti organisasi politik, organisasi massa, organisasi profesi, organisasi ekonomi dan seterusnya.
Basis sosial kepemimpinan biasanya berasal dari berbagai macam sumber. Secara sosiologis dengan mengikuti tipologi yang dirumuskan oleh Max Weber tentang otoritas, kita dapat mengatakan bahwa kepemimpinan seseorang berasal dari sumber-sumber tradisional, karismatik dan legal-rasional (Macionis, 1989:460-462). Dalam kepemimpinan tradisional orang menerima kepemimpinan seseorang begitu saja, tanpa mempertanyakannya. Kepemimpinan seperti ini berasal dari kepercayaan masyarakat bahwa seorang pemimpin adalah titisan dewa. Pada umumnya kepemimpinan seperti ini bersifat turun temurun.
Kepemimpinan karismatik bersumber dari kualitas pribadi yang luar biasa yang dimiliki oleh seseorang. Tidak seperti kepemimpian tradisional atau legal rasional, kepemimpinan karismatik tidak berasal dari status sosial warisan atau status sosial yang dicapai. Karisma tidak berkaitan dengan posisi individu dalam masyarakat. Kepemimpinan karismatik terutama berkaitan dengan kualitas individu tertentu. Oleh karena itu, kemimpinan karismatik bisa berasal dari status sosial apa saja dan bahkan seringkali tidak ditentukan oleh budaya-budaya konvensional.
Sedangkan kepemimpinan legal rasional bersumber dari ketentuan-ketentuan dan regulasi-regulasi yang telah ditentukan secara rasional. Orang akan menjadi seorang pemimpin dalam tipologi ini bila memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan seperti pendidikan, pengalaman, dipilih melalui sebuah proses yang telah ditentukan dan seterusnya.
Kepemimpinan dalam setiap organisasi sosial baik politik maupun ekonomi pada masyarakat modern umumnya bersifat legal dan rasional. Seseorang akan menjadi pemimpin dan menjalankan kepemimpinannya karena dan dengan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan secara legal. Dalam pembahasan topik ini, tentu saja kita tidak akan membahas
432CB – CB: Interpersonal Development
berbagai macam basis sosial kepemimpinan secara mendalam, karena fokus kita adalah bagaimana seseorang dapat menjalankan kepemimpinannya secara efektif. Oleh karena itu kita akan mempelajari strategi-strategi kepemimpinan dan beberapa karakteristik penting yang harus dimiliki oleh seseorang supaya dapat menjalankan kepemimpinan secara efektif.
Ada dua hal yang perlu dipertimbangkan dalam menjalankan suatu kepemimpinan yaitu pemberdayaan dan delegasi serta memotivasi orang lain. Pemberdayaan dan delegasi dapat mendukung suatu kepemimpinan yang efektif. Hal ini disebabkan karena pemberdayaan pada prinsipnya mengandung aspek demokratis. Dalam sebuah kepemimpinan yang demokratis, setiap pemimpin akan selalu berusaha memberdayakan para bawahannya dengan memberikan mereka kepercayaan untuk melakukan sesuatu. Selain itu dengan memiliki kemampuan memotivasi para bawahan, seorang pemimpin dapat menggerakan para bawahan atau para pengikut untuk melakukan sesuatu demi mencapai tujuan bersama.
B.
Kepemimpinan
1.
Pengertian Kepemimpinan
Sebagaimana yang telah disingung secara singkat pada bagian pendahuluan di atas, kepemimpinan merupakan sebuah gejala sosial yang kompleks. Oleh karena itu, kepemimpinan tidak memiliki makna yang tunggal. Berkaitan dengan ini Yukl (2010: 20) menegaskan bahwa definisi mengenai kepemimpinan sangat tergantung pada perspektif dan kepentingan seorang peneliti. Pernyataan Yukl ini sejalan dengan kesimpulan Stogdill (1974:259). Stogdill (Yukl, 2010:10) berkesimpulan bahwa ada begitu banyak defines mengenai kepemimpinan bahkan sebanyak orang yang berusaha medefinisikan konsep itu. Lebih lanjut Stogdill mengemukakan bahwa kepemimpinan telah didefenisikan berdasarkan sifat, perilaku, pengaruh, pola-pola interaksi dan akupasi posisi administratif. Untuk mendukung kesimpulan di atas Yukl (ibid., p.21) mengutip beberapa definisi mengenai kepemimpinan sebagai berikut;
432CB – CB: Interpersonal Development
•
Kepemimpinan adalah perilaku dari seorang individu yang mengarahkan aktivitas dari sebuah kelompok pada tujuan bersama (Hemphill & Coons, 1957,pg.7)
•
Kepemimpinan adalah pengaruh yang lebih besar dan lebih tinggi dari pemenuhan mekanik dari instruksi organisasi.” (Katz & Kahn, 1978, pg.528)
•
Kempimpinan dapat dijalankan ketika seseorang memobilisasi institusi, politik, psikologi, dan berbagai sumber daya lainnya untuk membangunkan, memenuhi dan memuaskan motivasi para pengikut. (Burns, 1978, pg.18)
•
Kepemimpinan direalisasikan dalam proses di mana seorang atau beberapa orang secara berturut-turut berusaha untuk menyusun dan mendefinisikan realitas dari yang lainnya. (Smircich & Morgan, 1982, pg. 258)
•
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas dari kelompok yang terorganisir kepada pencapaian tujuan. (Rauch & Behling, 1984, pg. 46)
•
Kepemimpinan adalah tentang mengartikulasi visi, mewujudkan nilai-nilai, dan menciptakan lingkungan dalam suatu yang dapat disempurnakan (Richards & Engle, 1986, pg. 206)
•
Kepemimpinan
adalah
kemampuan
dari
seorang
individu
untuk
mempengaruhi, memotivasi dan memungkinkan yang lainnya untuk berkontribusi terhadap efektivitas dan kesuksesan organisasi (House et al.,1999, pg.184).
2.
Karakteristik Pemimpin Yang Efektif Kepemimpinan merupakan suatu kualitas yang dimiliki oleh setiap pribadi manapun.
Setiap orang dalam hal ini adalah pemimpin dalam konteksnya masing-masing. Namun walaupun setiap pribadi memiliki kualitas kepemimpinan, tidak setiap orang dapat memainkan peran sebagai pemimpin yang efektif. Janasz, et.all (2009) mengidentifikasi beberapa kualifikasi yang harus dimiliki oleh seorang untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif. Kualifikasi-kualifikasi itu adalah sebagai berikut.
Challenge the process. Banyak pemimpin yang sukses dengan mengambil jalan yang tidak populer walaupun dengan menentang kebiasaan yang telah mapan. Mereka berani
432CB – CB: Interpersonal Development
mengambil resiko, menentang kebiasaan dan bahkan mengabaikan aturan. Para pendiri agama-agama besar seperti, Muhamad, Yesus, Siddharta Buddha, Vardhamana
adalah
pemimpin yang terus menjadi inspirator hampir semua manusia di muka bumi ini. Mereka berani keluar dari tradisi yang sudah mapan dalam masyarakat pada jaman itu dan mereka mengambil jalan yang tidak lasim dan bahkan tidak pernah dilakukan oleh orang lain dalam sepanjang masa dan jaman. Mereka telah menginspirasi berbagai gerakan moral yang pengaruhnya masih sangat terasa kuat hingga dewasa ini.
Dalam bidang sosial pada era modern ini kita sering mendengar nama-nama seperti Mother Theresa dari Calcuta yang hidup bersama orang kusta, Mahatma Gandi inspirator bagi kemerdekaan India dari Inggris, Soekarno-Hatta pendiri bangsa Indonesia, Abdulrahman Wahid atau disingkat dengan Gus Dur dan lain sebagainya adalah sebagian contoh kecil yang berani mengambil resiko untuk memperjuangkan kemuliaan manusia. Mereka semua berani mengambil resiko bahkan dengan mengorbankan kesenangan dan kehormatan mereka sendiri.
