Latar Belakang Gangguan somatoform merupakan gangguan yang tidak sepenuhnya dijelaskan oleh kondisi
medis umum atau
gangguan
mental lain dan untuk memenuhi kriteria
diagnostik harus disebabkan oleh adanya tekanan (McCarron, 2006; Woolfolk & Allen, 2002). Gangguan Somatisasi mengacu pada perkembangan gejala somatik yang tidak ditemukan atau disebabkan oleh penyakit medis (Escalona, Achilles, Waitzkin, & Yager, 2004; North, Kawasaki , Spitznagel, & Hong, 2004; Allen, Gara, Escobar, Waitzkin, & Cohen-Silver, 2001). Somatisasi adalah istilah yang awalnya terkait dengan
teori
psikodinamik,
dimana
penyebab
penyakit dikarenakan
psikologis atau suatu kondisi kejiwaan yang diubah
menjadi
konflik
penyakit fisik
(Kirmayer, 1984; Lipowski, 1988). Dalam kajian psikodinamik, somatisasi merupakan salah satu gangguan yang sering digunakan individu untuk menghindari diri dari permasalahan karena enggan menerima tanggungjawab, teguran ataupun hukuman. Hal ini dilakukan karena efek somatisasi hanya berpengaruh pada diri sendiri dan tidak berpengaruh pada orang lain (Kaplan, Harold, Sadock, & Grebb, 1997; Barry, 2003). Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang ditandai oleh banyaknya keluhan fisik/gejala somatik yang mengenai banyak sistem organ yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Gangguan somatisasi dibedakan dari gangguan somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan melibatkaan sistem organ yang multiple (seperti gastrointestinal dan neurologis). Gangguan ini bersifat kronis dengan gejala ditemukan selama beberapa tahun, dimulai sebelum usia 30 tahun dan disertai dengan penderitaan psikologis yang bermakna, seperti gangguan fungsi sosial, pekerjaan, dan perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan (Kaplan, et al., 1997; Woolfolk & Allen, 2010). Gangguan somatisasi lebih sering terjadi atau ditemukan di budaya non-Barat, terutama sering terjadi pada orang-orang Asia dan Afrika (Gaw, 1993). Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi umumnya diperkirakan 0,1–0,7% (Weissman, Myers, & Harding, 1978; McLeod, Budd, & McClelland, 1997; Barsky, & Borus, 1995). Prevalensi gangguan somatisasi terjadi pada wanita di populasikan sebanyak 1– 5%. Perbandingan rasio penderita pada wanita dan laki-laki adalah 5 berbanding 1, biasanya gangguan dimulai pada usia dewasa muda (sebelum usia 30 tahun) (Davidson,
Neale, & Kring, 2006; Kallivayalli & Punnoose, 2010; Eisendrath, 1998; Khouzam & Field, 1999; McCarron, 2006; Redekop, Stuart, Mertens, 1999). Di Mesir Kuno juga menyebutkan bahwa gangguan somatisasi lebih sering terjadi pada perempuan (McCarron, 2006). Survey pada komunitas penderita gangguan somatisasi menunjukkan bahwa hampir (95%) orang dengan gangguan somatisasi telah mengunjungi seorang dokter dan hampir setengahnya (45%) masuk perawatan inap di rumah sakit (Nevid, Rathus, & Greene, 2005). Kasus gangguan somatisasi terjadi juga di klinik psikologi di Banjarmasin. Berdasarkan hasil wawancara dengan dr. Nina diketahui bahwa pada tahun 2008 terdapat 8 pasien somatisasi dan meningkat menjadi 14 pasien pada tahun 2010. Gangguan somatisasi biasanya menunjukkan berbagai gejala, seperti sakit kepala, adanya rasa nyeri pada bagian tubuh, sulit tidur, sakit perut/nyeri pada perut, gangguan pada menstruasi, dan kelelahan. Semua sakit tersebut tanpa dibuktikan adanya penyakit medis, hal ini dikarenakan individu dengan gangguan somatisasi merasa sakit pada sebagian besar hidupnya dan selalu mengeluhkan penyakit tubuh kepada dokter setiap individu merasa sakit (McCahill, 1995, Boeree, 2008). Individu dengan gangguan somatisasi memiliki kecenderungan untuk bereaksi terhadap tekanan psikososial dan lingkungan yang membuat