LAPORAN STUDI EKONOMI PROGRAM PENGEMBANGAN KECAMATAN Oleh
Tim Studi Ekonomi
PROGRAM PENGEMBANGAN KECAMATAN KONSULTAN MANAJEMEN PUSAT Juli 2001
Daftar Isi Halaman I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 2. Tujuan 3. Metodologi 4. Waktu II. TEMUAN PENELITIAN 1. Informasi dan Prosedur Pinjaman 2. Pemanfaat dan Penggunaan Pinjaman 3. Pengembalian Pinjaman 4. Unit Pengelola Keuangan 5. Sumber Kredit lain 6. Monitoring/Pelaporan Status Kegiatan Ekonomi 7. Kesimpulan dan Rekomendasi III. ANALISA EKONOMI 1. Pendahuluan 2. Dampak Berbagai Kredit Program 3. Penggunaan Pinjaman dan Dampak Peningkatan Laba Usaha 4. Apakah Perlu Melanjutkan Program Kredit atau Menghentikannya 5. Alternatif Bekerja sama dengan Bank Lokal 6. Masa Depan UPK 7. Ringkasan Lampiran
1 1 2 2 2 2 2 5 6 8 9 11 12
15 15 16 18 24 26 28
I. Pendahuluan 1. Latar Belakang Pada awalnya
Program Pengembangan Kecamatan ( PPK)
lebih
memfokuskan pada program bantuan prasarana fisik sebagai upaya untuk meningkatkan mobilitas dan aktivitas ekonomi desa di wilayah kecamatan. Namun seiring dengan semangat paradigma baru dalam pembangunan yang harus mengutamakan partisipasi dan inklusivitas dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan (bottom up planning), PPK
secara khusus dirancang
untuk meningkatkan
keterpaduan antara pengembangan usaha ekonomi produktif dan pembangunan prasarana dan sarana pedesaan. masyarakat harus diberi kesempatan berperan
serta
dalam
Hal ini berarti
seluas-luasnya
mengidentifikasi dan
untuk
turut
menentukan prioritas
kebutuhan pembangunan di desanya. Konsekuensi dari penerapan prinsip pilihan
terbuka (open menu) dalam menentukan prioritas
kebutuhan, pada tahun pertama 25 % atau sekitar Rp.76 milyar dari total alokasi
dana
PPK
terserap untuk kegiatan ekonomi produktif.
Demikian juga pada tahun kedua telah dialokasikan sekitar Rp.60,2 milyar atau 24,7 % dari total alokasi dana bantuan. Dengan demikian dana yang
telah digulirkan ke
masyarakat
kumulatif mencapai Rp.136 milyar lebih.
melalui Jumlah
PPK
secara
yang
sangat
berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin di desa.
Oleh
karena
itu
keberhasilan
(UPK) tingkat kecamatan kelompok
kinerja
Unit
Pengelola
Keuangan
dalam menyalurkan dana dan mengelola
sasaran (beneficiaries ) merupakan
keberhasilan PPK secara
bagian
integral
dari
keseluruhan. Kinerja tim di lapangan
antara Fasilitator Kecamatan ( FK ), Fasilitator Desa (FD) , Tim Teknis Desa (TTD) dan keaktifan petugas UPK
dalam mensosialisasikan porgam sangat menentukan
kinerja
selanjutnya. Untuk melihat
UPK
sejauh mana
tingkat
keberhasilan dan kenerja UPK dapat dilihat dari berbagai indikator diantaranya tingkat pengembalian pinjaman kelompok ke UPK, berapa
besar dana tersebut telah digulirkan ke masyarakat, berapa banyak anggota masyarakat
miskin
yang
dapat
memanfaatkan
fasilitas
pinjaman dan sebagainya.
Data terakhir
NMC pada bulan Mei 2001 menunjukkan, tingkat
pengembalian pinjaman baru sekitar 40%. Melihat kondisi pengembalian yang
memprihatinkan, perlu
penerima program PPK
dikaji tentang
kegiatan ekonomi dari
secara lebih hati-hati
perubahan-perubahan pendekatan dan tindakan
dan perlu
adanya
korektif. Studi
tidak
hanya difokuskan mengenai rendahnya tingkat pengembalian, tetapi juga menggali issue- issue strategis yang belum tergali. Seperti misalnya mekanisme dan prosedur pengajuan pinjaman, siapa penerima kredit, apa dampak
bagi penerima kredit terhadap usaha dan penghasilan
rumah tangganya, bagaimana pemanfaatan modal usaha, dan potensi untuk mengaitkan dengan program kredit lain .
2. Tujuan Studi singkat ini bertujuan untuk : a. Melihat gambaran pelaksanaan program pengembangan kredit mikro dan tingkat pengembaliannya secara langsung sehingga dapat teridentifikasi permasalahan pokoknya. b. Melihat penggunaan formulir, khususnya formulir yang berkenaan dengan system pelaporan perkembangan usaha ekonomi produktif melalui UPKnya yaitu form VIII.2 ‘ VIII.4 dan VIII.6.
3. Metodologi Team studi terdiri dari 3 orang mempelajari dan menganalisa materimateri program PPK , data aktivitas ekonomi, serta beberapa sektor yang relevan di Jakarta. Dilapangan team secara individu melakukan intervew dengan informan kunci dan kelompok dengan pelaku PPK, orang desa, lembaga perkreditan daerah, UPK dan kelompok peminjam. Ada 5 (lima) propinsi, di 5 (lima) kabupaten, 15 (lima belas) kecamatan dan 45 (empat
puluh lima) desa
yang dikunjungi sebagai lokasi studi (lampiran 1).
Pemilihan lokasi studi diprioritaskan kepada propinsi-propinsi yang memiliki tingkat pengembalian tinggi (Jawa Barat dan Jawa Timur), pengembalian sedang (Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah) dan pengembalian rendah (Sumatera Barat).
Laporan disajikan secara deskriptif dan analisa mendalam secara kualitatif dari kasus individu dan tema pokok studi. Studi ini diharapkan mampu menangkap dan memperkaya berbagai informasi lapangan, dan dampak program PPK pada pemanfaat.
4. W a k t u Studi ekonomi telah dilaksanakan pada tanggal 8 Mei s/d 31 Juli 2001. Pada tanggal 8 –18 Mei team melakukan persiapan dan menganalisa data serta laporan perkembangan kegiatan PPK di Jakarta. Pada tanggal 21 Juni s/d 21 Juli 2001, team studi ekonomi melakukan kunjungan ke 5 (lima) propinsi sesuai dengan kriteria yang sudah dipilih.
Dan pada
tanggal 23 - 31 Juli 2001 membuat laporan hasil temuan lapangan.
II. Temuan Penelitian 1. Informasi dan prosedur pinjaman Secara umum informasi dan prosedur pinjaman telah mengikuti proses dan mekanisme program, pada saat sosialisasi, penggalian gagasan di dusun dan desa dan verifikasi serta dikompetisikan di UDKP 2. Hanya saja pelaksanaan proses tersebut diatas belum berjalan sebagaimana yang diharapkan oleh program.
optimal
Kesan tidak optimalnya
proses sosialisasi, penggalian gagasan, verifikasi, dan UDKP 2 dapat terlihat pada : (1) Kelompok penerima manfaat umumnya baru terbentuk atau dibentuk pada saat program mulai. Meskipun ada kelompok lama dan berjalan
dengan baik, tetapi jumlahnya tidak banyak; seperti ; KSP Andil desa Taratak Galundi kecamatan Lembah Gumanti, Kelompok pengajian dan arisan di 3 kecamatan di Mojokerto, desa Kenje,
kecamatan
Campalagian, kabupaten Polmas. (2) Proses pengalian gagasan masih lemah, banyak nilai usulan tidak sesuai dengan kebutuhan pemanfaat (kurang atau melebihi usulan), terkesan membagi rata dana pinjaman kepada pemanfaat meskipun dengan jenis dan skala usahanya jauh berbeda. (3) Kelemahan verifikasi, karena sulit mencari orang-orang yang memiliki kualifikasi
yang tepat untuk menganalisa kegiatan ekonomi, dan
waktu verifikasi sangat terbatas.
Kelemahan-kelemahan
tersebut
menjadikan
pelaksana
program
dilapangan (FK, PjOK, Kades, Ketua I LKMD, FD, TTD, danTPK) cukup kewalahan
dan
kesulitan
dalam
mendampingi
kelompok
yang
bermasalah, memberlakukan sanksi program, menangani masalah kemacetan pengembalian pinjaman.
Dibandingkan dengan tahun pertama, pelaksanaan PPK tahun kedua jauh lebih baik, dimana kelemahan-kelemahan seperti tersebut di atas sudah dapat dikurangi. lainnya
Meningkatnya pemahaman FK dan pelaksana
terhadap program, adanya kerjasama yang baik antar pelaku
program (khususnya antara FK dengan PjOK)
adalah satu hal yang
positif terhadap perbaikan substansi program. Disamping itu materi dan masa pelatihan FD juga lebih baik dari tahun pertama, mejadikan FD lebih baik memfasilitasi pelaksananaan program.
Plafon pinjaman PPK yang terbanyak adalah antara Rp 200.000,- s/d 500.000,- per orang,
jangka waktu pinjaman
12 bulan dengan pola
angsuran per bulan. Hanya beberapa pemanfaat saja yang pinjamannya diatas atau sama dengan Rp. 1.500.000 per orang, masa pinjaman 18 bulan dengan pola angsuran per 3 bulan, 6 bulanan dan atau 9 bulanan. Kasus seperti ini banyak ditemukan di kab. Solok untuk sektor usaha
peternakan sapi dan pertanian, di kab. Mojokerto, Polmas dan Donggala untuk sektor usaha pertanian bawang merah.
Ternyata dengan plafon
pinjaman antara Rp 200.000,- s/d 500.000,-, masa pinjaman 12 bulan dan angsuran
per
bulan
jauh
lebih
meringankan
peminjam
dalam
mengembalikan pinjaman dibandingkan dengan jumlah pinjaman di atas Rp 1.000.000,-, masa pinjaman 18 bulan dan dengan pola angsuran per 3, 4, 6 atau 9 bulan, yang memiliki potensi kemacetan yang cukup besar.
Melihat pada plafon pinjaman yang disalurkan, dan pola pengembalian yang cukup bervariasi PPK telah memberikan andil yang cukup berarti bagi lapisan rmiskin masyarakat perdesaan yang tidak terjangkau oleh sumber kredit lain yang dikelola lembaga keuangan resmi.
Jika saja
pelaku PPK di kecamatan, khususnya FK dan UPK mampu mengelola dana pinjaman ini dengan baik, dapat memberikan pendampingan yang optimal maka dana pinjaman ini akan lebih terasakan manfaatnya oleh masyarakat miskin perdesaan.
Tingkat suku bunga pinjaman UPK ke desa 20% flat (PPK tahun pertama), dan 20% menurun (PPK tahun kedua). Sedangkan tingkat suku bunga dari desa ke kelompok dan anggota peminjam bervariasi pada masing-masing daerah.
Di Tasikmalaya dan Mojokerto.
TPK
memberlakukan suku bunga ke kelompok 20% flat (PPK kedua). Selisih bunga tetap dengan menurun dipakai oleh TPK untuk insentif dan operasional TPK untuk mengelola kegiatan UEP desa.
Tingkat suku
bunga dari kelompok ke anggota di Tasikmalaya dan Mojokerto bervariasi antara 4 – 36 % flat / tahun, berbeda dengan kab. Solok, Polmas dan Donggala yang masih memberlakukan tingat suku bunga sesuai dengan ketentuan program.
Tingkat suku bunga yang tinggi 24-36% di Tasikmalaya dan Mojokerto pada
prinsipnya
tidak
memberatkan
anggota
pemanfaat
dalam
menyelesaikan pengembalian pinjaman, malahan tingkat pengembalian di kedua kabupaten ini sangat tinggi (70-97%), karena
masyarakat
perdesaan sudah terbiasa dengan sistem beban bunga yang tinggi dari pelepas uang yang beroperasi di wilayahnya selama ini.
Sebaliknya
sistem
jaminan/anggunan
pinjaman,
desa-desa
yang
dikunjungi umumnya memberlakukan sistem jaminan/anggunan kepada anggota pemanfaat (ternak, tanaman, surat tanah ataupun sertifikat tanah). Adanya sistem jaminan sudah menjadi kesepakatan pada saat musyawarah di desa. Jaminan bertujuan agar pemanfaat mempunyai ikatan moral dan mau mengembalikan pinjaman sesuai dengan jadual yang sudah disepakati, meskipun program tidak membenarkan adanya jaminan pinjaman.
Permasalahannya adalah ternyata jaminan yang diterapkan oleh masingmasing desa, tidak memberikan pengaruh
terhadap kesadaran
pemanfaat/nasabah menyelesaikan pengembalian pinjamannya. Sebagai ilustrasi, di kab. Solok jaminan yang disepakati (kebun dan sawah) tidak memberikan manfaat apa-apa untuk mencegah
kemacetan pinjaman,
karena kesepakatan jaminan/sanksi tidak ditindaklanjuti oleh pengurus UPK dan LKMD/TPK pada saat pinjaman sudah jatuh tempo.
Kasus
yang sama juga ditemukan di desa-desa yang bermasalah di kab. Tasikmalaya, Mojokerto, Polmas dan Donggala.
Prosedur pinjaman yang tidak berbelit-belit, tidak ada biaya administrasi dalam pengajuan pinjaman,
dan bermusyawarah dalam mendapatkan
dana pinjaman menjadikan program PPK disenangi oleh masyarakat.