Inspire a shared vison. Seorang pemimpin yang efektif tidak bersifat diktatif yang mengarahkan dan mendikte visi kepada para anggotanya. Pemimpin yang efektif adalah mereka yang berusaha mengelola nilai-nilai, keyakinan dan emosi anggota kelompok untuk kemudian memotivasi mereka menyesuaikan diri dengan visi dan misi yang lebih mencerminkan kebaikan yang lebih besar.
Enable others to act. Pemimpin yang efektif membagi informasi dan kekuasaan dengan para collaborator mereka dan memberdayakan mereka untuk mencapai tujuan dari kerja sama tersebut. Para pekerja harus mengetahui dimana mereka cocok dan memiliki kemampuan untuk membuat keputusan sehingga mereka dapat memberi kontribusi secara bermakna.
Dengan mendengarkan dan mendukung semua pekerja, seorang pemimpin
menciptakan suatu atmosfer
di mana rasa saling percaya, saling menghargai dan
memungkinkan mereka untuk menunjukan potensi terbaik mereka dalam sebuah organisasi atau kerja sama.
Model the way.
Kepemimpinan seseorang tidak pertama-tama ditentukan oleh
perannya melainkan oleh pengakuan yang diberikan oleh mereka yang mengikutinya. Untuk menjadi pemimpin yang efektif, seorang pemimpin harus menjalankan yang dikatakannya
432CB – CB: Interpersonal Development
sendiri dengan menunjukan perilaku yang mereka harapkan orang lain akan melakukannya bagi mereka dan memastikan secara konsisten antara perkataan dan perbuatan. Mereka adalah role model dari apa yang mereka harapkan untuk dilakukan oleh para pengikutnya.
Encourage the hearth. Seorang pemimpin harus menemukan cara memberikan penghargaan kepada individu atau kelompok yang mencapai sukses dan kemajuan terhadap tujuan-tujuan bersama. Seorang pemimpin dalam hal ini menyediakan pelatihan, umpan balik dan pengakuan untuk menunjukan apresiasi terhadap setiap usaha dan pencapaian para anggota.
Untuk memperkaya perspektif kita mengenai kepemimpinan yang efektif baik juga kalau kita mempelajari beberapa karakteristik pemimpin yang efektif sebagaimana yang diidentifikasi oleh Andres J. DuBrin (2007:149). DuBrin mengemukakan bahwa kepemimpinan yang efektif memiliki ciri-ciri seperti; “self-confidence, assertiveness, turstworthiness and morality, emotional stability, sense of humor, self-awareness and selfobjectivity, cognitive skills and clarity, emotional intelligence, passion and enthusiasm”.
Self-confidence. Kepercayaan diri bukan hanya merupakan suatu ciri kepribadian, melainkan suatu kualitas yang nampak dalam setiap situasi. Orang yang memiliki kepercayaan diri yang baik selalu bersikap tenang dalam setiap tekanan, atau dengan kata lain kita dapat mengatakan bahwa seorang pemimpin yang memiliki rasa percaya diri yang baik adalah mereka yang tetap mempertahankan ketenangannya saat krisis.
Assertiveness. Seorang pemimpin yang asertif adalah mereka yang memiliki ketegasan dan kejelasan dalam mengekspresikan permintaan-permintaan, pendapat-pendapat, perasaan dan sikap-sikap mereka.
Turstworthiness and morality. Anggota-anggota kelompok secara konsisten percaya bahwa pemimpin harus memperlihatkan kejujuran, integritas dan kredibilitas. Kualitas moral seperti ini akan menumbuhkan sikap percaya dari para anggota kepada seorang pemimpin.
Emotional stability. Stabilitas emosi merupakan suatu kualitas penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Stabilitas emosi penting karena anggota-anggota kelompok mengharapkan dan membutuhkan konsistensi perilaku dari para pemimpin. Stabilitas emosi
432CB – CB: Interpersonal Development
merupakan suatu kualitas yang tidak mudah, namun setiap orang dapat belajar untuk mengontrol emosi-emosi mereka melalui latihan-latihan tertentu atau mencari bantuan dari para profesional dalam bidang kesehatan mental.
Sense of humor. Humor merupakan suatu kualitas yang sebaiknya dimiliki oleh setiap pemimpin. Humor membantu seseroang untuk menghilangkan tekanan dan rasa bosan serta menghilangkan permusuhan.
Self-awareness and self-objectivity. Seorang pemimpin yang efektif harus menyadari kekuatan dan keterbatasan mereka sendiri. Menyadari kelebihan dan kelemahan akan membantu seorang pemimpin untuk mengembangkan kelebihan mereka dan berusaha mengatasi kelemahan mereka.
Cognitive skills and clarity.
Kemampuan mental sebagaimana juga personalitas
adalah penting bagi pemimpin yang sukses. Untuk menginspirasi orang, membawa sebuah perubahan yang Kognisi konstruktif, kreativitas dalam memecahkan masalah, seorang pemimpin membutuhkan ketajaman mental. dalam konteks ini didefenisikan sebagai suatu proses mental melalui mana pengetahuan dihasilkan.
Emotional intelligence. Kecerdasan emosional mengacu pada dua aspek. Aspek pertama berkaitan dengan kemampuan untuk mengakui emosi diri sendiri dan aspek kedua adalah mengakui emosi-emosi orang lain disekitar anda sendiri. Kecerdasan emosi juga mengacu pada kesanggupan untuk bekerja secara efektif dengan emosi-emosi orang lain untuk memecahkan masalah termasuk dalam hal ini kesanggupan untuk mendengarkan dan empatik. Kecerdasan emosional adalah juga direfleksikan dalam diri seorang pemimpin yang menggabungkan sentuhan-sentuhan kemanusiaan ke dalam aktivitas bisnis, seperti membangun hubungan personal dengan pekerja dan konsumen.
Passion and enthusiasm. Karakteristik yang menonjol dari pemimpin yang efektif adalah semangat dan antusiasme mereka terhadap pekerjaan mereka, seperti kualitas yang sama pada orang-orang yang kreatif. Passion juga direfleksikan dalam suatu dorongan tanpa henti untuk menyelesaikan pekerjaan, dan suatu obsesi terhadap pencapaian tujuan-tujuan perusahaan. Banyak pemimpin menggunakan terminologi “love” untuk menggambarkan passion mereka terhadap pekerjaan, bisnis dan karyawan mereka.
432CB – CB: Interpersonal Development
3.
Kepemimpinan Pancasila Kepemimpinan Pancasila bersumber dari sila-sila Pancasila itu sendiri yakni sila
pertama, Ke-Tuhanan Yang Maha Esa; sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradap; sila ketiga, Persatuan Indonesia; sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijasanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh Indonesia. Sila-sila Pancasila merupakan nilai-nila dasar bagi setiap perilaku orang Indonesia, termasuk dalam hal ini perlaku kepemimpinan. Nilai-nilai dasar ini berasal dan bersumber dari kebajikan hidup masyarakat Indonesia sendiri.. Ini berarti bahwa prilaku kepemimpinan harus dihayati dalam konteks;
1)
Pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kepemimpinan seseorang tidak hanya dihayati semata-mata sebagai suatu peristiwa sosial atau politik, melainkan sebagai suatu yang memiliki nilai-nilai spiritual. Dalam konteks kehidupan beragama, kepemimpinan memiliki makna profetis yakni membebaskan manusia dari penderitaan, membawa keselamatan dan membela orang-orang yang lemah.
2)
Kemanusiaan. Pengabdian seorang pemimpin harus selalu ditujukan dalam kerangka melayani, melindungi dan memperjuangkan kemanusiaan.
3)
Menciptakan persatuan. Dalam konteks ini, seorang pemimpin harus selalu menjadi sumber inspirasi bagi persatuan dan bukan membawa pertentangan atau menjadi sumber dari konflik sosial.
4)
Mencintai kebijaksanaan. Kebijaksanaan seorang pemimpin dalam konteks nilai-nilai Pancasila harus merupakan cerminan dan refleksi dari nilai-nilai hidup yang diharapka oleh masyarakat. Oleh karena itu maka kebijaksanaan seorang pemimpin selalu dimaknai sebagai perwakilan dari nilai-nilai yang ingin dicapai oleh masyarakat atau anggota kelompok.
