LAPORAN STUDI LAPANG PABRIK GULA KEBON AGUNG
Dosen pembimbing: Angga Dheta S., Ssi., Msi
Disusun oleh: Agil Adham Reka 105100200111035 Fatma Ridha N 105100200111036 Niken Lila W 105100201111016 Ratih Dwi M 105100207111004 Rizki Yunia C 105100200111005 Rendi Hadi S 105100200111045 Tri Priyo U 105100201111005 Vita Noeravila P 105100200111032
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang 2012
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang menghasilkan polusi terbanyak didunia. Sumber polusi yang upaling tama adalah dari kendaraan bermotor dan limbah industry. Polusi ini terjadi akibat kurangnya penanganan limbah-limbah industry sedangkan semakin hari semakin banyak berdiri pabrik industry. Pencemaran yang disebabkan oleh polusi ini menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap lingkungan. Perubahan yang paling bisadirasakan adalah perubahan suhu udara yang semakin panas dan perubahan pada air sungai. Permasalahan tentang pencemaran ini terjadi akibat kurangnya pengetahuan serta penanganan yang lebih terhadap limbah. Meskipun limah tidak dapat dihilangkan secara total
tetapi denga penanganan limbah yang baik dapat
mengurangi seminimal mungkin polutan yang mencemari udara, air maupun tanah. Maka dari itu, dilaksanakan kegiatan studi lapang yang bertempat di Pabrik Gula Kebon Agung, desa Kebon Agung, Malang, Jawa Timur untuk mengetahui lebih dalam dan melihat secara lngsung proses pembuatan gula Kristal serta pengolahan limbah pabriknya, serta untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Bersih.
1.2. Perumusan Masalah 1.
Bagaimana proses pembuatan gula di PG. Kebon Agung?
2.
Bagaimana cara mengelola limbah sisa proses pembuatan gula Kristal di PG. Kebon Agung?
3.
Bagaimana proses pengemasangula Kristal di PG. Kebon Agung?
1.3. Tujuan Penelitian 1.
Untuk mengetahui proses pembuatan gula Kristal putih di PG.Kebon Agung.
2.
Untuk mengetahui cara pengolahan limbah di PG. Kebon Agung.
3.
Untuk mengetahui proses pengemasan gula Kristal putih di PG.Kebon Agung.
4.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi Bersih.
1.4. Manfaat Penelitian 1.
Mahasiswa dapat mengetahui dan mengerti proses pembuatan gula Kristal putih di PG. Kebon Agung
2.
Mahasiswa dapat mengetahui proses-proses pengolahan limbah di PG. Kebon agung yang berupa limbah cair,gas dan padat.
3.
Mahasiswa mampu memahami proses pengemasan gula Kristal putih di PG.Kebon Agung.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teknologi Proses Industri Tekstil dan Limbahnya 2.1.1. Tinjauan teknologi proses pabrik gula Pada umumnya, pabrik gula tebu di Indonesia merupakan warisan belanda pada zaman kolonial. Perjalanan proses pengolahannyapun hampir seragam kecuali pada pabrik yang menerapkan proses karbonatasi. Berikut ini adalah sekilas proses pengolahan gula tebu dengan prmurnian cara sulfitasi. Secara garis besar, pabrik gula bertujuan untuk mengambil sukrosa dari tebu semaksimal mungkin dengan menekan kehilangan gula seoptimal mungkin. Dalam pabrik gula dikenal section-section yang disebut stasiun, mulai
dari
emplasement,
stasiun
gilingan
sampai
pengarungan.
Emplasement (Halaman Pabrik) Halaman pabrik berfungsi untuk menimbun tebu yang datang dari kebun. Biasanya di sekitarya terdapat pohon-pohon besar yang berfungsi untuk menahan panasnya matahari. Suhu halaman pabrik yang panas akan menyebabkan temperatur tebu naik dan akan barakibat mempercepat proses tebu menjadi layu (wayu). Layunya tebu akan dibarengi dengan inversi sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Hal ini disebabkan karena nira dalam tebu bersifat asam dan proses inversi lebih cepat apabila temperatur tinggi. Idealnya, halaman pabrik dilengkapi dengan timbangan tebu, baik berupa jembatan timbang atau crane yang dilengkapi dengan timbangan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui bobot tebu yang masuk ke pabrik dan selanjutnya digunakan untuk pengawasan proses. Halaman pabrik juga harus mempunyai alat untuk bongkar muatan baik dari truk atau dari lori. Yang terpenting adalah, persediaan tebu di halaman pabrik harus dapat memenuhi kapasitas giling. Sebenernya, sisa tebu kemarin dalam halaman pabrih, semakin kecil semakin baik. Untuk menjamin kelancaran giling,
sisa tebu yang baik yaitu pada jam 06.00 sampai 18.00 sebanyak 12 dikali kapasitas giling perjam, dan pada jam 18.00 – 06.00 sebenyak 15 dikali kapasitas giling perjam. Literature lain juga menyebutkan sisa tebu kemarin yang baik adalah sebesat 25-30% dari kapasitas giling perhari dihitung pada jam 06.00 pagi. Stasiun gilingan dibagi menjadi dua bagian yaitu: a. Persiapan Tebu yang dibongkar dari truk atau lori diletakkan diatas meja tebu. Meja tebu dilengkapi dengan alat yang berfungsi untuk mendorong tebu ke krepyak tebu (carrier). Setelah diatas carrier, tebu dibawa melewati cutter untuk dipotong menjadi bagian yang lebih kecil. Selanjutnya tebu terpotong dihancurkan dengan menggunakan shredder atau unigrator. Setelah itu masuk ke gilingan. Proses persiapan mempunyai tujuan untuk mempersiapkan tebu yang akan digiling sehingga proses pemerahan bisa maksimal. Efektifitas dari alat-alat persiapan ditunjukkan dengan angka preparation index yang besarannya berbeda-beda tiap pabrik. Pada umumnya angka preparation index lebih kurang sebesar 90 b. Gilingan Gilingan berfungsi untuk mengambil nira dalam tebu. Optimalnya gilingan dengan cepat dapat diketahui dengan melihat pol ampas. Semakin kecil pol ampas, akan semakin baik. Dalam stasiun gilingan diberikan air panas (added water) yang biasa disebut imbibisi (dari bahasa belanda imbibitie). Fungsinya untuk membilas ampas gilingan antara agar fungsi pemerahan gula bisa maksimal. Umumnya pabrik gula menerapkan sistem imbibisi majemuk yaitu menggunakan air panas dan nira gilingan berikutnya. Dari stasiun gilingan dihasilkan nira mentah yaitu nira yang keluar dari gilingan 1 dan 2. b.1 Stasiun Pemurnian Fungsi dari stasiun pemurnian adalah untuk menyingkirkan kotoran-kotoran bukan gula yang terdapat dalam nira mentah. Proses yang dilakukan baik berupa proses fisik ataupun kimia. Proses dalam stasiun pemurnian dilakukan sedemikian rupa sehingga kerusakan sukrosa dapat
ditekan seoptimal mungkin. Yang pertama dilakukan dalam stasiun pemurnian adalah menyaringan dengan menggunakan saringan parabolis (DSM). Setelah itu nira mentah dipanasi sampai suhu 75 C. Nira mentah yang telah dipanasi ditambahkan Ca(OH)2 sampai pH tertentu. Setelah itu pada nira ditambahkan SO2 sampai pH netral. Nira dipanaskan kembali sampai suhu 105 C, ditambahkan flokulan dan diendapkan di clarifier. Setelah mengendap, nira jernih disaring lagi dan menghasilkan nira encer, setelah itu, dipanaskan sampai suhu 115 C dan selanjutnya diproses ke tehap evaporasi. Nira kotor yang ada di clarifier selanjutnya disaring menggunakan vacuum filter. Proses filtrasi ini menghasilkan filtrat dan blotong. Filtrat akan dikembalikan lagi ke awal proses pemurnian dan blotong diangkut truk menuju tempat penimbunan. Fungsi dari stasiun penguapan adalah meningkatkan konsentrasi larutan gula dalam nira. Nira encer dari stasuin pemurnian diuapkan dengan menggunakan evaporator multi effect. Nira dipanaskan dengan menggunakan uap panas yang berasal dari uap bekas penggerak turbin gilingan. Nira encer yang mempunyai brix 15 diuapkan airnya sampai mencapai brix 60. setelah itu akan dihasilkan material yang dinamakan nira pekat. Selanjutnya nira pekat ditambah SO2 sehingga dicapai pH tertentu. b.2 Stasiun Kristalisasi Sistem kristalisasi di pabrik gula tebu menggunakan sistem kristalisasi bertingkat, baik berupa A-D, A-C-D, A-B-D, atau A-B-C-D, dengan ketentuan A dan B adalah produk (berlaku untuk abrik gula tebu di jawa). Nira pekat hasil dari stasiun penguapan diuapkan lagi airnya sehingga akan terbentuk kristal dengan sendirinya. Metode lain kristalisasi adalah dengan menggunakan bibit gula berupa fondan yang selanjutnya kristal bibit itu dibesarkan. Proses kristalisasi harus dilakukan sedemikian rupa sehingga kristal yang terbentuk mempunyai ukuran yang seragam. Seragamnya ukuran kristal gula akan dicapai apabila konsentrasi larutan dalam bejana kristalisasi dijaga pada konsentrasi tertentu. Setelah ukuran kristal yang