Hanya saja proses pengajuan pinjaman yang gampang ini belum diimbangi
oleh
kesadaran
masyarakat
untuk
mengembalikan
pinjamannya, karena masih ada asumsi yang berkembang pada masyarakat, semua dana program yang datang dari pemerintah pasti akan akan difusokan (Tasikmalaya) atau diputihkan (Solok) seperti program IDT, PDMDKE, KUT. Meskipun asumsi pinjaman ini tidak perlu dikembalian sudah mulai berubah pada pelaksanaan PPK kedua,
hendaknya FK dan UPK terus mengingatkan secara terus-menerus agar kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap pemanfatan dan pengelolaan dana bergulir semakin tinggi. Dengan harapan UPK dapat melestarikan dan menjaga kelanjutan dana bergulir dengan persyaratan kredit yang ringan. Sedangkan jaminan pinjaman yang diberlakukan kelompok kepada anggota bukanlah menjadi hambatan anggota untuk dapat memanfaatkan dana program, malahan menjadi kemauan dan kesepakatan dalam musbangdes. Tinggal bagaimana merumuskan dan menindaklajuti
jaminan
tersebut,
sehinggga
benar-benar
mampu
mendorong masyarakat untuk benar-benar memiliki kesadaran dan bertanggungjawab dengan pinjamannya.
2. Pemanfaat dan penggunaan pinjaman Penerima manfaat perempuan (61.2%) lebih banyak dari laki-laki (38.8%). Sedangkan
data
pemanfaat
orang
miskin
agak
sulit
untuk
mendapatkannya. Belum konsistennya FK dan UPK mengisi form data pemanfaat
menjadi
kendala
untuk
mengetahui
data
pemanfaat
sesungguhnya. Terkadang data yang ada di UPK hanyalah data jumlah kelompok (kec. Sodonghilir-Tasikmalaya) atau KK pemanfaat (kab. Solok dan kec. Tomini-Polmas). Dibanyak tempat (pengamatan lapang) pemanfaatan pinjaman sudah dialokasikan kepada masyarakat miskin (kab. Polmas dan Donggala), tetapi di tempat lain pinjaman
masih dinikmati oleh
pemanfaatan
kelompok masyarakat yang cukup
mampu untuk ukuran desanya (kab. Tasikmalaya dan Mojokerto).
Kemampuan UPK melayani pemanfaat/nasabah bervariasi pada masingmasing lokasi.
UPK di Tasikmalaya sampai dengan PPK tahun kedua
telah mampu melayani pemanfaat/nasabah antara 4.000-5.500 orang, Mojokerto (1000-3000 orang),
menyamai jumlah nasabah peminjam
Kupedes BRI (1.500-3.500 orang/unit). terlayani
Banyaknya pemanfaat yang
di kedua kaburpaten ini karena perguliran pinjaman sudah
berjalan dengan lancar dan terjadual dengan baik (10 – 24 kali
perguliran), sedangkan di Solok baru dapat melayani pemanfaat sekitar 600-900 orang dan belum ada perguliran, Polmas (300-1500 orang) dan Donggala (500-2000) dibeberapa kecamatan sudah melakukan perguliran 1 s/d 3 kali perguliran (lampiran 3).
Di Tasikmalaya dan Mojokerto perguliran dapat berjalan dengan baik karena kinerja UPK mulai membaik, pengurus berkerja purna waktu, UPK dan TPK menganalisa usaha kelompok dan karakter anggota pemanfaat sebelum dana dicairkan.
Pola pengembalian pinjaman pemanfaat ke
UPK dilakukan dalam tenggang waktu yang tidak terlalu lama (perbulan dan dua bulanan) selama masa pinjaman 12 bulan. Berbeda dengan temuan di Solok, dimana pengurus UPK bekerja tidak purna waktu (mencari nafkah ditempat lain), sehingga permasalahan administrasi dan teknis pinjaman tidak dapat diselesaikan dengan cepat. Disamping itu masa pinjaman umumnya 18 bulan dengan pola angsuran per 3 bulanan, 6 bulanan dan 9 bulanan. Dengan jangka waktu yang lama , perputaran uang menjadi lebih lama. Nasabah/pemanfaat merasa berat membayar hutangnya karena dengan masa jeda
cukup lama, uang angsuran yang
tersedia terpakai untuk keperluan konsumtif. Sementara di kab. Polmas dan
Donggala
permasalahan
yang
menonjol adalah
kemampuan pengurus UPK mengelola kegiatan.
lemahnya
Baik kemampuan
administrasi maupun supervisi pada kelompok pemanfaat.
Keberadaan kelompok penerima manfaat PPK tahun pertama dan kedua tidak sesuai dengan ketentuan program, umumnya kelompok terbentuk pada saat akan menerima pinjaman. Akibatnya ikatan anggota terhadap kelompok lemah, organisasi kelompok tidak berfungsi optimal, sehingga anggota kelompok tidak dapat dikontrol dan diawasi dengan baik. Kasus seperti ini ditemui disemua tempat yang dikunjungi. Disamping program juga tidak memberikan pendampingan yang lebih terarah kegiatan usaha pemanfaat,
dengan
TTD nyaris tidak berfungsi optimal.
Ada
baiknya pelaksanaan program ekonomi mikro masyarakat miskin perdesaan pada masa yang akan datang melakukan langkah-langkah
pendampingan seperti ; (1) penyiapan kelompok ; perbaikan sikap dan tingkah laku, dan pengenalan usaha anggota (2) memberikan pelatihan teknis usaha (3) dampingan dan pembinaan teknis yang lebih terarah dan intensif selama program berjalan.
Hasil
pengamatan
lapang
melalui
wawancara
dengan
berbagai
responden, diperoleh kesan pada 15 (lima belas) kecamatan yang dikunjungi ada 3 tipe peminjam;
a) Jumlah peminjam yang terbanyak adalah peminjam yang tidak dapat meningkatkan pendapatan rumah tangganya.
Umumnya tidak
tergolong termiskin di desanya, bergerak di bidang pertanian tanaman muda, peternakan, dan nelayan, Umumnya kredit yang tersalur pada masyarakat tipe seperti ini macet, ada kemungkinan dipergunakan untuk keperluan konsumsi. b) Peminjam yang dapat menaikan pendapatan dan kesejahteraan sosial rumah tangganya, jumlah peminjam seperti ini jauh lebih kecil dari peminjam pertama. desanya,
umumnya
Pemanfaat tipe ini tidak tergolong miskin di bergerak
pada
perdagangan,
usaha
perabot/pertukangan, memiliki kemampuan dalam mengelola usaha, angsuran lancar. c) Peminjam yang hanya dapat mempertahankan kehidupan usahanya saja tetapi tak dapat meningkatkan pendapatannya.
Umumnya
peminjam tipe ini usahanya pedagang kecil (kios, kelontong, pedagang keliling, kerajinan), umumnya pembayaran kreditnya lancar.
3. Pengembalian pinjaman
Sesuai dengan ketentuan program, masa pinjaman adalah 12 s/d 18 bulan dengan pola pengembalian per 2, 3, 4, 6 atau 9 bulanan.
Lamanya masa
pinjaman dan pola pengembalian oleh masing-masing kelompok diputuskan dalam musbangdes dan UDKP 2 di tingkat kecamatan. Ada banyak variasi dalam menentukan masa dan pola pengembalian pinjaman ini, tetapi yang
umum dipakai adalah
12 bulan dengan pola pengembalian per bulan.
Daerah-daerah yang
memberlakukan pola
seperti ini
ditemui di
Tasikmalaya, Mojokerto, Polmas dan Donggala, meskipun di beberapa desa juga ada yang memberlakukan ataupun 9 bulanan.
pola pengembalian pinjaman per 3, 6
Sedangkan di Solok umumnya pola pengembalian
pinjaman adalah per 3 dan 6 bulanan dan masa pinjaman 18 bulan yang pada sektor pertanian dan peternakan.
Pemilihan sistem dan pola pengembalian pinjaman yang tepat memberikan pengaruh yang cukup signifikan dengan tingkat kelancaran pengembalian. Masa pinjaman 12 bulan dengan pola pengembalian per bulan adalah pola yang cukup ideal bagi penyaluran kredit mikro (khususnya PPK). Temuan lapang menunjukkan pola pinjaman seperti ini pengembaliannya cukup lancar
dibandingkan dengan pola pengembalian per 3 bulan atau lebih
dengan masa 18 pinjaman.
Kemacetan pinjaman banyak terjadi pada tahun 1, sedangkan pada tahun 2 tingkat kemacetan sudah berkurang. Namun di Solok tingkat pengembalian thn 1 dengan thn 2 tidak memperlihatkan perubahan yang berarti. Dari hasil pengamatan di lapang diperoleh kesan rendahnya tingkat pengembalian pinjaman kelompok ke UPK karena UPK dan kelompok
masih lemah
dalam administrasi/pembukuan, tidak ada kontrol dan penagihan secara rutin ke anggota, kelompok nyaris tidak ada fungsi sama sekali.
Disamping itu tunggakan tidak tertanggulangi dengan baik (khususnya PPK tahun pertama) karena: (1) FK lebih terkonsentrasi dengan pelaksanaan program tahun 2, (2) dibanyak lokasi terjadi mutasi FK dilapangan, FK yang baru tidak begitu perduli dengan permasalahan sebelumnya dengan anggapan kasus yang terjadi bukan jadi tanggungjawabnya, (3) KM-Kab dan FK masih lemah dalam memahami substansi program, lemah dalam pendampingan.
Sehingga keterlambatan pinjaman sudah melebihi batas
waktu jatuh tempo (24-26 bulan).
Berangkat dari banyaknya permasalahan tunggakan, ada perbaikan
sudah semestinya
mendasar terhadap disain program, terutama untuk
memperkuat kelembagaan UPK dan kelompok. Penguatan ini perlu dilakukan agar UPK mampu mengelola dana bergulir dengan baik, dan kelompok penerima manfaat (umumnya orang miskin) memiliki motivasi dan kemampuan teknis untuk mengelola usahanya.
Sebab jika kedua hal ini
tidak dilakukan, PPK akan mengulang kegagalan yang pernah dilakukan program lain yang pernah ada (IDT, KUT) yang hanya mengandalkan pemberian modal usaha tanpa memperhatikan faktor pendampingan yang terpadu.
Pendampingan terpadu masih sangat diperlukan bagi program seperti PPK, sebab kelembagaan di tingkat desa masih lemah, partisipasi masyarakat juga masih rendah . Hanya dibeberapa lokasi saja ditemukan kelembagaan desa berjalan dengan baik, kontrol dan partisipasi masyarakat sudah mulai tumbuh.
Pada lokasi dimana peran aparat dan masyarakat desa bagus,
maka biasanya pelaku-palaku PPK yang ada di desa juga akan bekerja dengan optimal sesuai dengan harapan program.
Sebaliknya desa-desa
dimana kemampuan aparat desa masih lemah, partisipasi masyarakatnya rendah maka program PPK mengalami kegagalan.
Seperti di Tasikmalaya dan Mojokerto, fungsi TPK sangat membantu UPK dalam penagihan pinjaman dari kelompok pemanfaat, kecuali kec. Karangnunggal (Tasikmalaya) ada sedikit hambatan karena TPK tidak mendapatkan insentif yang memadai.
Di Solok, TPK yang bagus hanya
ditemukan dibeberapa desa saja, seperti desa Taratak Galundi (Lembah Gumanti), desa Kampung Batu Dalam (Lembang Jaya), dan desa Pincuran Tujuah (Pantai Cermin), kasus yang sama ditemui di Polmas dan Donggala. Desa-desa dengan tingkat pengembalaian bagus tetapi TPK-nya tidak difungsikan lagi biasanya peran TPK digantikan oleh Ketua kelompok yang langsung mengelola pinjaman anggota dan melaporkannya ke LKMD dan UPK. Berfungsinya TPK dan kelompok di desa-desa tersebut karena peran
aparat desa terhadap program cukup baik, masyarakatpun memerankan diri sebagai fungsi kontrol pada semua kegiatan yang ada di desanya.
Pada lampiran 2 dapat terlihat posisi pengembalian pinjaman di masingmasing kabupaten sebagai berikut ; Pengembalian pinjaman di Tasikmalaya dan Mojokerto dan kec. Campalagian Kab. Polmas
tergolong tinggi. (70.2-
95.9%), kategori sedang pada 2 kecamatan di kabupaten Polmas (62.869.2%)
dan
Donggala
(48.3-67.5%).
Sedangkan
di
Solok
tingkat
pengembalian masih rendah (17.2-44.9%).
Rendahnya pengembalian pinjaman di kabupaten Solok dan desa-desa bermasalah di kabupaten lain pada umumnya disebabkan oleh (1) karakter masyarakat yang tidak mau membayar hutangnya dengan alasan; PPK tidak ada bedanya dengan IDT, KUT dan program sejenis lainya, (2) gagal panen, karena umumnya pinjaman dimanfaatkan untuk pertanian (tanaman bawang merah, cabe dan kol), (3)
pengurus UPK tidak bekerja optimal, karena
memiliki kesibukan lain, (4) konsultan lapangan kurang memperhatikan program
UEP
yang
sedang
berjalan
karena
berkonsentrasi
dalam
pelaksanaan kegiatan lainnya dan (5) pelaku program di kecamatan dan desa (aparat dan pendamping) tidak serius menindaklanjuti kesepakatan sanksi progam yang sudah dibuat, sehingga makin kuat kesan masyarakat bahwa pinjaman ini akan diputihkan saja.
Melihat lemahnya program dalam mengendalikan dan mengontrol dana ekonomi yang bergulir di masyarakat, sudah selayak progam mulai sekarang melakukan langkah-langkah korektif untuk pelaksanaan kegiatan berikutnya, seperti (1) sanksi program yang sudah ada di PTO harus di tegakkan, (2) memperkuat kemampuan TTD perencana/pelaksana dan tim verifikasi di lapangan dengan pelatihan dan kemampuan teknis (3) melaksanakan verifikasi sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan, (4) UPK disiapkan sebagai lembaga kredit mikro perdesaan alternatif (5) dengan demikian UPK harus memiliki kemampuan mengelola dana bergulir, menganalisa kelayakan usaha peminjam, profesional dalam bekerja, (6) FK harus
lebih optimal
memberikan pendampingan terhadap program ekonomi ini, khususnya kepada kelompok pemanfaat, (7) kelompok pemanfaat, umumnya orang miskin harus diberikan dampingan dalam mengorginisir kelompok, memberikan kemampuan teknis pada unit usaha yang dilaksanakan, bukan hanya dengan memberikan modal usaha semat
4. Unit Pengelola Keuangan Salah satu prinsip penting dalam PPK adalah transparansi atau keterbukaan dalam menjalankan dan pengelolaan program.