5)
Menegakkan keadilan. Keadilan dalam konteks Pancasila adalah keadilan bagi semua. Ini berarti seorang pemimpin harus selalu menciptakan situasi, peluang dan akses yang sama bagi semua warga Negara atau semua anggota kelompok. Berdasarkan
432CB – CB: Interpersonal Development
nilai-nilai tersebut, maka kepemimpinan otoritarian, diskriminatif, koruptif dan tidak adil sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
4.
Integritas Seorang Pemimpin
Integritas menurut Gary Yukl (2010:56-57) berarti adanya konsistensi perilaku seseorang dengan nilai-nilai. Di samping itu Yukl juga menambahkan bahwa integritas selalu berkaitan dengan kejujuran, etika dan kepercayaan. Integritas merupakan suatu penentu utama dari kepercayaan interpersonal. Yukl mengidentifikasi beberapa perilaku yang dapat dihubungkan dengan integritas.
1) Indikator penting dari integritas adalah kejujuran dan selalu mengatakan yang sebenarnya dan bukan untuk meperdaya orang lain. Seorang pemimpin akan kehilangan kredibilitasnya bila orang menemukan bahwa mereka telah berbohong dan membuat klaim-klaim yang secara mendasar menyimpang.
2) Selalu memenuhi janji-janjinya sendiri. Orang akan enggan untuk menegosiasikan persetujuan-persetujuan dengan seorang pemimpin yang tidak dapat dipercayai untuk memenuhi janji-janjinya.
3) Seorang pemimpin harus memiliki rasa tanggungjawab untuk melayani dan loyal kepada para pengikutnya. Kepercayaan terhadap seorang pemimpin akan hilang bila para pengikutnya menemukan bahwa mereka seringkali dieksploitasi dan dimanipulasi untuk memenuhi kepentingan pribadi pemimpin.
4) Perilaku seorang pemimpin harus selalu konsisten dengan nilai-nilai yang diartikulasikan secara berulang terhadap para pengikut. Seorang pemimpin yang mengharapkan untuk menginspirasi yang lainnya
untuk mendukung suatu
ideology atau visi harus menjadi contoh dalam perilakunya sendiri.
5) Akhirnya integritas juga bermakna mengambil tanggung jawab terhadap keputusan dan tindakan seseorang.
432CB – CB: Interpersonal Development
C.
Pemberdayaan dan Delegasi
1.
Pemberdayaan (Empowerment)
1.1.
Pengertian Empowerment
Empowerment adalah proses melalui mana seorang pemimpin atau manajer membagi kekuasaannya kepada bawahan1. Empowerment memiliki dua komponen kunci2. Pertama, pemimpin sungguh memberi kewenangan (empower) kepada pekerjanya. Pemimpin harus mendelegasikan kewenangan kepemimpinan dan pembuatan keputusan kepada level yang paling bawah. Argumentasi dibalik pendelegasian ini adalah bahwa pkerja sering lebih dekat pada masalah dan memiliki informasi dan dapat membuat keputusan yang lebih baik. Dalam hubungan dengan konsumen misalnya3, diasumsikan bahwa orang yang paling dekat dengan konsumen adalah bawahan. Oleh karena itu, kepada bawahan harus diberi kekuasaan untuk memutuskan sesuatu dan menyelesaikan komplain yang disampaikan oleh konsumen. Dengan pelimpahan ini keputusan untuk menyelesaikan komplain yang disampaikan oleh konsumen menjadi lebih cepat. Komponen kedua dari empowerment4 adalah bahwa pekerja mesti dilengkapi dengan berbagai sumber daya yang diperlukan supaya mereka dapat menjalankan pendelegasian wewenang dengan baik. Mereka harus memiliki pengetahuan, ketrampilan yang diperlukan untuk membuat keputusan yang baik. Sering sekali terjadi bahwa perusahaan memberikan wewenang kepada bawahan dan mendorong pembuatan keputusan pada level bawah, tetapi para pekerja tersebut tidak memiliki pengalaman menciptakan perencanaan bisnis, mengajukan anggaran, berurusan dengan departemen lain dalam perusahaan, atau berurusan dengan konsumen atau vendor secara langsung.
Pemberian wewenang kepada bawahan tanpa terlebih dahulu memperkuat sumber, pengetahuan dan ketrampilan bawahan bawahan hanya akan menimbulkan masalah baik bagi 1
Suzanne C. De Janasz, Karen O.Dowd, Beth Z.Schneider (2009), Interpersonal Skills in Organizations, 3rd Edition, New York: McGraw-Hill, p.388 2 Richard L. Hughes, Robert C. Ginnett, Gordon J. Curphy (2009), Leadership, Enhancing the Lessons of Experience, New York: McGraw Hill, p.525 3 th Andrew J. DuBrin, Human Relations, Interpersonal Job-Oriented Skills, 9 Edition, New Jersey: Pearson Prentice Hall, p.243 4 Richard L. Hughes, Robert C. Ginnett, Gordon J. Curphy (2009)
432CB – CB: Interpersonal Development
pemimpin atau manager yang memberi wewenang maupun bagi bawahan yang menerima wewenang. Dan secara
lebih luas akan berdampak buruk bagi sebuah organisasi atau
perusahaan.
Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa empowerment berkaitan dengan tiga hal. Pertama adalah pemberian wewenang oleh pemimpin atau manajer kepada pekerja pada level bawah untuk membuat sebuah keputusan. Kedua ada bawahan yang menerima dan menjalankan wewenang yang diberikan oleh pemimpin dan ketiga adalah induksi pengetahuan, sumber daya, ketrampilan kepada para bawahan untuk menjalankan wewenang yang diberikan oleh pemimpin atau seorang manager. Empowerment dalam konteks ini berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Tanpa pemberian wewenang bawahan tidak dapat melakukan sesuatu secara mandiri. Namun pemberian wewenang tanpa disertai dengan induksi sumber daya, pengetahuan dan ketrampilan akan berdampak buruk bagi semua pihak.
1.2.
Pentingnya Empowerment
Empowerment merupakan salah satu praktek yang sangat penting dalam sistem birokrasi apapun pada masyarakat modern dewasa ini. Empowerment dapat ditemukan baik pada organisasi ekonomi, politik, pemerintahan dan sosial kemasyarakatan. Hal ini terutama disebabkan karena kompleksitas kebutuhan yang dihadapi oleh sebuah organisasi. Semakin tinggi kompleksitas kebutuhan semakin terasa pentingnya empowerment. Dengan empowerment respon dan pembuatan keputusan untuk menyelesaikan sebuah masalah atau mencapai sebuah tujuan dapat menjadi lebih efisien dan efektif. Suzanne C. De Janasz, Karen O.Dowd dan Beth Z.Schneider 5 melihat pentingnya empowerment dalam hubungannya dengan motivasi. Manager menyadari bahwa motivasi pekerja dapat mendorong pencapaian tujuan-tujuan organisasi atau usaha ekonomi. Menurut teori hirarki kebutuhan Maslow, setiap orang secara intrinsik termotivasi dalam hubungan langsung dengan kebutuhan-kebutuhan mereka. Bila sesuatu itu tidak menjadi kebutuhan mereka, mereka tidak termotivasi untuk melakukannya, namun sebaliknya, bila berkaitan
5
Suzanne C. De Janasz, Karen O.Dowd, Beth Z.Schneider (2009), Op.Cit.,pp.388 - 389
432CB – CB: Interpersonal Development
dengan
kebutuhan
mereka,
mereka
akan
termotivasi
untuk
melakukan
atau
merealisasikannya. Pada dasarnya menurut Maslow ada lima kebutuhan utama manusia. Kelima kebutuhan dasar ini bersifat hirarkis. Kebutuhan yang paling dasar adalah kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisiologis berkaitan dengan kebutuhan dasar untuk hidup seperti makan dan minum. Demi mempertahankan hidupnya orang akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan untuk makan dan minum. Dewasa ini kebutuhan dasar ini tidak hanya berkaitan dengan makan dan minum, tetapi juga berkaitan dengan lingkungan hidup yang aman. Polusi udara, air dan tanah dapat mengancam kehidupan manusia. Oleh karena itu, tidak mengherankan banyak kelompok baik pada tingkat masyarakat sipil maupun politik menyerukan pentingnya memelihara lingkungan hidup. Ada begitu banyak penderitaan yang disebabkan oleh tercemarnya lingkungan hidup. Penderitaan itu dapat mengancam kehidupan manusia itu sendiri. Setelah kebutuhan dasar yang bersifat fisiologis terpenuhi, kebutuhan berikut yang muncul adalah kebutuhan terhadap keselamatan. Kebutuhan akan keselamatan berkaitan dengan keamanan, stabilitas dan kebebasan dari ketakutan yang berkaitan dengan kemampuan pemenuhan kebutuhan fisiologis. Hal ini terutama disebabkan karena bila seseorang telah memenuhi kebutuhan fisiologisnya, ada kecenderungan orang tersebut tidak termotivasi lagi terhadap kebutuhan fisiologis tersebut. Ini berarti mempertahankan motivasi untuk memenuhi kebutuhan fisiologis merupakan sesuatu yang sangat penting yang dikategorikan
oleh
Maslow
sebagai
kebutuhan
keselamatan.
