1 BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Mood disorders atau gangguan emosional merupakan salah satu gangguan mental yang umum terjadi. Sekitar 3 - 5% populasi pada suatu saat dalam kehidupannya pernah megalami
gangguan
tersebut.
Dua
bentuk
gangguan
emosional yang dikenal adalah depresi dan mania (Amir, 2005). Faktor
predisposisi
seimbangan
amin
depresi
biogenik,
adalah
genetik,
dan
ketidak perubahan
neurofisiologi tidur. Stressor dari luar memiliki peran besar
dalam
misalnya:
terjadinya
kehilangan
depresi.
objek
Stressor
nyata
maupun
tersebut imaginer,
bercerai, tidak menikah, tidak memiliki hubungan erat dengan
seseorang,
dan
berbagai
macam
stressor
lain
(Sadock & Sadock, 2003). Depresi
juga
dapat
disebabkan
oleh
substansi
farmakologis tertentu (Sadock & Sadock, 2003). Suatu keadaan yang disebut substance-related mood disorders adalah
keadaan
emosional dimaksud
di
karena dapat
mana
seseorang
substansi
berupa
gejala
mengalami
tertentu. depresi,
gangguan
Gangguan mania,
yang maupun 1
2
keduanya,
dan
dapat
terjadi
saat
intoksikasi
maupun
tersebut,
tentu
bersamaan dengan gejala putus zat. Selain
faktor-faktor
terdapat
faktor-faktor
risiko protektif
yang
mengurangi
kemungkinan terjadinya depresi pada seseorang. Faktorfaktor
tersebut
meliputi:
gaya
koping
yang
tepat,
kecerdasan spiritual yang baik, rasa percaya diri, dan kultur yang baik (Lorant et al., 2007). Perpaduan
antara
faktor-faktor
protektif
dengan
terapi standar menjadi penting untuk dilakukan dalam penatalaksaan pasien depresi. Kemampuan memahami emosi diri merupakan salah satu faktor protektif yang penting untuk dimodifikasi dalam terapi ini. Musik mengenali 2008
dipandang emosi,
dalam
terapi
dan
Erkkila
musik
sebagai membangun
et
sedang
al., ramai
modalitas hubungan
2011).
ekspresi, (De
Backer,
Akhir-akhir
diperbincangkan
ini,
sebagai
terapi alternatif untuk skizofrenia, depresi, gangguan cemas, dan masalah psikologis lain. Oleh karena itu, pembandingan prevalensi depresi pada pendengar berbagai jenis
musik
menjadi
penting
untuk
dilakukan
guna
memastikan apakah setiap jenis musik dapat digunakan dalam terapi depresi.
3
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM dipilih menjadi subjek
penelitian
ini
karena
prevalensi
stres
dan
depresi pada mahasiswa tersebut relatif lebih tinggi daripada mahasiswa fakultas lain. Prevalensi stres pada mahasiswa fakultas kedokteran adalah 63,8%, sedangkan prevalensi depresinya adalah 6 – 66,5% (Abdulghani et al., 2011; Hope & Henderson, 2014). 1.2. Rumusan Masalah -
Apakah terdapat perbedaan prevalensi depresi antara mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM yang mendengarkan musik
lembut,
yang
mendengarkan
musik
keras,
dan
yang mendengarkan musik keras maupun lembut? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1.
Tujuan Umum
1. Mengetahui jenis
apakah
musik
yang
terdapat paling
hubungan
sering
antara
didengarkan
dengan kejadian depresi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM. 1.3.2.
Tujuan Khusus
2. Mengidentifikasi
kejadian
depresi
pada
mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM. 3. Mengetahui diminati UGM.
jenis-jenis oleh
mahasiswa
musik
yang
Fakultas
banyak
Kedokteran
4
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1.
Bagi Masyarakat -
Agar
masyarakat
dengan
dapat
bijak
psikologisnya
memilih
jenis
berdasarkan
dengan
musik
keadaan
mempertimbangkan
hasil
penelitian ini. 1.4.2.
Bagi Peneliti -
Untuk
menambah
wawasan
tentang
gangguan
depresi serta kemungkinan faktor risikonya. -
Agar dapat memilih jenis musik
dengan bijak
dengan mempertimbangkan hasil penelitian ini. 1.4.3.