Dalam pengelolaan
keuangan dibentuk UPK, sebuah unit pengelola dana PPK di kecamatan yang dibentuk dan bertanggungjawab pada forum UDKP. Setelah dua tahun program berjalan, Kemampuan
kinerja UPK masih jauh dari yang diharapkan.
pengurus
baru pada tingkat pendistribusian dana program
kepada masyarakat. Kemampuan administrasi dan pembukuan UPK masih perlu mendapat pembinaan dan dampingan.
Begitu juga kemampuan
pengelolaan dana bergulir dan analisa rencana usaha kelompok pemanfaat perlu ditingkatkan. Kemampuan tersebut diatas perlu ditranformasikan UPK kepada TPK dan kelompok ditingkat desa, dalam upaya mengurangi tingkat kemacetan pinjaman, dan dapat mengajak masyarakat untuk keberlanjutan dana bergulir
Dari 15 kecamatan yang dikunjungi, hanya 6 kecamatan di kab. Tasikmalaya dan Mojokerto kinerjanya cukup baik dalam penanganan status pinjaman. Pengurus mampu bekerja secara tim, dapat bekerja sama dengan konsultan (FK) dan aparat kecamatan untuk mengaktifkan TPK sebagai perpanjangan tangannya ke kelompok/anggota pemanfaat, sudah melaksanakan perguliran pinjaman (15 s/d 24 kali), memberlakukan sanksi kepada desa dan kelompok yang tidak membayar pinjaman, tingkat pengembalian cukup tinggi (70.2 – 95.8%).
Sedangkan di kab. Solok, Polmas dan Donggala kinerja UPK masih lemah dalam penanganan pengembabilan pinjaman, membangun kerjasama sesama pengurus, terlalu banyak mengharapkan bimbingan dan dampingan dari konsultan dan aparat kecamatan, lemah dalam administrasi dan pembukuan. Lemahnya kinerja UPK karena pengurus yang terpilih, tidak memiliki kemampuan dasar dalam administrasi dan pembukuan, terpilih karena faktor ketokohannya ditengah-tengah masyarakat (anggota DPRD, orang yang dituakan ), tidak dapat bekerja purna waktu, mempunyai pekerjaan lain (pedagang), dan tidak aktif lagi menjadi pengurus UPK.
Sebenarnya UPK memiliki peluang untuk berkembang menjadi lembaga kredit mikro perdesaan alternatif daripada hanya sekedar pengelola dana program saja.
Kemungkinan ini didukung oleh kelebihan-kelebihan yang
dimilikinya seperti; (1) penyaluran kredit menjangkau masyarakat miskin perdesaan secara meluas yang tidak diperhatikan oleh lembaga keuangan resmi yang ada (2) membantu rumah tangga miskin tetap hidup dan kebutuhan yang mendesak, (3) prosedur pinjaman mudah, tidak ada jaminan (4) adanya proses pendidikan demokratisasi kepada masyarakat, (5) disamping rata-rata dana bergulir yang dikelola oleh UPK yang sudah kunjungi berkisar antara Rp 500 s/d 1.1 milyar.
Namun juga penting diingat UPK
juga memiliki kelemahan-kelemahan
sehingga tidak dapat berperan optimal. Kelemahan-kelemahnya adalah ; (1) kelanjutan hidup UPK masih dipertanyakan setelah program selesai (2) pengurus UPK belum terlatih mengelola dana bergulir. (3) tingkat kemacetan dana di masyarakat tinggi sekali, (4) manfaat pada pembesaran usaha masih kurang, (5) sebagian besar dana masih dinikmati oleh kelas atas perdesaan
5. Sumber Kredit lain Di setiap kecamatan yang dikunjungi - kecuali kec. Lembang Jaya, Pantai Cermin, Sumarorong dan Marawola - sudah terdapat sumber perkreditan resmi yang dapat diakses oleh masyarakat di wilayah kecamatan tersebut. Masing-masing sumber kredit memiliki model pelayanan perkreditan yang berbeda. Beberapa sumber kredit usaha kecil yang masuk adalah Kupedes (BRI), Bank Pembangunan Daerah (BPD) atau Bank Pembangunan Nagari (BPN) di Sumatera Barat, KUD dan Bank Pasar.
Lembaga keuangan resmi seperti; BRI, BPD/BPN, Bank Mandiri, dan BPR, memberikan kredit kecil mikro baru menjangkau lapisan atas di perdesaan karena plafon pinjaman berkisar pada kisaran Rp. 2.000.000,- s/d Rp. 15.000.000,- bunganya berkisar antara 36-48% per tahun menurun (bunga pasar), tetapi tingkat kemacetannya rendah yaitu antara 1.5 s/d 5%. Rendahnya tingkat kemacetan karena lembaga keuangan melakukan seleksi yang ketat terhadap calon nasabah, mempergunakan jaminan, dan kegiatan usaha calon nasabah yang diberikan kredit relatif stabil.
Selain sumber kredit dari lembaga keuangan resmi, pada masing-masing daerah mempunyai sumber kredit
lain seperti; Bank Pasar, Baitul Mal Wat
Tamwil (BMT), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di Mojokerto. Bank Pasar (kredit union) pada masing-masing daerah mempunyai nama yang berbedabeda; (Kosipa untuk Tasikmalaya, Bank Titil/plecit untuk Mojokerto, Koperasi Simpan Pinjam untuk Polmas dan Donggala).
Bank Pasar biasa
menyalurkan kredit berjangka pendek (per bulan),
wilayah operasi di daerah semi perkotaan, bunga pinjaman 20-30% per bulan flat, ada jaminan, tingkat kemacet kecil, sekitar 2-5%. Bank Pasar dapat menjangkau masyarakat miskin seperti; pedagang amat kecil, nelayan, pengrajin, buruh tani dan buruh pengrajin rumah tangga, biasanya kredit dimanfaatkan untuk kebutuhan konsumsi.
Dari hasil pengamatan
diperoleh kesan pemanfaat tidak diuntungkan dengan sumber kredit seperti ini, pada umumnya memberatkan peminjam sendiri.
BMT hanya ditemui di beberapa tempat saja, seperti kecamatan Sodonghilir, Karangnunggal
(Tasikmalaya),
kec.
Pacet
(Mojokerto).
Dalam
operasionalnya BMT berbadan hukum koperasi. Nasabahnya pedagang kecil di sekitar pasar kecamatan, penyaluran kredit berjangka pendek (per bulan) dengan pola bagi hasil (setara dengan bunga pasar), nasabah sekitar 100 – 200 orang, dana yang disalurkan ke masyarakat miskin perdesaan sekitar Rp 75 – 300 juta. Kredit disalurkan ke pedagang kecil dengan plafon pinjaman Rp 50.000 – 200.000,- per orang.
Kredit ini belum banyak yang dapat
memanfaatkannya karena keterbatasan dana, seleksi nasabah cukup ketat yang diberlakukan oleh lembaga ini. Di desa Kedusunan Pacet, BMT ini malah menjadi penerima manfaat dana PPK.
Sementara penyaluran kredit dari dana program (PDMDKE, KUT/KKP, P4K dan PPK) tidak memberlakukan mekanisme seperti yang tersebut diatas, yaitu; prosedur kredit gampang, bunga rendah, sekitar 12-24% per tahun flat, tidak ada jaminan. Hanya saja penyaluran kredit melalui program ini tidak memiliki perangkat pendukung yang kuat dalam pengelolaan dana bergulir, sehingga tingkat kemacetan menjadi tinggi.
Untuk
mengatasi
permasalahan
kemacetan
pengembalian
pinjaman
(khususnya program PPK), ada baiknya kelompok pemanfaat benar-benar sudah disiapkan dan dibina dengan baik, memiliki kegiatan usaha yang real, FD dan TTD perencana/pelaksana mampu memberikan dampingan, dapat menganalisa kelayakan usaha kelompok/anggota, Tim verifikasi bekerja lebih akurat, dan memiliki keahlian dibidangnya. Langkah ini penting dilakukan jika penyaluran dana pinjaman tidak mau lagi mentolerir adanya kemacetan pinjaman.
6. Monitoring/Pelaporan Status Kegiatan Ekonomi Sistem administrasi dan pembukuan dalam sistem pelaporan belum
UPK cukup transparan, akan tetapi
standar sehingga menyulitkan dalam
penghitungan perkembangan dana bergulir dan peningkatan jumlah pemanfaat yang sudah terlayani. UPK umumnya lebih terkonsentrasi pada penyaluran dan pendistribusian dana program, belum memiliki kemampuan dan kecakapan dalam mengelola dana bergulir dan menganalisa kelayakan usaha pemanfaat. Laporan transaksi pinjaman belum tersusun dengan baik dan rapi pada masing-masing tahap pengembalian, sehingga menyulitkan dalam menganalisa data. Formulir transaksi pinjaman yang baru (form VIII2,4 dan 6) belum disosialisasikan oleh FK, masih menunggu pelaksanaan progran tahun 3, sementara formulir lama dibanyak tempat sudah dimodifikasi oleh pengurus, sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Penggunaan formulir menjadi kendala tersendiri bagi pengurus dan FK. Bukan saja kesulitan dalam penggunaannya, tetapi pada masing-masing kecamatan mempunyai pemahaman yang berbeda-beda terhadap form yang ada.
Sama hal dengan UPK, permasalahan pelaporan di tingkat TPK, Kelompok dan anggota masih lemah. Formulir VIII-2, seluruh desa yang dikunjungi belum ada yang menggunakan.
Alasan mereka tidak menggunakannya
adalah; kesulitan dalam pengisian, sulit memahami form yang ada, form tidak efektif digunakan dll.
Umumnya TPK dan kelompok belum memiliki
administrasi dan pembukuan
yang rapi. Kecuali di Tasikmalaya dan
Mojokerto, administrasi dan pembukuan TPK dengan kelompok sudah mulai terbenahi
dengan
menggunakan
baik,
buku
masing-masing
kontrol
(angsuran
ketua
TPK
bulanan
dan
Kelompok
anggota/kelompok),
sedangkan di Solok, Polmas dan Donggala pencatatan pinjaman masih sangat sederhana.
Melihat status pinjaman (khususnya tahun pertama) yang sudah jatuh tempo selama 24-26 bulan dan tidak tertangani dengan baik di desa-desa yang
bermasalah, sudah semestinya program ini melakukan perbaikan mendasar terhadap pola penyaluran kredit mikro masyarakat miskin perdesaan PPK fase kedua. Perbaikan penting yang harus dilakukan adalah penguatan dan peningkatan kemampuan UPK mengelola dana bergulir, memperkuat kelompok penerima manfaat dengan pendampingan teknis usaha.
Karena
penelusuran pengembalian kredit secara nasional sudah tidak
efektif lagi dilakukan, disarankan masing-masing kecamatan yang memiliki kemacetan pinjaman yang besar disarankan untuk melakukan penjadualan hutang sesuai denga ketentuan yang berlaku, memberlakukan sanksi lokal di tingkat kecamatan yang didapat ditindaklanjuti. program tranparansi, berkelanjutan
Sehingga
prinsip-prinsip
dengan baik benar-benar dapat
dipelihara dan ditegakan.
7. Ringkasan a) Secara umum sudah ada peningkatan pelaksanaan program pada tahun kedua dibandingkan progran tahun pertama.
Kelemahan-kelemahan
program yang menonjol yang masih terlihat adalah ; •
Umumnya kelompok pemanfaat baru terbentuk atau baru dibentuk saat program baru dimulai.
•
Proses penggalian gagasan masih lemah, usulan banyak yang tidak sesuai dengan kebutuhan, terkesan membagi rata pinjaman.
•
Verifikasi tidak berjalan sesuai dengan harapan prgoram, pelaksanaan verifikasi
sangat
lemah,
banyak
usulan
yang
tidak
layak
direkomendasikan untuk UDKP 2, masa pinjaman dan pola angsuran tidak sesuai dengan kondisi usaha peminjam. b) Plafon pinjaman terbanyak berkisar Rp 200.000,- s/d 500.000,-/orang, jangka waktu pinjaman 12 bulan dengan angsuran per bulan. Tingkat pengembalian
pinjaman
dengan
pola
seperti
ini
cukup
lancar
dibandingkan pola masa pinjaman 18 bulan angsuran per 3, 4, 6 atau 9 bulan dan jumlah pinjaman diatas Rp 1.000.000,-/orang.
c) Tingkat suku bunga dari UPK ke LKMD/TPK sesuai dengan ketentuan program (20 % tetap PPK tahun pertama dan 20% menurun tahun kedua setiap tahunnya), sedangkan ketentuan suku bunga dari TPK ke anggota peminjam bervariasi antara 24-36% di Tasikmalaya dan Mojokerto. Namun tingkat pengembalian pinjaman di kedua daerah ini tinggi (83.1%), sedangkan di Solok, Polmas dan Dongala tingkat suku bunga yang dibayar anggota kelompok ke LKMD atau UPK masih mengikuti ketentuan program (20%), namun tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kelancaran pengembalian pinjaman. Di Solok tingkat pengembalian pinjaman rendah (31.1%) dan untuk Polmas (74.4%) dan Donggala (57.9%) pengembalian pinjaman sedang-sedang saja. d) Meskipun program tidak membenarkan adanya jaminan (koleteral) pinjaman,
umumnya
desa-desa
memberlakukan
sistem
jaminan
pinjaman berupa surat tanah, tanah, tanaman keras kepada anggota peminjan. Akan tetapi jaminan tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap kelancaran pengembalian pinjaman, karena jaminan tidak dapat ditindaklanjuti oleh UPK dan LKMD saat pinjaman sudah jatuh tempo. e) Prosedur
pinjaman
administrasi
dalam
yang
tidak
pengajuan
berbelit-belit, pinjaman,
tidak
dikenai
bermusyawarah
biaya dalam
mendapatkan pinjaman, menjadikan PPK disenangi oleh masyarakat. Hanya saja proses pengajuan pinjaman yang gampang ini belum diimbangi
dengan
kemampuan
masyarakat
dalam
menganalisa
kelayakan usaha usulan yang diajukan saat musyawarah di desa dan kecamatan, organisasi kelompok pemanfaat masih sangat lemah karena pembentukannya yang dipaksakan, kesadaran anggota juga masih rendah.