Kebutuhan
untuk
mempertahankan apa yang telah dicapai. Untuk mempertahankan apa yang telah tercapai pada level dasar tersebut, seseorang beranjak pada kebutuhan yang bersifat sosial seperti penerimaan dan afiliasi sosial. Pada level ini orang tidak mengerjakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dasar lagi, melainkan untuk memenuhi kebutuhan penerimaan dan afiliasi sosial. Sebagai contoh misalnya orang membeli teknologi informasi terbaru bukan pertama-tama karena ia membutuhkannya, melainkan karena dengan memiliki teknologi informasi terbaru tersebut orang merasa diterima dan diakui oleh kelompok atau orang lain. Tidak mengherankan dalam kehidupan sehari-hari kita menemukan banyak orang memiliki handphone lebih dari satu. Mereka
432CB – CB: Interpersonal Development
memilikinya bukan karena mereka membutuhkannya, melainkan karena mereka merasa bagian dari sebuah pergaulan.
Teori hirarki kebutuhan ini membantu memperjelas mengapa banyak pekerja tidak lagi hanya termotivasi untuk hanya bekerja saja, mereka menginginkan tantangan untuk mendapatkan kepuasan dalam pencapaian mereka dan kontribusinya terhadap
goal
individual dan organisasi. Melalui pemberdayaan, sebuah organisasi akan mampu mendukung motivasi potensial yang melekat dalam pemuasan kebutuhan yang lebih tinggi. Manajer memfasilitasi motivasi karyawan melalui pemberdayaan dan dengan demikian meningkatkan kemandirian, respek, kewenangan dalam mengambil keputusan, status dan kemandirian untuk bertumbuh dan berkembang dalam organisasi, sehingga pemberdayaan karyawan akan memberikan kepuasan kerja. Ketika karyawan merasa selaras dengan misi dan goal organisasi, dukungan terhadap pencapaian target serta hasil pencapaian maka akan memperoleh penghargaan ketika mereka dan organisasi mencapai kinerja dan hasil sesuai dengan yang diinginkan. Mereka melakukan apa pun untuk menyampaikan hasil atau memuaskan pelanggan. kontras dengan filosofi ini dimana karyawan dimonitor secara ketat. Ketika para pekerja diberdayakan mereka terlibat dalam pengambilan keputusan, diminta untuk memberi saran/ usul mengenai proses dan pelayanan baru dan didorong untuk memecahkan masalah secara kreatif dan efektif.
Ketika staf karyawan memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, maka akan timbul solusi cepat akan muncul yang akan bermanfaat bagi staff dan juga bagi organisasi. Bagaimanapun memberikan wewenang kepada karyawan tidaklah mudah, banyak manager merasa bahwa membagi kewenangan dan otoritas kepada bawahannya sangat berisiko. Saat ini banyak pemimpin memahami mengenai pemberdayaan terhadap satuan kerja merupakan sebuah kesempatan atau peluang dan bukan merupakan ancaman, sebagai tambahan, sebuah organisasi yang memberikan pemberdayaan terhadap karyawannya akan menjadi lebih menarik dan dapat mempertahankan para profesional yang sangat terampil dan terlatih, sehingga organisasi mampu mempertahankan daya saingnya.
Menjawab pertanyaan "mengapa pemberdayaan itu penting?" Atau "mengapa pemberdayaan itu penting dalam hidup dan kerja suatu organisasi?" Pemberdayaan itu sangat penting bagi hidup dan kerja setiap organisasi dengan alasan-alasan mendasar berikut di bawah ini.
432CB – CB: Interpersonal Development
1.
Pemimpin hanya dapat bekerja bersama dan bekerja melalui orang lain, sesuatu yang hanya dapat diwujudkannya melalui pemberdayaan.
2.
Melalui pemberdayaan, pemimpin memberi tugas, wewenang, hak, tanggung jawab, kewajiban, dan pertanggungjawaban kepada bawahan demi pemastian tanggung jawab tugas (agar setiap individu peserta suatu organisasi berfungsi secara normal).
3.
Dengan pemberdayaan, pekerjaan keorganisasian dapat berjalan dengan baik tanpa kehadiran pemimpin puncak atau atasan secara langsung.
4.
Dalam pemberdayaan, pemimpin memercayakan tugas, wewenang, hak, tanggung jawab, kewajiban, dan pertanggungjawaban yang sekaligus "menuntut" adanya hasil kerja yang pasti dari bawahan.
5.
Dalam pemberdayaan, pemimpin memberikan tugas, wewenang, hak, tanggung jawab, kewajiban, dan pertanggungjawaban yang sepadan bagi pelaksanaan kerja sehingga bawahan dengan sendirinya dituntut untuk bertanggung jawab penuh dalam pelaksanaan kerja. Michael Osbaldeston, chief executive Ashridge Management College, menegaskan
bahwa pemberdayaan menjadi begitu penting karena;
•
Kecepatan perubahan yang semakin tinggi, turbulensi lingkungan, cepatnya respon persaingan dan akselerasi permintaan-permintaan pelanggan menuntut kecepatan dan fleksibilitas tanggapan yang tidak sudah tidak cocok dengan cara kerja organisasi dengan model kontrol dan komando gaya lama itu.
•
Organisasi-organisasi sendiri tengah berubah seperti perampingan struktur dan sistem organisasi dan desentralisasi. Perubahan ini menuntut metode baru dalam usaha mencapai kinerja yang efisien di mana setiap staff mengembang tanggungjawab yang besar.
•
Organisasi-organisasi menuntut kerja yang lebih lintas fungsi (cross functional), kerja sama lebih padu di antara bidang-bidang, integrasi lebih baik dalam proses-proses jika organisasi yang bersangkutan ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelanggan. Kerja sama seperti itu bisa dicapai lewat pemberdayaan.
•
Bakat manajerial yang benar-benar bagus semakin dipandang langka dan mahal. Menggunakannya untuk supervisi langsung terhadap staff yang mampu
432CB – CB: Interpersonal Development
mengelola diri sendiri justru menambah kesulitan-kesulitan yang sudah ada. Di pihak lain, pemberdayaan memungkinkan bakat manajerial untuk lebih difokuskan pada tantangan-tantangan eksternal dan bukan pada problem solving internal. •
Pemberdayaan bisa mengungkapkan sumber-sumber bakat manajerial, yang dulunya tidak dikenali, dengan menciptakan situasi dan kondisi dimana bakat bisa tumbuh subur.
•
Staff tidak lagi disiapkan untuk menerima sistem-sistem kontrol dan komando yang kuno itu. Semakin luasnya ketersediaan pendidikan, penekanan lebih besar pada pengembangan sepanjang hidup, dan tujuan kepastian keamanan kerja dan peningkatan yang mantap telah menyumbang pada situasi di mana pekerjaan dinilai berdasarkan kesempatan-kesempatan pengembangan yang ditawarkan, bukan sebagai pekerjaan itu sendiri. Organisasi-organisasi yang gagal memenuhi aspirasi-aspirasi ini tidak akan memperoleh kinerja yang mereka tuntut dan staf terbaik mereka akan terus-menerus dibuat tak berdaya.