diinginkan tercapai, maka kristal yang masih bercampur dengan larutan (masakan /massecuit) diturunkan ke bejana penampung. b.3 Stasiun Pemutaran Untuk memisahkan kristal dan larutan setelah proses kristalisasi dilakukan langkah pemutaran. Dengan gaya centrifugal, kristal akan tertahan di saringan (basket) dan larutan akan melewati saringan tersebut. Langkah proses pemutaran yang baik akan menghasilkan gula yang putih dan mempunyai kadar air yang kecil. Di stasiun putaran terdapat 2 jenis alat yaitu batch dan continue. Putaran continue disebut low grade centrifugal dan putaran batch biasa disebut hi grade centrifugal (putaran untuk produk). Selanjutnya gula produk hasil pemutaran di angkut dengan talang goyang (grasshopper) menuju pengering. b.4 Stasiun Pengeringan dan Pendinginan Pengeringan berfungsi untuk mengurangi kadar air dalam gula sehingga meningkatkan ketahanan dalam penyimpanan. Cara pengeringan dilakukan dengan cara pemanasan menggunakan udara kering dan dikontakkan dengan gula. Alat yang digunakan bermacam macam ada yang berupa talang getar atau rotary dryer. Gula yang dikeringkan dalam keadaan panas, untuk itu perlu didinginkan agar tidak terjadi proses kimiawi yaitu browning pada saat penyimpanan. Pendinginan dilakukan dengan menghembuskan udara dingin baik dari udara sekitar ataupun udara dingin dari alat pendingin udara. b.5 Stasiun Pengarungan Gula yang sudah dingin selanjutnya ditampung di sugar bin. Setelah itu dilakukan pengarungan atau pengemasan dengan berat 50 Kg. Untuk suplai langsung ke konsumen, pabrik biasanya juga membuat kemasan 1 Kg. b.6 Gudang Gula Gudang gula berfungsi untuk menimbun gula yang telah dikemas. selanjutnya gula siap untuk didistribusikan ke penyalur atau konsumen.
2.1.2. Tinjauan limbah cair industri gula Untuk mengontrol dan mengawasi kualitas lingkungan, khususnya air sungai di Indonesia, pemerintah melalui KEPMENKLH No. 4 Thn 2002 telah mengeluarkan keputusan bahwa kualitas air yang boleh dibuang ke badan air sungai harus memenuhi standar tertentu. Adapun parameter yang harus diukur kadarnya untuk limbah cair pabrik tekstil adalah:
Zat organik terlarut (yang menyebabkan turunnya harga DO)
Padatan tersuspensi (TSS/TS)
Zat organik trace (contoh fenol)
Logam berat, ( contoh Cr) dan sianida
Warna dan turbiditas
Floating material (oil dan grease) Polutan yang ada pada limbah cair pabrik tekstil biasanya berupa koloid dan
zat terlarut. Namun akibat berbagai proses pada produksi tekstil, hampir kebanyakan polutan berada dalam bentuk koloid. Cara yang umum digunakan untuk mengatasi partikel limbah dalam bentuk koloid adalah proses destabilasi koloid, sehingga partikel -partikel tersebut dapat dipisahkan dari badan air. Pada dasarnya jenis koloid dapat dikategorikan sebagai koloid hidrofob dan koloid hidrofil. Koloid hidrofob berperan dalam penampakan warna pada permukaan air, hal ini disebabkan oleh bagian R -NH2 atau R-OH dari partikel koloid tersebut. Bagian-bagian yang elektronegatif mengakibatkan terjadinya ikatan hydrogen dengan molekul air. Permukaan yang elektronegatif tersebut saling menolak dan menghalangi terjadinya pembentukan agregat. Sedangkan koloid hidrofil berasal dari adanya partikel -partikel mineral yang terhidrolisis, sehingga pada permukaan koloid terkonsentrasi muatan negatif yang saling menolak dan mencegah terjadinya agregat. Pada dasarnya koloid tidak pernah 100% hidrofob dan tidak pula 100% hidrofil. Salah satu cara destabilisasi koloid adalah pentralan muatan listrik melalui penambahan suatu koagulan sehingga terjadi penggabungan partikel -partikel koloid menjadi agregat-agregat yang lebih besar. Koagulasi merupakan proses agregasi yang terjadi akibat adanya gaya elektrostatik antara partikel -partikel
koloid yang memiliki muatan yang berlawanan. Adapun tujuan dari proses koagulasi adalah untuk memisahkan partikel-partikel koloidal yang melayanglayang dalam air sehingga membentuk agregat yang dapat mengendap. Beberapa koagulan yang sering digunakan dalam pengolahan limbah cair adalah tawas, garam besi dan kapur yang amat efektif untuk mengendapkan partikel koloidal yang berasal dari logam berat; Besi(III) klorida yang dapat terhidrolisis menjadi Fe(OH)3 dapat mengikat 92% koloidal arsen, seng, nikel, mangan dan raksa Proses detabilasisasi partikel koloid dilanjutkan dengan pembentukan agregat dengan cara mengumpulkan polimer yang telah destabil dengan suatu polimer. Polimer merupakan molekul besar yang dibentuk oleh monomer-monomer. Sebenarnya istilah flokulasi digunakan untuk menjelaskan aksi material polimerik yang membentuk jembatan-jembatan antar partikel individual koloid. Ada empat jenis mekanisme flokulasi yang diakibatkan oleh polimer (Moudgil dan Somasundaran, 1985), (i) polymer bridging, (ii) netralisasi, (iii) pembentukan polimer kompleks, (iv) flokulasi dengan polimer bebas. Proses flokulasi dengan mekanisme bridging biasanya terjadi dengan cara menambahkan polimer bermassa molekul tinggi ke dalam suatu dispersi partikel koloid. Permukaan polimer tersebut akan mengadsorpsi lebih dari satu partikel koloid, sehingga terjadi kelompok koloid yang terhubungkan. Mekanisme ini merupakan mekanisme yang dominan. Mekanisme netralisasi muatan terjadi apabila jumlah polimer yang diperlukan untuk terjadinya flokulasi sesuai dengan jumlah polimer yang dibutuhkan untuk memberikan mobilitas elektroforetik koloid menjadi nol. Hal ini dapat terjadi jika spesi polimer memiliki muatan yang berlawanan dengan muatan permukaan koloid sehingga muatannya menjadi netral. Pembentukan polimer kompleks terjadi jika polimer yang ditambahkan berinteraksi dengan komponen-komponen yang ada dalam system sekaligus dengan bahan kimia lain yang ditambahkan ke dalam system. Mekanisme ini paling mungkin terjadi pada dual system polimer atau pada system yang telah ditambahkan garam kalsium, besi, atau alumunium. Sedangkan mekanisme flokulasi dengan polimer bebas dapat terjadi melalui efek defletion flocculation. Pada dasarnya mekanisme ini merupakan efek dengan prinsip tekanan osmotik.
Untuk terjadinya mekanisme ini diperlukan konsentrasi polimer yang cukup tinggi. Pada dasarnya sangat sulit mengkategorikan proses flokulasi hanya sesuai untuk mekanisme tertentu saja. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa proses flokulasi merupakan fungsi dari konsentrasi polimer, massa dan muatan molekul, muatan dan konsentrasi partikel, kondisi s aat proses pencampuran, serta waktu yang diperlukan agar polimer berelaksasi terhadap permukaan koloid.