Akibatnya pinjaman sangat rentan sekali dengan resiko
kemacetan. f)
Jumlah penerima manfaat perempuan jauh lebih banyak dari laki-laki (61.2% : 38.8%), sedangkan data pemanfaat orang miskin agak sulit untuk mendapatkannya.
Dari pengamatan lapang, jumlah pemanfaat
orang miskin yang terlayani banyak ditemukan di Polmas dan Donggala, sedangkan Tasikmalaya dan Mojokerto pemanfaatan pinjaman masih
banyak diterima oleh kelompok masyarakat yang cukup mampu untuk ukuran desanya. g) Di Tasikmalaya dan Mojokerto UPK sudah mampu melayani nasabah sekitar 4000-5.000 orang selama program berjalan (PPK tahun pertama dan kedua) dengan jumlah nasabah aktif sekitar 1.500-2.000 orang. Banyaknya nasabah yang sudah terlayani disebabkan sistem perguliran pinjaman sudah berjalan dengan efektif per 2 atau 3 bulan sekali. Sedangkan di Sumbar, Polmas dan Donggala nasabah yang mampu dilayani masih di bawah 1.200 orang, karena belum melakukan perguliran (Solok) atau baru melakukan perguliran sekitar 1-3 perguliran di Polmas dan Donggala. h) Penyebab rendahnya pengembalian pinjaman disebabkan oleh beberapa faktor berikut ; •
Dari faktor pelaku PPK (KM-Kab dan FK dan UPK dan Kelompok) a). KM-Kab dan FK kurang memberikan perhatian pada program yang sudah berjalan, khususnya pengembalian pinjaman, karena terlalu terkonsentrasi dengan pelaksanaan program tahun kedua dan ketiga, disamping itu tidak semua konsultan memiliki kemampuan dan dapat memahami pengelolaan dana bergulir, administrasi pembukuan
sehingga
tidak
dapat
mendampingi
UPK
dan
kelompok dengan optimal. b). UPK tidak disiapkan dengan matang sebagai pengelola dana bergulir, UPK lebih banyak berfungsi sebagai pendistribusi uang dana program kemasyarakat. Sehingga kemampuan dasar yang harus dimiliki dalam mengelola dana bergulir, seperti administrasi dan pembukuan, serta kemampuan menganalisa kelayakan usaha peminjam tidak pernah diberikan.
Secara umum kinerja UPK
dalam hal ini masih lemah dan perlu pembinaan yang lebih intensif. c). Kelompok pemanfaat
umumnya masih baru, tidak memberikan
manfaat yang berarti terhadap anggota dan UPK. Kelompok tidak mampu mengorganisir anggota dan memberikan dampingan terhadap sektor usaha anggota yang bermasalah, begitu juga
terhadap memberikan kontribusi yang baik pada pengurus UPK dalam menanggulangi kemacetan pinjaman. •
Dari faktor pemanfaat a). Karakter masyarakat yang tidak mau membayar hutangnya dengan menyamakan PPK dengan program lain seperti IDT, KUT dan PDMDKE. b). Kegagalan usaha/panen seperti tanaman bawang di Solok, Polmas dan Mojokerto dan Donggala, ternak sapi (Solok), ikan (Tasikmalaya) dll. c). Umumnya disetiap kecamatan sudah ada sumber kredit resmi yang menyalurkan kreditnya dengan polanya sendiri-sendiri seperti; BRI (Kupedes), BNI (Takesra Kukesra) BPD (Mikro Kredit BI), BPN (kredit HBK kerjasama dengan GTZ), disamping itu juga suber kredit alternatif lain seperti BMT, Pelepas Uang (Kosipa). Kesemua sumber kredit tersebut tidak terganggu dengan adanya program PPK yang juga menyalurkan kredit ke masyarakat perdesaan karena pola dan sasaran penerima kreditnya berbeda. Kecuali
pelepas uang di perdesaan dibanyak tempat cukup
terganggu dengan adanya PPK .
III. ANALISA EKONOMI 1. Pendahuluan
Mengetahui adanya berbagai program kredit yang di laksanakan di daerah pedesaan, PPK ingin mengetahui dampak kredit PPK pada program kredit yang lain. Apakah kredit PPK berdampak positif, negatif, ataukah netral pada program kredit yang lain? Menjawab pertanyaan itu, studi ini menemukan bahwa kredit PPK tidak membuat pasok dana kredit ke desa membanjir, dan tidak pula mengakibatkan turunnya tingkat bunga kredit. Setelah beberapa tahun pelaksanaan kredit, PPK ingin tahu apakah
kredit-nya
meningkatkan
laba
usaha
(economic
returns)
peminjam ataukah tidak. Diperkirakan, bahwa bila kredit PPK dapat meningkatkan laba usaha, dan menaikkan pendapatan rumah tangga peminjam, maka kredit mereka tidak akan bermasalah (bila hal hal lain dalam keadaan tetap normal). Studi ini menemukan bahwa sebahagian peminjam tidak dapat menggunakan kredit untuk meningkatkan laba usahanya, dan menggunakannya untuk keperluan konsumsi, sehingga kreditnya menjadi bermasalah. Penyebab tingginya kredit bermasalah pada PPK berbeda beda antara provinsi yang satu dengan provinsi lainnya. Studi ini menemu kenali beberapa penyebab, tanda tanda kredit bermasalah, dan menyarankan cara mencegah dan mengatasinya. Studi ini menemukan bahwa peminjam kredit PPK relatif lebih tinggi pendapatannya dibanding dengan peminjam kredit Kukesra, tetapi lebih rendah dibanding dengan peminjam kredit Kupedes, yang diberikan oleh BRI. Walaupun jangkauan ke rumah tangga miskin mungkin akan menurun, studi ini menyarankan agar program kredit ini diteruskan. Studi ini mengetahui bahwa ada 3 alternatif format kelembagaan untuk melanjutkan kredit PPK, yaitu (a) melanjutkan kredit melalui UPK seperti sekarang, (b) bekerja sama dengan bank lokal dalam kerangka
executing, dan (c) merubah UPK menjadi BPR. Setelah menelaah kebaikan dan kelemahan masing masing format kelembagaan, studi ini menyarankan memilih format ke-b, yaitu bekerja sama dengan bank lokal. Pengalaman kredit mikro dari Bank Indonesia telah memberikan pelajaran yang baik dalam menekan jumlah kredit bermasalah.
2. Dampak Berbagai Kredit Program Walaupun ada beberapa program kredit yang dilaksanakan di provinsi provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah, tetapi pasok dana kredit tidak menjadi banjir. Program PPK juga tidak menyebabkan tingkat bunga kredit di pedesaan menjadi menurun. Disamping program kredit PPK, program kredit yang di temukan antara lain, (1) Kredit Mikro dari ADB, Bank Indonesia di laksanakan oleh BPR, (2) Kredit Modal Kerja dari bank Permodalan Masyarakat Madani dilaksanakan oleh BPR, (3) Kupedes (Kredit Usaha Pedesaan) dilaksanakan oleh BRI Unit, (4) KUT (sekarang KKP) dilaksanakan oleh LSM dan Suku Dinas Pertanian Kecamatan, (5) kredit mikro dilaksanakan oleh Bank Nagari bekerja sama dangan GTZ (off balance sheet loan), (6) kredit untuk rumah tangga pra sejahtera Kukesra/Takesra, (7) kredit untuk usaha produktif oleh UPK-PPK, dan (8) PDMDKE, P2MPD dan KUD.
Pasok dana dari proyek proyek ke pedesaan tidak juga menurunkan tingkat bunga kredit. Dari tahun 1997 hingga 2001, tingkat bunga BPR berkisar antara 2,5% sampai 3% flat per bulan (setara dengan 36% sampai 42% menurun). BRI Unit menarik bunga 20% sampai 24% flat per tahun. Pada bulan Juli 2001, tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia adalah 17%. Bank pedesaan tersebut menginformasikan bahwa bunga rata rata tahunan kredit modal kerja naik dari sejak 1997 hingga 1999. Memang ada penurunan tingkat bunga pada beberapa bulan di tahun 1999, dari 3% ke 2,5% flat per bulan. Tetapi bunga tersebut kembali seperti biasa pada akhir catur wulan. Naik turunnya tingkat bunga
tersebut bukan karena banyaknya program kredit, tetapi karena SBI yang turun atau naik. Kredit program tidak mempengaruhi harga uang di pedesaan, atau biaya yang harus dikeluarkan oleh bank dalam menarik tabungan. Cost of money di bank pedesaan, yaitu bunga tabungan dan deposito, tetap berkisar antara 12% (BRI) sampai 17% (BPR) per tahun semenjak 3 tahun yang lalu.
Bank bank lokal juga menginformasikan, bahwa banyaknya kredit program tidak membuat pasok uang ke pedesaan membanjir. Bank lokal dan proyek proyek tidak kesulitan mencari peminjam karena masing masing bank dan proyek mempunyai peminjam yang berbeda beda. Matrix dibawah menggambarkan perbedaan antara peminjam kredit bank dan peminjam program PPK. Tabel 1. Perbedaan peminjam antara program kredit lain dengan kredit PPK NO. 1
JENIS PEMINJAM
2
Yang mau menerima plafon kredit Jenis usaha
3
Skala usaha
4
PPK-UPK
KUPEDES BRI
KUT (KKP)
Perikanan, peternakan kambing, petani sayur, perdagangan, kerajinan Usaha mikro (skala mikro)
Rp. 2,000,000.00 to Rp. 5,000,000.00 Perdagangan, kerajinan, peternakan, jasa Usaha mikro berskala sedikit lebih besar
20% to 24% tetap
36% tetap
5
Bunga (pada si peminjam) Pencairan
Rp. 4 to Rp. 50,000,000.00 Perdagangan, kerajinan, perkebunan Usaha kecil (skala lebih besar) 24% tetap
Setiap 2 bulan sekali
Setiap waktu
Setiap waktu
6
Agunan (Jaminan)
Tidak perlu
7
Jatuh tempo (Masa kredit) Angsuran
12 s/d 18 bulan
Diperlukan (milik salah satu anggota kelompok bisa diterima) 12 minggu hingga 12 bulan Mingguan, bulanan
Sertifikat tanah, Pra-sertifikat, formulir C 12 bulan
Semua rumah tangga miskin yang tinggal di suatu desa Tidak lewat lembaga perbankan UPK
Kelompok, atau perseorangan, harus mengajukan permohonan 33% miskin, 66% hampir miskin, 33% wanita BPR
Perseorangan, harus mengajukan permohonan Pelanggan BRI
Petani padi sawah
BRI
BRI penyalur
LSM
Tidak ada
KUD
Bank Dunia, grant ke daerah
Asian Development Bank loan
BRI
Pemerintah
8 9
Prosedur permintaan kredit
10
Sasaran pemanfaat
11
Bank pelaksana atau bank penyalur Lembaga lain yang terlibat Sumber dana
12 13
<=Rp.1,500,000.00
KREDIT MIKRO
‘Bulanan, 2 kali setahun, setelah panen Lewat kelompok, lewat musyawarah desa & kecamatan
Bulanan
Rp. 2,500,000.00 per Hectare Khusus petani padi sawah Petani padi sawah yang agak besar (diatas 1 Ha) 10.5% flat to 12% flat. Setiap musim tanam (1X setahun) KUT-tak perlu jaminan, KKPperlu jaminan 12 bulan Sekali setelah panen Kelompok petani padi sawah
3. Penggunaan Pinjaman dan Dampak Peningkatan Laba Usaha Persentase kredit bermasalah di Sumatera Barat lebih tinggi dibanding dengan di provinsi Jawa Barat. Konsultan Auditor yang menjadi anggota team ini melaporkan bahwa, sampai Juli 2001, kredit bermasalah di Jawa Barat mencapai 15%, dan di Sumatera Barat mencapai 41%. Jika di rata rata (menurut rata rata hitung), angka kredit bermasalah mencapai 28%. Angka persentase ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Kredit Mikro (0%), P4K (1%), dan Kupedes (1%). Persentase kredit macet untuk KUT jauh lebih tinggi, yaitu 60% sampai 70%.
Persentase kredit macet turun dari tahun ke-I ke tahun ke-II. Pada tahun ke-I, persentase kredit macet dari UPK di Kecamatan Salawu tinggi, yaitu 21% dari Rp. 403.672.500.--, meliputi 1.069 laki laki, dan 451 perempuan peminjam (1.520 orang). Pada tahun ke-II, UPK Salawu memberikan pinjaman kepada 955 laki laki dan 675 perempuan (1.630 orang) mencakup sejumlah Rp. 423.000.000,--, dan kredit macet turun ke angka 0 (nol). Turunnya kredit macet ke angka nol karena pada tahun ke-II staf UPK menerapkan 3 jalan pendekatan. Pertama, mereka mendidik peminjam secara intensif, bahwa tidak melunasi utang adalah tidak adil secara moral kepada calon peminjam lain yang menunggu giliran. Kedua, para peminjam diberi tahu agar tidak menganggap bahwa kredit ini sebagai hibah dan harus dilunasi tepat waktu. Ketiga, UPK tidak akan memberikan kredit kepada desa yang belum melunasi kreditnya tepat waktu. Ke-empat, UPK menerapkan sistim “desa pendamping”; desa sebelah yang telah melunasi kreditnya membantu
desa
sebelahnya
yang
bermasalah
dengan
peminjam.
Wawancara kepada petani ikan yang meminjam dari proyek dan gagal melunasi utangnya menunjukkan bahwa kegagalannya mengembalikan pinjaman karena usaha yang gagal, karena terlalu banyak hujan sehingga kolamnya banjir. Peminjam lain yang melunasi kreditnya dengan baik memberikan kesan bahwa usaha mereka rentan pada kegagalan. Bila ada perubahan keadaan pasar sedikit saja usaha mereka dapat merugi, misalnya
pedagang penyalur kerajinan tidak berhasil meraih penjualan yang ditargetkan.