Bagi Subjek Penelitian -
Untuk
lebih
memahami
mempertimbangkan
keadaan
pemilihan
dirinya jenis
dan musik
berdasarkan hasil penelitian ini. 1.5. Keaslian Penelitian Dari
hasil
penelusuran
literatur,
belum
pernah
dilakukan penelitian yang mencari hubungan antara jenis musik yang sering didengarkan dengan kejadian depresi. Judul
penelitian
ini
belum
pernah
dipublikasikan
sebelumnya. Baker
&
Bor
(2008)
menyimpulkan
bahwa
terdapat
hubungan antara beberapa genre musik dengan perilaku
5
antisosial, kerentanan terhadap tindakan bunuh diri, dan
penyalahgunaan
kausalitas,
obat.
namun
Hubungan
preferensi
ini
genre
bukan
berupa
musik
dapat
mengindikasikan kerentanan emosional seseorang. Remaja dengan musik yang
perilaku heavy
tidak
tendensi
antisosial
metal
cenderung
stabil,
tinggi
yang
rasa
untuk
gemar
memiliki
mendengarkan
identitas
percaya
diri
yang
menyakiti
diri
sendiri,
diri
rendah, dan
berbagai masalah yang berkaitan dengan ide bunuh diri. Di sisi lain, musik rap berhubungan dengan rasa marah, kekerasan, dan rasa benci terhadap wanita. Erkkila musik
et
efektif
al. untuk
(2011)
membuktikan
menangani
pasien
bahwa
terapi
depresi.
Hasil
studi tersebut diterbitkan dalam artikel yang berjudul “Individual Music Teraphy for Depression: Randomised Controlled Trial”. Studi ini melibatkan 79 partisipan yang
terdiagnosis
Partisipan
tersebut
depresi lalu
sesuai
dengan
dirandomisasi
ICD-10.
kedalam
dua
kelompok; kelompok yang mendapat terapi standar beserta terapi musik individual sebanyak 2 x 60 menit perminggu dalam waku 20 minggu, atau kelompok yang hanya mendapat terapi standar. Terapi musik yang dilakukan bervariasi mulai
dari
mendengarkan
musik,
bermain
musik,
menyanyikan lagu, sampai improvisasi bebas. Penilaian
6
psikiatri
dilakukan dan
6
pada
follow
up,
primer
diukur
dengan
Rating
Scale
(MADRS),
baseline,
bulan
setelah
3
bulan
follow
Montgomery
up.
Asberg
sedangkan
setelah Outcome
Depression
outcome
sekunder
dinilai dengan Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS-A), Global Assessment of Functioning (GAF), RAND36, dan Toronto Alexithymia Scale (TAS-20). Setelah 3 bulan follow up, terdapat perbedaan signifikan (p < 0,05) pada skor MADRS, HADS-A, dan GAF antara grup kontrol dan grup terapi musik. Perbedaan ini tidak lagi signifikan secara statistik setelah follow up 6 bulan, namun hasil analisis grafik menunjukkan bahwa skor-skor psikiatri antara kedua grup tetap berbeda. Kemungkinan respon terhadap terapi (penurunan skor MADRS lebih dari atau sama dengan 50%) setelah 3 bulan, lebih besar pada grup terapi musik daripada grup terapi standar dengan Odds Ratio 2,96
(P < 0,05).
Pada tahun 2013, pernah dilakukan penelitian yang membandingkan status kecemasan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Univesitas Gadjah Mada yang bermain musik dengan yang tidak bermain musik. Penelitian tersebut dilakukan oleh Ariane Yudhianti dan diterbitkan dalam skripsinya Anxiety
dengan
Status
and
judul Music
“The
Correlation
Practice
in
Between
Undergraduate
7
Medical Students of The Faculty of Medicine Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta”
yang dilakukan dengan metode
cross sectional dengan Taylor Manifest Anxiety Score sebagai alat ukur skor kecemasan. Penelitian yang akan dilakukan ini berbeda dengan penelitian
tersebut
baik
dari
segi
variabel
bebas
maupun variabel terikat. Penelitian dengan desain cross sectional
ini
menitik
beratkan
pada
perbedaan
jenis
musik yang didengarkan oleh subjek, bukan pada bermain musik atau tidaknya subjek penelitian. Dalam penelitian ini,
instrumen
yang
digunakan
untuk
mengukur
depresi adalah Beck Depression Inventory - II.
skor