1.3.
Pemberdayaan Diri
Titik tolak pemberdayaan diri adalah pemahaman diri. Menyadari kekuatan dan kelemahan diri sebagai upaya menumbuhkembangkan keinginan untuk mengubah citra diri dari yang negatif menjadi lebih positif. Konsep diri, kata Maxwell Maltz, adalah blue print kita dalam bertingkah laku. Dengan memperbaiki cara pandang terhadap diri kita, keyakinan diri kita akan tumbuh, dan tingkah laku kita pun akan mengikuti konsep diri yang baru ini. Semua langkah ini harus berawal dari pandangan obyektif terhadap segala kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri seseorang. Kelebihan yang ada dipupuk terus agar dapat menjadicompetitive advantage, sementara kekurangan yang ada harus dirubah. Di samping itu, sikap proaktif juga menuntun kita untuk mengimplementasikan rencana-rencana pemberdayaan diri ini melalui aktivitas yang bertumpu pada pengembangan diri, baik untuk sasaran jangka pendek maupun jangka panjang. Pemberdayaan diri melalui perubahan dapat diperlihatkan melalui empat cara berikut ini:
432CB – CB: Interpersonal Development
•
Mengubah situasi Mengubah situasi menjadi seperti yang diinginkan, sebagai bentuk perubahan yang perlu dilaksanakan serta memiliki relevansi dengan upaya pengembangan diri.
•
Mengubah diri sendiri Mengembangkan komponen-komponen identitas diri yang selama ini dirasakan sebagai hambatan. Misalnya dalam cara menghadapi orang lain, cara berkomunikasi, cara menyelesaikan suatu persoalan, dan sebagainya.
•
Hiduplah dengan kreativitas Memfokuskan perubahan pada hal-hal yang bersifat teknis yang menjadi landasan bagi upaya pengembangan kreativitas, misalnya perangkat pengetahuan. Mencari jalan terbaik untuk mengatasi “permasalahan” diri sendiri; misalnya mengganti pola waktu bekerja yang biasanya malam menjadi pagi sampai sore hari, dengan harapan kreativitas kerja meningkat.
•
Tinggalkan situasi sulit Menghindarkan diri secara langsung dari situasi yang menimbulkan banyak kesulitan, baik yang sudah terjadi maupun yang diprediksikan akan terjadi, dan keluar dari kemelut secara permanen.
2.
Pendelegasian Wewenang dan Pemberdayaan Karyawan
Mulyadi (2003:288) mengungkapkan bahwa secara sepintas pendelegasian wewenang hampir sama dengan pemberdayaan karyawan. Sebenarnya jika dicermati, dua konsep tersebut berbeda secara mendasar. Jika manajemen tidak memahami perbedaan substansi kedua konsep tersebut, manajemen tidak akan mengambil manfaat optimum dari konsep pemberdayaan karyawan, dan akan mengakibatkan manajemen cenderung ke functional fixation. Pemahaman terhadap perbedaan mendasar di antara keduanya akan meningkatkan kompetensi eksekutif dalam mengimplementasikan secara efektif program pemberdayaan
432CB – CB: Interpersonal Development
karyawan, sehingga potensi seluruh personel organisasi dapat secara optimum dikerahkan untuk membawa maju organisasi dengan pesat.
2.1.
Pendelegasian Wewenang
Delegasi wewenang lebih ditujukan kepada manajer, bukan karyawan.Dalam organisasi
fungsional
hirarkhis,
pembagian
kekuasaan
(power
distribution)hanya
dilaksanakan di kalangan manajer, tidak sampai kepada karyawan. Pendelegasian wewenang adalah pemberian wewenang oleh manajer yang lebih atas kepada manajer yang lebih rendah untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan otorisasi secara eksplisit dari manajer pemberi wewenang pada waktu wewenang tersebut akan dilaksanakan. Dari definisi pendelegasian wewenang tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Pendelegasian wewenang dilakukan dari manajer yang lebih tinggi posisinya ke manajer yang lebih rendah (bukan kepada karyawan). 2. Manajer yang lebih rendah posisinya memerlukan otorisasi secara eksplisit dari manajer pendelegasi wewenang pada waktu akan melaksanakan wewenang yang telah didelegasikan kepadanya. 3. Pemberian wewenang yang dilaksanakan dalam pendelegasian wewenang masih bersifat setengah-setengah. Jika kepada manajer bawah saja manajer tingkat atas mendelegasikan/ wewenang secara setengah-setengah, dapat dibayangkan seberapa rendah tingkat kepercayaan manajemen tingkat atas kepada karyawan untuk pengambilan keputusan. 4. Pendelegasian wewenang lebih menekankan pada aspek pengendalian dan kepatuhan daripada
pemberian
kebebasan
dalam
pelaksanaan
wewenang
yang
telah
didelegasikan tersebut. Pengendalian untuk menciptakan kepatuhan bawahan dilakukan oleh manajer jenjang lebihatas melalui tiga instrumen pengendalian, yaitu:
a. Melalui otorisasi secara eksplisit sebelum wewenang dilaksanakan oleh manajer yang lebih rendah, b. Melalui laporan pertanggungjawaban pelaksanaan wewenang yang dibuatoleh manajer tingkat yang lebih rendah ke manajer pemberi wewenang, c. Melalui audit kinerja (performanceaudit) yang dilaksanakan oleh auditorintern.
432CB – CB: Interpersonal Development
Di dalam kondisi yang ekstrem, delegasi wewenang dapat berupa gofer delegation, yaitu suatu bentuk delegasi wewenang yang menuntut manajer penerima delegasi wewenang hanya melaksanakan apa yang telah ditentukan oleh pemberi wewenang.
2.2.
Kondisi yang Cocok untuk Pendelegasian Wewenang
Sistem pendelegasian wewenang cocok diimplementasikan dalam kondisi berikut ini:
a. Karyawan terdiri dari tenaga kerja tidak terampil dan tidak terdidik. Di masa lalu, pekerjaan umumnya berupa serangkaian tugas sederhana dan manual yang dilaksanakan oleh pekerja tidak terampil dan tidak terdidik, sehingga pekerjaan semacam itu mudah diamati pelaksanaannya. Atau yang dikenal sebagai organisasi hirarkis, yang mendasarkan prinsip komando dan kepatuhan di dalam menjalankan organisasi yang cocok untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan manual, yang dilaksanakan oleh pekerja tidak terampil dan tidak terdidik.
b. Informasi tidak dapat diakses oleh karyawan karena keterbatasan teknologi yang digunakan untuk mengolah data. Di masa lalu, informasi diolah secara manual, sehingga secara fisik, data dikumpulkan secara terpusat di suatu tempat (tentu saja di bawah penguasaan manajemen tingkat atas) dan secara eksklusif pula dimanfaatkan oleh manajemen tingkat atas.Dengan demikian, karena keterbatasan teknologi pengolahan data ini, wajar jika setiap karyawan akan melaksanakan pekerjaan, mereka memerlukan rantai otorisasi dari para manajer di atas mereka karena di tangan manajer puncaklah informasi yang diperlukan berada.
c. Lingkungan bisnis yang dihadapi oleh perusahaan adalah stabil. Lingkungan bisnis yang stabil memberikan toleransi kepada panjangnya rantai komando dalam pengambilan keputusan. Di dalam lingkungan seperti itu, perubahan jarang terjadi, sehingga kecepatan pengambilan keputusan bukan merupakan kebutuhan penting organisasi.
432CB – CB: Interpersonal Development
2.3.