BKPD (BPR di Jawa Barat) menginformasikan bahwa kredit macet bagi proyek kredit mikro adalah 0% karena mereka menggunakan sistim kredit dengan jaminan. Karena BKPD mendapat kredit untuk membeli sepeda motor, maka BPR dapat mengirim account officer ke peminjam secara aktif. Semua peminjam mengangsur sampai lunas. Kredit macet untuk Kupedes dari BRI cukup rendah, yaitu 1,3% dari Rp. 1,8 milyar, karena BRI meminta jaminan yang secara hukum mengikat, dan secara aktif mengunjungi peminjam pada saat menjelang tanggal pengangsuran. BRI dan BKPD aktif menagih piutang karena kegagalan menagih mempengaruhi nama baik account officer dan kemajuan kariernya, dan hal ini merupakan sanksi bagi account officer. Tidak seperti staf UPK yang menganggap pekerjaannya di UPK sebagai pekerjaan yang sementara, sebahagian besar staf bank lokal menganggap
pekerjaannya
sebagai
kedudukan
berjangka
panjang
(kedudukan sampai pensiun). Matrix dibawah ini menggambarkan penyebab, tanda tanda, tindakan preventif, dan tindakan korektif untuk mengatasi kredit bermasalah.
Tabel 2. Penyebab, tanda tanda, tindakan preventif dan korektif pada kredit bermasalah PPK NO .
PENYEBAB KEGAGALAN PELUNASAN
TANDA TANDA (SYMPTOMS)
TINDAKAN PREVENTIF DAN KOREKTIF
Punya sisa kas yang cukup tetapi tidak mengangsur, memberikan informasi harga pasar yang tidak tepat, informasi penyakit tanaman, jumlah konsumsi yang yang tinggi Punya kas normal tetapi toh tidak mengangsur, berjanji (palsu) akan melunasi bila orang lain juga melunasi
Tegakkan sanksi, adukasi, penagihan aktif, persuasi moral
Perkiraan prospek usah terlalu tinggi, analisa kurang teliti, tidak ada analisa sensitivitas
Lakukan evaluasi secara ketat, terapkan sistim prudent banking dalam musyawarah desa Kredit diberikan bila ada diversifikasi usaha, yang menghasilkan tambahan pendapatan Asuransi
1
Karakter (perubahan karakter)
2
3
Pinjaman dianggap sebagai hibah, meniru anggota kelompok yang tidak mengangsur, meniru kelompok lain yang tidak melunasi (meniru) Kegagalan usaha
4
Usaha mandeg
Hasil penjualan tidak naik, tanah pertanian telah berkapasitas penuh, pekerja telah bekerja lebih dari 10 jam, laba tidak naik
5
Kecelakaan, kematian, sakit Iklim dan bencana alam
Sakit, meninggal dunia, atau kecelakaan
6
Edukasi, penagiha aktif, terapkan sanksi secara tegas
Kegagalan panen, ternak mati, ikan hilang
Asuransi
4. Apakah PPK Perlu Melanjutkan Program Kredit Atau Menghentikannya
PPK dianjurkan tetap meneruskan program kredit tetapi secara selektif. Type peminjam yang mana yang harus di ikutkan dan mana yang harus di sisihkan?
Program
kredit
hendaknya
memberikan
pinjaman
kepada
peminjam yang (a) dapat menggunakan kredit untuk meningkatkan laba
usaha (economic returns) dan pendapatan rumah tangga, (b) dapat menggunakan kredit untuk membuat usahanya bertahan (hidup) walaupun tidak meningkatkan pendapatan rumah tangga. Program kredit sebaiknya tidak memberikan kredit kepada peminjam yang tidak bisa meningkatkan laba usaha, dan atau tidak bisa menaikkan pendapatan rumah tangganya.
Apakah di PPK ada peminjam yang tidak bisa menggunakan kredit untuk meningkatkan
laba
usaha
atau
meningkatkan
pendapatan
rumah
tangganya? Ya, memang ada. Kunjungan ke Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa sebahagian besar peminjam kredit PPK adalah type yang seperti ini (+50%). Kurang lebih 30% peminjam kredit PPK adalah peminjam yang dapat menggunakan kreditnya untuk menaikkan laba usaha, dan 20% adalah mereka yang dapat membuat usahanya tetap bertahan hidup (tidak jadi merosot) walaupun tidak dapat meningkatkan pendapatan rumah tangganya.
Secara teoretis, PPK dapat melanjutkan program kreditnya bila kredit tersebut (a) meningkatkan laba usaha, meningkatkan pendapatan rumah tangga, dan meningkatkan kesejahteraan sosial rumah tangga peminjam, (b) tidak meningkatkan laba usaha, tidak meningkatkan pendapatan rumah tangga, tetapi meningkatkan kesejahteraan sosial, atau (c) membantu usaha peminjam bertahan hidup walaupun kredit tidak berdampak meningkatkan pendapatan dan tidak meningkatkan kesejahteraan sosial rumah tangga. Wawancara dengan staf proyek, staf pemerintah daerah, dan peminjam di Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Jawa Timur memberikan kesan bahwa: a. Jumlah peminjam terbanyak adalah yang tidak meningkat laba usahanya, tidak meningkat pendapatan rumah tangganya, tetapi meningkat kesejahteraan sosialnya (+50%) b. Jumlah peminjam nomor 2 terbanyak adalah peminjam yang dapat menggunakan kredit untuk meningkatkan laba usahanya, pendapatan rumah tangganya, dan kesejahteraan sosialnya. (+30%) c. Jumlah peminjam terkecil adalah peminjam yang dapat menggunakan kreditnya untuk membuat usahanya tidak jadi merosot (tetap bertahan
hidup) tetapi tidak meningkatkan pendapatan rumah tangga dan kesejahteraan sosialnya.
Menurut Badan Pusat Statistik, tingkat kesejahteraan sosial warga ditunjukkan oleh 3 unsur, yaitu: (a) keadaan perumahan (seperti mutu dan ukuran rumahnya), (b) tingkat kesehatan anggota rumah tangganya, dan (c) tingkat pendidikan yang diraih oleh anggota rumah tangga. Rumah tangga yang tinggal di rumah yang lebih tinggi mutunya dianggap lebih sejahtera dibanding dengan rumah tangga yang tinggal di rumah yang bermutu lebih rendah. Mengapa kredit PPK tidak dapat meningkatkan laba usaha dan pendapatan rumah tangga?
Kredit PPK tidak dapat meningkatkan laba usaha dan pendapatan rumah tangga peminjam karena usaha peminjam sebenarnya telah mencapai equillibrium kapasitas penuh. Usaha mikro ini tidak dapat diperbesar karena (1) potensi pasar telah diraih penuh dan permintaan di daerah terbatas, (2) tanah pertanian dan alat produksi telah bekerja penuh, dan (3) tenaga kerja telah bekerja rutin sekitar 10 jam per hari. Banyak kasus yang ditemui dan menggambarkan bahwa kredit PPK tidak dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga peminjam.
a) Kasus Yang Menggambarkan Bahwa Kredit Membuat Usaha Dapat Bertahan Hidup
Pada bulan Juni 2001, kami mengunjungi Ibu Amirisia, di dusun Surian, Pantai Cermin, Solok, Sumatera Barat, 160 km dari Padang, ibukota provinsi Sumatera Barat. Ibu Amirisia berumur 55 tahun, seorang janda yang anak anaknya telah berumah tangga sendiri dan merantau, hidup dengan adik perempuannya di rumah yang diwarisinya. Ia membuka warung ketupat sayur di rumah bagian depan, dekat pasar kecamatan Pantai Cermin. Sebelum memperoleh kredit Rp. 1.250.000,-- dari PPK,
hasil penjualan ketupat sayur per hari sebesar Rp. 25.000,-- untuk bukan hari pasaran. Untuk setiap hari pasaran, yaitu hari Selasa, hasil penjualanya Rp. 50.000,--. Ia menggunakan kredit PPK untuk merenovasi warungnya, agar tampak kembali menarik. Walaupun warungnya telah di perbaiki, hasil penjualan ketupat sayur setiap hari tetap Rp. 25.000,00 (untuk bukan hari pasaran), ditambah Rp. 50.000,-- untuk setiap hari pasar (setiap Selasa). Ia bekerja 30 hari per bulan (rata rata), 10 atau 11 jam per hari, yang berarti tidak pernah ada hari libur. Walaupun telah mendapat kredit PPK, rata rata hasil penjualannya per bulan sekitar Rp. 850.000,--, karena di kecamatan yang kecil itu penduduknya tidak banyak dan penjual bersaing memperebutkan jumlah pembeli yang terbatas. Jumlah harga pokok usaha Ibu Amirisia juga tidak meningkat walaupun telah memperoleh kredit PPK, yaitu tetap Rp. 510.000,-- per bulan rata rata. Walaupun memperoleh kredit, laba usahanya tidak naik, yaitu tetap Rp. 340.000,-- rata rata per bulan. Kredit PPK tidak meningkatkan pendapatan rumah tangganya, karena seluruh potensi pemasarannya telah direalisir. Maka dari itu, penjualan per harinya tidak bisa dinaikkan. Karena rumah tangganya memerlukan Rp. 400.000,-- per bulan untuk konsumsi, dan warungnya hanya memberikan Rp. 340.000,--, maka Ibu Amirisia juga bertanam kayu manis di kebun pekarangannya (750 M2). Kebun kayu manis ini rata rata dapat memberikan Rp. 100.000,-- per bulan. Menurut Badan Pusat Statistik rumah tangga yang berpenghasilan 320.000,-- termasuk golongan rumah tangga miskin. Dengan pendapatan Rp. 440.000,-- per bulan, dan hidup berdua saja dengan adik perempuannya, Ibu Amirisia tidak tergolong miskin, tetapi hampir miskin. Walaupun Ibu Amirisia tergolong hampir miskin, ia melunasi pinjaman PPK-nya tepat waktu, karena ia sebenarnya ingin mendapatkan kredit berikutnya. Namun ia tidak dapat memperoleh kredit berikut, karena di kampungnya, baru 16% dari kredit PPK yang telah dilunasi, sehingga kena sanksi untuk tidak menerima pengguliran berikutnya.
Kasus Ibu Amirisia menggambarkan bahwa kredit PPK dipergunakan untuk membuat usahanya bertahan hidup. Kalau saja ia tidak meminjam
dari PPK maka usahanya akan merosot. Pendapatan rumah tangganya tidak meningkat setelah ia memperoleh kredit.
b) Kasus Kredit Ppk Tidak Meningkatkan Laba Usaha, Karena Tanah Pertaniannya Telah Berkapasitas Penuh
Bulan Juni 2001, kami mengunjungi Pak Milsat (bukan nama sebenarnya) yang tinggal di dusun Rawang Gadang, Sudi Surah, kecamatan Danau Kembar, Solok, Sumatera Barat, kurang lebih 150 km dari Padang, ibukota provinsi. Ia tinggal di dataran tinggi yang sejuk (1200 m diatas permukaan laut). Pekerjaan pokoknya semula adalah bertani sayur. Ia mempunyai lahan 800 M2 diatas bukit, 3 km dari rumahnya. Pada 500 M2 lahan ia bertanam kentang, dan pada 300 M2 dia bertanam kol. Ia panen setiap 4 bulan, dan rata rata laba usaha dari pertanian sayur sekitar Rp. 160.000,-- per bulan, seperti tertera pada perhitungan rugi laba berikut. Tabel 3. Perkiraan rugi laba usaha pertanian pak milsat kol dan kentang pada lahan 800 m2 pada keadaan harga pasar dan iklim normal analisa linier tanpa analisa sensitivitas KETERANGAN HASIL PENJUALAN Kol Kentang Jumlah hasil penjualan 4 bulan HARGA POKOK 4 BULAN Kol Kentang Total harga pokok 4 bulan Laba usaha 4 bulan Rata rata laba per tahun Rata rata laba per bulan
PENJELASAN
SUB JUMLAH (Rp)
500 kgs X Rp. 600.00 450 kgs X Rp.1,700.00
Bibit, pupuk, anti hama Bibit, pupuk, anti hama
JUMLAH (Rp)
300,000.00 765,000.00 1,065,000.00
174,375.00 247,500.00 421,875.00
643,125.00 1,929,375.00 160,781.25
Sumber: 1. Wawancara dengan petani dan ketua kelompok, 2. Wawancara dengan pedagang dan staf dinas pertanian kecamatan
Angka angka tersebut diperoleh dari wawancara terhadap beberapa responden, yaitu petani itu sendiri, pedagang, staf pertanian di kecamatan,
dan
petani
sejenis
yang
lain.
Pertelaan
rugi-laba
menunjukkan bahwa, karena si petani telah mengusahakan 800 m2 lahan dalam kapasitas penuh untuk bertanam kentang dan kol dengan menerapkan sistim pertanian intensif ( bibit yang baik, pupuk, obat anti hama), maka petani tidak bisa meningkatkan produktivitasnya lagi walaupun diberi kredit modal kerja. Mengingat bahwa harga harga pasar kentang, kol, pupuk, dan bibit relatif normal pada saat petani tanam dan panen dan menerima kredit, (menurut keterangan pedagang), maka tidak naiknya
laba
usaha
petani
karena
ia
tidak
bisa
menaikkan
produktivitasnya (telah full capacity). (Kalau saja ada perkembangan teknologi baru, Pak Milsat dapat saja menaikkan produkivitasnya). Pak Milsat mengatakan bahwa pertaniannya justru merugi pada saat ia menerima kredit dari PPK, karena harga pasar menurun drastis dan panen gagal karena cuaca yang buruk. Tetapi menurut pedagang, harga harga pasar relatif normal, dan bila para petani gagal panen, umumnya harga
pasar
justru
menginformasikan
menaik,
bahwa
bukan
keadaan
menurun.
cuaca
Staf
pada
saat
kecamatan itu
tidak
menunjukkan gejala yang buruk. Menurut kedua responden tersebut angka angka dalam rugi-laba tersebut adalah realistis.
Bila angka angka rugi-laba dapat dianggap realistis, maka sebenarnya Pak Milsat hanya membutuhkan Rp. 421.875,-- atau Rp. 500.000,-- kredit modal kerja dari PPK, untuk membeli bibit, pupuk, dan pestisida untuk pertanian
sayurnya.