2.1.2.1. Sumber dan karakteristik limbah Cair serta pengaruhnya terhadap lingkungan Pada pemrosesan gula dari tebu menghasilkan limbah atau hasil samping, antara lain ampas, blotong dan tetes. Ampas berasal dari tebu yang digiling dan digunakan sebagai bahan bakar ketel uap. Blotong atau filter cake adalah endapan dari nira kotor yang di tapis di rotary vacuum filter, sedangkan tetes merupakan sisa sirup terakhir dari masakan yang telah dipisahkan gulanya melalui kristalisasi berulangkali sehingga tak mungkin lagi menghasilkan kristal. a. Limbah Bagasse Satu diantara energi alternatif yang relatif murah ditinjau aspek produksinya dan relatif ramah lingkungan adalah pengembangan bioetanol dari limbah-limbah pertanian (biomassa) yang mengandung banyak lignocellulose seperti bagas (limbah padat industri gula). Indonesia memiliki potensi limbah biomassa yang sangat melimpah seperti bagas. Industri gula khususnya di luar jawa menghasilkan bagas yang cukup melimpah. Potensi bagasse di Indonesia menurut Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) tahun 2008, cukup besar dengan komposisi rata-rata hasil samping industri gula di Indonesia terdiri dari limbah cair 52,9 persen, blotong 3,5 persen, ampas (bagasse) 32,0 persen, tetes 4,5 persen dan gula 7,05 persen serta abu 0,1 persen. Bagasse tebu (Saccharum officinarum L.) semula banyak dimanfaatkan oleh pabrik kertas, namun karena tuntutan dari kualitas kertas dan sudah banyak tersedia bahan baku kertas lain yang lebih berkualitas, sehingga pabrik kertas mulai jarang menggunakannya. Material bahan organik yang dimiliki pabrik gula cukup banyak, sebagai contoh adalah limbah hasil proses pasca panen di
lapangan, yaitu klaras dan daun tebu, serta limbah proses pabrik gula, antara lain blotong dan ampas tebu yang kadar bahan organiknya dapat mencapai di atas 50% (Unus, 2002). Limbah padat pabrik gula (PG) berpotensi besar sebagai sumber bahan organik yang berguna untuk kesuburan tanah. Menurut Budiono (2008), ampas (bagasse) tebu mengandung 52,67% kadar air; 55,89% C-organik; N-total 0,25%; 0,16% P2O5: dan 0,38% K2O. Kompos adalah hasil dekomposisi biologi dari bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba (bakteria, actinomycetes dan fungi) dalam kondisi lingkungan aerobik atau anaerobic. Hasil pengomposan campuran blotong, ampas (bagasse) dan abu ketel diinkubasi dengan bioaktivator mikroba selulolitik selama 1 dan 2 minggu, kemudian diaplikasikan ke lahan tebu. Pemberian kompos 10 ton/ha mampu meningkatkan bobot tebu sebanyak 16,8 ton/ha. Bioaktivator adalah inokulum campuran berbagai jenis mikroorganisme (mikroba lignolitik, selulolitik, proteolitik, lipolitik, amilolitik, dan mikroba fiksasi nitrogen non simbiotik) untuk mempercepat
laju
pengomposan
bahan
organik
.
Bibit
perombak
Katalek® merupakan bioaktivator pembuatan kompos yang diteliti selama beberapa tahun akan keefektifan mikrobanya dalam mempercepat perombakan bahan-bahan organik menjadi unsur hara yang berguna bagi tanah. Bibit perombak Katalek® mengandung 13 macam mikroba (diantaranya Bacillus, Lactobacillus, Pseudomonas, Streptomyces, Clostridium, Aspergillus) yang berperan dalam penguraian atau dekomposisi limbah oirganik sampai berubah menjadi kompos. Sedangkan penggunaan bibit pengaya Katalek® yang terdiri dari beberapa
mikroba
diantaranya
Azotobacter,
Trichoderma,
Aspergillus,
Pseudomonas) akan menghasilkan kompos yang lebih kaya akan unsur hara (N, P dan K) sehingga dapat mempengaruhi produktivitas tanaman. Pengembangan teknologi bioproses etanol dengan menggunakan enzim pada proses hidrolisisnya diyakini sebagai suatu proses yang lebih ramah lingkungan. Pemanfaatan enzim sebagai zat penghidrolisis tergantung pada substrat yang menjadi prioritas, penelitian telah dilakukan untuk mengantikan asam yaitu menggunakan jamur pelapuk putih untuk perlakuan awal kemudian dengan menggunakan enzim selulase untuk menghidrolisis selulosa menjadi glukosa,
kemudian melakukan fermentasi dengan menggunakan S. cerivisiae untuk mengkonversi menjadi etanol. Namun, pemanfaatan enzim selulase dan yeast S. cerivisiae tidak mampu mengkonversi kandungan hemiselulosa pada bagas. Padahal sekitar 20-25% komposisi karbohidrat bagas adalah hemiselulosa. Jika kita mampu mengkonversi hemiselulosa berarti akan meningkatkan konversi bagas menjadi etanol. Material berbasis lignoselulosa (lignocellulosic material) memiliki substrat yang cukup kompleks karena didalamnya terkadung lignin, polisakarida, zat ekstraktif, dan senyawa organik lainnya. Bagian terpenting dan yang terbanyak dalam lignocellulosic material adalah polisakarida khususnya selulosa yang terbungkus oleh lignin dengan ikatan yang cukup kuat. Dalam kaitan konversi biomassa seperti bagas menjadi etanol, bagian yang terpenting adalah polisakarida. Karena polisakarida tersebut yang akan dihidrolisis menjadi monosakarida seperti glukosa, sukrosa, xilosa, arabinosa dan lain-lain sebelum dikonversi menjadi etanol. Proses hidrolisis umumnya digunakan pada industry etanol adalah menggunakan hidrolisis dengan asam (acid hydrolysis) dengan menggunakan asam sulfat (H2SO4) atau dengan menggunakan asam klorida (HCl). Proses hidrolisis dapat dilakukan dengan menggunakan enzim yang sering disebut dengan enzymatic hydrolysis yaitu hidrolisis dengan menggunakan enzim jenis selulase atau jenis yang lain. Keuntungan dari hidrolisis dengan enzim dapat mengurangi penggunaan asam sehingga dapat mengurangi efek negatif terhadap lingkungan.