stres sehingga tubuh merasa sakit. Sakit yang biasanya dirasakan berpusat pada jantung, pencernaan, pernapasan, kulit, dan sistem organ lainnya (Katon, Ries & Kleinman, 1984; Moore & Jefferson, 1996). Individu yang mengalami gangguan somatisasi memiliki keyakinan dan alasan yang kuat bahwa ia sakit, meskipun juga penyakit tersebut sudah dibuktikan dengan berulang kali dari hasil tes laboratorium, tes diagnostik, konsultasi dengan spesialis/dokter, bahkan rawat inap menyatakan bahwa tidak ada penyakit yang serius ditubuh individu. Individu tersebut terus mencari perawatan medis atau membeli beberapa obat tanpa resep dokter (Escobar, Waitzkin & Silver, 1998; McCahill, 1995; Ali, Deuri, Jahan, Singh & Verma, 2010). Gangguan somatisasi merupakan hasil dari keyakinan irasional dan kesalahan dalam proses berpikir (distortion cognitive) serta adanya ketakutan yang berlebihan tentang pentingnya sensasi fisik atau salah dalam menafsirkan sensasi somatik. Sebagai contoh, individu percaya bahwa rasa sakit, kelelahan, atau ketidaknyamanan dalam bentuk apapun merupakan tanda-tanda penyakit yang terjadi pada dirinya (Rief, Hiller, & Margraf, 1998).
Individu dengan gangguan somatisasi lebih mungkin percaya bahwa gejala fisik yang tidak jelas merupakan indikator penyakit serius dan selalu mencari pengobatan. Misalnya, seseorang dengan gangguan somatisasi mungkin takut bahwa sakit kepala adalah sinyal tumor otak, atau sesak napas menunjukkan timbulnya asma. Ketika dokter tidak dapat menemukan penjelasan medis untuk gejala, individu mungkin takut bahwa ia memiliki penyakit langka dan panik untuk mencari spesialis yang dapat memberikan diagnosis penyakitnya (Menza, Lauritano, Allen, Warman, Ostella, Hmaer, & Escobar, 2001). Gangguan somatisasi disebabkan oleh pikiran individu, individu merasa bahwa ada sesuatu yang salah dengan keadaan dirinya sehingga menyebabkan timbulnya pikiran-pikiran yang negatif dan keyakinan irasional tentang dirinya dan lingkungan. Hal ini yang
rnenyebabkan individu merasa bahwa jika adanya
tekanan, stress, terlalu banyak aktivitas yang dilakukan, kelelahan yang menguras energi dan tenaga serta ketidak percaya diri dengan kemampuan dirinya maka dapat memunculkan rasa sakit dan menganggap hal tersebut dapat mengancam atau membahayakan dirinya. Suatu keadaan yang diyakini membuat individu sakit, sehingga perlu adanya pendekatan (intervention) untuk individu gangguan somatisasi yang bertujuan mengubah pola pikir yang salah dan negatif menjadi pikiran-pikiran yang positif dan rasional (Emair, 1998). Pendekatan kognitif menekankan bahwa tingkah laku adalah proses mental, dimana individu (organisme) aktif dalam menangkap, menilai, membandingkan, dan menanggapi stimulus sebelum melakukan reaksi. Individu dalam hal ini menerima stimulus kemudian melakukan proses mental sebelum memberikan reaksi yang datang (Boeree, 2008). Dasar pikiran teknik kognitif adalah proses kognitif sangat berpengaruh terhadap perilaku yang ditampakan oleh individu. Selain itu, perasaan individu sering dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan individu mengenai dirinya sendiri. Pikiran individu tersebut belum tentu merupakan suatu pemikiran yang objektif mengenai keadaan yang dialami sebenarnya (Burns, 1988). Adapun faktor kognitif yang menyebabkan gangguan somatisasi seperti prediksi berlebih terhadap ketakutan, keyakinan irasional, sensitivitas berlebihan mengenai sinyalsinyal dan tanda-tanda ancaman, harapan-harapan self efficacy (kemampuan diri) yang terlalu rendah dan salah mengartikan sinyal-sinyal tubuh. Sehingga somatisasi terbentuk