Pada
saat
musyawarah
desa,
kata
ketua
kelompoknya, Pak Milsat mendesak agar diberi kredit Rp. 2.500.000,--, dan PPK tidak bisa menolaknya. Sebenarnya jumlah kredit itu terlalu besar bagi pendapatan Pak Milsat yang kecil; ia harus menyisihkan pendapatannya Rp. 140.000,-- per bulan (ia dapat 18 bulan kredit dari PPK) dari pendapatannya yang mencapai Rp. 160.000,--. Keluarga Pak Milsat tentu memerlukan uang itu untuk keperluan konsumsi rumah tangga. Kenyataannya Pak Milsat belum pernah mengangsur sekalipun
kreditnya, sampai batas waktu pelunasan. Seharusnya kredit Pak Milsat lunas pada bulan April 2001, tetapi pada bulan Juni 2001, Pak Milsat belum pernah mengangsur sekalipun. Tidak hanya kredit PPK yang belum dilunasi oleh Pak Milsat, tetapi juga kredit KUT (KUT khas sayur). Ia menerima kredit KUT dan seharusnya lunas pada Juni 1999. Alasan tidak dilunasinya KUT juga sama dengan kredit PPK, yaitu karena cuaca buruk dan jatuhnya harga pasar. Jadi Pak Milsat mengalami dua kali cuaca buruk dan jatuhnya harga pasar. Pertama pada saat menerima KUT, dan kedua pada saat menerima kredit PPK.
Kasus Pak Milsat menggambarkan bahwa (a) kredit PPK tidak meningkatkan laba usaha pertanian kentang dan kol karena lahan telah mencapai kapasitas produksi penuh, dan (b) plafon kredit terlalu besar bagi pendapatan peminjam untuk mengangsur. Maka dari itu, peminjam ini telah gagal melunasi utangnya. Melihat bahwa rumah Pak Milsat tidak terlalu baik, ketua kelompok menduga bahwa dana kredit Pak Milsat telah ditanamkan di Jakarta, karena dia (saat ini) juga menjadi pengemudi truck ke Jakarta. Kami juga menemukan kasus lain seperti Pak Milsat, misalnya di Kampung Dalem, di pinggir danau bawah, Sumatera Barat, di Sukawangun, Karang Nunggal, Tasikmalaya, Jawa Barat.
c) Kasus Yang Menggambarkan Peningkatan Laba Usaha, Pendapatan Rumah Tangga, Dan Kesejahteraan Sosial Peminjam
Team mengunjungi seorang wanita yang meminjam dari PPK di desa Cukang Kawung, Sodong Hilir, Tasikmalaya, Jawa Barat, 300 km dari Bandung, ibukota provinsi Jawa Barat. Kami juga mewawancarai seorang pedagang kulit manis (menengah menurut ukuran kecamatan). Kedua responden tersebut, yang meminjam kredit dari PPK, tinggal di daerah pegunungan yang sejuk (Jawa Barat dan Sumatera Barat), di tanah yang subur dan banyak air permukaan tanah, meminjam dari PPK dan berhasil meningkatkan laba usaha serta pendapatan rumah tangganya. Wanita yang di Jawa Barat, bernama Ibu Kokom, meminjam dua kali dari UPK-PPK (proyek), karena ia melunasi hutangnya selalu tepat waktu, bahkan sebahagian angsurannya diserahkan sebelum tanggal jatuh
tempo. Pertama ia meminjam Rp. 130.000,-- dari UPK (merupakan 1/5 dari Rp. 600.000,-- pinjaman kelompok yang terdiri dari 5 anggota). Kedua, ia meminjam dari UPK dalam jumlah yang meningkat, yaitu Rp. 1.000.000,-- untuk dirinya sendiri. Ia membuka toko kelontong di ruang depan rumahnya yang baru dibangun dua tahun yang lalu. Disamping menjual barang keperluan sehari hari di tokonya kepada pembeli secara tunai, ia juga menjual perabot rumah tangga, dan alat elektronik secara kredit kepada masyarakat. Sebelum ia menerima kredit dari UPK, hasil penjualan tunai tokonya sekitar Rp. 400.000,-- per hari (Rp. 12.000.000,-per bulan). Setelah menerima kredit UPK hasil penjualan per hari tetap Rp. 400.000,-- karena memang di pinggir desa kecamatan itu permintaan terbatas. Tetapi hasil penjualan barang elektronik dan perabotan rumah tangga meningkat, dari Rp. 15.000.000,-- sebelum ia menerima kredit, menjadi Rp. 17.000.000,-- (rata rata per bulan) setelah ia menerima kredit dari UPK. Laba usahanya naik dari rata rata Rp. 1.250.000,-- per bulan menjadi Rp. 1.500.000,-- per bulan. Kredit UPK telah meningkatkan laba usahanya
sekitar
Rp.
250.000,--
per
bulan.
Usaha
ibu
ini
menyumbangkan Rp. 1.500.000,-- per bulan terhadap pendapatan rumah tangga. Suaminya bekerja di pabrik teh dekat rumahnya sebagai kepala bagian dengan penghasilan Rp. 1.000.000,-- per bulan. Jumlah pendapatan rumah tangga Ibu Kokom rata rata Rp. 2.500.000,-- per bulan. Dengan penghasilan rumah tangga sebesar itu, cukup mudah bagi rumah tangga Ibu Kokom untuk mengangsur hutang sebesar Rp. 102.000,-- per bulan, karena angsuran ini hanya 4% dari pendapatan rumah tangganya. Keluarga ini tinggal di rumah yang baru (umur bangunan baru 2 tahun), 2 tingkat, kurang lebih 120 M2 untuk satu tingkat, berlantai keramik, dinding bata-semen, dan lokasinya strategis untuk berdagang. Semua anggota rumah tangga ini tampak sehat sehat. Keluarga ini menghabiskan Rp. 1.000.000,-- per bulan untuk konsumsi rumah tangga. Ibu Kokom punya tabungan di BRI Rp. 9.000.000,-sebelum ia memperoleh kredit UPK, dan menarik Rp. 7.000.000,-sewaktu ia membangun rumahnya. Ia juga peminjam kredit Kupedes dari
BRI dan dapat melunasi hutangnya tepat waktu, karena ia menyerahkan sertifikat rumahnya dan sertifikat depositonya sebagai jaminan.
Kasus yang mirip dengan peminjam di Tasikmalaya ini adalah kasus di Sumatera Barat. Rumah tangga pedagang menengah di Sumatera Barat ini berpendapatan rata rata Rp. 6.000.000,-- per bulan. Ia meminta pinjaman dari UPK Rp. 10.000.000,-- tetapi UPK hanya memberikan Rp. 1.000.000,-- (10% dari yang diminta). Ia juga melunasi hutangnya dengan baik.
Kedua kasus tersebut menggambarkan bahwa sebahagian dari peminjam UPK-PPK adalah peminjam yang (1) dapat meningkatkan laba usahanya (economic
returns),
(2)
dapat
meningkatkan
pendapatan
rumah
tangganya, (3) tergolong pada kelompok yang lebih berada di desa/kecamatan tersebut, (4) melunasi hutangnya dengan baik dan tepat waktu, dan (5) dapat meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Kedua rumah tangga dalam kasus ini, menurut kategori Badan Pusat Statistik, tidak tergolong rumah tangga miskin, dan dapat melanjutkan usahanya tanpa harus memperoleh kredit dari UPK (walaupun laba usahanya akan tidak meningkat). LKMD dan UDKP memilih mereka untuk diberi pinjaman karena kemungkinan besar mereka ini akan melunasi hutangnya dengan baik.
d) Pelajaran yang ditarik dari ketiga kasus ini
Dari ke-3 kasus diatas dapat ditarik pelajaran bahwa tingkat kenaikan laba usaha dan kenaikan pendapatan rumah tangga peminjam kredit UPK merupakan salah satu faktor penentu mutu kredit. Kita menemukan bahwa persentase kredit macet di UPK yang mencapai 20% atau lebih adalah jauh lebih tinggi dari pada Kupedes (1%), Microcredit (0%), dan P4K (1%). Tingginya kredit macet pada PPK disebabkan oleh berbagai faktor. Dan salah satu faktornya adalah tiadanya dampak kredit PPK pada kenaikan laba usaha dan pendapatan rumah tangga peminjam.
Dilihat dari dampak ekonomi kredit PPK pada usaha peminjam ditemukan bahwa ada 3 type peminjam, yaitu: a. Peminjam peminjam UPK yang tidak dapat menggunakan kreditnya untuk meningkatkan laba usaha karena usaha mereka telah mencapai kapasitas penuh. Karena pasar tidak bisa lagi diperluas, tanah dan alat produksi telah dipergunakan secara penuh, atau orang orangnya telah bekerja penuh waktu bahkan lebih, peminjam tidak bisa lagi memperbesar usahanya. Sebahagian besar dari peminjam type ini gagal melunasi kreditnya, dan menggunakan kreditnya untuk keperluan konsumsi. Kami mengunjungi banyak kasus seperti ini dan memperkirakan bahwa jumlah peminjam PPK yang demikian adalah yang terbanyak. b. Peminjam
peminjam
yang
bisa
mempergunakan
kredit
untuk
meningkatkan laba usahanya dengan cara (i) memperbesar usaha karena mereka menemukan tambahan pesanan dari pasar, atau (ii) diversifikasi usaha. Peminjam peminjam seperti ini juga berhasil meningkatkan pendapatan rumah tangganya. Kami mangamati bahwa sebagian peminjam type ini yang kami kunjungi tergolong lebih tinggi pendapatannya (di desa masing masing), dan mempunyai usaha yang stabil serta diatas skala usaha rata rata di desa. c. Peminjam yang menggunakan kredit untuk usaha tetapi tidak bisa meningkatkan laba usaha dan pendapatan rumah tangganya, hanya saja kredit dapat mempertahankan kehidupan usahanya (untuk memulihkan laba usaha yang mungkin merosot). Kami mengamati bahwa kebanyakan peminjam type ini relatif rendah pendapatan rumah tangganya, tetapi mereka melunasi hutangnya dengan baik. Jumlah peminjam type ini relatif kecil dibanding yang lain, dan sebahagian besar adalah wanita (perempuan).
Atas dasar tipologi peminjam tersebut, kami menyarankan bahwa: a. PPK melanjutkan program kredit ekonomi kepada peminjam secara selektif, yaitu peminjam yang dapat menggunakan kredit untuk meningkatkan laba usaha dan pendapatan rumah tangganya. Staf
UPK, FK, FD, dan LKMD saat ini tidak dibekali keterampilan yang cukup untuk menilai prospek usaha calon peminjam, dan juga disain proyek kredit PPK tidak memberikan insentif bagi yang berhasil dan hukuman bagi ketidak berhasilan kredit. Staf tersebut tidak ikut menanggung resiko kredit macet sama sekali. b. PPK seyogyanya melatih staf UPK, FD, FK, adan LKMD agar mereka mempunyai keterampilan dalam menilai prospek usaha para pemohon kredit, untuk mencegah timbulnya kredit yang bermasalah. Staf ini harus belajar ikut mengambil resiko kredit, dan bisa meminimalisir kemungkinan kredit bermasalah. PPK seyogyanya memberikan edukasi staf UPK agar mereka sadar bahwa kelanjutan pekerjaan mereka sebagian tergantung dari kelanjutan dana bergulir. c. Disain proyek kredit di masa depan hendaknya mengikut sertakan peran masyarakat dalam mengawasi pengembalian kredit. Pada saat ini, peran serta proyek dalam mendorong peminjam untuk melunasi hutangnya masih rendah. Masyarakat masih kurang perhatian terhadap kredit macet. d. Adalah perlu untuk mendefinisikan ulang istilah “peran serta masyarakat” dalam PPK. Peran serta hendaknya tidak saja di artikan sebagai peran serta resmi dalam musyawarah desa, tetapi peran serta juga harus mengandung peran serta nyata dari masyarakat. PPK (proyek) seharusnya mendasarkan keputusan memberi kredit pada “kebutuhan kredit yang sebenarnya”, bukan saja pada kebutuhan kredit “yang diucapkan” peminjam. Kredit hendaknya tidak saja merupakan simpati kapada masyarakat, tetapi juga merupakan emphati pada masyarakat. Bila usaha dan rumah tangga calon peminjam tidak benar benar memerlukan kredit (seperti di tunjukkan oleh keadaan cash flow rumah tangganya, maka proyek seyogyanya tidak memberikan kredit kepadanya.
5. Alternatif Bekerja Sama Dengan Bank Lokal
Apakah menguntungkan bagi PPK bila bekerja sama dengan bank setempat, seperti BPR atau BRI-Unit dalam melaksanakan program kreditnya? Kita dapat memilih satu dari 3 alternatif pola kerjasama antara proyek dengan bank setempat. Masing masing alternatif mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Ke-tiga alternatif tersebut adalah, (1) UPK membuka rekening di BPR atau BRI-Unit (2) BRI atau BPR bertindak sebagai penyalur kredit UPK, atau (3) BRI dan BPR sebagai pelaksana kredit. Disamping BRI ada kemungkinan juga bekerja sama dengan Bank Pembangunan Daerah. Kebaikan dan kekurangan masing masing alternatif adalah sebagai matrix berikut:
Tabel 4. Keuntungan dan kerugian alternatif pola kerjasama dengan bank lokal No.
KEUNTUNGAN DAN
EXECUTING
CHANNELING
PENGENDAPAN
KERUGIAN 1
2
Type kontrak peminjaman
Subsidiary loan agreement
Subsidiary loan
PPK-UPK membuka
dengan Bank Dunia
dengan bank (BI atau BRI)
agreement dengan bank
rekening tabungan di
(BI atau BRI)
bank lokal
Kemungkinan proyek
Medium, karena bank
Medium, karena proyek
Rendah, karena bank
memperoleh bunga dari
pelaksana ingin memperoleh
akan menanda tangani
memberikan bunga
kerjasama ini
sumber dana yang
persetujuan untuk
tabungan, giro sesuai
memungkinkan mereka untuk
menetapkan bunga
dengan peraturan,
meminjamkan pada spread
kepada peminjam (yang
bebas dari pengaruh
yang menarik
mungkin dibawah pasar)
kebijaksanaan proyek
Tingkat bunga yang ditarik dari
Tertinggi, karena bank tidak
Medium, karena proyek
Terendah, karena
peminjam
tergantung lagi kepada proyek
dapat menegosiasi agar
musyawarah desa
dalam menentukan tingkat
bank pelaksana menjual
menentukan tingkat
bunga
pada tingkat bunga
bunga yang di tarik.