Kemudian
setelah
proses
hidrolisis
dilakukan
fermentasi
menggunakan yeast seperti S. cerevisiae untuk mengkonversi menjadi etanol. Proses hidrolisis dan fermentasi ini akan sangat efisien dan efektif jika dilaksanakan secara berkelanjutan tanpa melalui tenggang waktu yang lama, hal ini yang sering dikenal dengan istilah Simultaneous Sacharificatian dan Fermentation (SSF). Keuntungan dari proses ini adalah polisakarida yang terkonversi menjadi monosakarida tidak kembali menjadi poliskarida karena monosakarida langsung difermentasi menjadi etanol. Selain itu dengan menggunakan satu reaktor dalam prosesnya akan mengurangi biaya peralatan yang digunakan. Seperti halnya pakan ternak dari limbah yang mengandung serat pada umumnya, bagas tebu mempunyai faktor pembatas, yaitu kandungan nutrisi dan
kecernaannya yang sangat rendah. Bagas tebu mempunyai kadar serat kasar dan kadar lignin sangat tinggi, yaitu masing-masing sebesar 46,5% dan 14%. Pendekatan bioproses dalam rumen melalui suplementasi amonium sulfat dan defaunasi yang dilakukan pada kambing yang mendapat ransum berbahan dasar limbah tebu belum berhasil meningkatkan produktivitas kambing. Pendekatan melalui teknik pengolahan pakan sebelum pakan dikonsumsi akan dapat meningkatkan daya guna bagas tebu. Rekayasa teknologi pengolahan pakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas nutrisi bagas tebu adalah teknik amoniasi dan fermentasi. Proses amoniasi akan melemahkan ikatan lignoselulosa bagas tebu serta fermentasi telah terbukti dapat menurunkan kadar serat kasar dan meningkatkan kadar protein kasar. Mikroba yang sering digunakan sebagai agen fermentasi
limbah
yang
mengandung
serat
kasar
tinggi
adalah
kapang Trichoderma viride. Kapang tersebut akan menghasilkan enzim untuk mencerna serat kasar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan. Teknologi pembuatan papan partikel dari ampas tebu PSUH 94-3 merupakan komponen teknologi pemanfaatan hasil samping tebu. Kompo-sisi bahan dan teknologi pembuatan papan partikel telah memenuhi Standar Industri Indonesia (SII) seperti terlihat pada tabel hasil uji coba. Papan partikel dari ampas tebu dibuat dengan cara pengeringan, penggilingan, dan pe-nyaringan ampas, pencampuran ampas dengan perekat, resin dan parafin wax serta pencetakan dengan tekanan hidrolik pada kondisi tekanan 10 kg per cm2, suhu 150?C selama 15 menit. Perekat terdiri dari urea formaldehide, hardener, ammonia, dan air. b. Limbah Blotong Salah satu limbah yang dihasilkan PG dalam proses pembuatan gula adalah blotong, limbah ini keluar dari proses dalam bentuk padat mengandung air dan masih ber temperatur cukup tinggi < panas >, berbentuk seperti tanah, sebenarnya adalah serat tebu yang bercampur kotoran yang dipisahkan dari nira. Komposisi blotong terdiri dari sabut, wax dan fat kasar, protein kasar,gula, total abu,SiO2, CaO, P2O5 dan MgO. Komposisi ini berbeda prosentasenya dari satu PG dengan PG lainnya, bergantung pada pola prodkasi dan asal tebu. Selama ini pemanfaatan blotong umumnya adalah sebagai pupuk organik, dibeberapa PG daur ulang blotong menjadi pupuk yang kemudian digunakan
untuk produksi tebu di wilayah-wilayah tanam para petani tebu. Proses penggunaan pupuk organik ini tidak rumit, setelah dijemur selama beberapa minggu / bulan untuk diaerasi di tempat terbuka, dimaksudkan untuk mengurangi temperatur dan kandungan Nitrogen yang berlebihan. Dengan tetap menggunakan pupuk anorganik sebagai starter, maka penggunaan pupuk organik blotong ini masih bisa diterima oleh masyarakat. Pada perkembangan selanjutnya, upaya pemanfaatan blotong sebagai pengganti kayu bakar mulai dilirik setelah kampanye penggunaan energi alternaif didengungkan. Pemanfaatan blotong sebagai kayu bakar, sebenarnya sudah lama dijalankan oleh masyarakat di sekitar PG, hal ini diawali dari pengalaman mereka setelah melihat bahwa blotong bisa terbakar, dan timbulah pemikiran untuk memanfaatkan blotong sebagai pengganti kayu bakar dengan cara menghilangkan kadar air yang terkandung didalamnya. untuk memudahkan dalam penggunaanya sebagai kayu bakar, mereka mencetak dalam ukuran yang mudah diangkut dan sesuai dengan ukuran mulut kompor didapur mereka. Proses pembuatan blotong pengganti kayu bakar sangat sederhana, limbah blotong dari pabrik yang masih panas, diangkut dengan dump truk menuju lokasi pengrajin/pembuat blotong kayu bakar, blotong ini kemudian dijemur di terik matahari selama 2 – 3 minggu dengan intensitas matahari penuh. Sebelum total kering, lapisan blotong ini dipadatkan dengan tujuan untuk mempersempit pori dan membuang sisa kandungan air, kemudian dipotong seukuran batu bata untuk memudahkan pengangkutan. Setelah dirasa cukup kering pada satu permukaan, bata blothong ini dibalik, supaya sisi lainnya juga kering. Hasil yang diperoleh dari proses ini adalah blothong seukuran batu bata yang bobotnya ringan karena kandungan airnya sudah hilang. Penggunaan, untuk keperluan memasak di kompor tanah mereka, blothong kering tersebut masih harus dipotong menjadi ukuran yang lebih kecil menyesuaikan lubang pemasukan kompor. Dari satu rit blothong tersebut, setelah diolah dan kering, kemudian dipindahkan ke dapur sebagai cadangan kayu bakar. Cadangan blothong / kayu bakar ini cukup untuk memenuhi kebutuhan memasak sampai dengan musim giling tahun depan.
Blotong dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein. Kandungan protein dari nira sekitar 0.5 % berat zat padat terlarut. Dari kandungan tersebut telah dicoba untuk melakukan ekstraksi protein dari blotong dan ditemukan bahwa kandungan protein dari blotong yang dipress sebesar 7.4 %. Protein hanya dapat diekstrak menggunakan zat alkali yang kuat seperti sodium dodecyl sulfate. Kandungan dari protein yang dapat diekstrak antara lain albumin 91.5 %; globulin 1 %; etanol terlarut 3 % dan protein terlarut 4 %. Dengan demikian blotong dapat juga digunakan sebagai pakan ternak dengan cara dikeringkan dan dipisahkan partikel tanah yang terdapat didalamnya. Untuk menghindari kerusakan oleh jamur dan bakteri blotong yang dikeringkan harus langsung digunakan dalam bentuk pellet
Pada saat ini pemanfaatan blotong antara lain sebagai bahan bakar alternative dalam bentuk briket. Untuk pembuatan briket blotong dipadatkan lalu dikeringkan. Keuntungan menggunakan briket blotong adalah harganyayang lebih murah daripada kayu bakar dan bahan bakar lain. Akan tetapi untuk membuat briket ini diperlukan waktu cukup lama antara 4 sampai 7 hari pengeringan, selain itu juga tergantung dari kondisi cuaca. Pada saat ini semakin banyak masyarakat yang memanfaatkan blotong sebagai bahan bakar rumah tangga pengganti MITAN dan kayu bakar. Kedepannya perlu ada kajian apakah briket blotong ini juga bisa digunakan sebagai bahan bakar ketel sehingga dapat mengurangi konsumsi bahan bakar minyak PG. Blotong dapat digunakan langsung sebagai pupuk, karena mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanah. Untuk memperkaya unsur N blotong dikompos dengan ampas tebu dan abu ketel (KABAK). Pemberian ke tanaman tebu sebanyak 100 ton blotong atau komposnya per hektar dapat meningkatkan bobot dan rendemen tebu secara signifikan. Kandungan hara kompos ampas tebu (KAT), blotong dan komposdari ampas tebu, blotong dan abu ketel (KABAK) disajikan pada Tabel
Tabel
Hasil
Analisis
Kimia
KAT,
Blotong
dan
KABAK
c. Limbah Tetes Tetes atau molasses merupakan produk sisa (by product) pada proses pembuatan gula. Tetes diperoleh dari hasil pemisahan sirop low grade dimana gula dalam sirop tersebut tidak dapat dikristalkan lagi. Pada pemrosesan gula tetes yang dihasilkan sekitar 5 – 6 % tebu, sehingga untuk pabrik dengan kapasitas 6000 ton tebu per hari menghasilkan tetes sekitar 300 ton sampai 360 ton tetes per hari. Walaupun masih mengandung gula, tetes sangat tidak layak untuk dikonsumsi karena mengandung kotoran-kotoran bukan gula yang membahayakan kesehatan. Penggunaan tetes sebagian besar untuk industri fermentasi seperti alcohol, pabrik MSG, pabrik pakan ternak dll. Secara umum tetes yang keluar dari sentrifugal mempunyai brix 85 – 92 dengan zat kering 77 – 84 %. Sukrosa yang terdapat dalam tetes bervariasi antara 25 – 40 %, dan kadar gula reduksi nya 12 – 35 %. Untuk tebu yang belum masak biasanya kadar gula reduksi tetes lebih besar daripada tebu yang sudah masak. Komposisi yang penting dalam tetes adalah TSAI ( Total Sugar as Inverti ) yaitu gabungan dari sukrosa dan gula reduksi. Kadar TSAI dalam tetes berkisar antara 50 – 65 %. Angka TSAI ini sangat penting bagi industri fermentasi karena semakinbesar TSAI akan semakin menguntungkan, sedangkan bagi pabrik gula kadar sukrosa menunjukkan banyaknya kehilangan gula dalam tetes.