karena cara berpikir yang terdistorsi yang membuat seseorang tersebut salah mengartikan perubahan kecil dalam sensasi tubuhnya sebagai tanda dari bencana/ancaman yang akan terjadi. Selain itu distorsi kognitif tersebut akan berdampak pada fungsi sosial, pekerjaan dan masyarakat (Kallivayalli & Punnoose, 2010). Teori-teori kognitif beranggapan bahwa kemampuan kognitif merupakan sesuatu yang fundamental karena dapat mengerakkan, mempengaruhi, mengubah, dan yang akan membimbing suatu tingkah laku. Kognisi atau kognitif merupakan proses sentral yang menghubungkan peristiwa-peristiwa di luar (eksternal) dan di dalam (internal) diri individu. Kesalahan dalam proses kognitif atau distorsi kognitif akan menimbulkan berbagai dampak seperti munculnya pemikiran negatif, dan keyakinan irasional serta akan mengalami kesulitan dalam menghasilkan suatu emosi dan perilaku yang positif (Boeree, 2008). Berdasarkan berbagai penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor kognitif merupakan faktor yang sangat berperan penting dalam tubuh sebagai menyebabkan terjadinya gangguan somatisasi. Kesalahan dalam proses kognitif atau terjadinya penyimpangan kognitif dapat memberikan pengaruh negatif bagi diri individu. Somatisasi merupakan salah satu gangguan yang terjadi akibat adanya kesalahan dalam proses kognitif yang menimbulkan keyakinan dan pemikiran yang salah. Distorsi kognitif merupakan hasil dari pengolahan informasi dengan cara yang diduga mengakibatkan kesalahan yang diidentifikasi kedalam pikiran atau berpikiran secara berlebihan dan tidak rasional (Beck, 1967). Distorsi kognitif adalah pikiran tentang kejadian atau peristiwa yang mengalahkan diri sendiri yang tidak dapat didukung oleh realitas/kenyataan tertentu yang masuk akal (Kevin, Christopher, Ellison, Koening, 2008). Dalam hal ini perlunya terapi kognitif untuk mengatasi keyakinan-keyakinan negatif atau kesalahan dalam proses kognitif pada individu yang mengalami gangguan somatisasi. Terapi kognitif adalah bentuk terapi di mana pasien atau subjek diajarkan keterampilan mengidentifikasi, mengevaluasi dan menanggapi dirinya sendiri sehingga mengalahkan pikiran-pikiran yang menyimpang serta menerapkan terapi kognitif untuk mengubah pikiran, suasana hati dan perilaku pada penderita gangguan somatisasi. (Emair, 1998).
Intervensi yang biasanya digunakan untuk membantu mengatasi gangguan somatisasi yaitu dengan menggunakan Rational Emotif therapy (RET) dan terapi kognitif perilaku. Cognitive-Behavior Therapy (CBT) adalah istilah umum untuk cabang psikoterapi yang menggunakan cara perubahan kognitif dan perilaku serta untuk memahami dan mengobati masalah kesehatan. CBT berorientasi pada pemecahan masalah, pengobatan, upaya kolaboratif, di mana terapis dan individu bekerja bersama-sama membangun gagasan tentang
sumber masalah dan strategi untuk
penyelesaiannya. Secara teoritis CBT dapat digunakan untuk mengatasi gangguan somatisasi, karena dengan terapi ini seseorang diajari bagaimana memahami bahwa adanya hubungan antara emosi, pikiran dan perilaku yang dihasilkan. Terapi CBT untuk somatisasi yang difokuskan pada manajemen stres, regulasi aktivitas, emosional kesadaran, kognitif restrukturisasi, dan komunikasi interpersonal (Allen & Woolfolk 2006; Escobar, et al., 1998). CBT merupakan terapi yang cukup lama sehingga untuk focus menurunkan keyakinan irasional pada gangguan somatisasi, maka digunakan terapi kognitif dengan teknik restrukturisasi kognitif (Dobson, 2008). Restrukturisasi kognitif adalah salah satu teknik CBT yang merupakan suatu cara yang dilakukan dengan tujuan untuk menata kembali pikiran, menghilangkan keyakinan irasional yang menyebabkan ketegangan dan kecemasan bagi diri seseorang yang selama ini mempengaruhi emosi dan perilakunya (Oemardi, 2003). Restrukturisasi kognitif dapat digunakan dalam penanganan