PPK 3
yang lain dari tingkat bunga pasar. 4
Siapa yang menanggung kredit
Bank lokal yang executing
Proyek PPK
Proyek PPK
Oleh proyek sendiri
macet 5
Pemilihan peminjam (evaluasi
Oleh Bank pelaksana sendiri
Oleh proyek dan bank
calon peminjam)
(bebas dari pengaruh proyek)
bersama (berat ke
Keberlanjutan
Tertinggi, karena bank
Medium, karena nilai
Terbatas, karena masa
pelaksana juga mengumpulkan
dana diredusir oleh
proyek membatasi
tabungan dan dana digulirkan
inflasi, dan dibatasi oleh
hidupnya operasi kredit.
terus menerus.
masa proyek
Masa depan proyek
proyek) 6
tergantung pada keputusan proyek. 7
Jangkauan pada peminjam
Terendah, karena bank tidak
Medium karena proyek
Tertinggi, karena proyek
miskin
tergantung pada proyek dalam
masih punya sedikit
bebas menentukan type
mengevaluasi calon peminjam
pengaruh pada type
peminjam
peminjam yang dipilih (tingkat kemiskinan, gender, dll.) 8
Keselamatan dana proyek
Tertinggi bila di BI atau BRI
Tinggi, bila BRI
Tinggi bila BRI
Menurut pendapat semua bank lokal yang dikunjungi, yaitu BRI-Unit, BPR, BKPD, PD BPR BANK PASAR, BPR KURK, dan BANK NAGARI, kredit PPK berisiko sangat tinggi. Hal ini karena (1) pemilihan peminjam dikerjakan dalam musyawarah desa yang tidak menanggung resiko kerugian kredit macet dan tidak mempunyai keterampilan menilai usaha calon peminjam dengan baik, (2) jumlah peminjam amat banyak, (3) biaya monitoring mutu kredit amat tinggi, dan (4) tidak ada jaminan yang
secara hukum dapat dieksekusi. Semua bank mengatakan bahwa mereka tidak tertarik untuk bekerja sama dengan UPK dalam bentuk executing ataupun channeling kredit, tetapi mereka tertarik dalam menerima pengendapan uang UPK (deposito, tabungan, atau rekening giro) di bank mereka dan UPK dapat menarik uang setiap waktu. Penyertaan pejabat bank untuk ikut memferifikasi permohonan kredit tidak banyak membantu peningkatan mutu kredit karena para verifikator tersebut tidak berperan serta dalam menanggung resiko kredit macet.
6. Masa Depan UPK Seorang peminjam dari desa Leuwi Dulang, Sodong Hilir, Tasikmalaya di Jawa Barat mengharapkan agar dana kredit UPK tetap dapat bergulir di desanya sampai kiamat. Tetapi, mengingat pengalaman Kukesra, PDMDKE, dan KUT, harapan semacam itu ternyata tidak realistis. Nilai nominal kredit Kukesra, misalnya, merosot di desa lain, karena inflasi telah memakan sebahagian besar nilai nominalnya. Di Kampung Dalem, dekat Danau Bawah, Sumatera Barat, peminjam Kukesra yang pertama dapat membeli seekor sapi dengan nominal pinjaman Rp. 600.000,--. Pada bulan Juni 2001, harga sapi bibit sudah mencapai Rp. 2.000.000,--, tetapi nominal pinjaman bergulir tetap Rp. 600.000,--. Pada tahun 1990 kelompok menggulirkan kredit 60 ekor sapi, pada bulan Juni 2001 sapi bergulir tinggal cukup untuk 8 ekor. Hal ini disebabkan karena Kukesra tidak menumpuk modal melalui tabungan. Pinjaman bergulir sapi memang membantu masyarakat, tetapi karena tidak bisa memupuk modal, maka kelanjutannya sering merosot nilainya.
Ditinjau dari format kelembagaan, PPK mempunyai 3 kesempatan untuk melanjutkan program kredit pasca proyek, yaitu: 1. Melanjutkan pemberian pinjaman dalam format kelembagaan UPK 2. Bekerja sama dengan BRI Unit atau BPR (Bank Indonesia) 3. Mengubah UPK menjadi BPR di kecamatan.
Masing masing pilihan format kelembagaan mempunyai keuntungan dan kerugian sendiri sendiri seperti digambarkan dibawah ini.
Tabel 5. Keuntungan dan kerugian melanjutkan kredit PPK dalam format UPK
KEUNTUNGAN
KERUGIAN
1. Kemungkinan meraih peminjam miskin lebih leluasa 2. Dapat meraih jumlah peminjam yang banyak pada waktu yang relatif pendek 3. Dapat ikut membina demokrasi
1. Format ini kurang serasi dengan undang undang Bank Indonesia dan UU Perbankan 2. Umur ekonomis UPK terbatas 3. Tingkat kredit macet relatif tinggii 4. Jumlah peminjam yang meningkat laba usahanya tidak besar 5. Tidak mendorong peminjam untuk mengikuti prosedur perbankan yang normal dalam mencari kredit tak bersubsidi 6. Sebahagian elite desa ikut menikmati kredit
Tabel 6. Keuntungan dan kerugian pemberian kredit melalui bank komersil setempat
KEUNTUNGAN
KERUGIAN
1. Diperkirakan persentase kredit macet rendah 2. Orang orang yang mencari kredit adalah orang orang yang benar benar membutuhkan kredit dan memperkirakan mau membayar 3. Mendorong pengusaha mikro untuk menghitung perkembangan usaha secara realistik 4. Program kredit dapat berkelanjutan
1. Jangkauan ke peminjam miskin rendah 2. Sebagian keuntungan diambil oleh bank pelaksana 3. Bunga kredit ke peminjam mungkin tinggi (tidak bersubsidi) 4. Jaminan akan diminta oleh bank 5. Prosedur permohonan kredit akan mengikuti standar perbankan
Tabel 7. Keuntungan dan kerugian melanjutkan kredit UPK dengan mengubah UPK menjadi BPR KEUNTUNGAN
KERUGIAN
1. Persentase kredit macet bisa menurun, tergantung sumber daya manusianya 2. Program kredit dapat berkelanjutan, bila pengelolaan BPR normal dan BPR sehat menurut aturan Bank Indonesia 3. Membantu menumbuhkan lembaga keuangan di kecamatan 4. Mendorong pengusaha desa untuk terbiasa dengan prosedur perbankan
1. Jumlah peminjam yang mendapat kredit dapat mengecil 2. Jangkauan terhadap peminjam miskin terbatas 3. Proses demokratisasi berlangsung lewat mekanisme pasar yang bisa saja tidak setara 4. Tingkat bunga pinjaman bisa naik karena biaya pengumpulan dana sesuai dengan pasar 5. Jaminan akan tetap diminta 6. Cadangan untuk kredit macet tinggi
Belajar dari Proyek Kredit Mikro yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia (BPR) dan P4K oleh BRI-Cabang, di sarankan agar kredit selanjutnya di disain lewat executing Bank Indonesia atau BRI. Bekerja sama dengan kedua bank tersebut, PPK harus menyediakan biaya pelaksanaan, misalnya biaya monitoring mutu kredit, dan biaya pemasaran khususnya bagi peminjam miskin. Kredit dua langkah tersebut dapat digambarkan dalam grafik berikut.
Departemen Keuangan
Bank Indone sia
BPR
Peminjam
7. Ringkasan a. Ditemukan bahwa banyaknya kredit program di kecamatan kecamatan Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah tidak membuat pasok dana kredit menjadi terlalu membanjir, karena masing masing kredit program menuju ke peminjam yang berbeda. Kredit kredit program tersebut juga tidak menurunkan tingkat bunga, karena pasok dana PPK tidak lewat jalur perbankan dari masyarakat seperti pasok deposito dan tabungan. Pasok dana PPK tidak membuat bunga deposito dan tabungan menurun, karena biaya penggalangan dana tidak turun. Disamping itu, kebanyakan bank masih dapat memperoleh pelanggan; seperti BRI misalnya, dapat menyalurkan dananya kewilayah perkotaan lewat cabang cabangnya. Cost of money di bank pedesaan, yaitu bunga tabungan dan deposito, tetap berkisar antara 12% (BRI) sampai 17% (BPR) per tahun semenjak 3 tahun yang lalu. Jenis kredit program yang berlangsung antara lain Mikrokredit, P4K, PDMDKE, P2MPD, Kupedes, dan Takesra/Kukesra.
b. Kami temukan bahwa tingkat kredit bermasalah PPK-UPK yang mencapai 20% lebih (rata rata), adalah lebih tinggi dibandingkan dengan Kupedes (1%), Microcredit (0%), dan P4K (1%), karena berbagai faktor. Salah satu faktornya adalah dampak ekonomi pada peningkatan laba usaha peminjam dan peningkatan pendapatan rumah tangga. Dilihat dari dampak ekonomi program kredit PPK, ada 3 type peminjam, yaitu: (i). Peminjam yang tidak dapat meningkatkan laba usaha karena usahanya telah dalam keadaan equilibrium kapasitas penuh. Karena pasarnya tak bisa diperbesar lagi, alat produksinya telah mencapai kapasitas penuh, orangnya telah bekerja diatas jam kerja rata rata, maka kredit tidak bisa memperbesar usaha. Peminjam demikian tidak bisa meningkatkan pendapatan rumah tangga, dan cenderung menggunakan
kreditnya
untuk
keperluan
diluar
usaha.
Kami
memperoleh
kesan,
bahwa
jumlah
peminjam
type
demikian
diperkirakan cukup besar.
(ii). Peminjam yang bisa menggunakan kredit untuk meningkatkan laba usaha, dengan (I) memperluas usahanya karena mereka memperoleh pasaran
yang
membesar,
(ii)
mendiversifikasikan
usahanya.
Peminjam peminjam seperti ini dapat juga meningkatkan pendapatan rumah tangganya. Kami mengamati bahwa peminjam type ini relatif lebih tinggi pendapatan rumah tangganya di desa desa yang dikunjungi dan mempunyai usaha yang stabil. Jumlah peminjam type ini lebih sedikit dari pada peminjam jenis (a). Peminjam jenis ini melunasi hutangnya secara baik. (iii). Kami mengunjungi peminjam yang tidak dapat menggunakan kreditnya untuk menaikkan pendapatannya tetapi dapat memulihkan laba usahanya. Walaupun pada umumnya mereka ini bukan kelompok terkaya didesa, tetapi mereka melunasi hutangnya dengan baik. Sebahagian besar dari mereka ini adalah perempuan. Mereka menggunakan kredit untuk memperbaiki warung, untuk memperbaiki alat anyam keset (kerajinan keset) dll.
c. Semua bank lokal yang dikunjungi, BRI Unit, BPR, BKPD BPR, BPR Bank Pasar, BPR KURK, dan Bank Nagari, memberi tahukan bahwa resiko kredit PPK amat tinggi, atau kemungkinan terjadinya kredit macet besar. Hal ini disebabkan karena (I) pemilihan peminjam dikerjakan oleh musyawarah desa yang tidak ikut menanggung resiko kredit dan tidak terampil menilai prospek usaha, (ii) jumlah peminjam sangat banyak, (iii) beaya monitoring untuk mempertahankan mutu kredit sangat tinggi, (iv) tidak ada jaminan yang dapat di eksekusi. Semua bank menyatakan bahwa mereka tidak berani bekerja sama dengan UPK dalam rangka executing maupun channeling kredit, tetapi mereka tertarik untuk menjadi mitra dalam hal pengendapan uang UPK di banknya dalam bentuk tabungan. Program yang melibatkan pejabat bank dalam memverikasi
usaha calon peminjam tidak banyak membantu meningkatkan mutu kredit karena verifikator ini tidak menanggung resiko kredit macet.
d. Dari diskusi dengan staf proyek in daerah kami menemukan bahwa istilah “partisipasi masyarakat” perlu di definisikan ulang. Karena kredit adalah jasa ekonomi kepada perseorangan (private), dan bukan barang/jasa publik (public goods), maka “partisipasi masyarakat” seharusnya tidak hanya partisipasi resmi dalam musyawarah desa, tetapi partisipasi yang nyata dalam ber-investasi, memperoleh manfaat, dan menanggung resiko kegagalan ekonomi. Kredit UPK telah didasarkan pada sistim simpati kepada masyarakat saja, dan kurang didasarkan pada empati terhadap masyarakat. Prosedur kredit UPK sekarang ini tidak memberikan kesempatan pada masyarakat dalam menanam modal (menabung), dan dalam menanggung resiko kerugian (kredit macet). Kredit telah didasarkan pada kebutuhan kredit yang “di ucapkan”, bukan pada kebutuhan kredit yang sesungguhnya. Kredit UPK lebih banyak didasarkan pada permintaan absolut akan kredit, kurang didasarkan pada permintaan efektif atas kredit. Bila rumah tangga tidak memerlukan kredit, seperti dilihat dari cash flownya, maka seharusnya rumah tangga ini tidak diberi kredit. Prosedur UPK saat ini tepat untuk waktu perekonomian sedang dalam krisis, tetapi kurang tepat pada saat ekonomi berjalan normal, dan menurut penuturan sebagian besar peminjam di desa, keadaan perekonomian di desa mereka tidak terganggu oleh krisi s ekonomi nasional.