Komposisi Tetes
Tetes merupakan bahan yang kaya akan karbohidrat yang mudah larut (4868)%, kandungan mineral yaqng cukup dan disukai ternak karena baunya manis. Selain itu tetes juga mengandung vitamin B komplek yang sangat berguna untuk sapi yang masih pedet. Tetes mengandung mineral kalium yang sangat tinggi sehingga pemakaiannya pada sapi harus dibatasi maksimal 1,5-2 Kg/ekor/hari. Penggunaan tetes sebagai pakan ternak sebagai sumber energi dan meningkatkan nafsu makan, selain itu juga untuk meningkatkan kualitas bahan pakan dengan peningkatan daya cernanya. Apabila takaran melebihi batas atau sapi belum terbiasa maka menyebabkan kotoran menjadi lembek dan tidak pernah dilaporkan terjadi kematian karena keracunan tetes. Pembuatan bioethanol molase melalui tahap pengenceran karena kadar gula dalam tetes tebu terlalu tinggi untuk proses fermentasi, oleh karena itu perlu diencerkan terlebih dahulu. Kadar gula yang diinginkan kurang lebih adalah 14 %. Kemudian dilakukan penambahan ragi, urea dan NPK kemudian dilakukan proses fermentasi. Proses fermentasi berjalan kurang lebih selama 66 jam atau kira-kira 2.5 hari. Salah satu tanda bahwa fermentasi sudah selesai adalah tidak terlihat lagi adanya gelembung-gelembung udara. Kadar etanol di dalam cairan fermentasi kurang lebih 7% – 10 %. Setelah proses fermentasi selesai, masukkan cairan fermentasi ke dalam evaporator atau boiler dan suhunya dipertahankan antara 79 –
81oC. Pada suhu ini etanol sudah menguap, tetapi air tidak menguap. Uap etanol dialirkan ke distilator. Bioetanol akan keluar dari pipa pengeluaran distilator. Distilasi pertama, biasanya kadar etanol masih di bawah 95%. Apabila kadar etanol masih di bawah 95%, distilasi perlu diulangi lagi hingga kadar etanolnya 95%. Apabila kadar etanolnya sudah 95% dilakukan dehidrasi atau penghilangan air. Untuk menghilangkan air bisa menggunakan kapur tohor atau zeolit sintetis. Setelah itu didistilasi lagi hingga kadar airnya kurang lebih 99.5%.
2.1.2.2. Baku mutu limbah cair industri gula Dalam Keputusan menteri NOMOR : KEP- 51/MENLH/10/1995 TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI pasal 1 menyebutkan: 1. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya,
termasuk kegiatan rancang bangun
dan perekayasaan industri; 2. baku Mutu Limbah Cair Industri adalah batas maksimum limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan; 3. Limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh kegiatan industri yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan; 4. Mutu Limbah Cair
adalah keadaan
limbah
cair
yang dinyatakan
dengan debit, kadar dan beban pencemaran; 5. Debit Maksimum adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan; 6. Kadar Maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan; 7. Beban Pencemaran Maksimum adalah beban tertinggi
yang masih
diperbolehkan dibuang ke lingkungan; 8. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup; 9. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
10. Gubernur
adalah Gubernur
Kepala
Daerah
Tingkat
I, Gubernur
kepala Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.
Baku mutu Limbah cair untuk industri gula dapat dilihat pada tabel :
Catatan : 1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per Liter air limbah. 2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam kg per ton produk gula (KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, LAMPIRAN A. VII)
2.2. Tinjauan Produksi Bersih dan Penerapannya di Industri Gula 2.2.1. Pengertian produksi bersih Produksi Bersih merupakan tindakan efisiensi pemakaian bahan baku, air dan energi, dan pencegahan pencemaran, dengan sasaran peningkatan produktivitas dan minimisasi timbulan limbah. Istilah Pencegahan Pencemaran seringkali digunakan untuk maksud yang sama dengan istilah Produksi Bersih. Demikian pula halnya dengan Eco-
efficiency yang menekankan pendekatan bisnis yang memberikan peningkatan efisiensi secara ekonomi dan lingkungan. Pola pendekatan produksi bersih bersifat preventif atau pencegahan timbulnya pencemar, dengan melihat bagaimana suatu proses produksi dijalankan dan bagaimana daur hidup suatu produk. Pengelolaan pencemaran dimulai dengan melihat sumber timbulan limbah mulai dari bahan baku, proses produksi, produk dan transportasi sampai ke konsumen dan produk menjadi limbah. Pendekatan pengelolaan lingkungan dengan penerapan konsep produksi
bersih melalui peningkatan efisiensi
merupakan pola pendekatan yang dapat diterapkan untuk meningkatkan daya saing. Menurut UNEP, Produksi Bersih adalah strategi pencegahan dampak lingkungan terpadu yang diterapkan secara terus menerus pada proses, produk, jasa untuk meningkatkan efisiensi secara keseluruhan dan mengurangi resiko terhadap manusia maupun lingkungan (UNEP, 1994). Produksi Bersih, menurut Kementerian Lingkungan Hidup, didefinisikan sebagai : Strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, terpadu dan diterapkan secara terus-menerus pada setiap kegiatan mulai dari hulu ke hilir yang terkait dengan proses produksi, produk dan jasa untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya alam, mencegah terjadinya pencemaran lingkungan dan mengurangi terbentuknya limbah pada sumbernya sehingga dapat meminimisasi resiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia serta kerusakan lingkungan (KLH,2003). Dari pengertian mengenai Produksi Bersih maka terdapat kata kunci yang dipakai untuk pengelolaan lingkungan yaitu : pencegahan pencemaran, proses, produk, jasa, peningkatan efisiensi, minimisasi resiko. Dengan demikian maka perlu perubahan sikap, manajemen yang bertanggung-jawab pada lingkungan dan evalusi teknologi yang dipilih. Pada proses industri, produksi bersih berarti meningkatkan efisiensi pemakaian bahan baku, energi, mencegah atau mengganti
penggunaan bahan-bahan berbahaya dan beracun, mengurangi jumlah dan tingkat racun semua emisi dan limbah sebelum meninggalkan proses. Pada produk, produksi bersih bertujuan untuk mengurangi dampak lingkungan selama daur hidup produk, mulai dari pengambilan bahan baku sampai ke pembuangan akhir setelah produk tersebut tidak digunakan. Produksi bersih pada sektor jasa adalah memadukan pertimbangan lingkungan ke dalam perancangan dan layanan jasa. Penerapan Produksi Bersih sangat luas mulai dari kegiatan pengambilan bahan termasuk pertambangan, proses produksi, pertanian, perikanan, pariwisata, perhubungan, konservasi energi, rumah sakit, rumah makan, perhotelan, sampai pada sistem informasi. Pola pendekatan produksi bersih dalam melakukan pencegahan dan pengurangan limbah yaitu dengan strategi 1E4R (Elimination, Reduce, Reuse, Recycle, Recovery/Reclaim) (UNEP, 1999).
2.2.2. Prinsip-prinsip pokok produksi bersih Prinsip-prinsip pokok dalam strategi produksi bersih dalam Kebijakan Nasional Produksi Bersih (KLH, 2003) dituangkan dalam 5R (Re-think, Re-use,
Reduction, Recovery and Recycle). Elimination
(pencegahan) adalah upaya untuk mencegah timbulan limbah langsung dari sumbernya, mulai dari bahan baku, proses produksi sampai produk. • Re-think (berpikir ulang), adalah suatu konsep pemikiaran yang harus dimiliki pada saat awal kegiatan akan beroperasi, dengan implikasi : o Perubahan dalam pola produksi dan konsumsi berlaku baik pada proses maupun produk yang dihasilkan, sehingga harus dipahami betul analisis daur hidup produk o Upaya produksi bersih tidak dapat berhasil dilaksanakan tanpa adanya perubahan dalam pola pikir, sikap dan tingkah laku dari semua pihak terkait pemerintah, masyarakat maupun kalangan usaha • Reduce (pengurangan) adalah upaya untuk menurunkan atau mengurangi timbulan limbah pada sumbernya.