permasalahan pada gangguan somatisasi. Untuk memecahkan akibat dari pemikiran irasional dan merubah ke pemikiran rasional/logis maka dapat dilakukan dengan mengendalikan kognitif dan merubah kepercayaan-kepercayaannya, salah satu caranya dengan menggunakan teknik restrukturisasi kognitif (Ellis, 2011). Metode restrukturisasi kognitif merupakan metode terapi kognitif untuk membantu mengidentifikasikan pemikiran-pemikiran atau keyakinan-keyakinan negatif dan menggantikannya pemikiran-pemikiran yang positif, serta untuk menolong orang-orang mengidentifikasikan ide-ide atau keyakinan yang irasional tersebut dan menggantinya dengan pernyataan-pernyataan yang lebih realitas (Suryaningrum, 2007). Tujuan teknik restrukturisasi kognitif dilakukan pada individu yang mengalami gangguan somatisasi yaitu untuk menyanggah keyakinan irasional individu tentang pemikiran negatif dengan menggunakan metode mengumpulkan data asumsi negatif,
lembar pekerjaan rumah, membentuk interpretasi yang berbeda, mempelajari keahlian menyelesaikan masalah (problem solving), merubah pola pikir dan menentang keyakinan yang salah pada gangguan somatisasi. Dengan cara individu diajak untuk memahami bahwa perubahan perilaku hanya dapat dilakukan dan dapat memberikan hasil efektif dalam mengatasi masalahnya, jika individu mampu bekerja sama dalam mengeksplorasi pikiran dan perasannya. Manfaat teknik restrukturisasi kognitif pada individu yang mengalami gangguan somatisasi yaitu individu dapat membedakan, memahami pikiran dan perasaannya yang salah, serta mengevaluasi keyakinan dengan bukti yang jelas sehingga individu dapat berpikir lebih rasional (Allen, & Woolfolk, 2006). Penelitian Allen, Woolfolk, Lehrer, Gara, & Escobar (2001) yang menggunakan Cognitive-Behaviour Therapy untuk menurunkan sejumlah simtom pada gangguan somatisasi. Teknik yang digunakan adalah relaksasi dan restrukturisasi kognitif. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa teknik CBT tersebut dapat membantu menurunkan simtom somatisasi. Penelitian Allen, & Woolfolk (2006) menunjukkan terapi kognitif-perilaku untuk menurunkan simtom somatisasi menggunakan waktu 10 pertemuan. Intervensi menggunakan
teknik
relaksasi
dan
restrukturisasi
kognitif.
Hasil
penelitian
menunjukkan subjek dinilai sudah jauh lebih baik, sudah mampu menjalankan fungsi sehari-hari dan adanya penurunan somatic dibandingkan dengan subjek yang hanya dirawat dan diobati dirumah sakit. Berdasarkan studi pendahuluan pada subjek yang mengalami somatisasi, ia sering mengeluhkan rasa sakit dalam keadaan yang cukup menekan dirinya seperti terlalu banyak aktivitas yang dilakukan, kelelahan yang menguras energy dan tenaga, banyaknya tugas kampus yang harus diselesaikan, dan kelelahan dalam menyelesaikan tugas akhir. Selain itu seperti cuaca yang buruk, tempat yang baru dan kurang bersih dapat memunculkan rasa sakit serta mengancam dan membahayakan diri subjek. Hal ini merupakan suatu keadaan yang selama ini diyakini akan membuat subjek sakit. Bentuk rasa sakit yang biasanya muncul pada subjek berupa sakit kepala, adanya rasa nyeri pada bagian tubuh (dada, punggung, kaki, perut), sulit tidur, sering mual, dan gangguan pada menstruasi. Subjek berpikiran dan
takut yang berlebihan bahwa bersin-bersin dan nyeri dada yang sering dideritanya menunjukkan penyakit serius yaitu sakit jantung. Berdasarkan uraian di atas peneliti menduga kuat bahwa kognitif/pikiran merupakan bagian terpenting untuk meningkatkan atau memperbaiki distorsi kognitif atau kesalahan pemikiran pada subjek yang mengalami gangguan somatisasi. Tujuan penelitian adalah untuk melihat pengembangan teknik restrukturisasi kognitif untuk menurunkan keyakinan irasional pada gangguan somatisasi.