Kultur yang Dihasilkan dari Sistem Pendelegasian Wewenang
Berkaitan dengan kultur, Mulyadi (2003:297) mengemukakan bahwa sistem pendelegasian wewenang yang dikembangkan dalam organisasi traditional membentuk kultur organisasi berikut ini:
a. Membentuk
pemimpin
yang
berpegang
pada
kedudukannya
(position-
basedleadership), dan bergaya otoriter yang mengandalkan pada komando untuk memperoleh kepatuhan bawahan. Sistem pendelegasian wewenang menghasilkan pemimpin yang memiliki kekuasaan karena posisi yang didudukinya. Pemimpin seperti ini memiliki gaya kepemimpinan otoriter, yang mengandalkan komando untuk memperoleh kepatuhan dari bawahannya.
b. Membentuk karyawan yang patuh, tidak kreatif, dan tidak berinisiatif. Sistem pendelegasian wewenang menghasilkan personel yang patuh terhadap perintah, dan karena pengendalian yang diciptakan cenderung berlebihan, sistem ini juga mengakibatkan karyawan tidak mempunyai inisiatif dan tidak kreatif.
c. Menghasilkan hubungan berdasar ketidakpercayaan (distrust) antara manajer atas dengan manajer di bawahnya. Konsep pendelegasian wewenang menekankan aspek pengendalian dan tidak didasarkan pada trust dalam hubungan antara manajer yang lebih atas dengan manajer bawahannya. Distribusi wewenang dalam organisasi didasarkan pada power-based relationship dimana wewenang bersumber dari manajer tingkat atas, yang memiliki wewenang karena kedudukannya (position-basedpower). Manajer tingkat atas kemudian mendelegasikan sebagian wewenangnya (yang diperoleh karena posisinya tersebut) kepada manajer yang lebih rendah, sehingga terciptalah hubungan berbasis kekuasaan (power-basedrelationship)antara kedua manajer tersebut.
Robert B Nelson, dari Blanchard Training and Development, dalam bukunya, Delegation (Scott,Foresman and Company), mengatakan bahwa untuk dapat melakukan delegasi dengan baik dan efektif, ada empat tahap yang perlu diperhatikan:
432CB – CB: Interpersonal Development
Pertama, persiapan. Manajer harus menyediakan waktu untuk terlebih dahulu membuat persiapan sebelum mendelegasikan. Ada pekerjaan-pekerjaan biasanya yang bersifat rutin dan tidak bersifat strategis yang tidak perlu ia sendiri yang melakukannya, itulah pekerjaan yang paling tepat untuk didelegasikan.
Kedua, proses delegasi. Setelah persiapan matang, maka manajer harus berbicara dengan jelas dengan setiap anggota tim atau masing-masing bawahan seperti soal maksud dan sasaran yang harus dicapai, apa saja yang harus dicapai dalam kurun waktu yang ditetapkan, ukuran atau standardisasi yang bersifat kuantitatif, disertai wewenang yang mengiringi pendelegasian pekerjaan yang bersangkutan.
Ketiga, monitoring (pemantauan) dan mentoring (bimbingan pribadi). Ada ungkapan “trust is good, but control is better.” Manajer harus memberikan kepercayaan terhadap bawahan, akan tetapi bukan berarti kepercayaan tanpa reserve yang membabi buta. Apabila ada penyimpangan atau kekurangan dapat segera dilakukan koreksi atau perbaikan.
Keempat, evaluasi. Semakin banyak jumlah anak buah, semakin diperlukan evaluasi atas semua pekerjaan yang dialokasikan dan didelegasikan terhadap masing-masing bawahan. Proses evaluasi akan juga memperlihatkan bawahan yang mana yang sangat berpotensi dan kelak bisa menggantikan diri sang manajer.
Dalam pendelegasian, sering kali timbul masalah yang bersumber pada fakta berikut.
1. Tugas yang didelegasikan terlampau banyak, atau terlalu sedikit, yang dalam kenyataannya tidak sesuai dengan kapasitas bawahan. 2. Tidak ada pelatihan bagi tugas, baik pelatihan tugas, atau latihan di dalam tugas ("in-service training"). 3. Informasi yang kabur. Yang bersumber dari pemimpin yang "kurang jelas" dalam berkomunikasi dengan para bawahan, atau gengsi dari bawahan, yang walaupun tidak memahami suatu informasi, tetapi malu untuk bertanya. 4. Komando dari atas yang datang dari dua sumber yang berbeda. Ini menciptakan kebingungan bagi dan di antara para bawahan yang dihadapkan dengan pertanyaan, "perintah yang mana yang harus dituruti?"
432CB – CB: Interpersonal Development
5. Bawahan tidak mengerti nilai dari tugas yang diinformasikan. Apakah tugas tersebut sangat mendesak karena bernilai primer atau dapat ditunda karena sifatnya yang kurang penting, dsb. 6. Harapan pemimpin yang berlebihan, tanpa mengetahui dengan jelas akan kemampuan para bawahannya dengan pasti. 7. Motivasi dan harapan para bawahan yang bersifat kompleks terhadap pemimpin, tugas, imbalan, situasi/kondisi, dsb.
Setiap pemimpin yang baik perlu memahami serta menerapkan pendelegasian dengan penuh tanggung jawab apabila ia menghendaki keberhasilan dalam kepemimpinannya. Pemimpin yang baik akan memahami bahwa ia hanya dapat bekerja dengan baik apabila ia dapat bekerja bersama dan bekerja melalui orang lain (para bawahan). Untuk mewujudkan kerja sama ini, pemimpin dapat mewujudkannya melalui pendelegasian. 2.4.
Hambatan dalam Pendelegasian
Pendelegasian adalah “to get work done through other people” , sehingga boleh dikatakan sebagai salah satu pilar utama manajemen. Salah satu ciri manajemen (dan manajer) yang bagus adalah lancarnya proses pendelegasian. Berapa masalah yang dihadapi perusahaan di Indonesia banyak yang berkaitan dengan tidak mulusnya proses pendelegasian. Fenomena kerapuhan manajemen di lapis menengah atau tersendatnya proses suksesi merupakan pertanda pendelegasian tidak berjalan mulus.
Penyakit “pendelegasian” sering kali muncul pada perusahaan yang dekat dengan generasi perintis, karena dominannya pendiri perusahaan dalam memutar roda organisasi. Masalah ini tidak hanya dialami perusahaan-perusahaan di Indonesia saja, bahkan perusahaan besar di negara maju juga mengalami hal ini. Padahal
seiring
dengan
maraknya
isu
desentralisasi, pendelegasiaan wewenang akan semakin penting. Ketentuan tentang otonomi di daerah yang sedang dicanangkan pemerintah, akan mendorong perusahaan swasta untuk lebih dekat konsumennya di daerah, yang berarti aroma desentralisasi semakin kuat, dan kebutuhan untuk mendelegasikan tugas kepada kantor cabang semakin tinggi.
Beberapa gejala dapat diindentifikasikan untuk menujukkan kurang mulusnya proses pendelegasian. Jika penanganan situasi “krisis” dan tindakan–tindakan berbentuk “pemadam
432CB – CB: Interpersonal Development
kebakaran” menjadi pola yang umum dalam perusahaan hampir dapat dipastikan terjadi masalah dengan pendelegasiaan. Ketidakberesan
pendelegasian juga nampak ketika
pekerjaan menjadi lambat atau terhenti jika si manajer tidak berada di tempat.
Pendelegasian yang kurang baik juga menimbulkan proses pengambilan keputusan menjadi lambat, karena terlalu banyak otoritas yang dipegang di tingkat atas. Sementara itu terjadi ketidakseimbangan beban kerja, di mana level manajemen tertentu over worked dan level manajemen lainnya under worked. Ketidakberesan pendelegasian juga menjadikan akumulasi ide-ide bagus, tetapi tidak pernah ditelusuri lebih lanjut dan dilaksanakan. 2.5.
Proses pendelegasian yang efektif Mendelegasikan memang perlu keterampilan tersendiri. Tetapi terdapat tiga langkah
utama atau proses
yang dapat dijadikan patokan dalam melaksanakan pendelegasian,
yaitu pemberian tanggungjawab, pemberian wewenang dan accountability.