• Reuse (pakai ulang/penggunaan kembali) adalah upaya
yang
memungkinkan suatu limbah dapat digunakan kembali tanpa perlakuan fisika, kimia atau biologi. • Recycle (daur ulang) adalah upaya mendaur ulang limbah untuk memanfaatkan limbah dengan memrosesnya kembali ke proses semula melalui perlakuakn fisika, kimia dan biologi. • Recovery/ Reclaim (pungut ulang, ambil ulang) adalah upaya mengambil bahan-bahan yang masih mempunyai nilai ekonomi tinggi dari suatu limbah, kemudian dikembalikan ke dalam proses produksi dengan atau tanpa perlakuakn fisika, kimia dan biologi. Meskipun prinsip produksi bersih dengan strategi 1E4R atau 5R, namun perlu ditekankan bahwa strategi utama perlu ditekankan pada Pencegahan dan Pengurangan (1E1R) atau 2R pertama. Bila strategi 1E1R atau 2R pertama masih menimbulkan pencemar atau limbah, baru kemudian melakukan strategi 3R berikutnya (reuse, recycle, dan recovery) sebagai suatu strategi tingkatan pengelolaan limbah. Tingkatan terakhir dalam pengelolaan lingkungan adalah pengolahan dan pembuangan limbah apabila upaya produksi bersih sudah tidak dapat dilakukan : • Treatment (pengolahan) dilakukan apabila seluruh tingkatan produksi bersih telah dikerjakan, sehingga limbah yang masih ditimbulkan perlu untuk dilakukan pengolahan agar buanagn memenuhi baku mutu lingkungan. • Disposal (pembuangan) limbah bagi limbah yang telah diolah. Beberapa limbah yang termasuk dalam ketegori berbahaya dan beracun perlu dilakukan penanganan khusus. Tingkatan pengelolaan limbah dapat dilakukan berdasarkan konsep produksi bersih dan pengolahan limbah sampai dengan pembuangan (Weston dan Stuckey, 1994). Penekanan dlakukan pada pencegahan atau minimisasi timbulan limbah, dan pengolahan maupun penimbunan merupakan upaya terakhir yang dilakukan bila upaya dengan pendekatan produksi bersih tidak mungkin untuk diterapkan.
2.2.3. Good Housekeeping Pengelolaan lingkungan yang selama ini dilakukan selalu dianggap sebagai suatu pengelolaan yang memerlukan pengoperasian dan biaya yang mahal. Persepsi ini terkadang menyebabkan keengganan suatu kegiatan usaha untuk melakukan pengelolaan lingkungan, baik pada kegiatan usaha skala besar, menengah maupun kecil.
Para pakar telah membuat suatu konsep pengelolaan lingkungan yang dilakukan secara bertahap, dimulai dari tahap yang paling sederhana dan murah. Tahap awal dalam pengelolaan lingkungan adalah melalui “Good House Keeping” (GHK) atau pengelolaan internal yang baik. GHK merupakan serangkaian kegiatan yang pada prinsipnya ditujukan untuk mengamati hal-hal yang sederhana namun dalam pelaksanaannya tidak hanya didasarkan pada cara membersihkan lingkungan kerja Anda. Selain itu GHK juga memerlukan komitmen dari setiap bagian perusahaan untuk mengatur penggunaan bahan baku, energi dan air secara optimal, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas kerja dan upaya pencegahan pencemaran lingkungan. GHK mengutamakan penyelesaian masalah lingkungan melalui tata kerja yang baik (manajemen) yang baik, bukan melalui penyelesaian secara teknis yang mahal. Dengan kata lain GHK bertumpu pada pemberdayaan sumberdaya yang telah ada dalam kegiatan usaha Anda. Anda juga dapat menerapkan GHK sebagai langkah awal/dasar untuk pengelolaan lingkungan kerja Anda. Melalui GHK Anda dapat menemukan adanya suatu permasalahan yang selama ini mungkin tidak Anda dan karyawan Anda sadari. Dalam menemukan permasalahan tersebut Anda tidak memerlukan pendidikan khusus dan keterlibatan dari pihak luar. permasalahan,
maka
Anda
Setelah Anda menemukan dan memahami selanjutnya
mencari
sumber-sumber
permasalahantersebut dan mencari upaya penyelesaiannya. Manfaat yang Anda dapat peroleh dari penerapan GHK adalah :
Keuntungan ekonomi melalui penghematan biaya. Keuntungan ini dapat diambil karena praktek GHK dapat mengefisienkan pemakaian bahan baku, air dan energi.
Mengurangi dan menghindari terjadinya pencemaran lingkungan. Bila penggunaan bahan baku (terutama bahan kimia), air dan energi dapat digunakan seefisien mungkin, maka volume dan kadar toksisitas limbah yang dihasilkan dapat dikurangi secara langsung.
Memperbaiki tata kerja dan hubungan kerja antar personil di lingkungan kegiatan usaha Anda. Hal ini terkait dengan perubahan perilaku dan penciptaan budaya kebersamaan yang melibatkan motivasi dan komitmen seluruh personil. Penerapan GHK dipandu oleh seperangkat daftar periksa yang memuat
pertanyaan-pertanyaan untuk menemukan masalah yang mungkin adanya dan penyebabnya. Bila Anda dapat menemukan suatu masalah dan penyebabnya, maka Anda dapat menemukan langkah perbaikan yang perlu dilakukan.
2.2.4. Penerapan produksi bersih pada industri Penerapan Produksi Bersih pada industri secara individual merupakan salah satu langkah dalam mewujudkan Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan. Tahapan penerapan meliputi : perencanaan dan organisasi, kajian produksi bersih, penentuan prioritas dan analisis kelayakan, implementasi, monitoring dan evaluasi, dilanjutkan dengan keberlanjutan. Langkah 1 : Perencanaan dan Organisasi Pada langkah ini industri menyiapkan perencanaan, visi, misi, dan strategi produksi bersih. Sasaran peluang Produksi Bersih yang dikaitkan dengan bisnis dan adanya komitmen dari manajemen puncak. Pihak industri juga melakukan identifikasi hambatan dan penyelesaiannya, identifikasi sumber daya luar yang menyediakan informasi dan ahli Produksi Bersih. Program yang kaan dijalankan dikomunikasikan ke semua karyawan dilanjutkan dengan pembentukan im yang menangani produksi bersih. Langkah 2 : Kajian dan Identifikasi Peluang Melakukan pemetaan proses atau membuat diagram alir proses sebagai alat untuk memahami aliran bahan, energi dan sumber timbulan limbah. Identifikasi peluang
peluang Produksi Bersih lapangan
berupa
didasarkan pada temuan hasil kajian dan tinjauan
kemungkinan
peningkatan
efisiensi
dan
produktivitas,
pencegahan dan pengurangan timbulan limbah langsung dari sumbernya. Akar permasalahan yang menyebabkan tidak efisien dan adanya timbulan limbah dicari penyebabnya sehingga dapat memilih tindakan dan teknik untuk memecahkan masalah dengan mengembangkan kreativitas untuk menghasilkan ide sebanyak mungkin. Langkah 3 : Analisis Kelayakan dan Penentuan Prioritas Menentukan pilihan Produksi Bersih, berdasarkan keuntungan (biaya yang dikeluarkan dan pendapatan / penghematan yang diperoleh), resiko yang dihadapi, tingkat komitmen. Melakukan analisis kelayakan lingkungan, teknologi, dan ekonomi. Analisis kelayakan ekonomi dilakukan secara rinci bagi peluang yang memerlukan investasi besar. Agar industri tertarik untuk mengimplementasikan Produksi Bersih, dicari peluang berdasarkan urutan kebutuhan biaya yaitu tanpa biaya (no cost), biaya rendah (low cost) dan biaya tingi (high cost) Langkah 4 : Implementasi Membuat perencanaan waktu pelaksanaan secara konket dan rencana tindakan yang dilakukan. Menentukan penanggung jawab program pelaksanaan dan mengalokasikan sumberdaya yang diperlukan. Selanjutnya melaksanakan program dan menekankan pada para karyawan bahwa Produksi Bersih sebagai bagian dari pekerjaan, mendorong inisiatif dari mereka sebagai umpan balik pelaksanaan. Agar implemetasi dapat dipantau kemajuannnya maka perlu dikembangkan indikator kinerja efisiensi, lingkungan, dan kesehatan dan keselamatan kerja. Langkah 5 : Pemantauan, Umpan Balik, Modifikasi Mengumpulkan dan membandingkan data sebelum dan sesudah tindakan Produksi Bersih digunakan untuk mengukur kinerja yang telah dicapai, apakah sesuai dengan rancangan ataukah tidak. Kelemahan pencatatan data yang kurang seringkali menghambat pengukuran kinerja, sehingga pelaporan peningkatan efisiensi dan penurunan timbulan limbah tidak dapat dihitung dengan tepat. Pada saat pemantauan dilakukan pendokumentasian program. Melakukan tinjauan ulang secara periodik pelaksanaan Produksi Bersih, dan kaitkan dengan sasaran bisnis.