e. Kunjungan kami memberikan kesan bahwa kredit PPK tidak mencapai masyarakat termiskin di desa, yang menurut Badan Pusat Statistik di definisikan sebagai rumah tangga yang pendapatannya kurang dari Rp. 320.000,-- per bulan rata rata (1999). Mereka yang pendapatannya kurang dari Rp. 320.000,-- di sebut rumah tangga dibawah garis kemiskinan, dan mereka ini diberi kredit Kukesra. Tingkat pendapatan peminjam PPK lebih tinggi dari pada peminjam Kukesra. Plafon kredit PPK adalah Rp. 500.000,-- s/d Rp. 3.000.000,--, sedangkan plafon kredit
Kukesra yang ditemui di lapangan, sekitar Rp. 100.000,-- sampai Rp. 300.000,-- per rumah tangga, dan Kukesra memang mencapai rumah tangga miskin.
f. Diperkirakan bahwa sanksi untuk tidak memberikan kredit lagi di tahun depan bila desa itu belum mencapai tingkat pelunasan yang memadai, hanya akan mendorong sebagian kecil peminjam yang menunggak untuk membayar, itupun hanya sementara. Karena banyak peminjam yang (berharap) mengira bahwa kredit itu hibah, atau mereka ingin menikmati barang publik sebagai free rider. Walaupun mereka sadar bahwa tidak melunasi hutang tidak adil bagi orang lain yang telah mengantri lama, tetapi karena sebahagian besar (50% - 60%) rumah tangga desa telah mendapat fasilitas kredit, maka ketidak adilan itu tak terasa oleh mayoritas.
g. Sebagian besar staf UPK tidak berpengalaman dalam memverifikasi usulan usaha seperti halnya orang bank (account officer), demikian pula para LKMD, TPK, dan FD. Sebagian orang UPK juga tidak termotivasi untuk melakukan tugas untuk menseleksi pemohon pinjaman dengan menggunakan praktik perbankan yang prudent, karena mereka tidak punya waktu cukup untuk memverifikasi 1500 lebih pemohon. Dalam pandangan orang bank, UPK tidak harus menanggung resiko kredit macet, karena tugas mereka hanyalah mendistribusikan kredit dalam cara top-down.
h. Banyak faktor yang telah menyebabkan tingginya kredit macet di PPK, antara alain (1) perubahan dalam karakter peminjam setelah memperoleh pinjaman, (2) pinjaman di persepsikan sebagai hibah, (3) kegagalan usaha, (4) kecelakaan atau sakitnya peminjam, (5) iklim dan bencana alam, (6) ketidak aktifan dalam menagih, (7) meniru tetangga yang tidak membayar, dan (8) sanksi yang tidak diterapkan secara disiplin. Laporan terinci memaparkan tindakan preventif dan korektif atas penyebab kredit macet.
i. Setelah mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari format kelembagaan untuk masa depan program kredit, kami menemukan bahwa ada 3 alternatif format kelembagaan untuk melanjutkan program kredit. Ke-3 alternatif itu adalah (1) melanjutkan program kredit dengan format kelembagaan UPK seperti saat ini, (2) mendirikan BPR dari UPK saat ini, atau (3) bekerja sama dengan bank lokal. Untuk melanjutkan UPK seperti saat ini (tanpa proyek PPK) secara finansiil ekonomi kurang menguntungkan dan tidak ramah terhadap UU Bank Indonesia dan UU Perbankan. Agar program bisa berkelanjutan, program kredit harus mampu menutup biaya biaya pemasaran, penagihan, penarikan tabungan (bunga tabungan), administrasi, dan piutang macet. Secara yuridis, suatu lembaga yang mengumpulkan tabungan dan memberikan kredit harus berupa badan hukum dan dibawah pengawasan Bank Indonesia; sedangkan UPK tidak merupakan badan hukum dan tidak dibawah pengawasan Bank Indonesia. Studi ini menyarankan agar PPK bekerja sama deangan Bank Indonesia dan BPR.
Tabel 8. Penjelasan arsti singkatan
SINGKATAN
KEPANJANGAN
BPR
Bank Perkreditan Rakyat
BKKBN
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
BKPD
Bank Karya Produksi Desa Bank Rakyat Indonesia Kecamatan Development Program Kredit Kesejahteraan Masyarakat Tabungan Kesejahteraan Masyarakat Kredit Usaha Pedesaan Lembaga Keuangan Usaha Rakyat Kecil
BRI PPK Kukesra and Takesra
Kupedes LKURK
P4K
Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil
PD BPR Bank Pasar
Perusahaan Daerah Bank Pasar
UPK
Unit Pelayanan Keuangan
KUT
Kredit Usaha Tani
KKP
Kredit Ketahanan Pangan
LKMD
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
PENJELASAN Suatu bank kecil yang didirikan dibawah UU Perbankan, dengan modal minimal Rp. 200 juta, memberikan kredit kepada perusahaan, dibawah pengawasan Bank Indonesia, berbadan hukum PT, PD dll. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.
Suatu bank dengan status BPR, di Jawa Barat, berbadan hukum PT, diberbagai kecamatan. Bank milik pemerintah I(Persero) dan mempunyai cabang dan unit unit tersebar di seluruh Indonesia. Proyek Pengembangan Kecamatan Kredit yang diberikan oleh Departemen atau oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional kepada rumah tangga dibawah garis kemiskinan, tidak lewat perbankan, sistim kelompok. Skema kredit diberikan oleh BRI Unit, dana dari tabungan masyarakat dilaksanakan oleh BRI. BPR, badan hukum di Jawa Timur, sahamnya milik Bank Jatim dan Pemda Jawa Timur. Pada dasarnya beroperasi dibawah peraturan Bank Indonesia sebagai BPR. Proyek yang memberikan kredit kepada rumah tangga pertanian tetapi yang mempunyai usaha non-pertanian, dilaksanakan oleh BRI Cabang, peminjan dibentuk dalam kelompok, dibantu oleh Petugas Penyuluh Lapangan. Secara hukum ia adalah BPR, tetapi operasinya biasanya mengumpulkan tabungan dan memberi kredit kepada pedagang di pasar pasar di kecamatan. Sahamnya kebanyakan dimiliki oleh Pemda dan Bank Pembangunan Daerah provinsi. Organ dibawah Proyek Pengembangan Kecamatan yang mengelola uang dana proyek dan memberikan kredit kepada masyarakat penikmat proyek. Kredit yang diberikan oleh KUD dan LSM kepada petani padi dan sayur (palawija), dananya dari pemerintah, tujuannya adalah untuk meningkatkan produksi pangan, jaminannya adalah pemerintah. Kredit yang diberikan oleh BRI, dana dari pemerintah, diberikan kepada petani padi sawah dan palawija, dengan mensyaratkan adanya agunan dan prosedur perbankan normal. Lembaga yang dibentuk oleh pemerintah, dan anggota anggota adalah tokoh desa, bertugas mengawasi pembangunan desa
IV.
Rekomendasi
Untuk perbaikan program usaha ekonomi produktif ada beberapa langkah yang harus dilakukan agar program yang sudah berjalan dan yang akan datang (PPK fase 2) dapat terbenahi dan disiapkan lebih baik, sebagai berikut; 1. Daerah-daerah yang tingkat pengembalian pinjamannya rendah seperti Solok, Polmas dan Donggala, sebaiknya konsultan di lapangan KM-Kab dan FK serta aparat setempat melakukan penjadualan ulang pinjaman yang sudah jatuh tempo, dengan penghitungan tunggakan pinjaman dengan benar, mensepakati lama pinjaman dan pola angsuran sesuai dengan skala usaha masing-masing peminjam, membuat kesepakatan sanksi yang lebih rasional dan dapat diterapkan sesuai dengan daerah masing-masing, melalui UDKP khusus. 2. Untuk perbaikan program kedepan (PPK fase 2) sudah seharusnya disain program usaha ekonomi membuat acuan penyaluran kredit mikro sesuai dengan ketentuan perkreditan yang berlaku, dengan tidak meninggalkan semangat PPK seperti; a. Disarankan kelompok penerima manfaat disiapkan dengan baik , perbaikan sikap dan tingkah laku anggota, memberikan pelatihan dan keterampilan usaha, pendampingan dan pembinaan usaha secara terus-menerus, pemeberian kredit tidak hanya sekali saja jika usahanya belum mandiri. b. UPK harus disiapkan dan dilatih sebagai lembaga keuangan nonbank yang memiliki kemampuan mengelola dana bargulir, menguasai administrasi pembukuan yang bankable, mampu menganalisa kelayakan usaha nasabah, mempunyai kewenangan dan akses yang lebih cepat ke nasabah. c. Konsultan lapangan (KM-Kab dan FK) diberikan pengetahuan dan pelatihan
administrasi pembukuan dana bergulir, menganalisa
kelayakan usaha usulan.
Lampiran 1. Lokasi Studi Ekonomi PPK No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45.
Desa Serang Karang Mukti Neglasari Cukangkawung Raksa Jaya Leuwidulang Cibatu Suka Wangun Cikupa Taratak Galundi Talang Timur Tabek Kampung Batu Dalam Rawang Gadang Wisata Pincuran Tujuah Jongah Lolo Tanam Batu Nogosari Claket Cempokolimo Pohjejer Kategan Pugeran Dinoyo Padang Sari Lebak Jabung Lekopakdis Batulaya Pambusuang Suruang Lampoko Kenje Tumpiling Mapili Bumimulyo Palasa Tangki Ambesia Kotaraya Labuan Bajo Limboro Boneoge Padende Onggulero Porame
Kecamatan
Propinsi/Kabupaten
Salawu
Sodonghilir
Prop. Jawa Barat/ Kab. Tasikmalaya
Karangnunggal
Lembah Gumanti
Lembang Jaya
Prop. Sumatera Barat/ Kab. Solok
Pantai Cermin
Pacet
Gondang
Prop. Jawa Timur/ Kab. Mojokerto
Jatirejo
Tinambung
Campalagian
Prop. Sulawesi Selatan/ Kab. Polmas
Wonomulyo
Tomini
Banawa
Marawola
Prop. Sulawesi Tengah/ Kab. Donggala
Lampiran 4. Dokumentasi Fotografis Studi Ekonomi PPK A. Tipe penerima kredit yang dapat menggunakan kredit untuk meningkatkan laba usaha dan pendapatan rumah tangga, dan kesejahteraan sosialnya.
Ibu Kokom, desa Cukangkawung, kec. Sodonghilir, Tasikmalaya, Prop. Jawa Barat. Pemanfaat dana PPK Rp. 130.000,- dan perguliran Rp. 1.000.000,untuk usaha kios harian, perabot rumah tangga dan elektronik. Pendapatan bersih dari usaha dagang Rp 1.500.000,-/bln meningkat Rp 250.000/bln. Pengembalian pinjaman lancar.
Bapak Amirudin, pengusaha cicin sumur dan pilar beton, desa Batulaya, kec. Tinambung, kab. Polmas, Prob. Sulsel. Penerima kredit PPK Rp. 1.000.000,-. Pendapatan usaha bersih Rp 1.400.000,- s/d 1.600.000,-/bln. Pengembalian lancar.
Bapak Slamet, pengusaha keripik pisang, desa Nogosari, kec. Pacet, kab. Mojokerto, prop. Jawa Timur. Penerima dana PPK Rp 1.000.000,- (lunas) dan perguliran Rp 500.000,- serta BRI Rp 4.000.000,-. Laba bersih keripik + Rp 2.000.000,-/bln dan pengeluaran rumah tangga + Rp 1.200.000,-/bln
Ibu Nani, pengusaha kue Curuti, desa Padende, kec. Marawola, kab. Donggala, prop. Sulteng. Penerima dana PPK Rp. 1.000.000,- dan perguliran Rp. 4.000.000,- mampu meningkatkan hasil usahanya, laba bersih dari usaha ini + Rp 1.500.000,-/bln. B. Tipe pemanfaat kredit PPK yang tidak meningkatkan laba usaha dan pendapatan rumah tangga, tetapi meningkatkan kesejahteraan sosial
Ibu Amirisia (janda), penjual ketupat di pasar Pantai Cermin, Solok, Prop.
Sumbar. Sebelum dan setelah dapat dana PPK Rp 1.250.000,- hasil usaha tetap Rp 850.000,-/bln. Pinjaman dipergunakan untuk merehab warung, pengembalian pinjaman lancar
Ibu Badaru (60 thn), usaha kios harian di desa Tumpiling, kec. Wonomulyo, kab. Polmas, prop. Sulsel. Penerima dana PPK Rp 500.000,-, laba bersih dagangan sebelum dan sesudah + Rp 990.000,-/bln. Tidak mungkin meningkatkan hasil usaha, karena sudah tua, tidak ada tanggungan lagi. C. Tipe pemanfaat PPK tidak meningkatkan laba usaha dan pendapatan, tetapi dapat mempertahankan kehidupan usaha.
Bapak Basar dan ibu Biah (keluarga miskin), pengrajin sapu ijuk, desa Cikupa, kec. Karangnunggal, Kab. Tasikmalaya, Prop. Jawa Barat. Pemanfaat dana PPK Rp 300.000,- dari hasil sapu mendapatkan laba bersih Rp 128.000,-/bln, cukup untuk biaya hidup Rp 90.000,-/bln dan mencicil pinjaman Rp 130.000,-/bln dan tidak lagi menjadi buruh serabutan.
Ibu Ruaida, keluarga miskin, pembuat minyak kelapa, desa Lekopadis, kec. Tinambung, Polmas, Prop. Sulsel. Pemanfaat dana PPK Rp. 500.000,- dan perguliran pertama Rp. 1.000.000,- dan kedua Rp. 500.000,-. Pendapatan Rp 445.000,-/bln cukup untuk menghidupi keluarga (4 org anak) sekitar Rp 382.000,-/bln dan angusuran pinjaman Rp 50.000,-/bln, pengembalian lancar D. Pemanfaat yang mengalami kemacetan dalam pengembalian pinjaman
Pemanfaat kredit PPK, desa Leuwidulang, kec. Sodonghilir, Tasikmalaya, Jawa Barat. Salah satu desa bermasalah di kec. Sodonghilir, kemacetan desa 30% dari total pin-jaman Rp 59.850.000,-
Bapak Naumar, tukang perabot, ketua LKMD desa Jongah lolo, kec. Pantai Cermin, Solok, Sumbar, pemanfaat dana PPK Rp. 1.400.000,-. Tunggakan pinjaman sebesar Rp 1.282.500,- selama 9 bulan.