Langkah pertama adalah memberi tanggungjawab kepada penerima tugas, yang berarti memberi tugas yang jelas dan terinci, sehingga bawahan mengetahui dengan persis lingkup pekerjaan, dimana mereka harus bertanggungjawab untuk mencapai hasil yang diinginkan. Kejelasan ini juga didukung oleh kejelasan hubungan kerja dengan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas, serta sarana yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan tugas. Hasil yang dicapai harus dideskripsikan dengan jelas, serta ditentukan bagaimana melakukan pengukuran performance. Asumsi pemberian tangggungjawab adalah tersedianya sarana untuk melaksanakan tugas, informasi, keterampilan dan pengetahuan. Langkah kedua adalah memberikan wewenang. Memberi wewenang berarti memberi hak untuk mengambil keputusan dan melakukan tindakan dalam batas-batas yang jelas dalam melaksanakan tugas. Dengan batasan yang jelas si pengemban tugas tidak ragu-ragu dalam melangkah dan dapat mengambil keputusan dengan cepat. Pemberian wewennag diawali dengan meminta anak buah menyampaikan ide atau rencana untuk mencapai hasil yang diharapkan. Ajukan pertanyaan, dan usulkan kemungkian alternatif-alternatifnya, serta bantulah anak buah untuk mengenali semua aspek dalam tugas yang mempunyai peran penting dalam keberhasilan pelaksanaannya. Beri dorongan kepada anak buah untuk berpikir dan mengenai problem yang mungkin timbul dan bagaiamana mengatasinya. Kemudian giringlah untuk sampai pada persetujuan course of action.
432CB – CB: Interpersonal Development
Langkah berikutnya adalah melaksanakan pertanggunggugatan (accountability). Si pengemban tugas yang diberi wewenang harus bertanggungjawab terhadap tugas dan wewenang
yang
diberikan
kepadanya.
Mintalah
kepada
anak
buah
mempertanggungjawabkan tugas dan wewenang yang telah diterima.
untuk
Evaluasilah
kualitas accountabiilty yang telah dijalankan anak buah. Kemudian berikan pedoman dan pengarahan untuk meningkatkan proses pertanggungjawaban di masa mendatang.
Namun demikian harus diingat bahwa pendelegasian bukan berarti “dumping”, yang menyerahkan seluruh tanggungjawab kepada anak buah.
Pendelegasian juga bukan
pelepasan wewenang, sehingga atasan tidak punya wewenang lagi terhadap pekerjaan yang dilakukan bawahan. Atasan masih harus memegang kendali dan melakukan pengawasan terhadap pekerjaan anak buah. Dan yang terpenting atasan harus “mengukur” kemampuan anak buah sebelum mendelegasikan tugas kepadanya.
D. Memotivasi Orang Lain 1.
Pengertian Motivasi Psikologi pendidikan biasanya merumuskan pengertian motivasi dengan berbagai
macam rumusan (Djaali, 2008:.101-103). Sumadi Suryabrata mendefinisikan motivasi sebagai keadaan yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorongnya melakukan aktivitas tertentu guna pencapaian suatu tujuan. Sementara Gates memahami motivasi sebagai suatu kondisi fisiologis dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang yang mengatur tindakannya dengan cara tertentu. Kalau Gates melihat motivasi sebagai suatu kondisi fisiologis dan psikologis, Greenberg melihat motivasi sebagai suatu proses yang membangkitkan, mengarahkan dan memantapkan perilaku arah suatu tujuan. Berdasarkan definisi-definisi yang dipaparkan oleh para ahli tersebut Djaali menyimpulkan bahwa motivasi adalah kondisi fisiologis dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan atau kebutuhan. Dalam konteks ini Maslow (1984: 39-52) mengidentifikasi lima kebutuhan yang memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu. Kelima kebutuhan tersebut adalah kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, harga diri dan kebutuhan aktualisasi diri.
432CB – CB: Interpersonal Development
2. Beberapa Strategi Memotivasi Orang Lain
2.1.
Strategi yang ddasarkan pada prinsip ”what’s in it for me?”
Salah satu prinsip dasar dari motivasi manusia untuk melakukan sesuatu adalah bahwa setiap orang dimotivasi oleh kepentingan diri (self-interest). Sebelum bekerja keras untuk menyelesaikan sebuah tugas, setiap orang pada umum akan bertanya, ”apa keuntungan yang akan saya peroleh dengan pekerjaan ini?”. Implikasi praktis dari prinsip ini adalah bahwa seorang pemimpin atau profesional yang membutuhkan bekerja bersama dengan orang lain harus selalu menyadari intensitas keinginan orang lain yang akan menjadi bagian dari pekerjaannya. Seseorang akan sangat termotivasi, sedikit termotivasi atau kurang termotivasi, sangat tergantung pada intensitas prinsip tersebut di atas.
Untuk menggunakan prinsip tersebut di atas untuk memotivasi orang lain, seorang pemimpin atau profesional harus dapat mengidentifikasi apa kebutuhan, keinginan, atau motif-motif seseorang untuk dipenuhi. Berdasarkan beberapa survey (lihat Dubrin, 2007:172) seorang karyawan akan temotivasi oleh satu atau lebih dari kebutuhan-kebutuhan berikut;
a. Kebutuhan untuk prestasi. Karyawan dengan kebutuhan terhadap prestasi yang sangat kuat akan cenderung untuk puas dengan menyelesaikan setiap pekerjaan atau proyek dengan sukses. Mereka ingin menerapkan bakat-bakat mereka untuk mencapai prestasi demi kepentingan diri mereka sendiri.
b. Kebutuhan terhadap kekuasaan. Karyawan yang memiliki kebutuhan terhadap kekuasaan yang sangat kuat akan cenderung untuk berusaha mempengaruhi dan mengontrol orang lain dan mereka berharap untuk menjadi eksekutif.
c. Kebutuhan untuk afiliasi. Karyawan yang memiliki kebutuhan terhadap afiliasi akan selalu puas dengan berinteraksi dengan orang-orang lain, menjadi bagian dari kerja kelompok, dan membentuk hubungan persahabatan dengan orang lain. Karyawan dengan kebutuhan seperti ini akan selalu menghindari bekerja sendiri dalam waktu yang lama.
432CB – CB: Interpersonal Development
d. Kebutuhan untuk otonomi. Karyawan yang memiliki kebutuhan terhadap otonomi yang besar akan selalu mencari kebebasan dan independen. Mereka akan sangat termotivasi untuk menghindari bekerja dalam team dalam waktu yang lama. Banyak perwakilan dagang (sales) memiliki suatu kebutuhan yang besar terhadap otonomi.
e. Kebutuhan untuk penghargaan. Karyawan yang memiliki kebutuhan tehadap penghargaan yang tinggi ingin selalu mencari hal-hal yang baik bagi diri mereka sendiri, dan mereka selalau mempertimbangkan nilai mereka ke dalam lingkup yang luas yakni seberapa besar pengakuan dan pujian yang mereka terima dari orang lain.
f. Kebutuhan untuk keselamatan dan keamanan. Karyawan yang memiliki kebutuhan yang besar terhadap keselamatan dan keamanan akan selalu mencari pekerjaan yang dapat menghindari pekerjaan-pekerjaan yang membuat mereka merasa tindak aman. Mereka akan selalu mencari pekerjaan yang aman, penghasilan yang tetap, asuransi dan lingkungan kerja yang tidak membahayakan.
g. Kebutuhan equitas. Karyawan yang memiliki kebutuhan yang besar terhadap equitas akan selalu mencari perlakuan yang wajar (fair). Mereka sering membandingkan jam kerja, tanggungjawab kerja, pendapatan, dan hak-hak istimewa yang diterima oleh pekerja yang lain dan mereka akan berkecil hati jika pekerja yang lain itu menerima perlakuan yang lebih baik.
2.2.
Menggunakan Penguatan Positif untuk Memotivasi Orang Lain
Penguatan positif berarti dibangun diatas proposisi bahwa seseorang akan cenderung mengulangi lagi respon yang diharapkan bila perilakunya mendapat penghargaan yang positif. Berikut ini beberapa aturan atau prosedur yang dapat digunakan untuk menerapkan prinsip penguatan positif.
i.
Nyatakan dengan jelas perilaku apa saja yang akan dihargai
ii.
Pilihlah suatu penghargaan yang sesuai
iii.
Berikan umpan balik yang cukup
432CB – CB: Interpersonal Development
iv.