Langkah 6 : Perbaikan Berkelanjutan Hal yang tak kalah penting adalah merayakan keberhasilan, mempertahankan target telah dicapai, dan selanjutnya mengimplementasikan untuk peluang lainnya. Produksi Bersih pada dasarnya adalah bagian dari pekerjaan dan bukan suatu program sehingga industri akan melakukan perbaikan berkelanjutan. Keberhasilan penerapan Produksi Bersih pada industri sudah cukup banyak, baik pada industri skala kecil, menengah maupun besar untuk berbagai jenis produk industri. Sebagai contoh keberhasilan penerapan produksi bersih dapat disampaikan sebagai berikut : 1. Industri elektroplating di Sidoarjo : - menata ulang peralatan proses dapat menghemat pemakaian energi listrik sampai 25 persen - penggantian bahan baku beracun senyawa sianida dengan senyawa asam menurunkan biaya produksi sebesar 10 persen 2. Industri cor besi di Ceper Klaten - Penggantian dapur tungkik menjadi dapur kupola mengurangi pemakaian cokes dari 1/7 menjadi 1/12 (bag cokes/bag besi scrap) - Pemakaian dapur induksi meningkatkan kualitas produk, penurunan biaya produksi, dan pengurangan emisi gas serta limbah padat - Daur ulang pasir cetakan mengurangi pemakaian bahan baku pasir
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan penelitian
Membuat surat pengantar dari fakultas untuk kesediaannya memberi ijin di Pabrik Gula Kebon Agung
Menunggu persetujuan dari pihak PG Kebon Agung untuk masalah jadwal kunjungan
Melakukan studi langsung sesuai dengan jadwal yang ditentukan oleh PG Kebon Agung
Pengumpulan data dari berbagai sumber data yang ada dengan cara observasi, wawancara, hand out dari pabrik.
Melakukan sesi tanya jawab dengan staff lab PG Kebon Agung
3.2. Ruang lingkup penelitian Dalam studi lapang di PG Kebon Agung ini hanya membahas mengenai system prosesing pembuatan gula, mengaanalisa macam-macam limbah dan pengolahaannya serta mengetahui dan memahami proses pengemasan gula. 3.3. Lokasi penelitian Studi lapang dilaksanakan di Pabrik Gula Kebon Agung, Desa Kebon Agung, Malang. 3.4. Jenis dan sumber data
Studi pustaka Studi yang didapatkan dari sumber internet, buku, dsb
Wawancara Melakukan tanya jawab langsung kepada staff di PG Kebon Agung
Studi lapang Yaitu dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan langsung ke objek
penelitian, terutama data yang berkaitan dengan sanitasi industri di PG. Kebon Agung
Dokumentasi Pengumpulan data dengan cara mempelajari dokumen-dokumen perusahaan
dengan melakukan pencatatan dokumen tentang proses produksi pupuk dan layout perusahaan PG. Kebon Agung
3.5. Instrumen penelitian
3.6. Teknik pengumpulan data - Penjelasan langsung dari staff laboratorium PG.Kebon Agung - Pemberian skema atau hank out proses produksi gula di PG Kebon Agung - Peninjauan secara langsung proses pengolahan gula dan limbah pabrik.
3.7. Waktu penelitian Studi lapang tentang proses penolahan gula dan limbah pabrik di PG Kebon Agung ini dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 17 September 2012 pukul 09.00 WIB sampai pukul 12.00 WIB.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Data umum perusahaan Pabrik Gula Kebon Agung merupakan industri swasta yang bergerak pada bidang pengolahan tebu menjadi gula kristal. PG. Kebon Agung terletak di jl. Kebonagung, Malang. Wilayah pabrik meluputi 20 kecamatan. Waktu produksi pabrik 24 jam selama 180 hari. Setiap harinya PG. Kebon Agung dapat menggiling sampai 1100 truk tebu/ hari.
4.2. Proses produksi dan limbah 4.2.1. Proses produksi STASIUN GILINGAN Merupakan proses awal dari kegiatan produksi gula. Di stasiun gilingan ini tebu diperah/digiling untuk mendapatkan nira mentah. Dalam pemerahan ini perlu ditambahkan air imbibisi agar kandungan gula yang masih berada dalam ampas akan larut, sehingga ampas akhir diharapkan mengandung kadar gula serendah mungkin. Selain diperoleh nira mentah, di dalam proses ini juga diperoleh juga ampas akhir 100% dimanfaatkan sebagai bahan bakar di stasiun ketel untuk menghasilkan uap. Peralatan yang digunakan: 1. Cane Cutter dan Unigrator yang berfungsi sebagai pencacah tebu menjadi serpihan sebelum diperoleh di penggilingan. 2. Unit gilingan yang berfungsi sebagai memerah tebu supaya dihasilkan nira mentah sebanyak-banyaknya. Di PG Kebon Agung ada 5 buah.
STASIUN PEMURNIAN Tujuan proses di stasiun pemurnian nira adalah memisahkan kotorankotoran bukan gula yang terkandung dalam nira mentah, sehingga diperoleh nira
bersih yang dinamakan nira encer atau nira jernih. Di dalam proses ini selain didapatkan blotong yang dapat dimanfaatkan untuk pupuk. Di PG Kebon Agung proses pemurnian nira yang dipakai adalah sistem sulfitasi sehingga bahan kimia yang dipakai adalah larutan kapur tohor serta gas SO2 yang berasal dari pembakaran belerang padat. Peralatan yang digunakan: 1. Pemanas pendahuluan, berfungsi untuk memanaskan nira mentah pada suhu tertentu. 2. Reaktor defikasi dan sufitasi, berfungsi mereaksikan nira mentah dengan kapur dan gas SO2. 3. Peti pengendapan, berfungsi mengendapkan nira mentah setelah direaksikan dengan kapur dan SO2 yang akan menghasilkan nira encer dan nira kotor. 4. Rotari vacuum filter, berfungsi sebagai penyaring nira kotor yang berasal dari proses pengendapan kemudian akan menghasilkan nira tapis dan blotong. 5. Tobong belerang, berfungsi membakar belerang sehingga menghasilkan gas SO2.
STASIUN PENGUAPAN Nira encer hasil proses pemurnian masih banyak mengandung air sehingga dilakukan proses penguapan air agar diperoleh nira kental dngan kekentalan tertentu. Hasil samping proses penguapan ini adalah air (kondensat) yang dimanfaatkan sebagai air umpan di stasiun ketel. Peralatan yang digunakan: 1. Pemanas pendahuluan, berfungsi memanaskan nira encer pada suhu tertentu.
2. Bejana penguapan, berfungsi menguapkan iar yang terkandung dalam nira encer.
STASIUN MASAKAN Di stasiun masakan dilakukan proses kristalisasi untuk mengambil dalam nira kental sebanyak mungkin untuk dijadikan kristal dengan ukuran yang diinginkan. Dalam prose kristalisasi diperoleh larutan kristal gula yang disebut masecuite serta diperoleh hasil samping berupa air kondensat yang dimanfaatkan sebagai air umpan di stasiun ketel. Peralatan yang digunakan: Pan masakan yang berfungsi mengolah nira kental dari stasiun penguapan menjadi kristal-kristal gula.
STASIUN PUTERAN Di stasiun puteran dilakukan proses pemutaran masecuite yang bertujuan memisahkan kristal gula dari larutan (sirupnya). Pada proses ini akan diperoleh gula produk SHS dan hasil samping tetes. Peralatan yang digunakan: 1. Alat pemutaran, berfungsi memisahkan kristal gula dari larutannya (tetes). 2. Saringan gula, berfungsi menyeleksi ukuran-ukuran kristal yang dikehendaki.
STASIUN PEMBUNGKUSAN Di stasiun ini dilakukan pembungkusan gula produk SHS dengan karung plastik yang akan mempunyai berat masing-masing 50 kg.