Jadwalkan penghargaan sewaktu-waktu (intermittently)
v.
Berikan penghargaan segera setelah sebuah prestasi dicapai
vi.
Buatlah penghargaan sesuai dengan prilaku
vii.
Berilah penghargaan yang dapat dilihat
viii.
Merubah penghargaan secara periodik
2.3.
Gunakan Pengakuan untuk memotivasi orang lain
Memotivasi orang lain dengan memberi mereka pengakuan dan pujian dapat dianggap sebagai penerapan langsung penguatan positif. Pengakuan adalah motivator kuat karena kebutuhan manusia normal mendambakan pengakuan. Memberi pengakuan kepada orang lain sebagai taktik motivasi lebih mungkin efektif jika budaya pengakuan ada dalam perusahaan. Hal ini benar karena orang yang memberi pengakuan akan merasa bahwa apa yang mereka lakukan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh manajemen puncak dan pada saat yang sama penerima pengakuan menganggapnya sebagai sesuatu yang serius.
2.4.
Menggunakan teori harapan untuk memotivasi orang lain Teori harapan tentang motivasi didasarkan pada premis bahwa seberapa besar usaha
orang, sangat tergantung pada penghargaan (rewards) yang mereka harapkan untuk menerimanya. Teori harapan mengasumsikan bahwa orang bersifat rasional dan logik. Dalam setiap situasi, mereka ingin memaksimalkan pendapatan dan mengurangi kerugian. Teori ini juga menyatakan bahwa setiap orang pasti memiliki alternatif diantara alternatif yang lainnya. Oleh karena itu mereka akan memilih salah satu diantara alternatif-alternatif tersebut yang menurut mereka memiliki peluang yang lebih baik untuk mendapatkannya. Atau sebaliknya mereka tidak akan memilih sesuatu yang mereka pikir hanya sedikit peluang untuk mendapatkannya. Berikut ini akan dijelaskan beberapa komponen dasar dari teori harapan yakni
•
Effort-to-performance expectancy. Setiap individu yang ditugaskan untuk melakukan suatu pekerjaan pada dasarnya akan selalu bertanya pada dirinya sendiri apakah mereka telah melaksanakan tugasnya secara benar atau tidak. Pertanyaan bersifat rasional. Pertanyaan ini berkaitan dengan
432CB – CB: Interpersonal Development
harapan bahwa setiap individu menginginkan kesuksesan dari pekerjaan yang mereka lakukan. Itu berarti bahwa semakin besar rasa percaya diri seorang pekerja bahwa pekerjaan itu akan sukses, maka semakin besar motivasi mereka untuk melakukannya secara baik dan benar. Atau sebaliknya semakin rendah kepercayaan diri mereka, semakin rendah pula motivasi mereka untuk menyelesaikannya secara baik dan benar.
•
Performance-to-outcome expectancy Setiap individu pada dasarnya selalu mengharapkan hasil dari pekerjaan atau apapun yang dilakukannya. Ketika mereka melakukan suatu pekerjaan khusus, mereka sungguh mengharapkan bahwa apa yang mereka lakukan akan mendatangkan hasil atau penghargaan bagi mereka. Bila mereka percaya bahwa kinerja mereka akan mendatangkan hasil atau penghargaan, mereka akan semakin termotivasi
untuk
melakukannya. Namun sebaliknya bila mereka tidak percaya, maka semakin pula mereka tidak termotivasi untuk melakukannya.
•
Valence Valensi merupakan suatu yang bernilai, bermanfaat atau menarik yang memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu. Valensi menandakan seberapa intensif seseorang menginginkan sesuatu. Dalam masing-masing situasi kerja ada beberapa hasil. Masing-masing hasil ini memiliki valensinya sendiri-sendiri.
432CB – CB: Interpersonal Development
SIMPULAN Kepemimpinan pada dasarnya merupakan sebuah kemampuan untuk menggerakan orang lain melakukan sesuatu demi mencapai tujuan. Seorang pemimpin yang efektif harus memiliki keberanian untuk menantang sebuah proses, menjadi model bagi para pengikut, dapat menginspirasi para pengikut dan mendorong para pengikut untuk melakukan sesuatu. Untuk mencapai semua ini seorang pemimpin harus memiliki rasa percaya diri yang baik, asertif, memiliki moralitas yang dapat dipercayai, secara emosional harus stabil, obyektif dan juga memiliki selera humor yang baik.
Selain karakter-karakter pribadi tersebut, seorang pemimpin juga harus selalu melibatkan para pengikutnya untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan. Sebelum melibatkan para pengikut, seorang pemimpin harus memberdayakan para pengikut dengan memberikan mereka kepercayaan untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan. Pemberdayaan seperti ini akan memungkinkan sebuah pekerjaan dapat diselesaikan dengan cara yang efektif dan efisien. Selain
memberdayakan
setiap
para
pengikutnya,
seorang
pemimpin
juga
dapat
mendelegasikan wewenang yang dimilikinya kepada para manager atau pemimpin pada level dibawahnya. Delegasi seperti ini dapat memudahkan seorang pemimpin menyiapkan kaderkader pemimpin di masa yang akan datang.
Aspek lain dari kepemimpinan yang penting adalah motivasi. Motivasi merupakan suatu dorongan yang muncul dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu. Dorongan itu bisa saja berbentuk: antusiasme, harapan dan semangat. Semua yang kita lakukan setiap hari senantiasa didorong oleh suatu motivasi tertentu.
Misalnya, seorang
Mahasiswa yang belajar tentu saja memiliki motivasi belajar, begitu pula seorang atlet memiliki motivasi bertanding, seorang pelajar dengan motivasi lulus UN, dan lain sebagainya.
Motivasi ibarat api di dalam pikiran seseorang yang terkadang besar membara namun kadang-kadang juga redup. Tinggi rendahnya motivasi seseorang untuk melakukan sesuatu sangat ditentukan oleh tinggi atau tidaknya harapan seseorang untuk menerima penghargaan atas apa yang dibuatnya. Semakin besar harapan yang dimiliki oleh mereka semakin mereka akan termotivasi. Atau juga orang akan termotivasi kalau mereka yakin bahwa apa yang
432CB – CB: Interpersonal Development
mereka lakukan akan dapat memenuhi kebutuhan mereka. Semakin tinggi kepercayaan atau keyakinan terhadap keterpenuhan kebutuhan, semakin termotivasi mereka untuk melakukan pekerjaan tersebut.
Bagi seorang manager, pemimpin atau profesional yang bekerja bersama orang lain memberikan motivasi kepada orang lain merupakan suatu hal yang sangat penting. Memberikan motivasi dapat dilakukan dengan berbagai strategi sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Ini berarti bahwa memberikan motivasi kepada orang lain merupakan seuatu keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin pada level apapun. Kemampuan ini dapat dipelajari oleh siapapun. Seorang ibu rumah tangga, mahasiswa, manajer, dan tentu saja pemimpin dapat mempelajarinya.
432CB – CB: Interpersonal Development
DAFTAR PUSTAKA Stephen P. Robbins and Mary Coulter, “Management (8th Edition)”, Prentice Hall, January 14, 2004. G. A. Yukl and J. B. Tracey, “Consequences of Influence Tactics used with Subordinates, Peers, and the Boss”, Journal of Applied Psychology Daniel Goleman, Richard Boyatzis, Annie Mckee, Primal Leadership: Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi , Gramedia Pustaka Utama Suzanne C. De Janasz, Karen O. Dowd, Beth Z. Schineider, Interpersonal Skills in Organization, The Mc Graw Hill, New York, 2009 Christopher F. Achua, Robert N. Lussier, Effective Leadership, Fourth Edition, SouthWestren Cengage Learning, Canada, 2010 Self assement from Suzanne C. De Janasz, Karen O. Dowd, Beth Z. Schineider, Interpersonal Skills in Organization DuBrin, Andrew J., ((2007), Human Relations, Interpersonal Job-Oriented Skills, New Jersey: Pearson-Prentice Hall
Richard L. Hughes, Robert C. Ginnett, Gordon J. Curphy (2009), Leadership, Enhancing the Lessons of Experience, New York: McGraw Hill,