Peralatan yang digunakan: 1. Packer gula, berfungsi memasukkan gula ke karung dengan berat 50 kg. 2. Mesin jahit, berfungsi menjahit karung yang telah diisi gula 50 kg. 3. Conveyor gula, berfungsi sebagai alat akomodasi gula yang telah dijahit.
GUDANG Gula produk SHS yang dikemas akan disimpan di gudang gula. Peralatan yang digunakan: Conveyor gula, berfungsi sebagai alat akomodasi gula yang telah dijahit.
STASIUN PLTU Di stasiun PLTU dilakukan proses perubahan tenaga uap dari stasiun ketel menjadi tenaga listrik. Peralatan yang digunakan: Turbin PLTU (3 buah), berfungsi menghasilkan listrik dari tenaga uap.
STASIUN KETEL Di stasiun ketel dilakukan proses pemanasan air kondensat sampai mendidih (menguap) yang bertujuan menghasilkan uap pada tekanan tertentu. Peralatan yang digunakan: 1. Ketel, berfungsi menghasilkan uap pada tekanan tertentu. 2. Conveyor ampas, berfungsi sebagai alat akomodasi ampas dari stasiun gilingan yang digunakan untuk bahan bakar ketel.
3. Dust Collector, berfungsi menangkap debu-debu hasil pembakaran ampas di dalam dapur ketel.
BAGAN PROSES PEMBUATAN GULA PG KEBON AGUNG MALANG Tebu 100%
Air ambibisi 19-27% STASIUN GILINGAN
Ampas 32-
33% Nira mentah 87-94%
Larutan kapur 0,18-0,21% STASIUN PEMURNIAN Belerang 0,008-0,09%
Blotong 3-4%
NIRA
Nira encer 84-90%
Air kondensat 62STASIUN 64% PENGUAPAN
Nira kental 22-26%
Air kondensat 13-16% STASIUN MASAKAN
STASIUN KETEL
Masecuite 40-44% Sirup 31-35% STASIUN PUTERAN
Tetes 4-5%
Gula produk SHS 6-8%
STASIUN PEMBUNGKUSAN
GUDANG
4.2.2. Tinjauan limbah Dari hasil proses prosuksi gula kebon agung
limbah cair (air sisa produksi)
limbah padat (ampas)
limbah gas (asap-asap mesin)
Pemurnian nira adalah memisahkan kotoran-kotoran bukan gula yang terkandung dalam nira mentah, sehingga diperoleh nira bersih yang dinamakan nira encer atau nira jernih.
4.3. Produksi bersih 4.3.1. Upaya produksi bersih yang sudah Dilakukan perusahaan Pabrik gula kebon agung menjaga kebersihan mengenai produksinya yaitu diruang pengepakan. Sebelum masuk didalamnya pegawai harus mencuci tangan menggunakan masker serta sandal khusus yang disediakan perusahaan. Pada kolam limbah terdapat proses pemurnian air limbah untuk membuang limbah cair tersebut ke sungai agar tidak mencemari air sungai
4.3.2. Hambatan dalam penerapan produksi Dalam musim kemarau jumlah tebu yang dibutuhkan tidak memadai
4.3.3. Peluang-peluang Produksi Bersih Penyaringan asap pabrik dengan sistem pengikatan elektron. Karbon akan terikat oleh alat penyaring dan jatuh ke bawah. Karbon tersebut dapat dibuat sebagai bahan campuran aspal, dan lain sebagainya.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. KESIMPULAN Dalam studi lapang yang kami lakukan di Pabrik Gula Kebon Agung dapat disimpulkan bahwa PG Kebon Agung telah menerapkan teknologi
bersih
semaksimal mungkin dalam produksi gula kristal beserta penangananan limbah – limbah yang dihasilkan. Terdapat tiga jenis limbah yang dihasilkan dalam proses produksi, diantaranya : limbah padat, cair dan gas. Mengenai limbah yang dihasilkan PG Kebon Agung telah diteliti bahwa hasil limbah berada di bawah standar yang telah ditentukan oleh dinas yang telah bekerja sama dengan PG Kebon Agung sendiri. Sehingga hasil limbah PG Kebon Agung tidak berbahaya bagi penduduk sekitar.
5.2. SARAN Diharapkan PG Kebon Agung ini dapat mempertahankan sistem produksi bersih yang diterapkan saat ini dan dapat mengembangkan teknologi untuk menghasilkan emisi yang seminim mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2009. Penelitian Gula. http://www.ipard.com/%20penelitian%20/penelitian_gula.asp. Diakses 2 Oktober 2012 Arifin. 2009. Pengaplikasian Bioaktivator. http://arifinbits.wordpress.com. Diakses 2 Oktober 2012 Pukul 08.31 WIB Fadjari. 2009. Memanfaatkan Blotong, Limbah Pabrik Gula. http://kulinet.com/baca/%20memanfaatkan-blotong-limbah-pabrikgula/536. Diakses 2 Oktober 2012 Dwi, 2011. Pengolahan Limbah Industri Tekstil. http://dwioktavia.wordpress.com/2011/04/14/pengolahan-limbah-industritekstil/. (Diakses 10 Oktober 2012 Pukul 10.44 WIB) Kebijakan Nasional. http://ppbn.or.id/site/index.php?modul=detail&catID=17. (Diakses 10 Oktober 2012 Pukul 09.49 WIB) Kementrian Lingkungan Hidup, 2003. PANDUAN PRODUKSI BERSIH DAN SISTEM
MANAJEMEN
USAHA/INDUSTRI
KECIL
LINGKUNGAN DAN
UNTUK MENENGAH.
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=PANDUAN++PRODUKSI+B ERSIH+DAN+SISTEM+MANAJEMEN+LINGKUNGAN+UNTUK+US AHA%2FINDUSTRI+KECIL+DAN+MENENGAH.+++&source=web&c d=1&cad=rja&ved=0CB0QFjAA&url=http%3A%2F%2Fstaff.ui.ac.id%2 Finternal%2F130220443%2Fmaterial%2FPRODUKSIBERSIHDANSIST EMMANAJEMENLINGKUNGAN.pdf&ei=JBlpUP_aJMvwrQf7r4DgA w&usg=AFQjCNGSWyPzD0kPl1qjw-qZrMSpyk8pQ&sig2=IWqFyWf815WvhFTZSoMciQ. (Diakses 10 Oktober 2012 Pukul 11.17 WIB)
KLH, 2003. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : KEP- 51/MENLH/10/1995 TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI. (Diakses 10 Oktober 2012 Pukul 09.19 WIB) KLH, 2003. PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 05 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI INDUSTRI GULA. (Diakses 10 Oktober 2012 Pukul 09.19 WIB) Mucharomah. 2007. Pemanfaatan Bagasse. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak%20/mucharomah%20%20pra.%20%201 00102007.pdf. Diakses 2 Oktober 2012 Moudgil. B.M. & Somasundaran, P. (ed) (1985). Flocculation, sedimentation and Consolidation,
Proceeding of theEngineering Foundation
Conference Held at the Cloister, Sea Island, Georgia, USA, January 27 – February 1. Panji, 2010. SEKILAS PERJALANAN PROSES PENGOLAHAN GULA TEBU.
http://teknologigula.blogspot.com/2010/09/sekilas-perjalanan-
proses-pengolahan.html. (Diakses 1 Oktober 2012 Pukul 18.14 WIB) Purwani. 2008. Fermentasi Etanol dari Tetes (molasse). http://bioindustri.blogspot.com/%20fermentasi-etanol-dari-tetesmolasse.html. Diakses 2 Oktober 2012 Riswan. 2009. Blotong Filter Cake. http://www.risvank.com/?p=307. UNEP, United Nations Environmental Program, 2004. www.unep.org Wahyu. 2009. Membuat Bioetanol dari Tetes. http://www.bioethanol/ yolasite.com/index/ membuat-bioetanol-dari-tetes-tebu. Diakses 2 Oktober 2012 Wirhyanto O, Endro S, & Ulfatul F, 2009. Pengolahan Limbah Cair Industri
Tekstil Menggunakan Bioflokulan dengan Metode Sistem Flow Skala Jurnal Presipitasi. Vol. 6 No. 1. Weston, N.C., & Stuckey, D.C., 1994. Cleaners Technologies and the UK Chemical Industry, Trans IchemE, Vol 72, Part B, May 1994